( Studi Kasus Putusan No. 3176/Pid.B/2010/PN.Sby. )
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi per syar atan memper oleh Gelar Sar jana Hukum pada Fakultas Huk um UPN “Veter a n” J awa Timur
Oleh:
SYAIFUL ROCHMAN NPM. 0871010080
YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL" VETERAN" J AWATIMUR
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM SURABAYA
( Studi Kasus Putusan No. 3176/Pid.B/2010/PN.Sby. )
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi per syar atan memper oleh Gelar Sar jana Hukum pada Fakultas Huk um UPN “Veter a n” J awa Timur
Oleh:
SYAIFUL ROCHMAN NPM. 0871010080
YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL" VETERAN" J AWATIMUR
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM SURABAYA
Nama Mahasiswa : Syaiful Rochman NPM : 0871010080
Date and Place of Birth : Surabaya, July 28, 1988
Program Study : Strata 1 (S1)
Thesis Title :
ACTORS OF LIABILITY FOR CHILD RAPE CRIME UNDER (Ca se Study of Decision Number . 3176/Pid.B/2010/PN.Sby)
ABSTRACT
This study aims to determine accountability, factors, and the application of criminal sanctions for rape of a minor anask. This penetitian juridical-normative method. Data obtained from literature sources, literature and scientific writing legislation and regulations. Analysis of qualitative data using the data obtained from interviews, field observations. The results of this study can be concluded that p erkembangan a fast growing technology and communication tools are very sophisticated, there is also a change of values prevailing in masyarak a t, a change of values can be positive and the negative wage, criminal child rape under age in which many factors that affect the criminal rape among other internak factors and external factors of the two factors are more dominant for committing the crime of rape is that there are internal factors in that person and the influence of mass media are increasingly free, and accountability that is received by the perpetrator of rape against minors are sentenced to prison for criminals that have been aged 21 years Statutory child protection is deemed to mature and able to take responsibility for all acts of the perpetrators of the crime of rape .
NamaMahasiswa : Syaiful Rochman
NPM : 0871010080
Tempat Tanggal Lahir : Surabaya, 28 Juli 1988
Program Studi : Strata 1 (S1)
Judul Skripsi :
PERTANGGUNGJ AWABAN PELAKU TINDAK PIDANA PERKOSAAN TERHADAP ANAK DI BAWAH
(Studi Kasus Putusan Nomor . 3176/Pid.B/2010/PN.Sby)
ABSTRAKSI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertanggung jawaban, faktor-faktor, dan penerapan sanksi bagi pelaku tindak pidana perkosaan terhadap anask di bawah umur. Penetitian ini menggunakan metode yuridis-normatif. Sumber data diperoleh dari literature-literatur karya tulis ilmiah dan perundang-undangan yang berlaku. Analisis data menggunakan kualitatif yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara, pengamatan lapangan. Hasil penelitian ini dapat di simpulkan bahwa perkembangan suatu teknologi yang semakin cepat dan alat komunikasi yang sangat canggih maka terdapat pula perubahan tata nilai yang berlaku di masyarakat, perubahan tata nilai tersebut bisa berupah positif dan negatif, pelaku tindak pidana perkosaan anak di bawah umur yaitu banyak faktor-faktor yang mempengaruhi pelaku tindak pidana perkosaan antara lain faktor internak dan faktor eksternal dari kedua faktor tersebut yang lebih dominan untuk melakukan perbuatan tindak pidana perkosaan yaitu faktor internal yang terdapat pada diri orang tersebut dan pengaruh media massa yang semakin bebas, dan pertanggung jawaban yang di terima oleh pelaku tindak pidana perkosaan terhadap anak di bawah umur yaitu hukuman penjara karena pelaku tindak pidana telah berusia 21 tahun sehingga menurut Undang-Undang perlindungan anak sudah dinggap dewasa dan mampu untuk bertanggung jawab atas semua yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana perkosaan.
Kata kunci : Perkosaan Anak Di Bawah Umur, Pertanggung Jawaban Pelaku, tindak pidana perkosaan
1.1.Latar Belakang Per masalahan
Perkembangan teknologi yang semakin cepat, dan alat komunikasi yang
sangat canggih, maka terdapat pula perubahan tata nilai yang berlaku di
masyarakat. Perubahan tata nilai tersebut dapat bersifat positif dan negatif.
Perubahan tata nilai yang bersifat positif dapat mengakibatkan kehidupan
yang harmonis dan sejahtera, sedangkan perubahan tata nilai yang bersifat
negatif dapat menjurus runtuhnya nilai-nilai budaya. Kejahatan yang
berkembang tidak hanya mengenai harta kekayaan tetapi juga nyawa dan
kesusilaan. Diantara kejahatan yang terjadi dan harus mendapat perhatian
serius adalah kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan
dapat berupa : kekerasan fisik, psikis, maupun seksual misalnya
penganiayaan, perbuatan cabul, perkosaan dan lain-lain. Perbuatan perkosaan
yang menimpa kaum perempuan akan mengalami penderitaan yang tidak
hanya fisik tetapi juga mengalami penderitaan psikis.
Tindak pidana perkosaan merupakan salah satu contoh dari beberapa
tindak kejahatan dimana pelakunya bisa orang dewasa maupun anak. Dalam
hal tindak pidana perkosaan tersebut yang menjadi korbannya bisa dari orang
dewasa maupun anak-anak.
Pengertian kejahatan menurut kamus hukum adalah perilaku yang
bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku telah
secara yuridis dalam kitab undang-undang hukum pidana tidak ada peraturan
tentang pengertian kejahatan , yang ada adalah perbuatan pidana yang
dimasukkan sebagai kejahatan yang diatur dalam buku ke dua KUHP dari
buku I sampai dengan terakhir.
Suatu tindak pidana perkosaan, berarti telah merampas nilai-nilai
kemanusian karena perkosaan berarti tidak mengakui bahwa setiap manusia
memiliki harkat dan martabat sehingga dengan alasan apapun orang lain tidak
berhak melakukan perampasan terhadap hak asasi manusia dengan cara
kekerasan. Dengan demikian ketentuan pengadilan hak asasi manusia
merupakan suatu bukti bahwa penanganan terhadap para korban perkosaan
merupakan perlindungan secara umum terhadap manusia yang mengalami
penderitaan fisik, dan psikologis luar biasa akibat kekerasan yang dialami.
Pertanggung jawaban terhadap pelaku tindak pidana perkosaan
terhadap anak dibawah umur sudah ada penindakan secara tegas oleh aparat
penegak hukum di indonesia, pembuktian adanya tindak pidana perkosaan
segera dapat diperoleh apabila segera setelah kejadian.
korban melapor pada aparat penegak hukum, kecepatan pelaporan sangat mempengaruhi keberhasilan penyidikan dan penuntutan pembuktian tidak begitu rumit dan sulit jika korban atau masyarakat melapor sebelum korban membersihkan diri atau badan karena dalam pembuktian ada yang namanya Visum et Repertum maupun hasil laboraturium seperti sidik jari, sperma, atau bukti kekerasan yang telah ada.1
1
Berita- berita media masa hampir disetiap terbitnya memuat
tentang berita-berita tentang perkosaan. Perkosaan yang terjadi mulai dari
perkosaan biasa dilakukan terhadap perempuan dewasa tetapi juga dilakukan
terhadap perempuan yang masih dibawah umur.
Apalagi korban perkosaan tersebut dialami oleh anak yang di bawah
umur yang notabenya masih labil maka dari itu perlu adanya perlindungan
terhadap korban perkosaan yang dialami oleh anak yang dibawah umur.
Terkait dengan adanya kejahatan yang telah diuraikan secara singakat diatas
dimana korban tindak pidana perkosaan adalah anak , maka tidaklah terlepas
dari adanya aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang No.
23 Tahun 2002 tentaang perlindungan anak. Dalam Undang-Undang No. 23
Tahun 2002 tentang perlindungan anak secara tegas telah diatur mengenai
perlindungan hukum bagi anak sebagai korban, yang mana dalam
Undang-Undang tersebut mengatur tentang persetubuhan yang dilakukan terhadap
anak. Dalam pasal 81 ayat (1) disebutkan bahwa:
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah ) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00
(enam pulih juta rupiah). Sedangkan dalam pasal 81 ayat (2) menyebutkan
Ketentuan pidana sebagaimna yang dimaksud dalam ayat (1) berlaku
pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain. Serta disebutkan pula di dalam KUHP
pasal 287 KUHP yang berbunyi:
1. Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum cukup umur 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun.
2. Penuntutan hanya dapat dilakukan kalau ada pengaduan, kecuali umurnya
perempuan itu belum sampai 12 tahun atau jika ada salah satu hal yang tersebut pada pasal 291 dan 292.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk mengangkat
permasalahan tersebut dengan judul “ PERTANGGUNG JAWABAN
PELAKU TINDAK PIDANA PEKOSAAN ANAK DI BAWAH UMUR
(STUDI KASUS PUTUSAN No. 3176/Pid.B/2010/PN.Sby)”.
1.2Rumusan Masalah :
Atas urain tersebut dalam latar belakang di atas, maka permasalahan
yang akan di bahas sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pelaku tindak pidana perkosaan
terhadap anak di bawah umur?
2. Bagaimana pertanggung jawaban pelaku tindak pidana perkosaan
terhadap anak di bawah umur menurut Undang-Undang Perlindungan
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Mengetahui pertanggung jawaban bagi pelaku tindak pidana perkosaan.
2. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pelaku tindak
pidana perkoosaan anak di bawah umur.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Praktis
a. Sebagai sumbangan pemikiran dalam ilmu pengetahuan hukum,
khususnya mengenai penanganan anak di bawah umur.
b. Sebagai masukan kepada lembaga-lembaga hukum terkait dengan
tindak pidan perkosaan terhadap anak dibawah umur kepada para
penegak hukum, serta kepada pemerintah agar dapat memberikan
keadilan bagi masa depan korba tindak pidana perkosaan.
1.4.2. Manfaat Teor itis
a. Bagi penulis, menambah perpendaharaan pengetahuan khususnya
dalam bidang pertanggung jawaban terhadap tindak pidana
perkosaan terhadap anak dibawah umur.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan
pengetahuan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum,
khususnya dalam rangka pembaharuan ketentuan hukum acara
pidana (KUHAP) di masa yang akan datang, serta memberikan
keadilan bagi para korban perkosaan yang usianya masih di
1.5 Kajian Pustaka
1.5.1 Penger tian hukum pidana
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang beserta sanksi pidana
yang dapat dijatuhkannya kepada pelaku.2
Hukum pidana ialah hukum yang mengatur tentang
pelanggaran-pelanggran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum,
perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu
penderitaan atau penyiksaan.3
Hukum pidana adalah peraturan-peraturan memuat atau
mengandung tentang larangan dan atau keharusan yang harus dipatuhi
oleh setiap anggota masyarakat, yang disertai dengan ancaman
hukumannya.4
1.5.2 J enis-jenis pidana
Jenis-jenis pidana menurut pasal 10 KUHP ialah sebagai berikut :
a. Pidana pokok meliputi
Bambang waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Cet III , Jakarta 2008, h 6.
3
C.S.T. Kansil dan Christine S.T Kansil, Latihan Ujian Hukum Pidana Sinar Grafika, Cet III, Jakarta, 2007, h 2.
4
Rien G. Kartasapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, Bina Aksara, Cet I, Jakarta 1988, h 47.
5
1.6 Penger tian anak
Pengertian Anak Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang berbunyi :
Anak di bawah umur adalah orang yang belum dewasa daan
diketahuinya atau patut dapat disangkanya, bahwa ia belum cukup umur
17 tahun.
Pengertian Anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(BW) yang berbuyi :
Seseoarang dikatakan masih dibawah umur apabila orang tersebut
belum mencapai usia 20 tahun, kecuali orang tersebut telah kawin.
Menurut Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 pasal 1 ayat (1)
tentang Perlindungan Anak yang berbunyi :
Anak di bawah umur adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan.
Menurut Undang-Undang HAM No. 39 Tahun 1999 pasal 1 yang
berbunyi :
Anak adalah setiap yang berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum
menikah, termasuk anak yang masih di dalam kandungan apabila hal
tersebut demi kepentingan.
Menurut Undang-Undang Peradilan Anak No. 3 Tahun 1997 pasal 1 ayat
Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai
umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun dan belum pernah kawin.
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang
kesejahteraan anak yang berbunyi :
Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh
satu) tahun dan belum pernah kawin.6
Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 47
ayat (1) yang berbunyi :
Anak adalah yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun
atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibwah kekuasaan
orang tua selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
Secara umum yang dimaksud dengan anak adalah keturunan atau
generasi sebagai suatu hasil dari hubungan kelamin atau persetubuhan
(sexual intercross) antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
baik dalam ikatan perkawinan maupun diluar perkawinan.7
1.7 Penger tian Perkosaan
Menurut kamus umum bahasa Indonesia 1976 susunan
Poerwadaminto bahwa perkosaan adalah :
6
Maidin Gultom, Perlidungan Hukum Terhadap Anak, Rafika Aditama, Bandung, 2010, h.31.
7
Menundukkan dengan kekerasan; menggagahi, memaksa dengan
kekerasan, misalnya memperkosa istri orang, memperkosa gadis yang
belum berumur.8
Perkosaan adalah perbuatan bersetubuh yang dilakukan laki-laki
terhadap perempuan dewasa, atau anak-anak dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan di luar pernikahan.9
Perkosaan menurut KUHP pasal 285 yang berbunyi :
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena
melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun.10
1.7.1 Unsur -unsur delik perkosaan
Bar ang siapa
Sebagian pakar berpendapat bahwa “barang siapa” bukan merupakan unsur, hanya memperlihatkan si pelaku (dader/doer) adalah manusia. Sebagian pakar lagi berpendapat bahwa” barang siapa” tersebut adalah manusia. Tetapi perlu diuraikan manusia siapa dan berapa orang. Jadi identitas” barang siapa” tersebut harus jelas.
Dengan keker asan atau ancaman k ek er asan
Menurut Mr. M.H Tirtamidjaja, dengan kekerasan dimaksudkan, setiap perbuatan yang dilakukan dengan kekuatan badan yang agak hebat.
Pasal 289 KUHP memperluas pengertian “kekerasan” sehingga memingsankan atau melemahkan orang, disamakan dengan melakukan kekerasan.
“Kekerasan atau ancaman kekerasan” tersebut ditujukan terhadap wanita itu sendiri dan bersifat sedemikian rupa sehingga berbuat lain tidak memungkinkan baginya selain membiarkan dirinya untuk disetubuhi.
8
Jur. Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delecten) Di Dalam KUHP, Sinar Grafika, Jakarta , 2009 h 19
9
Jur. Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, h. 118.
10
Memaksa
“Memaksa” berarti di luar kehendak wanita tersebut atau bertentangan dengan kehendak wanita.
Prof. Satochid Kartanegara, S.H. menyatakan antara lian:
“Perbuatan memaksa ini haruslah ditafsirkan sebagai suatu perbuatan sedemkian rupa sehingga menimbulkan rasa takut orang lain.
Seor ang wanita ber setubuh dengan dia
Kalau bukan wanita (dalam hal homoseks) maka tidak dapat diterapkan pasal 285 KUHP.
Pengertian “bersetubuh” menurut Mr. M.H. Tirtaamidjaja, S.H. berarti persentuhan sebelah dalam dari kemaluan si laki-laki dan perempuan. Yang pada umumnya dapat menimbulka kehamilan. Tidak perlu bahwa telah terjadi pengeluaran mani dalam kemaluan si perempuan.
Pengertian “bersetubuh” pada saat ini diartikan bahwa penis telah penetrasi (masuk) ke dalam vagina.
Di luar per kawinan
Di luar perkawinan berarti bukan istrinya.11
a. Pasal 286 KUHP yang berbunyi :
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar
perkawinan, pada hal diketahui bahwa wanita itu dalam
keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.
b. Pasal 287 ayat (1) KUHP yang berbunyi :
Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar
perkawanin, padahal diketahui atau sepatutnya harus di
duga, umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya
tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Sedangkan Pasal 287 ayat (2) menyebutkan bahwa :
11
Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika
umurnya wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada
salah satu hal tersebut pasal 291 dan pasal 292.
c. Pasal 288 ayat (1) KUHP yang berbunyi :
Barang siapa bersetubuh dengan wanita di dalam
perkawinan, yang diketahui atau sepatutnya harus di duga
bahwa sebelum mampu dikawin, diancam, apabila
perbuatan mengakibatkan luka-luka dengan pidana penjara
paling lama empat tahun. Sedangkan Pasal 288 ayat (2)
menyebutkan bahwa :
1. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat,
dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun.
Sedangkan Pasal 288 ayat (3) menyebutkan bahwa :
Jika mengakibatkan mati dijatuhkan pidana penjara
paling lama dua belas tahun.
Dalam pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak
disebutkan bahwa:
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan
atau ancaman kekerasan, memaksa anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam pulih juta rupiah).
Sedangkan dalam pasal 81 ayat (2) menyebutkan bahwa :
Ketentuan pidana sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja
melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau
membujuk anak untuk melakukan persetuhan dengannya atau
dengan orang lain.
Menurut Soetandyo Wingjosoebroto perkosaan adalah
suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang lelaki
terhadap seorang perempuan dengan cara yang menurut
moral dan atau hukum yang berlaku melanggar.12
Menurut R. Sugandhi, yang dimaksud dengan perkosaan adalah seorang pria yang memaksa pada seorang wanita bukan istrinya untuk melakukan persetubuhan dengannya dengan ancaman kekerasan, yang mana diharuskan kemaluan pria telah masuk ke dalam lubang kemaluan seorang wanita
yang kemudian mengeluarkan air mani.13
1.7.2 Macam-macam per kosaan
Terdapat beberapa jenis tindakan perkosaan yaitu :
1. Sadistic rape;
Perkosaan sadistis, artinya, pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan telah nampak menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban.
2. Angea Rape;
Yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan perasaan geram dan marah yang tertahan. Di sini tubuh korban seakan-akan merupakan
12
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan
Seksual, Refika Aditama, Cetakan II, Bandung, 2011, h .40.
13
objek terhadap siapa pelaku yang memproyeksikan pemecahan atas prustasi-prustasi, kelemahan, kesulitan, dan kekecewaan hidupnya.
3. Dononation rape;
Yakni suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku mecoba untuk gigih atas kekuasaan dan superioritasnya terhadap korban. Tujuannya adalah penaklukan seksual, pelaku menyakiti korban, namun tetap memiliki keinginan berhubungan seksual.
4. Seduktive rave;
Suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh kesenggamaan. Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa itu tak mempunyai rasa bersalah yang menyangkut seks.
5. Victim precipta rape;
Yakni perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya.
6. Exploitation rape;
Perkosaan yang menunjukan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi wanita yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial. Misalnya, istri yang diperkosa oleh suaminya atau pembantu rumah tangga yang di perkosa majikannya, sedangkan pembantunya tidak mempersoalkan (mengandukan) kasusnya ini kepada pihak yang berwajib.14
1.7.3 Kar akter istik umum tindak pidana per kosaan
Di bawah ini akan di jelaskan karakteristik umum tindak pidana perkosaan yaitu:
1. Agresivitas, merupakan sifat yang melekat pada setiap tindak
pidana perkosaan.
2. Motivasi kekerasan lebih menonjol dibandingkan dengan motivasi
seksual semata.
3. Secara psikologis, tindak pidana perkosaan lebih banyak
mengandung masalah kontrol dan kebencian dibandingkan dengan hawa nafsu.
4. Tindak pidana perkosaan dapat dibedakan kedalam tiga bentuk,
yaitu; anger rape, power repe, dan sadistis repe. Dan ini direduksi dari anger and violation, control and domination, erotis.
5. Ciri pelaku perkosaan: mispersepsi pelaku atas korban, mengalami
pengalaman buruk khususnya dalam hubungan personal (cinta)
14
Jatie K.Pudjibudoyo, J Bambang Soenaryo, Pornografi, Pemerkosaan Sebagai
Kejahatan Kesusilaan, Jurnal Yustika Media Hukum dan Keadilan, Volume 8, Nomer 2,
terasing dalam pergaulan sosial, rendah diri, ada ketidak seimbangan emosional.
6. Korban perkosaan adalah partisipatif. Menerut Meier dan Miethe, 4-19% tindak pidana perkosaan terjadi karena kelalaian (partisipasi) korban.
7. Tindak pidana perkosaan secara yuridis sulit dibuktikan.15
1.7.4 Faktor -faktor penyebab ter jadinya per kosaan
Di bawah ini akan menjelaskan faktor-faktor terjadinya tindak pidana perkosaan sebagai berikut:
1.Pengaruh perkembangan budaya yang semakin tidak menghargai
etika berpakaian yang menutup aurot, yang dapat merangsang pihak lain untuk berbuat tidak senonoh dan jahat.
2.Gaya hidup atau mode pergaulan di antara laki-laki dengan
perempuan yang semakin bebas, tidak atau kurang bisa lagi membedakan antara yang seharusnya boleh dikerjakan dengan yang dilarang dalam hubungannya dengan kaedah akhlak mengenai hubungan laki-laki dengan perempuan.
3.Rendahnya pengalaman dan penghayatan terhadap norma-norma
keagamaan yang terjadi di tengah masyarakat. Nilai-nilai keagamaan yang semakin terkikis di masyarakat atau pola relasi horizontal yang cenderung makin meniadakan peran agama adalah sangat potensial untuk mendorong seseorang berbuat jahat dan merugikan orang alin.
4.Tingkat control masyarakat (social control) yang rendah, artinya berbagai perilaku yang diduga sebagai penyimpangan, melanggar hukum dan norma keagamaan kurang mendapatkan responsi dan pengawasan dari unsur-unsur masyarakat.
5.Putusan hakim yang terasa tidak adil, seperti putusan yang cukup ringan yang dijatuhkan pada pelaku. Hal ini dimungkinkan dapat mendorong anggota-anggota masyarakat lainnya untuk berbuat keji dan jahat. Artinya mereka yang hendak berbuat jahat tidak merasa takut lagi dengan sanksi hukum yang akan diterimanya.
6.Ketidakmampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan nafsu
seksualnya. Nafsu seksualnya dibiarkan mengembara dan menuntutnya untuk dicarikan kopensasi pemuasnya.
7.Keinginan pelaku untuk melakukan (melampiaskan) balas dendam
terhadap sikap, ucapan (keputusan) dan perilaku korban yang
1.7.5 per kosaan itu dir umuskan melalui beber apa bentuk per ilaku Menurut Arief Gosita perkosaan itu dirumuskan melalui beberapa
bentuk perilaku yang di kata gorikan sebagai berikut:
1. Korban perkosaan harus seorang wanita, tanpa batas umur
(objek). Sedangkan ada juga seorang laki-laki yang diperkosa wanita.
2. Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini
berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan tindakan perlakuan pelaku.
3. Persetubuhan di luar ikatan perkawinan adalah tujuan yang ingin
dicapai dengan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
terhadap wanita tertentu. Dalam kenyataan ada pula
persetubuhan dalam perkawinan yang dipaksakan dengan kekerasan, yang menimbulkan penderitaan mental dan fisik. Walaupun tindakan ini menimbulkan penderitaan korban, tindakan ini tidak dapat digolongkan sebagai suatu kejahatan oleh karena tidak dirumuskan terlebih dahulu oleh pembuat
undang-undang sebagai suatu kejahatan.17
1.7.6 Akibat-akibat dar i tindak pidana per kosaan
Di sini akan di jelaskan mengenai pendapat pakar tentang akibat perkosaan sebagi berikut:
1. Penderitaan secara psikologis, seperti merasa tidak lagi
berharga akibat kehilangan keperawanan (kesucian) di mata masyarakat, mata suami, calon suami (tunangan) atau pihak-pihak lain yang terkait dengannya. Penderitaan psikologis lainnya dapat berupa kegelisahan, kehilangan rasa percaya diri, tidak lagi ceria, sering menutup diri atau menjauhi kehidupa ramai, tumbuh rasa benci (antipati) terhadap lawan jenis dan curiga berlebihan terhadap pihak-pihak lain yang bermaksud baik kepadanya.
2. Kehamilan yang dimungkinkan dapat terjadi. Hal ini dapat
berakibat lebih fatal lagi bilamana janin yang ada tumbuh menjadi besar (tidak ada keinginan untuk diabortuskan). Artinya, anak yang dilahirkan akibat perkosaan tidak memiliki kejelasan statusnya secara yuridis dan norma keagamaan.
3. Penderitaan fisik, artinya akibat perkosaan itu akan
menimbulkan luka pada diri korban. Luka ini bukan hanya yang terkait pada alat vital (kelamin perempuan) yang robek, namun tidak menutup kemungkinan ada organ tubuh lainnya yang luka bilaman korban lebih dulu melakukan perlawanan dengan keras yang sekaligus mendorong pelakunya untuk
17
berbuat lebih kasar dan kejam guna menaklukkan perlawanan dari korban.
4. Tumbuh rasa kekurang-percayaan pada penanganan aparat
praktisi hukum, bilamana kasus yang ditanganinya lebih banyak menyita perhatian, sedangkan penanganan kepada tersangka kurang sungguh-sungguh. Korban diperlakukan secara diskriminasi dan dikondisikan makin menderita kejiwaannya atau lemah mentalnya akibat ditekan secara terus-menerus oleh proses penyeleseian perkara yang tidak kunjung berakhir.
5. Korban yang dihadapkan pada situasi sulit seperti tidak lagi merasa berharga dimata masyarakat, keluarga, suami, dan calon suami dapat saja terjerumus dalam dunia prostitusi.
Artinya, tempat pelacuran dijadikan sebagai tempat
pelampiasan diri untuk membalas dendam pada laki-laki dan mencari penghargaan.18
1.8 Penger tian Tindak Pidana
Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana oleh undang-undang.19
Strafbaar feit menurut Van Hamel adalah kelakuan
manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum,
yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.20
Menurut simons Strabaar feit adalah kelakuan (handeling)
yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang
berhubungan dengan kesalahan, dan yang dilakukan oleh orang
yang mampu bertanggung jawab.21
Strabaar feit menurut Pompe adalah suatu pelanggaran
terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan
diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan
menyelamatkan kesejahteraan umum.22
Menurut Prof. Moeljatno, SH bahwa tindak pidana adalah
perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana
disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang
siapa yang melanggar larangan tersebut.23
1.9 Penger tian Visum et Repertum
Visum et Repertum adalah keterangan yang dibuat oleh dokter
kehakiman mengenai kondisi korban dan sebab kematian atau
lukanya.24
Visum Et Repertum Menurut bahasa: berasal dari kata latin yaitu visum (sesuatu yang dilihat) dan repertum (melaporkan). Menurut istilah: adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter berdasarkan sumpah jabatannya terhadap apa yang dilihat dan diperiksa berdasarkan keilmuannya. Menurut lembar negara 350 tahun 1973: Suatu laporan medik forensik oleh dokter atas dasar sumpah jabatan terhadap pemeriksaan barang bukti medis (hidup/mati) atau barang bukti lain, biologis (rambut, sperma, darah), non-biologis (peluru, selongsong) atas permintaan tertulis oleh penyidik ditujukan untuk peradilan.25
Visum et Repertum adalah laporan tertulis (termasuk kesimpulan
mengenai sebab-sebab perlukaan/kematian) yang dibuat oleh dokter
berdasarkan sumpah jabatan, mengenai apa yang dilihat/diperiksa
22
Bambang Poernnomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta 1992, h .91.
23
Sukardi, Penyidikan Tindak Pidana Tertentu (Beberapa Ketentuan Pidana Di Luar KUHP),Restu Agung, Jakarta, 2009, h. 7.
24
Jur. Andi Hamzah Loc cit, h.173.
25
berdasarkan keilmuannya, atas permintaan tertulis dari pihak berwajib berdasarkan sumpah, perihal apa yang dilihat dan diketemukan atas bukti hidup, mayat atau fisik ataupun barang bukti lain, kemudian dilakukan pemeriksaan berdasarkan pengetahuan yang sebaik-baiknya. Atas dasar itu selanjutnya diambil kesimpulan, yang juga merupakan pendapat dari seorang ahli ataupun kesakisaan (ahli) secara tertulis, sebagaimana yang tertuang dalam bagian pemberitaan (hasil pemeriksaan).27
1.9.1 Visum et Repertum
Menurut sifatnya visum et repertum di bagi 3 macam (pada
umumnya bagi visum et repertum korban hidup) yaitu :
1. Visum et Repertum yang dibuat (lengkap) sekaligus atau definitif. Lazimnya ditulis :visum et repertum.
2. Visum et Repertum sementara:
Misalnya, visum yang dibuat bagi si korban yang sementara masih dirawat di rumah sakit akibat luka-lukanya karena
penganiayaan. Lazinya ditulis visum et repertum
(sementara).
3. Visum et Repertum lanjutan:
Misalnya, visum bagi si korban yang luka tersebut (visum et repertum sementara) kemudian lalu meninggalkan rumah sakit ataupun akibat luka-lukanya tersebut si korban kemudian dipindahkan ke rumah sakit/dokter lain, melarikan diri, pulang dengan paksa atau meninggal dunia. Lazimnya ditulis: visum et repertum (lanjutan).28
1.9.2 J enis-jenis Visum et Repertum
Di bawah ini akan menyebutkan jenis-jenis visum et repertum antara lain:
a) Visum et Repertum tentang pemeriksaan luka (korban hidup) b) Visum et Repertum tentang pemeriksaan mayat (jenazah)
26
http://c11104066.blogspot.com/2012/01/visum-et-repertum-ver.html 14/4/2012 09:55 AM
27
R. Soeparmono, Keterangan Ahli dan Visum et Repertum Dalam Aspek Hukum Acara
Pidana, Mandar Maju, Cet III, Bandung, 2011, h .98.
28
c) Visum et Repertum tentang pemeriksaan bedah mayat d) Visum et Repertum penggalian mayat. Lain dari itu ada pula: e) Visum et Repertum di tempat kejadian perkara (TKP)
f) Visum et Repertum pemeriksaan barang bukti (bukti-bukti) lain.29
1.9.3 Tujuan Visum et Reper tum
Tujuan Visum et Repertum adalah, untuk memberikan
kepada hakim (majelis) suatu kenyataan akan fakta-fakta dari
bukti-bukti tersebut atas semua keadaan/hal sebagaimana
tertuang dalam bagian pemberitaan agar hakim dapat mengambil
putusannya dengan tepat atas dasar kenyataan atau fakta-fakta
tersebut, sehingga dapat menjadi pendukung atas keyakinan
hakim.30
1.10 Penger tian per tanggung jawaban
Untuk memperjelas mengenai pengertian pertanggung jawaban pidana itu, baik kita lihat apa yang ditulis oleh Roeslan Saleh sebagai berikut:
Jadi perbuatan yang tercela oleh masyarakat itu di pertanggung jawabkan pada si pembuatanya. Artinya celaan yang obyektif terhadap perbuatn itu kemudian diteruskan kepada si terdakwa. Menjadi soal selanjutnya, apakah si terdakwa juga di cela dengan dilakukannya perbutan itu, kenapa perbuatan yang obyektif tercela, secara subyektif dipertanggungjawabkan kepadanya, oleh sebab itu perbuatan tersebut adalah pada diri si pembuat.31
Orang yang mampu bertanggung jawab itu harus memenuhi 3 syarat yaitu:32
1. Dapat meninsafi makna yang senyatanya dari perbuatannya.
2. Dapat menginsafi bahwa perbuatannya tidak dapat di pandang
patut dalam pergaulan masyarakat.
3. Mampu menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan
Pada umumnya seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab dapat dilihat dari beberapa hal yaitu:
a. Keadaan J iwanya
1. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara.
2. Tidak cacat dalam pertumbuhan (Gage, Idiot, gila dan sebagainya)
3. Tidak terganggu karena terkejut (Hipnotisme, amarah yang meluap
dan sebagainya).
b. Kemampuan J iwanya :
1. Dapat menginsyafi hakekat dari perbuatannya.
2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah
dilaksanakan atau tidak.
3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.33
1.11 Metode Penelitian
Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi
ini adalah sebagai berikut:
1.11.1 Pendekatan Masalah
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam
penulisan ini adalah pendekatan yuridis-normatif yaitu pendekatan
dari sudut pandang ketentuan hukum atau perundang- undangan yang
berlaku.
1.11.2 Sumber Bahan Hukum dan/atau Data
Data yang digunakan adalah data sekunder yaitu data yang
bersumber dari perundang-undangan atau dari bahan hukum, baik
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier
dan dengan alat pengumpul data berupa studi dokumen.
33
Data sekunder terdiri dari :
a. Bahan hukum primer merupakan bahan yang berupa peraturan
perundang-undangan, dalam penulisan ini bahan hukum
primer yang digunakan adalah:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
3. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
4. Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
5. Undang-Undang HAM No. 39 Tahun 1999
6. Undang-Undang Peradilan Anak No. 3 Tahun 1997
7. Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan
anak
8. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
b. Bahan hukum sekunder, antara lain berupa tulisan-tulisan
dari para pakar dengan permasalahan yang diteliti ataupun
yang berkaitan dengan bahan hukum primer meliputi
literatur-literatur yang berupa buku, jurnal, makalah dan
hasil penelitian.
c. Bahan hukum tersier, anatara lain berupa bahan-bahan
yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan
sekunder, seperti kamus hukum, kamus bahasa, artikel
1.12 Pengumpulan Data
Bahan-bahan hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan yaitu
pengumpulan data dengan data primer dan data sekunder, data primer
merupakan data yang diperoleh langsung dari objek yang diteliti, ini
berlainan dengan data sekunder, yakni data yang sudah dalam bentuk
jadi, seperti data dalam dokumen dan publikasi.34
1.13 Teknik Analisis Data
Proses analisis data itu sebenarnya merupakan pekerjaan untuk
menemukan tema – tema dan merumuskan hipotesa – hipotesa, meskipun
tidak ada formula yang pasti untuk dapat digunakan untuk merumuskan
hipotesa, hanya saja pada analisis data tema dan hipotesa lebih diperkaya
dan diperdalam dengan cara menggabungkannya dengan sumber –
sumber yang ada35, Penulis dalam analisa data menggunakan analisis
kualitatif atau data yang dikumpulkan bersifat deskriptif dalam bentuk
kata – kata atau gambar, data tersebut diperoleh dari hasil wawancara,
catatan pengamatan lapangan, potret, tape video, dokumen perorangan,
memorandum dan dokumen resmi, sehingga dapat dilakukan untuk
responden yang jumlahnya sedikit, karena itu analisis kualitatif tidak
menggunakan alat bantu statistika.36
34
Rianto Adi, Metodologi Penelitian Social dan Hukum, Granit, Jakarta, 2010, h. 57
35
Burhan Ashshofa, M etode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, h. 66
36
1.14 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terbagi dalam beberapa bab yang
tersusun secara sistematis. Adapun Sistematika Penulisannya adalah
sebagai berikut:
Bab I, Pendahuluan: Di dalamnya menguraikan tentang latar belakang
masalah, kemudian berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka
dirumuskan permasalahan. Selanjutnya disajikan tujuan dan manfaat
penelitian sebagai harapan yang ingin dicapai melalui penelitian ini. Pada
bagian Kajian Pustaka yang merupakan landasan dari penulisan skripsi,
kemudian diuraikan beberapa konsep definisi yang berkaitan dengan
judul penelitian. Selanjutnya diuraikan tentang metode penelitian yang
merupakan salah satu syarat dalam setiap penelitian. Intinya
mengemukakan tentang tipe penelitian dan pendekatan masalah, sumber
bahan hukum, langkah penelitian, dan bab ini diakhiri dengan sistematika
penulisan.
Bab II, Mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pelaku tindak pidana
perkosaan anak di bawah umur, dalam bab dua ini sub bab yang pertama
mengenai tentang faktor internal terjadinya perkosaan terhadap anak di
bawah umur, sub bab yang ke dua mengenai faktor eksternal, dan sub
bab yang ke tiga analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pelaku tindak
pidana perkosaan anak di bawah umur.
Bab III,Bentuk pertanggung jawaban tindak pidana perkosaan anak di
perkosaan anak di bawah umur, sub bab yang ke dua bentuk pertanggung
jawaban pidana berdasarkan putusan pengadilan negeri, sub bab yang ke
tiga analisis pertanggung jawaban pidana pelaku tindak pidana perkosaan
anak di bawah umur (studi kasus No. 3176/Pid.B/PN.Sby putusan
pengadilan negeri Surabaya)
Bab IV, merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan atas
pembahasan pada bab dua dan bab tiga serta berisi saran–saran atas
permasalahan yang dikaitkan dalam penulisan skripsi ini .
1.15 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah tempat atau daerah yang dipilih sebagai
tempat pengumpulan data di lapangan untuk menemukan jawaban atas
masalah. Lokasi yang dipilih sebagai penelitian adalah Pengadilan Negeri
PIDANA PERKOSAAN ANAK DI BAWAH UMUR
2.1 Faktor Internal yang mempengaruhi pelaku tindak pidana perkosaan anak
di bawah umur
Faktor Internal adalah faktor yang mempengaruhi seseorang untuk
melakukan perbuatan tindak pidana perkosaan yang berasal dari di orang
tersebut atau yang berasal dari dalam orang tersebut, Dari faktor internal
ini akan dijelaskan beberapa macam faktor-faktor internal adalah:
a) Faktor keluarga
Salah satunya adalah faktor keluarga dimana keluarga merupakan
lingkungan sosial yang terdekat untuk membesarkan, mendewasakan dan
di dalamnya seseorang tersebut mendapatkan suatu pendidikan yang
pertama kali diajarkan oleh keluarga. Keluarga merupakan kelompok
masyarakat terkecil akan tetapi merupakan lingkungan yang paling kuat
dalam membentuk seseorang tersebut menjadi orang yang baik dengan
cara memberikan pendidikan dan pengarahan. Oleh karena itu, keluarga
memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan seseorang
tersebut. Keluarga yang baik akan berpengaruh positif bagi
perkembangan seseorang misalnya bisa memberikan pendidikan atau
pengajaran dan pengarahan terhadap seseorang tersebut ataupun bisa
juga dengan memberikan kasih sayang ini akan memberikan pengaruh
jelek akan berpengaruh negatif seperti halnya akan mudah melakukan
suatu kejahatan atau tindak pidana yang bisa merugikan orang lain.
b) Niat
seseorang di dalam melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana harus
adanya suatu niat terhadap pelaku, niat untuk melakukan suatu tindak
pidana perkosaan sering kali muncul apabila ada suatu rangsangan dari
pihak korban atau lawan jeninya yang mana pada saat ini banyak orang
perempuan sudah tidak lagi mengidakan dalam hal berpakaian tidak
menutup aurot atau berpaian yang feminim dalam hal tersebut bisa
menimbulkan seseorang mempunyai pemikiran atau niat jahat terhadap
lawan jeninya.
c) Religius
Faktor religius ini banyak seseorang sudah lagi mengindahkan
norma-norma keagamaan yang mana norma-norma-norma-norma tersebut sudah terkikis
dikalangan masyarakat atau pola relasi horizontal yang cenderung makin
meniadakan peran agama adalah sangat potensial untuk mendorong
seseorang berbuat jahat dan merugikan orang lain.
d) Ketidak mampuan pelaku mengontrol emosi dan nafsu seksual
terdakwa. Seorang terdakwa haruslah bisa mengendalikan dirinya atau
mengontrol emosi dan nafsu sesknya di dalam kasus tindak pidana
perkosaan sering kali seseorang tersebut tidak bisa mengendalikan
emosi dan nafsu seksual terdakwa mereka para pelaku membiarkan
untuk menumpahkan nafsu ysng membara tersebut kepada orang lain
tidak peduli pelampiasan nafsu tersebut melanggar hukum atau norma
kesusilaan dan norma agama yang hidup di dalam masyarakat sekitar
yang mana para pelaku hanya mementingkan kesenangan sesaat
tersebut.
Jadi di dalam faktor-faktor internal ini terjadi akibat dari lingkungan
keluarga terutama keluarga dimana orang tua bertanggung jawab untuk
memantau pergaulan anaknya tersebut, niat ini tidak akan bisa timbul
apabila lawan jenis kita tidak menimbulkan rangsangan kepada pelaku,
religius dengan mengikisnya norma-norma keagamaan dikalangan
masyarakat maka seseorang tersebut akan mudah melakukan suatu
kejahatan atau tindak pidana.
2.2 Faktor Eksternal yang mempengaruhi pelaku tindak pidana perkosaan
anak di bawah umur
Faktor Eksternal adalah faktor yang mempengaruhi seseorang untuk
melakukan suatu tindak pidana perkosaan yang berasal dari luar diri
orang tersebut atau lingkungan sekitar, Dalam faktor eksternal dapat
diberikan gambaran dan penjelasan mengenai faktor eksternal yaitu:
a) Faktor pendidikan dan sekolah
Sekolah adalah sebagai media atau perantara bagi pembinaan jiwa
bagi setiap siswanya atau dengan kata lain sekolah ikut
bertanggung jawab atas pendidikan siswa-siswanya atau anak
laku. Banyaknya atau bertambahnya kasus yang dilakukan oleh
manusia atau orang secara tidak langsung menunjukkan kurang
berhasilnya sistem pendidikan di sekolah-sekolah. Dalam konteks
ini sekolah merupakan ajang pendidikan yang kedua setelah
lingkungan dalam keluarga bagi orang, selama mereka menempuh
pendidikan di sekolah terjadi interaksi antara siswa dengan siswa
lainnya juga interaksi siswa dengan guru interaksi yang mereka
lakukan di sekolah sering menimbulkan akibat negataif bagi
perkembangan mental siswa hal ini disebabkan karena
orang-orang yang memasuki sekolah tidak semuanya berwatak atau
berkelakuan baik seperti halnya seseorang siswa yag mengikuti
temanya untuk hal-hal yang negatif bagi siswa tersebut , disisi
lain orang-orang yang masuk sekolah ada yang berasal dari
keluarga yang kurang memeperhatikan kepentingan anak dalam
belajar dan bergaul yang kerap kali berpengaruh pada temanya
yang lain keadaan seperti ini menunjukkan bahwa sekolah
merupakan tempat pendidikan yang dasar bagi setiap orang yang
mencari ilmu dan dapat menjadi sumber terjadinya konflik
psikologis yang pada prinsipnya memudahkan seseorang menjadi
nakal atau melakukan tindak pidana. Jadi dalam lingkungan
sekolah sebaiknya para guru lebih meningkatkan pendidikan
berupa pengajaran seperti apabila siswa di dalam lingkungan
bisa merugikan orang lain maka guru tersebut berkewajiban untuk
memberikan teguran terhadap siswa tersebut supaya siswa
tersebut tidak mengulagi lagi perbuatannya baik di dalam
lingkungan sekolah dan di luar lingkungan sekolah. Siswa yang
ada di dalam proses belajar mengajar memerlukan suatu
pengajaran baik pengajaran tersebut berada di dalam lingkungan
keluarga maupun dilingkungan sekolah mereka bahwa sekolah
sebagai lembaga pendidikan perlu memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
1. Sekolah harus merencanakan sesuatu program sekolah yang
sesuai atau memenuhi kebutuhan –kebutuhan dari semua siswa
didiknya untuk menghasilkan kemajuan dan perkembangan
jiwa yang sehat.
2. Sekolah harus memperhatikan siswa-siswa yang
memperlihatkan tanda-tanda yang tidak baik (tanda-tanda
kenakalan) dan kemudian mengambil langkah-langkah refresif
seperlunya untuk mencegah dan memperbaikinya.
3. Sekolah harus bekerja sama dengan orang tua walimurid dan
pemimpin-pemimpin yang lainya untuk membantu
menyingkirkan atau menghindarkan setiap faktor di
Dengan demikian proses pendidikan yang kurang mengguntungkan
bagi perkembangan jiwa siswa atau orang yang sedang melakukan proses
belajar sering kali mendapatka pengaruh dari luar yag mana pengaruh
tersebut bisa membiat siswa atau orang tersebut melakukan suatu tindak
pidana yang merugikan orang lain.
b)Faktor pergaulan
Yang kedua adalah tentang faktor pergaulan yang mana setiap orang di
dalam kehidupan sehari-harinya harus disadari bahwa betapa besar
pengaruh yang dimainkan oleh lingkungan pergaulan terutama sekali
disebabkan oleh konteks kulturnya. Dalam situasi sosial yang menjadi
semakin longgar, kemudian menegakkan dirinya yang dianggap sebagai
tersisih dan terancam mereka lalu memasuki satu unit keluarga baru
dengan berbagai pengaruh atau hal-hal yang baru yang tidak ada pada
lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah yang mana pengaruhnya
sangat jelek sifatnya yang berdampak langsung pada sifat-sifat dan
perkembangan kelakuan. Dengan demikian setiap orang akan bisa
menjadi berubah dengan menunjukkan sifat yang tidak pada biasanya baik
dalam kelakuan pada diri orang tersebut ini banyak dipengaruhi oleh
berbagai hal dan tekanan pergaulan yang semuanya memberikan pengaruh
yang menekan dan memaksa pada pembentukan perilaku buruk sebagai
contoh seseorang yang mana banyak melanggar peraturan norma-norma
sosial dan hukum, seseorang tersebut bisa menjadi jahat sebagai akibat
yang menekan dan memaksa sifatnya. Dalam hal ini peranan orang tua
untuk meyadarkan dan menggembalikan kepercayaan seseorang tersebut
serta harga dirinya sangat diperlukan dengan cara atau perlu dilakuakn
mendidik orang tersebut agar bersikap formal dan tegas supaya mereka
terhindar dari pengaruh-pengaruh yang datang datang dari lingkungan
pergaulan yang kurang baik memang pengaruh linkungan pergaulan diluar
sangatlah berbahaya karena secara tidak langsung pengaruh pergaulan ini
bisa merubah drastis pada perkembangan kejiwaan atau karakter orang
tersebut.
c) Faktor pengaruh mass media
Pengaruh pada mass media tidak kalah besarnya terhadap
perkembangan seseorang keinginan atau kehendak yang tertanam
pada diri orang untuk berbuat jahat kadang-kadang timbul karena
pengaruh bacaan, gambar-gambar dari film yang dilihat oleh orang
tersebut. Bagi orang-orang anak-anak yang mengisi waktu
senggangya dengan bacaaan-bacaan atau melihat media electronik
yang buruk atau yang bisa menimblkan hal-hal yang negatif maka hal
tersebut akan berbahaya dan dapat menghalang-halangi mereka untuk
berbuat hal-hal yang baik, demikian pula tontonan yang berupa
gambar-gambar porno akan memberikan rangsangan seks terhadap
orang yang melihat film tersebut yang mana rangsangan seks tersebut
akan berpengaruh negative terhadap perkembangan jiwa seseorang
atau terbayang ingin melakukan hal tersebut yang mana perbuatan
tersebut dilarang oleh hukum dan dapat di ancam hukuman penjara
karena perbuatan tersebut telah melanggar norma-norma hukum yang
ada atau telah melakukan suatu perbuatan tindak pidana contohnya
pada kasus yang terdapat pada putusan no.3i76/Pid.B/2010/PN.Sby.
dengan terdakwa Bayu Choirul Gunawan dengan melakukan
perbuatan tindak pidana perkosaan terhadap Estu Naharsari Dwi
Kurniawati.
d) Putusan hakim
Putusan hakim ini bisa mempengaruhi perbuatan seseorang yang mana di
dalam putusan hakim yang terjadi di dalam suatu tindak pidana perkosaan
tersebut tidak memenuhi rasa keadilan bagi korban perkosaan dengan
putusan yang ringan yang diberikan kepada pelaku maka anggota
masyarakat tidak takut lagi untuk berbuat jahat atau keji terhadap orang
lain atau hukuman yang akan diterimanya atas perbuatannya tersebut.
e) Tingkat kontrol masyarakat yang rendah
Tingkat control masyarakat yang rendah ini bisa menjadi salah satu faktor
untuk seseorang melakukan perbuatan yang jahat atau keji terhadap orang
lain, berbagai perilaku yang menyimpang, dan melanggar noram-norma
hukum, norma-norma agama dan norma-norma kesusilaan yang kurang
f) Keinginan pelaku untuk balas dendam
Sering kali seseorang melakukan kejahatan terhadap orang lian atau tindak
pidana didasari oleh sikap balas dendam pelaku terhadap korban yang
mana ada perbuatan atau ucapan korban yang menyakiti atau merugikan
pelaku sehingga pelaku tidak segan-segan melakukan perbuatan keji
terhadap korban sehingga rasa balas dendam yang tersebut terpenuhi.37
2.3 Analisis faktor -faktor yang mempengar uhi pelaku tindak pidana
per kosaan
Dari faktor-faktor yang ada di atas maka ada beberapa faktor yang
sangat mendominasi terjadinya suatu perbuatan tindak pidana
perkosaan yaitu niat dari pelaku arti dari niat itu sendiri adalah rencana
untuk mengadakan perbuatan tertentu dalam keadaan tertentu pula di
dalam pikiran. Dari definisi di atas telah jelas adanya suatu rencana dari
pelaku yang mana mempunyai niat untuk melakukan perbuatan
perkosaan dikarenakan ada suatu rangsangan dari lawan jenisnya yang
mana banyak sekali pada era modern ini kaum perempuan sudah tidak
lagi menghargai etika berpakaian yang menutup aurot sehingga bisa
menimbulkan suatu reaksi bagi siapa saja yang melihatnya atau
mempunyai niatan untuk melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana
terhadap kaum perempuan tersebut. Yang kedua yaitu dari segi
pergaulan dalam hal pergaulan ini sangatlah besar dampaknya untuk
seseorang melakukan suatu perbuatan pidana atau tindak pidana
37
perkosaan pada zaman sekarang ini pergaulan sangatlah bebas yang
mana tidak ada batasan-batasan antara laki-laki dan perempuan yang
seharusnya boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan yang
melanggar norma-norma yang ada dan kaedah akhlak yang tumbuh di
masyarakat dengan adanya model pergaulan yang sangat bebas ini bisa
merusak moral manusia sehingga banyak terjadinya kasus tindak
pidana pekosaan, yang ketiga yaitu faktor media massa dalam hal ini
media massa sangatlah berperan dalam terjadinya kasus perkosaan oleh
karena media massa saat ini sangat bebas dalam hal penayangan suatu
film yang ada banyak-banyak film yang ada lolos dari lembaga sensor
perfilman Indonesia apabila seseorang mengisi waktu luangnya dengan
melihat film atau gambar-bambar yang berbau porno maka seseorang
tersebut akan terpintas untuk atau mempunyai kinginan untuk
melakukan hal yang sama seperti yang dilihatnya. Hal ini sesuai dengan
pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Anak yang berbunyi
bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk rayu anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dalam pasal ini
seseorang atau pelaku mempunyai niatan untuk melakukan tindak
pidana perkosaan yang mana pelaku tau apabila perbuatannya tersebut
melanggar hukum dan norma-norma agama dan kesusilaan yang ada
dalam masyarakat di dalam kasus ini pelaku melakukan tindak pidana
membuktikan cinta kepada pacarnya atau pasangannya harus dibuktikan
dengan adanya suatu hubungan suami istri yang mana hubungan
tersebut patut dilakukan oleh seseorang yang telah menikah dalam hal
ini juga adanya suatu peran media mssa yang sangat bebas tersebut baik
media electronik atau media cetak yang ada yang tidak mendidik
sehingga bisa dibuat contoh bagi pelaku tindak pidana perkosaan.
Apabila dikaitkan dengan kasus yang ada yakni kasus tindak
pidana perkosaan di bawah umur terdakwa melakukan perbuatan
perkosaan yaitu didorong oleh niat terdakwa karena pada waktu itu
rumah korban dalam keadaan sepi sehingga terdakwa mempunyai
niatan untuk melakukan perbuatan tindak pidana perkosaan terdakwa
melakukan perbuatannya tersebut dengan merayu korban untuk
membuktikan cintanya dengan melakukan perbuatan hubungan suami
istri dan mau bertanggung jawab sehingga korban mau melakukan
hubungan suami istri tersebut, dan disebabkan pula adanya pergaulan
bebas oleh terdakwa dan korban. Maka terjadilah perbuatan
sebagaimana di dalam kasus tindak pidana perkosaan dengan No.
3176/Pid. B/2010/PN. Sby terdakwa yang bernama Bayu melakukan
suatu perbuatan tindak pidana perkosaan terhadap anak di bawah umur
dengan merayu korban yang bernama Estu Naharsari Dwi Kurniawati
dan mau bertanggung jawab dan Estu Naharsari mau melakukan
ANAK DI BAWAH
3.1 Gambaran singkat kasus
Terdakwa yang bernama Bayu Choirul Anam kenal dengan saksi
korban yang bernama Estu Naharsari Dwi Kurniawati yang mana saksi
korban masih berumur 15 tahun melalui situs jejaring sosial facebook di
internet kemudian terdakwa bertukar nomor hand phon dengan saksi korban
setelah bertukaran nomor hand phon tedakwa SMSan dengan saksi korban
dan mengajak saksi korban berpacaran dengan terdakwa, kemudian di
lanjutkan dengan terdakwa bertamu ke rumah saksi korban pada saat itu
rumah saksi korban dalam keadaan sepi oleh karena ke dua orang tua korban
sedang dalam bepergian keluar kota untuk bersilaturrahmi, dalam keadaan
sepi ke duanya ngobrol di ruang tamu rumah korban di dalam percakapannya
terdakwa merayu korban untuk membuktikan cintanya terhadap terdakwa
dengan cara menuruti kemauan terdakwa untuk di ajak bersetubuh layaknya
suami-istri jika benar-benar korban mencintai terdakwa, pada saat korban dan
terdakwa berada di ruang tamu terdakwa menciumi wajah dan bibir korban
seraya atau sambil terdakwa meraba-raba dan meremas-remas payudara
korban kemudian menciumi puting korban karena merasa tidak puas terdakwa
mengajak atau memintak korban untuk menuju ke kamar dan bercumbu di
dalam kamar korban namum korban menolak ajakan terdakwa selanjutnya
menyuruh korban berbaring di lantai yang beralaskan karpet warna biru
setelah menyuruh korban berbaring di lantai kemudian terdakwa melepas
celana pendek dan celana dalam yang di gunakan oleh korban pada saat itu
kemudian terdakwa melepas pakaian dan BH yang dipakai oleh korban
namun tidak sampai lepas selanjutnya terdakwa menciumi bibir, payudara,
dan kemaluan korban namun korban menolak akan tetapi terdakwa tetap
memaksa untuk memasukkan alat kelamin terdakwa ke dalam vagina korban
setelah alat kelamin terdakwa masuk ke dalam vagina korban dengan gerakan
naik turu hingga terdakwa mengeluarkan sperma ke luar vagina korban,
setelah terdakwa mengeluarkan sperma ke luar vagina korban terdakwa
melakukannya lagi terhadap korban namun dalam hal ini terdakwa tidak
sampai mengeluarkan sperma setelah selesai melakukannya terdakwa
merapikan pakaian kembali dan turun ke lantai bawah dan kemudian
terdakwa pulang.
Terdakwa dalam membujuk dan merayu korban dengan bicara
yang halus dan meyakinkan kepada korban bahwa terdakwa akan
bertanggung jawab terhadap korban atas kejadian yang menimpa korban,
kemudian korban menceritakan kejadian yang menimpanya yang dipaksa
melakukan hubungan suami istri oleh terdakwa kepada orang tua korban
setelah mendengar cerita tersebut orang tua korban langsung melaporkan
3.2 Bentuk per tanggung jawaban pidana ber dasarkan pengadilan neger i
Tujuan dari hukum pidana adalah untuk memenuhi rasa keadilan,
mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka
melakukan kejahatan, agar menjadi orang yang baik tabiatnya sehingga dapat
bermanfaat bagi masyarakat dan juga dengan adanya hukum pidana yang
bersifat represif diharapkan pelaku tindak pidana tidak mengulagi
perbuatannya dan apabila kembali ke masyarakat dapat diterima seperti
dahulu sebelum terdakwa di penjara.
Bahwa Undang-Undang hanya memuat ketentuan mengenai hal-hal
yang umum, dan hakimlah yang berkewajiban untuk menafsirkan dan
menerapkannya dalam suatu peristiwa konkret. Peraturan perundang
undangan harus diciptakan secara tegas sehingga dapat mengurangi segala
masalah dan tidak setiap kali harus mengadakan perubahan dan penyesuaian
dengan perkembangan teknologi dan tuntutan kemajuan kebutuhan hukum
masyarakat.
Pada KUHP dan Undang-Undang Perlindungan Anak diatur tentang
larangan untuk berbuat perkosaan terhadap anak di bawah umur. Yang mana
Larangan larangan tersebut terdapat di dalam pasal-pasal antara lain:
Dalam pasal 81 ayat (1) disebutkan bahwa:
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah ) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00
(enam pulih juta rupiah). Sedangkan dalam pasal 81 ayat 2 menyebutkan
bahwa :
Ketentuan pidana sebagaimna yang dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula
bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan persetuhan dengannya
atau dengan orang lain.
Perkosaan menurut KUHP pasal 285 yang berbunyi :
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena
melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Di sini akan menjelaskan unsur-unsur delik perkosaan menurut pasal 85
KUHP yang berbunyi :
Bar ang siapa
Sebagian pakar berpendapat bahwa “barang siapa” bukan merupakan unsur,
hanya memperlihatkan si pelaku (dader/doer) adalah manusia. Sebagian pakar
lagi berpendapat bahwa” barang siapa” tersebut adalah manusia. Tetapi perlu
diuraikan manusia siapa dan berapa orang. Jadi identitas” barang siapa”
tersebut harus jelas.
Dengan keker asan atau ancaman keker asan
Menurut Mr. M.H Tirtamidjaja, dengan kekerasan dimaksudkan, setiap
Pasal 289 KUHP memperluas pengertian “kekerasan” sehingga
memingsankan atau melemahkan orang, disamakan dengan melakukan
kekerasan.
“Kekerasan atau ancaman kekerasan” tersebut ditujukan terhadap wanita itu
sendiri dan bersifat sedemikian rupa sehingga berbuat lain tidak
memungkinkan baginya selain membiarkan dirinya untuk disetubuhi.
Memaksa
“Memaksa” berarti diluar kehendak wanita tersebut atau bertentangan dengan
kehendak wanita.
Prof. Satochid Kartanegara, S.H. menyatakan antara lian:
“Perbuatan memaksa ini haruslah ditafsirkan sebagai suatu perbuatan
sedemkian rupa sehingga menimbulkan rasa takut orang lain.
Seor ang wanita ber setubuh dengan dia
Kalau bukan wanita (dalam hal homoseks) maka tidak dapat diterapkan pasal
285 KUHP.
Pengertian “bersetubuh” menurut Mr. M.H. Tirtaamidjaja, S.H. berarti
persentuhan sebelah dalam dari kemaluan si laki-laki dan perempuan. Yang
pada umumnya dapat menimbulkan kehamilan. Tidak perlu bahwa telah
terjadi pengeluaran mani dalam kemaluan si perempuan.
Pengertian “bersetubuh” pada saat ini diartikan bahwa penis telah penetrasi
(masuk) ke dalam vagina.
Di luar per kawinan
Pasal 287 ayat (1) KUHP yang berbunyi :
Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawanin,
padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, umurnya belum lima belas
tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Maksud dari pada ayat tersebut adalah bilamana yang menjadi
korban dari pekosaan tersebut masih belum berusia 15 tahun atau belum
masanya untuk kawin dan perempuan tersebut bukanlah istrinya.
Ayat (2) : penuntutan hanya dapat dilakukan kalau ada pengaduan,
kecuali kalau umur permpuan itu belum sampai 12 tahun atau jika ada salah
satu hal yang tersebut dalam pasal 291 dan 294.
Penjelasan dari pasal diatas adalah terkait dengan adanya ketentuan
yang telah disebutka dalam ayat sebelumnya. Sesuai dengan ketentuan yang
terdapat dalam ayat tersebut, sebenarnya pasal 287 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana tersebut merupakan delik aduan, kecuali bilamana korbannya
belum mencapai umur 12 tahun atau adanya keterkaitan dengan pasal 291 dan
294 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Hakim dalam menjatuhkan suatu putusan ada beberapa
Pertimbangan-pertimbanagan Hukum yang dimuat atau dijatuhkan di dalam
putusannya dalam hal ini seperti putusan hakim No. 3176/Pid. B/2010/PN.Sby di
antaranya adalah :
1) Melihat dari barang bukti dan saksi yang di ajukan di dalam
1. Saksi Adi Lumaksono, saksi Adi Lumaksono adalah orang tua
korban pada saat kejadian tindak pidana perkosaan yang berada
dirumahnya saksi tidak berada dirumah melainkan berada diluar
kota untuk melakukan silaturrahim dengan kerabatnya setelah
kejadian tindak pidana perkosaan itu korban bercerita kepada saksi
bahwa korban telah diperkosa oleh terdakwa mendengar cerita
tersebut saksi langsung melaporkan terdakwa kepada pihak yang
berwajib untuk diproses secara hukum.
2. Saksi Sri Sumaryanti Listiyani, saksi Sri Sumaryanti Listiyani
adalah ibu korban yang pada saat kejadian tindak pidana perkosaan
berada di luar kota bersama suaminya untuk melakukan
silaturrahmi kepada kerabatnya saksi mengetahui kejadian tersebut
dari cerita anaknya yang menjadi korban perkosaan oleh terdakwa.
3. Saksi Astu Naharsari Dwi Kurniawati, saksi Astu Naharsari Dwi
Kurniawati adalah pacar dari terdakwa pada saat kejadian terdakwa
bermain kerumah korban melihat rumah korban sepi terdakwa
muncul niatan untuk melakukan persetubuhan dengan korban
niatan terdakwa dilakukan dengan cara merayu korban dengan
alasan terdakwa ingin tau bahwa korban benar mencintai terdakwa
apa tidak untuk dengan bukti mau melakukan persetubuhan dan
terdakwa berjanji kepada korban bahwa terdakwa mau bertanggung