• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Kemampuan Penyesuaian Sosial di Sekolah SMAK "X" Kota Bandung pada Siswa Asal Papua.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Kemampuan Penyesuaian Sosial di Sekolah SMAK "X" Kota Bandung pada Siswa Asal Papua."

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui seperti apa gambaran kemampuan penyesuaian sosial di sekolah SMAK “X” Kota Bandung pada siswa asal Papua. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui tinggi rendahnya kemampuan penyesuaian sosial di sekolah SMAK “X” Kota Bandung pada siswa asal Papua yang dikaitkan dengan hal yang mempengaruhi kemampuan penyesuaian sosial tersebut.

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan teori dari Schneiders (1964). Adapun yang dimaksud dengan penyesuaian sosial adalah tinggi rendahnya kemampuan individu untuk dapat bertingkah laku secara efektif dan sehat sesuai dengan kenyataan atau realitas, situasi, relasi sehingga kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara memuaskan.

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode deskriptif dengan menggunakan teknik survey.Variabel dalam penelitian ini adalah kemampuan penyesuaian sosial di sekolah SMAK “X” Kota Bandung pada siswa asal Papua. Alat ukur yang digunakan yaitu kuesioner penyesuaian sosial yang diadaptasi oleh peneliti sesuai dengan keperluan penelitian. Berdasarkan hasil perhitungan yang telah dilakukan diperoleh hasil validitas berkisar antara 0.300 sampai 0.662 sedangkan reliabilitas alat ukur sebesar 0.920.

Sampel penelitian ini yaitu siswa asal Papua di SMAK “X” Kota Bandung yang berjumlah 30 siswa responden. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan maka diperoleh hasil bahwa siswa asal Papua di SMAK “X” Kota Bandung memiliki kemampuan penyesuaian sosial yang tinggi.

(2)

vi

Universitas Kristen Maranatha Abstract

This research was conducted to determine what kind of picture of the ability of social adjustment in “X” senior high school Bandung to the origin of Papua students. The purpose of this study is to determine the level of social adjustment capability on the “X” senior high school Bandung to the origin of Papua students, which is associated with things that affect the ability of social adjustment.

In conducting this study, researchers used the theory of the Schneiders (1964). As for the meaning of social adjustment are high and low ability of individuals to behave in an effective and healthy in accordance with fact or reality, situations, relationships that social needs can be met satisfactorily.

The research design used in this research use descriptive method by using survey techniques. The variable in this study is the ability of social adjustment in “X” senior high school Bandung to the origin of Papua students. Measuring instrument used is the social adjustment questionnaire which was adapted by researchers in accordance with the purposes of research. Based on the calculation by result validity ranged from 0.300 to 0.662 while the reliability of measurement by 0.920.

Samples of Papua student at SMAK “X” of Bandung to 30 respondents. Based on calculations that have been conducted, the results showed that Papua student at SMAK “X” of Bandung has a high ability of social adjustment.

(3)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN ... iii

PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 8

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 8

1.3.1 Maksud Penelitian ... 8

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Kegunaan Penelitian ... 9

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 9

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 9

1.5 Kerangka Pemikiran ... 10

(4)

x

Universitas Kristen Maranatha BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyesuaian Sosial ... 19

2.1.1 Pengertian Penyesuaian Sosial ... 19

2.1.2 Penyesuaian Terhadap Lingkungan Sosial ... 19

2.1.3 Macam-Macam Penyesuaian Sosial ... 20

2.1.3.1 Penyesuaian di Lingkungan Rumah dan Keluarga ... 20

2.1.3.2 Penyesuaian di Lingkungan Sekolah ... 23

2.1.3.3 Penyesuaian di Lingkungan Masyarakat ... 24

2.1.4 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Proses Penyesuaian Sosial ... 26

2.2 Remaja ... 28

3.3 Variabel Penelitian, Definisi Konseptual, Dan Definisi Operasional ... 42

3.3.1 Variabel Penelitian ... 42

3.3.2 Definisi Konseptual ... 42

3.3.3 Definisi Operasional ... 42

(5)

xi

3.4.1 Alat Ukur Penyesuaian Sosial ... 44

3.4.2 Kisi-kisi Alat Ukur ... 44

3.4.3 Sistem Penilaian Alat Ukur ... 45

3.4.4 Cara Skoring ... 46

3.4.5 Data Penunjang ... 46

3.5 Validitas dan Realibilitas ... 47

3.5.1 Validitas Alat Ukur ... 47

3.5.2 Uji Realiabilitas Alat Ukur ... 48

3.6 Populasi Sasaran ... 48

3.7 Teknik Analisis Data ... 48

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Responden Penelitian ... 50

4.1.1 Gambaran Responden Berdasarkan Usia ... 50

4.1.2 Gambaran Responden Berdsarkan Kelas ... 51

4.2 Hasil Penelitian ... 51

4.2.1 Derajat Penyesuaian Sosial ... 52

4.2.2 Gambaran Aspek-aspek Penyesuaian Sosial ... 52

4.3 Pembahasan ... 55

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 73

5.2 Saran ... 73

5.2.1 Saran Teoritis ... 74

(6)

xii

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA ... 75

DAFTAR RUJUKAN ... 76

(7)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Kisi-kisi Alat Ukur ... 44

Tabel 3.2 Sistem Penilaian Setiap Aspek Penyesuaian Sosial ... 46

Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Usia ... 50

Tabel 4.2 Gambaran Responden Berdasarkan Kelas ... 51

Tabel 4.3 Gambaran Penyesuaian Sosial ... 52

Tabel 4.4 Gambaran Aspek-aspek Penyesuaian Sosial ... 52

(8)

xiv

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Bagan Kerangka Pemikiran ... 17

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Kisi-kisi Alat Ukur ... L-1

Letter Of Concent dan Alat Ukur ( Identitas, Data Utama, dan Data Penunjang) L-8

Uji Validitas Alat Ukur dan Item Validitas ... L-19

Uji Reliabilitas Alat Ukur ... L-22

Skor Total dan Aspek Penyesuaian Sosial ... L-23

Derajat Penyesuaian Sosial dan Aspek ... L-25

(10)

1

Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

membutuhkan interaksi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya untuk dapat memenuhi

kebutuhan hidupnya. Interaksi ini dapat berupa hubungan manusia dengan lingkungan keluarga,

hubungan manusia di dalam lingkungan sekolah, maupun dalam lingkungan masyarakat. Dalam

menjalani hubungan-hubungan tersebut, manusia perlu melakukan penyesuaian sosial terhadap

lingkungannya, sesuai situasi yang dihadapi yaitu di tempat individu tersebut hidup, tumbuh dan

berkembang.

Lingkungan keluarga menjadi tempat pertama individu bertumbuh dan berkembang.

Dalam keluarga, individu diajarkan mengenai moralitas, yakni untuk berinteraksi dan memahami

pola pergaulan serta tingkah laku orang di luar rumah dan mengaplikasikan nilai-nilai yang

dipegang individu.

Selain di lingkungan keluarga dan masyarakat, kehidupan sosial seorang siswa berpusat

di lingkungan sekolah. Sebagian besar waktu dihabiskan di sekolah dengan teman-teman

sebaya. Menurut Steinberg (2002) bagi siswa sekolah merupakan setting utama untuk

bersosialisasi. Oleh karena itu, penyesuaian di lingkungan sekolah diperlukan oleh siswa.

SMAK “X” merupakan salah satu sekolah Kristen swasta di Bandung yang menerima

(11)

2

Pendidikan Menengah (ADEM). ADEM ialah program nasional dalam percepatan pembangunan

Papua. Program tersebut merupakan kerjasama Kementerian Pendidikan Dasar Menengah

(Mendikdasmen) dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Kerjasama ini sesuai tujuan

negara, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa anak asli Papua untuk melanjutkan pendidikan ke

sejumlah daerah di Pulau Jawa dan Bali.

Program ADEM bergulir sejak tahun 2013. Pada tahun ketiga atau tahun 2015, sekitar

1.304 anak Papua telah menimba ilmu ke tingkat SMA atau SMK yang tersebar di Yogyakarta,

Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, dan Bali. Untuk program ADEM 2015, tercatat

sebanyak 505 anak Papua menempuh pendidikan SMA dan SMK di enam provinsi tersebut. 96

anak asli dari jumlah 505 anak Papua lulusan SMP melanjutkan pendidikannya ke SMA dan

SMK yang tersebar di Jawa Barat.

Ada sembilan SMA di Bandung yang menjadi sekolah pembimbing bagi 40 siswa SMP

asal Papua dan Papua Barat yang lolos dalam program afirmasi pendidikan menengah

Kemdikbud untuk melanjutkan pendidikan di Jawa dan Bali. Sembilan sekolah swasta tersebut,

yakni SMA Kristen Rehobot, SMA Kristen Paulus, SMA Kristen BPPK, SMA Kristen Yahya,

SMA Kristen Kalam Kudus, SMA Kristen Advent, SMA Kristen Pelita Bangsa, SMA Kristen

Putra Mandiri, dan SMA Badan Perguruan Indonesia 2.

Sejak tahun 2013, Kemdikbud telah memiliki program menyekolahkan 350 anak Papua

dan 150 anak Papua Barat ke sekolah-sekolah di Pulau Jawa dan Bali. Kasubdit Program dan

Evaluasi Pendidikan Menengah Kemdikbud, Lilik Sulistyowati mengatakan, program ini

dijalankan dalam upaya memperluas kesempatan pendidikan bagi anak-anak di Papua hingga

jenjang menengah melalui program Wajib Belajar (Wajar) 12 tahun. Selama bersekolah di Pulau

(12)

3

tidak dapat melakukan penyesuaian sosial. Hal ini mengakibatkan siswa mengalami kendala

dalam menjalin relasi saat diharuskan untuk bekerjasama dengan teman-teman sekelompok

belajarnya di sekolah. Selain itu, apabila siswa tidak dapat melakukan penyesuaian sosial maka

akan mempengaruhi proses belajarnya di sekolah. Salah satu contohnya, siswa yang enggan

bergaul dengan siswa lainnya dan lebih memilih menyendiri. Siswa tersebut akan sulit masuk

dalam pergaulan siswa lainnya dan saat pembagian tugas kelompok, ia akan bingung bergabung

dengan kelompok belajar yang sudah dibagikan guru.

Aspek sosial adalah salah satu aspek yang penting di dalam pemenuhan kebutuhan akan

adanya orang lain atau suatu kelompok lain yang terlibat di dalam tingkah lakunya untuk

mencapai suatu tujuan atau cita-cita. Manusia membutuhkan adanya kehadiran orang lain dalam

kehidupannya, atau dengan kata lain kebutuhan sosial yang mencakup untuk diterima dan

dihargai, kebutuhan untuk afeksi, kebutuhan untuk memiliki, kebutuhan untuk berkuasa dan

kebutuhan heterosexual. Dengan banyaknya kebutuhan sosial yang harus dipenuhi maka

kemampuan untuk menjalin relasi dengan orang lain sangat diperlukan.

Pada usia remaja penolakan atau penerimaan pertemanan remaja berpengaruh besar

terhadap perkembangan kehidupan sosial remaja itu sendiri. Penerimaan sosial untuk remaja

akan berpengaruh pada kesempatan remaja dalam belajar berinteraksi dengan teman sebayanya,

berpartisipasi dalam kelompok dan juga memahami individu lain dalam kehidupan sosial. Di sisi

(13)

4

remaja dengan teman sebayanya menjadi sempit sehingga remaja menjadi pribadi yang tertutup,

kurang percaya diri dan susah bekerjasama dengan remaja lainnya. (www.

http://eprints.uny.ac.id/13523/)

Kemampuan remaja dalam melakukan penyesuaian dengan lingkungan sosialnya tidak

timbul dengan sendirinya. Kemampuan ini diperoleh remaja dari bekal kemampuan yang telah

dipelajari dari lingkungan keluarga, dan proses belajar dari pengalaman-pengalaman baru yang

dialami dalam interaksinya dengan lingkungan sosialnya. Menurut Lazarus (1976), saat individu

berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, individu tersebut harus memperhatikan tuntutan dan

harapan sosial yang ada terhadap perilakunya. Maksudnya bahwa individu tersebut harus

membuat suatu kesepakatan antara kebutuhan atau keinginannya sendiri dengan tuntutan dan

harapan sosial yang ada, sehingga pada akhirnya individu itu akan merasakan kepuasan pada

hidupnya.

Schneiders (1964) menjelaskan bahwa dalam menjalin relasi diperlukan kemampuan

penyesuaian sosial, yaitu kemampuan untuk bertingkah laku dalam lingkungan sosial secara

efektif dan sehat sesuai dengan realitas agar tingkah laku dapat diterima oleh lingkungan,

sehingga kebutuhan secara sosial dapat terpenuhi dan terpuaskan. Kemampuan penyesuaian

sosial akan membawa seseorang untuk dapat menerima dan menghormati otoritas, ikut

berpartisipasi serta minat untuk terlibat dalam aktivitas sekolah, menjalin relasi dengan

teman-teman dan guru, menerima kesediaan tanggung jawab dan menerima pembatasan, membantu

teman, guru dan orang lain. Hal-hal tersebut dapat membantu seseorang untuk dapat diterima

dalam lingkungan sosialnya.

Penyesuaian sosial di sekolah diperlukan siswa untuk bisa menjalin relasi dengan orang

(14)

5

Universitas Kristen Maranatha tuntutan bagi terjadinya penyesuaian sosial yang efektif (Schneiders, 1964: 455). Di dalam relasi

tersebut akan terjadi sosialisasi, yakni proses pembentukan tingkah laku sehingga individu dapat

bertingkah laku sesuai dengan lingkungan sosialnya. Menurut Schneiders (1964) penyesuaian

sosial di sekolah meliputi beberapa aspek. Pertama, menerima dan menghormati otoritas. Kedua,

berpartisipasi serta minat untuk terlibat dalam aktivitas sekolah. Ketiga, berelasi dengan

teman-teman dan guru. Keempat, kesediaan menerima tanggung jawa dan menerima pembatasan

sebagai siswa. Kelima, membantu teman, guru, dan orang lain. Seluruh aspek ini akan

menunjang penyesuaian sosial bagi siswa di dalam sekolah.

Berdasarkan data yang diperoleh dari SMAK “X” Kota Bandung diketahui bahwa

populasi siswa asal Papua di SMAK “X” kota Bandung sebanyak 30 orang siswa, terdiri dari

kelas X, XI jurusan IS dan XII jurusan MIPA. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti bahwa

sebagian siswa asal Papua masih belum mampu untuk melakukan penyesuaian sosial di SMAK “X” Kota Bandung. Sebagian siswa tersebut masih ada yang tidak patuh pada peraturan sekolah,

misalnya ketika guru menjelaskan di depan kelas, siswa tersebut berbicara dengan teman yang di

sampingnya, memainkan handphone, keluar dari ruangan kelas, dan tidak mengikuti pelajaran di

kelas. Hal ini juga diakibatkan karena ketidak patuhan siswa asli Bandung, sehingga siswa Papua

mengikuti tingkah laku.

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu guru di SMAK “X” Kota Bandung,

sebagian siswa asal Papua masih ada yang tidak patuh pada aturan sekolah. Terkadang mereka

tidak masuk sekolah atau bolos meskipun asrama mereka masih berada di lokasi sekolah

tersebut. Mereka tidak masuk kelas karena ingin bermain atau karena lelah bermain bola.

(15)

6

Untuk mengetahui gambaran penyesuaian sosial dari siswa yang berasal dari Papua, maka

peneliti melakukan wawancara kepada 10 siswa yang berkaitan tentang penyesuaian sosial di sekolah SMAK “X” Kota Bandung. Dari hasil wawancara yang dilakukan kepada 10 siswa asal

Papua, diperoleh gambaran aspek pertama 50% siswa mampu menerima dan menghormati

otoritas guru yang ditunjukkan dalam bentuk kepatuhan/ ketaatan untuk menjalankan aturan

tersebut. Hal ini terwujud dalam tingkah laku siswa yang memperhatikan guru pada saat

menerangkan materi pelajaran dengan sungguh-sungguh. Sedangkan 50% siswanya kurang

mampu menerima dan menghormati otoritas guru. Misalnya, mendengar materi pelajaran sambil

menggunakan handphone, berbicara dengan teman di sampingnya, atau ke luar dari kelas saat

pelajaran berlangsung.

Aspek kedua, siswa asal Papua diharapkan berpartisipasi serta minat siswa untuk terlibat

dalam aktivitas sekolah. Berdasarkan survei awal, kenyataannya dari 10 orang yang

diwawancarai, diperoleh data hanya 80% orang yang berpartisipasi serta berminat untuk terlibat

dalam aktivitas sekolah. Hal ini ditunjukkan dalam keaktifannya mengikuti ektrakurikuler

(kegiatan OSIS dan olahraga), ikut berpartisipasi dalam kegiatan sekolah dan ikut terlibat

menjadi panitia (kegiatan pentas seni). Sedangkan 20% orang lainnya tidak memiliki partisipasi

serta minat untuk terlibat dalam aktivitas sekolah karena mereka tidak dapat membagi waktu jika

ikut dalam kegiatan sekolah. Siswa lebih senang menghabiskan waktu di asrama daripada

mengikuti kegiatan di sekolah.

Aspek ketiga, kemampuan siswa membina relasi dengan teman-teman dan guru.

Berdasarkan survei awal dari 10 siswa asal Papua diperoleh data 100% siswa mampu membina

relasi interpersonal dengan teman-teman dan guru, yang ditunjukkan melalui derajat kesediaan

(16)

7

Universitas Kristen Maranatha guru di luar jam pelajaran, menyapa guru pada saat berpapasan. Ketika ada masalah, mereka

saling bercerita dengan teman dekat mereka.

Aspek keempat, siswa asal Papua diharapkan bersedia untuk menerima tanggung jawab

dan menerima pembatasan yang ditetapkan pihak sekolah. Namun, berdasarkan survei awal 10

siswa yang diwawancarai, 60% siswa bersedia menerima tanggung jawab dan menerima

pembatasan, memahami posisi, dan peranannya. Hal ini ditunjukkan dengan selalu berusaha

untuk tampil rapi, tidak datang terlambat ke sekolah, dan mengerjakan tugas yang diberikan oleh

guru. Sedangkan 40% lainnya kurang mampu menerima dan melaksanakan tanggung jawab dan

memahami posisi dan peranannya. Hal ini terlihat saat mereka melanggar aturan, seperti tidak

tampil rapi ketika datang ke sekolah dan lupa untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru.

Aspek kelima, berdasarkan survei awal pada 10 siswa asal Papua, diperoleh data

sebanyak 100% siswa asal Papua bersedia membantu teman, guru, dan orang lain. Dapat dilihat

ketika teman mereka ada yang tidak mengerti dalam mengerjakan tugas, mereka mau

menjelaskan kembali sesuai dengan kemampuannya dan juga mau menolong guru yang meminta

bantuan kepada mereka.

Mereka dituntut untuk mematuhi semua peraturan yang diterapkan sekolah. Siswa-siswi

dituntut untuk membangun relasi yang baik antara siswa dan siswa, dan siswa dengan guru. Hal

ini akan membantu siswa dalam menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sekolah yang baru.

Siswa diharapkan untuk berpartisipasi dalam kegiatan, baik secara intrakurikuler dan

ekstrakurikuler yang diselenggarakan oleh sekolah. Hal ini bertujuan untuk membangun prestasi

sesuai dengan kemampuan siswa tersebut. Siswa diwajibkan untuk dapat menerima

tanggungjawab yang diberikan sekolah agar jiwa kepemimpinan terbangun dalam diri siswa

(17)

8

Dari penjabaran di atas, siswa-siswi asal Papua yang bersekolah di SMAK “X” Kota

Bandung memiliki penyesuaian sosial yang bervariasi, ada yang mampu dan ada yang kurang

mampu dalam melakukan penyesuaian sosial. Hal ini membuat peneliti ingin meneliti bagaimana

gambaran penyesuaian sosial yang dimiliki oleh siswa-siswi asal Papua di SMAK “X” Kota

Bandung.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah, maka identifikasi masalah dari

penelitian ini adalah bagaimana gambaran kemampuan penyesuian sosial pada siswa-siswa asal Papua di SMAK “X” Kota Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai kemampuan penyesuaian sosial di lingkungan sekolah pada siswa-siswa asal Papua di SMAK “X” Kota

Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran lebih lanjut mengenai kemampuan penyesuaian sosial pada pada siswa-siswa asal Papua di SMAK “X” Kota Bandung

melalui kelima aspek penyesuaian sosial, yaitu dan penerimaan dan menghormati otoritas,

(18)

9

Universitas Kristen Maranatha 1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunan Teoritis

 Hasil penelitian dapat menjadi informasi awal dan bahan masukan bagi peneliti lain yang

ingin melakukan penelitian mengenai kemampuan penyesuaian sosial di sekolah,

khususnya kepada siswa-siswa yang berasal dari daerah Papua yang bersekolah di Kota

Bandung.

 Sebagai bahan atau sumber informasi sekaligus masukan bagi peneliti lain guna

mengembangkan lebih lanjut penelitian ini dan dapat digunakan sebagai pembanding

bagi berkepentingan untuk melakukan penelitian ini yang mengangkat penyesuaian sosial

di sekolah sebagai topiknya.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak antara lain :

 Memberikan informasi kepada pihak di SMAK “X” Kota Bandung mengenai gambaran

penyesuaian sosial di sekolah khususnya pada siswa-siswa yang berasal dari Papua sebagai bahan evaluasi bagi sekolah SMAK “X” Kota Bandung.

 Memberikan informasi kepada siswa, khususnya siswa yang berasal dari Papua di SMAK “X” Kota Bandung mengenai kemampuan penyesuaian sosial mereka di sekolah yang

dimilikinya sebagai bahan evaluasi diri agar lebih meningkatkan kemampuan

penyesuaian sosial.

(19)

10

memberikan konseling kepada siswa yang memiliki masalah dalam melakukan

penyesuaian sosial.

1.5 Kerangka Pemikiran

Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan lepas dari lingkungan sosial. Maka dari itu

dalam usaha memenuhi kebutuhannya, manusia selalu berintraksi dengan lingkungan. Manusia

harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Schneider (1964:69) mengungkapkan

bahwa kebutuhan manusia memiliki keterkaitan dengan penyesuaian diri karena dalam proses

pemenuhan kebutuhan tersebut individu harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan

sosial di sekitarnya, khususnya pada remaja.

Lingkungan sosial disini berupa lingkungan keluarga, masyarakat, ataupun lingkungan

sekolah. Di dalam lingkungan-lingkungan tersebut, manusia dapat melakukan suatu interaksi.

Interaksi disini bisa terjadi antara satu individu dengan individu yang lainnya ataupun antara

individu dengan kelompok.

Menurut Schneider (1964), penyesuaian sosial adalah kemampuan untuk bereaksi secara

efektif dan sehat terhadap realitas, situasi, dan relasi sosial, sehingga syarat untuk kehidupan

sosialnya dapat terpenuhi dalam cara yang tepat dan memuaskan. Ketika remaja mulai memasuki

usia sekolah menengah atas (SMA), mereka mulai dihadapkan dengan berbagai tuntutan-tuntutan

dan juga perubahan akan nilai-nilai serta aturan baik berperilaku maupun dalam bertanggung

jawab. Untuk itu, remaja diharapka memiliki penyesuain sosial yang baik di sekolah.

Schneiders (1964) mengungkapkan komponen penyesuaian sosial yang efektif di sekolah,

(20)

11

Universitas Kristen Maranatha aktivitas sekolah, membina relasi dengan teman-teman dan guru, menerima tanggung jawab dan

menerima pembatasan, dan membantu teman, guru, dan orang lain.

Siswa yang memiliki kesediaan untuk menerima dan menghormati otoritas terhadap guru

akan memperlihatkan siakp yang mau bekerjasama. Dengan adanya sikap yang mau

bekerjasama, guru akan memiliki simpati dan perasaan yang positif untuk mengajar siswa dan

menolong kesulitan yang dihadapi siswa dalam pelajaran. Sementara jika siswa tidak memiliki

kesediaan untuk menerima dan menghormati otoritas, siswa tidak memiliki perasaan yang positif

terhadap guru dan hal ini dapat menyebabkan siswa tidak memiliki minta untuk belajar pada

mata pelajaran yang diajarkan guru. Bahkan mungkin siswa juga akan memperlihatkan sikap

yang tidak dapat bekerjasama dengan guru seperti menyepelekan atau membangkang. Siswa

yang memiliki kesediaan untuk berpartisispasi serta minat untuk terlibat dalam aktivitas sekolah

juga tentunya akan memiliki minat untuk mempelajari sesuatu yang baru. Minat akan

memberikan semangat dalam belajar dan hal ini akan mempengaruhi pencapaiannya terhadap

prestasi akademik, sebaliknya siswa yang tidak berminat tentunya juga tidak akan memiliki

usaha besar untuk mencapai prestasi yang baik.

Aspek berelasi dengan teman-teman dan guru yang baik dengan teman-teman akan

membuat siswa bersemangat pergi ke sekolah. Di SMA, banyak tugas-tugas pelajaran yang harus

dikerjakan secara kelompok yang hasilnya akan memberikan kontribusi bagi nilai individual.

Relasi sosial diperlukan oleh siswa untuk mencari atau membentuk kelompok belajar, kemudian

berperan dalam bekerjasama dengan teman lainnya. Selain itu teman-teman juga dapat

memabantu memberikan penjelasan mengenai pelajaran, tugas-tugas yang tidak mengerti oleh

siswa (selain siswa dapat bertanya sendiri langsung kepada guru yang bersangkutan). Siswa yang

(21)

12

mengerjakan tugas kelompok siswa tersebut akan kesulitan untuk menemukan teman yang mau

menerimanya dalam kelompok belajar. Sementara itu, relasi yang baik dengan guru akan

memberikan perasaan yang positif dalam menyimak pengajaran guru. Hal ini juga akan membuat

siswa lebih leluasa untuk bertanya atau berdiskusi. Sebaliknya, relasi yang buruk dengan guru,

tidak hanya menyebabkan guru memiliki perasaan yang negatif sehingga akan menghambat

prosesnya dalam mendidik siswa.

Aspek kesediaan untuk menerima tanggung jawab dan menerima pembatasan dalam

penyesuaian sosial juga turut berpengaruh. Kesediaan siswa dalam menerima pembatasan akan

membuatnya dapat mematuhi peraturan. Kepatuhan terhadap peraturan akan menghindarkan

siswa dari masalah, selain itu kepatuhan juga dapat membuat siswa dipandang secara positif oleh

guru. Guru akan lebih senang mengajari siswa yang patuh daripada yang tidak patuh. Sebaliknya

dari itu, jika siswa tidak patuh dan sering melanggar peraturan, guru akan memandang siswa

secara negatif dan menjadi jengkel dalam menghadapi siswa termasuk di dalam mengajar, siswa

akan mendapatkan predikat yang buruk dan dapat mempengaruhi penilaian guru terhadap siswa

yang bersangkutan. Pelanggaran juga akan membuat siswa mendapat sanksi/ hukuman, baik itu

berupa tugas, keluar dari kelas, skorsing, dan lain-lain. Sementara itu, kesediaan siswa dalam

menerima tanggung jawab akan membuatnya melakukan tanggung jawab tersebut. Tanggung

jawab siswa yang terutama adalah belajar. Dengan melaksanakan tanggung jawab ini, siswa akan

dapat mencapai prestasi akademik yang lebih baik. Sebaliknya, jika siswa tidak melakukan

tanggung jawabnya sebagai pelajar, siswa akan lalai dan tidak belajar dengan baik sehingga

prestasinya pun tidak memuaskan.

Aspek pertama yaitu siswa asal Papua di SMAK “X” Kota Bandung dapat menerima dan

(22)

13

Universitas Kristen Maranatha menerangkan, tidak menggunakan handphone selama proses belajar di kelas berlangsung. Cara

menghormati guru dapat ditunjukkan melalui kesediaan siswa untuk menerima aturan dari guru,

orangtua atau orang dewasa lain, dalam bentuk kepatuhan atau ketaatan untuk menjalankan

aturan tersebut.

Aspek kedua yaitu memiliki kesediaan untuk berpartisipasi serta minat untuk terlibat

dalam aktivitas sekolah, yang ditunjukkan melalui kesediaan siswa terlibat dalam kegiatan yang

sesuai dengan minat dan kemampuan mereka.

Aspek ketiga yaitu memiliki kesediaan untuk membina relasi dengan teman-teman dan

guru, yang ditunjukkan melalui kesediaan siswa untuk menjalin komunikasi yang baik, seperti

berbicara sopan terhadap guru maupun kepada teman.

Aspek keempat yaitu memiliki kesediaan menerima tanggung jawab dan menerima

pembatasan, yang ditunjukkan melalui kesediaan siswa untuk memahami posisi dan peranannya

sehingga dapat menerima tanggung jawab, serta melaksanakannya. Sebagai contoh yaitu ketika

siswa masuk ke dalam kelas tepat waktu, dapat mengerjakan tugas dan mengumpulkannya tepat

waktu.

Aspek kelima yaitu kesediaan untuk membantu teman, guru, dan orang lain, yang

ditunjukan melalui kesediaan siswa dalam menangkap kesulitan orang lain (teman, siswa, guru,

dan orang lain secara umum), serta memberikan bantuan sesuai dengan kemampuannya. Sebagai

contoh ketika teman mereka tidak mengerti mengenai suatu materi pelajaran maka kita dapat

menerangkannya pada teman.

Sebaliknya, saat siswa asal Papua di SMAK “X” Kota Bandung tidak mampu melakukan

(23)

14

tingkat penyesuaian sosial yang rendah di sekolah, yang berarti bahwa siswa asal Papua di SMAK “X” Kota Bandung belum mampu bertingkah laku secara sehat dan sesuai aturan.

Dengan adanya penyesuaian sosial di sekolah, siswa berusaha berprilaku sesuai dengan

tuntutan dan aturan yang ada, dengan harapan agar dapat diterima di lingkungannya.

Objek penelitian berada pada tahap perkembangan remaja akhir dengan ciri-ciri yang

membedakannya dengan tahap perkembangan dari masa sebelumnya. Pada masa remaja ini,

terjadi perkembangan fisik dan mental yang cepat sehingga menimbulkan kebutuhan akan

penyesuaian dan pembentukan sikap, nilai dan minat yang baru (Hurlock, 1994: 209-210 ).

Selain aspek-aspek dalam melakukan penyesuaian sosial, terdapat juga faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyesuaian sosial pada siswa asal Papua di SMAK “X” Kota Bandung

(Schneiders,1964) yaitu, kondisi fisik individu yang merupakan faktor yang mempengaruhi

penyesuaian sosial. Kondisi fisik yang sehat dapat menimbulkan penerimaan diri, percaya diri,

harga diri, dan sebagainya yang akan menjadi kondisi yang sangat menguntungkan bagi proses

penyesuaian sosial. Oleh karena itu, kualitas penyesuaian sosial yang baik hanya dapat diperoleh

dan dipelihara dalam kondisi kesehatan jasmaniah yang baik. Penyesuaian sosial individu akan

lebih mudah dilakukan dan dipelihara dalam kondisi fisik yang sehat daripada yang tidak sehat.

Faktor taraf perkembangan dan kematangan meliputi kematangan dan perkembangan

pada sisi emosional, intelektual, sosial, dan moral (Schneiders, 1964). Sesuai dengan tugas

perkembangan remaja, yaitu membentuk hubungan yang lebih matang, pencapaian tingkah laku

sosial yang bertanggung jawab dan mencapai tingkat kemandirian. Kematangan sosial, moral,

emosi akan menentukan sejauh mana siswa efektif menyelesaikan masalahnya dengan

melakukan pertimbangan-pertimbangan yang rasional. Siswa yang secara intelegensi lebih

(24)

15

Universitas Kristen Maranatha dalam menjalin relasi, yang merupakan salah satu aspek penyesuaian sosial. Siswa yang secara

emosi sudah matang dapat mengendalikan perilakunya dan mampu mengelola emosinya secara

efektif sesuai dengan tuntutan bagaimana seharusnya bertingkah laku yang baik. Pada siswa

yang secara emosi sudah matang, siswa mampu menampilkan penyesuaian sosial yang baik

melalui kemampuan membina relasi sosial dengan teman dan guru dengan menampilkan

ekspresi-ekspresi emosi yang tepat. Siswa yang sudah matang secara moral tampak menampilkan

penyesuaian sosial yang tinggi melalui tanggung jawab terhadap tugas yang dipercayakan

kepadanya.

Faktor kondisi psikis. Keadaan mental yang sehat merupakan syarat bagi tercapainya

penyesuaian sosial yang baik, sehingga dapat dikatakan bahwa adanya frustrasi, kecemasan dan

cacat mental akan dapat melatarbelakangi adanya hambatan dalam penyesuaian sosial. Keadaan

mental yang baik akan mendorong individu untuk memberikan respon yang selaras dengan

dorongan internal maupun tuntutan lingkungannya. Banyak sekali faktor-faktor psikologis yang

mempengaruhi penyesuaian sosial. Diantaranya adalah faktor pengalaman, frustasi, konflik,

iklim psikologis dan lain-lain. Proses belajar merupakan suatu dasar yang fundamental dalam

penyesuaian sosial, karena melalui proses belajar ini akan berkembang pola-pola respon yang

akan membentuk kepribadian

Faktor budaya dan agama. Lingkungan budaya dimana individu berada dan berinteraksi

akan menentukan pola-pola penyesuaian sosialnya. Tata cara kehidupan budaya daerah, adat

istiadat masyarakat akan mempengaruhi bagaimana anak akan menempatkan diri dan bergaul

dengan masyarakat sekitarnya. Agama memberikan suasana psikologis tertentu dalam

mengurangi konflik-konflik, frustasi dan benruk-bentuk ketegangan lainnya. Agama juga

(25)

16

Dengan adanya komponen dalam melakukan penyesuaian sosial dan faktor-faktor yang

mempengaruhi penyesuaian sosial di lingkungan sekolah, maka diharapkan agar siswa asal Papua di SMAK “X” Kota Bandung memiliki penyesuaian sosial yang tinggi di sekolahnya

seperti memiliki kesediaan untuk menerima dan menghargai atasan dan otoritas, memiliki

kesediaan pada partisipasi dalam fungsi dan aktivitas sekolah, memiliki kesediaan untuk

membina relasi yang sehat dan bersahabat dengan teman, guru dan pegawai sekolah, memiliki

kesediaan untuk menerima keterbatasan dan tanggung jawab, serta memiliki kesediaan untuk

membantu orang lain.(ganti penjelasannya)

Sebaliknya siswa asal Papua di SMAK “X” Kota Bandung memiliki penyesuaian sosial

yang rendah seperti melanggar peraturan di sekolah, tidak menghargai guru, dan tidak mengikuti

kegiatan yang diadakan oleh sekolah. Dengan melakukan penyesuaian sosial yang baik di

lingkungan sekolah, diharapkan siswa asal Papua di SMAK “X” Kota Bandung dapat bertingkah

laku secara efektif sehingga dapat diterima oleh lingkungan dimana siswa berada.

Penyesuaian sosial mempunyai peranan yang besar dalam kehidupan manusia, khususnya

pada masa remaja, terutama karena manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup

sendiri dan harus berinteraksi dengan ornag lain. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan

individu dapat berinteraksi dengan orang lain dan membina relasi yang baik dengan orang lain,

(26)

17

Universitas Kristen Maranatha Secara skematis uraian di atas dapat digambarkan sebagai berikut :

Aspek-aspek Kemampuan Penyesuaian Sosial di Sekolah :

 Penerimaan dan penghargaan otoritas

 Partisipasi serta minat dalam aktivitas sekolah  Relasi dengan teman dan guru

 Penerimaan tanggung jawab dan pembatasan  Membantu teman, guru dan orang lain

(27)

18

1.6 Asumsi

1. Siswa-siswi asal Papua yang bersekolah di SMAK “X” Kota Bandung memiliki

kemampuan penyesuaian sosial yang berbeda-beda.

2. Kemampuan penyesuaian sosial yang dilakukan oleh siswa asal Papua di SMAK “X”

Kota Bandung meliputi kemampuan berpartisipasi serta minat dalam aktivitas sekolah,

kemampuan membina relasi dengan teman-teman dan guru, kemampuan menerima

tanggung jawab dan pembatasan, serta kemampuan membantu teman, guru dan orang

lain.

3. Penyesuaian sosial di sekolah SMA “X” Kota Bandung yang dilakukan oleh siswa asal

Papua dipengaruhi oleh faktor yaitu faktor fisik, taraf perkembangan dan kematangan,

(28)

73

Universitas Kristen Maranatha BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat ditarik simpulan mengenai penyesuaian sosial pada siswa asal Papua di SMAK “X” Kota Bandung sebagai berikut :

1. Sebanyak 53,3 % siswa asal Papua memiliki penyesuaian sosial tinggi. Artinya, lebih dari setengah siswa asal Papua di SMAK “X” Kota Bandung memiliki penyesuaian

sosial yang tinggi, dan sebanyak 46,7% siswa asal Papua di SMAK “X” Kota

Bandung memiliki penyesuaian sosial yang rendah.

2. Sebagian besar memiliki penyesuaian sosial yang tinggi pada aspek memiliki

kesediaan berpartisipasi serta minat untuk terlibat dalam aktivitas sekolah, kesediaan

berelasi dengan teman-teman dan guru, dan kesediaan membantu teman, membantu

guru dan orang lain.

3. Faktor fisik berupa keadaan fisik dan kondisi kesehatan fisik, faktor taraf

perkembangan dan kematangan berupa intelektual dan relasi, faktor psikis berupa

pengalaman belajar dan menguasai perasaan, dan faktor budaya dan agama yaitu

agama memiliki keterkaitan dengan penyesuaian sosial.

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai penyesuaian sosial terhadap 30 siswa asal Papua di SMAK “X” Kota Bandung, maka beberapa saran yang dapat diberikan

(29)

74

5.2.1 Saran Teoretis

Bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai penyesuaian

sosial pada siswa asal Papua yang bersekolah di Kota Bandung:

1. Pada penelitian ini terdapat sample yang sedikit maka disarankan bagi peneliti

selanjutnya diharapkan menggunakan sample yang lebih besar ukurannya.

2. Pada penelitian ini ditemukan bahwa seluruh sample hanya meneliti pada satu sekolah

maka disarankan peneliti selanjutnya meneliti dengan sample pada seluruh siswa asal

Papua yang bersekolah di kota Bandung.

5.2.2 Saran Praktis

1. Bagi pihak sekolah di SMAK “X” Kota Bandung dapat mendorong siswa dan

menyediakan konsultasi bagi siswa asal Papua yang memiliki penyesuaian sosial yang

rendah.

2. Bagi para responden yang memiliki penyesuaian sosial yang rendah dapat disarankan

untuk menggunakan penelitian ini sebagai bahan evaluasi diri untuk meningkatkan

penyesuaian sosial dengan menerima kondisi dirinya saat ini. Disarankan agar para

siswa asal Papua dapat memanfaatkan sarana konsultasi atau konseling yang telah

disediakan oleh pihak sekolah dengan sebaik mungkin.

3. Bagi pihak sekolah di SMAK “X” Kota Bandung disarankan memberikan konseling

kepada siswa untuk meningkatkan aspek menerima dan menghargai otoritas pada

penyesuaian sosial di sekolah SMAK “X” Kota Bandung.

(30)

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI KEMAMPUAN PENYESUAIAN

SOSIAL DI SEKOLAH

SMAK “X” KOTA BANDUNG

PADA SISWA

ASAL PAPUA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Menempuh Sidang Sarjana Pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Oleh:

RIA MELINDA LESTARI NASUTION NRP : 1030136

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BANDUNG

(31)

KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang mendalam peneliti panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena

berkat kasih, anugerah, kekuatan, pimpinan dan pertolongan-Nya, maka peneliti dapat

menyelesaikan penyusunan laporan Skripsi ini. Laporan penelitian ini disusun dalam rangka

memenuhi tugas mata kuliah Skripsi pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

dengan mengambil judul : Studi Deskriptif Mengenai Kemampuan Penyesuaian Sosial Pada

Siswa Asal Papua Di SMAK “X” Kota Bandung.

Dalam penyusunan laporan penelitian ini, peneliti banyak mengalami hambatan,

namun berkat bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak maka hambatan tersebut dapat

diatasi dengan baik. Oleh karena itu pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima

kasih kepada:

1. Dr. Irene P. Edwina, M.Si., Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Kristen Maranatha, Bandung.

2. Robert Oloan Rajagukguk, Ph.D., Psikolog selaku dosen pembimbing utama yang telah

memberikan banyak waktu, tenaga serta semangat dalam membimbing penulis dan

mengkoreksi laporan ini selama proses penyusunannya.

3. Kristin Rahmani, M.Si., Psikolog selaku dosen pembimbing pendamping yang juga

telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengoreksi dan memberi masukan

kepada peneliti selama pengerjaan penelitian ini.

4. Dr. Ria Wardani, M.Si., Psikolog dan Dra. Endeh Azizah, M.Si., Psikolog selaku dosen

pembahas seminar UP yang telah banyak memberi banyak masukan kepada peneliti pada

penelitian ini.

5. Teman-teman pembahas seminar UP yang juga telah memberi masukan pada penelitian

(32)

vi

6. Staff Tata Usaha dan Perpustakaan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

7. Kepala Sekolah, Guru dan Staff SMAK “X” Kota Bandung telah memberikan ijin untuk

meluangkan waktu memberikan informasi yang sangat berguna dalam penyusunan

outline ini, serta para siswa-siswa asal Papua yang telah bersedia untuk diwawancarai

dan meluangkan waktu untuk membantu peneliti dalam mengisi kuesioner penelitian

yang telah dibagikan.

8. Bapak, Mama, Kakak, Abang dan Kedua adikku yang selalu memberikan dukungan dan

mengingatkan peneliti untuk tetap mengerjakan laporan penelitian ini hingga selesai.

9. Sahabatku yang terkasih Lestari Simanjuntak dan Ryo Sihombing, yang selalu memberi

dukungan, serta selalu mendoakan dan mengingatkan peneliti untuk tetap mengerjakan

laporan ini hingga selesai.

10. Sahabatku yang terkasih Elvira Purba, Margaretha Ginting, dan Opta Simbolon yang

selalu mendukung dan mendoakan penulis selama ini.

11. Kak Renita selaku Kakak PA dan Rosalia selaku saudara PA yang telah memberikan

dukungan dan mengingatkan peneliti untuk tetap semangat dalam mengerjakan laporan

penelitian ini.

12. Teman – teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu namanya yang telah mendukung

dalam pengerjaan laporan ini.

13. Semua pihak yang telah membantu penyusunan laporan penelitian ini, yang tidak dapat

disebutkan satu persatu.

Namun, peneliti juga menyadari akan keterbatasan, ketidaklengkapan serta kekeliruan

yang mungkin ada dalam penyusunan laporan penelitian ini. Untuk itu, peneliti

mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Harapan penulis, semoga laporan ini dapat

(33)

vii

Bandung, November 2016

(34)

75

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Dacey, John dan Maureen Kenny.1997. Adolescent Development (2th Ed. United States of America: Times Mirror Higher Education Group Inc.

Guilford, J.P. (1959). Fundamental: Statistics In Psychology and education. London, New York: McGraw-Hill Book Company, Inc.

Powell, Marvin. 1963. ThePsychology of Adolescence. New York: Bobbs Merril

Rice, F. Philip. 1998. The Adolescent Development, Relationship, and Culture (9th Ed.). Needham Heights: A Viacom Company

Santrock, John W. 2002. A Topical approach to Life-Span Development (International

Edition). North America: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Schineiders, Alexander A. 1964. Personal Adjustment and Mental Health. New York: Holt Rinehart and Winston.

Siegel, Sidney, 1985. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT. Gramedia.

(35)

DAFTAR RUJUKAN

King, Monika. 2004. Hubungan Antara Penyesuaian Sosial di Sekolah dan Prestasi Akademik pada Remaja di SMU Trinitas Bandung: Universitas Kristen Maranatha Bandung.

Luciana, Kwee Fei Lien A. Arline.2011. Studi Deskriptif Mengenai Kemampuan

Penyesuaian Sosial Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Angkatan “X” di

Universitas “X” Bandung: Universitas Kristen Maranatha.

Herman/Cah. Setiap Tahun, 500 Anak Papua Disekolahkan di Pulau Jawa dan Bali

(http://www.beritasatu.com/pendidikan/302110-setiap-tahun-500-anak-papua-disekolahkan-di pulau-jawa-dan-bali.html, diakses pada 26 Agustus 201)

Dady Aji Prawira Sutarjo, Dady (2015). Hubungan Antara Interaksi Sosial Teman Sebaya Dengan Penerimaan Sosial Pada Siswa Kelas X Di Sma Negeri 9 Yogyakarta. S1

thesis, Fakultas Ilmu Pendidikan. (www. http://eprints.uny.ac.id/13523/).

Gambar

Tabel 3.1
Gambar 3.1 Rancangan Penelitian  ..............................................................

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pretest yang ditunjukan pada tabel diatas maka dapat diketahui bahwa nilai pretest yang diperoleh siswa RI adalah nilai tertinggi yaitu 67 dan

Dari pengolahan data di atas terdapat diagram hubungan antara pemakaian air dengan jumlah pembayaran rekening listrik rata-rata tiap bulan untuk 2 kelompok, yaitu kelompok

Untuk mengatasi masalah tersebut biasanya peneliti akan menemukan cara pendekatan klasik yaitu metode kudrat tekecil atau Ordinary Least Square (OLS) dimana

Usaha asuransi adalah usaha jasa keuangan yang mengumpulkan dana masyarakat dalam bentuk pembayaran premi dan sebagai imbal baliknya perusahaan asuransi menjanjikan

Hubungan Budaya Organisasi dengan Praktik Keperawatan di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Islam Siti Rahmah Padang 2012.. Vionalisa, Rika Sabri,

This research aims to show the various gender oppressions experienced by female characters and their struggle against it, which are found in Tsitsi Dangarembga‟s Nervous

[r]

Memahami makna dalam wacana lisan interpersonal dan transaksional, secara formal maupun informal, dalam bentuk mendengarkan permintaan dan perintah yang berkaitan dengan