• Tidak ada hasil yang ditemukan

DETERMINATION OF CONTROL THRESHOLD OF Plutella xylostella L. ON CABBAGE BASED ON THE CATCH OF MOTHS USING SEX PHEROMONE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DETERMINATION OF CONTROL THRESHOLD OF Plutella xylostella L. ON CABBAGE BASED ON THE CATCH OF MOTHS USING SEX PHEROMONE"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Bandung, 2 Maret 2019 333 PENETAPAN AMBANG PENGENDALIAN HAMA Plutella xylostella L. PADA TANAMAN KUBIS

BERDASARKAN TANGKAPAN NGENGAT DENGAN PERANGKAP BERFEROMON SEKS

DETERMINATION OF CONTROL THRESHOLD OF Plutella xylostella L. ON CABBAGE

BASED ON THE CATCH OF MOTHS USING SEX PHEROMONE

Laksminiwati Prabaningrum1, Tonny K. Moekasan1, I Made Samudera 2,

1 BALAI PENELITIAN TANAMAN SAYURAN, Jl. Tangkuban Parahu No. 517, Lembang – Bandung Barat 40391

2 BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIOTEKNOLOGI, DAN SUMBER DAYA GENETIK PERTANIAN, Jl. Tentara Pelajar No. 3A, Kota Bogor 1611

Korespondensi: laksminiwati@yahoo.co.id

ABSTRAK

Ambang pengendalian (AP) yang selama ini ditetapkan pada tanaman kubis untuk hama P. xylostella adalah berdasarkan populasi ulat. Namun ambang pengendalian tersebut sulit diterapkan oleh petani karena membutuhkan keterampilan yang memadai. Penelitian ini bertujuan menetapkan alternatif ambang pengendalian yang secara teknis lebih praktis, yaitu berdasarkan tangkapan ngengat menggunakan perangkap berferomon seks. Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan Margahayu (1.250 m dpl.), Balai Penelitian Tanaman Sayuran di Lembang dari bulan Maret sampai Juli 2017. Penelitian disusun menggunakan rancangan acak kelompok dengan sembilan macam perlakuan dan tiga ulangan. Macam perlakuan yang diuji ialah: (A) AP 0,5 larva P. xylostella/tanaman, (B) AP 1 ngengat P. xylostella/5 perangkap/minggu, (C) AP 2 ngengat P. xylostella/5 perangkap/minggu, (D) AP 3 ngengat P. xylostella/5 perangkap/minggu, (E) AP 4 ngengat P. xylostella/5 perangkap/ minggu, (F) AP 5 ngengat P. xylostella/5 perangkap/minggu, (G) AP 6 ngengat P. xylostella /5 perangkap/minggu, (H) Penyemprotan rutin 1x/minggu, dan (I) Kontrol (tanpa penyemprotan insektisida). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ambang pengendalian berdasarkan tangkapan perangkap berferomon seks P. xylostella sebesar 4 ngengat/ 5 perangkap/minggu dapat digunakan sebagai landasan penggunaan iinsektisida pada budidaya kubis. Dengan penerapan ambang tersebut, aplikasi insektisida dapat ditekan sebesar 33,33% dengan hasil panen tetap tinggi sebesar 196,67 kg/30 m2.

Kata kunci : Ambang pengendalian Kubis, perangkap seks berferomon, ulat daun kubis (Plutella xylostella L.)

ABSTRACT

The control threshold (CT) that has been established on cabbage plants for P. xylostella is based on the larvae population. However, the control threshold is difficult to implement by farmers because it requires adequate skills. This study aimed to determine an alternative control threshold that is technically more practical, namely based on the catch of moths using sex pheromone traps. The experiment was conducted in Margahayu experimental garden (1250 m asl.), Indonesian Vegetable Research Institute in Lembang from March to July 2017.

(2)

Bandung, 2 Maret 2019 334 The study was prepared using a randomized block design with nine treatments and three replications. The treatments tested were: (A) CT of 0.5 larvae of P. xylostella, (B) CT of 1 moth of P. xylostella/5 traps/week, (C) CT of 2 moths of P. xylostella/5 traps/week, (D) CT of 3 moths of P. xylostella/5 traps/week, (E) CT of 4 moths P. xylostella/5 traps/week, (F) CT of 5 moths of P. xylostella/5 traps/week, (G) CT of 6 moths of P. xylostella/5 traps/week, (H) Routinely spraying 1x/week, and (I) Check (without insecticide spraying). The results showed that the control threshold based on the catch of P. xylostella moth using sex pheromone trap of 4 moths /5 traps/ week was able to be used as a foundation for insecticide application on cabbage cultivation. Implementation of the threshold could suppress the application of insecticide by 33.33% with the yield was still high of 196.67 kg /30 m2.

Keywords: Cabbage, control threshold diamondback moth (Plutella xylostella L.), sex pheromone trap

PENDAHULUAN

Kubis, Brassica oleracea var. capitata banyak diusahakan oleh petani di beberapa negara termasuk di Indonesia karena merupakan komoditas sayuran yang bernilai ekonomi tinggi. Kebutuhan kubis di Indonesia mencapai 1,37 juta ton dan hampir 100% dipasok dari produksi dalam negeri (Rosida et al., 2015). Usahatani kubis menguntungkan dengan R/C rasio sebesar 2,33 (Sadiyah dan Muljawan, 2011) dan 2,16 (Sari et al., 2013). Luas panen kubis di Indonesia sebesar 64.625 ha, dengan produksi sebesar 1.443.232 ton dan produktivitas sebesar 22,33 ton/ha (BPS dan Dirjen Hortikultura, 2015).

Salah satu kendala dalam budidaya kubis ialah serangan hama utama yaitu ulat daun kubis Plutella xylostella ( L.) yang dapat mengakibatkan kehilangan hasil 50-100% (Ayalew, 2007; Patra et al., 2013; Bopape et al., 2014; Daud et al., 2014; Stanikzi dan Thakur, 2016)). Munir et al. (2015) menyatakan bahwa P. xylostella bukan hanya merupakan hama yang sangat merusak, tetapi juga paling sulit dikendalikan. Pengendalian P. xylostella yang umum dilakukan oleh petani kubis adalah dengan menggunakan pestisida

kimia sintetis(Weinberger et al., 2009; Armah, 2011). Badii et al. (2013) melaporkan bahwa pada musim kemarau frekuensi penyemprotan insektisida oleh petani kubis mencapai 11-15 kali dan pada musim hujan 6-10 kali dengan menggunakan 3-4 jenis insektisida. Kondisi tersebut dikhawatirkan akan menyebabkan residu insektisida yang tinggi pada hasil panen kubis. Biaya pestisida pada budidaya kubis dilaporkan sebesar 19,96% dari total biaya produksi (Masithoh et al., 2013), sebesar 25-30% (Dadang et al., 2011) dan sebesar 40,84% (Kusumaningsih, 2012). Berarti perlu dilakukan pengurangan penggunaan faktor produksi, dan salah satu di antaranya ialah biaya pestisida.

Menurut Nasir et al., (2010); Zalucki et al., (2012) dan Osei et al., (2013) penerapan teknologi pengendalian hama terpadu (PHT), merupakan salah satu usaha untuk menekan penggunaan pestisida yang berlebih yang bertujuan untuk mengurangi

pencemaran lingkungan dan

mengefisienkan biaya produksi. Salah satu komponen PHT ialah ambang pengendalian. Ambang pengendalian merupakan tingkat populasi atau intensitas serangan hama yang memerlukan tindakan pengendalian agar tidak menyebabkan kerugian secara

(3)

Bandung, 2 Maret 2019 335 ekonomi. Tanaman mempunyai

kemampuan untuk menoleransi kerusakan yang disebabkan oleh serangan hama. Dengan demikian sampai batas tertentu tanaman tidak perlu selalu diproteksi dengan pestisida. Oleh karena itu kebutuhan pengendalian dapat dikurangi, sehingga biaya produksi dapat dihemat dan musuh alami dapat berkembang (Ahmed et al., 2002; Naranjo et al., 2002).

Ambang pengendalian yang selama ini ditetapkan untuk hama P. xylostella adalah berdasarkan populasi ulat, yaitu sebesar 0,5 ulat/tanaman. Penerapan ambang pengendalian tersebut mampu menekan jumlah aplikasi insektisida sebesar 82% dan volume insektisida sebesar 90-95% dengan hasil panen lebih tinggi 19-57% dibandingkan dengan penyemprotan rutin 2 kali/minggu (Sastrosiswojo et al., 2001). Untuk menerapkan ambang pengendalian tersebut dibutuhkan keterampilan yang memadai, sehingga masih sulit dilakukan di tingkat petani. Grzywacs et al. (2010) melaporkan bahwa meskipun telah lebih dari 25% petani di Jawa Barat mengikuti pelatihan PHT, tetapi hanya 5-10% petani yang mengaplikasikan ambang pengendalian tersebut. Hal itu disebabkan oleh ambang pengendalian berdasarkan penghitungan ulat tersebut tidak praktis. Oleh karena itu perlu dicari alternatif ambang pengendalian yang secara teknis lebih mudah diadopsi oleh petani.

Ngengat bergantung pada feromon seks untuk mengenali dan menemukan pasangannya. Perilaku tersebut menginspirasi pembuatan perangkap berferomon sebagai alat untuk menangkap serangga dewasa yang terbang (Prasannakumar et al., 2009; Sun et al., 2013). Penggunaan perangkap berferomon P. xylostella merupakan cara yang

sederhana dan praktis untuk memantau kepadatan populasi serangga hama. Reddy dan Guerrero (2001) serta Sulifoa dan Ebenebe (2007) melaporkan bahwa perangkap berferomon seks digunakan sebagai acuan dalam menerapkan ambang pengendalian P. xylostella. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa terdapat korelasi yang baik antara populasi larva, tingkat infestasi dan estimasi hasil dengan jumlah ngengat yang tertangkap. Nofemela (2010) dan Dang et al. (2016) menyatakan bahwa pemantauan dengan perangkap berferomon dapat digunakan untuk menduga kepadatan populasi larva P. xylostella.

Feromon seks sintetis P. xylostella pada saat ini telah diproduksi secara komersial (Michereff et al., 2000; Hou et al., 2001; Evenden dan Gries, 2010; Adati et al., 2013; Miluch et al., 2014) dan digunakan secara luas sebagai alat pemantau populasi dan pengendalian. Di Indonesia, perangkap berferomon seks tersebut telah dibuat dan dikembangkan oleh Balai Besar Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Namun penggunaannya sebagai acuan dalam penerapan ambang pengendalian hama P. xylostella belum pernah dilaporkan.

Penelitian ini bertujuan menetapkan ambang pengendalian hama Plutella xylostella berdasarkan tangkapan ngengat oleh perangkap berferomon seks. Hipotesis yang diajukan ialah bahwa hasil tangkapan ngengat menggunakan perangkap berferomon seks tersebut dapat dijadikan acuan saat pengendalian insektisida untuk mengendalikan hama P. xylostella.

(4)

Bandung, 2 Maret 2019 336 BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan Margahayu (1.250 m dpl.), Balai Penelitian Tanaman Sayuran di Lembang dari bulan Maret sampai Juli 2017. Penelitian disusun menggunakan rancangan acak kelompok dengan sembilan macam perlakuan dan tiga ulangan. Macam perlakuan ambang pengendalian (AP) yang diuji ialah: A. AP 0,5 larva P. xylostella/tanaman, B. AP 1 ngengat P. xylostella/5 perangkap/minggu, C. AP 2 ngengat P. xylostella/5 perangkap/minggu, D. AP 3 ngengat P. xylostella/5 perangkap/minggu, E. AP 4 ngengat P. xylostella/5 perangkap/minggu, F. AP 5 ngengat P. xylostella/5 perangkap/minggu, G. AP 6 ngengat P. xylostella /5 perangkap/minggu,

H. Penyemprotan rutin 1x/ minggu, I. Kontrol (tanpa penyemprotan

insektisida).

Penelitian ini menggunakan kubis hibrida Green Coronet. Petak percobaan berukuran 5 m x 6 m = 30 m2. Kubis ditanam dengan sistem dua baris dengan jarak tanam 40 cm x 60 cm. Tiap petak perlakuan terdiri atas 120 tanaman. Pupuk dasar kubis terdiri atas pupuk kandang sebanyak 20 ton/ha, pupuk N sebanyak 50,5 kg/ha, P2O5 sebanyak 90 kg/ha, dan K2O sebanyak 120 kg/ha. Pupuk susulan diberikan pada umur 30 hari setelah tanam dengan dosis 50,5 kg N/ha.

Perangkap lekat berferomon seks P. xylostella sebanyak 5 buah dipasang secara diagonal pada saat penanaman kubis (Gambar 1). Perangkap berferomon seks P.

xylostella yang digunakan diproduksi oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB Biogen), Badan Litbang Pertanian. Penggantian kapsul feromon seks dilakukan setiap 1,5 bulan. Jika nilai ambang pada setiap perlakuan tercapai, dilakukan penyemprotan dengan insektisida Emamektin benzoat (0,1 g/l).

Gambar 1. Perangkap lekat berferomon seks P.

xylostella (atas) dan tata letaknya di

pertanaman kubis (bawah)

Pengamatan dilakukan mulai tanaman kubis berumur dua minggu. Interval pengamatan berikutnya satu minggu. Jumlah tanaman contoh setiap petak perlakuan adalah sebanyak 10 tanaman contoh yang ditetapkan secara acak sistematis. Parameter pengamatan yang diamati pada tanaman contoh meliputi :

(1) Populasi ngengat P. xylostella pada 5 perangkap,

(5)

Bandung, 2 Maret 2019 337 (3) Intensitas serangan P. xylostella,

yang dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :

 (n x v)

P = ___________ X 100% N x Z

P = Intensitas serangan (%) v = Nilai (skor) kerusakan tanaman

berdasarkan luas daun terserang pada setiap tanaman, yaitu :

0 = Daun tidak rusak

1 = Kerusakan daun >0 -  25% 3 = Kerusakan daun >25-  50% 5 = Kerusakan daun >50-  75% 7 = Kerusakan daun > 75% n = Jumlah tanaman yang memiliki nilai

kerusakan daun (v) yang sama Z = Nilai (skor) tertinggi (v = 5) N = Jumlah tanaman yang diamati.

Ngengat yang tertangkap dihitung setiap minggu bersamaan dengan pergantian air sabun. Hal itu dilakukan agar aroma feromon seks tidak terganggu oleh bau bangkai ngengat yang tertangkap. Analisis sidik ragam dilakukan terhadap semua data yang terkumpul. Penghitungan anova menggunakan perangkat lunak PKBTStat-01. Antar perlakuan yang menunjukkan perbedaan yang nyata dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji LSD pada taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN Ngengat P. xylostella pada perangkap berferomon seks

Banyaknya ngengat P. xylostella yang tertangkap pada perangkap berferomon seks disajikan pada Gambar 2. Banyaknya ngengat yang tertangkap berfluktuasi, tetapi cenderung terus meningkat. Menurut Ahmad et al. (2015), populasi P.

xylostella berkorelasi negatif dengan curah hujan. Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa selama penanaman kubis, dari bulan April hingga Juni 2017 curah hujan menurun. Dengan demikian dapat dimengerti jika populasi hama semakin meningkat. Banyaknya ngengat P. xylostella yang tertangkap (Gambar 2) sejalan dengan populasi ulat daun kubis P. xylostella pada tanaman (Tabel 2). Kondisi itu sesuai dengan hasil penelitian Suliofa dan Ebenebe (2007) dan Miluch et al. (2013). Hal tersebut menunjukkan bahwa pemantauan dengan perangkap berferomon seks dapat digunakan untuk menduga kepadatan populasi ulat daun kubis.

Populasi ulat daun kubis P. xylostella Secara umum tampak bahwa populasi ulat daun kubis di semua perlakuan yang diuji (Tabel 2) cenderung meningkat dengan bertambahnya umur tanaman kubis sampai 84 hari setelah tanam. Yuliadhi et al. (2015) dan Ahmad dan Ansari (2010) melaporkan bahwa populasi ulat daun kubis ditemukan sejak awal penanaman dan meningkat terus hingga mencapai puncaknya pada minggu ke-5 hingga ke-7, selanjutnya mengalami penurunan ketika tanaman mulai membentuk krop, karena dominansi hama digantikan oleh ulat krop kubis Crocidolomia binotalis. Pola fluktuasi populasi semacam itu tidak terjadi pada penelitian ini, karena puncak populasi ulat daun kubis P. xylostella terjadi pada 84 HST, menjelang akhir penanaman. Hal itu diduga terjadi karena populasi ulat krop kubis C. binotalis sangat rendah, sehingga ulat daun kubis P. xylostella tidak mendapatkan pesaing.

(6)

Bandung, 2 Maret 2019 338 Gambar 2. Ngengat P. xylostella yang tertangkap pada 5 perangkap berferomon seks

Tabel 1. Jumlah hari hujan, curah hujan, suhu, dan kelembaban

Bulan Jumlah hari hujan

Curah hujan (mm) Suhu (oC) Kelembaban (%)

Harian Min. Max.

Maret 17 12,27 20,98 14,45 24,74 88,83

April 17 12,68 20,95 14,51 24,15 88,84

Mei 6 4,06 20,99 15,45 25,32 90,48

(7)

Bandung, 2 Maret 2019 339

Tabel 2. Populasi larva P. xylostella

Perlakuan

Populasi larva Plutella xylostella per tanaman contoh menurut umur tanaman (HST)

14 21 28 35 42 49

A. AP: P. xylostella (0.5 larva/tanaman) 0,17 a 0,67 a 0,37 b 1,33 abc 0,63 b 0,60 b B. AP : P. xylostella (1 ngengat/5

perangkap/minggu) 0,10 a 0,10 cd 0,33 b 0,87 bc 0,27 c 0,07 c

C. AP : P. xylostella (2 ngengat/5

perangkap/minggu) 0,17 a 0,17 c 0,67 ab 1,80 ab 0,27 c 0,37 bc

D. AP: P. xylostella (3 ngengat/5

perangkap/minggu) 0,10 a 0,10 cd 0,53 ab 1,50 ab 0,37 bc 0,27 bc E. AP : P. xylostella (4 ngengat/5 perangkap/minggu) 0,17 a 0,10 cd 0,73 ab 1,73 ab 0,23 c 0,33 bc F. AP : P. xylostella (5 ngengat/5 perangkap/minggu) 0,13 a 0,20 c 1,00 ab 1,37 abc 0,23 c 0,23 bc G. AP : P. xylostella (6 ngengat/5 perangkap/minggu) 0,10 a 0,10 cd 0,73 ab 2,30 a 0,17 c 0,37 bc

H. Penyemprotan insektisida secara rutin 1 x

minggu 0,13 a 0,00 d 0,13 b 0,27 c 0,20 c 0,13 c

I. Tanpa insektisida 0,23 a 0,47 b 1,37 a 1,87 ab 1,70 a 1,83 a

LSD 5% 0,18 0,12 0,91 1,15 0,34 0,38

CV (%) 8,18 4,89 11,03 14,84 9,92 12,23

Perlakuan/ Treatment

Populasi larva Plutella xylostella per tanaman contoh menurut umur tanaman (HST)

56 63 70 77 84 91

A. AP: P. xylostella (0.5 larva/tanaman) 0,57 ab 0,63 b 0,87 bc 1,27 a 2,30 cd 1,93 b B. AP : P. xylostella (1 ngengat/5

perangkap/minggu) 0,33 b 0,10 c 0,47 bc 1,53 a 3,63 abc 1,20 b

C. AP : P. xylostella (2 ngengat/5

perangkap/minggu) 0,27 b 0,07 c 0,77 bc 1,60 a 2,20 cd 1,17 b

D. D: AP: P. xylostella (3 ngengat/5

perangkap/minggu) 0,50 ab 0,13 c 0,93 bc 1,30 a 3,87 ab 1,20 b E. AP : P. xylostella (4 ngengat/5 perangkap/minggu) 0,60 ab 0,10 c 1,10 b 1,80 a 3,17 bcd 1,33 b F. AP : P. xylostella (5 ngengat/5 perangkap/minggu) 1,13 ab 0,17 c 1,13 b 1,13 a 2,93 bcd 0,87 b G. AP : P. xylostella (6 ngengat/5 perangkap/minggu) 0,37 b 0,30 bc 0,47 bc 1,50 a 2,37 cd 0,80 b

H. Penyemprotan insektisida secara rutin 1 x

minggu 0,27 b 0,00 c 0,27 c 1,77 a 1,83 d 0,67 b I. Tanpa insektisida 1,43 a 2,27 a 2,37 a 2,33 a 4,80 a 2,67 a LSD 5% 1,01 0,33 0,77 1,27 1,45 1,11 CV (%) 12,54 10,35 14,12 7,88 12,79 6,94  AP = ambang pengendalian Data ditransformasi ke √ (x + 0.5)

HST = Hari setelah tanam

 Angka rata-rata perlakuan pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata menurut uji Beda Nyata Terkecil pada taraf 5%.

(8)

Bandung, 2 Maret 2019 340 Tabel/Table 3. Jumah penyemprotan insektisida, intensitas serangan P. xylostella dan hasil

panen

Perlakuan

Penyemprotan insektisida Intensitas serangan P. xylostella pada umur 91 HST (%) ** Hasil (kg/30 m2) Jumlah penyemprotan insektisida Efisiensi penyemprotan insektisida (%) * A. AP: P. xylostella (0.5 larva/tanaman) 10 16,67 4,07 bc 189,67 b B. AP : P. xylostella (1 ngengat/5 perangkap/minggu) 12 0,00 3,33 bcd 207,33 a C. AP : P. xylostella (2 ngengat/5 perangkap/minggu) 10 16,67 3,70 bcd 191,33 b

D. AP: P. xylostella (3 ngengat/5

perangkap/minggu) 8 33,33 5,18 b 196,00 ab E. AP : P. xylostella (4 ngengat/5 perangkap/minggu) 8 33,33 5,18 b 196,67 ab F. AP : P. xylostella (5 ngengat/5 perangkap/minggu) 7 41,67 1,85 cd 186,67 b G. AP : P. xylostella (6 ngengat/5 perangkap/minggu) 7 41,67 3,70 bcd 187,33 b

H. Penyemprotan insektisida secara

rutin 1 x minggu 12 0,00 0,74 d 208,00 a

I. Tanpa insektisida 0 100,00 55,56 a 84,67 c

LSD 5% - - 2,97 15,08

CV (%) - - 8,52 4,76

AP = ambang pengendalian HST = Hari setelah tanam

Dibandingkan dengan penyemprotan insektisida secara rutin 1 x per minggu ** Data ditransformasi ke arc sin √ x

 Angka rata-rata perlakuan pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata menurut uji Beda Nyata Terkecil pada taraf 5%.

Aplikasi insektisida dan hasil panen kubis Ambang pengendalian 0,5 larva P. xylostella tercapai mulai 21 hari setelah tanam (Tabel 2). Ambang pengendalian 1 ngengat/minggu tercapai lebih awal, yaitu sejak 14 hari setelah tanam dan berlanjut hingga pengamatan terakhir. Ambang pengendalian 2 dan 3 ngengat/minggu masing-masing tercapai pada 21 dan 28 hari setelah tanam dan juga berlanjut sampai pengamatan terakhir. Sementara ambang

pengendalian 4, 5, dan 6 ngengat /minggu baru tercapai pada 42 hari setelah tanam (Gambar 2).

Perbedaan jumlah capaian ambang pengendalian di antara perlakuan mengakibatkan terjadinya perbedaan jumlah aplikasi insektisida (Tabel 3). Dibandingkan dengan aplikasi insektisida rutin, terdapat efisiensi penyemprotan insektisida pada perlakuan-perlakuan ambang pengendalian, kecuali perlakuan

(9)

Bandung, 2 Maret 2019 341 ambang pengendalian 1 ngengat/minggu.

Meskipun terjadi pengurangan jumlah aplikasi insektisida, tetapi intensitas serangan pada perlakuan ambang pengendalian masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan serangannya pada perlakuan tanpa insektisida yang mencapai 55,56%.

Dengan efisiensi aplikasi insektisida sebesar 16,67%, hasil panen pada perlakuan ambang pengendalian 0,5 larva/tanaman setara dengan hasilnya pada perlakuan ambang pengendalian 5-6 ngengat/minggu yang efisiensinya mencapai 41,67%. Namun hasil panen pada perlakuan-perlakuan tersebut masih lebih rendah dari hasilnya pada perlakuan penyemprotan rutin 1x/minggu.

Hasil panen pada perlakuan ambang pengendalian 1 ngengat/minggu dan pada penyemprotan rutin 1x/minggu merupakan yang tertinggi, tetapi tidak berbeda nyata dengan hasilnya pada perlakuan ambang pengendalian 3-4 ngengat/minggu. Efisiensi aplikasi insektisida pada perlakuan ambang pengendalian 3 - 4 ngengat/ minggu mencapai 33,33%, sementara dengan ambang pengendalian 1 ngengat/minggu tidak terjadi efisiensi karena jumlah aplikasi insektisida pada perlakuan tersebut sama dengan penyemprotan rutin 1xminggu. Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa penerapan ambang pengendalian berdasarkan tangkapan 3-4 ngengat/minggu mampu lebih menghemat penggunaan insektisida daripada perlakuan ambang pengendalian lainnya tanpa mengurangi hasil panen. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil penelitian Bradley et al. (1998) yaitu bahwa penggunaan ambang pengendalian berdasarkan hasil tangkapan oleh perangkap berferomon seks mampu

mengurangi biaya pengendalian tanpa mengubah risiko kerusakan tanaman. Hallet dan Sears (2013) juga menyatakan bahwa dengan penggunaan perangkap berferomon seks, biaya pengendalian menjadi lebih ekonomis.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa ambang pengendalian berdasarkan tangkapan ngengat menggunakan perangkap berferomon seks sebesar 4 ngengat/5 perangkap/minggu dapat digunakan sebagai landasan penggunaan iinsektisida pada budidaya kubis. Penerapan ambang pengendalian tersebut mampu menekan aplikasi insektisida sebesar 33,33% dengan hasil panen yang tetap tinggi sebesar 196,67 kg/30 m2.

DAFTAR PUSTAKA

Adati, T., S. Kato, W. Toriumi, I.M. Samudra. 2013. Field trials of synthetic sex pheromone lures for the large cabbage-heart caterpilllar moth, Crocidolomia pavonana (Lepidoptera: Crambidae) in Indonesia. Appl. Entomol. Zool. 48(2): doi: 10.1007/s13355-012-0157-z.

Ahmad, T., M.S. Ansari. 2010. Studies on seasonal abundance of diamondback moth Plutella xylostella (Lepidoptera, Yponomeutidae) on cauliflower crop. J. Plant Prot. Res. 50(3): 280-287. www.plantprotection. pl/PDF/50(3)/ JPPR_50(3)_08_Ahmad.pdf.

Ahmad, B., A.U.R. Saljoqi, M. Saeed, F. Ullah, I.A. Khan. 2015. Population dynamics of Plutella xylostella (L.) in cauliflower and its correlation with

(10)

Bandung, 2 Maret 2019 342 weather parameters at Peshawar,

Pakistan. JEZS 3(1):144-148. www.entomoljournal.com.

Ahmed, M.M., A.M. Elhassan, H.O. Kannan. 2002. Use of combined economic threshold level to control insect pests. JARTS 103(2).

Armah, F.A. 2011. Assesment of pesticide residues in vegetables at the Farm Gate: Cabbage (Brassica oleracea ) cultivation in Cape Coast, Ghana.Res. J. Env. Toxicology 5(3):180-202. Ayalew, G. 2007.Comparison of yield loss on

cabbage from diamondback moth, Plutella xylostella L. (Lepidoptera: Plutellidae) using two insecticides. Crop Prot. 25, (9): 915-919.

Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura. 2015 Produksi, luas panen dan produktivitas sayuran di Indonesia. Diunduh 7 Desember 2016,

<http://www.pertanian.go.id/indikat or/tabel-2-prod-lspn-prodvitas-horti.pdf>.

Badii, K.B., C Adarkwah, J.A. Nboyine. 2013. Insecticide use in cabbage pest management in Tamale Metropolis of Ghana. Greener Journal of Agric. Sci. 3(5): 403-411.

Bopape, M.J., R.S. Nofemela, M.S. Mosiane, D.M. Modise. 2014. Effects of a selective and broadspectrum insecticide on parasitism rates of Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Plutellidae) and species richness of its primary parasitoids. African Entomology 22: 115-126.

Bradley, S.J., J.T.S. Walker, C.H. Wearing, B.W. Shaw, A.J. Hodson.1998. The use of pheromone traps for leafroller action threshold in pipfruit. Proc. 51st N.Z. Plant Prpt. Conf. 1998. pp.

173-178.

http://www.nzpps.org/terms_of_use. html.

Dadang, E.D. Fitriasari, D. Prijono. 2011. Field efficacy of two botanical insecticide formulations against cabbage insect pests, Crocidolomia pavonana (F) (Lepidoptera: Pyralidae) and Plutella xylostella (Lepidoptera: Yponomeutidae). J. ISSAAS 17(2): 38-47.

Dang, C.H., C.H. Nguyen, C. Im, T.D. Nguyen. 2016. Synthesis and application of pheromones for integrated pest management in Vietnam. In Integrated Pest Management: Environmentally sound pest management. pp.103-127, doi: 10.5772/63768.

Daud, M.F., I. Fauziah, Z. Rasdi, K. Fairuz, U. Zarim, S.A.R. Syeh-Abdul-Rahman, R. Ismail, M.N. Moh-Hanysyam, R. Norazliza. 2014. Asymmetry effect of intercropping non host crops between cabbage and climatic factor on the population of the diamondback moth (Plutella xylostella L.) and yield. Agriculture, Forestry and Fisheries 3(3): 171-177. Evenden, M.L., R. Gries. 2010. Assessment

of commercially available pheromone lures for monitoring diamondback moth (Lepidoptera: Plutellidae) in canola. J. Econ. Entomol. 103(3): 654-661.

Grzywacs, D., A. Rossbach, A. Rauf, D.A. Russel, R. Srinivasan, A.M. Shelton, A. 2010. Current control methods for diamondbackmoth and other brassica insect pests and prospects for improved management with lepidopteran-resistant Bt vegetable brassicas in Asia and Africa. Crop

(11)

Bandung, 2 Maret 2019 343 Prot. 29: 68-79. http:// doi.org/

10.1016/ j.cropro.2009.08.009. Hallet, R.H., M.K. Sears. 2013. Pheromone-

based action threshold for control of swede midge Contarinia nasturtii (Diptera: Cecidomyidae) and residual insecticide efficacy in cole crops. J. Econ. Entomol. 106(1): 267-276. http://doi.org/10.1603/EC12243. Hou, Y., X. Pang, G. Liang, M. You. 2001.

Control effect of Plutella xylostella with synthetic sex pheromone. Chinese J. Biol. Control: 2001-03. Kusumaningsih, R.D. 2012. Analisis efisiensi

ekonomi penggunaan faktor-faktor produksi pada usahatani kubis di Kabupaten Karanganyar. e-Jurnal Agrista-ISSN: 2302-1713. <http://agribisnis.fp.uns.ac.id>. Masithoh, S., W. Nahraeni, B. Prahari. 2013.

Analisis efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi usahatani kubis (Brassica oleracea) di Kertasari, Bandung, Jawa Barat. Jurnal Pertanian 4(2): 100-108.

Michereff, M.F.F., E.F. Vilela, M.M. Filho, A. Mafra-Neto. 2000. Synthetic sex pheromone use for field trapping of diamondback moth males. Pesq. Agropec. Bras. 35(10). Diunduh 6

November 2016.

http://dx.doi.org/10.1590/s0100-204x200000 1000002.

Miluch, C.E., L.M. Dosdall, M.L. Evenden. 2013. The potential for pheromone-based monitoring to predict larval population of diamondback moth, Plutella xylostella (L.) in canola (Brassica napus L.). Crop Prot. 45: 89-97.

http://doi.org/10.1016/j.cropro.2012. 11.023.

Miluch, C.E., L.M. Dosdall, M.L. Evenden. 2014. Factors influencing male Plutella xylostella (Lepidoptera: Plutellidae) capture rates in sex pheromone baited traps on canola in Western Canada. J. Econ. Entomol. 107(6): 2067-2070.

Munir, S., L.M. Dosdall, J.T. O’Donovan. 2015. Evolutionary ecology of diamondback moth Plutella xylostella (L.) and Diadegma insulare (Cresson) in North America: A review. Annual Research & Review in Biology 5(3): 189-206. doi: 10.9734/ARRB/2015/11834.

Naranjo, S.E., P.C. Ellsworth, C.C. Chu, T.J. Henneberry. 2002. Conservation of predatory arthropods in cotton: role of action thresholds for Bemisia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae). J. Econ. Entomol. 95: 682-691.

Nasir, S.M., M.A. Hairuddin, R. Alias. 2010. Economic benefit of sustainable agricultural production: The case of integrated pest management in cabbage production. Env. Asia 3: 168-174.

Nofemela, R.S. 2010. The ability of synthetic sex pheromone traps to forecast Plutella xylostella infestation depends on survival of immature stages. Entomologia Experimentalis et Applicata 136(3): 281-289.

Osei, M.K., K. Osei, H. Braimah, M.B. Mochiah, J.N. Berchie, G. Bolfrey-Arku, J.N.L. Lamptey. 2013. Practices and constraints to cabbage production in urban and periurban Ghana: Focus on Bong Ahafo and Ashanti region. Basic Res. J. Agric. Sci. and Rev. 2(1): 5-14.

Rosida, A., M. Sari, A.Qadir. 2015. Pendugaan vigor daya simpan benih

(12)

Bandung, 2 Maret 2019 344 kubis (Brassica oleracea L. var

capitata) menggunakan metode

pengusangan cepat dengan etanol. J. Hort. Indonesia 6(3): 152-160.

Patra, S., V.W. Dhote, S.K.F. Alam, B.C. Das, M.L. Chatterjee, A. Samantha. 2013. Population dynamics of major insect pests and their natural enemies on cabbage under new alluvial zone of West Bengal. J. Plant Prot. Sci. 5(1): 42-49.

Prasannakumar, N., A.K. Chakravarthy, L.V.Kumar, E. Gangappa. 2009.Field trials with pheromone traps on major lepidopterous insects of five vegetable crops. Pest Manag. in Hort. Ecosyst. 15(1): 17-27

Reddy, G.V.P., A. Guerrero. 2001. Optimum timing of insecticide application against diamondback moth Plutella xylostella in cole crops using threshold catches in sex pheromone traps. Pest Manag. Sci. 57(1): 90-94. Sa’diyah, A.A., R.E. Muljawan. 2011. Kajian

ekonomi usahatani kubis di Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo. Buana Sains 11(2): 103-108.

Sari, R.U. I.A. Wicaksono, D.P. Utami. 2013. Analisis usahatani kubis (Brassica oleracea) di Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang. Surya Agritama 2(1): 1-10. Sastrosiswojo, S. W. Setiawati, L. Prabaningrum, T.K. Moekasan, I. Sulastrini, R.E. Soeriatmadja, Z. Abidin. 2001. Ecological impact of Brassica IPM implementation in Indonesia. Proc. the 4th Int. Workshopon The Management of Diamondback Moth and Other Crucifer Pests, Melbourne, Australia. pp. 381-388.

Stanikzi, R., S. Thakur. 2016. Efficacy of chemical insecticides and botanicals in the management of diamondback moth (Plutella xylostella) in cabbage (Brassica oleracea var. capitata L.). Int. J. Multidisciplinary Res. Develop. 3(6): 101-104.

Sulifoa, J.B., A.A. Ebenebe. 2007. Evaluation of pheromone trapping of diamondback moth (Plutella xylostella) as a tool for monitoring larval infestation in cabbage crops in Samoa. The South Pacific J.Nat. Sci. 25(1): 43-46.

Sun, M., Y. Liu, W.B. Walker, C. Liu, K. Lin, S. Gu, Y. Zhang, J. Zhou, G. Wang, G. 2013. Identification and characterization of pheromone receptors and interplay between receptors and pheromone binding proteins in the diamondback moth, Plutella xylostella. PLoS ONE 8(4): e

62098. doi:

10.1371/journal.pone.0062098. Weinberger, K., R. Srinivasan. 2009.

Farmer’s management of cabbage and cauliflower pests in India and their approaches to crop protection. J. Asia-Pacific Entomology 12(4): 253-254.

Wibisono, H.2 011. Analisis efisiensi usahatani kubis. Diunduh 7 Desember 2016.

eprints.undip.ac.id/28080/1/Analisis_ Efisiensi_Usahatani_Kubis.pdf. Yuliadhi, K.A., I.W. Supartha, I.N. Wijaya,

Pudjianto. 2015.The population succession patterns of cabbage main pest Plutella xylostella L. and Crocidolomia pavonana Fab. at cabbage plantation. Int. J. Bioscience and Biotechnology 3(1): 37-40.

(13)

Bandung, 2 Maret 2019 345 Zalucki, M.P., A. Shabbir, R. Silva, D.

Adamsen, L. Shu-Sheng, M.J. Furlong. 2012. Estimating the economic cost of one of the world’s major insect pests, Plutella xylostella (Lepidoptera: Plutellidae): Just how long is a piece of string?. J. Econ. Entomol. 105(4): 1115-1129.

Gambar

Gambar  1.  Perangkap  lekat  berferomon  seks  P.
Tabel 1.  Jumlah hari hujan, curah hujan, suhu, dan kelembaban

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengoptimalisasi kinerja turbin kinetik roda tunggal, dalam penelitian ini digunakan turbin kinetik (poros vertikal), sudu berbentuk mangkok agar dapat menahan

Hingga akhir tahun target produksi tersebut diprediksi akan terlampaui seiring dengan adanya penambahan produksi sekitar 21,9 juta ton..  Sehubungan dengan

Berdasarkan perhitungan yang dilakukan menggunakan analisis jalur dapat dilakukan beberapa analisis, yaitu melihat pengaruh terhadap hubungan antara kinerja

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengkalibrasi prakiraan ensembel adalah Bayesian Model Averaging atau BMA, yang awalnya digunakan pada bidang sosial

Titik ini tidak muncul sebagai puncak yang jelas namun sebagai perluasan anomali dari baseline pada kurva DTA, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6 dan 7; Tg menunjukkan suhu

Pembuatan mesin pemintal benang sutera mengikuti beberapa tahapan yaitu: (a) Rangka utama, menggunakan besi holo 4 x 4 cm dipotong sesuai dengan ukuran,

Dalam penulisan ini terdapat tiga permasalahan, yaitu tentang mengapa diberikan perlindungan hukum terhadap Bank atas kredit yang diberikannya dengan jaminan

Dari hal tersebut diatas maka telah dilakukan suatu penelitian untuk mengekstrasi pektin pod husk kakao secara basah mengunakan Natrium hidroksida sebagai altenatif