• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA

2.1 Sejarah Taman Nasional Gunung Leuser

Data seperti sejarah, visi, misi, tujuan, struktur organisasi, kondisi umum, zonasi, nilai eksistensi, biodiversitas flora dan fauna, dan ijin masuk kawasan mengenai Taman Nasional Gunung Leuser, serta sekilas mengenai objek wisata Bukit Lawang dan Tangkahan diperoleh dari website resmi Taman Nasional Gunung Leuser (gunungleuser.or.id) dan buku Warisan Hutan Tropis Sumatra (Tropical Rainforest Heritage of Sumatra). Taman Nasional Gunung Leuser secara historis lahir sekitar tahun 1920 atau zaman pemerintah kolonial Belanda, melalui serangkaian proses penelitian dan ekplorasi seorang ahli geologi Belanda bernama F.C. Van Heurn di Aceh. Dalam perkembangannya muncul inisiasi positif yang didukung para tokoh masyarakat untuk mendesak pemerintah kolonial Belanda agar memberikan status kawasan konservasi (Wildlife Sanctuary) dan status perlindungan terhadap kawasan yang terbentang dari Singkil pada hulu Sungai Simpang Kiri di bagian selatan, sepanjang Bukit Barisan ke arah lembah Sungai Tripa dan Rawa Pantai Meulaboh di bagian utara. (“Taman”, 2014).

2.2 Visi, Misi, dan Tujuan Taman Nasional Gunung Leuser 2.2.1 Visi Taman Nasional Gunung Leuser

Sebagai Kawasan Pelestarian Alam (KPA), Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) berfungsi utama sebagai sistem penyangga kehidupan dengan fokus pengelolaan untuk mempertahankan perwakilan ekosistem Leuser yang unik dan memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, serta habitat penting bagi keberadaan beberapa spesies lambang atau kebanggaan (flagship species). Namun demikian, Taman Nasional Gunung Leuser juga merupakan hotspot keterancaman keanekaragaman hayati yang tinggi, yang disebabkan oleh illegal logging, perambahan kawasan, kebakaran, dan aktivitas vandalisme lainnya. Pengelolaan Taman Nasional Gunung Leuser didesain untuk mampu memberikan manfaat ekologi,

(2)

ekonomi, sosial, dan budaya secara optimal dan menjamin legitimasi keberadaannya secara jangka panjang dengan semangat perubahan demokratis, transparan dan bertanggung-gugat (accountable), serta tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

Berdasarkan hal tersebut, apabila dikelola secara benar dan didukung oleh berbagai sektor terkait, Taman Nasional Gunung Leuser memiliki peran dan fungsi sebagai penyangga pembangunan yang berkelanjutan, sehingga dapat dijadikan visi pengelolaan jangka panjang sebagai berikut: “TNGL Lestari dan Penyangga Pembangunan Berkelanjutan 2029”. Visi ini mengarah kepada pencapaian tujuan pembangunan kehutanan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yaitu penyelenggaraan kehutanan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan, serta sejalan dengan visi pembangunan nasional tahun 2006-2025 yaitu Indonesia yang Maju, Mandiri, dan Adil.

2.2.2 Misi Taman Nasional Gunung Leuser

Untuk mewujudkan visi yang ada, ditetapkan 5 (lima) misi pengelolaan jangka panjang (2010-2029) sebagai berikut:

1. Memantapkan penataan legalitas kawasan yang disepakati dan diakui para pihak (stakeholders);

2. Memantapkan pengelolaan kawasan dan keanekaragaman hayati;

3. Mengoptimalkan pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam yang berkualitas dan lestari untuk kesejahteraan masyarakat;

4. Mewujudkan kelembagaan TNGL yang mantap; dan

5. Meningkatkan kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan TNGL yang adil dan bertanggung jawab.

2.2.3 Tujuan Pengelolaan Taman Nasional Gunung Leuser

Tujuang pengelolaan Taman Nasional Gunung Leuser jangka panjang adalah mengukuhkan Taman Nasional Gunung Leuser sebagai benteng ekosistem hutan dataran rendah Sumatra yang berfungsi optimal sebagai sistem penyangga kehidupan dan bermanfaat bagi komunitas global.

(3)

1.3 Kontak Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser

Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser terletak di Jalan Selamat No. 137, Siti Rejo III, Medan Amplas, Medan, 20219, Sumatra Utara, Indonesia. Telepon: +62 (61) 7872919. Fax: +62 (61) 7864510. Email: tngunungleuser@menlhk.go.id atau jejakleuser@gmail.com. Website: www.gunungleuser.or.id

Gambar 2.1 Foto lokasi Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser Sumber: Dokumentasi Pribadi Robby

2.4 Struktur Organisasi di Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser

Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser termasuk UPT Taman Nasional kelas I dengan tipe A yang dipimpin oleh seorang Kepala Balai Besar dengan struktural yang terdiri dari:

1. Bagian Tata Usaha;

2. Bidang Teknis Konservasi Taman Nasional; 3. Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I; 4. Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II; 5. Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III; dan 6. Kelompok Jabatan Fungsional.

Tugas pokok masing-masing struktur organisasi adalah sebagai berikut: (1) Bagian Tata Usaha melaksanakan urusan administrasi tata persuratan, ketatalaksanaan, kepegawaian, keuangan, perlengkapan, kearsipan dan rumah tangga, penyusunan rencana program dan anggaran serta kerjasama dan kemitraan, pengelolaan data, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan serta kehumasan; (2) Bidang Teknis Konservasi Taman Nasional mempunyai tugas penyiapan pengelolaan di bidang perlindungan, pengawetan dan

(4)

pemanfaatan kawasan, pengembangan dan pemanfaatan taman nasional atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi, evaluasi kesesuaian fungsi, pelayanan dan promosi taman nasional; (3) Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan kawasan, pelaksanaan perlindungan dan pengamanan, pengembangan dan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar untuk kepentingan non komersial, evaluasi kesesuaian fungsi, pemulihan ekosistem, penutupan kawasan, pelayanan dan promosi di bidang konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya; (4) Kelompok jabatan fungsional terdiri dari jabatan fungsional Pengendali Ekosistem Hutan, Polisi Kehutanan, Penyuluh Kehutanan dan fungsional lainnya dengan Jenis dan jenjang jabatan yang diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagan struktur organisasi dan tata kerja Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.7/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional terdapat pada gambar 2.2

Gambar 2.2 Struktur organisasi BBTNGL Sumber: http://gunungleuser.or.id/tentang-kami/

(5)

2.5 Kondisi Umum Taman Nasional Gunung Leuser

Taman Nasional Gunung Leuser berada pada koordinat 96º 35” s.d 98º 30” BT dan 2º 50” s.d 4º 10” LU dan secara administrasi berada di dua provinsi, yakni Aceh dan Sumatra Utara. Taman nasional memiliki area seluas 830.268.96 hektare, terletak di 1 kabupaten Provinsi Sumatra Utara (Kabupaten Langkat), dan 4 kabupaten Provinsi Aceh (Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Gayo Lues, dan Kabupaten Aceh Tenggara). Taman nasional dikelilingi oleh 10 kabupaten atau kota, yakni Gayo Lues, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Kota Subulussalam, Dairi, Aceh Tenggara, Karo, Deli Serdang, Langkat, dan Aceh Tamiang.

Dari segi topografi, kawasan Taman Nasional Gunung Leuser memiliki topografi mulai dari 0 meter dari permukaan laut (mdpl) yaitu daerah pantai hingga ketinggian lebih dari 3000 mdpl, namun secara rata-rata hampir 80% kawasan memiliki kemiringan di atas 40%.

Dari segi geologi, Taman Nasional Gunung Leuser terbagi ke dalam 5 unit fisiografi, dan di setiap unit masih dapat dibagi ke dalam beberapa sub-unit. Unit-unit fisiografi utama tersebut terkait langsung dengan zona fisiografi longitudinal pada zona subduksi sepanjang Sumatra. Kelima unit fisiografi tersebut adalah: West Coast Chain (Blangpidie plain, Tapaktuan chain, Kluet-Bakongan plain, dan Singkil Bay); West Barisan (Senaboh chain, Leuser Kluet mountains, dan Bengkung plateau); West Alas Chain (Kemiri block, Ketambe block, Mamas block, dan Sembabala block); Central Graben (Bukit limus block, Gunung Api block, Blangkejeren basin, Palok mountain, dan Alas graben);East Barisan (Gayo mountains, Singgamata mountain, Kapi plateau, Bendaharan block, dan Karo highland); dan East Coast Chain (East coast hiils, dan East coast plain).

Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser dalam pengaruh intertropical convergence zone (ITCZ), sehingga sebagian besar klasifikasi iklimnya masuk ke dalam kategori kelas A, yakni wet and hot tropical rainforest climate. Pada tipe iklim ini, temperatur bulanan mencapai 18 derajat Celcius dan curah hujan tahunan lebih besar daripada evaporasi tahunan aktual.

(6)

Jenis tanah di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser cukup beragam dari jenis aluvial, andosol, komplek podsolik, podsolik coklat, podsolik merah kuning, latosol, litosol, komplek rensing, organosol, regosol, humus, tanah gambut, tanah sedimentasi, dan tanah vulkanik.

Gambar 2.3 Peta formasi geologi TNGL, peta pembagian iklim TNGL, dan peta jenis tanah TNGL

Sumber: http://gunungleuser.or.id/tentang-kami/tentang-tngl/kondisi-umum/

2.6 Zonasi Taman Nasional Gunung Leuser

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998, taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Penataan zonasi merupakan kegiatan prakondisi, yaitu melakukan penataan ruang kawasan dengan cara mengidentifikasi dan mengelompokkan kawasan menjadi ruang-ruang yang didasarkan atas karakteristik tertentu untuk kepentingan pengelolaan dengan memperhatikan aspek keanekaragaman hayati, sosial, ekonomi, dan budaya, serta aspek pengelolaan itu sendiri. Dari segi

(7)

manajemen, zonasi diperlukan agar dapat memberikan kemudahan dalam pengelolaan, sehingga setiap bagian kawasan taman nasional dapat dikelola secara optimal sesuai dengan potensinya, baik potensi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya maupun potensi eksternal kawasan yang mempengaruhi kawasan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Kondisi kawasan yang dinamis membuat tidak akan adanya zona permanen dalam kawasan, sehingga pengelolaan perubahan zonasi penting dilakukan secara berkala, setidaknya 5 tahun sekali, agar pengelolaan kawasan tetap dapat berjalan dengan optimal. Dari hasil overlay data yang berupa data penyebaran flora dan fauna, tipe ekosistem, penutupan kawasan, pembagian iklim, topografi, geologi, dan penyebaran jenis tanah kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, serta aktivitas masyarakat di dalam kawasan, maka didapatkan 7 jenis zona yaitu:

1. Zona Inti, dengan luas 857.175,64 hektare; 2. Zona Rimba, dengan luas 66.921,08 hektare; 3. Zona Pemanfaatan, dengan luas 12.431,78 hektare; 4. Zona Rehabilitasi, dengan luas 143.734,87 hektare; 5. Zona Tradisional, dengan luas 10.495,03 hektare; 6. Zona Religi, dengan luas 73,27 hektare; dan 7. Zona Khusus, dengan luas 1.326,28 hektare.

Gambar 2.4 Zonasi Taman Nasional Gunung Leuser berdasarkan SK Dirjen PHKA No. 35/IV-SET/2014

(8)

2.7 Nilai Eksistensi Taman Nasional Gunung Leuser

Taman Nasional Gunung Leuser menyandang 2 status yang berskala global yaitu sebagai Cagar Biosfer (Biosphere Reserves) pada tahun 1981 dan sebagai Situs Warisan Dunia (World Heritage Sites) pada tahun 2004. Status ini ditetapkan oleh UNESCO dan World Heritage Committee atas usulan Pemerintah Indonesia setelah melalui rangkaian proses seleksi yang ketat. Taman Nasional Gunung Leuser juga memperoleh status ASEAN Heritage Parks sebagai upaya untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan daerah-daerah yang ada di negara ASEAN. Nilai eksistensi yang dapat menjadi potensi dari Taman Nasional Gunung Leuser, antara lain:

1. Cagar Biosfer (Biosphere Reserves).

Cagar Biosfer adalah kawasan ekosistem daratan atau pesisir yang diakui oleh Program Man and the Biosphere UNESCO (MAB-UNESCO) untuk mempromosikan keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam. Cagar Biosfer melayani perpaduan tiga fungsi yaitu (1) kontribusi konservasi lansekap, ekosistem, spesies, dan plasma nutfah, (2) menyuburkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan baik secara ekologi maupun budaya, dan (3) mendukung logistik untuk penelitian, pemantauan, pendidikan, dan pelatihan yang terkait dengan masalah konservasi dan pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal, regional, nasional, maupun global. Berbagai fungsi Cagar Biosfer serta jaringan Cagar Biosfer dunia tercantum dalam Strategi Seville dan Kerangka Hukum Jaringan Dunia yang dihasilkan pada KTT Bumi 1992.

2. Situs Warisan Dunia (World Heritage Sites).

Warisan dunia adalah bagian dari warisan budaya dan warisan alam yang memiliki unsur luar biasa dan oleh karena itu perlu untuk dilestarikan secara keseluruhan sebagai bagian dari warisan dunia yang dimiliki umat manusia. Sampai sekarang, Indonesia memiliki 8 situs yang tercantum dalam daftar situs warisan dunia. Situs warisan budaya meliputi Borobudur Temple Compounds, Prambanan Temple Compounds, Sangiran Early Man Site, dan Cultural Landscape of Bali Province: the Subak System as a Manifestation of the Tri Hita Karana Philosophy.

(9)

Sedangkan situs warisan alam meliputi Komodo National Park, Ujung Kulon National Park, Lorentz National Park, dan Tropical Rainforest Heritage of Sumatra. Tropical Rainforest Heritage of Sumatra (TRHS) adalah kawasan hutan hujan tropis di Sumatra yang meliputi Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Basional Kerinci Seblat, dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Ketiga kawasan ini ditetapkan pada sidang ke-28 Komite Warisan Dunia yang berlangsung di Suzhou, Cina, pada tanggal 27 Juni sampai 7 Juli 2004.

Tropical Rainforest Heritage of Sumatra (TRHS) ini juga menjadi satu-satunya situs di Indonesia yang termasuk dalam Warisan Dunia dalam Bahaya. Karena adanya ancaman yang serius, maka World Heritage Committee mengirim utusan untuk melakukan Reactive Monitoring Mission. Salah satu hasilnya adalah menyarankan agar pemerintah Indonesia membuat Emergency Action Plan (EAP) untuk mengatasi ancaman dan permasalahan terhadap keutuhan dari situs ini.

3. Laboratorium alam.

Taman Nasional Gunung Leuser menjadi habitat dari bagi sebagian besar fauna mulai dari mamalia, burung, reptil, ikan, amfibi, dan invertebrata. Kawasan Gunung Leuser memiliki daftar jumlah burung terbanyak di dunia dengan 380 spesies, dimana 350 diantaranya merupakan spesies yang tinggal didalamnya. Gunung Leuser juga menjadi habitat bagi 36 dari 50 spesies burung endemik di Sundaland. Hampir 65% dari 129 spesies mamalia dari 205 spesies mamalia baik besar dan kecil di Sumatra tercatat ada di area ini. Taman Nasional Gunung Leuser dan kawasan di sekitarnya yang disebut sebagai Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) menjadi habitat bagi fauna kunci seperti gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus), harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae), badak sumatra (Dicerorhinus sumatrensis), dan orangutan sumatra (Pongo abelii). Gunung Leuser juga menjadi habitat bagi owa (Hylobates lar) dan kedih (Presbytis thomasi). Gunung Leuser tidak hanya kaya akan fauna, tetapi juga memiliki keanekaragaman flora. Terdapat lebih dari 4.000 spesies flora, termasuk 3 dari 15 jenis tumbuhan parasit Rafflesia, dan

(10)

banyak tumbuhan obat dapat ditemukan di Gunung Leuser ini. Sebagai laboratorium alam, Gunung Leuser berperan penting sebagai konservasi, edukasi, riset ilmiah bagi peneliti lokal maupun mancanegara, dan ekowisata.

4. Sistem penyangga kehidupan (life support system).

Dari segi sosial dan ekonomi, lebih dari 4 juta orang hidup di dalam maupun berdekatan dengan Taman Nasional Gunung Leuser. Hampir 9 kabupaten tergantung pada jasa lingkungan Taman Nasional Gunung Leuser yaitu berupa ketersediaan air konsumsi, air pengairan, penjaga kesuburan tanah, mengendalikan banjir, dan sebagainya. Daerah Aliran Sungai (DAS) yang dilindungi oleh Taman Nasional Gunung Leuser dan Ekosistem Leuser di wilayah Provinsi Aceh adalah DAS Jambo Aye, DAS Tamiang-Langsa, DAS Singkil, DAS Sikulat-Tripa, dan DAS Baru-Kluet. Sedangkan yang berada di wilayah Provinsi Sumatra Utara adalah DAS Besitang, DAS Lepan, dan DAS Wampu Sei Ular. Kebanyakan dari mereka, bekerja sebagai petani dan bergantung pada perlindungan taman ini untuk mencari nafkah atau memenuhi kebutuhan hidup. Taman nasional ini menyediakan suplai air bagi masyarakat, lahan sawah, perkebunan campuran, perkebunan karet, dan perkebunan kelapa sawit yang ada di sekitarnya (Aceh dan Sumatra Utara). Sehingga dapat dikatakan, taman nasional ini berperan sebagai sistem penyangga kehidupan (life support system) dan keberlanjutan pembangunan (sustainable development).

5. Ekowisata.

Terdapat 8 lokasi potensial untuk pengembangan ekowisata di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Lokasi potensial adalah Kruengkila, Kedah, Marpunge, Lawe Gurah, Tangkahan, Rantau Sialang, Danau Laut Bangko, dan bahorok. Terdapat juga 4 lokasi yang memiliki potensi pengembangan sebagai Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA), yaitu Muara Situlen, Marike, Sei Glugur, dan Sei Lepan.

(11)

Gambar 2.5 Beberapa lokasi objek potensial di TNGL Sumber: http://gunungleuser.or.id/jasa-lingkungan/wisata-alam/

Salah satu objek wisata yang menjadi primadona dan sering dikunjungi oleh wisatawan baik domestik maupun mancanegara adalah Bukit Lawang. Bukit Lawang terkenal akan orangutan dan kegiatan trekking di hutan. Selain Bukit Lawang, terdapat juga Tangkahan. Tangkahan merupakan potret Bukit Lawang di awal 1970-an. Pengembangan ekowisata di Tangkahan dimulai dengan upaya perlindungan kawasan taman nasional, sebagai aset dari ekowisata. Desa di sekitar Tangkahan menjadi basis pengamanan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser pada akhir tahun 1999. Barulah pada 22 April 2001 dibentuk Tangkahan Simalem Ranger, dan dilanjutkan dengan dikukuhkannya Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) pada 19 Mei 2001. MoU pertama antara Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) dengan LPT ditandatangani pada 22 April 2002. Pengembangan ekowisata semakin ditingkatkan lagi setelah Indecon (Indonesian Ecotourism Network) mendampingi pada prosesnya mulai September 2002. Pola pengamanan Taman Nasional Gunung Leuser ditingkatkan dengan dibentuknya Conservation Response Unit (CRU) bekerjasama dengan Fauna & Flora International (FFI) pada Januari 2003. Saat ini sedang diuji coba untuk membuka paket wisata yang baru, yakni Safari gajah yang menembus Tangkahan-Bukit Lawang, dengan waktu 4 hari 3 malam. Inisiatif Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dan FFI ini masih perlu dikaji potensi pengembangannya dan sekaligus dampaknya, khususnya pada jalur-jalur

(12)

trekking yang dilaluinya. Inisiatif ini diharapkan dapat menjadi terobosan untuk memecah kebekuan paket-paket wisata alam yang selama ini sudah dikembangkan di Bukit Lawang dan Tangkahan.

Beberapa lokasi potensial untuk pengembangan ekowisata juga terdapat di Provinsi Aceh. Misalnya, Sungai Alas dengan event rafting, pendakian puncak-puncak gunungnya seperti di puncak Leuser dan puncak Bendahara, pembukaan kembali Gurah, wisata pantai dan pengamatan penyu di Singgamata, penelusuran Danau Bangko, pengamatan burung di Agusan, trekking Rafflesia di Ketambe, dan lain sebagainya. Pengembangan wisata alam di Aceh di masa mendatang juga dapat dipadukan dengan kearifan lokal seperti nilai budaya dan agama.

2.8 Biodiversitas Taman Nasional Gunung Leuser 2.8.1 Fauna di Taman Nasional Gunung Leuser

Dari segi geografi satwa, Sumatra tergolong ke dalam Sub Regional Malaysia. Sedangkan di pulau Sumatra ditetapkan 2 garis batas fauna, yaitu Pegunungan Bukit Barisan (bagian Barat dan Timur) dan Padang Sidempuan (bagian Utara dan Selatan). Garis batas fauna lainnya terdapat di Sungai Wampu yang tembus dari Pegunungan Tanah Karo, dan memotong wilayah Langkat Selatan. Perbedaan garis batas fauna ini meliputi perbedaan jenis kedih yang terdapat di sebelah timur dan sebelah barat Sungai Wampu. Keanekaragaman dan kekayaan fauna di Taman Nasional Gunung Leuser banyak terdapat di kawasan yang ada pada ketinggian 0-1000 mdpl. Sedangkan pada kawasan yang lebih tinggi, komposisi fauna mengalami perubahan dan keberadaannya mulai terbatas.

Taman Nasional Gunung Leuser menjadi habitat dari bagi sebagian besar fauna mulai dari mamalia, burung, reptil, ikan, amfibi, dan invertebrata. Kawasan Gunung Leuser memiliki daftar jumlah burung terbanyak di dunia dengan 380 spesies, dimana 350 diantaranya merupakan spesies yang tinggal didalamnya. Gunung Leuser juga menjadi habitat bagi 36 dari 50 spesies burung endemik di Sundaland. Hampir 65% dari 129 spesies mamalia dari 205 spesies mamalia baik besar dan kecil di Sumatra tercatat ada di area ini.

(13)

Taman Nasional Gunung Leuser dan kawasan di sekitarnya yang disebut sebagai Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) menjadi habitat bagi fauna kunci seperti gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus), harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae), badak sumatra (Dicerorhinus sumatrensis), dan orangutan sumatra (Pongo abelii). Gunung Leuser juga menjadi habitat bagi owa (Hylobates lar) dan kedih (Presbytis thomasi). Saat ini Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) lebih memfokuskan pengelolaannya pada 4 spesies satwa inti atau flagship, yaitu:

1. Orangutan sumatra (Pongo abelii).

Terdapat 7 wilayah sebaran orangutan di Sumatra bagian utara, yaitu Aceh Barat bagian tengah dan Leuser Barat dengan populasi 2.611, Trumon-Singkil (1.500), Aceh Timur bagian tengah dan Leuser Timur (1.389), Aceh Barat Laut dan Aceh Timur (834), Batang Toru Barat (400), Rawa Tripa (280), Sarulla Timur (150), dan Sidiangkat (134).

Gambar 2.6 Peta penyebaran populasi orangutan sumatra Sumber: http://gunungleuser.or.id/biodiversitas/fauna/

2. Badak sumatra (Dicerorhinus sumatrensis).

Badak sumatra pada masa lalu dapat dijumpai di hampir seluruh wilayah terpencil di Sumatra, seluruh penjuru Taman Nasional Gunung Leuser, di lembah-lembah maupun di pegunungan, sepanjang pantai barat,

(14)

dan daratan rendah di Langkat dan Deli. Sayangnya, ketika survei pertama kali dilakukan di Leuser pada tahun 1930-an, badak sudah menjadi langka di wilayah utara di dekat Blangkejeren, yang dikenal sebagai pusat pemburu badak. Penurunan populasi badak ini cenderung terus berlanjut dan ketika proyek penelitian badak dari seorang ahli zoology Swiss, Marcus Borner dan dilanjutkan oleh Nico van Strein pada awal 1970-an, badak telah menghilang dari seluruh batas taman nasional. Lembah Mamas menjadi satu-satunya wilayah di pusat taman nasional untuk mengamati badak sumatra. Lembah Mamas ini dapat dicapai melalui udara atau dengan mengikuti jalur jelajah gajah dengan memotong kawasan bergunung-gunung.

Nico van Strein kemudian melakukan penelitian mengenai badak sumatra di Lembah Mamas pada tahun 1975. Hasil penelitian ini menemukan tidak kurang dari 39 individu badak, dimana 12 individu diantaranya adalah anak badak yang lahir pada masa studi. Diprediksi bahwa kepadatan individu diperkirakan 1 badak/800 hektare di Lembah Mamas, dan merupakan jumlah maksimum yang dapat didukung oleh kondisi yang ada di kawasan Leuser. Daerah jelajah badak jantan dapat mencapai area hutan seluas 2.500-3.000 hektare, sedangkan badak betina pada luasan 1.000-1.500 hektare, yang umumnya berpusat pada tempat mengasin (saltlick area). Wilayah sebaran badak sumatra tersaji pada gambar 2.7.

Gambar 2.7 Peta penyebaran populasi badak sumatra Sumber: http://gunungleuser.or.id/biodiversitas/fauna/

(15)

3. Harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae).

Harimau sumatra dapat dijumpai pada hutan primer, sekunder, dan kawasan pantai sampai dengan ketinggian 2.000 mdpl. Harimau seringkali berada di perbatasan hutan, dimana banyak dijumpai mangsanya seperti babi hutan. Dalam ekosistem hutan hujan dataran rendah di Taman Nasional Gunung Leuser, harimau berperan penting sebagai predator terhadap hama babi hutan yang seringkali merusak panenan para petani yang tinggal di sekitar taman nasional. Tidak hanya membantu para petani, harimau juga berperan dalam menjaga keseimbangan atau kestabilan populasi babi hutan. Harimau adalah spesies yang paling terancam oleh perburuan ilegal dengan menggunakan racun. Perburuan yang terus berlanjut ini mengakibatkan turunnya populasi harimau yang ada di dalam taman nasional.

Gambar 2.8 Peta penyebaran populasi harimau sumatra Sumber: http://gunungleuser.or.id/biodiversitas/fauna/

4. Gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus).

Gajah sumatra dahulu memiliki jalur jelajah yang meliputi hampir seluruh Sumatra, namun beberapa puluh tahun terakhir jalur jelajahnya menyempit di wilayah hutan yang terputus-putus, yang bisa mendukung populasi yang tersebar.

(16)

Gajah sumatra menyukai habitat di hutan hujan dataran rendah dengan drainase tanah yang baik, tetapi dengan dukungan suplai air yang mencukupi. Kawasan di bawah ketinggian 1.000 mdpl ini juga harus memiliki cadangan makanan yang disukai gajah, yaitu bambu, rumput liar, liana, kulit pohon tertentu, dan beberapa jenis buah tertentu, seperti durian, mangga, dan cempedak. Suplai yang menurun dari berbagai jenis makanan akan berdampak pada pola breeding, kerentanan pada penyakit, dan kematian. Oleh karena itu berkurangnya luas hutan hujan dataran rendah akan langsung mengancam keberadaan dan keberlangsungannya di alam.

Populasi gajah di Taman Nasional Gunung Leuser diprediksi sebanyak 160-200 individu, dimana populasi ini terpisah dalam beberapa kelompok dan dengan harapan terjadinya interbreeding yang kecil membuat masa depan populasinya tidak begitu memuaskan. Salah satu solusi untuk menjaga masa depan gajah sumatra adalah dengan melakukan perlindungan terhadap daerah jelajahnya di dalam taman nasional. Khususnya daerah hutan hujan dataran rendah yang menjadi daerah jelajah kelompok-kelompok gajah. Daerah jelajah awal dari populasi gajah di Taman Nasional Gunung Leuser meliputi kawasan Sekundur di Langkat, menuju jalur jelajahnya sampai di Kappi dan memotong enclave Gumpang dan Marpunge menuju lembah Alas, Muara Situlen, dan berakhir di sekitar Lawe Bengkung sampai sebelah barat Kluet.

Gambar 2.9 Peta penyebaran populasi gajah sumatra Sumber: http://gunungleuser.or.id/biodiversitas/fauna/

(17)

2.8.2 Flora di Taman Nasional Gunung Leuser

Taman Nasional Gunung Leuser memiliki lebih dari 4.000 spesies flora, termasuk 3 dari 15 jenis tumbuhan parasit Rafflesia dan banyak tumbuhan obat yang dapat ditemukan. Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser memiliki vegetasi yang termasuk flora Sumatra dan berhubungan erat dengan flora di semenanjung Malaysia, Kalimantan, Jawa, dan bahkan Philipina. Formasi vegetasi alami di Taman Nasional Gunung Leuser ditetapkan berdasarkan 5 kriteria, yaitu bioklimat (zona klimatik ketinggian dengan berbagai formasi floristiknya), hubungan antara komposisi floristik dengan biogeografi, hidrologi, tipe batuan dasar, dan tanah. Tumbuh-tumbuhan di Taman Nasional Gunung Leuser terbagi dalam beberapa zona wilayah, yaitu:

1. Zona Tropica (termasuk zona Colline, terletak 500-1000 mdpl), adalah daerah berhutan lebat yang ditumbuhi berbagai jenis tegakan kayu dengan diameter besar dan tinggi sampai mencapai 40 meter. Pohon atau tegakan kayu ini seringkali digunakan sebagai pohon tumpangan dari berbagai tumbuhan jenis liana dan epifit yang menarik, seperti anggrek, dan sebagainya.

2. Zona peralihan dari zona Tropica ke zona Colline dan zona Sub-Montane ditandai dengan semakin banyaknya tanaman berbunga indah yang berbeda jenis, karena adanya perbedaan ketinggian. Semakin tinggi suatu wilayah, maka pohon akan semakin berkurang, jenis liana mulai menghilang, dan makin banyak dijumpai jenis rotan berduri.

3. Zona Montane (termasuk zona Sub-Montane, terletak 1000-1500 mdpl). Zona Montane merupakan hutan montane dengan pohon atau tegakan kayu yang tidak lagi terlalu tinggi dan diameter hanya berkisar antara 10-20 meter. Jenis tumbuhan liana sudah tidak temukan lagi, serta pohon atau tegakan kayu ditutupi oleh banyak lumut. Kelembaban udara menjadi sangat tinggi dan hampir setiap saat tertutup kabut.

4. Zona Sub Alphine (terletak 2900-4200 mdpl), merupakan zona hutan Ercacoid dan tak berpohon lagi. Hutan ini merupakan lapisan tebal campuran dari pohon-pohon kerdil dan semak-semak dengan beberapa

(18)

jenis tundra, anggrek, lumut, dan pohon berbentuk payung dari familia Ericacae yang menjulang tersendiri.

Gambar 2.10 Peta tipe ekosistem TNGL Sumber: http://gunungleuser.or.id/biodiversitas/flora/

2.9 Ijin Masuk Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser 2.9.1 Ketentuan Umum di Taman Nasional Gunung Leuser

1. Setiap pengunjung yang melaksanakan kegiatan di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser wajib: (1) Melaporkan diri kepada petugas Balai Besar TNGL setempat sebelum dan sesudah pelaksanaan kegiatan; (2) Menyerahkan fotocopy identitas (KTP atau SIM atau kartu pelajar atau kartu mahasiswa atau paspor yang masih berlaku);

2. Pelayanan pengunjung dimulai pukul 08.00 – 15.00 WIB; 3. Pembayaran administrasi sesuai ketentuan yang berlaku; dan

4. Hal-hal yang perlu diperhatikan: (1) Mematuhi petunjuk pada papan-papan petunjuk atau informasi maupun terhadap informasi yang disampaikan oleh petugas TNGL; (2) Menjaga ucapan dan tingkah laku agar tidak keluar kata-kata yang bersifat arogan dan perbuatan yang tidak pantas; (3) Tetap waspada terhadap bahaya ular, jalan licin, daerah yang mudah longsor, dan ciri-ciri atau jenis-jenis tumbuhan atau satwa yang beracun atau berbisa; dan (4) Membawa perlengkapan ke lapangan yang memadai, antara lain: membawa cukup logistik, perlengkapan dan peralatan secukupnya sesuai tujuan kunjungan; menggunakan pakaian dari bahan kain yang agak tebal dan berlengan panjang, bersepatu yang nyaman

(19)

dan tidak mudah tergelincir; membawa obat-obatan P3K seperti obat sakit kepala, sakit perut, obat luka, obat malaria, obat anti racun atau bisa, cream untuk mencegah kulit terbakar dan obat-obatan yang bersifat pribadi; membawa buku panduan ataupun teropong, kaca pembesar bila akan melakukan pengamatan satwa atau tumbuhan; membawa kantong plastik untuk digunakan selama perjalanan sebagai tempat membawa sampah atau kotoran.

2.9.2 Tata Tertib di Taman Nasional Gunung Leuser

2.9.2.1 Tata Tertib Pendakian atau Penelusuran Hutan (Jungle Trekking)

1. Petugas akan memeriksa barang bawaan dan Surat Ijin Masuk Kawasan (SIMAKSI) sebelum dan sesudah masuk kawasan;

2. Lamanya pendakian adalah 2 hari 1 malam; 3. Jumlah pendaki minimal 3 orang dalam satu regu;

4. Selama berada di dalam kawasan pendaki dilarang melakukan perbuatan yang dapat menyebabkan kerusakan terhadap tumbuhan, hewan dan keindahan yang terdapat di dalamnya;

5. Pendaki wajib: (1) Menyerahkan fotocopy identitas (KTP atau SIM atau kartu pelajar atau kartu mahasiswa atau paspor yang masih berlaku); (2) Bagi pendaki yang berumur < 17 tahun harus membawa fotocopy identitas orang tua dan surat ijin orang tua; (3) Membawa logistik dan obat obatan secukupnya; (4) Membawa peralatan pendakian (trekking) seperti kompas, peta, tali, carabiner, dan lain-lain; (5) Membawa perlengkapan tidur (jaket, senter, kantung tidur atau sleeping bag, mantel hujan atau rain coat, sepatu lapangan); dan (6) Berjalan di jalur yang sudah disediakan; dan

6. Pendaki dilarang: (1) Membawa binatang piaraan; (2) Membuat api unggun; (3) Meninggalkan sampah, sampah wajib dibawa turun; (4) Melakukan vandalisme; (5) Membawa senjata tajam; (6) Membawa sabun mandi, odol, sampo, dan sebagainya yang dapat mengakibatkan pencemaran air; (7) Membawa alat musik; dan (8) Mendirikan tenda di jalur pendakian.

(20)

2.9.2.2 Tata Tertib Berkemah (Camping)

1. Jumlah minimal pekemah adalah 2 (dua) orang;

2. Bila jumlah pekemah dalam rombongan besar wajib memberikan informasi terlebih dahulu ke BPTN Wilayah setempat terkait dengan kapasitas bumi perkemahan;

3. Tenda didirikan di tempat yang sudah disediakan (bumi perkemahan dan tempat mendirikan tenda);

4. Pekemah wajib: (1) Membawa persediaan makanan/ minuman memadai; (2) Membawa perlengkapan tidur (jaket, jas hujan, senter, dan baju ganti); (3) Membawa perlengkapan P3K; dan (4) Menjaga kebersihan dan keamanan lingkungan perkemahan; dan

5. Pekemah dilarang: (1) Merusak dan memindahkan barang-barang yang ada di dalam kawasan TNGL; (2) Membawa alat-alat yang dapat mencemarkan kawasan seperti alat bunyi-bunyian, sabun, odol, sampo, pylox, spidol, cat pestisida, dan sebagainya; (3) Meninggalkan sampah di dalam kawasan, sampah harus dibawa lagi keluar kawasan; (4) Membawa senjata tajam, kecuali ada ijin khusus dari BBTNGL dan digunakan untuk keperluan tertentu (memasak); dan (5) Membuat api unggun di area berkemah (camping) dalam kawasan Taman Nasional.

2.9.2.3 Tata Tertib Penelusuran Sungai dan Goa

1. Petugas akan memeriksa barang bawaan dan Surat Ijin Masuk Kawasan (SIMAKSI) sebelum dan sesudah masuk kawasan;

2. Jumlah penelusur sungai dan goa minimal 5 orang dalam satu regu; 3. Lamanya penelusuran sungai dan goa adalah 2 hari 1 malam;

4. Penelusur sungai dan goa wajib: (1) Menyerahkan fotocopy identitas (KTP atau SIM atau kartu pelajar atau kartu mahasiswa atau paspor yang masih berlaku); (2) Bagi penelusuran goa dan sungai yang berumur < 17 tahun harus menunjukkan fotocopy identitas orang tua dan surat ijin orang tua; (3)Membawa alat penelusuran sungai dan goa seperti kompas, GPS, peta, altimeter, tali, carabiner, harnest, ring 8 dan lain-lain; (4) Membawa perlengkapan tidur (jaket, senter, kantung tidur atau sleeping bag, mantel hujan, sepatu lapangan); (5) Membawa

(21)

logistik, alat masak dan obat obatan; dan (6) Berjalan di jalur yang sudah disediakan; dan

5. Penelusuran sungai dan goa dilarang: (1) Mendirikan tenda di dekat aliran sungai dan di dalam goa; (2) Membawa binatang piaraan ke dalam kawasan; (3) Membuat api unggun di dalam kawasan; (4) Melakukan perbuatan yang dapat menyebabkan kerusakan terhadap tumbuhan, hewan dan keindahan yang terdapat di dalam kawasan; (5) Melakukan vandalisme; (6) Meninggalkan sampah di dalam kawasan, sampah wajib dibawa turun; (7) Membawa senjata tajam ke dalam kawasan; (8) Membawa sabun mandi, odol, sampo, dan sebagainya yang dapat mengakibatkan pencemaran air dan tanah; dan (9) Membawa alat musik dan menimbulkan kegaduhan di dalam kawasan.

2.9.3 SIMAKSI di Taman Nasional Gunung Leuser 2.9.3.1 Tata Cara Permohonan SIMAKSI

Jenis kegiatan masuk Taman Nasional (Kawasan Pelestarian Alam-KPA) meliputi: (1) Pengunjung Umum; (2) Rekreasi alam bebas; (3) Penelitian; (4) Kegiatan sosial, hanya untuk masyarakat lokal atau sekitar kawasan atau pemegang izin usaha penyediaan jasa wisata alam; (5) Kegiatan religi, hanya untuk masyarakat lokal yang melakukan kegiatan religi; (6) Ilmu pengetahuan, pendidikan, dan ekspedisi; (7) Pembuatan atau snapshot film dan foto komersial; dan (8) Jurnalistik.

Untuk melakukan jenis kegiatan nomor 3 sampai dengan nomor 8 diwajibkan mengajukan permohonan Surat Ijin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) kepada Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser. SIMAKSI yang mempunyai keterkaitan kerja untuk lebih dari 1 (satu) lokasi UPT, diterbitkan oleh Sekretaris Direktorat Jenderal PHKA. SIMAKSI untuk 1 (satu) lokasi UPT, diterbitkan oleh Kepala Unit Pelaksana Teknis. Permohonan SIMAKSI diajukan oleh pemohon kepada penerbit Izin, dilampiri dengan:

1. Penelitian, peneliti mancanegara atau mahasiswa perguruan tinggi mancanegara (Foreign Researcher): (1) Surat keterangan jalan dari kepolisian; (2) Proposal kegiatan; (3) Fotocopy paspor; (4) Surat

(22)

pernyataan tentang kesanggupan untuk mematuhi ketentuan perundang-undangan; (5) Surat izin penelitian dari Kementerian Negara Riset dan Teknologi; (6) Surat pemberitahuan penelitian dari Kementerian Dalam Negeri; dan (7) Surat rekomendasi dari mitra kerja atau dari perguruan tinggi induk;

2. Penelitian, peneliti nusantara atau mahasiswa perguruan tinggi Indonesia (Indonesian Researcher): (1) Proposal kegiatan; (2) Fotocopy tanda pengenal; (3) Surat pernyataan tentang kesanggupan untuk mematuhi ketentuan perundang-undangan; dan (4) Surat rekomendasi dari mitra kerja atau dari perguruan tinggi induk;

3. Kegiatan sosial, hanya untuk masyarakat lokal atau sekitar kawasan atau pemegang izin usaha penyediaan jasa wisata alam yang melakukan kegiatan sosial meliputi: penanaman pohon, pengamanan hutan bersama masyarakat, pengendalian kebakaran hutan bersama masyarakat, evakuasi korban, dan kegiatan masyarakat untuk memenuhi kegiatan sehari-hari. Lampiran: (1) Lokasi kegiatan berada di dalam kawasan; dan (2) Harus terlebih dahulu memberitahukan kepada kepala BBTNGL dengan menyebutkan jumlah anggota masyarakat yang akan melakukan kegiatan;

4. Kegiatan religi,hanya untuk masyarakat lokal yang melakukan kegiatan religi. Lampiran: (1) Surat keterangan domisili; (2) Kartu identitas; (3) Kartu tanda pemegang IUPJWA bagi pemegang izin usaha penyediaan jasa wisata alam; (4) Daftar anggota kelompok atau rombongan; dan (5) Mengisi formulir;

5. Ilmu pengetahuan, pendidikan, dan ekspedisi:

Untuk WNA (foreigner) atau siswa-mahasiswa mancanegara: (1) Surat keterangan jalan dari kepolisian; (2) Proposal kegiatan; (3) Fotocopy paspor; (4) Surat pernyataan tentang kesanggupan untuk mematuhi ketentuan perundang-undangan; dan (5) Surat rekomendasi dari mitra kerja atau sekolah atau perguruan tinggi induk.

Untuk WNI atau siswa-mahasiswa Indonesia: (1) Proposal kegiatan; (2) Fotocopy tanda pengenal; (3) Surat pernyataan tentang

(23)

kesanggupan untuk mematuhi ketentuan perundang-undangan; dan (4) Surat rekomendasi dari mitra kerja atau sekolah atau perguruan tinggi induk;

6. Snapshot film atau foto komersial:

Untuk WNA (foreigner): (1) Surat keterangan jalan dari kepolisian; (2) Proposal kegiatan; (3) Fotocopy paspor; (4) Surat pernyataan tentang kesanggupan untuk mematuhi ketentuan perundang-undangan; (5) Surat izin produksi pembuatan film non-cerita atau non-cerita di Indonesia dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif; (6) Sinopsis; (7) Daftar peralatan; dan (8) Daftar anggota tim.

Untuk WNI: (1) Proposal kegiatan; (2) Fotocopy tanda pengenal; (3) Surat pernyataan tentang kesanggupan untuk mematuhi ketentuan perundang-undangan; (4) Sinopsis; (5) Daftar peralatan; dan (6) Daftar anggota tim; dan

7. Jurnalistik:

Untuk WNA (foreigner): (1) Surat keterangan jalan dari kepolisian; (2) Proposal kegiatan; (3) Fotocopy paspor; (4) Surat pernyataan tentang kesanggupan untuk mematuhi ketentuan perundang-undangan; dan (5) Kartu pers dari lembaga yang berwenang. Untuk WNI, (1) Proposal kegiatan; (2) Fotocopy tanda pengenal; (3) Surat pernyataan tentang kesanggupan untuk mematuhi ketentuan perundang-undangan; dan (4) Kartu Pers dari lembaga yang berwenang.

2.9.3.2 Tata Cara Perpanjangan SIMAKSI

1. Permohonan perpanjangan SIMAKSI untuk kegiatan penelitian serta ilmu pengetahuan dan pendidikan, diajukan oleh pemohon kepada penerbit SIMAKSI, paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sebelum SIMAKSI berakhir;

2. Permohonan perpanjangan SIMAKSI untuk kegiatan ekspedisi, pembuatan film dan jurnalistik diajukan pemohon kepada penerbit SIMAKSI, paling lama 3 (tiga) hari kerja sebelum SIMAKSI berakhir;

(24)

3. Permohonan perpanjangan bagi WNA/ mahasiswa mancanegara dilengkapi juga dengan rekomendasi dari Kepala Unit Pelaksana Teknis. Rekomendasi diterbitkan setelah pemohon melakukan presentasi dan dinilai dapat diterima oleh Kepala Unit Pelaksana Teknis;

4. Penerbit SIMAKSI dapat menyetujui atau menolak permohonan perpanjangan SIMAKSI yang diajukan oleh pemohon; dan

5. Permohonan perpanjangan dilampiri dengan: (1) Laporan hasil kegiatan, dan (2) Perizinan dari instansi terkait yang masih berlaku.

2.9.3.3 Masa Berlaku SIMAKSI

1. Masa berlaku SIMAKSI dan perpanjangan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan paling lama 3 (tiga) bulan;

2. Masa berlaku SIMAKSI dan perpanjangan untuk kegiatan ilmu pengetahuan dan pendidikan, paling lama 1 (satu) bulan;

3. Masa berlaku SIMAKSI dan perpanjangan untuk kegiatan pembuatan film, paling lama 14 (empat belas) hari; dan

4. Masa berlaku SIMAKSI dan perpanjangan untuk kegiatan ekspedisi dan jurnalistik paling lama 10 (sepuluh) hari.

2.9.3.4 Kewajiban SIMAKSI

1. Sebelum melakukan kegiatan, pemegang SIMAKSI berkewajiban: (1) Membayar pungutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; (2) Meminta izin atas penggunaan atau peminjaman sarana prasarana milik negara kepada penerbit SIMAKSI;

2. Selama melaksanakan kegiatan, pemegang SIMAKSI harus didampingi petugas dari Unit Pelaksana Teknis;

3. Dalam hal SIMAKSI berakhir, pemegang SIMAKSI berkewajiban; (1) Mempresentasikan hasil kegiatan kepada kepala UPT; (2) Menyerahkan laporan hasil kegiatan; (3) Menyerahkan kopi film kepada penerbit SIMAKSI paling lama 1 (satu) bulan setelah film diproduksi, khusus kegiatan pembuatan film;

(25)

4. Dalam hal terdapat kegiatan mengambil dan mengangkut spesimen tumbuhan dan satwa liar, pemegang SIMAKSI harus memiliki izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;

5. Segala resiko yang terjadi selama pelaksanaan kegiatan merupakan tanggung jawab pemegang SIMAKSI;

6. Selama melaksanakan kegiatan, pemegang SIMAKSI dilarang, antara lain melakukan penebangan pohon, mengganggu kesejahteraan satwa, dan memberikan makanan kepada satwa yang menjadi objek kegiatan; dan

7. Pemegang SIMAKSI yang melakukan kegiatan, wajib mencantumkan logo Kementerian Kehutanan dan nomenklatur PHKA pada setiap produk hasil kegiatan.

2.9.4 Tarif Masuk Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser

Tarif Masuk Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, termasuk dalam Rayon III dan mulai berlaku tanggal 14 Agustus 2014.

1. Pengunjung umum.

Pada hari kerja (Senin s/d Sabtu), karcis masuk pengunjung umum: (1) Wisatawan Mancanegara (WNA) Rp. 150.000,-/orang/hari; dan (2) Wisatawan Nusantara (WNI) Rp. 5.000,-/orang/hari. Sedangkan, karcis masuk rombongan pelajar atau mahasiswa (minimal 10 orang): (1) Wisatawan Mancanegara (WNA) Rp. 100.000,-/orang/hari; dan (2) Wisatawan Nusantara (WNI) Rp. 3.000,-/orang/hari.

Pada hari libur (Minggu dan hari libur nasional), karcis masuk pengunjung umum: (1) Wisatawan Mancanegara (WNA) Rp. 225.000,-/orang/hari; dan (2) Wisatawan Nusantara (WNI) Rp. 7.500,-/orang/hari. Sedangkan, karcis masuk rombongan pelajar atau mahasiswa (minimal 10 orang): (1) Wisatawan Mancanegara (WNA) Rp. 150.000,-/orang/hari; dan (2) Wisatawan Nusantara (WNI) Rp. 4.500,-/orang/hari.

2. Rekreasi alam bebas.

Kegiatan wisata umum: (1) Berkemah Rp. 5.000,-/orang/hari/kemah; (2) Penelusuran hutan (trekking), mendaki gunung (hiking-climbing) Rp. 5.000,-/orang/paket/kegiatan; (3) Penelusuran gua

(26)

(caving) Rp. 10.000,-/orang/paket/kegiatan; (4) Pengamatan hidupan liar Rp. 10.000,-/orang/paket/kegiatan; (5) Kano atau bersampan Rp. 25.000,-/orang/hari; (6) Arung jeram Rp. 15.000,-25.000,-/orang/hari; (7) Canopi trail Rp. 25.000,-/orang/sekali masuk; dan (8) Outbound training Rp. 150.000,-/orang/paket/kegiatan.

Kegiatan wisata rombongan pelajar atau mahasiswa (minimal 10 orang): (1) Berkemah Rp. 2.500,-/orang/hari/kemah; (2) Penelusuran hutan (trekking), mendaki gunung (hiking-climbing) Rp. 2.500,-/orang/paket/kegiatan; (3) Penelusuran gua (caving) Rp. /orang/paket/kegiatan; (4) Pengamatan hidupan liar Rp. 5.000,-/orang/paket/kegiatan; (5) Kano atau bersampan Rp. 15.000,-/orang/hari; (6) Arung jeram Rp. 10.000,-/orang/hari; (7) Canopi trail Rp. 15.000,-/orang/sekali masuk; dan (8) Outbound training Rp. 75.000,-/orang/paket/kegiatan.

3. Penelitian. Peneliti mancanegara atau mahasiswa perguruan tinggi mancanegara (Foreign Researcher): (1) < 1 bulan Rp. 5.000.000,-/orang; (2) 1 bulan-6 bulan Rp. 10.000.000,-/orang; dan (3) 7 bulan-12 bulan Rp. 15.000.000,-/orang. Peneliti Nusantara (Indonesian Researcher): (1) < 1 bulan Rp. 100.000,-/orang; (2) 1 bulan-6 bulan Rp. 150.000,-/orang; dan (3) 7 bulan-12 bulan Rp. 250.000,-/orang. Sedangkan mahasiswa atau pelajar Indonesia (Indonesian Student) berlaku tarif Rp. 0,- (nol rupiah). 4. Kegiatan sosial, berlaku tarif Rp. 0,- (nol rupiah) dan hanya untuk

masyarakat lokal atau sekitar kawasan atau Pemegang Izin Usaha penyediaan Jasa Wisata Alam ang melakukan kegiatan sosial, meliputi: (1) Penanaman pohon; (2) Pengamanan hutan bersama masyarakat; (2) Pengendalian kebakaran hutan bersama masyarakat; (3) Evakuasi korban; dan (4) Kegiatan masyarakat untuk memenuhi kegiatan sehari-hari. 5. Kegiatan religi, berlaku tarif Rp. 0,- (nol rupiah), hanya untuk masyarakat

lokal yang melakukan kegiatan religi.

6. Snapshot film & foto komersial: (1) Video komersil Rp. 10.000.000,-/paket; (2) Handycam Rp. 1.000.000,-10.000.000,-/paket; dan (3) Foto Rp. 250.000,-/paket.

(27)

7. Iuran izin pengambilan sampel penelitian (mati atau bagian-bagian). Warga Negara Indonesia (WNI) atau mahasiswa Indonesia Rp. 50.000,-/izin dan Warga Negara Asing (WNA) atau mahasiswa Mancanegara Rp. 500.000,-/izin.

8. Pungutan administrasi pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar. Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Dalam Negeri (SATS-DN) Rp. 35.000,-/SATS.

Dasar pelaksanaan peraturan tarif masuk Taman Nasional Gunung Leuser adalah: (1) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak; (2) Peraturan Menteri Kehutanan P.36/Menhut-II/2014 tentang Tata cara Penetapan Rayon di Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Taman Wisata Alam dan Taman Buru Dalam Rangka Pengenaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Bidang Pariwisata Alam; (3) Peraturan Menteri Kehutanan P.37/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Pengenaan, Pemungutan dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam; (4) Peraturan Menteri Kehutanan P.38/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Dan Persyaratan Kegiatan Tertentu Pengenaan Tarif Rp.0,00 (nol rupiah) di Kawasan Suaka Alam,Kawasan Pelestarian Alam, Taman Buru, dan Hutan Alam; dan (5) Keputusan Direktur Jenderal PHKA SK.133/IV-SET/2014 tentang Penetapan Rayon di TN, Tahura, TWA dan Taman Buru dalam rangka Pengenaan PNBP.

2.10 Sekilas mengenai Objek Wisata Bukit Lawang

Bukit Lawang dikenal sebagai pusat pengamatan orangutan sumatra yang terletak di Desa Perkebunan Bukit Lawang, Kecamatan Bohorok, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatra Utara dengan luas sekitar 200 hektare. Bukit Lawang merupakan salah satu objek wisata utama yang ada di Taman Nasional Gunung Leuser, karena adanya orangutan sumatra yang semi liar dan panorama hutan hujan tropis yang menjadi daya tarik bagi wisatawan baik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara untuk berkunjung. Pada awalnya, Bukit Lawang merupakan pusat rehabilitasi

(28)

(rehabilitation centre) orangutan sumatra. Sayangnya, pusat rehabitilitasi orangutan ini ditutup pada tahun 2002, karena kurangnya pengawasan terhadap perilaku pengunjung. Akan tetapi, peran Bukit Lawang sebagai objek ekowisata (ecotourism) dan pusat pengamatan (viewing centre) orangutan sumatra yang semi liar terus berlanjut dan berkembang hingga saat ini.

Bukit Lawang dapat dicapai dengan perjalanan darat dari Medan, Sumatra Utara. Perjalanan darat dapat menggunakan kendaraan pribadi, mobil carteran, dan angkutan umum dari Terminal Pinang Baris, Medan. Waktu tempuh menggunakan kendaraan pribadi dari Medan ke Bukit Lawang sekitar 3-4 jam, sedangkan jika dari Bandara Kuala Namu, Medan ke Bukit Lawang sekitar 4-5 jam. Fasilitas wisata di Bukit Lawang cukup banyak dan memadai. Penginapan, hotel, restoran, pemandu wisata (guide), dan paket wisata yang ditawarkan di Bukit Lawang cukup beragam. Bagi wisatawan yang ingin berkunjung dapat menggunakan pemandu wisata lokal yang sudah memiliki ijin dan berpengalaman, seperti yang tergabung di Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Bukit Lawang.

Gambar 2.11 Foto lokasi Bukit Lawang di tepian Sungai Bahorok Sumber: Dokumentasi Pribadi Robby

(29)

2.11 Sekilas mengenai Objek Wisata Tangkahan

Tangkahan terletak di Desa Namo Sialang, Kecamatan Batang Serangan, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatra Utara dengan luas sekitar 17.000 hektare. Adanya kegiatan wisata seperti patroli di hutan dengan menggunakan gajah dan memandikan gajah menjadikan Tangkahan sebagai salah satu objek wisata yang cukup sering dikunjungi oleh wisatawan baik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara.

Masyarakat lokal di sekitar Tangkahan dulunya, antara tahun 1980 sampai 1990-an seringkali membalak kayu hutan yang berasal dari Taman Nasional Gunung Leuser. Seiring dengan berjalannya waktu dan edukasi dari berbagai pihak, masyarakat menjadi sadar akan kesalahan dan kerusakan yang telah terjadi terhadap kawasan Leuser. Setelah pembalakan kayu ilegal dari kawasan Leuser dihentikan, masyarakat kemudian bersepakat untuk mengembangkan Tangkahan menjadi kawasan ekowisata. Pada tahun 2001, masyarakat lokal di sekitar Tangkahan berkumpul dan menyepakati peraturan desa yang melarang segala aktivitas ilegal dan mendirikan Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT).

Tangkahan dapat dicapai dengan perjalanan darat dari Medan, Sumatra Utara. Waktu tempuh menggunakan kendaraan pribadi dari Medan ke Tangkahan sekitar 3-4 jam perjalanan melewati Kota Binjai dan Kecamatan Tanjung Pura dengan kondisi jalan yang baik dan sudah teraspal. Jalur alternatif melalui Kota Stabat-Simpang Sidodadi dapat ditempuh lebih cepat satu jam, namun kondisi jalan tidak cukup baik dan belum semuanya teraspal, terutama di kawasan perkebunan. Fasilitas wisata di Tangkahan cukup banyak, walaupun tidak sebanyak di Bukit Lawang. Penginapan, hotel, restoran, pemandu wisata lokal (guide), dan paket wisata yang ditawarkan di Tangkahan juga cukup beragam layaknya di Bukit Lawang. Banyak masyarakat, terutama pemuda lokal yang bekerja sebagai pemandu wisata (guide) di Tangkahan. Pemandu wisata lokal ini tergabung dalam suatu wadah yang disebut Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT).

(30)

Gambar 2.12 Foto lokasi Tangkahan di tepian Sungai Buluh dan Sungai Batang Serangan

Sumber: Dokumentasi Pribadi Robby

2.12 Studi Pustaka mengenai Bukit Lawang dalam Buku Sumatra, Indonesia Travel Guide dan Artikel Rainforest Projects

Taman Nasional Gunung Leuser yang ditetapkan sebagai cagar biosfer oleh UNESCO pada tahun 1980, adalah salah satu taman nasional tertua di Indonesia. Taman Nasional ini berada di perbatasan antara Aceh dan Sumatra Utara. Kehidupan alam liar yang ada meliputi sebagian besar mamalia yang ada Sumatra seperti gajah, badak, beruang madu, owa, monyet, dan orangutan. Lebih dari 500 spesies burung juga ditemukan, khususnya rangkong (hornbills) dan kuau (argus pheasant).

Seperti hujan hutan di Asia Tenggara lainnya, kesulitan utama untuk berkunjung ke Taman Nasional Gunung Leuser adalah menemukan cara atau jalur untuk masuk dan keluar taman nasional, tanpa bekerja keras selama berjam-jam melewati hutan yang basah dan lintah. Masalah berikutnya adalah untuk menemukan sesuatu selama disana tentunya. Untungnya, taman nasional ini lebih mudah diakses lewat Orangutan Rehabilitation Station di

(31)

Bukit Lawang, yang terletak 9 km dari Bohorok dan sekitar 76 km dari sisi barat Medan. (Oey, 1991).

Pusat rehabilitasi orangutan bertujuan untuk melatih orangutan untuk bertahan hidup di alam liar, karena kebanyakan dari mereka telah kehilangan kemampuannya untuk bertahan hidup dan terbiasa berinteraksi dengan manusia, yang tentunya bertentangan dengan habitatnya sebagai satwa liar. Setelah di karantina, orangutan dapat kembali terbiasa dengan habitat aslinya dan dilepaskan kembali ke hutan seperti layaknya satwa liar. Namun, orangutan yang dilepaskan masih dipantau oleh penjaga hutan (ranger). Sejak saat itu, Bukit Lawang sering dikunjungi oleh wisatawan domestik, maupun mancanegara.

Sayangnya seiring berjalannya waktu, perilaku pengunjung di pusat rehabilitasi tidak dikontrol dan terjadi kontak fisik antara manusia dengan orangutan. Kontak fisik ini membuat orangutan dapat tertular penyakit dan membuat mereka sangat bergantung kepada manusia mengenai makanan. Akibatnya pusat rehabilitasi ini ditutup secara resmi pada tahun 2002, tetapi peran Bukit Lawang sebagai pusat dari ekowisata untuk melihat orangutan secara liar tetap berjalan hingga saat ini. Jadwal pemberian makanan tambahan kepada orangutan disediakan di feeding platform 2 kali sehari. Feeding platform ini menimbulkan isu baru, karena terkesan hanya bertujuan untuk wisata saja. Hal ini juga membuat ketergantungan orangutan akan feeding platform dan mengurangi kebiasaan liarnya. Pada tahun 2015, feeding platform ini resmi ditutup karena banyaknya kontroversi dari berbagai pihak. Terlepas dari perjalanan dan kontroversi yang ada, Bukit Lawang masih menjadi salah satu ekowisata yang layak dikunjungi di Sumatra Utara dan masyarakat lokal masih bergantung kepada sektor wisata ini. Bukit Lawang tidak hanya menjadi tempat untuk melihat satu spesies saja, tetapi menjadi bagian dari ekosistem dari Taman Nasional Gunung Leuser dan keajaiban alam yang ada dapat menjadi daya tarik utama dari ekowisata. Kesadaran dan tanggung jawab akan kelestarian ekowisata perlu dilakukan tidak hanya oleh masyarakat lokal, tetapi juga wisatawan yang berkunjung. Menghindari perilaku tidak bertanggung jawab seperti memberi makan hewan, membuang

(32)

sampah sembarangan, dan terlalu dekat dengan satwa liar adalah cara untuk mendukung konservasi, tidak hanya untuk orangutan tetapi juga untuk keberlangsungan jangka panjang ekowisata dan alam. (Bukit Lawang, n.d.).

2.13 Studi Pustaka Buku Warisan Hutan Tropis Sumatra (Tropical Rainforest Heritage of Sumatra)

Buku Warisan Hutan Tropis Sumatra (Tropical Rainforest Heritage of Sumatra) ini diterbitkan oleh Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL). Dalam buku tercantum, bahwa buku ini hadir untuk memberikan informasi kepada khalayak umum tentang nilai penting Taman Nasional Gunung Leuser sebagai kawasan konservasi dan upaya nyata yang telah dilakukan dalam rangka mempertahankan fungsi utamanya sebagai perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan kawasan yang lestasi.

Secara teknis, informasi yang ada di dalam buku ini cukuplah lengkap seperti sejarah, status konservasi, luas, letak, aksesibilitas, nilai penting taman nasional, flora, fauna, struktur organisasi BBTNGL, dan objek wisata yang ada di taman nasional beserta aksesibilitasnya. Buku juga menyertakan sejumlah foto yang mendukung untuk setiap objek yang dibahas. Sayangnya, buku ini bersifat promosi wisata taman nasional secara umum, sehingga kurang membahas lebih detail atau secara spesifik mengenai salah satu objek wisata. Aktivitas dan kegiatan yang ada pada objek wisata juga hanya dijelaskan secara singkat, sehingga sisi edukasi yang seharusnya ada pada masing-masing objek wisata kurang menonjol.

2.14 Sejarah Fotografi

Fotografi diciptakan oleh Nicephore Niepce pada tahun 1826. Karya fotografi yang berjudul View from the Window at Le Gras menjadi bukti otentik bahwa Nicephore Niepce adalah orang pertama yang menemukan kamera fotografi, sekaligus menjadikan karya ini sebagai karya fotografi pertama di dunia. Nicephore Niepce membutuhkan waktu delapan jam di tempat yang terang untuk merekam gambar dengan kameranya sampai menghasilkan satu frame foto pada waktu itu. Waktu exposure atau merekam

(33)

ini tentunya sangat lama, sehingga tahun 1838, Louis Daugerre berhasil untuk mengurangi waktu exposure yang diperlukan. Karya fotografi berupa gambar jalanan di Paris, yang berjudul Boulevard Temple mampu diciptakan dalam waktu sepuluh menit. Tahun 1840, Fox Talbot mampu mengurangi waktu exposure hingga 1-3 menit. Fotografi kemudian terus berkembang seiring berjalannya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kini waktu exposure yang dibutuhkan ketika memotret pun semakin cepat dan kurang dari satu detik di tempat terang, misalnya dengan menggunakan kecepatan rana (shutter speed) 1/60, 1/125, 1/250 detik. Kamera yang dahulu hanya mampu digunakan untuk memotret objek dalam keadaan diam, kini menjadi mampu digunakan untuk memotret objek yang bergerak dengan cepat.

Perkembangan teknologi kamera yang pesat, membuat setiap orang mampu untuk menghasilkan sebuah foto. Kini fotografi telah menjadi sesuatu yang umum di masyarakat. Hampir setiap bidang ilmu pengetahuan dan teknologi baik media cetak maupun digital memanfaatkan fotografi. Foto telah menjadi sebuah budaya yang tidak terpisahkan dari kehidupan. Setiap hari, orang dapat melihat sebuah foto dimanapun dia berada, seperti dari iklan, media massa, dan media sosial. Kemudahan fitur dan sistem pengoperasian kamera, harga kamera yang semakin terjangkau, dan berbagai kemudahan lainnya juga membuat setiap orang mampu untuk memotret.

2.15 Genre Fotografi

Setiap orang memiliki kesenangan dan kebiasaan yang berbeda. Kegunaan fotografi dalam kehidupan menjadi sangat luas, ada yang menjadikannya sebagai hobi, profesi, dokumentasi historis atau kenangan, dan lain sebagainya. Hal ini membuat fotografi menyampaikan pesan dengan tujuan dan manfaat yang berbeda-beda Perbedaan pesan yang ingin disampaikan dalam dunia fotografi ini, kemudian membuat fotografi dapat disegmentasikan dalam berbagai genre atau jenis fotografi. Berikut adalah berbagai jenis fotografi yang digunakan.

(34)

1. Street Photography

Street photography merupakan jenis fotografi yang secara khusus mengambil gambar dengan tujuan untuk menceritakan kehidupan masyarakat urban. Street photography seringkali menampilkan sisi human interest yakni memotret orang dengan berbagai performa dan aktivitas yang mereka lakukan. Karakteristik street photography pada umumnya lebih menekankan pemotretan subjek apa adanya, tanpa mengarahkan subjek, dan lebih banyak yang bersifat snapshot. Bagi fotografer unsur kejelian, selektivitas dalam memilih objek sangat dibutuhkan, sementara bersabar dalam menunggu waktu untuk mendapatkan desecive moment. Menurut Henri Cartier-Bresson, desecive moment adalah momen dimana fotografer merasa perlu untuk mengambil sebuah gambar dalam waktu yang singkat. (Eric, 2010). Selain dari momen, pilihan arah cahaya, bentuk geometris, dan warna menjadi bagian yang juga ditekankan pada jenis fotografi ini.

2. Landscape Photography

Landscape photography adalah foto tentang pemandangan suatu area. Landscape photography termasuk bagian dari outdoor photography. Umumnya tertuju pada pemandangan alam seperti pantai, laut, sungai, danau, air terjun, tebing, karang, gunung, lembah, dan hutan. Prioritas utama dalam jenis fotografi ini adalah pemandangan, dengan mempertajam view dan mengeksplorasi keindahan. Foto landscape cenderung berhubungan dengan panorama, yaitu membuat angle of view dalam foto terlihat lebih luas. Kehadiran manusia dalam foto bisa ditiadakan atau tidak disertakan. Kehadiran orang maupun satwa dalam foto landscape dapat berfungsi sebagi skala pembanding, yakni tergantung dari pesan yang ingin disampaikan. Misalnya ketika ingin menampilkan kesan kesunyian dari pemandangan, maka unsur atau kehadiran orang tidak perlu ditampilkan. Pemotretan landscape tidak hanya berhubungan dengan pemandangan alam, tetapi juga dapat dilakukan di perkotaan. Urban landscape photography adalah salah satu cabang dari foto

(35)

landscape yang fokus kepada panorama kota dengan deretan bangunan beserta landmark dari masing-masing kota.

Faktor teknis saat memotret landscape adalah menekankan pada ruang tajam atau depth of field yang luas. Hal ini bertujuan agar foto pemandangan dapat memperoleh detail ketajaman pada keseluruhan frame gambar, baik pada bagian tengah hingga bagian ujung dari frame gambar. Oleh karena itu, untuk memperoleh depth of field yang lebih luas dibutuhkan bukaan diafragma yang lebih kecil, yakni angka “f” di atas 8, 11, 16, 22, dan seterusnya. ISO yang digunakan harus yang terendah untuk mencegah noise dan artefak pada foto. Karena kebanyakan fotografer memilih bukaan berdiafragma kecil dan ISO rendah, maka konsekuensinya adalah menggunakan shutter speed rendah. Hal ini dapat diatasi dengan penggunan tripod.

Pemilihan waktu dalam pemotretan foto landscape kebanyakan dilakukan pada pagi dan sore. Kedua waktu ini mampu memberikan arah cahaya side lighting yang tidak keras, sehingga menghasilkan dimensi bayangan yang bagus dan lembut. Akan tetapi, tidak ada salahnya jika seorang fotografer landscape mencoba untuk breaking the rules dengan memotret pada siang hari. Apabila pemotretan dilakukan saat matahari terbit atau akan tenggelam, filter gradasi atau GND amat dibutuhkan untuk menghindari latar depan (foreground) dan langit atau latar belakang (background) memiliki kontras yang tinggi. Filter yang dibutuhkan dalam fotografi landscape, antara lain filter UV, ND, GND, dan CPL (polarizing). Filter UV digunakan untuk menghilangkan efek sinar UV yang umumnya terdapat pada pemotretan outdoor. Filter CPL digunakan untuk memolarisasikan cahaya yang terurai menjadi searah. Efek yang ditimbulkan pada penggunaan filter CPL adalah membuat langit tampak semakin biru dan mengurangi pantulan atau refleksi. Sedangkan filter ND digunakan untuk mengurangi intensitas cahaya sehingga dapat memperoleh shutter speed yang lebih lambat, waktu exposure yang lebih lama, dan menghasilkan efek blurring pada foto landscape. Filter ND juga dapat digunakan pada foto potrait untuk memperoleh depth of field yang

(36)

sempit dengan menggunakan bukaan yang lebih lebar dan memperoleh shutter speed yang lebih lambat untuk sesuai dengan flash sync speed.

2.16 Pesan dan Makna Fotografi

Menurut Yuyung Abdi, fotografi adalah kegiatan mengabadikan sesuatu yang bisa dilihat nyata. Sebagai representasi dan bukti visual, foto hanyalah sepenggal rekaman peristiwa yang terbatasi sudut pengambilan dan ukuran bidang datar. Foto seringkali dipandang tidak lebih dari luas area persegi panjang. Padahal, esensi foto penting untuk disampaikan, karena memiliki nilai kepetingan yang lebih besar dibandingkan eksistensinya dari segi estetik maupun artistik.

Pada fotografi, realitas pertama adalah realitas awal atau yang dikenal sebagai realitas objek. Realitas kedua adalah realitas hasil kamera, karena adanya peran kamera dan fotografer di belakang realitas ini. Realitas ketiga adalah realitas setelah mengalami perubahan dengan software editing, karena adanya penambahan ataupun pengurangan pada elemen foto. Adanya perbedaan realitas ini membuat persepsi langsung terhadap objek peristiwa, tidaklah sama dengan persepsi terhadap pesan dalam sebuah foto.

Foto adalah medium atau sarana penghubung antara fotografer dan orang yang melihat hasil fotonya. Makna dihasilkan dari interaksi antara keduanya. Interpretasi yang berbeda dari objek yang difoto, fotografer, dan orang yang melihat hasil fotonya menghasilkan pemaknaan yang berbeda pula. Pesan yang ingin disampaikan oleh fotografer bisa saja tidak pahami atau berbeda dengan persepsi dan interpretasi dari orang yang melihat hasil fotonya. Multi interpretasi inilah yang membuat fotografi menjadi bagian komunikasi sebagai proses generation of meaning. Disinilah foto dapat menjadi sebuah kajian, perbincangan, dan perdebatan.

Makna pesan pada foto terkadang menjadi tidak mudah untuk diartikan dan dipahami dari apa yang terlihat secara fisik. Memahami dan menganalisis tanda sepeti komposisi, sudut pengambilan gambar, jarak, pencahayaan dan warna menjadi salah satu cara untuk menginterpretasi foto. Konteks foto lebih mudah dipahami jika menggunakan penandaan simbol-simbol yang dipahami

(37)

secara universal. Apabila menggunakan simbol-simbol yang tidak umum seperti konteks budaya, maka interpretasi dan pemahamnya dapat berbeda pula. Ketika seseorang paham akan makna konteks dalam foto, maka setidaknya ia dapat menginterpretasikan pesan yang hendak disampaikan dalam foto. (Abdi, 2012).

2.17 Studi Pustaka The Guide to Landscape and Wildlife Photography

The Guide to Landscape and Wildlife Photography adalah buku panduan kursus (course guidebook) mengenai cara menghasilkan foto landscape dan wildlife, berdasarkan ilmu seperti tips dan trik dari pengalaman dua orang fotografer National Geographic, Michael Melford dan Tim Laman. Salah satu segmen pelajaran oleh Tim Laman yang berjudul Orangutan: Photographing Animal Communities membahas mengenai bagaimana cara mendokumentasikan orangutan.

Gambar 2.13 Sampul dan halaman isi buku The Guide to Landscape and Wildlife Photography

Sumber: https://guidebookstgc.snagfilms.com/ DG7941_NatGeoLandscapeWildlifePhoto.pdf

(38)

Orangutan yang hanya ada di Sumatra dan Borneo, bukanlah binatang yang mudah ditemukan dengan berkeliling di dalam hutan. Oleh karena itu, diperlukan seluruh tim untuk mencari dan melacak pergerakan orangutan. Bekerjasama dengan peneliti yang bekerja di situs tertentu dapat mempermudah proses fotografi, karena mereka umumnya melakukan pendataan dan penandaan (tagging) orangutan dari pagi hingga malam hari. Tingkat kesulitan untuk berjalan di hutan hujan membuat fotografer tidak perlu membawa banyak peralatan ketika akan mengikuti orangutan. Fotografer perlu untuk selalu membawa kamera di tangan dengan lensa utama, semisal lensa 200-400 mm. Peralatan seperti baterai, memory card cadangan, dan aksesoris untuk merekam video dapat diletakkan ke satu tas ransel. Fotografer juga dapat mengenakan tas pinggang untuk memuat peralatan yang dibutuhkan dengan segera, seperti kamera kedua dengan lensa wide untuk memotret dari dekat dan beberapa teleconverter. Tas anti air (waterproof) juga diperlukan ketika hujan atau akan menyeberangi sungai yang dalam.

Orangutan tidak hidup secara berkelompok besar sepeti simpanse atau gorila, sehingga lebih sulit untuk didokumentasikan. Orangutan adalah binatang penyendiri, kecuali untuk betina dan anaknya. Orangutan berkeliling di hutan sepanjang hari mencari makan dan membuat sarang di pohon untuk tidur. Seringkali, orangutan berada di atas pohon dan membuat fotografer menghabiskan banyak waktu untuk membidik ke atas. Mengarahkan kamera ke atas dapat melelahkan, oleh karena itu fotografer dapat membawa monopod atau tripod. Monopod dan tripod ini dapat memudahkan fotografer untuk membidik dan memotret ke atas, terutama ketika orangutan sedang berhenti untuk makan.

Memotret menghadap ke langit seringkali tidak ideal, akan tetapi tidak dapat dihindarkan ketika memotret orangutan, sehingga perlunya perhatian ekstra pada metering untuk tidak membuat subjek orangutan menjadi underexpose ataupun background langit yang overexpose. Salah satu cara untuk meminimalisir hal ini adalah lebih baik untuk mencari background yang lebih hijau ketika memotret orangutan. Situasi terbaik untuk memotret

Gambar

Gambar 2.1 Foto lokasi Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser  Sumber: Dokumentasi Pribadi Robby
Gambar 2.2 Struktur organisasi BBTNGL  Sumber: http://gunungleuser.or.id/tentang-kami/
Gambar 2.3 Peta formasi geologi TNGL, peta pembagian iklim  TNGL, dan peta jenis tanah TNGL
Gambar 2.4 Zonasi Taman Nasional Gunung Leuser berdasarkan  SK Dirjen PHKA No. 35/IV-SET/2014
+7

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, dibuatlah perancangan dengan tujuan mendapatkan visualisasi konsep melalui media buku fotografi esai yang berisi informasi dan fakta menarik tempat wisata

Dalam perkembangannya adanya desa wisata yang berdampingan langsung dengan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Leuser dapat meningkatkan ekonomi masyarakat setempat

Berdasarkan permasalahan ini perlu dilakukan penelitiaan tentang “Analisis Tingkat Kepuasan Wisatawan Mancanegara Pengunjung Objek Wisata Alam Taman Nasional Gunung Leuser di

Identifikasi Jenis Burung dan Keadaan Cuaca Pada Tenggeran Buatan di Kawasan Restorasi Resort Sei Betung.. Taman Nasional

Keanekaragaman Jenis Burung Pada Habitat Terbuka dan Tertutup di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser.. Bahan Kuliah

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi perubahan tutupan lahan dari tahun 2000 sampai 2019 di SPTN VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser menggunakan citra

tutupan vegetasi pada Areal Restorasi Resort Sei Betung, Taman Nasional Gunung.

Taman Botani Sukorambi sangat potensial jika dijadikan wisata edukasi, namun untuk menjadikan wisata edukasi pada taman wisata botani masih belum dilengkapi media untuk edukasinya yaitu