• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA WARNA MENYIMPANG PADA SAPI BALI DI KABUPATEN LOMBOK BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POLA WARNA MENYIMPANG PADA SAPI BALI DI KABUPATEN LOMBOK BARAT"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

54

POLA WARNA MENYIMPANG PADA SAPI BALI

DI KABUPATEN LOMBOK BARAT

THE OTHER COLOUR PATERN OF BALI CATTLE

IN WEST LOMBOK REGENCY

I Putu Sudrana, Lestari, Rahma Jan, Tapaul Rozy, dan Lalu Moh. Kasip Fakultas Peternakan Universitas Mataram

Jl. Majapahit 62 Mataram. Telp.0370 633603. Fax.0370-640592. Pos 83125 ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui macam-macam pola warna menyimpang pada sapi Bali dan jumlah sapi Bali yang menyimpang warnanya di Kabupaten Lombok Barat. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survey dengan melakukan pengamatan dan pemotretan terhadap pola-pola warna yang ada pada sapi Bali. Lokasi penelitian di tiga kecamatan sampel yang dibedakan berdasar jumlah populasi sapi Bali yakni tergolong banyak, sedang, dan rendah serta relative mudah dijangkau. Jumlah peternak sampel adalah 31 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, terdapat 10 pola warna menyimpang tunggal dan sapi Bali yang menyimpang warnanya berjumlah 11,80%. Kata Kunci: Pola warna, sapi Bali

ABSTRACT

The objective of this study was to identify other colour patern of Bali cattle and the proportion of Bali cattle that have other colour in region of West Lombok Regency. Survey method, observation, and photography were used in the study. The study was conducted at three districts sample that divided based on high, medium, and small population of Bali cattle and also based on the condition of transportation. This study used 31 farmers as sample. The results showed that there were 10 kinds of single other colour patern of Bali cattle, but the number of Bali cattle that had other colour patern was 11.80%.

Keywords: Colour patern, Bali cattle

LATAR BELAKANG

Provinsi NTB telah dikenal sebagai salah satu daerah penyedia ternak sapi Bali baik sebagai ternak bibit maupun sebagai ternak potong. Predikat ini menjadi kebanggaan tetapi sekaligus sebagai tantangan masyarakat NTB karena sejak beberapa tahun lalu pemerintah NTB tidak

dapat memenuhi permintaan dari

pemerintah daerah lain. Hal ini ada kaitannya dengan belum diketahuinya

kemampuan Pemerintah NTB dalam

memperkirakan ketersediaan bibit sapi Bali. Salah satu kriteria penting untuk bibit pada sapi Bali adalah warna yang tergolong

dalam persyaratan khusus sifat kualitatif (Anonymous, 2006 dan 2009).

Warna termasuk dalam kelompok sifat luar yang kecil bahkan tidak ada pengaruhnya terhadap sifat produksi pada ternak namun sangat penting perannya dalam pembibitan karena warna merupakan “merek dagang” (Warwick, dkk., 1984). Pada usaha pembibitan termasuk ke dalam

recording individu yang berguna untuk

kegiatan seleksi dan juga termasuk

recording nasional yang diperlukan untuk

penentuan kebijakan. Masson dan Buvanendran (1982) menyatakan bahwa,

recording nasional perlu dilakukan secara

(2)

55

Isu merosotnya mutu genetic sapi Bali

yang disebabkan oleh seleksi negatif telah banyak dibicarakan sehingga perlu upaya perbaikan. Secara nasional, upaya perbaikan mutu genetic sapi Bali dengan metode dan program-programnya secara resmi telah dimulai sejak jaman Orde Baru, diantaranya melalui program Panca Usaha Ternak Potong (PUTP) dan dibuatnya metode Pembinaan Sumber Bibit Sapi Potong (Anonymous, 1982). Khusus untuk Provinsi NTB, upaya ini telah dirumuskan sejak tahun 2003 yakni dengan dibuatkannya Dokumen Perencanaan Pembibitan Sapi Bali (Sutaryono, dkk., 2003) dan Kebijakan Perbibitan Sapi Bali NTB (Dahlanuddin, 2010).

Kabupaten Lombok Barat yang merupakan salah satu kabupaten di wilayah Provinsi NTB juga berperan dalam penyediaan sapi Bali bibit namun kenyataannya sapi Bali yang dari segi warna tidak memenuhi persyaratan bibit, selanjutnya disebut warna menyimpang, jumlahnya tergolong banyak yakni 39,99% dengan 8 (delapan) pola warna tunggal (Sudrana, dkk., 1989) demikian pula halnya untuk di Kabupaten Lombok Tengah (Prasetyo, dkk., 1992). Tentang warna-warna menyimpang pada sapi Bali telah dilaporkan oleh Darmadja (1980) yang penyebabnya dibedakan atas faktor genetik dan non genetik.

Pola-pola warna menyimpang pada sapi Bali yang telah ditemukan tersebut nampaknya belum terdokumentasi, oleh karena itu tujuan penelitian ini dilakukan selain untuk mengidentifikasi macam pola warna menyimpang pada sapi juga mendokumentasikan pola-pola warna pada sapi Bali baik yang memenuhi persyaratan maupun yang menyimpang khususnya di Kabupaten Lombok Barat.

METODE PENELITIAN Alat Penelitian

Alat-alat penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini adalah kamera dan daftar pertanyaan. Kamera

digunakan untuk merekam gambar sapi Bali sedangkan daftar pertanyaan untuk merekam nama dan cirri-ciri warna pada sapi Bali.

Metode Penelitian

Lokasi sampel penelitian dilakukan pada tiga kecamatan yang ditentukan berdasar besaran populasi ternak sapi yang diketahui dari laporan Anonymous, (2012) Besaran populasi ternak sapi dibedakan atas, populasi tergolong banyak/besar dan ditetapkan Kecamatan Lembar, populasi sedang dan ditepakan kecamatan Narmada, dan sedikit/rendah, ditetapkan Kecamatan Kuripan. Selanjutnya, setiap kecamatan terpilih ditentukan tiga desa berdasar kesepakatan Tim Peneliti dengan Petugas Paramedis di setiap kecamatan sampel. Dengan cara ini, desa sampel dapat dikunjungi berjumlah 8 (delapan) desa.

Untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan dilakukan wawancara dengan peternak sampel. Jumlah peternak sampel yang dapat diwawancara adalah 31 orang dengan sebaran, 14 peternak dari Kecamatan Lembar, 11 peternak dari Kecamatan Narmada, dan 6 (enam) peternak dari Kecamatan Kuripan.

Pengamatan dan perekaman gambar sapi Bali dilakukan terhadap sapi Bali, tanpa memerhatikan umur, yang memiliki warna menyimpang dan murni, baik yang dimiliki oleh peternak sampel maupun peternak bukan sampel, demikian pula halnya tentang nama-nama warna pada sapi Bali dalam bahasa Sasak. Selain nama setiap pola warna, peternak ditanyai juga tentang pengetahuan dasar peternakan dan kepemilikan ternak menurut warnanya yang dibedakan atas warna murni (sesuai Anonymous, 2009 dan 2010).

HASIL DAN PEMBAHSAN Pengetahuan Dasar Peternak

Beberapa parameter terkait pengetahuan dasar peternak tentang hal-hal terkait dengan pembibitan sapi Bali khususnya.

(3)

56

Tabel 1. Tujuan Pemeliharaan, Asal Mula Ternak, dan Pengetahuan Peternak

Parameter yang terdapat dalam Tabel 1 berguna untuk menduga penyebab terjadinya perkembangan pola warna dari tahun-tahun sebelumnya. Dari data yang terdapat dalam Tabel 1, diketahui, tujuan beternak, nampak perkembangbiakan lebih dominan (64.52%) dibanding sebagai tabungan (32.26%). Hasil penelitian ini berbanding terbalik dengan Arman, dkk.,

(2006) yang melaporkan untuk

perkembangbiakan sebesar 20.97% dan sebagai tabungan 62.90%.

Tujuan beternak untuk perkembangbiakan memberi gambaran bahwa peternak mengharap lebih pada terjadinya kelahiran

setiap tahun walaupun ternak yang lahir

nantinya akan dijual dan akan

menggunakan induk maupun pejantan yang terbaik, sementara tujuan sebagai tabungan menggambarkan bahwa peternak lebih mengharap agar ternak yang dimiliki tetap ada dan hidup. Kedua macam tujuan beternak ini akhirnya nampak berdampak sama terhadap kepemilikan ternak yang relatif tetap dari tahun ke tahun. Kejadian ini serupa dengan laporan Dahlanuddin, dkk., (2010) bahwa jumlah kelahiran mirip dengan jumlah penjualan.

Untuk asal mula dari ternak-ternak yang dimiliki saat ini, ternyata didominansi

No. Parameter

Hasil 1 Tujuan memelihara sapi Bali (%)

a. Perkembangbiakan 64.52

b. Tabungan 32.26

c. Digemukkan 3.22

2 Asal mula ternak (%)

a. Beli sendiri 35.48

b. Kadasan pemerintah 48.39

c. Kadasan non pemerintah 3.23

d. Kadasan teman 9.68

e. Warisan 3.23

3 Pengetahuan tentang sapi Bali bibit (%) Beda calon bibit dengan bibit

a. Warna

Tahu 56.67

Tidak 43.33

b. Umur Tahu 13.33

Tidak 86.67

4 Dasar utama pelaksanaan seleksi (%)

a. Ranking utama jika beli : Warna Kondisi Harga

I 50.00 42.86 7.14

II 46.43 39.29 14.29 III 3.57 17.86 78.57

b. Kriteria utama saat jual :

Terbaik Terjelek Sesuai kebutuhan 16.00 24.00 60.00

c. Ciri-ciri pejantan yang digunakan (warna)

Sesuai Tidak sesuai 79.17 20.83

(4)

57

oleh bantuan pemerintah berupa kadasan

(48.39%) yang diikuti oleh membeli sendiri (35.48%). Tentang pengetahuan peternak dalam hal perbedaan antara calon bibit dengan bibit pada sapi Bali, dapat dinyatakan, bahwa dari segi warna, jumlah peternak yang tahu dan yang tidak/belum tahu sebanding yakni 56.67% vs 43.33%, tetapi dari sudut umur ternak, jumlah peternak yang tidak/belum tahu dengan yang tahu, nampak jauh berbeda yakni 86.67% vs 13.33%. Jawaban tersebut nampak sesuai dengan kriteria utama jika membeli ternak yang 50% berdasar warna yang sesuai persyaratan bibit dan juga sesuai dengan penggunaan pejantan yang juga sesuai persyaratan bibit. Semakin banyak ternak berasal dari pemerintah, semakin banyak ternak yang dibeli warnanya sesuai persyaratan bibit, dan semakin banyak ternak yang dijual dengan kondisi terjelek, serta semakin banyak

pejantan yang digunakan dalam

perkembangbiakan dengan warna sesuai persyaratan maka akan semakin banyak

pedet yang lahir dengan warna yang juga sesuai dengan persyaratan bibit.

Masalah Pakan

Pakan merupakan faktor lingkungan yang bersifat acak yang pengaruhnya terhadap performan ternak adalah bersifat mendukung agar potensi yang dimiliki ternak dapat tampil seoptimal mungkin. Selain itu, dari segi biaya, biaya pakan adalah yang terbesar jika dibandingkan dengan biaya produksi lainnya seperti biaya bibit, perkandangan dan peralatan, dan

kesehatan. Data pada Tabel 2,

menginformasikan bahwa, sumber pakan terutama diperoleh dengan cara menyabit di lahan milik sendiri (70.00%), hal ini didukung oleh kondisi cuaca yakni musim penghujan. Yang menarik adalah terdapat peternak yang sumber pakan utamanya diperoleh dengan cara membeli (13.33%), hal ini terjadi karena lahan tempat mencari pakan (rumput) tergenang air hujan dan karena kesibukan mengolah lahan. Pernyataan peternak tersebut didukung oleh jawaban peternak bahwa, bulan-bulan sulit mencari pakan adalah bulan Agustus hingga Januari

Tabel 2. Sumber Pakan Utama dan Bulan Sulit Pakan

Parameter Hasil

Sumber utama dari (%) : a. Beli 13.33

b. Sabit di lahan sendiri 70.00

c. Sabit di lahan orang 16.67

Bulan sulit pakan : a. Agustus-September 31.58

b.Juli-Agustus 15.79

c. Agustus 5.26

d. Agustus, Desember, Januari 47.37

Struktur Populasi

Berdasar hasil wawancara dengan peternak, diperoleh struktur kepemilikan ternak saat ini seperti tertera dalam Tabel 3. Dari data Tabel 3, jumlah sapi Bali yang warna tubuhnya menyimpang berjumlah 11,80% dari populasi. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan laporan Sudrana, dkk., (1989) di wilayah yang sama yakni berjumlah 39,99%. Menurunnya jumlah sapi Bali yang memiliki warna menyimpang dalam kurun waktu sekitar 24 tahun ada kaitannya antara lain dengan asal mula ternak yang sebagian

besar berasal dari kadasan pemerintah (48,39%), tujuan pemeliharaan sapi Bali untuk perkembangbiakan (64.52%), pengetahuan peternak tentang warna sapi Bali bibit (56.67%), dasar utama membeli ternak yakni warna (50%), dan saat menggunakan pejantan untuk perkawinan, 79.17% peternak berdasar kriteria warna yang sesuai dengan persyaratan bibit. Ternak yang berasal dari kadasan pemerintah sudah jelas memiliki warna sesuai kriteria bibit. Dengan mengetahui warna sapi Bali bibit maka peternak akan

(5)

58

memelihara dan/atau membeli sapi Bali

untuk perkembangbiakan yang memiliki warna sesuai persyaratan bibit sehingga

akan menghasilkan keturunan yang memiliki warna sesuai persyaratan bibit

Tabel 3. Struktur Kepemilikan Sapi Bali

Jenis Kelamin Umur (Th) Umur fisiologis Jumlah

(%) (ekor) Murni Menyimpang

Betina <1 Anak 13.04 21 16 5 1-<1,5 Muda 5.59 9 9 0 1,5-<2,0 1.24 2 2 0 2,0-<3,0 Dewasa 6.83 11 9 2 3,0-8,0 34.78 56 52 4 >8,0 Tua 0.62 1 1 0 Jantan <1 Anak 12.42 20 16 4 1-<1,5 Muda 9.32 15 12 3 1,5-<2,0 3.73 6 6 0 2,0-<3,0 Dewasa 4.35 7 7 0 3,0-8,0 8.07 13 12 1 >8,0 Tua 0.00 0 0 0 Jumlah (ekor) 100.00 161 142 19 Jumlah (%) 88.20 11.80

Jika data Tabel 3 dibuat dalam bentuk grafik berdasar kelompok umur fisiologis agar lebih jelas penampkannya dan mudah dipahami akan terlihat seperti pada Gambar. 1.

Gambar. 1. Grafik Struktur Populasi

Dari Gambar.1, terlihat kelompok umur muda, untuk ternak betina mengalami penurunan yang diduga disebabkan oleh adanya pembelian oleh pengusaha untuk

kepentingan daerah lain di Indonesia. Dugaan ini berdasarkan atas persyaratan penjualan ternak betina yang ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi NTB yakni umur 1

(6)

59

- <1.5 tahun (Anonymous, 2013). Selain itu,

terdapat kecenderungan peternak

mendahulukan jual ternak betina dibanding ternak jantan agar ternak jantan menjadi lebih besar sehingga nilai jualnya lebih tinggi.

Pola Warna Sapi Bali

Hasil penelitian diperoleh 10 (sepuluh) macam pola warna menyimpang tunggal pada sapi Bali di Kabupaten Lombok Barat yang dalam bahasa Sasak diberi nama: 1) Sonteng, jika di bagian kepala terdapat warna putih yang umumnya berbentuk bulatan, 2) Panjut, jika rambut ekor berwarna putih. Jika rambut ekor berwarna putih berada di dalam rambut ekor berwarna hitam disebut panjut kurung, 3)

Belang, jika pada bagian tubuh sapi,

termasuk bagian buntutnya, terdapat warna putih berukuran cukup besar, 4) Bintangan, jika pada bagian tubuh sapi terdapat bintik-bintik/tutul-tutul warna putih, 5) Barus, jika pada bagian tengah kepala terdapat warna putih berbentuk segi empat, 6) Kedawuk, jika warna tubuh sapi berwarna abu, 7)

Potik, jika warna sapi seluruhnya berwarna

putih, 8) Bereng, jika warna tubuh sapi berwarna hitam sejak lahir baik jantan maupun betina walaupun bagian lutut ke bawah berwarna putih, 9) Bejaler, jika bagian tubuh sapi sesuai persyaratan bibit namun bagian lutut ke bawah berwarna merah atau hitam, 10) Gading, jika sapi seluruhnya berwarna merah kekuningan, mirip kelapa gading. Jarang ditemukan sapi Bali yang memiliki pola warna tunggal, kebanyakan adalah kombinasi dari dua atau lebih pola warna tunggal. Pada Gambar 2 disampaikan pola-pola warna pada sapi Bali di Kabupaten Lombok Barat. Di wilayah yang sama, Sudrana, dkk., (1989) melaporkan 8 (delapan) warna menyimpang tunggal, dalam bahasa Sasak, yakni 1)

Seransam yang merupakan campuran warna putih dengan warna merah atau hitam, 2) Sonteng, 3) Kedawuk, 4) Belang, 5) Gading, 6) Panjut, 7) Bereng, dan 8)

Garit. Dari hasil penelitian ini terdapat

penambahan macam pola warna

menyimpang tunggal pada sapi Bali di Kabupaten Lombok Barat yakni dari 8 (delapan) pada tahun 1989 (Sudrana, dkk.,

1989) menjadi 10 pola warna pada tahun 2013, namun sebaliknya terjadi penurunan jumlah sapi yang berwarna menyimpang yakni dari 39,99 % menjadi 11,80%. Penyebab pasti terjadinya penambahan jumlah pola warna menyimpang belum diketahui namun diduga akibat inbreeding dalam waktu cukup lama. Dugaan ini berdasar dipeliharanya ternak jantan sampai umur dewasa, yakni di atas 2 (dua) tahun sehingga berpeluang akan dijadikan pejantan untuk mengawini induknya. Untuk

penurunan jumlah sapi berwarna

menyimpang telah dijelaskan pada struktur populasi.

Di Kabupaten Lombok Tengah, Prasetyo, dkk., (1992) melaporkan terdapat 8 (delapan) pola warna menyimpang tunggal pada sapi Bali yakni, bintangan, panjut,

bereng, belang, seransam, kedawuk, gading, dan sonteng. Tentang penyimpangan warna pada sapi Bali, Darmadja (1980) membedakan antara penyimpangan yang disebabkan oleh faktor genetik sehingga diwariskan kepada keturunannya dan yang disebabkan oleh faktor non genetik sehingga tidak diturunkan kepada keturunannya. Pola warna menyimpang yang bersifat menurun diantaranya adalah pola warna: 1) Putih (albino) yang disebabkan karena pada kulit tidak terdapat pigmen, 2) Gading, yang diduga menurun secara resesif, warna kulit dan bulu kekuning-kuningan yang nampak jelas pada bagian moncong 3) Injin (melanism) yang menurun secara dominan. Perbedaan injin dengan yang normal untuk sapi jantan adalah pada warna bulu telinga bagian dalam dan kulit bibir. Warna bulu pada injin, warna bulu telinga bagian dalam abu-abu dan bibir bawah berwarna hitam, sedangkan yang normal tetap putih, 4)

Poleng, diduga menurun secara dominan,

pada tubuh terdapat bercak warna putih, 5)

Cundang, diduga menurun secara dominan,

pada bagian muka berwarna atau terdapat gugus warna putih, dan 6) Panjut, pola pewarisannya belum jelas, warna kibasan ekor putih. Warna menyimpang yang nampaknya tidak menurun adalah: 1) Abu-abu, yakni seluruh tubuh sapi berwarna abu-abu termasuk bulu putih pada keempat kakinya di bawah persendian loncat, 2)

(7)

Tul-60

tul, yakni terdapat tul-tul warna abu-abu

pada tubuh sapi, white mirror pada bagian pantat dan white stocking pada keempat kaki bagian bawah persendian loncat nampak tidak jelas.

Dari Gambar 2, pola warna kombinasi belang panjut (Gambar 2.2), bintangan

bereng (Gambar 2.3), sonteng belang panjut dan sonteng bejaler (Gambar 2.9)

Berdasar pengertian yang

dikemukakan oleh Sudrana, dkk., (1989) dan Darmadja (1980) untuk nama-nama warna menyimpang pada sapi Bali, dapat dibuat padanan namanya (Tabel 4.).

Gambar 2. Pola Warna Menyimpang dan Sesuai Standar (Murni) Pada Sapi Bali

1.Gading

2.Belang

3.Panjut

4.Bintangan

5.Potik

(8)

61

6.Bereng

Betina murni

7.Sonteng

8.Bejaler

(9)

62

Tabel 4. Padanan Nama untuk Warna Menyimpang pada Sapi Bali Berdasar Bahasa Daerah

No. Bahasa Sasak (Sudrana, dkk., 1989) Bahasa Bali (Darmadja, 1980)

1. Panjut Panjut 2. Bereng Injin 3. Gading Gading 4. Sonteng Cundang 5. Potik Putih 6. Kedawuk Abu 7. Bintangan Tul-tul 8. Belang Poleng 9. Barus --- 10. Bejaler ---

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasar hasil penelitian dan pembahasan maka, kesimpulan dari penelitian ini adalah :

1. Terdapat 10 warna menyimpang tunggal pada sapi Bali di Kabupaten Lombok Barat yang dalam bahasa Sasak disebut

sonteng, gading, panjut, belang, potik, kedawuk, bintangan, bejaler, dan

bereng. Jumlah ini meningkat dibanding

yang dijumpai pada tahun 1989 yang berjumlah 8 (delapan) pola.

2. Terjadi penurunan jumlah sapi Bali dengan pola warna menyimpang dari 33,99% pada tahun 1989 menjadi 11,80%.

Saran

Agar Daerah Provinsi NTB tetap menjadi daerah pemasok terpercaya sapi Bali bibit maka keberadaan warna menyimpang baik dalam jumlah maupun pola warna diupayakan agar terus menurun dari tahun ke tahun. Pemantauan pola warna menyimpang perlu dilakukan secara

berkala untuk mengetahui

perkembangannya. Selain itu, perlu dikaji secara ilmiah penyebab munculnya pola warna menyimpang.

UCAPAN TERIM KASIH

Tim peneliti mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah menyebabkan penelitian ini terlaksana sampai selesai, terutama kepada KCD

lokasi penelitian dan stafnya yakni Sdr. Aknan (Kec. Narmada), Suhadi (Kec. Kuripan), dan Sdr. L. Zuliadi (Kec. Lembar) serta Sdr. Alimudin, mahasiswa Fakultas Peternakan Unram.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, 1982. Pembinaan Sumber Bibit Sapi Potong. Direktorat Bina Produksi Peternakan, Ditjenak, Deptan.

………., 2009. Persyaratan Mutu Bibit Sapi Bali. Direktorat Perbibitan, Direktorat Jenderal Peternakan. SNI ICS 65.020.30, Mengacu Pada SNI 7355:2008. Seri Standar Mutu Bibit/Benih.

………., 2010. Perbibitan Sapi Bali. Pergub NTB No.17.

………., 2012. Lombok Barat Dalam Angka (Lmobok Barat in Figure), Biro Pusat Statistik Lombok Barat.

………..,2013. Keputusan Gubernur NTB No.166 Tahun 2013 Tentang Harga Dasar Bibit Sapid an Kerbau.

Arman, C., IP. Sudrana, IW. Karda, I.B. Dania, H. Poerwoto, L. Wirapribadi, L.A. Zainuri, M. Ashari, dan M.P. Nugroho, 2006. Profil Produksi, Reproduksi, dan Produktivitas Ternak Sapi Bali Di Nusa Tenggara

(10)

63

Barat. Kerjasama Dinas

Peternakan Provinsi NTB dengan Fak. Peternakan Unram. Laporan Akhir.

Dahlanuddin, K. Puspadi, Y.A. Sutaryono, A. Muzani, L.A. Zainuri, Hermansyah, C. McDonald, J. Corfield, M. van Wensveen, dan Bruce Pengelly, 2010. Laporan Penelitian ACIAR (Tidak dipublikasikan).

Darmadja, S.G.N.N., 1980. Setengah Abad Peternakan Sapi Bali Tradisional dalam Ekosistem Pertanian di Bali. Disertasi Universitas Padjadjaran, Bandung.

Masson, I.L., dan V. Buvanendran. 1982. Breeding Plan for Ruminant Livestock in the Tropics. FAO Animal Production and Health Paper, FAO of United Nation, Rome.

Prasetyo, S., IP. Sudrana, L.M. Kasip, Lestari, dan R. Jan. 1992. Pengamatan Sifat Kualitatif dan Kuantitatif pada Sapi Bali. Fak. Peternakan Unram. Laporan Penelitian.

Sudrana. IP,. C. Syamsuddin, L.M. Kasip, T. Sugiharto, dan Lestari. 1989. Pengamatan Sifat Genetik Sapi Bali di Kabupaten Lombok Barat.

Fak. Peternakan. Laporan

Penelitian.

Sutaryono, Y.A., A.S. Dradjat, Dahlanuddin, IP. Sudrana, Suhubdy, H. Poerwoto, M. Anwar, dan O. Saputra, 2003. Pembibitan Sapi Bali Di Nusa Tenggara Barat. Dokumen Perencanaan. Dinas Peternakan Nusa Tenggara Barat-Fakultas Peternakan Unram. Warwick, E.J., M. Astuti, W. Hardjosubroto.

1984. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University Press.

Gambar

Tabel 3. Struktur Kepemilikan Sapi Bali
Gambar 2. Pola Warna Menyimpang dan Sesuai Standar (Murni) Pada Sapi Bali

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui diversitas genetik intra dan inter spesies sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh berdasarkan analisis

Pada sapi bali jantan, silak tanduk yang paling banyak ditemukan adalah

sifat kuantitatif yang diamati pada sapi Bali jantan maupun betina umur &gt;1 tahun sampai ≤ 2 tahun (gigi I1) antara Kabupaten Raja Ampat dengan sapi Bali pada 10 Kabupaten

Kesimpulan penelitian ini adalah sapi bali dengan warna bulu merah bata kekuningan lebih rentan terhadap penyakit Jembrana dari pada yang berwarna merah bata kecoklatan..

Peningkatan mutu genetik sapi Bali disarankan menggunakan seleksi system inti terbuka ( open nucleus breeding system ) yang melibatkan peternakan rakyat dan Balai

Hasil penelitian terhadap responden peternak sapi bali yang berada di Kabupaten Lombok Tengah seperti yang tercantum pada Tabel 5 menunjukkan bahwa, 60% responden menyatakan

Jarak genetik sapi bali dan banteng yang telah dianalisis, dibandingkan juga dengan jarak genetik Bos taurus, Bos indicus, Bos javanicus, dan Bos gaurus yang

Peningkatan mutu genetik sapi Bali disarankan menggunakan seleksi system inti terbuka (open nucleus breeding system) yang melibatkan peternakan rakyat dan Balai Pembibitan