• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU TINDAK PIDANA PERKOSAAN TERHADAP ANAK DI BAWAH (Studi Kasus Putusan Nomor. 3176/Pid.B/2010/PN.Sby).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU TINDAK PIDANA PERKOSAAN TERHADAP ANAK DI BAWAH (Studi Kasus Putusan Nomor. 3176/Pid.B/2010/PN.Sby)."

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

( Studi Kasus Putusan No. 3176/Pid.B/2010/PN.Sby. )

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi per syar atan memper oleh Gelar Sar jana Hukum pada Fakultas Huk um UPN “Veter a n” J awa Timur

Oleh:

SYAIFUL ROCHMAN NPM. 0871010080

YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL" VETERAN" J AWATIMUR

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM SURABAYA

(2)

( Studi Kasus Putusan No. 3176/Pid.B/2010/PN.Sby. )

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi per syar atan memper oleh Gelar Sar jana Hukum pada Fakultas Huk um UPN “Veter a n” J awa Timur

Oleh:

SYAIFUL ROCHMAN NPM. 0871010080

YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL" VETERAN" J AWATIMUR

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM SURABAYA

(3)

Nama Mahasiswa : Syaiful Rochman NPM : 0871010080

Date and Place of Birth : Surabaya, July 28, 1988

Program Study : Strata 1 (S1)

Thesis Title :

ACTORS OF LIABILITY FOR CHILD RAPE CRIME UNDER (Ca se Study of Decision Number . 3176/Pid.B/2010/PN.Sby)

ABSTRACT

This study aims to determine accountability, factors, and the application of criminal sanctions for rape of a minor anask. This penetitian juridical-normative method. Data obtained from literature sources, literature and scientific writing legislation and regulations. Analysis of qualitative data using the data obtained from interviews, field observations. The results of this study can be concluded that p erkembangan a fast growing technology and communication tools are very sophisticated, there is also a change of values prevailing in masyarak a t, a change of values can be positive and the negative wage, criminal child rape under age in which many factors that affect the criminal rape among other internak factors and external factors of the two factors are more dominant for committing the crime of rape is that there are internal factors in that person and the influence of mass media are increasingly free, and accountability that is received by the perpetrator of rape against minors are sentenced to prison for criminals that have been aged 21 years Statutory child protection is deemed to mature and able to take responsibility for all acts of the perpetrators of the crime of rape .

(4)

NamaMahasiswa : Syaiful Rochman

NPM : 0871010080

Tempat Tanggal Lahir : Surabaya, 28 Juli 1988

Program Studi : Strata 1 (S1)

Judul Skripsi :

PERTANGGUNGJ AWABAN PELAKU TINDAK PIDANA PERKOSAAN TERHADAP ANAK DI BAWAH

(Studi Kasus Putusan Nomor . 3176/Pid.B/2010/PN.Sby)

ABSTRAKSI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertanggung jawaban, faktor-faktor, dan penerapan sanksi bagi pelaku tindak pidana perkosaan terhadap anask di bawah umur. Penetitian ini menggunakan metode yuridis-normatif. Sumber data diperoleh dari literature-literatur karya tulis ilmiah dan perundang-undangan yang berlaku. Analisis data menggunakan kualitatif yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara, pengamatan lapangan. Hasil penelitian ini dapat di simpulkan bahwa perkembangan suatu teknologi yang semakin cepat dan alat komunikasi yang sangat canggih maka terdapat pula perubahan tata nilai yang berlaku di masyarakat, perubahan tata nilai tersebut bisa berupah positif dan negatif, pelaku tindak pidana perkosaan anak di bawah umur yaitu banyak faktor-faktor yang mempengaruhi pelaku tindak pidana perkosaan antara lain faktor internak dan faktor eksternal dari kedua faktor tersebut yang lebih dominan untuk melakukan perbuatan tindak pidana perkosaan yaitu faktor internal yang terdapat pada diri orang tersebut dan pengaruh media massa yang semakin bebas, dan pertanggung jawaban yang di terima oleh pelaku tindak pidana perkosaan terhadap anak di bawah umur yaitu hukuman penjara karena pelaku tindak pidana telah berusia 21 tahun sehingga menurut Undang-Undang perlindungan anak sudah dinggap dewasa dan mampu untuk bertanggung jawab atas semua yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana perkosaan.

Kata kunci : Perkosaan Anak Di Bawah Umur, Pertanggung Jawaban Pelaku, tindak pidana perkosaan

(5)

1.1.Latar Belakang Per masalahan

Perkembangan teknologi yang semakin cepat, dan alat komunikasi yang

sangat canggih, maka terdapat pula perubahan tata nilai yang berlaku di

masyarakat. Perubahan tata nilai tersebut dapat bersifat positif dan negatif.

Perubahan tata nilai yang bersifat positif dapat mengakibatkan kehidupan

yang harmonis dan sejahtera, sedangkan perubahan tata nilai yang bersifat

negatif dapat menjurus runtuhnya nilai-nilai budaya. Kejahatan yang

berkembang tidak hanya mengenai harta kekayaan tetapi juga nyawa dan

kesusilaan. Diantara kejahatan yang terjadi dan harus mendapat perhatian

serius adalah kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan

dapat berupa : kekerasan fisik, psikis, maupun seksual misalnya

penganiayaan, perbuatan cabul, perkosaan dan lain-lain. Perbuatan perkosaan

yang menimpa kaum perempuan akan mengalami penderitaan yang tidak

hanya fisik tetapi juga mengalami penderitaan psikis.

Tindak pidana perkosaan merupakan salah satu contoh dari beberapa

tindak kejahatan dimana pelakunya bisa orang dewasa maupun anak. Dalam

hal tindak pidana perkosaan tersebut yang menjadi korbannya bisa dari orang

dewasa maupun anak-anak.

Pengertian kejahatan menurut kamus hukum adalah perilaku yang

bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku telah

(6)

secara yuridis dalam kitab undang-undang hukum pidana tidak ada peraturan

tentang pengertian kejahatan , yang ada adalah perbuatan pidana yang

dimasukkan sebagai kejahatan yang diatur dalam buku ke dua KUHP dari

buku I sampai dengan terakhir.

Suatu tindak pidana perkosaan, berarti telah merampas nilai-nilai

kemanusian karena perkosaan berarti tidak mengakui bahwa setiap manusia

memiliki harkat dan martabat sehingga dengan alasan apapun orang lain tidak

berhak melakukan perampasan terhadap hak asasi manusia dengan cara

kekerasan. Dengan demikian ketentuan pengadilan hak asasi manusia

merupakan suatu bukti bahwa penanganan terhadap para korban perkosaan

merupakan perlindungan secara umum terhadap manusia yang mengalami

penderitaan fisik, dan psikologis luar biasa akibat kekerasan yang dialami.

Pertanggung jawaban terhadap pelaku tindak pidana perkosaan

terhadap anak dibawah umur sudah ada penindakan secara tegas oleh aparat

penegak hukum di indonesia, pembuktian adanya tindak pidana perkosaan

segera dapat diperoleh apabila segera setelah kejadian.

korban melapor pada aparat penegak hukum, kecepatan pelaporan sangat mempengaruhi keberhasilan penyidikan dan penuntutan pembuktian tidak begitu rumit dan sulit jika korban atau masyarakat melapor sebelum korban membersihkan diri atau badan karena dalam pembuktian ada yang namanya Visum et Repertum maupun hasil laboraturium seperti sidik jari, sperma, atau bukti kekerasan yang telah ada.1

1

(7)

Berita- berita media masa hampir disetiap terbitnya memuat

tentang berita-berita tentang perkosaan. Perkosaan yang terjadi mulai dari

perkosaan biasa dilakukan terhadap perempuan dewasa tetapi juga dilakukan

terhadap perempuan yang masih dibawah umur.

Apalagi korban perkosaan tersebut dialami oleh anak yang di bawah

umur yang notabenya masih labil maka dari itu perlu adanya perlindungan

terhadap korban perkosaan yang dialami oleh anak yang dibawah umur.

Terkait dengan adanya kejahatan yang telah diuraikan secara singakat diatas

dimana korban tindak pidana perkosaan adalah anak , maka tidaklah terlepas

dari adanya aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang No.

23 Tahun 2002 tentaang perlindungan anak. Dalam Undang-Undang No. 23

Tahun 2002 tentang perlindungan anak secara tegas telah diatur mengenai

perlindungan hukum bagi anak sebagai korban, yang mana dalam

Undang-Undang tersebut mengatur tentang persetubuhan yang dilakukan terhadap

anak. Dalam pasal 81 ayat (1) disebutkan bahwa:

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman

kekerasan, memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan

orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun

dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.

300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah ) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00

(enam pulih juta rupiah). Sedangkan dalam pasal 81 ayat (2) menyebutkan

(8)

Ketentuan pidana sebagaimna yang dimaksud dalam ayat (1) berlaku

pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,

serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan persetubuhan

dengannya atau dengan orang lain. Serta disebutkan pula di dalam KUHP

pasal 287 KUHP yang berbunyi:

1. Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum cukup umur 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun.

2. Penuntutan hanya dapat dilakukan kalau ada pengaduan, kecuali umurnya

perempuan itu belum sampai 12 tahun atau jika ada salah satu hal yang tersebut pada pasal 291 dan 292.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk mengangkat

permasalahan tersebut dengan judul “ PERTANGGUNG JAWABAN

PELAKU TINDAK PIDANA PEKOSAAN ANAK DI BAWAH UMUR

(STUDI KASUS PUTUSAN No. 3176/Pid.B/2010/PN.Sby)”.

1.2Rumusan Masalah :

Atas urain tersebut dalam latar belakang di atas, maka permasalahan

yang akan di bahas sebagai berikut :

1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pelaku tindak pidana perkosaan

terhadap anak di bawah umur?

2. Bagaimana pertanggung jawaban pelaku tindak pidana perkosaan

terhadap anak di bawah umur menurut Undang-Undang Perlindungan

(9)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Mengetahui pertanggung jawaban bagi pelaku tindak pidana perkosaan.

2. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pelaku tindak

pidana perkoosaan anak di bawah umur.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Praktis

a. Sebagai sumbangan pemikiran dalam ilmu pengetahuan hukum,

khususnya mengenai penanganan anak di bawah umur.

b. Sebagai masukan kepada lembaga-lembaga hukum terkait dengan

tindak pidan perkosaan terhadap anak dibawah umur kepada para

penegak hukum, serta kepada pemerintah agar dapat memberikan

keadilan bagi masa depan korba tindak pidana perkosaan.

1.4.2. Manfaat Teor itis

a. Bagi penulis, menambah perpendaharaan pengetahuan khususnya

dalam bidang pertanggung jawaban terhadap tindak pidana

perkosaan terhadap anak dibawah umur.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan

pengetahuan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum,

khususnya dalam rangka pembaharuan ketentuan hukum acara

pidana (KUHAP) di masa yang akan datang, serta memberikan

keadilan bagi para korban perkosaan yang usianya masih di

(10)

1.5 Kajian Pustaka

1.5.1 Penger tian hukum pidana

Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang

perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang beserta sanksi pidana

yang dapat dijatuhkannya kepada pelaku.2

Hukum pidana ialah hukum yang mengatur tentang

pelanggaran-pelanggran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum,

perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu

penderitaan atau penyiksaan.3

Hukum pidana adalah peraturan-peraturan memuat atau

mengandung tentang larangan dan atau keharusan yang harus dipatuhi

oleh setiap anggota masyarakat, yang disertai dengan ancaman

hukumannya.4

1.5.2 J enis-jenis pidana

Jenis-jenis pidana menurut pasal 10 KUHP ialah sebagai berikut :

a. Pidana pokok meliputi

Bambang waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Cet III , Jakarta 2008, h 6.

3

C.S.T. Kansil dan Christine S.T Kansil, Latihan Ujian Hukum Pidana Sinar Grafika, Cet III, Jakarta, 2007, h 2.

4

Rien G. Kartasapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, Bina Aksara, Cet I, Jakarta 1988, h 47.

5

(11)

1.6 Penger tian anak

Pengertian Anak Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) yang berbunyi :

Anak di bawah umur adalah orang yang belum dewasa daan

diketahuinya atau patut dapat disangkanya, bahwa ia belum cukup umur

17 tahun.

Pengertian Anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(BW) yang berbuyi :

Seseoarang dikatakan masih dibawah umur apabila orang tersebut

belum mencapai usia 20 tahun, kecuali orang tersebut telah kawin.

Menurut Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 pasal 1 ayat (1)

tentang Perlindungan Anak yang berbunyi :

Anak di bawah umur adalah seseorang yang belum berusia 18

(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan.

Menurut Undang-Undang HAM No. 39 Tahun 1999 pasal 1 yang

berbunyi :

Anak adalah setiap yang berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum

menikah, termasuk anak yang masih di dalam kandungan apabila hal

tersebut demi kepentingan.

Menurut Undang-Undang Peradilan Anak No. 3 Tahun 1997 pasal 1 ayat

(12)

Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai

umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas)

tahun dan belum pernah kawin.

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang

kesejahteraan anak yang berbunyi :

Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh

satu) tahun dan belum pernah kawin.6

Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 47

ayat (1) yang berbunyi :

Anak adalah yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun

atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibwah kekuasaan

orang tua selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

Secara umum yang dimaksud dengan anak adalah keturunan atau

generasi sebagai suatu hasil dari hubungan kelamin atau persetubuhan

(sexual intercross) antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan

baik dalam ikatan perkawinan maupun diluar perkawinan.7

1.7 Penger tian Perkosaan

Menurut kamus umum bahasa Indonesia 1976 susunan

Poerwadaminto bahwa perkosaan adalah :

6

Maidin Gultom, Perlidungan Hukum Terhadap Anak, Rafika Aditama, Bandung, 2010, h.31.

7

(13)

Menundukkan dengan kekerasan; menggagahi, memaksa dengan

kekerasan, misalnya memperkosa istri orang, memperkosa gadis yang

belum berumur.8

Perkosaan adalah perbuatan bersetubuh yang dilakukan laki-laki

terhadap perempuan dewasa, atau anak-anak dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan di luar pernikahan.9

Perkosaan menurut KUHP pasal 285 yang berbunyi :

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa

seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena

melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas

tahun.10

1.7.1 Unsur -unsur delik perkosaan

Bar ang siapa

Sebagian pakar berpendapat bahwa “barang siapa” bukan merupakan unsur, hanya memperlihatkan si pelaku (dader/doer) adalah manusia. Sebagian pakar lagi berpendapat bahwa” barang siapa” tersebut adalah manusia. Tetapi perlu diuraikan manusia siapa dan berapa orang. Jadi identitas” barang siapa” tersebut harus jelas.

Dengan keker asan atau ancaman k ek er asan

Menurut Mr. M.H Tirtamidjaja, dengan kekerasan dimaksudkan, setiap perbuatan yang dilakukan dengan kekuatan badan yang agak hebat.

Pasal 289 KUHP memperluas pengertian “kekerasan” sehingga memingsankan atau melemahkan orang, disamakan dengan melakukan kekerasan.

“Kekerasan atau ancaman kekerasan” tersebut ditujukan terhadap wanita itu sendiri dan bersifat sedemikian rupa sehingga berbuat lain tidak memungkinkan baginya selain membiarkan dirinya untuk disetubuhi.

8

Jur. Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delecten) Di Dalam KUHP, Sinar Grafika, Jakarta , 2009 h 19

9

Jur. Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, h. 118.

10

(14)

Memaksa

“Memaksa” berarti di luar kehendak wanita tersebut atau bertentangan dengan kehendak wanita.

Prof. Satochid Kartanegara, S.H. menyatakan antara lian:

“Perbuatan memaksa ini haruslah ditafsirkan sebagai suatu perbuatan sedemkian rupa sehingga menimbulkan rasa takut orang lain.

Seor ang wanita ber setubuh dengan dia

Kalau bukan wanita (dalam hal homoseks) maka tidak dapat diterapkan pasal 285 KUHP.

Pengertian “bersetubuh” menurut Mr. M.H. Tirtaamidjaja, S.H. berarti persentuhan sebelah dalam dari kemaluan si laki-laki dan perempuan. Yang pada umumnya dapat menimbulka kehamilan. Tidak perlu bahwa telah terjadi pengeluaran mani dalam kemaluan si perempuan.

Pengertian “bersetubuh” pada saat ini diartikan bahwa penis telah penetrasi (masuk) ke dalam vagina.

Di luar per kawinan

Di luar perkawinan berarti bukan istrinya.11

a. Pasal 286 KUHP yang berbunyi :

Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar

perkawinan, pada hal diketahui bahwa wanita itu dalam

keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana

penjara paling lama sembilan tahun.

b. Pasal 287 ayat (1) KUHP yang berbunyi :

Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar

perkawanin, padahal diketahui atau sepatutnya harus di

duga, umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya

tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, diancam

dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Sedangkan Pasal 287 ayat (2) menyebutkan bahwa :

11

(15)

Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika

umurnya wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada

salah satu hal tersebut pasal 291 dan pasal 292.

c. Pasal 288 ayat (1) KUHP yang berbunyi :

Barang siapa bersetubuh dengan wanita di dalam

perkawinan, yang diketahui atau sepatutnya harus di duga

bahwa sebelum mampu dikawin, diancam, apabila

perbuatan mengakibatkan luka-luka dengan pidana penjara

paling lama empat tahun. Sedangkan Pasal 288 ayat (2)

menyebutkan bahwa :

1. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat,

dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun.

Sedangkan Pasal 288 ayat (3) menyebutkan bahwa :

Jika mengakibatkan mati dijatuhkan pidana penjara

paling lama dua belas tahun.

Dalam pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak

disebutkan bahwa:

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan

atau ancaman kekerasan, memaksa anak melakukan

persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana

dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun

dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak

(16)

sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam pulih juta rupiah).

Sedangkan dalam pasal 81 ayat (2) menyebutkan bahwa :

Ketentuan pidana sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)

berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja

melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau

membujuk anak untuk melakukan persetuhan dengannya atau

dengan orang lain.

Menurut Soetandyo Wingjosoebroto perkosaan adalah

suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang lelaki

terhadap seorang perempuan dengan cara yang menurut

moral dan atau hukum yang berlaku melanggar.12

Menurut R. Sugandhi, yang dimaksud dengan perkosaan adalah seorang pria yang memaksa pada seorang wanita bukan istrinya untuk melakukan persetubuhan dengannya dengan ancaman kekerasan, yang mana diharuskan kemaluan pria telah masuk ke dalam lubang kemaluan seorang wanita

yang kemudian mengeluarkan air mani.13

1.7.2 Macam-macam per kosaan

Terdapat beberapa jenis tindakan perkosaan yaitu :

1. Sadistic rape;

Perkosaan sadistis, artinya, pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan telah nampak menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban.

2. Angea Rape;

Yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan perasaan geram dan marah yang tertahan. Di sini tubuh korban seakan-akan merupakan

12

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan

Seksual, Refika Aditama, Cetakan II, Bandung, 2011, h .40.

13

(17)

objek terhadap siapa pelaku yang memproyeksikan pemecahan atas prustasi-prustasi, kelemahan, kesulitan, dan kekecewaan hidupnya.

3. Dononation rape;

Yakni suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku mecoba untuk gigih atas kekuasaan dan superioritasnya terhadap korban. Tujuannya adalah penaklukan seksual, pelaku menyakiti korban, namun tetap memiliki keinginan berhubungan seksual.

4. Seduktive rave;

Suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh kesenggamaan. Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa itu tak mempunyai rasa bersalah yang menyangkut seks.

5. Victim precipta rape;

Yakni perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya.

6. Exploitation rape;

Perkosaan yang menunjukan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi wanita yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial. Misalnya, istri yang diperkosa oleh suaminya atau pembantu rumah tangga yang di perkosa majikannya, sedangkan pembantunya tidak mempersoalkan (mengandukan) kasusnya ini kepada pihak yang berwajib.14

1.7.3 Kar akter istik umum tindak pidana per kosaan

Di bawah ini akan di jelaskan karakteristik umum tindak pidana perkosaan yaitu:

1. Agresivitas, merupakan sifat yang melekat pada setiap tindak

pidana perkosaan.

2. Motivasi kekerasan lebih menonjol dibandingkan dengan motivasi

seksual semata.

3. Secara psikologis, tindak pidana perkosaan lebih banyak

mengandung masalah kontrol dan kebencian dibandingkan dengan hawa nafsu.

4. Tindak pidana perkosaan dapat dibedakan kedalam tiga bentuk,

yaitu; anger rape, power repe, dan sadistis repe. Dan ini direduksi dari anger and violation, control and domination, erotis.

5. Ciri pelaku perkosaan: mispersepsi pelaku atas korban, mengalami

pengalaman buruk khususnya dalam hubungan personal (cinta)

14

Jatie K.Pudjibudoyo, J Bambang Soenaryo, Pornografi, Pemerkosaan Sebagai

Kejahatan Kesusilaan, Jurnal Yustika Media Hukum dan Keadilan, Volume 8, Nomer 2,

(18)

terasing dalam pergaulan sosial, rendah diri, ada ketidak seimbangan emosional.

6. Korban perkosaan adalah partisipatif. Menerut Meier dan Miethe, 4-19% tindak pidana perkosaan terjadi karena kelalaian (partisipasi) korban.

7. Tindak pidana perkosaan secara yuridis sulit dibuktikan.15

1.7.4 Faktor -faktor penyebab ter jadinya per kosaan

Di bawah ini akan menjelaskan faktor-faktor terjadinya tindak pidana perkosaan sebagai berikut:

1.Pengaruh perkembangan budaya yang semakin tidak menghargai

etika berpakaian yang menutup aurot, yang dapat merangsang pihak lain untuk berbuat tidak senonoh dan jahat.

2.Gaya hidup atau mode pergaulan di antara laki-laki dengan

perempuan yang semakin bebas, tidak atau kurang bisa lagi membedakan antara yang seharusnya boleh dikerjakan dengan yang dilarang dalam hubungannya dengan kaedah akhlak mengenai hubungan laki-laki dengan perempuan.

3.Rendahnya pengalaman dan penghayatan terhadap norma-norma

keagamaan yang terjadi di tengah masyarakat. Nilai-nilai keagamaan yang semakin terkikis di masyarakat atau pola relasi horizontal yang cenderung makin meniadakan peran agama adalah sangat potensial untuk mendorong seseorang berbuat jahat dan merugikan orang alin.

4.Tingkat control masyarakat (social control) yang rendah, artinya berbagai perilaku yang diduga sebagai penyimpangan, melanggar hukum dan norma keagamaan kurang mendapatkan responsi dan pengawasan dari unsur-unsur masyarakat.

5.Putusan hakim yang terasa tidak adil, seperti putusan yang cukup ringan yang dijatuhkan pada pelaku. Hal ini dimungkinkan dapat mendorong anggota-anggota masyarakat lainnya untuk berbuat keji dan jahat. Artinya mereka yang hendak berbuat jahat tidak merasa takut lagi dengan sanksi hukum yang akan diterimanya.

6.Ketidakmampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan nafsu

seksualnya. Nafsu seksualnya dibiarkan mengembara dan menuntutnya untuk dicarikan kopensasi pemuasnya.

7.Keinginan pelaku untuk melakukan (melampiaskan) balas dendam

terhadap sikap, ucapan (keputusan) dan perilaku korban yang

(19)

1.7.5 per kosaan itu dir umuskan melalui beber apa bentuk per ilaku Menurut Arief Gosita perkosaan itu dirumuskan melalui beberapa

bentuk perilaku yang di kata gorikan sebagai berikut:

1. Korban perkosaan harus seorang wanita, tanpa batas umur

(objek). Sedangkan ada juga seorang laki-laki yang diperkosa wanita.

2. Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini

berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan tindakan perlakuan pelaku.

3. Persetubuhan di luar ikatan perkawinan adalah tujuan yang ingin

dicapai dengan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan

terhadap wanita tertentu. Dalam kenyataan ada pula

persetubuhan dalam perkawinan yang dipaksakan dengan kekerasan, yang menimbulkan penderitaan mental dan fisik. Walaupun tindakan ini menimbulkan penderitaan korban, tindakan ini tidak dapat digolongkan sebagai suatu kejahatan oleh karena tidak dirumuskan terlebih dahulu oleh pembuat

undang-undang sebagai suatu kejahatan.17

1.7.6 Akibat-akibat dar i tindak pidana per kosaan

Di sini akan di jelaskan mengenai pendapat pakar tentang akibat perkosaan sebagi berikut:

1. Penderitaan secara psikologis, seperti merasa tidak lagi

berharga akibat kehilangan keperawanan (kesucian) di mata masyarakat, mata suami, calon suami (tunangan) atau pihak-pihak lain yang terkait dengannya. Penderitaan psikologis lainnya dapat berupa kegelisahan, kehilangan rasa percaya diri, tidak lagi ceria, sering menutup diri atau menjauhi kehidupa ramai, tumbuh rasa benci (antipati) terhadap lawan jenis dan curiga berlebihan terhadap pihak-pihak lain yang bermaksud baik kepadanya.

2. Kehamilan yang dimungkinkan dapat terjadi. Hal ini dapat

berakibat lebih fatal lagi bilamana janin yang ada tumbuh menjadi besar (tidak ada keinginan untuk diabortuskan). Artinya, anak yang dilahirkan akibat perkosaan tidak memiliki kejelasan statusnya secara yuridis dan norma keagamaan.

3. Penderitaan fisik, artinya akibat perkosaan itu akan

menimbulkan luka pada diri korban. Luka ini bukan hanya yang terkait pada alat vital (kelamin perempuan) yang robek, namun tidak menutup kemungkinan ada organ tubuh lainnya yang luka bilaman korban lebih dulu melakukan perlawanan dengan keras yang sekaligus mendorong pelakunya untuk

17

(20)

berbuat lebih kasar dan kejam guna menaklukkan perlawanan dari korban.

4. Tumbuh rasa kekurang-percayaan pada penanganan aparat

praktisi hukum, bilamana kasus yang ditanganinya lebih banyak menyita perhatian, sedangkan penanganan kepada tersangka kurang sungguh-sungguh. Korban diperlakukan secara diskriminasi dan dikondisikan makin menderita kejiwaannya atau lemah mentalnya akibat ditekan secara terus-menerus oleh proses penyeleseian perkara yang tidak kunjung berakhir.

5. Korban yang dihadapkan pada situasi sulit seperti tidak lagi merasa berharga dimata masyarakat, keluarga, suami, dan calon suami dapat saja terjerumus dalam dunia prostitusi.

Artinya, tempat pelacuran dijadikan sebagai tempat

pelampiasan diri untuk membalas dendam pada laki-laki dan mencari penghargaan.18

1.8 Penger tian Tindak Pidana

Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam

dengan pidana oleh undang-undang.19

Strafbaar feit menurut Van Hamel adalah kelakuan

manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum,

yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.20

Menurut simons Strabaar feit adalah kelakuan (handeling)

yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang

berhubungan dengan kesalahan, dan yang dilakukan oleh orang

yang mampu bertanggung jawab.21

Strabaar feit menurut Pompe adalah suatu pelanggaran

terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan

(21)

diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan

menyelamatkan kesejahteraan umum.22

Menurut Prof. Moeljatno, SH bahwa tindak pidana adalah

perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana

disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang

siapa yang melanggar larangan tersebut.23

1.9 Penger tian Visum et Repertum

Visum et Repertum adalah keterangan yang dibuat oleh dokter

kehakiman mengenai kondisi korban dan sebab kematian atau

lukanya.24

Visum Et Repertum Menurut bahasa: berasal dari kata latin yaitu visum (sesuatu yang dilihat) dan repertum (melaporkan). Menurut istilah: adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter berdasarkan sumpah jabatannya terhadap apa yang dilihat dan diperiksa berdasarkan keilmuannya. Menurut lembar negara 350 tahun 1973: Suatu laporan medik forensik oleh dokter atas dasar sumpah jabatan terhadap pemeriksaan barang bukti medis (hidup/mati) atau barang bukti lain, biologis (rambut, sperma, darah), non-biologis (peluru, selongsong) atas permintaan tertulis oleh penyidik ditujukan untuk peradilan.25

Visum et Repertum adalah laporan tertulis (termasuk kesimpulan

mengenai sebab-sebab perlukaan/kematian) yang dibuat oleh dokter

berdasarkan sumpah jabatan, mengenai apa yang dilihat/diperiksa

22

Bambang Poernnomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta 1992, h .91.

23

Sukardi, Penyidikan Tindak Pidana Tertentu (Beberapa Ketentuan Pidana Di Luar KUHP),Restu Agung, Jakarta, 2009, h. 7.

24

Jur. Andi Hamzah Loc cit, h.173.

25

(22)

berdasarkan keilmuannya, atas permintaan tertulis dari pihak berwajib berdasarkan sumpah, perihal apa yang dilihat dan diketemukan atas bukti hidup, mayat atau fisik ataupun barang bukti lain, kemudian dilakukan pemeriksaan berdasarkan pengetahuan yang sebaik-baiknya. Atas dasar itu selanjutnya diambil kesimpulan, yang juga merupakan pendapat dari seorang ahli ataupun kesakisaan (ahli) secara tertulis, sebagaimana yang tertuang dalam bagian pemberitaan (hasil pemeriksaan).27

1.9.1 Visum et Repertum

Menurut sifatnya visum et repertum di bagi 3 macam (pada

umumnya bagi visum et repertum korban hidup) yaitu :

1. Visum et Repertum yang dibuat (lengkap) sekaligus atau definitif. Lazimnya ditulis :visum et repertum.

2. Visum et Repertum sementara:

Misalnya, visum yang dibuat bagi si korban yang sementara masih dirawat di rumah sakit akibat luka-lukanya karena

penganiayaan. Lazinya ditulis visum et repertum

(sementara).

3. Visum et Repertum lanjutan:

Misalnya, visum bagi si korban yang luka tersebut (visum et repertum sementara) kemudian lalu meninggalkan rumah sakit ataupun akibat luka-lukanya tersebut si korban kemudian dipindahkan ke rumah sakit/dokter lain, melarikan diri, pulang dengan paksa atau meninggal dunia. Lazimnya ditulis: visum et repertum (lanjutan).28

1.9.2 J enis-jenis Visum et Repertum

Di bawah ini akan menyebutkan jenis-jenis visum et repertum antara lain:

a) Visum et Repertum tentang pemeriksaan luka (korban hidup) b) Visum et Repertum tentang pemeriksaan mayat (jenazah)

26

http://c11104066.blogspot.com/2012/01/visum-et-repertum-ver.html 14/4/2012 09:55 AM

27

R. Soeparmono, Keterangan Ahli dan Visum et Repertum Dalam Aspek Hukum Acara

Pidana, Mandar Maju, Cet III, Bandung, 2011, h .98.

28

(23)

c) Visum et Repertum tentang pemeriksaan bedah mayat d) Visum et Repertum penggalian mayat. Lain dari itu ada pula: e) Visum et Repertum di tempat kejadian perkara (TKP)

f) Visum et Repertum pemeriksaan barang bukti (bukti-bukti) lain.29

1.9.3 Tujuan Visum et Reper tum

Tujuan Visum et Repertum adalah, untuk memberikan

kepada hakim (majelis) suatu kenyataan akan fakta-fakta dari

bukti-bukti tersebut atas semua keadaan/hal sebagaimana

tertuang dalam bagian pemberitaan agar hakim dapat mengambil

putusannya dengan tepat atas dasar kenyataan atau fakta-fakta

tersebut, sehingga dapat menjadi pendukung atas keyakinan

hakim.30

1.10 Penger tian per tanggung jawaban

Untuk memperjelas mengenai pengertian pertanggung jawaban pidana itu, baik kita lihat apa yang ditulis oleh Roeslan Saleh sebagai berikut:

Jadi perbuatan yang tercela oleh masyarakat itu di pertanggung jawabkan pada si pembuatanya. Artinya celaan yang obyektif terhadap perbuatn itu kemudian diteruskan kepada si terdakwa. Menjadi soal selanjutnya, apakah si terdakwa juga di cela dengan dilakukannya perbutan itu, kenapa perbuatan yang obyektif tercela, secara subyektif dipertanggungjawabkan kepadanya, oleh sebab itu perbuatan tersebut adalah pada diri si pembuat.31

Orang yang mampu bertanggung jawab itu harus memenuhi 3 syarat yaitu:32

1. Dapat meninsafi makna yang senyatanya dari perbuatannya.

2. Dapat menginsafi bahwa perbuatannya tidak dapat di pandang

patut dalam pergaulan masyarakat.

3. Mampu menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan

(24)

Pada umumnya seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab dapat dilihat dari beberapa hal yaitu:

a. Keadaan J iwanya

1. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara.

2. Tidak cacat dalam pertumbuhan (Gage, Idiot, gila dan sebagainya)

3. Tidak terganggu karena terkejut (Hipnotisme, amarah yang meluap

dan sebagainya).

b. Kemampuan J iwanya :

1. Dapat menginsyafi hakekat dari perbuatannya.

2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah

dilaksanakan atau tidak.

3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.33

1.11 Metode Penelitian

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi

ini adalah sebagai berikut:

1.11.1 Pendekatan Masalah

Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam

penulisan ini adalah pendekatan yuridis-normatif yaitu pendekatan

dari sudut pandang ketentuan hukum atau perundang- undangan yang

berlaku.

1.11.2 Sumber Bahan Hukum dan/atau Data

Data yang digunakan adalah data sekunder yaitu data yang

bersumber dari perundang-undangan atau dari bahan hukum, baik

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier

dan dengan alat pengumpul data berupa studi dokumen.

33

(25)

Data sekunder terdiri dari :

a. Bahan hukum primer merupakan bahan yang berupa peraturan

perundang-undangan, dalam penulisan ini bahan hukum

primer yang digunakan adalah:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

3. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

4. Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak

5. Undang-Undang HAM No. 39 Tahun 1999

6. Undang-Undang Peradilan Anak No. 3 Tahun 1997

7. Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan

anak

8. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

b. Bahan hukum sekunder, antara lain berupa tulisan-tulisan

dari para pakar dengan permasalahan yang diteliti ataupun

yang berkaitan dengan bahan hukum primer meliputi

literatur-literatur yang berupa buku, jurnal, makalah dan

hasil penelitian.

c. Bahan hukum tersier, anatara lain berupa bahan-bahan

yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan

sekunder, seperti kamus hukum, kamus bahasa, artikel

(26)

1.12 Pengumpulan Data

Bahan-bahan hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan yaitu

pengumpulan data dengan data primer dan data sekunder, data primer

merupakan data yang diperoleh langsung dari objek yang diteliti, ini

berlainan dengan data sekunder, yakni data yang sudah dalam bentuk

jadi, seperti data dalam dokumen dan publikasi.34

1.13 Teknik Analisis Data

Proses analisis data itu sebenarnya merupakan pekerjaan untuk

menemukan tema – tema dan merumuskan hipotesa – hipotesa, meskipun

tidak ada formula yang pasti untuk dapat digunakan untuk merumuskan

hipotesa, hanya saja pada analisis data tema dan hipotesa lebih diperkaya

dan diperdalam dengan cara menggabungkannya dengan sumber –

sumber yang ada35, Penulis dalam analisa data menggunakan analisis

kualitatif atau data yang dikumpulkan bersifat deskriptif dalam bentuk

kata – kata atau gambar, data tersebut diperoleh dari hasil wawancara,

catatan pengamatan lapangan, potret, tape video, dokumen perorangan,

memorandum dan dokumen resmi, sehingga dapat dilakukan untuk

responden yang jumlahnya sedikit, karena itu analisis kualitatif tidak

menggunakan alat bantu statistika.36

34

Rianto Adi, Metodologi Penelitian Social dan Hukum, Granit, Jakarta, 2010, h. 57

35

Burhan Ashshofa, M etode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, h. 66

36

(27)

1.14 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terbagi dalam beberapa bab yang

tersusun secara sistematis. Adapun Sistematika Penulisannya adalah

sebagai berikut:

Bab I, Pendahuluan: Di dalamnya menguraikan tentang latar belakang

masalah, kemudian berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka

dirumuskan permasalahan. Selanjutnya disajikan tujuan dan manfaat

penelitian sebagai harapan yang ingin dicapai melalui penelitian ini. Pada

bagian Kajian Pustaka yang merupakan landasan dari penulisan skripsi,

kemudian diuraikan beberapa konsep definisi yang berkaitan dengan

judul penelitian. Selanjutnya diuraikan tentang metode penelitian yang

merupakan salah satu syarat dalam setiap penelitian. Intinya

mengemukakan tentang tipe penelitian dan pendekatan masalah, sumber

bahan hukum, langkah penelitian, dan bab ini diakhiri dengan sistematika

penulisan.

Bab II, Mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pelaku tindak pidana

perkosaan anak di bawah umur, dalam bab dua ini sub bab yang pertama

mengenai tentang faktor internal terjadinya perkosaan terhadap anak di

bawah umur, sub bab yang ke dua mengenai faktor eksternal, dan sub

bab yang ke tiga analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pelaku tindak

pidana perkosaan anak di bawah umur.

Bab III,Bentuk pertanggung jawaban tindak pidana perkosaan anak di

(28)

perkosaan anak di bawah umur, sub bab yang ke dua bentuk pertanggung

jawaban pidana berdasarkan putusan pengadilan negeri, sub bab yang ke

tiga analisis pertanggung jawaban pidana pelaku tindak pidana perkosaan

anak di bawah umur (studi kasus No. 3176/Pid.B/PN.Sby putusan

pengadilan negeri Surabaya)

Bab IV, merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan atas

pembahasan pada bab dua dan bab tiga serta berisi saran–saran atas

permasalahan yang dikaitkan dalam penulisan skripsi ini .

1.15 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat atau daerah yang dipilih sebagai

tempat pengumpulan data di lapangan untuk menemukan jawaban atas

masalah. Lokasi yang dipilih sebagai penelitian adalah Pengadilan Negeri

(29)

PIDANA PERKOSAAN ANAK DI BAWAH UMUR

2.1 Faktor Internal yang mempengaruhi pelaku tindak pidana perkosaan anak

di bawah umur

Faktor Internal adalah faktor yang mempengaruhi seseorang untuk

melakukan perbuatan tindak pidana perkosaan yang berasal dari di orang

tersebut atau yang berasal dari dalam orang tersebut, Dari faktor internal

ini akan dijelaskan beberapa macam faktor-faktor internal adalah:

a) Faktor keluarga

Salah satunya adalah faktor keluarga dimana keluarga merupakan

lingkungan sosial yang terdekat untuk membesarkan, mendewasakan dan

di dalamnya seseorang tersebut mendapatkan suatu pendidikan yang

pertama kali diajarkan oleh keluarga. Keluarga merupakan kelompok

masyarakat terkecil akan tetapi merupakan lingkungan yang paling kuat

dalam membentuk seseorang tersebut menjadi orang yang baik dengan

cara memberikan pendidikan dan pengarahan. Oleh karena itu, keluarga

memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan seseorang

tersebut. Keluarga yang baik akan berpengaruh positif bagi

perkembangan seseorang misalnya bisa memberikan pendidikan atau

pengajaran dan pengarahan terhadap seseorang tersebut ataupun bisa

juga dengan memberikan kasih sayang ini akan memberikan pengaruh

(30)

jelek akan berpengaruh negatif seperti halnya akan mudah melakukan

suatu kejahatan atau tindak pidana yang bisa merugikan orang lain.

b) Niat

seseorang di dalam melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana harus

adanya suatu niat terhadap pelaku, niat untuk melakukan suatu tindak

pidana perkosaan sering kali muncul apabila ada suatu rangsangan dari

pihak korban atau lawan jeninya yang mana pada saat ini banyak orang

perempuan sudah tidak lagi mengidakan dalam hal berpakaian tidak

menutup aurot atau berpaian yang feminim dalam hal tersebut bisa

menimbulkan seseorang mempunyai pemikiran atau niat jahat terhadap

lawan jeninya.

c) Religius

Faktor religius ini banyak seseorang sudah lagi mengindahkan

norma-norma keagamaan yang mana norma-norma-norma-norma tersebut sudah terkikis

dikalangan masyarakat atau pola relasi horizontal yang cenderung makin

meniadakan peran agama adalah sangat potensial untuk mendorong

seseorang berbuat jahat dan merugikan orang lain.

d) Ketidak mampuan pelaku mengontrol emosi dan nafsu seksual

terdakwa. Seorang terdakwa haruslah bisa mengendalikan dirinya atau

mengontrol emosi dan nafsu sesknya di dalam kasus tindak pidana

perkosaan sering kali seseorang tersebut tidak bisa mengendalikan

emosi dan nafsu seksual terdakwa mereka para pelaku membiarkan

(31)

untuk menumpahkan nafsu ysng membara tersebut kepada orang lain

tidak peduli pelampiasan nafsu tersebut melanggar hukum atau norma

kesusilaan dan norma agama yang hidup di dalam masyarakat sekitar

yang mana para pelaku hanya mementingkan kesenangan sesaat

tersebut.

Jadi di dalam faktor-faktor internal ini terjadi akibat dari lingkungan

keluarga terutama keluarga dimana orang tua bertanggung jawab untuk

memantau pergaulan anaknya tersebut, niat ini tidak akan bisa timbul

apabila lawan jenis kita tidak menimbulkan rangsangan kepada pelaku,

religius dengan mengikisnya norma-norma keagamaan dikalangan

masyarakat maka seseorang tersebut akan mudah melakukan suatu

kejahatan atau tindak pidana.

2.2 Faktor Eksternal yang mempengaruhi pelaku tindak pidana perkosaan

anak di bawah umur

Faktor Eksternal adalah faktor yang mempengaruhi seseorang untuk

melakukan suatu tindak pidana perkosaan yang berasal dari luar diri

orang tersebut atau lingkungan sekitar, Dalam faktor eksternal dapat

diberikan gambaran dan penjelasan mengenai faktor eksternal yaitu:

a) Faktor pendidikan dan sekolah

Sekolah adalah sebagai media atau perantara bagi pembinaan jiwa

bagi setiap siswanya atau dengan kata lain sekolah ikut

bertanggung jawab atas pendidikan siswa-siswanya atau anak

(32)

laku. Banyaknya atau bertambahnya kasus yang dilakukan oleh

manusia atau orang secara tidak langsung menunjukkan kurang

berhasilnya sistem pendidikan di sekolah-sekolah. Dalam konteks

ini sekolah merupakan ajang pendidikan yang kedua setelah

lingkungan dalam keluarga bagi orang, selama mereka menempuh

pendidikan di sekolah terjadi interaksi antara siswa dengan siswa

lainnya juga interaksi siswa dengan guru interaksi yang mereka

lakukan di sekolah sering menimbulkan akibat negataif bagi

perkembangan mental siswa hal ini disebabkan karena

orang-orang yang memasuki sekolah tidak semuanya berwatak atau

berkelakuan baik seperti halnya seseorang siswa yag mengikuti

temanya untuk hal-hal yang negatif bagi siswa tersebut , disisi

lain orang-orang yang masuk sekolah ada yang berasal dari

keluarga yang kurang memeperhatikan kepentingan anak dalam

belajar dan bergaul yang kerap kali berpengaruh pada temanya

yang lain keadaan seperti ini menunjukkan bahwa sekolah

merupakan tempat pendidikan yang dasar bagi setiap orang yang

mencari ilmu dan dapat menjadi sumber terjadinya konflik

psikologis yang pada prinsipnya memudahkan seseorang menjadi

nakal atau melakukan tindak pidana. Jadi dalam lingkungan

sekolah sebaiknya para guru lebih meningkatkan pendidikan

berupa pengajaran seperti apabila siswa di dalam lingkungan

(33)

bisa merugikan orang lain maka guru tersebut berkewajiban untuk

memberikan teguran terhadap siswa tersebut supaya siswa

tersebut tidak mengulagi lagi perbuatannya baik di dalam

lingkungan sekolah dan di luar lingkungan sekolah. Siswa yang

ada di dalam proses belajar mengajar memerlukan suatu

pengajaran baik pengajaran tersebut berada di dalam lingkungan

keluarga maupun dilingkungan sekolah mereka bahwa sekolah

sebagai lembaga pendidikan perlu memperhatikan hal-hal sebagai

berikut:

1. Sekolah harus merencanakan sesuatu program sekolah yang

sesuai atau memenuhi kebutuhan –kebutuhan dari semua siswa

didiknya untuk menghasilkan kemajuan dan perkembangan

jiwa yang sehat.

2. Sekolah harus memperhatikan siswa-siswa yang

memperlihatkan tanda-tanda yang tidak baik (tanda-tanda

kenakalan) dan kemudian mengambil langkah-langkah refresif

seperlunya untuk mencegah dan memperbaikinya.

3. Sekolah harus bekerja sama dengan orang tua walimurid dan

pemimpin-pemimpin yang lainya untuk membantu

menyingkirkan atau menghindarkan setiap faktor di

(34)

Dengan demikian proses pendidikan yang kurang mengguntungkan

bagi perkembangan jiwa siswa atau orang yang sedang melakukan proses

belajar sering kali mendapatka pengaruh dari luar yag mana pengaruh

tersebut bisa membiat siswa atau orang tersebut melakukan suatu tindak

pidana yang merugikan orang lain.

b)Faktor pergaulan

Yang kedua adalah tentang faktor pergaulan yang mana setiap orang di

dalam kehidupan sehari-harinya harus disadari bahwa betapa besar

pengaruh yang dimainkan oleh lingkungan pergaulan terutama sekali

disebabkan oleh konteks kulturnya. Dalam situasi sosial yang menjadi

semakin longgar, kemudian menegakkan dirinya yang dianggap sebagai

tersisih dan terancam mereka lalu memasuki satu unit keluarga baru

dengan berbagai pengaruh atau hal-hal yang baru yang tidak ada pada

lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah yang mana pengaruhnya

sangat jelek sifatnya yang berdampak langsung pada sifat-sifat dan

perkembangan kelakuan. Dengan demikian setiap orang akan bisa

menjadi berubah dengan menunjukkan sifat yang tidak pada biasanya baik

dalam kelakuan pada diri orang tersebut ini banyak dipengaruhi oleh

berbagai hal dan tekanan pergaulan yang semuanya memberikan pengaruh

yang menekan dan memaksa pada pembentukan perilaku buruk sebagai

contoh seseorang yang mana banyak melanggar peraturan norma-norma

sosial dan hukum, seseorang tersebut bisa menjadi jahat sebagai akibat

(35)

yang menekan dan memaksa sifatnya. Dalam hal ini peranan orang tua

untuk meyadarkan dan menggembalikan kepercayaan seseorang tersebut

serta harga dirinya sangat diperlukan dengan cara atau perlu dilakuakn

mendidik orang tersebut agar bersikap formal dan tegas supaya mereka

terhindar dari pengaruh-pengaruh yang datang datang dari lingkungan

pergaulan yang kurang baik memang pengaruh linkungan pergaulan diluar

sangatlah berbahaya karena secara tidak langsung pengaruh pergaulan ini

bisa merubah drastis pada perkembangan kejiwaan atau karakter orang

tersebut.

c) Faktor pengaruh mass media

Pengaruh pada mass media tidak kalah besarnya terhadap

perkembangan seseorang keinginan atau kehendak yang tertanam

pada diri orang untuk berbuat jahat kadang-kadang timbul karena

pengaruh bacaan, gambar-gambar dari film yang dilihat oleh orang

tersebut. Bagi orang-orang anak-anak yang mengisi waktu

senggangya dengan bacaaan-bacaan atau melihat media electronik

yang buruk atau yang bisa menimblkan hal-hal yang negatif maka hal

tersebut akan berbahaya dan dapat menghalang-halangi mereka untuk

berbuat hal-hal yang baik, demikian pula tontonan yang berupa

gambar-gambar porno akan memberikan rangsangan seks terhadap

orang yang melihat film tersebut yang mana rangsangan seks tersebut

akan berpengaruh negative terhadap perkembangan jiwa seseorang

(36)

atau terbayang ingin melakukan hal tersebut yang mana perbuatan

tersebut dilarang oleh hukum dan dapat di ancam hukuman penjara

karena perbuatan tersebut telah melanggar norma-norma hukum yang

ada atau telah melakukan suatu perbuatan tindak pidana contohnya

pada kasus yang terdapat pada putusan no.3i76/Pid.B/2010/PN.Sby.

dengan terdakwa Bayu Choirul Gunawan dengan melakukan

perbuatan tindak pidana perkosaan terhadap Estu Naharsari Dwi

Kurniawati.

d) Putusan hakim

Putusan hakim ini bisa mempengaruhi perbuatan seseorang yang mana di

dalam putusan hakim yang terjadi di dalam suatu tindak pidana perkosaan

tersebut tidak memenuhi rasa keadilan bagi korban perkosaan dengan

putusan yang ringan yang diberikan kepada pelaku maka anggota

masyarakat tidak takut lagi untuk berbuat jahat atau keji terhadap orang

lain atau hukuman yang akan diterimanya atas perbuatannya tersebut.

e) Tingkat kontrol masyarakat yang rendah

Tingkat control masyarakat yang rendah ini bisa menjadi salah satu faktor

untuk seseorang melakukan perbuatan yang jahat atau keji terhadap orang

lain, berbagai perilaku yang menyimpang, dan melanggar noram-norma

hukum, norma-norma agama dan norma-norma kesusilaan yang kurang

(37)

f) Keinginan pelaku untuk balas dendam

Sering kali seseorang melakukan kejahatan terhadap orang lian atau tindak

pidana didasari oleh sikap balas dendam pelaku terhadap korban yang

mana ada perbuatan atau ucapan korban yang menyakiti atau merugikan

pelaku sehingga pelaku tidak segan-segan melakukan perbuatan keji

terhadap korban sehingga rasa balas dendam yang tersebut terpenuhi.37

2.3 Analisis faktor -faktor yang mempengar uhi pelaku tindak pidana

per kosaan

Dari faktor-faktor yang ada di atas maka ada beberapa faktor yang

sangat mendominasi terjadinya suatu perbuatan tindak pidana

perkosaan yaitu niat dari pelaku arti dari niat itu sendiri adalah rencana

untuk mengadakan perbuatan tertentu dalam keadaan tertentu pula di

dalam pikiran. Dari definisi di atas telah jelas adanya suatu rencana dari

pelaku yang mana mempunyai niat untuk melakukan perbuatan

perkosaan dikarenakan ada suatu rangsangan dari lawan jenisnya yang

mana banyak sekali pada era modern ini kaum perempuan sudah tidak

lagi menghargai etika berpakaian yang menutup aurot sehingga bisa

menimbulkan suatu reaksi bagi siapa saja yang melihatnya atau

mempunyai niatan untuk melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana

terhadap kaum perempuan tersebut. Yang kedua yaitu dari segi

pergaulan dalam hal pergaulan ini sangatlah besar dampaknya untuk

seseorang melakukan suatu perbuatan pidana atau tindak pidana

37

(38)

perkosaan pada zaman sekarang ini pergaulan sangatlah bebas yang

mana tidak ada batasan-batasan antara laki-laki dan perempuan yang

seharusnya boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan yang

melanggar norma-norma yang ada dan kaedah akhlak yang tumbuh di

masyarakat dengan adanya model pergaulan yang sangat bebas ini bisa

merusak moral manusia sehingga banyak terjadinya kasus tindak

pidana pekosaan, yang ketiga yaitu faktor media massa dalam hal ini

media massa sangatlah berperan dalam terjadinya kasus perkosaan oleh

karena media massa saat ini sangat bebas dalam hal penayangan suatu

film yang ada banyak-banyak film yang ada lolos dari lembaga sensor

perfilman Indonesia apabila seseorang mengisi waktu luangnya dengan

melihat film atau gambar-bambar yang berbau porno maka seseorang

tersebut akan terpintas untuk atau mempunyai kinginan untuk

melakukan hal yang sama seperti yang dilihatnya. Hal ini sesuai dengan

pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Anak yang berbunyi

bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,

serangkaian kebohongan, atau membujuk rayu anak melakukan

persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dalam pasal ini

seseorang atau pelaku mempunyai niatan untuk melakukan tindak

pidana perkosaan yang mana pelaku tau apabila perbuatannya tersebut

melanggar hukum dan norma-norma agama dan kesusilaan yang ada

dalam masyarakat di dalam kasus ini pelaku melakukan tindak pidana

(39)

membuktikan cinta kepada pacarnya atau pasangannya harus dibuktikan

dengan adanya suatu hubungan suami istri yang mana hubungan

tersebut patut dilakukan oleh seseorang yang telah menikah dalam hal

ini juga adanya suatu peran media mssa yang sangat bebas tersebut baik

media electronik atau media cetak yang ada yang tidak mendidik

sehingga bisa dibuat contoh bagi pelaku tindak pidana perkosaan.

Apabila dikaitkan dengan kasus yang ada yakni kasus tindak

pidana perkosaan di bawah umur terdakwa melakukan perbuatan

perkosaan yaitu didorong oleh niat terdakwa karena pada waktu itu

rumah korban dalam keadaan sepi sehingga terdakwa mempunyai

niatan untuk melakukan perbuatan tindak pidana perkosaan terdakwa

melakukan perbuatannya tersebut dengan merayu korban untuk

membuktikan cintanya dengan melakukan perbuatan hubungan suami

istri dan mau bertanggung jawab sehingga korban mau melakukan

hubungan suami istri tersebut, dan disebabkan pula adanya pergaulan

bebas oleh terdakwa dan korban. Maka terjadilah perbuatan

sebagaimana di dalam kasus tindak pidana perkosaan dengan No.

3176/Pid. B/2010/PN. Sby terdakwa yang bernama Bayu melakukan

suatu perbuatan tindak pidana perkosaan terhadap anak di bawah umur

dengan merayu korban yang bernama Estu Naharsari Dwi Kurniawati

dan mau bertanggung jawab dan Estu Naharsari mau melakukan

(40)

ANAK DI BAWAH

3.1 Gambaran singkat kasus

Terdakwa yang bernama Bayu Choirul Anam kenal dengan saksi

korban yang bernama Estu Naharsari Dwi Kurniawati yang mana saksi

korban masih berumur 15 tahun melalui situs jejaring sosial facebook di

internet kemudian terdakwa bertukar nomor hand phon dengan saksi korban

setelah bertukaran nomor hand phon tedakwa SMSan dengan saksi korban

dan mengajak saksi korban berpacaran dengan terdakwa, kemudian di

lanjutkan dengan terdakwa bertamu ke rumah saksi korban pada saat itu

rumah saksi korban dalam keadaan sepi oleh karena ke dua orang tua korban

sedang dalam bepergian keluar kota untuk bersilaturrahmi, dalam keadaan

sepi ke duanya ngobrol di ruang tamu rumah korban di dalam percakapannya

terdakwa merayu korban untuk membuktikan cintanya terhadap terdakwa

dengan cara menuruti kemauan terdakwa untuk di ajak bersetubuh layaknya

suami-istri jika benar-benar korban mencintai terdakwa, pada saat korban dan

terdakwa berada di ruang tamu terdakwa menciumi wajah dan bibir korban

seraya atau sambil terdakwa meraba-raba dan meremas-remas payudara

korban kemudian menciumi puting korban karena merasa tidak puas terdakwa

mengajak atau memintak korban untuk menuju ke kamar dan bercumbu di

dalam kamar korban namum korban menolak ajakan terdakwa selanjutnya

(41)

menyuruh korban berbaring di lantai yang beralaskan karpet warna biru

setelah menyuruh korban berbaring di lantai kemudian terdakwa melepas

celana pendek dan celana dalam yang di gunakan oleh korban pada saat itu

kemudian terdakwa melepas pakaian dan BH yang dipakai oleh korban

namun tidak sampai lepas selanjutnya terdakwa menciumi bibir, payudara,

dan kemaluan korban namun korban menolak akan tetapi terdakwa tetap

memaksa untuk memasukkan alat kelamin terdakwa ke dalam vagina korban

setelah alat kelamin terdakwa masuk ke dalam vagina korban dengan gerakan

naik turu hingga terdakwa mengeluarkan sperma ke luar vagina korban,

setelah terdakwa mengeluarkan sperma ke luar vagina korban terdakwa

melakukannya lagi terhadap korban namun dalam hal ini terdakwa tidak

sampai mengeluarkan sperma setelah selesai melakukannya terdakwa

merapikan pakaian kembali dan turun ke lantai bawah dan kemudian

terdakwa pulang.

Terdakwa dalam membujuk dan merayu korban dengan bicara

yang halus dan meyakinkan kepada korban bahwa terdakwa akan

bertanggung jawab terhadap korban atas kejadian yang menimpa korban,

kemudian korban menceritakan kejadian yang menimpanya yang dipaksa

melakukan hubungan suami istri oleh terdakwa kepada orang tua korban

setelah mendengar cerita tersebut orang tua korban langsung melaporkan

(42)

3.2 Bentuk per tanggung jawaban pidana ber dasarkan pengadilan neger i

Tujuan dari hukum pidana adalah untuk memenuhi rasa keadilan,

mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka

melakukan kejahatan, agar menjadi orang yang baik tabiatnya sehingga dapat

bermanfaat bagi masyarakat dan juga dengan adanya hukum pidana yang

bersifat represif diharapkan pelaku tindak pidana tidak mengulagi

perbuatannya dan apabila kembali ke masyarakat dapat diterima seperti

dahulu sebelum terdakwa di penjara.

Bahwa Undang-Undang hanya memuat ketentuan mengenai hal-hal

yang umum, dan hakimlah yang berkewajiban untuk menafsirkan dan

menerapkannya dalam suatu peristiwa konkret. Peraturan perundang

undangan harus diciptakan secara tegas sehingga dapat mengurangi segala

masalah dan tidak setiap kali harus mengadakan perubahan dan penyesuaian

dengan perkembangan teknologi dan tuntutan kemajuan kebutuhan hukum

masyarakat.

Pada KUHP dan Undang-Undang Perlindungan Anak diatur tentang

larangan untuk berbuat perkosaan terhadap anak di bawah umur. Yang mana

Larangan larangan tersebut terdapat di dalam pasal-pasal antara lain:

Dalam pasal 81 ayat (1) disebutkan bahwa:

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman

kekerasan, memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan

orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun

(43)

300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah ) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00

(enam pulih juta rupiah). Sedangkan dalam pasal 81 ayat 2 menyebutkan

bahwa :

Ketentuan pidana sebagaimna yang dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula

bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian

kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan persetuhan dengannya

atau dengan orang lain.

Perkosaan menurut KUHP pasal 285 yang berbunyi :

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa

seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena

melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Di sini akan menjelaskan unsur-unsur delik perkosaan menurut pasal 85

KUHP yang berbunyi :

Bar ang siapa

Sebagian pakar berpendapat bahwa “barang siapa” bukan merupakan unsur,

hanya memperlihatkan si pelaku (dader/doer) adalah manusia. Sebagian pakar

lagi berpendapat bahwa” barang siapa” tersebut adalah manusia. Tetapi perlu

diuraikan manusia siapa dan berapa orang. Jadi identitas” barang siapa”

tersebut harus jelas.

Dengan keker asan atau ancaman keker asan

Menurut Mr. M.H Tirtamidjaja, dengan kekerasan dimaksudkan, setiap

(44)

Pasal 289 KUHP memperluas pengertian “kekerasan” sehingga

memingsankan atau melemahkan orang, disamakan dengan melakukan

kekerasan.

“Kekerasan atau ancaman kekerasan” tersebut ditujukan terhadap wanita itu

sendiri dan bersifat sedemikian rupa sehingga berbuat lain tidak

memungkinkan baginya selain membiarkan dirinya untuk disetubuhi.

Memaksa

“Memaksa” berarti diluar kehendak wanita tersebut atau bertentangan dengan

kehendak wanita.

Prof. Satochid Kartanegara, S.H. menyatakan antara lian:

“Perbuatan memaksa ini haruslah ditafsirkan sebagai suatu perbuatan

sedemkian rupa sehingga menimbulkan rasa takut orang lain.

Seor ang wanita ber setubuh dengan dia

Kalau bukan wanita (dalam hal homoseks) maka tidak dapat diterapkan pasal

285 KUHP.

Pengertian “bersetubuh” menurut Mr. M.H. Tirtaamidjaja, S.H. berarti

persentuhan sebelah dalam dari kemaluan si laki-laki dan perempuan. Yang

pada umumnya dapat menimbulkan kehamilan. Tidak perlu bahwa telah

terjadi pengeluaran mani dalam kemaluan si perempuan.

Pengertian “bersetubuh” pada saat ini diartikan bahwa penis telah penetrasi

(masuk) ke dalam vagina.

Di luar per kawinan

(45)

Pasal 287 ayat (1) KUHP yang berbunyi :

Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawanin,

padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, umurnya belum lima belas

tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin,

diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Maksud dari pada ayat tersebut adalah bilamana yang menjadi

korban dari pekosaan tersebut masih belum berusia 15 tahun atau belum

masanya untuk kawin dan perempuan tersebut bukanlah istrinya.

Ayat (2) : penuntutan hanya dapat dilakukan kalau ada pengaduan,

kecuali kalau umur permpuan itu belum sampai 12 tahun atau jika ada salah

satu hal yang tersebut dalam pasal 291 dan 294.

Penjelasan dari pasal diatas adalah terkait dengan adanya ketentuan

yang telah disebutka dalam ayat sebelumnya. Sesuai dengan ketentuan yang

terdapat dalam ayat tersebut, sebenarnya pasal 287 Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana tersebut merupakan delik aduan, kecuali bilamana korbannya

belum mencapai umur 12 tahun atau adanya keterkaitan dengan pasal 291 dan

294 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Hakim dalam menjatuhkan suatu putusan ada beberapa

Pertimbangan-pertimbanagan Hukum yang dimuat atau dijatuhkan di dalam

putusannya dalam hal ini seperti putusan hakim No. 3176/Pid. B/2010/PN.Sby di

antaranya adalah :

1) Melihat dari barang bukti dan saksi yang di ajukan di dalam

(46)

1. Saksi Adi Lumaksono, saksi Adi Lumaksono adalah orang tua

korban pada saat kejadian tindak pidana perkosaan yang berada

dirumahnya saksi tidak berada dirumah melainkan berada diluar

kota untuk melakukan silaturrahim dengan kerabatnya setelah

kejadian tindak pidana perkosaan itu korban bercerita kepada saksi

bahwa korban telah diperkosa oleh terdakwa mendengar cerita

tersebut saksi langsung melaporkan terdakwa kepada pihak yang

berwajib untuk diproses secara hukum.

2. Saksi Sri Sumaryanti Listiyani, saksi Sri Sumaryanti Listiyani

adalah ibu korban yang pada saat kejadian tindak pidana perkosaan

berada di luar kota bersama suaminya untuk melakukan

silaturrahmi kepada kerabatnya saksi mengetahui kejadian tersebut

dari cerita anaknya yang menjadi korban perkosaan oleh terdakwa.

3. Saksi Astu Naharsari Dwi Kurniawati, saksi Astu Naharsari Dwi

Kurniawati adalah pacar dari terdakwa pada saat kejadian terdakwa

bermain kerumah korban melihat rumah korban sepi terdakwa

muncul niatan untuk melakukan persetubuhan dengan korban

niatan terdakwa dilakukan dengan cara merayu korban dengan

alasan terdakwa ingin tau bahwa korban benar mencintai terdakwa

apa tidak untuk dengan bukti mau melakukan persetubuhan dan

terdakwa berjanji kepada korban bahwa terdakwa mau bertanggung

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Jika nilai piksel pada citra lebih besar dari nilai threshold yang ditentukan maka nilai piksel tersebut akan diubah menjadi warna putih dan diinisialkan dengan

Sesuai dengan pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2005, maka pada tanggal 5 Mei dilakukan pengundian nomor urut pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Indonesia adalah salah satu negara yang trend dengan toko online atau online.. shop , hal ini dapat dilihat mulai bermunculan banyaknya toko online atau

Kartini adalah satu-satunya perempuan pribumi yang ada disana, teman perempuan Kartini hanya anak-anak menir Belanda, jadi tak heran bahwa kartini

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkah, rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan Laporan Akhir ini dengan baik

Harapan Peserta Didik Tentang Materi Prakarya Pada Aspek Kerajinan di Smpn 3 Lembang. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Quality Works sudah memiliki dokumen API-P yang sah dan dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, dimana data informasi yang ada di dalamnya sudah sesuai dengan