• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan hukum pidana Islam terhadap putusan nomor : 81/Pid.B/2015/PN.Bna tentang penodaan agama.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan hukum pidana Islam terhadap putusan nomor : 81/Pid.B/2015/PN.Bna tentang penodaan agama."

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN

NOMOR : 81/PID.B/2015/PN.BNA TENTANG PENODAAN

AGAMA

SKRIPSI

Oleh

Nyoman Nidia Sari Hayati

NIM C93213110

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syari’ah Dan Hukum

Jurusan Hukum Publik Islam

Program Studi Hukum Pidana Islam

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap Putusan Nomor : 81/Pid.B/2015/PN.Bna tentang Penodaan Agama” yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan bagaimana pertimbangan hakim terhadap Putusan Nomor : 81/Pid.B/2015/PN.Bna tentang Penodaan Agama serta bagaimana tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap Putusan Nomor : 81/Pid.B/2015/PN.Bna tentang Penodaan Agama.

Data yang dikumpulkan dengan cara mengkaji serta menalaah sumber-sumber tertulis seperti putusan, undang-undang, buku-buku, jurnal, artikel dan lain sebagainya yang berkaitan dengan penodaan agama, sanksi serta cara penyelesaian konfliknya. Selanjutnya data diolah dan dianalisi dengan menggunakan metode deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif untuk dimbil kesimpulan.

Dalam putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor: 81/Pid.B/2015/PN.Bna menyatakan bahwa Hakim memberikan sanksi terhadap terdakwa penodaan agama oleh pengurus organisasi Gerakan Fajar Nusantara selama 3 tahun yang mana dalam penyelesaian kasus penodaan agama sanksinya adalah maksimal 5 tahun penajara. Dalam Hukum Pidana Islam sanksi bagi pelaku penodaan agama adalah dibunuh yang sebelumnya diberikan kesempatan untuk bertaubat terlebih dahulu.

(7)

DAFTAR ISI

halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ... 9

C. Rumusan Masalah ... 10

D. Kajian Pustaka ... 10

E. Tujuan Penelitian ... 12

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 12

G. Definisi Operasional ... 13

H. Metode Penelitian ... 14

(8)

BAB II SANKSI TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA DALAM HUKUM

PIDANA ISLAM ... 20

A. Tindak Pidana Penodaan Agama dalam Hukum Pidana Islam ... 20

1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana ... 20

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana/Jarimah ... 21

3. Jenis-Jenis Tindak Pidana ... 23

4. Pengertian Riddah ... 25

5. Sebab-Sebab Orang Menjadi Murtad ... 27

B. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Penodaan Agama dalam Hukum Pidana Islam ... 31

1. Pengertian Sanksi Pidana ... 31

2. Macam-Macam Sanksi Pidana ... 31

3. Sanksi Pidana bagi Pelaku Riddah ... 33

BAB III PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BANDA ACEH NOMOR: 81/PID.B/2015 TENTANG PENODAAN AGAMA ... 38

A. Deskripsi Kasus ... 38

B. Pertimbangan Hakim Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor: 81/Pid.B/2015/PN.Bna tentang Penodaan Agama ... 42

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BANDA ACEH NOMOR: 81/PID.B/2015/PN.BNA TENTANG PENODAAN AGAMA ... 54

(9)

B. Tinjauan Hukum Pidana Islam Tentang Sanksi Terhadap Penodaan Agama yang Dilakukan oleh Organisasi Gerakan Fajar Nusantara di Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor:

81/Pid.B/2015/PN.Bna ... 65

BAB V PENUTUP ... 75

A. Kesimpulan ... 75

B. Saran ... 79

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keberagaman suku, ras, etnis, dan agama di Indonesia menjadikan masyarakat Indonesia memiliki keaneka-ragaman budaya, cara pandang, cara berfikir, interaksi anatar masyarakat serta dalam menaruh keyakinan terhadap agama yang dianggap paling benar dan cocok. Sehingga dalam menjalani kehidupan sehari-hari, masyarakat dapat menjalaninya dengan toleransi yang baik.

Indonesia dikenal dengan negara yang menganut dan mengakui beberapa agama yakni Islam, Katholik, Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu. Keberagaman agama di Indonesia merupakan unsur yang penting dalam kehidupan bernegara sebagaimana tercantum dalam Pancasila sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan penegasan

konstitusional dalam Pasal 29 ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa” ini menjelaskan bahwa

setiap orang bebas memeluk agama dan memilih kepercayaan yang mereka anggap paling benar.1

Pemerintah menjamin rakyatnya untuk menjalankan keyakinan dan agamanya selain tercantum dalam Pancasila dan UUD NRI 1945 tertuang

1

(11)

2

pula dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 156a yang merupakan sisipan dari Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang berbunyi :

Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan kegaamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.2

Dengan demikian diharapkan kehidupan beragama di Indonesia dapat berlangsung dengan baik dengan mendapat perlindungan hukum dan Undang-Undang yang berlaku. Namun pada kenyataannya banyak terjadi konflik keagamaan di Indonesia yang sulit diselesaikan. Penyelesaian konflik agama seringkali menjadi kontroversi antara kebebasan beragama dan perlindungan terhadap agama tertentu, sebagaimana Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atauPenodaan Agama juga menimbulkan pro dan kontra oleh berbagai kelompok masyarakat.

Dalam Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama telah disebutkan bahwa kepada organisasi atau aliran-aliran yang melanggar larangan dalam pasal sebelumnya, maka diberikan peringatan dan dibubarkan. Adapun pasal-pasal tersebut berbunyi :

2

(12)

3

Pasal 2 : (1) barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu dalam suatu keputusan bersama menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Meneri Dalam Negeri. (2) apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh organisasi atau suatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan orgnisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi atau aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.

Pasal 3 : apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agma bersama Menteri/jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau Presiden Republik Indonesia mnurut ketentuan dalam pasal 2 terhadap orang, organisasi atau aliran keprcayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan-ketentuan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/ataupengurus organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun.3

Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) merupakan salah satu organisasi masyarakat yang diduga menodai agama yaitu dengan menggabungkan antara agama Islam, Kristen dan Yahudi menjadi satu dan diduga merupakan metamorfosis dari aliran al-Qiyadah al-Islamiyah yakni aliran yang menjadikan Ahmad Musadeq sebagai pemimpinnya yang kemudian diteruskan dengan paham Millah Ibrahim yakni keyakinan bahwa Islam, Yahudi dan Kristen meiliki keyakinan dan keteguhan yang sama dalam meneladani Ibrahim, bisa disebut mengikuti Ibrahim.4 Gafatar adalah aliran yang menempatkan Ahmad Musadeq sebagai sebagai guru spritual dengan meyakini dan mengajarkan ajaran antara lain mengangggap Ahmad Musadeq sebagai pembawa risalah dari Tuhan Yang

3

Pasal 2 dan 3 Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama

4

(13)

4

Maha Esa sebagai mesias yang pada hakikatnya sebagai nabi setelah Nabi Muhammad saw.5

Gafatar yang awalnya berupa organisasi sosial kemudian dikecam di berbagai daerah karena dianggap mengajarkan aliran sesat, salah satunya adalah di Banda Aceh. Penyelesaian konflik kegmaan oleh Gafatar ini di Banda Aceh dilakukan melalui proses di pengadilan berbeda dengan di beberapa tempat lainnya yang penyelesainnya dilakukan dengan musyawarah untuk menjaga kerukunan umat daerah setempat.

Melihat ketentuan di atas, bahwasanya dalam menyelesaikan permasalahan penyelewengan atau penyalahgunaan agama yaitu diberi peringatan terlebih dahulu kemudian dibubarkan, apabila masih saja melanggar baru dipidana selama-lamanya 5 (lima) tahun penjara. Terdapat perbedaan dalam cara menyelesaikan kasus ini seperti di Muara Jambi dan Musi Banyuasin diselesaikan dengan persuasif sehingga tidak terjadi gesekan dengan umat Islam lain, masyarakat memiliki kesadaran untuk menjaga harmoni di kalangan umat.6

Berbeda dengan penyelesaian kasus Gafatar di Banda Aceh yakni dengan tergesa-gesa menuju ranah peradilan, yang mana dalam Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama telah dijelaskan bahwa untuk

5

Fatwa MUI Nomor 6 Tahun 2016 tentang Gafatar

6Teuku Kemal Fasya,”Bijaksana Menangani Isu Sesat”,

(14)

5

diberikan peringatan keras dan dibubarkan sesuai kesepakatan Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri, kemudian jika masih terus melanggar ketentuan setelah itu baru dipidana.

Salah satu ahli yang bersaksi dalam persidangan kasus Gafatar Banda Aceh yakni A. Karim Syeikh menyatakan bahwasanya Millata Ibrahim dilarang di Indonesia dan sudah ada putusan MUI serta Ahmad Musadeq sebagai pemimpinnya sudah dihukum bersalah karena menyebut dirinya sebagai Nabi setelah Muhammad, ini adalah peistaan agama karena Muhammad adalah nabi penutup.7

Dalam Fatwa Majelis Permusyawarah Ulama (MPU) Aceh bahwa ajaran (pemahaman, pemikiran, keyakinan dan pengalaman) Gafatar adalah metamorfosis dari Millata Ibrahim dan al-Qiyadah al-Islamiyah. Dan barangsiapa yang menjadi pengikut gafatar adalah murtad.8 Dalam Islam orang yang murtad dikenai hukuman berat sebab perbuatannya dapat memporak-porandakan jamaah serta memancing perpecahan masyarakat, dan untuk mencegah perpecahan masyarakat pelakaunya harus dihukum.9 Hukuman untuk orang yang murtad dalam Hukum Pidana Islam adalah dibunuh sebagaiamana sabda Nabi saw. :

ْ نم

َْلدَب

ْ هَ ي

ْ ل ت قأَف

)

ور

لا

را ب

(

Artinya : Barangsiapa yang mengganti agamanya (murtad), maka bunuhlah. (HR. Imam Bukhari).10

Menurut aturan pokok, orang murtad tidak boleh dihukum mati kecuali setelah diminta bertaubat.11 Islam dalam masalah ini memberikan hukuman mati terhadap penghianat agama Islam bila ia tak mau bertaubat

7

Putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor :81/Pid.B/2015/PN.Bna

8

Fatwa Majelis Permusyawarahan Ulama (MPU) Aceh Nomor 1 Tahun 2015

9Nur Lailatul Musyafa’ah,

Hadits Hukum Pidana, (Surabaya:UIN Sunan Ampel Press, 2014), 93.

10

Imam Bukhari ,(t.t: Shahih, 2016), 1692. 11

(15)

6

dan kembali lagi ke dalam Islam.12 Pelaku murtad memang di hukum dengan hukuman mati, namun harus ada upaya untuk menyadarkan si pelaku agar mau kembali. Upaya tersebut yaitu memberikan kesempatan untuk bertaubat terlebih dahulu, dan apabila tidak mau bertaubat dan kembali kepada yang benar barulah dihukum. Ini sejalan dengan peraturan yang berlaku di Indonesia yakni mengenai aliran/organisasi yang di duga sesat haruslah di beri peringatan dan di bubarkan terlebih dahulu, apabila masih tetap saja maka dihukum.

Putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor 81/Pid.B/2015/PN.Bna menyatakan bahwa salah satu pengurus Gafatar divonis hukuman penjara selama 3 (tiga) tahun. Dalam putusan saksi ahli dari pihak penuntut umum yakni A. Karim Syeikh mengatakan bahwa pengurus Gafatar termasuk dalam kategori menyebarkan aliran sesat dikarenakan pengurus diwajibkan untuk membaca dan mengikrarkan diri dalam bentuk persaksian yang dimana isi persaksian tersebut bertentangan dengan ajaran Islam. Prof. Eddy Purnama yang juga merupakan saksi ahli dari penuntut umum menyatakan tentang kekuatan mengikat Surat Keputusan Bersama (SKB) yang dikeluarkan oleh Wali Kota Banda Aceh, Kejaksaan Negeri Banda Aceh, dan Kepala Kantor Kementrian Agama Banda Aceh tanggal 30 Maret 2011 tentang Pelanggaran Kegiatan Ajaran Millata Abraham di Wilayah Kota Banda Aceh sama dengan kekuatan mengikat SKB yang dikeluarkan oleh keputusan Menteri Agama RI, Jaksa

12

(16)

7

Agung, Menteri Dalam Negeri RI sebagaimana yang dimaksud dalam Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atauPenodaan Agama, sepanjang subyek di dalam SKB tersebut masih sama larangan tersebut tetap berlaku.13

Penasihat hukum terdakwa juga telah mengajukan saksi ahli untuk didengar pendapatnya, saksi ahli yang pertama yakni Prof. Yusni Sabi berpendapat bahwa tidak ada istilah “sesat dan menyesatkan” jika hanya

berbeda pemahaman orang lain pada umumnya karena ketika seorang menghina dan melecehkan, baru dapat dikatakan melecehkan atau menodai agama lain, dan apabila suatu kelompk dinyatakan menyimpang khususnya dalam masalah agama, maka banyak lembaga-lembaga agama yang bisa membina mereka. Karena jika kasus seperti ini malah dibawa ke ranah hukum, justru akan membuat malu lembaga-lembaga keagamaan lain karena dianggap tidak mampu membina perkara-perkara seperti ini. Ahli selanjutnya yakni T. Kemal Fasya menjelaskan telah melakukan riset tentang Gafatar pada bulan Februari 2015 yang dilakukan di Muara Jambi yang juga terdpat Gafatar namun penyelesaian kasusnya tidak diramaikan di media, yakni dengan mengambil tindakan persuasif daripada refresif dalam penyelesaian kasus ini, hal ini berbeda dengan penyelesaian kasus di Aceh yang dilakukan adalah tindakan refresif sehingga dapat merusak

13

(17)

8

perdamaian dan persahabatan. Dan memang tindakan persuasif harus lebih dikedepankan. 14

Sesuai dengan Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama maka untuk mekanisme penyelesaian kasus seperti ini yakni dilakukan secara bertahap dimulai dengan tindakan yang bersifat administratif berjenjang sampai dengan adanya sanksi pidana. Namun hakim memeptimbangkan berbeda yakni mengenai pasal 156a KUHP yang juga merupakan pasal 4 Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama hakim berpendapat pasal tersebut berdiri sendiri dan tidak bergantung pada adanya sanksi administratif sebagaimana ketentuan pasal 1, pasal 2, dan pasal 3 Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik meneliti putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh yang memutus untuk memeberikan hukuman penjara kepada pengurus gafatar yang sebelumnya belum diberikan peringatan ataupun sanksi administratif terlebih dahulu dalam judul skripsi Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap Putusan Nomor: 81/Pid.B/2015/PN.Bna tentang Penodaan Agama.

(18)

9

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

1. Identifikasi masalah

Dalam latar belakang masalah yang telah disampaikan menunjukkan bahwa terdapat beberapa masalah yang berhubungan dengan skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Pidana Islam tentang

Sanksi terhadap Penodaan Agama yang dilakukan oleh Gerakan Fajar Nusantara (Studi Putusan Nomor : 81/Pid.B/2015/Pn.Bna)” yaitu : a. Cara penyelesaian kasus penodaan agama oleh organisasi.

b. Perbedaan sanksi penodaan agama menurut hukum positif di Indonesia dan Hukum Pidana Islam.

c. Pertimbangan Hakim dalam memutus putusan nomor : 81/Pid.B/2015/PN.Bna

d. Tinjauan Hukum Pidana Islam tentang sanksi terhadap penodaan agama yang dilakukan oleh Gafatar dalam putusan nomor : 81/Pid.B/2015/PN.Bna.

2. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas yang masih luas dan sangat umum, maka penulis membatasi masalah dalam pembahasan ini sebagai berikut :

(19)

10

b. Tinjauan Hukum Pidana Islam tentang sanksi terhadap penodaan agama yang dilakukan oleh Gerakan Fajar Nusantara dalam putusan nomor : 81/Pid.B/2015/PN.Bna.

C. Rumusan Masalah

Supaya penelitian ini lebih terarah dan tidak menyimpang dari tujuan utama dalam penelitian, maka penulis memfokuskan pada masalah : 1. Bagaimana pertimbangan hakim terhadap putusan nomor :

81/Pid.B/2015/PN.Bna tentang penodaan agama ?

2. Bagaimana tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap putusan nomor : 81/Pid.B/2015/PN.Bna tentang penodaan agama?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian yang sudah pernah dilakukan diseputar masalah yang akan diteliti sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian penelitian yang telah ada.15

Sejauh penelusuran penulis, Penelitian tentang penodaan agama masih jarang sekali dibahas di kampus UIN Sunan Ampel Surabaya apalagi yang fokus penelitiannya berkaitan dengan sanksi yang diberikan

15

(20)

11

terhadap oraganisasi. Penulis menemukan judul skripsi sebelumnya yang berkaitan dengan skripsi yang penulis teliti.

“Delik Penodaan Agama pada KUHP dalam Perspektif Hukum Islam : Studi atas Hukuman”16

merupakan skripsi yang ditulis oleh Abdur Rohim pada tahun 2006 yang membahas tentang deskripsi pasal delik penodaan agama KUHP serta bagaimana tinjauan Hukum Islam dalam KUHP.

Selanjutnya penelitian tentang “Sanksi Hukum terhadap Pelaku

Penodaan Agama dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama dalam Perspektif Fiqh Jinayah.”17

Skripsi yang ditulis pada tahun 2014 oleh Ahmad Hasbullah ini membahas tentang sanksi hukum terhadap pelaku penodaan agama yang ditinjau dari perspektif Undang-Undang yang berlaku dan dari perspektif fiqh jinayah.

Dari uraian judul skripsi di atas dapat dikatakan bahwa judul ini berbeda dengan judul yang telah dipaparkan yang membahas tentang deskripsi pasal dan sanksi terhadap penodaan agama karena yang penulis teliti disini adalah fokus pada putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh nomor : 81/Pid.B/2015/PN.Bna tentang sanksi terhadap pengurus Gafatar.

16

Abdur Rohim,” Delik Penodaan Agama pada KUHP dalam Perspektif Hukum Islam” : Studi

atas Hukuman, (Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya,2006). 17Ahmad Hasbullah, “Sanksi Hukum terhadap Pelaku Penodaan Agama dalam Undang

-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama dalam

(21)

12

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang ditulis di atas, maka skripsi ini bertujuan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pertimbangan hakim terhadap putusan nomor: 81/Pid.B/2015/PN.Bna tentang penodaan agama.

2. Untuk mengetahui tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap putusan nomor: 81/Pid.B/2015/PN.Bna tentang penodaan agama.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Dalam setiap penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dalam penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan sehubungan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Aspek keilmuan (Teoritis)

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan serta pemikiran yang bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan mengenai penodaan agama beserta sanksi hukumannya khususnya yang membahas tentang penodaan agama yang dilakukan Organisasi Gafatar.

2. Aspek terapan (Praktis)

(22)

13

serta menjamin kepastian hukum. Dengan demikian akan terciptanya keadilan dan ketentraman dalam kehidupan beragama.

G. Definisi Operasional

Untuk menghindari kesalahpahaman dalam memahami judul skripsi ini, penulis menjelaskan beberapa istilah yang terdapat dalam judul skripsi ini diantaranya adalah :

1. Hukum Pidana Islam

Hukum Pidana Islam yang merupakan terjemahan dari fiqh jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana ata perrbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemaaman atas dalil hukum yang terperinci dari al-Qur’an dan hadis.18

2. Sanksi

Sanksi adalah tanggungan (tindakan, hukuman, dan sebagainya) yang memaksa sesorang untuk memenuhi perjanjian atau peraturan perundag-undangan.19 Dalam hal ini peraturan yang dipenuhi adalah Kitab Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Penetapan Presiden Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Penodaan Agama.

18

Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012),1.

19

(23)

14

3. Penodaan Agama

Penodaan agama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sebagaiama yang telah disebutkan pada Pasal 1 Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yakni seorang maupun aliran/organisasi yang melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu.20

H. Metode Penelitian

1. Karakteristik Objek Penelitian

Akhir-akhir ini sering terjadi konflik keagamaan yang menyangkutkan berbagai macam oraganisasi masyarakat keagamaan, dalam hal ini yang sangat sensitive yakni agama Islam. Gafatar merupakan organisasi masyarakat yang beberapa waktu yang lalau sangat menarik perhatian public dan pemerintah, yang mana di media massa maupun media sosial banyak diberitakan mengenai organisasi Gafatar. Yang kemudian setelah Gafatar dilarang di Indonesia diadakan pemulangan besar-besaran oleh pemerintah.

20

(24)

15

Anggota/pengikut gafatar tertarik untuk ikut ke dalam organisasi ini dikarenakan visi dan misinya dalam bidang sosial kemasyarakatan. Kegiatan yang dilakukan oraganisasi ini adalah mulai dari gotong royong, bakti soasial, donor darah dll. Sehingga menarik bagi kaum awam untuk mengikuti organisasi Gafatar.21

Namun belakangan diketahui bahwa organisasi ini mengajakan paham Millata Abraham yakni yang dulunya merupakan pemahaman yang ssudah dilarang oleh Pemerintah Aceh dan pengikutnya telah sempat disyahadatkan untuk kembali ke jalan Allah. Dengan lahirnya Gafatar maka paham Millata Abraham yang telah dilarang kini telah mulai disampaikan/diajarkan kembali kepada anggota organisasi Gafatar.

Ketertarikan penulis dalam menyusun skripsi dengan kasus Gafatar ini dikarenakan kasus ini merupakan kasus nasional yang mana memeberikan pengaruh besar terhadap eksistensi agama Islam dan organisasi masyrakat Islam di Indonesia dikarenakan Gafatar memepercayai adanya ‘Mesias’ yakni seorang yang menjadi penyampai risalah, sedangkan dalam Islam yang menyampaikan risalah hanyalah Nabi Muhammad Saw.

21

(25)

16

2. Data yang dikumpulkan

Data yang dikumpulkan yakni data yang perlu dihimpun untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah.22 Penelitian skripsi ini merupakan penelitian pustaka yaitu meneliti dengan cara mengkaji serta menalaah sumber-sumber tertulis seperti putusan, undang-undang, buku-buku, jurnal, artikel dan lain sebagainya yang berkaitan dengan penodaan agama, sanksi serta caa penyelesaian konfliknya. Sehingga ditemukan data-data yang konkrit dan akurat.

3. Sumber data

a. Sumber data primer adalah sumber data yang memiliki otoritas, artinya bersifat mengikat, meliputi peraturan perundang-undangan, putusan hakim.23 Dalam penelitian ini adalah putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor : 81/Pid.B/2015/PN.Bna.

b. Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan pustaka yang memberi penjelasan terhadap sumber primer.24 Sumber data sekunder terdiri atas hasil penelitian para ahli dan pendapat ahli hukum, buku-buku maupun literatur yang berkaitan dengan penodaan agama, jurnal-jurnal hukum yang berkaitan dengan masalah penodaan agama, dan hasil penelitian terdahulu

22

Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Hukum, Petunjuk..,9.

23

Dyah Ochtorina Susanti, Penelitian Hukum, (Jakarta:Sinar Grafika,2015),52.

24

(26)

17

yang berkaitan dengan penodaan agama beserta sanksinya, maupun bahan dari media massa atau internet.

4. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara membaca, menelaah, dan menganalisis sumber-sumber data berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan, dan kemudian dilakukan penulisan secara sistematis dan komprehensif.

5. Teknik pengolahan data

Dalam teknik pengolahan data, penulis menggunakan cara sebagai berikut:25

a. Editing, yaitu menyusun data secara sitematis yang diperoleh secara cermat dari kejelasan makna, keselarasan, relevansi dan keseragaman, kesatauan atau kelompok data.

b. Organizing, yaitu menyusun data secara sistematis dalam kerangka paparan yag lebih direncanakan sebagaimana dala outline sehingga dapat menghasilkan perumusan yang deskriptif.

c. Conclusing, yaitu melakukan analisa atau tindak lanjut dari perorganisasian data dengan menggunkan kaidah atau dalil sehingga diperoleh kesimpulan tertentu yang pada akhirnya kesimpulan tersebut menjadi jawaban atas permasalahan yang telah dirumuskan.

25

(27)

18

6. Teknik analisis data

Dalam menganalisis data, penulis menggunakan teknik analisis deskriptif, yaitu suatu teknik dipergunakan dengan cara memberikan gambaran umum terhadap masalah yang yang dibahas dengan menyusun fakta-fakta sedemikian rupa sehingga membentuk suatu masalah yang dapat dipahami dengan mudah.26 Langkah yang ditempuh penulis selanjutnya ialah mendeskripsikan sanksi hukumnan yang dijatuhkan hakim terhadap pelaku penodaan agama Gafatar kemudian ditinjau dengan Hukum Pidana Islam.

Metode yang digunakan dalam menganilisis data dalam skripsi ini menggunakan metode deduktif, yaitu teori-teori yang diperoleh kemudian dicocokkan dengan fakta yang terjadi. Gambaran umum mengenai sanksi penodaan agama kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus menggunakan Hukum Pidana Islam.

I. Sistemika Pembahasan

Dalam menyusun skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Pidana

Islam terhadap Putusan Nomor : 81/Pid.B/2015/Pn.Bna tentang Penodaan Agama” diperlukan adanya suatu sistematika pembahasan, sehingga dapat diketahui kerangka skripsi ini terdiri dari lima bab.

Bab pertama; merupakan sebuah pendahuluan yang memuat latar belakang, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan

26

(28)

19

penilitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua; berisi tentang kerangka konseptual yang memuat penjelasan teoritis Hukum Pidana Islam yaitu penjelasan mengenai murtad, unsur-unsur murtad dalam Hukum Pidana Islam beserta sanksi murtad dalam Hukum Pidana Islam.

Bab ketiga; penulis menyajikan data penelitian yang berupa putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor : 81/Pid.B/2015/PN.Bna dan ketentuan hukum terhadap penodaan agama yang dilakukan oleh organisasi di Indonesia yakni Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atauPenodaan Agama serta sanksi hukum terhadap pelaku penodaan agama yang diatur dalam tatanan hukum positif Indonesia.

Bab empat; dari deskripsi data yang terdapat dalam bab tiga, penulis menggunakan teori-teori yang ada di bab dua untuk menganalisis data penilitian yang telah dideskripsikan guna menjawab masalah penilitian dalam hal ini menggunakan tinajaun Hukum Pidana Islam terhadap sanksi hukuman penodaan agama oleh Gafatar dalam hukum positif Indonesia. Hasil analisis di bab empat kemudian disimpulkan di bab lima yang juga berisi saran-saran.

(29)

(30)

BAB II

SANKSI TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA DALAM HUKUM

PIDANA ISLAM

A. Tindak Pidana Penodaan Agama dalam Hukum Pidana Islam

1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana dalam fiqh jinayah dikenal dengan istilah jarimah yang merupakan sinonim dari kata jinayah. Secara istilah ia diartikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh shara’ baik perbuatan yang merugikan jiwa, harta benda, atau yang lain. Lebih khusus, jarimah didefinisikan sebagai kejahatan-kejahatan yang melanggar

shara’ yang pelakunya dikenai hukuman melalui proses pengadilan.27

Kemudian pengertian lain dari jinayah atau tindak pidana adalah berbagai ketentuan hukum tentang perbuatan-perbuatan kriminal yang dilakukan orang mukallaf.28

Adapun menurut istilah shara’, sebagian fuqaha

mendefinisikan jinayah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang menurut shara’. Meskipun demikian, pada umumnya, fuqaha menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan, dan sebagainya. Selain itu, terdapat fuqaha yang membatasi istilah jinayah pada perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan

2727

Sahid, Pengantar Hukum Pidana Islam, (Surabaya:UIN Sunan Ampel Press, 2014),1. 28

(31)

21

qishas saja. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayah adalah jarimah, yaitu larangan-larangan shara’ yang diancam dengan hukuman had atau takzir.29 Sayyid sabiq memberikan definisi jinayat yakni jinayat menurut istilah shara’ adalah perbuatan yang diharamkan itu adalah setiap perbuatan yang diancam dan dicegah oleh shara’ karena perbuatan tersebut dapat mendatangkan kemudharatan atau kerusakan pada agama, jiwa, kehormatan, dan harta benda.30

Kedua istilah tersebut (jinayah dan jarimah) digunakan para fuqaha dalam pengertian yang sama yakni sebagai larangan-larangan hukum yang diberikan Allah yang apabila dilanggar diancam dengan hukuman yang telah ditentukan bentuk hukumannya.31

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana/Jarimah

Perbuatan dianggap atau dikategorikan sebagai jarimah atau tindak pidana dalam syari’at Islam, perbuatan tersebut harus memiliki

beberapa persyaratan atau beberapa unsur yaitu:32 a. Unsur formal (al-rukn al shar’i>)

Yang dimaksud dengan unsur shar’i> adalah adanya ketentuan shara’ atau nash yang menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang oleh hukum dinyatakan sebagai sesuatu yang dapat dihukum atau adanya nas{ yang mengancam hukuman terhadap perbuatan yang dimaksud.

29

Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1996),117.

30

Sayyid Sabiq, Fikih...,168. 31

Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1993)2.

32

(32)

22

Ketentuan tersebut harus datang (sudah ada) sebelum perbuatan dilakukan dan bukan sebaliknya. Dalam hal ini berlakulah kaidah-kaidah berikut: 33

ا

ةميرج

او

ةبوقع

اب

صن

Artinya : Tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman tanpa adanya nas{.

ا

م ح

اعفأ

ءاقعا

لبق

دورو

صنلاد

Artinya : Tidak ada hukuman bagi perbuatan orang-orang yang berakal sebelum adanya nas{.

b. Unsur materil (al-rukn al-ma>di>)

Yang dimaksud dengan unsur ma>di> adalah adanya perilaku yang memebentuk jarimah, baik berupa perbuatan ataupun tidak berbuat atau adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum. Dalam hukum positif, perilaku tersebut disebut sebagai unsur objektif, yaitu perilaku yang bersifat melawan hukum.

c. Unsur moril (al-rukn al-‘adabi>)

Unsur ini juga disebut dengan pertanggungjawaban pidana. Maksudnya adalah pembuat jarimah atau pembuat tindak pidana haruslah orang yang dapat memepertanggungjawabkan perbuatannya. Oleh karena itu pembuat jarimah haruslah orang yang dapat memahami hukum, mengerti isi beban, dan sanggup menerima beban tersebut. Orang yang diasumsikan memiliki kriteria tersebut adalah orang-orang mukallaf, sebab hanya merekalah yang terkena khitab (panggilan) pembebanan/taklif.

33

(33)

23

Unsur-unsur di atas merupakan unsur-unsur bersifat umum dan dasar, artinya unsur-unsur tersebut adalah unsur yang sama dan berlaku bagi setiap macam jarimah. Jadi pada jarimah apapun ketiga unsur tersebut harus dipenuhi.34

Disamping ada unsur yang bersifat umum atau dasar adapula yang bersifat khususu. Unsur-unsur khusus dari setiap jarimah berbeda-beda dengan berbedanya sifat jarimah suatu tindak pidana dapat memiliki unsur khusus yang tidak ada pada tindak pidana lainnya.35 Sebagai contoh, memindahkan (mengambil) harta benda orang lain secara diam-diam hanya ada pada jarimah pencurian atau menghilangkan nyawa orang lain hanya dalam kasus pembunuhan.36 3. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Dalam Hukum Pidana Islam, secara umum jenis-jenis tindak pidana adalah sebagai berikut:37

a. Dilihat dari segi berat ringannya hukuman, jarimah (tindak pidana) dibagi menjadi tiga, yaitu hudud, qis{a>s{-diyat dan takzir.

1) Jarimah hudud, yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman had. Hukuman had adalah hukuman yang telah dtentukan macam dan jumlahnya dan menjadi hak Allah Swt. Dengan demikiaan, hukuman tersebut tidak mempunyai batas terendah atau batas tertinggi. Hak Allah artinya hukuman tersebut tidak

34

Ibid,117.

35

Ibid,126.

36

Ahmad Hanafi, Asas...,6. 37

(34)

24

bisa dihapuskan baik oleh perseorangan (korban) ataupun oleh masyarakat (pemerintah). Jarimah hudud ini ada tujuh macam, yaitu: jarimah zina, jarimah qadhaf, jarimah minum khamr, jarimah pencurian, jarimah hirabah (pembegalan), jarimah murtad dan jarimah pemberontakan.

2) Jarimah qis{a>s{ dan diyat yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman qis{a>s{ atau diyat. Hukuman qis{a>s{ dan diyat

adalah hukuman yang telah ditentukan batasnya dan tidak mempunyai batas terendah atau batas tertinggi, tetapi menjadi hak manusia. Hak manusia artinya si pelaku dapat dimaafkan oleh korban, dan apabila dimaafkan, maka hukuman tersebut menjadi terhapus. Jarimah qis{a>s{ dan diyat ada lima macam, yaitu: pembunuhan yang disengaja; pembunuhan mirip/semi sengaja; pembunuhan karena kesalahan; kejahatan pada selain jiwa secara disengaja (penganiayaan disegaja); dan kejahatan pada selain jiwa karena kesalahan (penganiayaan tidak disengaja).38

3) Jarimah takzir yaitu jarimah yang dihukum dengan hukuman takzir. Hukuman takzir adalah hukuman yang tidak ditentukan batasnya hanya menyebutkan sekumpulan hukuman dari seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya dan bertujuan memberikan pelajaran. Tindak pidana yang diancam dengan

(35)

25

takzir seperti perbuatan riba, menggelapkan titipan, melakukan suap dan lain sebagainya.

b. Dilihat dari segi niat pelakunya, jarimah dibagi dua, yaitu: jarimah sengaja dan jarimah tidak sengaja.

1) Jarimah sengaja yaitu si pelaku dengan sengaja melakukan perbuatannya, padahal ia tahu bahwa perbuatannya itu dilarang. 2) Jarimah semi sengaja yaitu si pelaku tidak sengaja mengerjakan perbuatan yang dilarang, tetapi perbuatan tersebut terjadi sebagai akibat kesalahannya.

c. Dilihat dari segi cara mengerjakannya, jarimah dibagi menjadi jarimah positif (delicta commissionis) dan jarimah negatif (delicta ommissionis).

1) Jarimah positif (jarimah ‘i>ja>>biyah) yaitu mengerjakan perbuatan yang dilarang seperti berbuat zina, mencuri dan lain sebagainya.

2) Jarimah negatif (jarimah salabiyah) yaitu tidak mengerjakan suatu perbuatan ynag diperintahkan, seperti tidak mengeluarkan zakat.

d. Dilihat dari segi orang yang terkena jarimah (korbannya), jarimah dibagi menjadi jarimah perseorangan dan jarimah masyarakat. 39 1) Jarimah perseorangan adalah suatu jarimah dimana hukuman

dijatuhkan untuk melindungi kepentingan perseorangan,

39

(36)

26

meskipun sebenarnya apa yang menyinggung perseorangan juga menyinggung masyarakat.

2) Jarimah masyarakat adalah suatu jarimah dimana hukuman dijatuhkan untuk menjaga kepentingan masyarakat, baik jarimah tersebut mengenai perseorangan atau mengenai ketentraman dan keamanan masyarakat.

e. Dilihat dari segi tabiatnya yang khusus, jarimah dibagi menjadi jarimah biasa dan jarimah politik.40

Pembagian ini didasarkan pada kemaslahatan keamanan dan ketertiban masyarakat. Oleh karena itu tidak setiap jarimah yang dilakukan untuk tujuan-tujuan politik dapat disebut jarimah politik, meskipun terkadang ada jarimah biasa yang dilakukan dalam suasana politik tertentu bisa digolongkan pada jarimah politik. Sebenarnya corak keduanya tidak berbeda hanya berbeda pada motifnya saja.

4. Pengertian Riddah

Riddah secara etimologi berarti kembali dari sesuatu kepada sesuatu yang lain, sedangkan menurut terminologi fiqih adalah keluarnya sesorang (menjadi kafir) setelah dia memeluk Islam. Perbuatan tersebut dinamai riddah, sedangkan pelakunya dinamai

murtad atau orang yang keluar dari agama Islam.41

40

Ibid, 41

(37)

27

Kemurtadan seseorang bisa dengan perkataan yang menjurus ke arah kekafiran, memperolok agama, melawan ketentuan atau menolak keabsahan dalil yang disepakati sebagai dalil yang qath’i menghalalkan atau mengharamkan seagala sesuatu yang jelas

qath’inya, menyangkal adanya pencipta, sengaja mengotori muhaf

al-Qur’an, beribadah atau sujud kepada selain Allah, dan lain-lain. Orang-orang yang tidak mengakui lagi salah satu dari hukum-hukum Islam dihukum murtad atau kafir. Terhapuslah segala amal ibadahnya di dunia dan di akhirat apabila ia mati dalam keadaan murtad. Murtad tergolong kafir yang paling keji dari segala kekafiran. Murtad dapat disebabkan oleh itikad, perbuatan dan perkataan.42 Firman Allah Swt.:

                                                                                     

Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa

42

Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin,Fiqih Madzhab Syafi’i (Edisi Lengkap) Buku 2:Muamalat,

(38)

28

yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.43

5. Sebab-Sebab Orang Menjadi Murtad

Orang Islam tidak bisa dianggap keluar dari agamanya yang berarti telah murtad kecuali jika ia melapangkan dadanya menjadi tenang dan tentram terhadap kekufuran, sehingga ia melakukan perbuatan itu. Contoh-contoh yang menunjukkan kekafiran:44

a. Mengingkari ajaran agama yang telah ditentukan secara pasti. Umpamanya mengingkari keesaan Allah; mengingkari ciptaan Allah terhadap alam; mengingkari kenabian Muhammad Saw; mengigkari al-Qur’an sebagai wahyu Allah; mengingkari hari kebangkitan dan pembalasan; mengingkari kefardhuan shalat, zakat, puasa, dan haji.

b. Menghalalkan apa yang telah disepakati keharamannya. Umpamanya menghalalkan minum arak, zina, riba, memakan daging babi, dan menghalalkan membunuh orang-orang yang terjaga darahnya.

c. Mengharamkan apa yang telah disepakati kehalalannya. Umapamya mengharamkan makan nasi.

d. Mencaci maki Nabi Muhammad Saw. Demmikian pula mencaci Nabi-nabi Allah sebelumnya.

43

Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya(Bandung:Gema Risalah Press,2010),64.

44Ibnu Mas’ud d

(39)

29

e. Mencaci maki agama Islam; mencela al-Qur’an dan Sunnah Nabi; dan berpaling dari hukum yang ada dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

f. Mengaku bahwa wahyu Allah telah turun kepadanya. Ini tentu saja bagi selain Nabi Muhammad.

g. Mencampakkan mushaf al-Qur’an atau kitab-kitab hadits ke tempat-tempat yang kotor dan menjijikkan sebagai penghinaan dan mengangap enteng isinya.

h. Meremehkan nama-nama Allah; atau meremehkan perintah-perintahNya, larangan-laranganNya, janji-janjiNya, kecuali bila ia baru saja masuk Islam dan tidak tahu hukum dan hadd-hadd dalam agama Islam. Karena orang yang baru saja masuk Islam bila ia mngingkari hukum-hukum dalam Islam lantaran tidak tahu, maka ia tidak dapat dihukumi kafir.

Secara umum penyebab orang dikatakan murtad dibagi menjadi tiga macam, yaitu:45

a. Karena i’tikad (kepercayaan)

I’tikad yang menyebabkan seseorang menyebabkan

seseorang menjadi murtad ialah sebagai betikut:

1) Tidak mengakui lagi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah Yang Maha Esa dan tidak ada sekutu bagiNya, atau ragu-ragu tentang keesaan Tuhan atau salah satu sifatNya.

45

(40)

30

2) Tidak mengakui atau ragu-ragu bahwa Muhammad adalah utusan Allah (Rasulullah) dalam menyampaikan petunjuk dan kebenaran kepada seluruh manusia, atau mengingkari salah satu dari Rasul-rasul Allah yang lebih dahulu dari Nabi Muhammad Saw.

3) Tidak mengakui lagi bahwa al-Qur’an diturunkan dari Allah dengan perantara Nabi Muhammad Saw, atau ragu-ragu terhadap salah satu dari ayat-ayat dan hukuman yang dinyatakan Allah adalam al-Qur’an, atau menghinanya, sperti melemparkannya ke dalam najis, atau menginjak-nginjaknya, dan lain-lain.

4) Tidak mengakui adanya malaikat-malaikat dan segala sesuatu yang diserahkan Allah kepadanya.

5) Tidak mengakui lagi atau ragu-ragu bahwa hari kiamat akan datang dan bersangkutan dengan itu, yaitu soal surga, neraka, timbangan, dosa dan pahala.

6) Tidak percaya lagi akan qadar, yaitu ketentuan-ketentuan yang datang dari Allah, baik yang buruk maupun yang baik, dan sebagainya.

7) Tidak mengakui atau ragu-ragu mengikuti keputusan (ijma’ sahabat Nabi Saw) dalam perkara hukum agama.

(41)

31

b. Karena perbuatan disengaja

Perbuatan-perbuatan yang menyebabkan seseorang menjadi murtad adalah karena sujud atau memuja kepada selain Allah, yaitu:

1) Memuja atau sujud kepada berhala; 2) Memuja atau sujud kepada matahari;

3) Memuja atau sujud kepada makhluk-makhluk lain. Umpamanya dewa, binatang, arwah, dan sebagainya.

c. Karena perkataan yang disengaja

Perkataan yang menyebabkan seseorang menjadi murtad, diantaranya ialah berikut ini:

a) Menuduh orang yang beragama Islam dengan tuduhan kafir atau memanggilnya dengan kata-kata kafir.

b) Mengatakan bahwa takdir dan ketentuan itu bukan datang dari Allah atau megatakan bahwa Allah itu tidak berkuasa apa-apa atas alam ini.

c) Mengatakan bahwa Allah bukan satu, melainkan dua, atau tiga dan lain-lainnya.

(42)

32

B. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Penodaan Agama dalam Hukum

Pidana Islam

1. Pengertian Sanksi Pidana

Abdul Qadir Awdah mendefinisikan sanksi atau hukuman adalah balasan yang telah ditentukan untuk kepentingan orang banyak atas perbuatan melanggar perintah Allah Swt.46 Tujuan dari hukuman merupakan realisasi dari tujuan Hukum Islam yaitu sebagai pembalasan perbuatan jahat, pencegahan secara umum dan pencegahan secara khusus serta perlindungan terhadap hak-hak si korban. Pemidanaan dimaksudkan untuk mendatangkan kemaslahatan umat dan mencegah kezaliman.47 Hukuman dalam Islam diterapkan setelah terpenuhi beberapa unsur baik yang bersifat umum maupun khusus.48

2. Macam-Macam Sanksi Pidana

Macam-macam hukuman dapat dibagi menjadi beberapa macam, sebagai berikut: 49

a. Hukuman pokok

Hukuman pokok yaitu hukuman yang telah ditetapkan pada satu tindak pidana, seperti hukumam qishas bagi tindak pidana pembunuhan, hukuman rajam bagi tindak pidana zina, potong

46

Abdul Qadir Awdah, at-Tasyri’...,812.

47

M. Hasbi ash-Shieddiqi, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 177. 48

Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Jogjakata:Logung Pustaka,2004),40. 49

(43)

33

tangan bagi tindak pidana pencurian dan hukum mati bagi tindak pidana riddah.

b. Hukuman pengganti.

Hukuman pengganti yaitu hukuman yang menggantikan hukuman pokok apabila hukuman pokok tidak dapat dilaksanakan karena adanya alasan yang syar’i, seperti hukuman diyat sebagai

pengganti hukuman qishas dan hukuman takzir sebagai pengganti hukumn hudud dan qishas.

Pada dasarnya hukuman pengganti adalah hukuman pokok sebelum berubah menjadi hukuman pengganti. Hukuman ini disebut hukuman pengganti hukuman yang lebih berat yang tidak bisa dilaksanakan.

c. Hukuman tambahan.

Hukuman tambahan yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan sendiri. Contohnya larangan menerima warisan bagi pembunuh, dicabutnya hak sebagai saksi terhadap pelaku qadhaf.

d. Hukuman pelengkap

(44)

34

50

Perbedaan keduanya: hukuman tambahan tidak mensyaratkan adanya putusan tersendiri dari hakim, sedangkan hukuman pelengkap mensyaratkan adanya putusan tersebut. Contoh hukuman pelengkap adalah mengalungkan tangan pencuri ang telah dipotong ke lehernya. Hukuman pengalungan ini baru boleh dilakukan setelah dikeluarkannya putusan hukuman tersebut. 3. Sanksi Pidana Bagi Pelaku Riddah

Riddah sering terjadi karena ditimbulkan oleh suatu keragu-raguan dalam jiwa sehingga mendesak iman untuk keluar. Bila demikian, maka haruslah orang yang berbuat riddah itu diberi kesempatan untuk menghilangkan kerguannya itu. Ia harus diberi dalil-dalil dan bukti-bukti yang dapat mengembalikan iman ke dalam hatinya, sehingga yakin. Dengan demikian, maka menganjurkan kepadanya untuk brtaubat dan kembali lagi ke dalam Islam adalah hal yang wajib diupayakan.51

Menurut sebagian ulama, kesempatan yang diberikan kepada orang murtad untuk menghilangkan keraguannya dan kembali lagi ke dala Islam adalah selama tiga hari. Sebagian ulama lain mengatakan bahwa orang yang murtad hanya diberi penjelasan dan pandangan secara berulang-ulang sehingga dapat diperkirakan dengan mantap,

50 Ibid,

51

(45)

35

apakah ia tetap murtad atau kembali lagi ke dalam Islam. Bila ia murtad maka ia dijatuhi hadd.52

Kelompok ulama yang pertama berpegang pada dalil tindakan yang dilakukan Umar, ketika suatu saat datang seseorang lelaki dari Syam kepadanya.

Umar bertanya: “ Apa kabar di daerah jauh disana?” jawab lelaki tersebut: “Ada kabar sesorang lelaki bertindak murtad setelah memeluk Islam.” Tanya Umar: “Apa yang kau lakukan padanya?.” Kata Umar: “Mengapa tidak kau penjarakan saja di rumah selama tiga hari, kau beri dia roti setiap hari dan kau anjurkan bertaubat, barangkali ia akan mau kembali lagi ke dalam Islam? Ya, Tuhan, sungguh aku tidak menyaksikan tindakan lelaki ini. Aku tidak menyuruhnya. Dan aku tidak setuju terhadap tindakan ini! Ya, Tuhan, sungguh aku tidak ikut campur terhadap darah yang dialirkannya!”53

Adapun kelompok ulama kedua berpegang pada tindakan Muadz, bahwa pada suatu ketika ia datang ke Yaman dan bertemu dengan Abu Musa al-Asy’ari. Disamping Abu Musa ada seorang lelaki yang terikat.

Muadz bertanya: “Ada apa ini?” jawab Abu Musa: “Lelaki ini

asalnya Yahudi. Lalu ia masuk Islam lalu kembali lagi ke agama asalnya yaitu Yahudi.” Lelaki tersebut telah dianjurkan bertaubat selama 20 malam atau hampir 20 malam sebelum Muadz datang. Kata

52

Sayyid Sabiq, Fikih...,179.

53

(46)

36

Muadz: “Aku tak mau duduk sehingga ia dibunuh. Bunuh itu putusan Rasulullah Saw” Muadz mengulangi ucapannya itu tiga kalu, maka dibunuhlah lelaki yang terikat itu.54

Sedangkan mengenai sanksi atau hukuman bagi pelaku riddah

adalah diancam dengan 3 macam hukuman:55 a. Hukuman pokok.

Hukuman pokok jarimah riddah adalah hukuman mati. Hukuman ini wajib bagi setiap orang yang melakukan riddah baik laki-laki maupun perempuan, tua ataupun muda. Tetapi Abu Hanifah berpendapat bahwa perempuan yang murtad itu tidak wajib dibunuh, namun ditahan dan dipaksa untuk kembali lagi kepada Islam, apabila enggan kembali dikurung sampai mati. Dalil Imam Abu Hanifah dalah larangan membunuh wanita dalam situasi peperangan. Jika wanita kafir ikut serta dalam peperangan, ia tidak boleh dibunuh tapi cukup menahannya saja.

Sedangkan mayoritas ulama berpegang pada hadits Nabi Muhammad Saw “barangsiapa yang menukar agamanya maka bunuhlah ia” baik laki-laki ataupun perempuan. Daruqtni

meriwayatkan bahwa seseorang perempuan yang bernama Umu Marwan telah murtad, maka Rasulullah menyuruhnya bertaubat, jika tidak mau bertaubat maka bunuhlah. Jumhur fuqaha sebaliknya

54

Ibid. 55

(47)

37

mendalilkan bahwa perempuan yang tidak dibunuh dalam peperangan itu hanya semata-mata mereka lemah dan tidak mampu berperang tetapi itu hanya sebagian kecil saja yang tidak dapat dijadikan dasar hukum. Hal ini berlainan sekali dengan masalah murtad, karena bahaya perempuan yang murtad sama saja dengan laki-laki yang murtad.

Apabila orang murtad yang dibunuh, tidak perlu dimandikan mayatnya, tidak perlu disholatkan dan tidak bisa dimakamkan di pemakaman orang-orang muslim. Tidak bisa mewarisi harta yang ditinggalakan oleh pewarisnya yang muslim.56

b. Hukuman pengganti.

Hukuman pengganti diberikan apabila hukuman pokok tidak dapat diterapkan. Hukuman pengganti ini berupa takzir seperti: hukuman jilid, atau denda, atau penjara, dan lain sebagainya. Hukuman pengganti ini diwajibkan dalam dua keadaan:

1) Sekiranya hukuman asal telah digugurkan karena orang yang murtad telah bartaubat. Maka dalam keadaan ini hukuman pengganti digunakan seperti hukuman penjara, cambuk atau denda. Sebagian fuqaha mengatakan bahwa orang murtad yang berulang kali dikenakan hukuman yang lebih berat dan diberi maaf kepada mereka yang baru melakukannya.

56

(48)

38

2) Apabila digugurkan hukuman pokok oleh sebab ada larangan, seperti perempuan dan anak-anak yang melakukan murtad, maka dalam keadaan ini mereka diminta bertaubat dan kembali kepada Islam dan ditahan sehingga ia kembali lagi kepada Islam.

c. Hukuman tambahan.

Sedangkan hukuman tambahan yang dikenakan kepada orang yang murtad adalah menyita atau merampas hartanya dan hilangnya hak terpidana untuk bertasharuf (mengelola) hartanya.

Syekh Mahmud Saltut menyatakan bahwasanya orang murtad itu sanksinya diserahkan kepada Allah, tidak ada sanksi duniawi atasnya. Alasannya karena firman Allah dalam surat al-Baqaroh ayat 217 hanya menunjukkan kesia-siaan amal kebaikan orang murtad dan sanksi akhirat, yaitu kekal dalam nerakan alasan lainnya adalah kekafiran sendiri tidak menyebabkan bolehnya orang dihukum mati, sebab hukuman mati bagi orang yang kafir adalah karena memerangi dan memusuhi orang Islam.57

57

(49)

BAB III

PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BANDA ACEH NOMOR

81/PID.B/2015/PN.BNA TENTANG PENODAAN AGAMA

A. Deskripsi Kasus

Terdakwa M. Althaf Mauliyul Islam Bin Fuad Mardatillah pada hari dan tanggal yang tidak dapat dipastikan lagi yaitu sekira bulan Oktober tahun 2014 sampai bulan Januari 2015 atau setida-tidaknya pada suatu waktu di dalam tahun 2014 dan tahun 2015 bertempat di kantor DPD Gafatar Aceh tepatnya di Desa Lamgapang Kecamatan Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar, karena tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat Pengadilan Negeri Banda Aceh daripada tempat kedudukan Pengadilan Negeri yang di dalamnya tindak pidana itu dilakukan maka sesuai dengan pasal 84 ayat (2) KUHAP Pengadilan Negeri Banda Aceh berwenang mengadilinya. Dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan agama yang dianut di Indonesia, perbuatan tersebut dilakukan terdakwa dengan cara-cara sebagai berikut :

(50)

39

450.1/165/2011, Panglima Komando Daerah Militer Iskandar Muda Nomor: KEP/216/IV/2011, Kepala Kepolisian Daerah Aceh Nomor: KEP/65/IV/2011, Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh Nomor: KEP-073/N.1/Dsp/04/2011, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Aceh Nomor: Kw.01.1/4/HM.00.1/766/2011 tentang Larangan Kegiatan Aliran Millata Abraham di Aceh pada Tanggal 22 April tahun 2011 terdakwa telah membuat surat pernyataan yang mengakui bahwa Aliran Millata Abraham adalah sesat sehingga terdakwa di syahadatkan kembali di Masjid Raya Baiturrahaman;

Tanggal 05 Januari 2014 terdakwa masuk menjadi anggota Gafatar yang memiliki pandangan dan landasan sebagaimana paham Millata Abraham dan terdakwa mengetahui dan menyadari bahwa ajaran yang diaut di dalam Organisasi Gafatar tersebut adalah menggunakan paham Millata Abraham yang ebelumnya oleh Pemerintah Aceh telah dilarang sebagai ajaran sesat tetapi terdakwa tetap masuk menjadi anggota Gafatar tersebut bahkan pada Juli tahun 2014 terdakwa ditunjuk sebagai Ketua Gafatar Kota Banda Aceh;

(51)

40

Pada hari dan tanggal yang tidak dapat dipastikan lagi sekira bulan oktober tahun 2014 terdakwa selaku Ketua Gafatar Banda Aceh memeberikan pemahaman-pemahaman di Desa Lamgapang Kecamatan Krueng Barona Jaya Kabupaten ACEH besar tepatnya di dalam kantor DPD Gafatar Aceh yang pintu kantornya tersebut terbuka sehingga dapat dilihat oleh orang yang melewati tempat tersebut dan terdakwa memeberikan pemahaman tersebut dihadapan anggota-anggota Gafatar lainnya diantaranya saksi Zahrotul Jannah Binti Arifin Ardaeng, saksi Sarah Riska Binti Ibrahim, saksi Dewi Novita Sari Binti Pujianto, saksi Dedi Saputra Bin Agussalim dengan tujuan agar anggota-anggota Gafatar tersebut tetap konsisten dan menyatuakan pemahaman-pemahaman Millata Abraham yang terdakwa berikan di hadapan anggota-anggota Gafatar tersebut diantaranya:

1. Mempelajari isi kitab al-Qur’an dan Injil, kemudian isi al-Quran tersebut kami terapkan di dlam kehidupan sehai-hari sedangkan mengerjakan sholat di aliran Millata Abraham tidak dibahas, hal tersebut diserahkan kepada keyakinan masing-masing (boleh dilaksanakan dan juga boleh tidak dilaksanakan);

2. Nabi pertama bukan Nabi Adam melainkan ada manusia lain selain Nabi Adam kemudian Nabi Muhammad adalah bukan Nabi akhir zaman, melainkan nabi akhir zaman adalah Abdussalam Messi alias Ahmad Musadeq;

(52)

41

4. Mesias adalah pembawa risalah tuan semesta alam untuk menggenapi segala kehendak dan perintahnya bagi umat manusia dan dibawah bimbingan mesias kita sanggup berkorban harta dan diri untuk mewujudkan kehendak dan rencana tuan semesta alam yang akan menjadikan bangsa nusantara ini menjadi bangsa yang damai sejahtera; Pemahaman-pemahaman yang diberikan oleh terdakwa tersebut didengarkan oleh anggota Gafatar dengan tujuan agar menambah pemahaman dan wawasan sehingga mempercayai dan meyakini perkataan untuk dilaksanakannya padahal pemahaman tersebut bertentangan dengan agama Islam dan merupakan pemahaman sesat.

Terdakwa juga pernah memberikan tabloid Gafatar edisi 05 Nopember 2014 sekira bulan Desember 2014 kepada Kepala Desa Lamgapang Kecamtan Krueng Barona Jaya Kab. Aceh Besar yaitu saksi Adnan Amin dengan tujuan untuk memperkenalkan organisasi Gafatar kepada orang banyak termasuk saksi Adnan Amin dan di dalam tabloid tersebut juga megatas ama Tuhan ang Maha Esa dengan harapan atas izin Tuhan maka cita-cita Gafatar yang menggunakan spirit Millata Abraham tercapai.

(53)

42

Kesatu : Ajaran (Pemahaman, pemikiran, keyakinan dan pengalaman) Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) adalah metamorphosis dari Millata Abraham dan Qiyada al-Islamiyah;

Kedua : Gafatar adalah sesat menyesatkan;

Ketiga : Setiap pengikut ajaran Gafatar adalah Murtad;

Keempat : Sikap simpati terhadap Gafatr adalah perbuatan munkar;

Kelima : Setiap pengurus, pengikut dan simpatisan Gafatar yang tidak bertaubat agar ditindak dan dikenakan hukuman seberat-beratnya;

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 156a huruf a KUHP yang berbunyi :

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

B. Pertimbangan Hakim Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Banda

Aceh Nomor 81/Pid.B/2015/PN.Bna tentang Penodaan Agama

Adapun pertimbangan Hakim dalam memutuskan putusan nomor: 81/Pid.B/2015/PN.Bna adalah sebagai berikut:

(54)

43

a. Barangsiapa

Yang dimaksud dengan ‘barangsiapa’ ialah siapa saja atau

setiap orang yang didakwa oleh Penuntut Umum sebagai pelaku tindak pidana yang didakwakan dalam perkara ini.

Berdasarkan pengamatan dan penilaian terhadap terdakwa tersebut selama persidangan berlangsung, maka Majelis Hakim berkeyakinan bahwa terdakwa adalah orang yang identitasnya sebagaimana tercantum dalam surat dakwaan Penuntut Umum, karena selama pemeriksaan berlangsung tidak terdapat adanya keberatan maupun sangkalan, sehingga unsur ini harus dinyatakan terpenuhi.

b. Dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat bermusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Meskipun dalam undang-undang tidak ada penjelasan secara langsung mengenai ‘kesengajaan’, namun dalam

perkembangannya, pemahaman doktrin hukum pidana mengenai penilaian ada tidaknya kesengajaan terseut telah berkembang menjadi tiga bentuk kesengajaan:

(55)

44

tersebut pasti akan muncul ataupun mungkin akan muncul karena perbuatan yang akan atau sedang ia lakukan, sedangkan munculnya akibat tersebut memang ia kehendaki dan juga kemudian benar akibat tersebut telah muncul karena perbuatannya;

2) Kesengajaan dengan sadar akan kepastian (opzet bij zekerheids-bewustzijn), yaitu apabila seorang pelaku pada waktu melakukan suatu perbuatan untuk menimbulkan suatu akibat terlarang, menyadari secara pasti akan adanya akibat lain yang akan muncul ataupun mungkin akan muncul karena perbuatan yang akan atau sedang ia lakukan, dan kemudian ternyata benar akibat lain tersebut telah muncul karena perbuatannya;

(56)

45

Di dalam KUHP tidak menjelaskan pula apa yang dimaksud dengan kata-kata ‘di depan umum’ hanya saja untuk beberapa delik tertentu yang menggunakan kata-kata di depan umum, Hoge Raad di dalam slaah satu arrestnya telah memutuskan anatara lain:

Perbuatan melanggar kesusilaan di depan umum itu merupakan perbuatan baik yang dilakukan di suatu tempat umum dalam arti tempat yang dapat dikunjungi oleh setiap orang, maupun perbuatan yang walaupun tidak dilakukan di suatu tempat umum, akan tetapi dilihat dari suatu tempat umum. Di dalam doktrin Prof. Simon serta para ahli hukum van Bemmelen-van Hattum telah memiliki kesamaan pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan kata-kata ‘di muka umum’, yaitu yang dimaksudkan dengan di depan umum hanyalah apa yang dilakukan di tempat umum atau yang dilakukan di tempat umum atau yang dapat dilihat dari suatu di tempat umum.

(57)

46

dalam KUHP, namun karena doktrin-doktrin tersebut telah lazim digunakan sebagai dasar untuk menafsirkan maksud pembuat undang-undang atas kata di muka umum, maka Majelis Hakim bependapat pengertian tersebut dapat dijadikan dasar pijakan hukum bagi Majelis Hakim untuk mempertimbangkan mengenai maksud ‘di muka umum’ di dalam delik pidana yang didakwakan

oleh Penuntut Umum.

(58)

47

dan ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan, bukanlah tindak pidana menurut pasal ini.

Ketentuan perbuatan-perbuatan di dalam delik pasal 156a huruf a KUHP juga bersifat alternatif, yaitu: mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat penyalahgunaan atau mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, yaitu: Budha, Hindu, Islam, Kristen Protestan, Katolik dan kong Hu Cu (Confusius). Maka apabila salah satu dan/atau lebih perbuatan-perbuatan sebagaimana dimaksud dalam unsur delik ini telah terpenuhi, maka unsur delik ini dapat dinyatakan telah terbukti.

2. Adanya usaha-usaha atau cara-cara yang dilakukan oleh terdakwa secara sadar untuk tetap mempertahankan eksistensi aliran yang telah dilarang di tengah-tengah masyarakat Aceh.

(59)

48

Kegiatan Ajaran Millata Abraham di Wilayah Kota Banda Aceh yang kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Bersama Gubernur Aceh, Panglima Komando Daerah Militer Iskandar Muda, Kepala Kepolisian Daerah Aceh, Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh, Kepala Kantor Wilayah Kementrian Agama Aceh, Nomor: 450.1/165/2011, Nomor: KEP/2016/IV/2011, Nomor: KEP/65/IV/2011, Nomor: KEP-073/N.1/Dsp.5/04/2011, Nomor: KW.01.1/2/HM.00.1/766/2011 tanggal 6 April 2011 tentang Larangan Kegiatan Aliran Millata Abraham di Aceh, maka terhadap penganut, anggota dan/pengurus Komunitas Millata Abraham di Provinsi Aceh telah diberikan peringatan dan perintah untuk menghentikan penyebaran, penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari aqidah dan syariat agama Islam dan/atau agam lainnya.

(60)

49

kurang lebih sebulan sebelum penangkapan atas diri terdakwa bersama-sama pengurus-pengurus lainnya pada bulan Januari 2015.

Berdasarkan fakta yang terungkap, memang benar sebagian besar atau dapat dikatakan hampir seluruh pengurus organisasi Gafatar Aceh, termasuk terdakwa adalah mantan pengikut Komunitas Millata Abraham yang telah dilarang keberadaannya di Propinsi Aceh sejak tahun 2011 dan pengikutnya tersebut, termasuk terdakwa telah diberikan peringatan keras untuk tidak lagi mengikuti ajaran Millata Abraham dalam bentuk apapun. Dengan dikeluarnya SKB dan Peraturan Gubernur Aceh mengenai hal tersebut, Majelis Hakim menilai terdakwa dan saksi-saksi yang juga mantan pengikut Millata Abraham dengan segala latar belakang pendidikan dan lingkungan sosialnya, seharusnya memiliki pengetahuan yang cukup dan menyadari adanya konsekuensi hukum yang harus dihadapi dan dijalani apabila tidak mentaati SKB maupun Peraturan Gubernur Aceh tersebut.

(61)

50

lainnya menjadi lebih solid, lebih leluasa dan dapat bahkan dapat lebih dekat serta membaur di tengah masyarakat Aceh guna mengaktualisasikan dan merealisasikan apa yang telah mereka pelajari dan ikuti ketika masih menjadi anggota Komunitas Millata Abraham tanpa memeperdulikan adanya larangan Pemerintah Aceh bagi penganut, anggota dan/pengurus aliran/ajaran Millata Abraham, termasuk organisasinya untuk menghentikan segala kegiatannya. 3. Menjadikan seseorang sebagai ‘Mesias’ yang artinya pembawa risalah

Tuhan.

Menurut Prof. Yusni Shabi, yang dimaksud ‘Mesias’ adalah berasal dari kata ‘al-Masih’ atau al-Masih al-Mau’ud yang artinya juru selamat. Istilah ‘Mesias/juru selamat’ ini merupakan ideology atau keyakinan yang dipahami 3 agama, yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam. Istilah ini muncul ketika masyarakat berada dalam kondisi kacau balau. Pemahaman tentang ‘Mesias/juru selamat’ ini diyakini

akan turunnya juru selamat di akhir zaman yang mana dalam pemahaman Islam adalah Nabi Isa AS yang akan turun di kedua tiang dan menghancurkan musuh yaitu Yahudi sejumlah 70.000 orang. Dalam legenda Aceh sendiri juga memiliki ‘Mesias/juru selamat’

yang konon disebutkan namanya adalah Muhammad Hanafiyah, yang merupakan anak dari Ali Bin Abi Thalib dari istri yang lain. Istilah ‘Mesias/juru selamat

Referensi

Dokumen terkait

Pada akhir minggu ke-10 pascafertilisasi, atau minggu ke-12 bila dihitung sejak masa menstruasi terakhir, seluruh usus telah masuk ke dalam abdomen dan keluar dari tali

 Dibutuhkan input maupun output atau library untuk Arduino yang secara tidak menentu karena disesuaikan dengan kondisi atau permintaan dari user atau orang –

Nilai koefisien determinasi ditunjukkan oleh nilai R yang menunjukkan korelasi berganda, yaitu faktor pola komunikasi keluarga, percaya diri, introversi, dan harga

From to chart (FTC) kadang-kadang disebut sebagai trip frequency chart atau Travel Chart adalah suatu teknik konvensional yang umum digunakan untuk perencanaan tata letak pabrik

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Roesmarkam, dkk (2002) menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik akan terlihat setelah beberapa musim tanam, sehingga pada penelitian ini

Mereka tidak dapat memahami bahawa keputusan mungkin boleh dibuat dan seringkali dapat dicapai dengan cara lain, dengan keputusan yang sama baik, atau bahkan lebih

Pendekatan atau cara yang dapat digunakan untuk melakukan evaluasi atau penilaian hasil belajar adalah melalui Penilaian Acuan Norma (PAN) dan Penilaian

Kartini adalah satu-satunya perempuan pribumi yang ada disana, teman perempuan Kartini hanya anak-anak menir Belanda, jadi tak heran bahwa kartini