Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui seperti apa gambaran kemampuan penyesuaian sosial di sekolah SMAK “X” Kota Bandung pada siswa asal Papua. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui tinggi rendahnya kemampuan penyesuaian sosial di sekolah SMAK “X” Kota Bandung pada siswa asal Papua yang dikaitkan dengan hal yang mempengaruhi kemampuan penyesuaian sosial tersebut.
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan teori dari Schneiders (1964). Adapun yang dimaksud dengan penyesuaian sosial adalah tinggi rendahnya kemampuan individu untuk dapat bertingkah laku secara efektif dan sehat sesuai dengan kenyataan atau realitas, situasi, relasi sehingga kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara memuaskan.
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode deskriptif dengan menggunakan teknik survey.Variabel dalam penelitian ini adalah kemampuan penyesuaian sosial di sekolah SMAK “X” Kota Bandung pada siswa asal Papua. Alat ukur yang digunakan yaitu kuesioner penyesuaian sosial yang diadaptasi oleh peneliti sesuai dengan keperluan penelitian. Berdasarkan hasil perhitungan yang telah dilakukan diperoleh hasil validitas berkisar antara 0.300 sampai 0.662 sedangkan reliabilitas alat ukur sebesar 0.920.
Sampel penelitian ini yaitu siswa asal Papua di SMAK “X” Kota Bandung yang berjumlah 30 siswa responden. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan maka diperoleh hasil bahwa siswa asal Papua di SMAK “X” Kota Bandung memiliki kemampuan penyesuaian sosial yang tinggi.
vi
Universitas Kristen Maranatha Abstract
This research was conducted to determine what kind of picture of the ability of social adjustment in “X” senior high school Bandung to the origin of Papua students. The purpose of this study is to determine the level of social adjustment capability on the “X” senior high school Bandung to the origin of Papua students, which is associated with things that affect the ability of social adjustment.
In conducting this study, researchers used the theory of the Schneiders (1964). As for the meaning of social adjustment are high and low ability of individuals to behave in an effective and healthy in accordance with fact or reality, situations, relationships that social needs can be met satisfactorily.
The research design used in this research use descriptive method by using survey techniques. The variable in this study is the ability of social adjustment in “X” senior high school Bandung to the origin of Papua students. Measuring instrument used is the social adjustment questionnaire which was adapted by researchers in accordance with the purposes of research. Based on the calculation by result validity ranged from 0.300 to 0.662 while the reliability of measurement by 0.920.
Samples of Papua student at SMAK “X” of Bandung to 30 respondents. Based on calculations that have been conducted, the results showed that Papua student at SMAK “X” of Bandung has a high ability of social adjustment.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN ... iii
PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN ... iv
ABSTRAK ... v
ABSTRACT ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Identifikasi Masalah ... 8
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 8
1.3.1 Maksud Penelitian ... 8
1.3.2 Tujuan Penelitian ... 8
1.4 Kegunaan Penelitian ... 9
1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 9
1.4.2 Kegunaan Praktis ... 9
1.5 Kerangka Pemikiran ... 10
x
Universitas Kristen Maranatha BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyesuaian Sosial ... 19
2.1.1 Pengertian Penyesuaian Sosial ... 19
2.1.2 Penyesuaian Terhadap Lingkungan Sosial ... 19
2.1.3 Macam-Macam Penyesuaian Sosial ... 20
2.1.3.1 Penyesuaian di Lingkungan Rumah dan Keluarga ... 20
2.1.3.2 Penyesuaian di Lingkungan Sekolah ... 23
2.1.3.3 Penyesuaian di Lingkungan Masyarakat ... 24
2.1.4 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Proses Penyesuaian Sosial ... 26
2.2 Remaja ... 28
3.3 Variabel Penelitian, Definisi Konseptual, Dan Definisi Operasional ... 42
3.3.1 Variabel Penelitian ... 42
3.3.2 Definisi Konseptual ... 42
3.3.3 Definisi Operasional ... 42
xi
3.4.1 Alat Ukur Penyesuaian Sosial ... 44
3.4.2 Kisi-kisi Alat Ukur ... 44
3.4.3 Sistem Penilaian Alat Ukur ... 45
3.4.4 Cara Skoring ... 46
3.4.5 Data Penunjang ... 46
3.5 Validitas dan Realibilitas ... 47
3.5.1 Validitas Alat Ukur ... 47
3.5.2 Uji Realiabilitas Alat Ukur ... 48
3.6 Populasi Sasaran ... 48
3.7 Teknik Analisis Data ... 48
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Responden Penelitian ... 50
4.1.1 Gambaran Responden Berdasarkan Usia ... 50
4.1.2 Gambaran Responden Berdsarkan Kelas ... 51
4.2 Hasil Penelitian ... 51
4.2.1 Derajat Penyesuaian Sosial ... 52
4.2.2 Gambaran Aspek-aspek Penyesuaian Sosial ... 52
4.3 Pembahasan ... 55
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 73
5.2 Saran ... 73
5.2.1 Saran Teoritis ... 74
xii
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA ... 75
DAFTAR RUJUKAN ... 76
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1 Kisi-kisi Alat Ukur ... 44
Tabel 3.2 Sistem Penilaian Setiap Aspek Penyesuaian Sosial ... 46
Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Usia ... 50
Tabel 4.2 Gambaran Responden Berdasarkan Kelas ... 51
Tabel 4.3 Gambaran Penyesuaian Sosial ... 52
Tabel 4.4 Gambaran Aspek-aspek Penyesuaian Sosial ... 52
xiv
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1 Bagan Kerangka Pemikiran ... 17
DAFTAR LAMPIRAN
Kisi-kisi Alat Ukur ... L-1
Letter Of Concent dan Alat Ukur ( Identitas, Data Utama, dan Data Penunjang) L-8
Uji Validitas Alat Ukur dan Item Validitas ... L-19
Uji Reliabilitas Alat Ukur ... L-22
Skor Total dan Aspek Penyesuaian Sosial ... L-23
Derajat Penyesuaian Sosial dan Aspek ... L-25
1
Universitas Kristen Maranatha BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia
membutuhkan interaksi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya untuk dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya. Interaksi ini dapat berupa hubungan manusia dengan lingkungan keluarga,
hubungan manusia di dalam lingkungan sekolah, maupun dalam lingkungan masyarakat. Dalam
menjalani hubungan-hubungan tersebut, manusia perlu melakukan penyesuaian sosial terhadap
lingkungannya, sesuai situasi yang dihadapi yaitu di tempat individu tersebut hidup, tumbuh dan
berkembang.
Lingkungan keluarga menjadi tempat pertama individu bertumbuh dan berkembang.
Dalam keluarga, individu diajarkan mengenai moralitas, yakni untuk berinteraksi dan memahami
pola pergaulan serta tingkah laku orang di luar rumah dan mengaplikasikan nilai-nilai yang
dipegang individu.
Selain di lingkungan keluarga dan masyarakat, kehidupan sosial seorang siswa berpusat
di lingkungan sekolah. Sebagian besar waktu dihabiskan di sekolah dengan teman-teman
sebaya. Menurut Steinberg (2002) bagi siswa sekolah merupakan setting utama untuk
bersosialisasi. Oleh karena itu, penyesuaian di lingkungan sekolah diperlukan oleh siswa.
SMAK “X” merupakan salah satu sekolah Kristen swasta di Bandung yang menerima
2
Pendidikan Menengah (ADEM). ADEM ialah program nasional dalam percepatan pembangunan
Papua. Program tersebut merupakan kerjasama Kementerian Pendidikan Dasar Menengah
(Mendikdasmen) dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Kerjasama ini sesuai tujuan
negara, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa anak asli Papua untuk melanjutkan pendidikan ke
sejumlah daerah di Pulau Jawa dan Bali.
Program ADEM bergulir sejak tahun 2013. Pada tahun ketiga atau tahun 2015, sekitar
1.304 anak Papua telah menimba ilmu ke tingkat SMA atau SMK yang tersebar di Yogyakarta,
Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, dan Bali. Untuk program ADEM 2015, tercatat
sebanyak 505 anak Papua menempuh pendidikan SMA dan SMK di enam provinsi tersebut. 96
anak asli dari jumlah 505 anak Papua lulusan SMP melanjutkan pendidikannya ke SMA dan
SMK yang tersebar di Jawa Barat.
Ada sembilan SMA di Bandung yang menjadi sekolah pembimbing bagi 40 siswa SMP
asal Papua dan Papua Barat yang lolos dalam program afirmasi pendidikan menengah
Kemdikbud untuk melanjutkan pendidikan di Jawa dan Bali. Sembilan sekolah swasta tersebut,
yakni SMA Kristen Rehobot, SMA Kristen Paulus, SMA Kristen BPPK, SMA Kristen Yahya,
SMA Kristen Kalam Kudus, SMA Kristen Advent, SMA Kristen Pelita Bangsa, SMA Kristen
Putra Mandiri, dan SMA Badan Perguruan Indonesia 2.
Sejak tahun 2013, Kemdikbud telah memiliki program menyekolahkan 350 anak Papua
dan 150 anak Papua Barat ke sekolah-sekolah di Pulau Jawa dan Bali. Kasubdit Program dan
Evaluasi Pendidikan Menengah Kemdikbud, Lilik Sulistyowati mengatakan, program ini
dijalankan dalam upaya memperluas kesempatan pendidikan bagi anak-anak di Papua hingga
jenjang menengah melalui program Wajib Belajar (Wajar) 12 tahun. Selama bersekolah di Pulau
3
tidak dapat melakukan penyesuaian sosial. Hal ini mengakibatkan siswa mengalami kendala
dalam menjalin relasi saat diharuskan untuk bekerjasama dengan teman-teman sekelompok
belajarnya di sekolah. Selain itu, apabila siswa tidak dapat melakukan penyesuaian sosial maka
akan mempengaruhi proses belajarnya di sekolah. Salah satu contohnya, siswa yang enggan
bergaul dengan siswa lainnya dan lebih memilih menyendiri. Siswa tersebut akan sulit masuk
dalam pergaulan siswa lainnya dan saat pembagian tugas kelompok, ia akan bingung bergabung
dengan kelompok belajar yang sudah dibagikan guru.
Aspek sosial adalah salah satu aspek yang penting di dalam pemenuhan kebutuhan akan
adanya orang lain atau suatu kelompok lain yang terlibat di dalam tingkah lakunya untuk
mencapai suatu tujuan atau cita-cita. Manusia membutuhkan adanya kehadiran orang lain dalam
kehidupannya, atau dengan kata lain kebutuhan sosial yang mencakup untuk diterima dan
dihargai, kebutuhan untuk afeksi, kebutuhan untuk memiliki, kebutuhan untuk berkuasa dan
kebutuhan heterosexual. Dengan banyaknya kebutuhan sosial yang harus dipenuhi maka
kemampuan untuk menjalin relasi dengan orang lain sangat diperlukan.
Pada usia remaja penolakan atau penerimaan pertemanan remaja berpengaruh besar
terhadap perkembangan kehidupan sosial remaja itu sendiri. Penerimaan sosial untuk remaja
akan berpengaruh pada kesempatan remaja dalam belajar berinteraksi dengan teman sebayanya,
berpartisipasi dalam kelompok dan juga memahami individu lain dalam kehidupan sosial. Di sisi
4
remaja dengan teman sebayanya menjadi sempit sehingga remaja menjadi pribadi yang tertutup,
kurang percaya diri dan susah bekerjasama dengan remaja lainnya. (www.
http://eprints.uny.ac.id/13523/)
Kemampuan remaja dalam melakukan penyesuaian dengan lingkungan sosialnya tidak
timbul dengan sendirinya. Kemampuan ini diperoleh remaja dari bekal kemampuan yang telah
dipelajari dari lingkungan keluarga, dan proses belajar dari pengalaman-pengalaman baru yang
dialami dalam interaksinya dengan lingkungan sosialnya. Menurut Lazarus (1976), saat individu
berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, individu tersebut harus memperhatikan tuntutan dan
harapan sosial yang ada terhadap perilakunya. Maksudnya bahwa individu tersebut harus
membuat suatu kesepakatan antara kebutuhan atau keinginannya sendiri dengan tuntutan dan
harapan sosial yang ada, sehingga pada akhirnya individu itu akan merasakan kepuasan pada
hidupnya.
Schneiders (1964) menjelaskan bahwa dalam menjalin relasi diperlukan kemampuan
penyesuaian sosial, yaitu kemampuan untuk bertingkah laku dalam lingkungan sosial secara
efektif dan sehat sesuai dengan realitas agar tingkah laku dapat diterima oleh lingkungan,
sehingga kebutuhan secara sosial dapat terpenuhi dan terpuaskan. Kemampuan penyesuaian
sosial akan membawa seseorang untuk dapat menerima dan menghormati otoritas, ikut
berpartisipasi serta minat untuk terlibat dalam aktivitas sekolah, menjalin relasi dengan
teman-teman dan guru, menerima kesediaan tanggung jawab dan menerima pembatasan, membantu
teman, guru dan orang lain. Hal-hal tersebut dapat membantu seseorang untuk dapat diterima
dalam lingkungan sosialnya.
Penyesuaian sosial di sekolah diperlukan siswa untuk bisa menjalin relasi dengan orang
5
Universitas Kristen Maranatha tuntutan bagi terjadinya penyesuaian sosial yang efektif (Schneiders, 1964: 455). Di dalam relasi
tersebut akan terjadi sosialisasi, yakni proses pembentukan tingkah laku sehingga individu dapat
bertingkah laku sesuai dengan lingkungan sosialnya. Menurut Schneiders (1964) penyesuaian
sosial di sekolah meliputi beberapa aspek. Pertama, menerima dan menghormati otoritas. Kedua,
berpartisipasi serta minat untuk terlibat dalam aktivitas sekolah. Ketiga, berelasi dengan
teman-teman dan guru. Keempat, kesediaan menerima tanggung jawa dan menerima pembatasan
sebagai siswa. Kelima, membantu teman, guru, dan orang lain. Seluruh aspek ini akan
menunjang penyesuaian sosial bagi siswa di dalam sekolah.
Berdasarkan data yang diperoleh dari SMAK “X” Kota Bandung diketahui bahwa
populasi siswa asal Papua di SMAK “X” kota Bandung sebanyak 30 orang siswa, terdiri dari
kelas X, XI jurusan IS dan XII jurusan MIPA. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti bahwa
sebagian siswa asal Papua masih belum mampu untuk melakukan penyesuaian sosial di SMAK “X” Kota Bandung. Sebagian siswa tersebut masih ada yang tidak patuh pada peraturan sekolah,
misalnya ketika guru menjelaskan di depan kelas, siswa tersebut berbicara dengan teman yang di
sampingnya, memainkan handphone, keluar dari ruangan kelas, dan tidak mengikuti pelajaran di
kelas. Hal ini juga diakibatkan karena ketidak patuhan siswa asli Bandung, sehingga siswa Papua
mengikuti tingkah laku.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu guru di SMAK “X” Kota Bandung,
sebagian siswa asal Papua masih ada yang tidak patuh pada aturan sekolah. Terkadang mereka
tidak masuk sekolah atau bolos meskipun asrama mereka masih berada di lokasi sekolah
tersebut. Mereka tidak masuk kelas karena ingin bermain atau karena lelah bermain bola.
6
Untuk mengetahui gambaran penyesuaian sosial dari siswa yang berasal dari Papua, maka
peneliti melakukan wawancara kepada 10 siswa yang berkaitan tentang penyesuaian sosial di sekolah SMAK “X” Kota Bandung. Dari hasil wawancara yang dilakukan kepada 10 siswa asal
Papua, diperoleh gambaran aspek pertama 50% siswa mampu menerima dan menghormati
otoritas guru yang ditunjukkan dalam bentuk kepatuhan/ ketaatan untuk menjalankan aturan
tersebut. Hal ini terwujud dalam tingkah laku siswa yang memperhatikan guru pada saat
menerangkan materi pelajaran dengan sungguh-sungguh. Sedangkan 50% siswanya kurang
mampu menerima dan menghormati otoritas guru. Misalnya, mendengar materi pelajaran sambil
menggunakan handphone, berbicara dengan teman di sampingnya, atau ke luar dari kelas saat
pelajaran berlangsung.
Aspek kedua, siswa asal Papua diharapkan berpartisipasi serta minat siswa untuk terlibat
dalam aktivitas sekolah. Berdasarkan survei awal, kenyataannya dari 10 orang yang
diwawancarai, diperoleh data hanya 80% orang yang berpartisipasi serta berminat untuk terlibat
dalam aktivitas sekolah. Hal ini ditunjukkan dalam keaktifannya mengikuti ektrakurikuler
(kegiatan OSIS dan olahraga), ikut berpartisipasi dalam kegiatan sekolah dan ikut terlibat
menjadi panitia (kegiatan pentas seni). Sedangkan 20% orang lainnya tidak memiliki partisipasi
serta minat untuk terlibat dalam aktivitas sekolah karena mereka tidak dapat membagi waktu jika
ikut dalam kegiatan sekolah. Siswa lebih senang menghabiskan waktu di asrama daripada
mengikuti kegiatan di sekolah.
Aspek ketiga, kemampuan siswa membina relasi dengan teman-teman dan guru.
Berdasarkan survei awal dari 10 siswa asal Papua diperoleh data 100% siswa mampu membina
relasi interpersonal dengan teman-teman dan guru, yang ditunjukkan melalui derajat kesediaan
7
Universitas Kristen Maranatha guru di luar jam pelajaran, menyapa guru pada saat berpapasan. Ketika ada masalah, mereka
saling bercerita dengan teman dekat mereka.
Aspek keempat, siswa asal Papua diharapkan bersedia untuk menerima tanggung jawab
dan menerima pembatasan yang ditetapkan pihak sekolah. Namun, berdasarkan survei awal 10
siswa yang diwawancarai, 60% siswa bersedia menerima tanggung jawab dan menerima
pembatasan, memahami posisi, dan peranannya. Hal ini ditunjukkan dengan selalu berusaha
untuk tampil rapi, tidak datang terlambat ke sekolah, dan mengerjakan tugas yang diberikan oleh
guru. Sedangkan 40% lainnya kurang mampu menerima dan melaksanakan tanggung jawab dan
memahami posisi dan peranannya. Hal ini terlihat saat mereka melanggar aturan, seperti tidak
tampil rapi ketika datang ke sekolah dan lupa untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru.
Aspek kelima, berdasarkan survei awal pada 10 siswa asal Papua, diperoleh data
sebanyak 100% siswa asal Papua bersedia membantu teman, guru, dan orang lain. Dapat dilihat
ketika teman mereka ada yang tidak mengerti dalam mengerjakan tugas, mereka mau
menjelaskan kembali sesuai dengan kemampuannya dan juga mau menolong guru yang meminta
bantuan kepada mereka.
Mereka dituntut untuk mematuhi semua peraturan yang diterapkan sekolah. Siswa-siswi
dituntut untuk membangun relasi yang baik antara siswa dan siswa, dan siswa dengan guru. Hal
ini akan membantu siswa dalam menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sekolah yang baru.
Siswa diharapkan untuk berpartisipasi dalam kegiatan, baik secara intrakurikuler dan
ekstrakurikuler yang diselenggarakan oleh sekolah. Hal ini bertujuan untuk membangun prestasi
sesuai dengan kemampuan siswa tersebut. Siswa diwajibkan untuk dapat menerima
tanggungjawab yang diberikan sekolah agar jiwa kepemimpinan terbangun dalam diri siswa
8
Dari penjabaran di atas, siswa-siswi asal Papua yang bersekolah di SMAK “X” Kota
Bandung memiliki penyesuaian sosial yang bervariasi, ada yang mampu dan ada yang kurang
mampu dalam melakukan penyesuaian sosial. Hal ini membuat peneliti ingin meneliti bagaimana
gambaran penyesuaian sosial yang dimiliki oleh siswa-siswi asal Papua di SMAK “X” Kota
Bandung.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah, maka identifikasi masalah dari
penelitian ini adalah bagaimana gambaran kemampuan penyesuian sosial pada siswa-siswa asal Papua di SMAK “X” Kota Bandung.
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1 Maksud Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai kemampuan penyesuaian sosial di lingkungan sekolah pada siswa-siswa asal Papua di SMAK “X” Kota
Bandung.
1.3.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran lebih lanjut mengenai kemampuan penyesuaian sosial pada pada siswa-siswa asal Papua di SMAK “X” Kota Bandung
melalui kelima aspek penyesuaian sosial, yaitu dan penerimaan dan menghormati otoritas,
9
Universitas Kristen Maranatha 1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunan Teoritis
Hasil penelitian dapat menjadi informasi awal dan bahan masukan bagi peneliti lain yang
ingin melakukan penelitian mengenai kemampuan penyesuaian sosial di sekolah,
khususnya kepada siswa-siswa yang berasal dari daerah Papua yang bersekolah di Kota
Bandung.
Sebagai bahan atau sumber informasi sekaligus masukan bagi peneliti lain guna
mengembangkan lebih lanjut penelitian ini dan dapat digunakan sebagai pembanding
bagi berkepentingan untuk melakukan penelitian ini yang mengangkat penyesuaian sosial
di sekolah sebagai topiknya.
1.4.2 Kegunaan Praktis
Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak antara lain :
Memberikan informasi kepada pihak di SMAK “X” Kota Bandung mengenai gambaran
penyesuaian sosial di sekolah khususnya pada siswa-siswa yang berasal dari Papua sebagai bahan evaluasi bagi sekolah SMAK “X” Kota Bandung.
Memberikan informasi kepada siswa, khususnya siswa yang berasal dari Papua di SMAK “X” Kota Bandung mengenai kemampuan penyesuaian sosial mereka di sekolah yang
dimilikinya sebagai bahan evaluasi diri agar lebih meningkatkan kemampuan
penyesuaian sosial.
10
memberikan konseling kepada siswa yang memiliki masalah dalam melakukan
penyesuaian sosial.
1.5 Kerangka Pemikiran
Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan lepas dari lingkungan sosial. Maka dari itu
dalam usaha memenuhi kebutuhannya, manusia selalu berintraksi dengan lingkungan. Manusia
harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Schneider (1964:69) mengungkapkan
bahwa kebutuhan manusia memiliki keterkaitan dengan penyesuaian diri karena dalam proses
pemenuhan kebutuhan tersebut individu harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan
sosial di sekitarnya, khususnya pada remaja.
Lingkungan sosial disini berupa lingkungan keluarga, masyarakat, ataupun lingkungan
sekolah. Di dalam lingkungan-lingkungan tersebut, manusia dapat melakukan suatu interaksi.
Interaksi disini bisa terjadi antara satu individu dengan individu yang lainnya ataupun antara
individu dengan kelompok.
Menurut Schneider (1964), penyesuaian sosial adalah kemampuan untuk bereaksi secara
efektif dan sehat terhadap realitas, situasi, dan relasi sosial, sehingga syarat untuk kehidupan
sosialnya dapat terpenuhi dalam cara yang tepat dan memuaskan. Ketika remaja mulai memasuki
usia sekolah menengah atas (SMA), mereka mulai dihadapkan dengan berbagai tuntutan-tuntutan
dan juga perubahan akan nilai-nilai serta aturan baik berperilaku maupun dalam bertanggung
jawab. Untuk itu, remaja diharapka memiliki penyesuain sosial yang baik di sekolah.
Schneiders (1964) mengungkapkan komponen penyesuaian sosial yang efektif di sekolah,
11
Universitas Kristen Maranatha aktivitas sekolah, membina relasi dengan teman-teman dan guru, menerima tanggung jawab dan
menerima pembatasan, dan membantu teman, guru, dan orang lain.
Siswa yang memiliki kesediaan untuk menerima dan menghormati otoritas terhadap guru
akan memperlihatkan siakp yang mau bekerjasama. Dengan adanya sikap yang mau
bekerjasama, guru akan memiliki simpati dan perasaan yang positif untuk mengajar siswa dan
menolong kesulitan yang dihadapi siswa dalam pelajaran. Sementara jika siswa tidak memiliki
kesediaan untuk menerima dan menghormati otoritas, siswa tidak memiliki perasaan yang positif
terhadap guru dan hal ini dapat menyebabkan siswa tidak memiliki minta untuk belajar pada
mata pelajaran yang diajarkan guru. Bahkan mungkin siswa juga akan memperlihatkan sikap
yang tidak dapat bekerjasama dengan guru seperti menyepelekan atau membangkang. Siswa
yang memiliki kesediaan untuk berpartisispasi serta minat untuk terlibat dalam aktivitas sekolah
juga tentunya akan memiliki minat untuk mempelajari sesuatu yang baru. Minat akan
memberikan semangat dalam belajar dan hal ini akan mempengaruhi pencapaiannya terhadap
prestasi akademik, sebaliknya siswa yang tidak berminat tentunya juga tidak akan memiliki
usaha besar untuk mencapai prestasi yang baik.
Aspek berelasi dengan teman-teman dan guru yang baik dengan teman-teman akan
membuat siswa bersemangat pergi ke sekolah. Di SMA, banyak tugas-tugas pelajaran yang harus
dikerjakan secara kelompok yang hasilnya akan memberikan kontribusi bagi nilai individual.
Relasi sosial diperlukan oleh siswa untuk mencari atau membentuk kelompok belajar, kemudian
berperan dalam bekerjasama dengan teman lainnya. Selain itu teman-teman juga dapat
memabantu memberikan penjelasan mengenai pelajaran, tugas-tugas yang tidak mengerti oleh
siswa (selain siswa dapat bertanya sendiri langsung kepada guru yang bersangkutan). Siswa yang
12
mengerjakan tugas kelompok siswa tersebut akan kesulitan untuk menemukan teman yang mau
menerimanya dalam kelompok belajar. Sementara itu, relasi yang baik dengan guru akan
memberikan perasaan yang positif dalam menyimak pengajaran guru. Hal ini juga akan membuat
siswa lebih leluasa untuk bertanya atau berdiskusi. Sebaliknya, relasi yang buruk dengan guru,
tidak hanya menyebabkan guru memiliki perasaan yang negatif sehingga akan menghambat
prosesnya dalam mendidik siswa.
Aspek kesediaan untuk menerima tanggung jawab dan menerima pembatasan dalam
penyesuaian sosial juga turut berpengaruh. Kesediaan siswa dalam menerima pembatasan akan
membuatnya dapat mematuhi peraturan. Kepatuhan terhadap peraturan akan menghindarkan
siswa dari masalah, selain itu kepatuhan juga dapat membuat siswa dipandang secara positif oleh
guru. Guru akan lebih senang mengajari siswa yang patuh daripada yang tidak patuh. Sebaliknya
dari itu, jika siswa tidak patuh dan sering melanggar peraturan, guru akan memandang siswa
secara negatif dan menjadi jengkel dalam menghadapi siswa termasuk di dalam mengajar, siswa
akan mendapatkan predikat yang buruk dan dapat mempengaruhi penilaian guru terhadap siswa
yang bersangkutan. Pelanggaran juga akan membuat siswa mendapat sanksi/ hukuman, baik itu
berupa tugas, keluar dari kelas, skorsing, dan lain-lain. Sementara itu, kesediaan siswa dalam
menerima tanggung jawab akan membuatnya melakukan tanggung jawab tersebut. Tanggung
jawab siswa yang terutama adalah belajar. Dengan melaksanakan tanggung jawab ini, siswa akan
dapat mencapai prestasi akademik yang lebih baik. Sebaliknya, jika siswa tidak melakukan
tanggung jawabnya sebagai pelajar, siswa akan lalai dan tidak belajar dengan baik sehingga
prestasinya pun tidak memuaskan.
Aspek pertama yaitu siswa asal Papua di SMAK “X” Kota Bandung dapat menerima dan
13
Universitas Kristen Maranatha menerangkan, tidak menggunakan handphone selama proses belajar di kelas berlangsung. Cara
menghormati guru dapat ditunjukkan melalui kesediaan siswa untuk menerima aturan dari guru,
orangtua atau orang dewasa lain, dalam bentuk kepatuhan atau ketaatan untuk menjalankan
aturan tersebut.
Aspek kedua yaitu memiliki kesediaan untuk berpartisipasi serta minat untuk terlibat
dalam aktivitas sekolah, yang ditunjukkan melalui kesediaan siswa terlibat dalam kegiatan yang
sesuai dengan minat dan kemampuan mereka.
Aspek ketiga yaitu memiliki kesediaan untuk membina relasi dengan teman-teman dan
guru, yang ditunjukkan melalui kesediaan siswa untuk menjalin komunikasi yang baik, seperti
berbicara sopan terhadap guru maupun kepada teman.
Aspek keempat yaitu memiliki kesediaan menerima tanggung jawab dan menerima
pembatasan, yang ditunjukkan melalui kesediaan siswa untuk memahami posisi dan peranannya
sehingga dapat menerima tanggung jawab, serta melaksanakannya. Sebagai contoh yaitu ketika
siswa masuk ke dalam kelas tepat waktu, dapat mengerjakan tugas dan mengumpulkannya tepat
waktu.
Aspek kelima yaitu kesediaan untuk membantu teman, guru, dan orang lain, yang
ditunjukan melalui kesediaan siswa dalam menangkap kesulitan orang lain (teman, siswa, guru,
dan orang lain secara umum), serta memberikan bantuan sesuai dengan kemampuannya. Sebagai
contoh ketika teman mereka tidak mengerti mengenai suatu materi pelajaran maka kita dapat
menerangkannya pada teman.
Sebaliknya, saat siswa asal Papua di SMAK “X” Kota Bandung tidak mampu melakukan
14
tingkat penyesuaian sosial yang rendah di sekolah, yang berarti bahwa siswa asal Papua di SMAK “X” Kota Bandung belum mampu bertingkah laku secara sehat dan sesuai aturan.
Dengan adanya penyesuaian sosial di sekolah, siswa berusaha berprilaku sesuai dengan
tuntutan dan aturan yang ada, dengan harapan agar dapat diterima di lingkungannya.
Objek penelitian berada pada tahap perkembangan remaja akhir dengan ciri-ciri yang
membedakannya dengan tahap perkembangan dari masa sebelumnya. Pada masa remaja ini,
terjadi perkembangan fisik dan mental yang cepat sehingga menimbulkan kebutuhan akan
penyesuaian dan pembentukan sikap, nilai dan minat yang baru (Hurlock, 1994: 209-210 ).
Selain aspek-aspek dalam melakukan penyesuaian sosial, terdapat juga faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyesuaian sosial pada siswa asal Papua di SMAK “X” Kota Bandung
(Schneiders,1964) yaitu, kondisi fisik individu yang merupakan faktor yang mempengaruhi
penyesuaian sosial. Kondisi fisik yang sehat dapat menimbulkan penerimaan diri, percaya diri,
harga diri, dan sebagainya yang akan menjadi kondisi yang sangat menguntungkan bagi proses
penyesuaian sosial. Oleh karena itu, kualitas penyesuaian sosial yang baik hanya dapat diperoleh
dan dipelihara dalam kondisi kesehatan jasmaniah yang baik. Penyesuaian sosial individu akan
lebih mudah dilakukan dan dipelihara dalam kondisi fisik yang sehat daripada yang tidak sehat.
Faktor taraf perkembangan dan kematangan meliputi kematangan dan perkembangan
pada sisi emosional, intelektual, sosial, dan moral (Schneiders, 1964). Sesuai dengan tugas
perkembangan remaja, yaitu membentuk hubungan yang lebih matang, pencapaian tingkah laku
sosial yang bertanggung jawab dan mencapai tingkat kemandirian. Kematangan sosial, moral,
emosi akan menentukan sejauh mana siswa efektif menyelesaikan masalahnya dengan
melakukan pertimbangan-pertimbangan yang rasional. Siswa yang secara intelegensi lebih
15
Universitas Kristen Maranatha dalam menjalin relasi, yang merupakan salah satu aspek penyesuaian sosial. Siswa yang secara
emosi sudah matang dapat mengendalikan perilakunya dan mampu mengelola emosinya secara
efektif sesuai dengan tuntutan bagaimana seharusnya bertingkah laku yang baik. Pada siswa
yang secara emosi sudah matang, siswa mampu menampilkan penyesuaian sosial yang baik
melalui kemampuan membina relasi sosial dengan teman dan guru dengan menampilkan
ekspresi-ekspresi emosi yang tepat. Siswa yang sudah matang secara moral tampak menampilkan
penyesuaian sosial yang tinggi melalui tanggung jawab terhadap tugas yang dipercayakan
kepadanya.
Faktor kondisi psikis. Keadaan mental yang sehat merupakan syarat bagi tercapainya
penyesuaian sosial yang baik, sehingga dapat dikatakan bahwa adanya frustrasi, kecemasan dan
cacat mental akan dapat melatarbelakangi adanya hambatan dalam penyesuaian sosial. Keadaan
mental yang baik akan mendorong individu untuk memberikan respon yang selaras dengan
dorongan internal maupun tuntutan lingkungannya. Banyak sekali faktor-faktor psikologis yang
mempengaruhi penyesuaian sosial. Diantaranya adalah faktor pengalaman, frustasi, konflik,
iklim psikologis dan lain-lain. Proses belajar merupakan suatu dasar yang fundamental dalam
penyesuaian sosial, karena melalui proses belajar ini akan berkembang pola-pola respon yang
akan membentuk kepribadian
Faktor budaya dan agama. Lingkungan budaya dimana individu berada dan berinteraksi
akan menentukan pola-pola penyesuaian sosialnya. Tata cara kehidupan budaya daerah, adat
istiadat masyarakat akan mempengaruhi bagaimana anak akan menempatkan diri dan bergaul
dengan masyarakat sekitarnya. Agama memberikan suasana psikologis tertentu dalam
mengurangi konflik-konflik, frustasi dan benruk-bentuk ketegangan lainnya. Agama juga
16
Dengan adanya komponen dalam melakukan penyesuaian sosial dan faktor-faktor yang
mempengaruhi penyesuaian sosial di lingkungan sekolah, maka diharapkan agar siswa asal Papua di SMAK “X” Kota Bandung memiliki penyesuaian sosial yang tinggi di sekolahnya
seperti memiliki kesediaan untuk menerima dan menghargai atasan dan otoritas, memiliki
kesediaan pada partisipasi dalam fungsi dan aktivitas sekolah, memiliki kesediaan untuk
membina relasi yang sehat dan bersahabat dengan teman, guru dan pegawai sekolah, memiliki
kesediaan untuk menerima keterbatasan dan tanggung jawab, serta memiliki kesediaan untuk
membantu orang lain.(ganti penjelasannya)
Sebaliknya siswa asal Papua di SMAK “X” Kota Bandung memiliki penyesuaian sosial
yang rendah seperti melanggar peraturan di sekolah, tidak menghargai guru, dan tidak mengikuti
kegiatan yang diadakan oleh sekolah. Dengan melakukan penyesuaian sosial yang baik di
lingkungan sekolah, diharapkan siswa asal Papua di SMAK “X” Kota Bandung dapat bertingkah
laku secara efektif sehingga dapat diterima oleh lingkungan dimana siswa berada.
Penyesuaian sosial mempunyai peranan yang besar dalam kehidupan manusia, khususnya
pada masa remaja, terutama karena manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup
sendiri dan harus berinteraksi dengan ornag lain. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan
individu dapat berinteraksi dengan orang lain dan membina relasi yang baik dengan orang lain,
17
Universitas Kristen Maranatha Secara skematis uraian di atas dapat digambarkan sebagai berikut :
Aspek-aspek Kemampuan Penyesuaian Sosial di Sekolah :
Penerimaan dan penghargaan otoritas
Partisipasi serta minat dalam aktivitas sekolah Relasi dengan teman dan guru
Penerimaan tanggung jawab dan pembatasan Membantu teman, guru dan orang lain
18
1.6 Asumsi
1. Siswa-siswi asal Papua yang bersekolah di SMAK “X” Kota Bandung memiliki
kemampuan penyesuaian sosial yang berbeda-beda.
2. Kemampuan penyesuaian sosial yang dilakukan oleh siswa asal Papua di SMAK “X”
Kota Bandung meliputi kemampuan berpartisipasi serta minat dalam aktivitas sekolah,
kemampuan membina relasi dengan teman-teman dan guru, kemampuan menerima
tanggung jawab dan pembatasan, serta kemampuan membantu teman, guru dan orang
lain.
3. Penyesuaian sosial di sekolah SMA “X” Kota Bandung yang dilakukan oleh siswa asal
Papua dipengaruhi oleh faktor yaitu faktor fisik, taraf perkembangan dan kematangan,
73
Universitas Kristen Maranatha BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat ditarik simpulan mengenai penyesuaian sosial pada siswa asal Papua di SMAK “X” Kota Bandung sebagai berikut :
1. Sebanyak 53,3 % siswa asal Papua memiliki penyesuaian sosial tinggi. Artinya, lebih dari setengah siswa asal Papua di SMAK “X” Kota Bandung memiliki penyesuaian
sosial yang tinggi, dan sebanyak 46,7% siswa asal Papua di SMAK “X” Kota
Bandung memiliki penyesuaian sosial yang rendah.
2. Sebagian besar memiliki penyesuaian sosial yang tinggi pada aspek memiliki
kesediaan berpartisipasi serta minat untuk terlibat dalam aktivitas sekolah, kesediaan
berelasi dengan teman-teman dan guru, dan kesediaan membantu teman, membantu
guru dan orang lain.
3. Faktor fisik berupa keadaan fisik dan kondisi kesehatan fisik, faktor taraf
perkembangan dan kematangan berupa intelektual dan relasi, faktor psikis berupa
pengalaman belajar dan menguasai perasaan, dan faktor budaya dan agama yaitu
agama memiliki keterkaitan dengan penyesuaian sosial.
5.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai penyesuaian sosial terhadap 30 siswa asal Papua di SMAK “X” Kota Bandung, maka beberapa saran yang dapat diberikan
74
5.2.1 Saran Teoretis
Bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai penyesuaian
sosial pada siswa asal Papua yang bersekolah di Kota Bandung:
1. Pada penelitian ini terdapat sample yang sedikit maka disarankan bagi peneliti
selanjutnya diharapkan menggunakan sample yang lebih besar ukurannya.
2. Pada penelitian ini ditemukan bahwa seluruh sample hanya meneliti pada satu sekolah
maka disarankan peneliti selanjutnya meneliti dengan sample pada seluruh siswa asal
Papua yang bersekolah di kota Bandung.
5.2.2 Saran Praktis
1. Bagi pihak sekolah di SMAK “X” Kota Bandung dapat mendorong siswa dan
menyediakan konsultasi bagi siswa asal Papua yang memiliki penyesuaian sosial yang
rendah.
2. Bagi para responden yang memiliki penyesuaian sosial yang rendah dapat disarankan
untuk menggunakan penelitian ini sebagai bahan evaluasi diri untuk meningkatkan
penyesuaian sosial dengan menerima kondisi dirinya saat ini. Disarankan agar para
siswa asal Papua dapat memanfaatkan sarana konsultasi atau konseling yang telah
disediakan oleh pihak sekolah dengan sebaik mungkin.
3. Bagi pihak sekolah di SMAK “X” Kota Bandung disarankan memberikan konseling
kepada siswa untuk meningkatkan aspek menerima dan menghargai otoritas pada
penyesuaian sosial di sekolah SMAK “X” Kota Bandung.
STUDI DESKRIPTIF MENGENAI KEMAMPUAN PENYESUAIAN
SOSIAL DI SEKOLAH
SMAK “X” KOTA BANDUNG
PADA SISWA
ASAL PAPUA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Menempuh Sidang Sarjana Pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha
Oleh:
RIA MELINDA LESTARI NASUTION NRP : 1030136
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
BANDUNG
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang mendalam peneliti panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena
berkat kasih, anugerah, kekuatan, pimpinan dan pertolongan-Nya, maka peneliti dapat
menyelesaikan penyusunan laporan Skripsi ini. Laporan penelitian ini disusun dalam rangka
memenuhi tugas mata kuliah Skripsi pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha
dengan mengambil judul : Studi Deskriptif Mengenai Kemampuan Penyesuaian Sosial Pada
Siswa Asal Papua Di SMAK “X” Kota Bandung.
Dalam penyusunan laporan penelitian ini, peneliti banyak mengalami hambatan,
namun berkat bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak maka hambatan tersebut dapat
diatasi dengan baik. Oleh karena itu pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Dr. Irene P. Edwina, M.Si., Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas
Kristen Maranatha, Bandung.
2. Robert Oloan Rajagukguk, Ph.D., Psikolog selaku dosen pembimbing utama yang telah
memberikan banyak waktu, tenaga serta semangat dalam membimbing penulis dan
mengkoreksi laporan ini selama proses penyusunannya.
3. Kristin Rahmani, M.Si., Psikolog selaku dosen pembimbing pendamping yang juga
telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengoreksi dan memberi masukan
kepada peneliti selama pengerjaan penelitian ini.
4. Dr. Ria Wardani, M.Si., Psikolog dan Dra. Endeh Azizah, M.Si., Psikolog selaku dosen
pembahas seminar UP yang telah banyak memberi banyak masukan kepada peneliti pada
penelitian ini.
5. Teman-teman pembahas seminar UP yang juga telah memberi masukan pada penelitian
vi
6. Staff Tata Usaha dan Perpustakaan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.
7. Kepala Sekolah, Guru dan Staff SMAK “X” Kota Bandung telah memberikan ijin untuk
meluangkan waktu memberikan informasi yang sangat berguna dalam penyusunan
outline ini, serta para siswa-siswa asal Papua yang telah bersedia untuk diwawancarai
dan meluangkan waktu untuk membantu peneliti dalam mengisi kuesioner penelitian
yang telah dibagikan.
8. Bapak, Mama, Kakak, Abang dan Kedua adikku yang selalu memberikan dukungan dan
mengingatkan peneliti untuk tetap mengerjakan laporan penelitian ini hingga selesai.
9. Sahabatku yang terkasih Lestari Simanjuntak dan Ryo Sihombing, yang selalu memberi
dukungan, serta selalu mendoakan dan mengingatkan peneliti untuk tetap mengerjakan
laporan ini hingga selesai.
10. Sahabatku yang terkasih Elvira Purba, Margaretha Ginting, dan Opta Simbolon yang
selalu mendukung dan mendoakan penulis selama ini.
11. Kak Renita selaku Kakak PA dan Rosalia selaku saudara PA yang telah memberikan
dukungan dan mengingatkan peneliti untuk tetap semangat dalam mengerjakan laporan
penelitian ini.
12. Teman – teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu namanya yang telah mendukung
dalam pengerjaan laporan ini.
13. Semua pihak yang telah membantu penyusunan laporan penelitian ini, yang tidak dapat
disebutkan satu persatu.
Namun, peneliti juga menyadari akan keterbatasan, ketidaklengkapan serta kekeliruan
yang mungkin ada dalam penyusunan laporan penelitian ini. Untuk itu, peneliti
mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Harapan penulis, semoga laporan ini dapat
vii
Bandung, November 2016
75
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA
Dacey, John dan Maureen Kenny.1997. Adolescent Development (2th Ed. United States of America: Times Mirror Higher Education Group Inc.
Guilford, J.P. (1959). Fundamental: Statistics In Psychology and education. London, New York: McGraw-Hill Book Company, Inc.
Powell, Marvin. 1963. ThePsychology of Adolescence. New York: Bobbs Merril
Rice, F. Philip. 1998. The Adolescent Development, Relationship, and Culture (9th Ed.). Needham Heights: A Viacom Company
Santrock, John W. 2002. A Topical approach to Life-Span Development (International
Edition). North America: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Schineiders, Alexander A. 1964. Personal Adjustment and Mental Health. New York: Holt Rinehart and Winston.
Siegel, Sidney, 1985. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT. Gramedia.
DAFTAR RUJUKAN
King, Monika. 2004. Hubungan Antara Penyesuaian Sosial di Sekolah dan Prestasi Akademik pada Remaja di SMU Trinitas Bandung: Universitas Kristen Maranatha Bandung.
Luciana, Kwee Fei Lien A. Arline.2011. Studi Deskriptif Mengenai Kemampuan
Penyesuaian Sosial Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Angkatan “X” di
Universitas “X” Bandung: Universitas Kristen Maranatha.
Herman/Cah. Setiap Tahun, 500 Anak Papua Disekolahkan di Pulau Jawa dan Bali
(http://www.beritasatu.com/pendidikan/302110-setiap-tahun-500-anak-papua-disekolahkan-di pulau-jawa-dan-bali.html, diakses pada 26 Agustus 201)
Dady Aji Prawira Sutarjo, Dady (2015). Hubungan Antara Interaksi Sosial Teman Sebaya Dengan Penerimaan Sosial Pada Siswa Kelas X Di Sma Negeri 9 Yogyakarta. S1
thesis, Fakultas Ilmu Pendidikan. (www. http://eprints.uny.ac.id/13523/).