• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini kajian dilakukan diseluruh instansi yang mempunyai tupoksi berkaitan dengan strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis di seluruh Kalimantan. Instansi-instansi tersebut meliputi: Unit Pelaksana Teknis Karantina Pertanian (UPTKP), yaitu instansi yang mempunyai tupoksi mencegah masuk dan tersebarnya bruselosis ke Pulau Kalimantan dan instansi yang menjalankan fungsi kesehatan hewan di kabupaten dan kota yang ada di Pulau Kalimantan, yaitu Dinas yang mempunyai tupoksi pengendalian bruselosis di Pulau Kalimantan.

Ada beberapa unsur dan variabel yang telah diteliti dalam kajian strategis pencegahan dan pengendalian bruselosis di Kalimantan ini, meliputi: pelaku kebijakan, lingkungan kebijakan dan sistem kebijakan.

Hasil

Unit Pelaksana Teknis Karantina Pertanian (UPTKP)

Dari hasil pengumpulan data di 16 UPTKP maka dapat diperoleh data sebagai berikut :

Dari hasil pengamatan ke-16 UPTKP jumlah pelaku kebijakan secara umum cukup memadai hanya saja penyebarannya kurang merata, Sumber daya manusia (SDM) pada UPTKP sebagian besar merupakan pengiriman SDM dari kementrian pertanian melalui Badan Karantina Pertanian yang direkrut hampir setiap tahun. Penerimaan ini melalui tes calon pegawai negeri sipil yang diselenggarakan serentak secara nasional diseluruh Indonesia. Data jumlah SDM yang dimiliki UPTKP terkait dengan program pencegahan bruselosis di Kalimantan dapat dilihat pada Tabel 4.

Pelaku Kebijakan UPTKP

Tabel 4 Ketersediaan sumber daya manusia UPTKP Sumber Daya Manusia Rata-rata (orang) Maksimum (orang) Minimum (orang) Medik 8 37 1 Paramedik 16 39 1 Administrasi 6 34 0

(2)

Sumber daya manusia yang dimiliki oleh UPTKP yang melalulintaskan hewan rentan bruselosis ke Kalimantan rata rata memiliki medik, paramedik dan administrasi. Terlihat pada tabel 5 bahwa setiap UPTKP rata rata memiliki 8 medik veteriner dengan maksimum 37 medik dan minimum 1 medik per UPTKP. Untuk paramedik setiap UPTKP memiliki 16 paramedik dengan maksimum 39 dan mimimum 1 paramedik per UPTKP. Tenaga administrasi per UPTKP rata rata memiliki 6 tenaga administrasi dengan maksimum 34 tenaga administrasi namun ada UPTKP yang tidak mempunyai tenaga administrasi.

Menurut data-data yang diperoleh, karakteristik para pelaku kebijakan di UPTKP dapat digambarkan sebagai berikut :

1. Kepala Seksi Pelayanan Operasional Karantina Hewan

Menurut pengamatan pada kelompok Kepala Seksi Pelayanan Operasional Karantina Hewan (Kasi yanop KH) sebagian besar adalah laki laki, pada umur 31-40 tahun, lamanya masa kerja 10-15 tahun dan berpendidikan S1. Mayoritas kepala seksi tidak pernah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan bruselosis. 2. Medik Veteriner Karantina

Menurut pengamatan pada kelompok medik veteriner, lebih banyak perempuan daripada laki laki, mayoritas berumur diantara 31-40 tahun, dan mempunyai masa kerja dibawah 5 tahun. Sebagian besar medik veteriner juga tidak pernah mengikuti pelatihan berkaitan dengan bruselosis. Pengetahuan tentang bruselosis pada medik veteriner baik diikuti dengan sikap yang baik pula.

3. Paramedik Veteriner Karantina

Menurut pengamatan pada kelompok paramedik veteriner, lebih banyak laki laki daripada perempuan, pada umur merata dan paling banyak di bawah umur 30 tahun, mayoritas lamanya masa kerja 10-15 tahun serta pendidikan adalah SLTA. Sebagian besar paramedik veteriner tidak pernah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan bruselosis. Pengetahuan paramedik veteriner tentang bruselosis cukup dengan diikuti sikap yang baik.

Pelatihan, pengetahuan dan sikap para pelaku kebijakan UPTKP terkait bruselosis secara rinci disajikan pada Tabel 5.

(3)

Tabel 5 Karakteristik pelaku kebijakan UPTKP

No Karakteristik Kepala Seksi

(%)

Medik (%)

Paramedik (%) 1 Pelatihan terkait bruselosis :

Tidak pernah 1 kali 2 kali 3 kali 40 6.70 26.70 26.70 66.70 26.70 6.70 0 69.2 23.1 7.70 7.70 2 Pengetahuan terkait pencegahan bruselosis

Sangat baik Baik Cukup Kurang baik Tidak baik 0 62.50 37.50 0 0 0 31.25 62.5 6.25 0 3 Sikap terkait pencegahan bruselosis

Sangat baik Baik Cukup Kurang baik Tidak baik 12.50 87.50 0 0 0 0 93.75 6.25 0 0 1. Sumber Dana

Lingkungan Kebijakan UPTKP

Menurut data dari beberapa UPTKP bahwa sumber dana yang dimiliki oleh Dinas ini bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Secara umum semua UPTKP mempunyai anggaran untuk melakukan pengamatan penyakit dan tindak karantina hewan. Menurut data yang diperoleh ada 89.58% UPTKP yang menyebutkan menyediakan dana khusus untuk pengamatan bruselosis. 79.17% UPTKP menyediakan dana untuk koordinasi dengan Dinas terkait. Untuk pengembangan sumber daya manusia hanya 68.75% UPTKP yang menyediakan dana untuk pelatihan dan 58.33% UPTKP untuk in house training. Alokasi sumber dana secara rinci dapat terlihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Alokasi dana UPTKP untuk pencegahan bruselosis di Kalimantan

No Ketersediaan dana UPTKP

(%) 1 Pengamatan bruselosis termasuk surveilans dan tindakan karantina

hewan (perjalanan, bahan dan alat pengambilan sampel serta bahan dan alat laboratorium)

89.58

2 Koordinasi dengan Dinas terkait 79.17

3 Pengembangan sumber daya : • Pelatihan

(4)

2. Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana yang dimiliki UPTKP sebagian besar berasal dari pengadaan barang dan jasa yang bersumber dari APBN. Menurut data yang diperoleh secara umum ketersediaan sarana dan prasana pada instalasi karantina hewan hampir semua UPTKP tersedia, ketersediaan sarana prasarana pada instalasi karantina hewan, peralatan laboratorium, peralatan pengambilan sampel, kendaraan operasional dan alat pengolah data relatif lengkap. Sarana dan parasarana dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Ketersediaan sarana prasana UPTKP

No Sarana dan Prasarana UPTKP Pemasukan (Kalimantan)

(%)

UPTKP Pengeluaran (Luar Kalimantan)

(%) 1 Instalasi Karantina Hewan

• Peralatan 100 100

• Bahan 100 100

• Ruang Pemeriksaan hewan 33 80

2 Laboratorium (Pemeriksaan RBT)

• Peralatan 100 100

• Bahan Antigen RBT 100 100

• Bahan Kontrol Positif Brucella 33 100

3 Pengambilan sampel 100 100

Ada beberapa hal penting yang terlihat kurang tersedia seperti ruang periksa hewan dan bahan reagen kontrol positif Brucella sp. Pada ruang periksa hewan hanya 33% dari UPTKP di Kalimantan yang memiliki ruang periksa hewan. Selain itu pada bahan laboratorium yaitu reagen kontrol positif RBT hanya 33% UPTKP di Kalimantan yang tersedia.Kedua sarana ini cukup penting dan dibutuhkan dalam strategi ini. Ruang pemeriksaan sangat dibutuhkan dalam pemeriksaan hewan serta pengambilan sampel sehingga harus tersedia. Reagen positif kontrol Brucella sp dalam pemeriksaan rose bengal test (RBT) sangat dibutuhkan dalam penentuan hasil pemeriksaan serologis, tanpa positif kontrol suatu uji tidak dapat dipastikan kebenarannya.

Karantina pertanian dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya dalam tindakan karantina hewan terkait bruselosis tidak terlepas dari Undang Undang no.16 tahun 1992 tentang Karantina hewan, ikan dan tumbuhan, Peraturan Sistem Kebijakan

(5)

Pemerintah no.82 tahun 2000 tentang karantina hewan serta peraturan peraturan terkait lainnya. Dalam UU dan PP tersebut dijelaskan mengenai prosedur tindak karantina hewan yang dikenal dengan istilah 8P yaitu pemeriksaan, pengasingan, pengamatan, perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan dan pembebasan. Dari hasil yang diperoleh bahwa seluruh UPTKP telah melakukan tindakan karantina hewan sesuai dengan aturan kebijakan tetapi ada beberapa hal yang belum dapat terimplementasi sesuai dengan standar internasional (OIE). Implementasi sistem kebijakan secara rinci terlihat seperti pada Tabel8.

Tabel 8 Sistem Kebijakan UPTKP

No Sistem kebijakan UPTKP

Pemasukan (Kalimantan) (%) UPTKP Pengeluaran (Luar Kalimantan) (%) 1 Pemeriksaan a. Pemeriksaan dokumen • Dilakukan pemeriksaan

kelengkapan, kebenaran isi, dan keabsahan dokumen

100 100

• Dokumen menjelaskan hewan berasal dari peternakan bebas bruselosis

50

• Dokumen menjelaskan hewan berasal dari daerah yang bebas bruselosis

40

b. Pemeriksaan fisik (kesehatan hewan)

100 100

c. Pemeriksaan laboratorium

• Pengambilan sampel serum 100 100 • Pemeriksaan RBT dan Uji Lanjut

CFT

100 100

• Pemeriksaan Laboratorium pada sapi bibit dari daerah tidak bebas bruselosis dilakukan 2 kali dengan interval waktu 30 hari

0

(Dilakukan satu kali setelah 3-5 hari

kedatangan)

0

(Dilakukan satu kali sebelum 3 -14 hari

keberangkatan) • Pemeriksaan Laboratorium pada

sapi potong 30 hari sebelum keberangkatan/30 hari setelah kedatangan.

0

(Dilakukan satu kali setelah 3-5 hari

kedatangan)

0

(Dilakukan satu kali sebelum 3 -5 hari keberangkatan) 2 Pengasingan 100 100 3 Pengamatan 100 100 4 Perlakuan 100 100 5 Penahanan 100 100 6 Penolakan 100 100 7 Pemusnahan 100 100 8 Pembebasan 100 100

Menurut hasil pengamatan hanya 50% UPTKP pengeluaran (di luar Kalimantan) yang melakukan pemeriksaan terhadap dokumen yang menjelaskan

(6)

hewan berasal dari peternakan yang bebas bruselosis dan hanya 40% UPTKP pengeluaran (di luar Kalimantan) yang melakukan pemeriksaan terhadap dokumen yang menjelaskan hewan berasal dari daerah yang bebas bruselosis. Seluruh UPTKP sudah melaksanakan pemeriksaan laboratorium secara serologis 2 kali terhadap hewan bibit yang dilalulintas. Pertama di daerah asal (tempat pengeluaran) yaitu 3-14 hari sebelum keberangkatan dan kedua di daerah Kalimantan (tempat pemasukan) yaitu 3-5 hari setelah pemasukan sehingga interval waktu pemeriksaan 6-19 hari.

UPTKP juga melakukan pemeriksaan laboratorium pada sapi potong tetapi hanya satu kali saja yaitu 3-5 hari sebelum keberangkatan di daerah pengeluaran / setelah kedatangan di deaerah pemasukan, jadi bila UPTKP daerah pengeluaran sudah melakukan pemeriksaan maka UPTKP daerah pemasukan tidak melakukannya lagi, begitu juga sebaliknya bila UPTKP daerah pengeluaran tidak melakukan maka UPTKP daerah pemasukan melakukan pemeriksaan.

Dinas yang Menjalankan Fungsi Kesehatan Hewan Kabupaten/Kota di Kalimantan

Dari ke-54 Dinas yang menjalankan fungsi kesehatan hewan di kabupaten/kota yang diberikan kuisioner hanya 14 Dinas yang mengembalikan hasil kuisioner tersebut. Sehingga dari ke-14 Dinas tersebut diperoleh data-data sebagai berikut.

Dari hasil pengamatan ke-14 Dinas yang menjalankan fungsi kesehatan hewan di kabupaten/kota, jumlah pelaku kebijakan secara umum kurang memadai dan penyebarannya tidak merata, Sumber daya manusia (SDM) pada instansi ini sebagian merupakan perekrutan pegawai dari Pemerintah Daerah itu sendiri dan sebagian adalah kiriman dari pusat. Perekrutan tidak selalu dilaksanakan setiap tahun. Data jumlah SDM yang dimiliki di ke-14 Dinas ini terkait dengan program pencegahan bruselosis di Kalimantan dapat dilihat pada Tabel 9.

(7)

Tabel 9 Ketersediaan sumber daya manusia dinas kabupaten/kota Sumber Daya Manusia Rata-rata (orang) Maksimum (orang) Minimum (orang) Medik 3 6 0 Paramedik 3 10 0 Administrasi 1 3 0

Terlihat pada data tabel diatas bahwa setiap Dinas rata rata memiliki 3 medik veteriner dengan maksimum 6 medik veteriner namun ada Dinas yang tidak memiliki medik veteriner. Untuk paramedik, setiap Dinas memiliki 10 paramedik dengan maksimum 3 paramedik dan ada Dinas yang tidak memiliki paramedik. Tenaga administrasi per-Dinas rata rata memiliki 1 tenaga administrasi dengan maksimum 3 tenaga administrasi namun ada Dinas yang tidak mempunyai tenaga administrasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada Dinas yang menjalankan fungsi kesehatan hewan di kabupaten/kota terkait strategi pengendalian bruselosis di Kalimantan yang tidak memiliki medik, paramedik maupun administrasi.

Menurut data-data yang diperoleh, karakteristik para pelaku kebijakan di Dinas yang melakukan fungsi kesehatan hewan di kabupaten/kota di seluruh Kalimantan dapat digambarkan sebagai berikut :

1. Kepala Seksi Kesehatan Hewan

Menurut pengamatan pada kelompok Kepala Seksi Kesehatan Hewan (Kasi keswan) sebagian besar adalah laki laki, pada umur 31-40 tahun, lamanya masa kerja hampir merata diantara 5-10 tahun dan 15-20 tahun serta berpendidikan Strata 1 (S1). Mayoritas kepala seksi tidak pernah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan bruselosis.

2. Medik Veteriner

Menurut pengamatan pada kelompok medik veteriner, jenis kelamin hampir seimbang, mayoritas berumur diantara 31-40 tahun, dan mempunyai masa kerja dibawah 5 tahun. Sebagian besar medik veteriner juga tidak pernah mengikuti pelatihan berkaitan dengan bruselosis. Berpendidikan rata-rata Strata 1 (S1). Pengetahuan tentang bruselosis pada medik veteriner rata rata cukup diikuti dengan sikap yang baik.

(8)

3. Paramedik Veteriner

Menurut pengamatan pada kelompok paramedik veteriner, lebih banyak laki laki daripada perempuan, pada umur merata dan paling banyak diantara umur 31-40 tahun, mayoritas lamanya masa kerja dibawah 5 tahun serta pendidikan mayoritas adalah Diploma 3 (D3). Sebagian besar paramedik veteriner tidak pernah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan bruselosis. Pengetahuan paramedik veteriner tentang bruselosis cukup dengan diikuti sikap yang baik. Terlihat pada data, mayoritas para pelaku kebijakan di Dinas yang melaksanakan fungsinya terkait dengan strategi pengendalian bruselosis di Kalimantan mempunyai pengetahuan yang cukup dan sikap yang baik. Sebagaian besar belum pernah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan bruselosis. Pelatihan, pengetahuan dan sikap para pelaku kebijakan terkait bruselosis secara rinci disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Karakteristik pelaku kebijakan dinas kabupaten/kota

No Karakteristik Kepala Seksi

(%)

Medik (%)

Paramedik (%) 1 Pelatihan terkait bruselosis :

Tidak pernah 1 kali 2 kali 3 kali 4 kali 5 kali 71.43 0 21.43 26.70 0 7.14 64.29 28.57 7.14 0 0 0 64.29 7.14 7.14 7.14 14.29 0 2 Pengetahuan terkait pencegahan bruselosis

Sangat baik Baik Cukup Kurang baik Tidak baik 7.14 21.43 64.29 0 7.14 0 7.14 50 42.86 0 3 Sikap terkait pencegahan bruselosis

Sangat baik Baik Cukup Kurang baik Tidak baik 14.29 71.43 7.14 0 7.14 0 64.29 21.43 14.29 0

(9)

• Sumber Dana Lingkungan Kebijakan

Menurut data dari beberapa Dinas bahwa sumber dana yang dimiliki oleh Dinas ini bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Menurut pengamatan hanya sebagian dari ke-14 Dinas yang mempunyai anggaran untuk melakukan pengamatan penyakit. Menurut data yang diperoleh ada 50% Dinas yang menyebutkan menyediakan dana khusus untuk pengamatan bruselosis. 28.57% Dinas menyediakan dana untuk pengawasan pergerakan hewan (check point). Untuk kompensasi peternak yang ternaknya yang dipotong dalam program test and slaughter hanya 14.29% Dinas yang menganggarkan hal tersebut. 21.43% Dinas yang menyediakan dana untuk pemusnahan hewan reaktor. Untuk pengembangan sumber daya hanya 28.57% Dinas untuk pelatihan dan inhouse training. Alokasi sumber dana secara rinci dapat terlihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Alokasi sumber dana untuk pengendalian bruselosis di Kalimantan

No Ketersediaan dana Dinas kabupaten/kota

(%)

1 Pengamatan bruselosis 50

2 Pengawasan pergerakan hewan (check point) 28.57 3 Kompensasi ternak yang dipotong 14.29

4 Pemusnahan hewan reaktor 21.43

5 Koordinasi dengan Dinas terkait 71.43 6 Pengembangan sumber daya :

• Pelatihan • In house training

28.57 28.57

• Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana yang dimiliki Dinas yang menjalankan fungsi kesehatan hewan di kabupaten/kota di Kalimantan sebagian besar berasal dari pengadaan barang dan jasa yang bersumber dari APBN dan APBD. Ada beberapa hal penting yang terlihat kurang tersedia seperti ruang periksa hewan, bahan dan alat laboratorium, serta alat pengambilan sampel. Pada ruang periksa hewan hanya 7.14% Dinas yang memiliki ruang periksa hewan. Selain itu pada alat dan bahan laboratorium hanya 28.57% Dinas yang memiliki alat dan bahan laboratorium sedangkan pada reagen kontrol positif RBT tidak ada Dinas yang memiliki reagen

(10)

kontrol positif RBT. Selain itu juga pada alat pengambilan sampel hanya 64.29% Dinas yang tersedia.

Ketersedian sarana dan prasarana di ke-14 Dinas ini terlihat terbatas pada beberapa hal yang penting. Sebagai contoh, pada ketersediaan alat pengambilan sampel serum yang diperlukan dalam pengamatan atau surveilans penyakit seperti bruselosis. Keterbatasan sarana dan prasarana tentu saja dapat menghambat pelaksanaan program pengendalian bruselosis di Kalimantan. Ketersediaan sarana dan prasarana secara rinci terlihat pada Tabel12.

Tabel 12 Ketersediaan sarana prasarana dinas kabupaten/kota

No Sarana dan prasarana Dinas kabupaten/kota %

1 Poskeswan/klinik hewan

• Peralatan 92.86

• Bahan 92.86

• Ruang Pemeriksaan hewan 7.14

2 Laboratorium (Pemeriksaan RBT)

• Peralatan 28.57

• Bahan Antigen RBT 28.57

• Bahan Kontrol Positif Brucella 0

3 Alat Pengambilan sampel 64.29

Menurut data yang diperoleh dari ke-14 Dinas bahwa secara umum seluruh dinas peternakan kabupaten/kota di Kalimantan melakukan strategi pemotongan bersyarat (test and slaughter) terhadap hewan yang terbukti positif terinfeksi bruselosis walaupun hanya 21.43% Dinas yang memberikan kompensasi kepada peternak. 78.57% Dinas melakukan pemeriksaan secara klinis, 71.43% Dinas melakukan pemeriksaan secara serologis dan 64.29% Dinas yang melakukan pemeriksaan secara epidemiologi (surveilans). Pada pengawasan lalu lintas ternak, 85.71% Dinas yang selalu berkoordinasi dengan karantina dan hanya 42.86% Dinas yang melakukan pengawasan antar daerah di perbatasan antar kota/kab (check point). Kalimantan daerah yang bebas sehingga tidak dilakukan vaksinasi. 64.29% Dinas melakukan pengujian laboratorium, selebihnya dikirim ke BPPV regional V Banjarbaru. 78.57% Dinas melakukan koordinasi dengan instansi terkait lainnya. Data sistem kebijakan lebih rinci dapat dilihat pada Tabel13

(11)

Tabel 13 Sistem kebijakan dinas yang menjalankan fungsi kesehatan hewan No Sistem kebijakan Dinas Peternakan kabupaten/kota

(Di Kalimantan) (%) 1 Pemeriksaan

- Secara Klinis 78.57

- Secara Serologis 71.43

- Secara Epidemiologi (surveilans) 64.29 2 Pengawasan lalu lintas ternak

- Berkoordinasi dengan Karantina Hewan 85.71 - Pengawasan antar daerah (check point) 42.86

3 Vaksinasi 0

4 Pengujian Laboratorium 64.29

5 Pemotongan bersyarat (test and slaughter) 100

6 Kompensasi peternak 21.43

7 Koordinasi Dinas terkait 78.57

Pembahasan

Bruselosis adalah penyakit utama pada ternak ruminasia yang menyebabkan kegagalan reproduksi. Bruselosis juga merupakan penyakit zoonosis yang menyebabkan dampak ekonomi yang cukup besar walau mortalitasnya tidak terlalu tinggi. Di Kalimantan, jumlah kasus telah berkurang karena adanya program dan strategi pemberantasan selama kurun waktu 10 tahun dari tahun 1998-2008 (BPPV 2008) dan telah ditetapkan menjadi daerah bebas pada tahun 2009 dengan diterbitkannya surat keputusan menteri pertanian No. 2540/ Kpts/PD.610/ 6/2009 tanggal 15 Juni 2009 dinyatakan bahwa pulau Kalimantan bebas dari penyakit keluron menular brucelosis pada sapi dan kerbau.

Pulau Kalimantan telah dinyatakan bebas tetapi kewaspadaan harus tetap ada karena pada tahun 2010 ditemukan beberapa reaktor-reaktor kecil di beberapa daerah di Kalimantan. Di Kalimantan Barat ditemukan 13 ekor sapi jenis sapi Bali dan sapi FH, di Kalimantan Selatan ada 12 ekor jenis sapi Bali serta di Kalimantan Timur ada 3 ekor jenis sapi Bali (BPPV 2011). Adanya pemasukan atau lalu lintas ternak ruminansia dari daerah yang tidak bebas seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Jawa barat, Jawa Timur merupakan resiko masuk dan tersebarnya bruselosis di Kalimantan. Mempertahankan Kalimantan dalam status bebas tentu saja bukan pekerjaan yang mudah. Sebaliknya hal ini membutuhkan suatu pendekatan yang komprehensif dan investasi dalam jangka panjang misalnya dalam hal surveilans, pengujian laboratorium isolasi, pemusnahan hewan terinfeksi (test and slaughter),

(12)

kesadaran publik, kegiatan pendidikan kesehatan dan komitmen yang kuat. Oleh karena itu diperlukan strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis di Kalimantan.

Strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis di Kalimantan telah dilaksanakan oleh instansi-instansi yang berwenang. Instansi-instansi tersebut adalah UPTKP selaku instansi yang mempunyai tupoksi dalam pencegahan masuk dan tersebarnya penyakit termasuk bruselosis di Kalimantan dan dinas daerah dalam hal ini dinas peternakan atau dinas yang membidangi kesehatan hewan yang mempunyai tupoksi dalam pengendalian penyakit termasuk bruselosis di Kalimantan. Suksesnya suatu strategi kebijakan tentu saja harus didukung oleh beberapa faktor. Menurut Dunn (2011) faktor faktor yang mendukung suatu analisi kebijakan antara lain, pelaku kebijakan, lingkungan dan sistem kebijakan.

Melihat kondisi diatas maka dalam Penelitian ini telah melakukan analisis deskriptif pada program strategi pencegahan bruselosis di Kalimantan kepada instansi yang terkait. Adapun unsur yang diteliti terdiri dari tiga unsur, yaitu: pelaku kebijakan, lingkungan kebijakan (sumberdaya dan sarana prasana), dan kebijakan publik.

Pelaku Kebijakan

Para pelaku kebijakan yang dimaksud adalah pemegang kebijakan dan pelaksana kebijakan di suatu instansi yang melaksanakan strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis di Kalimantan. Menurut Terrestrial Animal Health Code OIE (2011) bahwa suatu Instansi pelayanan kesehatan hewan (Authority Veterinarian services) harus mempunyai sumber daya manusia sebagai pelaku kebijakan yang cukup dan sesuai dengan kebutuhan. Adapun sumber daya manusia tersebut adalah dokter hewan, paramedik dan administrasi. Tugas pokok dan fungsi masing-masing personel harus jelas dan rinci sehingga dapat memberikan jaminan terhadap pencegahan dan pengendalian penyakit yang sedang dilakukan. Pelaku kebijakan juga harus mempunyai pengetahuan tentang kesehatan hewan dan sikap yang baik dalam upaya mendukung program pencegahan dan pengendalian penyakit hewan. Pelaku kebijakan harus dapat mermberikan pelayanan kedokteran

(13)

hewan dengan dasar informasi yang efektif, misalnya dapat melaksanakan pelaporan penyakit serta pengawasan.

Terlihat pada data, setiap UPTKP mempunyai medik, paramedik dan administrasi dalam menjalankan tupoksinya sedangkan pada dinas kabupaten/kota, ada beberapa dinas kabupaten/kota di Kalimantan yang tidak mempunyai medik ataupun paramedik. Kondisi kekurangan sumber daya manusia di Kabupaten/kota di Kalimantan ini tentu saja menjadi hal yang sangat krusial mengingat pentingnya sumber daya manusia yang mempunyai kompetensi untuk menjalankan program strategi ini. Melihat kondisi diatas maka perlu perekrutan sumber daya manusia pada dinas tersebut terutama perekrutan dokter hewan dan paramedik karena suatu instansi pelayanan kesehatan hewan harus mutlak mempunyai dokter hewan dan paramedik veteriner dalam upaya mendukung program pencegahan dan pengendalian penyakit hewan.

Mayoritas para pelaku kebijakan di UPTKP mempunyai pengetahuan cukup baik dan diikuti sikap yang baik pula, walaupun sebagaian besar belum pernah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan bruselosis. Sedangkan pada medik veteriner di dinas kabupaten/kota yang ada, mayoritas medik veteriner mempunyai pengetahuan yang cukup baik diikuti dengan sikap yang baik pula sedangkan pada paramedik veteriner mayoritas mempunyai pengetahuan yang kurang baik tetapi diikuti dengan sikap yang baik. Mayoritas seluruh pelaku kebijakan tidak pernah mengikuti pelatihan. Sehingga memang diperlukan pelatihan khusus terkait bruselosis untuk meningkatkan pengetahuan, kemampuan, keahlian dan sikap yang lebih baik dan merata dalam mendukung program pencegahan penyakit tersebut di Kalimantan. Menurut Halim (2011) pelatihan merupakan penciptaan suatu lingkungan dimana kalangan tenaga kerja dapat memperoleh dan mempelajari sikap, kemampuan, keahlian, pengetahuan perilaku spesifik yang berkaitan dengan pekerjaan. Pelatihan merupakan serangkaian aktivitas yang dirancang untuk meningkatkan keahlian, pengetahuan, pengalaman, ataupun perubahan sikap seseorang inidividu.

Lingkungan Kebijakan

Lingkungan kebijakan dalam hal ini sumber dana dan sarana prasarana yang dibutuhkan untuk strategi pencegahan dan pengendalian harus terpenuhi. Menurut

(14)

McDermott dan Arimi (2002) parameter ekonomi relatif penting terkait dengan penanganan dan membuat keputusan yang lebih baik dalam strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis.

Melihat data-data yang diperoleh bahwa seluruh UPTKP telah menganggarkan dana setiap tahunnya untuk kegiatan tindak karantina hewan secara umum termasuk pada strategi pencegahan bruselosis di Kalimantan. Tetapi ada sebagian kecil UPTKP yang tidak mengganggarkan dana khusus seperti dalam koordinasi dengan instansi terkait dan pengembangan sumber daya, sehingga perlu dianggarkan untuk periode anggaran berikutnya.

Menurut pengamatan yang telah dilakukan tidak semua dinas menganggarkan dana secara khusus untuk strategi pengendalian bruselosis di Kalimantan ini. Seperti terlihat pada alokasi dana untuk pengawasan pergerakan hewan (check point), hanya sedikit dinas yang menganggarkan. Selain itu juga hanya sedikit dinas yang menganggarkan dana untuk kompensasi ternak yang dipotong. Tanpa kompensasi ternak tentu saja akan mengakibatkan peternak merasa keberatan bila ternaknya akan dipotong sehingga memungkinkan peternak akan menjual sapi yang terinfeksi tersebut dan bisa mengakibatkan penyebaran semakin tidak terkontrol. Menurut AHA (2005) pergerakan hewan mempunyai risiko yang tinggi terhadap penyebaran penyakit. Sejalan dengan itu, menurut Donev (2010) strategi pencegahan, pengendalian dan pemberantasan dengan menggunakan strategi test and slaughter tanpa vaksinasi membutuhkan biaya yang sangat besar. Kompensasi pada peternak dan pengawasan pergerakan hewan merupakan bagian penting dalam program ini.

Sistem Kebijakan

Pada sistem kebijakan dalam strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis di Kalimantan dilakukan oleh beberapa instansi yang pada penelitian ini telah dikaji pada 2 instansi yang mempunyai tupoksi berkaitan dengan strategi tersebut. Instansi–instansi tersebut adalah UPTKP dan Dinas daerah kabupaten/kota yang membidangi kesehatan hewan.

(15)

UPT Karantina pertanian dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya dalam tindakan karantina hewan terkait bruselosis tidak terlepas dari Undang Undang no 16 tahun 1992 tentang Karantina hewan, ikan dan tumbuhan, Peraturan Pemerintah no 82 tahun 2000 tentang karantina hewan serta peraturan peraturan terkait lainnya. Dalam UU dan PP tersebut dijelaskan mengenai prosedur tindak karantina hewan yang dikenal dengan istilah 8P yaitu pemeriksaan, pengasingan, pengamatan, perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan dan pembebasan. Dalam penelitian telah dilakukan analisis tindakan karantina hewan tersebut dikaitkan dengan strategi pencegahan bruselosis di Kalimantan. Dari hasil yang diperoleh bahwa sebagian besar UPTKP telah melakukan tindakan karantina hewan sesuai dengan aturan kebijakan yaitu melakukan pemeriksaan secara fisik dan dokumen, pengasingan, pengamatan dan perlakuan penahanan, penolakan, pemusnahan dan pembebasan. Namun ada beberapa aturan yang belum sepenuhnya sesuai dengan pengawasan yang sesuai dengan OIE.

Adapun beberapa hal yang tidak sesuai dengan standar OIE adalah :

1. Tidak ada perbedaan perlakuan antara ternak yang berasal dari daerah tertular ataupun daerah bebas.

2. Pemeriksaan laboratorium secara serologis terhadap pemasukan ternak bibit yang berasal dari daerah tertular tidak sesuai dengan aturan OIE.

Faktanya pemeriksaan memang dilakukan 2 kali pemeriksaan hanya saja interval waktu pemeriksaan hanya 6-19 hari. Pemeriksaan pertama dilaksanakan di daerah pengeluaran dan pemeriksaan kedua dilaksanakan di daerah pemasukan di Kalimantan.

Menurut OIE (2011) pemasukan sapi bibit dari daerah tertular harus dilakukan isolasi/pengasingan/karantina sebelum keberangkatan dan dilakukan pemerikasaan laboratoris secara serologis yang dilakukan dua kali (duplo) dengan waktu interval 30 hari antara kedua test dan pada pengujian kedua dilakukan 15 hari sebelum keberangkatan. Kondisi ini dianggap tidak sah pada sapi yang baru melahirkan selama 14 hari.

3. Pemeriksaan laboratorium secara serologis terhadap pemasukan ternak potong yang berasal dari daerah tertular tidak sesuai dengan aturan OIE.

(16)

Faktanya pemeriksaan laboratorium secara serologis pada ternak potong dilakukan satu kali pemeriksaan. Bila pemeriksaan telah dilakukan di daerah pengeluaran maka daerah pemasukan tidak melakukan pemeriksaan dan begitu juga sebaliknya.

Pemeriksaan laboratorium secara serologis dengan hasil negatif dilaksanakan 30 hari sebelum keberangkatan

Melihat ketentuan dari OIE dan fakta yang ada maka terlihat bahwa aturan internasional yang tertuang dalam OIE belum semuanya dapat diimplementasikan seluruhnya terutama pada status daerah asal hewan dan waktu interval pengujian sehingga sebaiknya dibuat suatu aturan kebijakan/strategi yang terpadu sehingga bisa mengakomodir semua instansi berwenang baik pusat maupun daerah untuk melaksanakan aturan sesuai dengan aturan yang benar.

Dinas daerah kabupaten/kota adalah instansi daerah yang menjalankan fungsi kesehatan hewan dan mempunyai tupoksi berkaitan dengan pengendalian penyakit hewan termasuk bruselosis. Setelah tercapainya status bebas bruselosis pada tahun 2009 telah terjadi kesepatan antar instansi terkait untuk melaksanakan program pengendalian dalam mempertahankan status bebas bruselsosis. Dinas daerah kabupaten/kota dalam melaksanakan tupoksinya terkait dengan bruselosis mengacu kepada keputusan Menteri Pertanian Nomor: 828/Kpts/OT.210/10/98 tentang pedoman pemberantasan penyakit hewan keluron menular (bruselosis) pada ternak. Dalam kepmentan tersebut terdapat strategi yang harus dilakukan sesuai dengan keberadaan bruselosis di suatu daerah. Kalimantan adalah daerah yang bebas bruselosis sehingga stategi yang harus dilaksanakan adalah pemeriksaan termasuk surveilans, pengawasan lalu lintas ternak, pengujian laboratorium, pemotongan bersyarat ( test and slaughter) dan koordinasi dengan Dinas terkait. Menurut data yang ada tidak semua dinas kabupaten/kota yang telah melaksanakan strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis sesuai dengan kebijakan yang ada.

Dinas Daerah kabupaten/kota

(17)

1. Belum adanya keseragaman pemahaman dinas kabupaten/kota di Kalimantan dalam melaksanakan strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis di Kalimantan.

2. Tidak semua dinas kabupaten/kota yang melaksanakan surveilans bruselosis yang rutin dilakukan setiap tahun

3. Tidak semua dinas kabupaten/kota yang melaksanakan pengawasan pergerakan hewan di perbatasan wilayah kabupaten/kota (check point)

4. Tidak semua dinas menyediakan dana kompensasi terhadap pemilik ternak yang ternaknya dilakukan pemotongan paksa (test and slaughter)

Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa menurut AHA (2005) pergerakan hewan mempunyai risiko yang tinggi terhadap penyebaran penyakit. Sejalan dengan itu, menurut Donev (2010). Kompensasi pada peternak dan pengawasan pergerakan hewan merupakan bagian penting dalam program ini. Sehingga melihat dari fakta dan referensi yang ada perlu perhatian dari pemerintah daerah di Kalimantan melaksanakan program strategi pengendalian sesuai dengan sistem kebijakan yang ada.

Strategi Pencegahan dan Pengendalian Bruselosis yang Terpadu di Kalimantan

Banyak faktor yang harus dipertimbangkan dalam memutuskan suatu strategi, yaitu jenis peternakan, geografi daerah, pola perdagangan, keuangan, teknis dan personil sumber daya yang tersedia dan yang paling penting, prevalensi penyakit dan penerimaan strategi oleh ternak pemilik (WHO / MZCP 1988 dalam Abellan 2002). Kalimantan merupakan daerah dengan status bebas bruselosis atau mempunyai prevalensi yang rendah, sehingga pemilihan strategi yang tepat dalam pencegahan dan pengendalian bruselosis sesuai dengan diagram pada gambar 3 adalah surveilans, pemotongan bersyarat (test and slaughter) dan pengawasan pergerakan hewan.

Setiap strategi pencegahan dan pengendalian penyakit bertujuan untuk meminimalkan dampak kerugian ekonomi dan risiko penyebaran penyakit yang berasal dari kontak langsung atau tidak langsung dengan hewan yang terinfeksi,

(18)

produk hewan, atau lingkungan sekitar. Berikut pendekatan prosedur untuk pencegahan dan

1. Menghilangkan agen patogen penyakit (the fight againt zoonoses). Prevalensi bruselosis di Kalimantan sangat rendah sehingga kebiajkan untuk menghilangkan agen patogen adalah dengan pendekatan pemotongan bersyarat (test and slaughter).

pengendalian brucellosis di Kalimantan yang dapat dianjurkan:

2. Peningkatan kapasitas dan pelatihan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan hewan dan diagnostik laboratorium yang tepat berdasarkan standar internasional OIE, termasuk standarisasi dan kualitas kontrol kit diagnostik / reagen yang

3.

diperlukan.

4.

Pengembangan dan pelaksanaan peraturan dan kebijakan kesehatan hewan dalam penerapan pelaksanaan strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis yang tepat.

Pelaksanaan surveilans dengan pengujian yang standar menurut OIE. Surveilans ini dilaksanakan secara terus menerus dan pelaporan yang diperlukan untuk identifikasi dan analisa risiko, untuk

5. Pelaksanaan pengawasan pergerakan hewan diperketat terutama di pintu pemasukan baik di pelabuhan dan bandar udara di seluruh Kalimantan dan pelaksanaannya sesuai dengan peraturan karantina dan OIE sebagai standar internasional.

memantau keberadaan brucellosis pada populasi di Kalimantan, untuk memantau efektivitas program pencegahan dan pengendalian dan untuk memastikan peringatan dini terhadap penyebaran penyakit/infeksi ke daerah baru.

6. Pemberian identitas pada ternak mutlak diperlukan dalam pelaksanaan pengawasan pergerakan hewan. Hewan bisa diberikan identitas dengan tatoo, microchip ataupun eartag.

7. Mempererat kerjasama intersektoral antara pelayanan kesehatan hewan dan publik pelayanan kesehatan, pemerintah dan lembaga non-pemerintah yang terlibat termasuk peternak sehingga pelaksanaan strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis menjadi lebih efektif dan efisien.

(19)

Berdasarkan data yang diperoleh dan diskusi dengan para pelaku kebijakan serta sesuai dengan beberapa literatur ilmiah dan peraturan-perturan di Indonesia dan internasional maka ada beberapa usulan yang dapat dipertimbangkan dalam strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis agar dapat terimplementasikan dengan baik. Usulan tersebut secara rinci dapat terlihat dibawah ini.

Usulan Teknis Strategi Pencegahan Bruselosis Di Kalimantan Pada UPTKP 1. Hewan yang akan dilalulintaskan harus mempunyai rekomendasi dari daerah

asal (dinas yang mempunyai fungsi pelayanan kesehatan hewan). Rekomendasi yang dimaksud adalah rekomendasi yang sesuai dengan rekomendasi OIE.

2. Perbedaan perlakuan terhadap ternak sesuai dengan status bruselosis daerah asal.

3. Pemeriksaan laboratorium secara serologis pada hewan bibit yang berasal dari daerah bebas bruselosis dilaksanakan pada 30 hari sebelum keberangkatan di daerah pengeluaran

4. Pemeriksaan laboratorium secara serologis pada hewan bibit yang berasal dari daerah tertular bruselosis dilaksanakan harus dua kali pemeriksaan dengan interval waktu 30 hari dan pada pemeriksaan kedua dilaksanakan 15 hari sebelum keberangkatan di daerah pengeluaran.

5. Setiap hewan harus mempunyai identitas baik dengan memakai eartag, tatoo ataupun microchip. Pemberian identitas ini agar hewan mudah ditelusuri sehingga sistem traceability bisa berjalan dengan baik.

6. Pembangunan fasilitas instalasi karantina hewan permanen milik pemerintah di suatu daerah yang terisolir ataupun di suatu pulau yang bisa dijadikan pulau karantina.

7. Pengembangan wawasan pelaksana kebijakan dengan mengadakan pelatihan, workshop ataupun in house training terkait bruselosis.

8. Peningkatan kesadaran masyarakat agar program strategi pencegahan bruselosis dapat dengan mudah diterima dan didukung sepenuhnya oleh masyarakat.

(20)

Usulan Teknis Strategi Pencegahan Bruselosis Di Kalimantan Pada Dinas Kabupaten/kota Yang Membawahi Fungsi Kesehatan Hewan

1. Seluruh status kesehatan ternak harus dibawah kendali Dinas kabupaten/kota yang membawahi fungsi kesehatan hewan

2. Pemasukan hewan ke Kalimantan harus berasal dari daerah yang bebas bruselosis atau peternakan yang bebas bruselosis atau bila tidak harus dilakukan perlakuan khusus sesuai dengan rekomendasi dari OIE

3. Setiap pemasukan hewan harus selalu berkoordinasi dengan Karantina Pertanian setempat

4. Dilakukan pengawasan lalu lintas hewan antar kabupaten/kota di dalam wilayah Kalimantan itu sendiri

5. Melakukan surveilans bruselosis secara rutin setiap enam bulan

6. Seluruh reaktor bruselosis (ternak terinfeksi bruselosis) harus dilakukan pemotongan paksa (test and slaughter)

7. Setiap hewan harus mempunyai identitas baik dengan memakai eartag, tatoo ataupun microchip. Pemberian identitas ini agar hewan mudah ditelusuri sehingga sistem traceability bisa berjalan dengan baik.

8. Peninjauan kembali kebijakan program swasembada pangan terkait ternak mengingat risiko pemasukan ternak dari daerah tertular. Untuk meminimalisasi risiko masuk dan tersebarnya bruselosis dari daerah tertular dan terpenuhi target swasembada pangan terkait ternak maka diusulkan pemasukan ternak diperbolehkan untuk ternak bibit saja dan berasal hanya dari daerah bebas. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan akan pangan daging sebaiknya mendatangkan produk dari luar wilayah Kalimantan sampai swasemdada daging di Kalimantan dapat tercapai.

9. Perekrutan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mempunyai potensi terkait dalam strategi pengendalian bruselsosis dalam hal ini dokter hewan dan paramedik.

10. Pengembangan wawasan pelaksana kebijakan dengan mengadakan pelatihan, workshop ataupun in house training terkait bruselosis.

11. Peningkatan sarana dan prasarana terkait dengan strategi pengendalian bruselosis di Kalimantan.

(21)

12. Penyediaan dana anggaran terkait strategi pengendalian bruselosis di Kalimantan yang harus tersedia setiap tahun, termasuk kompensasi untuk peternak yang ternaknya dilakukan pemotongan paksa.

13. Peningkatan kesadaran masyarakat agar program strategi pencegahan bruselosis dapat dengan mudah diterima dan didukung sepenuhnya oleh masyarakat.

Gambar

Tabel 5 Karakteristik pelaku kebijakan UPTKP
Tabel 7 Ketersediaan sarana prasana UPTKP
Tabel 8 Sistem Kebijakan UPTKP
Tabel 9 Ketersediaan sumber daya manusia dinas kabupaten/kota  Sumber Daya  Manusia  Rata-rata (orang)  Maksimum (orang)  Minimum (orang)  Medik  3  6  0  Paramedik  3  10  0  Administrasi  1  3  0
+5

Referensi

Dokumen terkait

Berasal dari bahasa Perancis trois yang berarti tiga, adalah gejala melakukan senggama dengan pasangannya dengan mengajak orang lain sebagai penonton. Penderita gangguan

Sebagian besar alkaloid alami yang bersifat sedikit asam memberikan endapan dengan reaksi yang terjadi dengan reagent Mayer (Larutan Kalium Mercuri

Oleh karena itu, perancangan buku wisata edukasi Taman Nasional Gunung Leuser dengan media fotografi ini bertujuan untuk memberikan visualisasi dan informasi yang

Pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data dan informasi di bidang pembinaan guru, pendidik lainnya, dan tenaga kependidikan pada pendidikan anak usia dini dan pendidikan

Menurut Kustanto dan Saputro (2008:2), jaringan komputer adalah kumpulan dua atau lebih komputer yang saling berhubungan satu sama lain untuk melakukan komunikasi data

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam tugas akhir ini adalah bagaimanakah merancang, membuat, dan menguji sistem pendukung keputusan penerimaan

Return on Assets (ROA) adalah suatu indikator yang mencerminkan performa keuangan perusahaan, semakin tingginya nilai ROA yang mampu diraih oleh perusahaan maka

ii. dan telah ditetapkan, dengan alokasi digunakan untuk memaksimumkan laba perusahaan dengan kendala teknologi produksi. Poin i sampai poin iv merupakan asumsi