• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. LANDASAN TEORI. 6 Universitas Kristen Petra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. LANDASAN TEORI. 6 Universitas Kristen Petra"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

2. LANDASAN TEORI

2.1 Teori Dasar 2.1.1 Teori Legitimasi

Teori legitimasi menggambarkan usaha perusahaan secara terus menerus dalam mencoba untuk meyakinkan bahwa kegiatan atau aktivitas yang dilakukan sudah sesuai dengan batasan dan norma-norma masyarakat dimana perusahaan beroperasi atau berada (Rawi dan Muchlish, 2010). Siregar (2018) mengutip dalam penelitian Suchman (1995) yang mengatakan bahwa legitimasi dapat dianggap sebagai upaya untuk menyamakan persepsi atau asumsi bahwa tindakan yang dilakukan oleh suatu entitas adalah merupakan tindakan yang diinginkan, pantas, ataupun sesuai dengan sistem norma, nilai, kepercayaan, dan definisi yang dikembangkan secara sosial

Teori legitimasi memberikan gagasan untuk perusahaan lebih mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku di masyarakat berkaitan dengan kegiatan usaha yang dilaksanakan perusahaan sehingga dapat berjalan dengan baik tanpa adanya konflik dimasyarakat maupun dilingkungan tempat beroperasi (Fitria, 2017). Oleh sebab itu, Sari (2018) mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa perusahaan memerlukan pengembangkan program Corporate Social Responsibility. Dengan adanya CSR diharapkan akan memberikan kontribusi positif, yang tidak merugikan masyarakat sekitar tempat perusahaan beroperasi sehingga keberadaan perusahaan dapat diterima dengan baik dan masyarakat sekitar tidak mempermasalahkan keberadaan perusahaan tersebut (Fitria, 2017).

2.1.2 Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR)

Konsep triple bottom line yang dikemukakan oleh John Elkington pada tahun 1997 dalam jurnal penelitian Hadi (2011), menyebutkan bahwa konsep triple

bottom line memberikan suatu terobosan besar bagi perkembangan CSR pada era

tahun 1990-an hingga sekarang yang sedang berada dalam masa perkembangan globalisasi. Konsep triple bottom line menjelaskan bahwa CSR memiliki tiga elemen penting yang terdiri dari, pertama, perusahaan memiliki tanggung jawab terhadap Profit, yaitu untuk meningkatkan pendapatan perusahaan. Kedua,

(2)

perusahaan memiliki tanggung jawab terhadap People, yaitu untuk memberikan kesejahteraan kepada karyawan dan masyarakat. Dan yang ketiga, perusahaan memiliki tanggungjawab terhadap Planet, yaitu untuk menjaga dan meningkatkan kualitas alam serta lingkungan dimana perusahaan tersebut beroperasi (Hadi, 2011). Dalam penelitian ini, yang dimaksud CSR senada dengan pendapat Sila dan Cek (2017) yang mengungkapkan bahwa sebagian besar definisi CSR mencangkup aspek sosial, lingkungan, stakeholders, etika, tata kelola, transparansi, keterlibatan masyarakat, nilai produk, praktik kerja dan perlindungan lingkungan, oleh karena itu, definisi pengungkapan CSR harus mencangkup dimensi yang melibatkan isu-isu sosial, lingkungan dan tata kelola atau yang sering disebut dengan istilah ESG (Environment, Social, Governance).

Pemilihan menggunakan ESG score sebagai alat ukur dari pengungkapan CSR dalam penelitian ini, dikarenakan ESG score merupakan hasil dari penilaian pihak independent yang dihasilkan oleh Bloomberg yang sangat peduli dengan reputasinya dalam memberkan data akurat (Syafrullah dan Muharam, 2017).

Bloomberg menghitung sejauh mana pengungkapan CSR melalui

lingkungan, sosial dan tata kelola dengan menggunakan ESG score (Giannarakis G., Konteos G., and Sariannidis N., 2014). Yu (2018) menyatakan bahwa skor pengungkapan ESG Bloomberg dirancang untuk mengukur jumlah data ESG yang dilaporkan perusahaan secara publik, dan tidak mengukur kinerja perusahaan. Melalui ESG score yang didapatkan dari bloomberg maka perusahaan dapat menilai praktik perusahaan dalam kebijakan lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan. Mendukung penelitian Yu (2018), Tamimi dan Sebastianelli (2017) dalam penelitiannya menyatakan bahwa semakin banyak informasi CSR yang diungkapkan oleh perusahaan maka skor ESG semakin tinggi.

Bloomberg menghitung ESG score dimulai pada skor minimum 0,1 untuk perusahaan yang sedikit dalam mengungkapkan data ESG nya sedikit hingga 100 untuk mereka yang mengungkapkan setiap informasi data yang telah dikumpulkan (Bloomberg, 2014). Perusahaan yang tidak mengungkapkan apa pun ditampilkan sebagai N / A. Skor pengungkapan ESG Bloomberg juga disesuaikan berdasarkan sektor industrinya (Bloomberg, 2014).

(3)

Berdasarkan metodologi ESG score Bloomberg, Yu (2018) menyebutkan bahwa skor pengungkapan ini dapat dilihat sebagai refleksi pengungkapan sukarela dan wajib perusahaan, yang membantu pemegang saham dan pemangku kepentingan menilai transparansi perusahaan yang terdaftar secara publik. Semakin tinggi skor pengungkapan, semakin banyak informasi non-keuangan yang diungkapkan.

2.1.3 Masa Jabatan Direksi

Masa jabatan direksi menunjukkan seberapa lama direksi bekerja di perusahaan (Setiawan, Hapsari, dan Wibawa, 2018). Lamanya masa jabatan direksi tentunya akan membuat pengetahuan direksi bertambah dan paham mengenai operasional perusahaan sehingga dapat bekerja lebih baik dan efisien dalam membuat keputusan yang baik (Rahindayati dkk., 2015). Jadi semakin lama masa jabatan seorang direksi diharapkan akan memberikan nilai tambah bagi perusahaan. Huang (2013) dalam penelitiannya menunjukkan pengaruh positif masa jabatan terhadap CSR, hal ini dikarenakan semakin lama masa jabatan direksi maka tidak akan memerlukan waktu lama untuk memahami kondisi intern perusahaan dan melakukan rumusan strategi eksteren perusahaan dalam meningkatkan kualitas CSR. Senada dengan penelitian Huang (2013), Handajani, Subroto, Sutrisno, dan Saraswati (2014) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa masa jabatan direksi telah dipandang sebagai indikator penting dari kemampuan direksi untuk mengumpulkan dan memproses informasi tentang kondisi perubahan lingkungan.

2.1.4 Frekuensi Rapat Direksi

Rapat direksi adalah pengaturan terorganisasi yang disusun untuk mengumpulkan para direktur untuk membahas masalah-masalah relevan yang berkaitan dengan pengalaman sebelumnya, kesulitan saat ini, dan hal-hal yang berkaitan ke depan sebagai hal yang berkaitan dengan kelangsungan hidup perusahaan (Eluyela, et al., 2018).

Menurut Al-Musali dan Ismail (2015) seringnya pertemuan direksi lebih mudah menerjemahkan pengetahuan, keahlian dan ikatan ke dalam perbaikan hasil perusahaan. Hal itu disebabkan karena para direksi akan mendapatkan laporan

(4)

terus-menerus seperti mengembangkan kebijakan dan dapat mengambil keputusan strategis tepat waktu. Diharapkan dengan semakin banyak diadakan rapat direksi, direksi menjadi lebih paham mengenai perusahaan, dan dapat mengambil keputusan strategis mengenai banyaknya pengungkapan CSR karena CSR merupakan salah satu topik pembahasan mengenai kebijakan perusahaan dalam memperoleh legitimasi.

Harapan ini didasari dari hasil penelitian Schwartz-Ziv dan Weisbach (2013) yang membuktikan bahwa semakin banyak frekuensi rapat direksi semakin besar pengungkapan CSR.

2.1.5 Jumlah Kehadiran Rapat

Jumlah kehadiran rapat merupakan alat pengukur ketekunan direksi (Giannarakis, 2014). Ketekunan direksi ditunjukkan oleh perilaku direksi dalam pertemuan, seperti persiapan sebelum pertemuan, perhatian dan partisipasi selama pertemuan dan tindak lanjut pasca pertemuan. Selain itu, kehadiran direksi dalam rapat adalah sarana utama untuk lebih mengetahui keadaan perusahaan, berinteraksi antar anggota direksi, dan dapat mengurangi perbedaan suara dalam pengambilan keputusan (Al-Musali dan Ismail, 2015).

Francis et al. (2012) menyebutkan dalam penelitiannya bahwa perusahaan yang memiliki jumlah kehadiran rapat sedikit akan memiliki kinerja lebih buruk dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki tingkat kehadiran rapat yang banyak. Mendukung penelitian Francis et al. (2014), Yusof, Jamal, dan Darus (2016) menyebutkan bahwa jumlah kehadiran rapat berpengaruh signifikan positif terhadap ESG score yang dicerminkan dalam pengungkapan CSR perusahaan.

2.1.6 Karakteristik Spesifik Perusahaan Sebagai Variabel Kontrol 2.1.6.1 Pertumbuhan Penjualan

Kharismayadi (2016) dalam penelitiannya menyebutkan pertumbuhan penjualan (SGrowth) mencerminkan bentuk dari keberhasilan keputusan dari periode masa lalu dan dapat dijadikan sebagai prediksi pertumbuhan masa yang akan datang. Pertumbuhan penjualan juga merupakan indikator permintaan dan daya saing perusahaan dalam suatu industri.

(5)

Tingginya pertumbuhan penjualan sebuah perusahaan akan berpengaruh pada pengungkapan CSR. Perusahaan dengan pertumbuhan tinggi akan mendapat banyak perhatian dari masyarakat, sehingga mendorong perusahaan untuk lebih banyak mengungkapkan pengungkapan CSR (Apriyanti dan Yuliandhari, 2018).

Pengukuran pertumbuhan penjualan yang digunakan dalam penelitian ini senada dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Setyawan dan Susilowati (2018) dengan rumus:

SGrowth = 𝑁𝑒𝑡 𝑆𝑎𝑙𝑒𝑠t− 𝑁𝑒𝑡 𝑆𝑎𝑙𝑒𝑠 t−1

𝑁𝑒𝑡 𝑆𝑎𝑙𝑒𝑠 t−1 (2.1)

2.1.6.2 Ukuran Perusahaan

Ukuran perusahaan merupakan variabel yang banyak digunakan untuk menjelaskan pengungkapan sosial yang dilakukan perusahaan dalam laporan tahunan yang dibuat (Sulastini, 2007). Menurut Sulantini (2007), secara umum perusahaan besar akan mengungkapkan informasi lebih banyak daripada perusahaan kecil karena perusahaan besar akan menghadapi resiko politis yang lebih besar dibanding perusahaan kecil. Secara teoritis perusahaan besar tidak akan lepas dari tekanan untuk melakukan pertanggungjawaban sosial. Selain itu, perusahaan yang berukuran lebih besar cenderung mendapat perhatian lebih dari masyarakat luas dibandingkan dengan perusahaan yang berukuran kecil (Sukandar, 2014).

Dalam penelitian ini, pengukuran yang digunakan untuk variabel ukuran perusahaan, dengan menggunakan log natural, jumlah aset yang bernilai ratusan miliar bahkan triliun akan disederhanakan, tanpa mengubah proporsi dari jumlah aset yang sesungguhnya (Maretha, 2016). Cara pengukuran yang digunakan sesuai dengan yang telah digunakan Francis, LaFond, Olsson, & Schipper (2004) dalam penelitiannya, yang dirumuskan sebagai berikut:

(6)

2.2 Hipotesis Penelitian

2.2.1 Hubungan antara Masa Jabatan Direksi dan Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR)

Masa jabatan direksi merupakan lamanya direksi menjabat di perusahaan. Lamanya masa jabatan direksi tentunya akan membuat pengetahuan direksi bertambah dan paham mengenai operasional perusahaan sehingga dapat bekerja dengan lebih baik dan efisien dalam membuat keputusan yang baik (Rahindayati dkk., 2015)

Dari penelitian terdahulu yang telah dilakukan Huang (2013), McCarthy et al. (2011), Handajani, Subroto, Sutrisno, dan Saraswati (2014) mengungkapkan bahwa masa jabatan direksi yang semakin lama akan membuat direksi memiliki lebih banyak pengalaman dan pengetahuan mengenai perusahaan, sehingga dapat membawa perusahaan ke arah yang positif dengan mengambil keputusan yang lebih baik. Disamping itu, direktur akan jauh lebih mengenal perusahaan dan dapat lebih dalam memahami karakteristik spesifik perusahaan. (Handajani, Subroto, Sutrisno, dan Saraswati, 2014).

Berdasarkan penjelasan dan penelitian terdahulu dapat disimpulkan bahwa semakin lama masa jabatan semakin banyak pengungkapan CSR perusahaan, sehingga dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H1: Masa Jabatan Direksi berpengaruh positif terhadap Pengungkapan CSR.

2.2.2 Hubungan antara Frekuensi Rapat Direksi dan Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR)

Frekuensi rapat direksi merupakan jumlah dari serangkaian proses rapat dalam satu tahun yang dilaksanakan oleh jajaran direksi perusahaan dalam menentukan arah dan kebijakan perusahaan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan (Nugroho, 2017).

Menurut Al-Musali dan Ismail (2015) seringnya pertemuan direksi membuat direksi lebih mudah menerjemahkan pengetahuan, keahlian dan ikatan ke dalam perbaikan hasil perusahaan. Rapat direksi dilakukan untuk mendapatkan laporan terus menerus dan mengambil keputusan strategis tepat waktu tentang organisasi (Eluyela, et al., 2018). Dalam penelitian sebelumnya yang telah

(7)

dilakukan Schwartz-Ziv dan Weisbach (2013) membuktikan bahwa semakin tinggi frekuensi rapat direksi, menunjukan semakin seringnya komunikasi dan koordinasi antar direksi sehingga lebih banyak kesempatan untuk membahas kebijakan perusahaan.

Berdasarkan penjelasan dan hasil dari penelitian terdahulu diatas maka dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi frekuensi rapat direksi maka semakin banyak pengungkapan CSR, sehingga dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H2: Frekuensi Rapat Direksi berpengaruh positif terhadap Pengungkapan CSR.

2.2.3 Hubungan antara Jumlah Kehadiran Rapat dan Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR)

Jumlah kehadiran rapat adalah alat pengukur ketekunan direksi (Giannarakis, 2014). Perusahaan yang memiliki jumlah kehadiran direksi dalam rapat yang sedikit selama setahun memiliki kinerja lebih buruk dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki jumlah yang banyak dalam kehadiran direksi dalam rapat tahunan (Francis et al., 2014).

Mendukung penelitian sebelumnya, Yusof, Jamal, dan Darus (2016) menyebutkan bahwa jumlah kehadiran rapat berpengaruh signifikan positif terhadap ESG score yang dicerminkan dalam pengungkapan CSR perusahaan.

Berdasarkan penjelasan dan hasil dari penelitian terdahulu diatas dapat disimpulkan bahwa semakin banyak jumlah kehadiran rapat maka akan semakin banyak pengungkapan CSR, sehingga dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H3: Jumlah Kehadiran Rapat berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR.

2.2.4 Hubungan antara Pertumbuhan Penjualan dan Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR)

Pertumbuhan penjualan merupakan rasio yang dapat digunakan untuk menggambarkan kenaikan penjualan perusahaan dari tahun sebelumnya (Setyawan dan Susilowati, 2018). Widarjo dan Setiawan (2009) menyebutkan bahwa kemampuan perusahaan dari waktu ke waktu dapat dilihat dari pertumbuhan penjualan perusahaan.

(8)

Besarnya pertumbuhan penjualan sebuah perusahaan akan berpengaruh pada pengungkapan CSR. Dari penelitian terdahulu yaitu Hendratmoko dan Muid (2017) yang meneliti tentang Pengaruh Pertumbuhan Penjualan terhadap pengungkapan CSR menyatakan bahwa pertumbuhan penjualan memiliki pengaruh signifikan positif terhadap pengungkapan CSR.

Berdasarkan penjelasan dan hasil dari penelitian terdahulu diatas maka semakin tinggi pertumbuhan penjualan maka akan semakin banyak pengungkapan CSR yang dilakukan perusahaan, sehingga dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H4: Pertumbuhan Penjualan berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR.

2.2.5 Hubungan antara Ukuran Perusahaan dan Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR)

Salah satu variabel yang sering digunakan untuk menjelaskan pengungkapan sosial yang dilakukan perusahaan adalah ukuran perusahaan (Sulastini, 2007). Dalam penelitiannya, Sulantini (2007) menyebutkan bahwa secara luas perusahaan besar akan mengungkapkan informasi lebih banyak daripada perusahaan kecil karena perusahaan besar akan menghadapi resiko politis yang lebih besar dibanding perusahaan kecil. Besarnya pengungkapan informasi yang dilakukan oleh perusahaan ukuran besar dikarenakan dibanding perusahaan kecil perusahaan yang memiliki jumlah aset yang lebih besar lebih mampu membiayai penyediaan informasi pertanggungjawaban sosialnya (Trisnawati, 2014).

Hal ini senada dengan yang dinyatakan Oyelere, Wang, & Song (2011) bahwa semakin besar suatu perusahaan akan semakin disorot oleh para pengambil keputusan. Dengan demikian perusahaan membutuhkan usaha yang lebih besar dalam memperoleh legitimasi dalam rangka menciptakan keselarasan nilai-nilai sosial dari kegiatan perusahaan dengan norma perilaku yang berlaku dalam masyarakat (Sukandar, 2014).

Berdasarkan penjelasan dan hasil dari penelitian terdahulu diatas, dapat disimpulkan bahwa semakin besar ukuran perusahaan maka akan semakin banyak pengungkapan CSR yang dilakukan perusahaan. Sehingga dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

Referensi

Dokumen terkait

untuk kayu masif dan 16% untuk produk-produk kayu yang dilem; serta batas bawah kadar air setimbang tahunan rerata adalah 6%. b) Nilai tahanan acuan berlaku untuk kondisi

Sejalan dengan itu, maka struktur dari Corporate Governance menjelaskan distribusi hak-hak dan tanggung jawab dari masing - masing pihak yang terlibat dalam sebuah bisnis, yaitu

Promosi (Promotion) digunakan oleh Hypermarket untuk berkomunikasi dengan konsumen baik tentang barang yang dijual, harga yang diberikan, ataupun penwaran- penawaran yang

Sengketa pajak dapat berupa sengketa pajak formal maupun sengketa pajak material, yang dimaksud dengan sengketa pajak formal yaitu sengketa yang timbul apabila Wajib Pajak

Selain itu, value relevance digunakan untuk mengkaji apakah laporan keuangan yang dihasilkan oleh perusahaan menghasilkan informasi akuntansi berkualitas tinggi yang

Suatu proyek konstruksi yang berskala besar dituntut adanya manajemen yang baik agar menghasilkan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan, di mana proyek merupakan suatu

2.6.1 Metode Persentase Penyelesaian (Percentage-of-Completion Method) Berdasarkan sifat usahanya, pengakuan pendapatan pada usaha jasa konstruksi dilakukan

Berdasarkan studi yang dilakukan menyatakan bahwa value relevance informasi akuntansi yang tinggi dapat diindikasikan dengan adanya hubungan yang erat antara EPS dan BVPS