• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASKEP DHF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ASKEP DHF"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

ASKEP DHF

Ditulis pada Maret 27, 2008 oleh harnawatiaj

1.Pengertian

DHF (Dengue Haemoragic fever) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk ke dalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti (betina). (Christantie Effendy, 1995).

2.Etiologi

Virus dengue tergolong dalam famili/suku/grup flaviviridae dan dikenal ada 4 serotipe. Dengue 1 dan 2 ditemukan di Irian ketika berlangsungnya perang dunia ke-III, sedangkan dengue 3 dan 4 ditemukan pada saat wabah di Filipina tahun 1953 – 1954.

Virus dengue berbentuk batang, bersifat termolabil, sensitif terhadap inaktivasi oleh dietileter dan natrium dioksikolat, stabil pada suhu 700 C. Dengue merupakan serotipe yang paling banyak beredar.

3.Patofisiologi

Fenomena patologis yang utama pada penderita DHF adalah meningkatnya permeabilitas dinding kapiler yang mengakibatkan terjadinya perembesan plasma ke ruang ekstra seluler.

Hal pertama yang terjadi stelah virus masuk ke dalam tubuh adalah viremia yang mengakibatkan penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal diseluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie), hyperemia tenggorokan dan hal lain yang mungkin terjadi seperti pembesaran kelenjar getah bening, pembesaran hati (Hepatomegali) dan pembesaran limpa (Splenomegali). Peningkatan permeabilitas dinding kapiler mengakibatkan berkurangnya volume plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, dan hipoproteinemia serta efusi dan renjatan (syok).

(2)

Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit > 20 %) menunjukkan atau menggambarkan adanya kebocoran (perembesan) plasma sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan pemberian cairan intravena.

Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler dibuktikan dengan ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan pericard yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus. Setelah pemberian cairan intravena, peningkatan jumlah trombosit menunjukkan kebocoran plasma telah teratasi, sehingga pemberian cairan intravena harus dikurangi kecepatan dan jumlahnya untuk mencegah terjadinya edema paru dan gagal jantung, sebaliknya jika tidak mendapatkan cairan yang cukup, penderita akan mengalami kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan kondisi yang buruk bahkan bisa mengalami renjatan.

Jika renjatan atau hipovolemik berlangsung lama akan timbul anoksia jaringan, metabolik asidosis dan kematian apabila tidak segera diatasi dengan baik. Gangguan hemostasis pada DHF menyangkut 3 faktor yaitu : perubahan vaskuler, trombositopenia dan gangguan koagulasi.

Pada otopsi penderita DHF, ditemukan tanda-tanda perdarahan hampir di seluruh tubuh, seperti di kulit, paru, saluran pencernaan dan jaringan adrenal.

4.Gambaran Klinis

Gambaran klinis yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF dengan masa inkubasi anatara 13 – 15 hari, tetapi rata-rata 5 – 8 hari. Gejala klinik timbul secara mendadak berupa suhu tinggi, nyeri pada otot dan tulang, mual, kadang-kadang muntah dan batuk ringan. Sakit kepala dapat menyeluruh atau berpusat pada daerah supra orbital dan retroorbital. Nyeri di bagian otot terutama dirasakan bila otot perut ditekan. Sekitar mata mungkin ditemukan pembengkakan, lakrimasi, fotofobia, otot-otot sekitar mata terasa pegal.

Eksantem yang klasik ditemukan dalam 2 fase, mula-mula pada awal demam (6 – 12 jam sebelum suhu naik pertama kali), terlihat jelas di muka dan dada yang berlangsung selama beberapa jam dan biasanya tidak diperhatikan oleh pasien.

Ruam berikutnya mulai antara hari 3 – 6, mula – mula berbentuk makula besar yang kemudian bersatu mencuat kembali, serta kemudian timbul bercak-bercak petekia.

(3)

Pada dasarnya hal ini terlihat pada lengan dan kaki, kemudian menjalar ke seluruh tubuh.

Pada saat suhu turun ke normal, ruam ini berkurang dan cepat menghilang, bekas-bekasnya kadang terasa gatal. Nadi pasien mula-mula cepat dan menjadi normal atau lebih lambat pada hari ke-4 dan ke-5. Bradikardi dapat menetap untuk beberapa hari dalam masa penyembuhan.

Gejala perdarahan mulai pada hari ke-3 atau ke-5 berupa petekia, purpura, ekimosis, hematemesis, epistaksis. Juga kadang terjadi syok yang biasanya dijumpai pada saat demam telah menurun antara hari ke-3 dan ke-7 dengan tanda : anak menjadi makin lemah, ujung jari, telinga, hidung teraba dingin dan lembab, denyut nadi terasa cepat, kecil dan tekanan darah menurun dengan tekanan sistolik 80 mmHg atau kurang. 5.Diagnosis

Patokan WHO (1986) untuk menegakkan diagnosis DHF adalah sebagai berikut : a. Demam akut, yang tetap tinggi selama 2 – 7 hari kemudian turun secara lisis

demam disertai gejala tidak spesifik, seperti anoreksia, lemah, nyeri. b. Manifestasi perdarahan :

1)Uji tourniquet positif 2)Petekia, purpura, ekimosis 3)Epistaksis, perdarahan gusi 4)Hematemesis, melena.

c. Pembesaran hati yang nyeri tekan, tanpa ikterus. d. Dengan atau tanpa renjatan.

Renjatan biasanya terjadi pada saat demam turun (hari ke-3 & hari ke-7 sakit ). Renjatan yang terjadi pada saat demam biasanya mempunyai prognosis buruk. e. Kenaikan nilai Hematokrit / Hemokonsentrasi

6.Klasifikasi

DHF diklasifikasikan berdasarkan derajat beratnya penyakit, secara klinis dibagi menjadi 4 derajat (Menurut WHO, 1986) :

(4)

Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan, uji tourniquet , trombositopenia dan hemokonsentrasi.

b.Derajat II

Derajat I dan disertai pula perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain. c.Derajat III

Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan darah rendah (hipotensi), gelisah, cyanosis sekitar mulut, hidung dan jari (tanda-tanda dini renjatan).

d.Renjatan berat (DSS) dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur. 7.Pemeriksaan Diagnostik

Laboratorium

Terjadi trombositopenia (100.000/ml atau kurang) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat dan meningginya nilai hematokrit sebanyak 20 % atau lebih dibandingkan nila hematokrit pada masa konvalesen.

Pada pasien dengan 2 atau 3 patokan klinis disertai adanya trombositopenia dan hemokonsentrasi tersebut sudah cukup untuk klinis membuat diagnosis DHF dengan tepat.

Juga dijumpai leukopenia yang akan terlihat pada hari ke-2 atau ke-3 dan titik terendah pada saat peningkatan suhu kedua kalinya leukopenia timbul karena berkurangnya limfosit pada saat peningkatan suhu pertama kali.

8.Diagnosa Banding

Gambaran klinis DHF seringkali mirip dengan beberapa penyakit lain seperti : a.Demam chiku nguya.

Dimana serangan demam lebih mendadak dan lebih pendek tapi suhu di atas 400C disertai ruam dan infeksi konjungtiva ada rasa nyeri sendi dan otot.

b.Demam tyfoid

Biasanya timbul tanda klinis khas seperti pola demam, bradikardi relatif, adanya leukopenia, limfositosis relatif.

(5)

Penderita tampak anemis, timbul juga perdarahan pada stadium lanjut, demam timbul karena infeksi sekunder, pemeriksaan darah tepi menunjukkan pansitopenia.

d.Purpura trombositopenia idiopati (ITP)

Purpura umumnya terlihat lebih menyeluruh, demam lebih cepat menghilang, tidak terjadi hemokonsentrasi.

9.Penatalaksanaan

Penatalaksanaan penderita dengan DHF adalah sebagai berikut : a.Tirah baring atau istirahat baring.

b.Diet makan lunak.

c.Minum banyak (2 – 2,5 liter/24 jam) dapat berupa : susu, teh manis, sirup dan beri penderita sedikit oralit, pemberian cairan merupakan hal yang paling penting bagi penderita DHF.

d.Pemberian cairan intravena (biasanya ringer laktat, NaCl Faali) merupakan cairan yang paling sering digunakan.

e.Monitor tanda-tanda vital tiap 3 jam (suhu, nadi, tensi, pernafasan) jika kondisi pasien memburuk, observasi ketat tiap jam.

f.Periksa Hb, Ht dan trombosit setiap hari.

g.Pemberian obat antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminopen. h.Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut.

i.Pemberian antibiotik bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder.

j.Monitor tanda-tanda dan renjatan meliputi keadaan umum, perubahan tanda-tanda vital, hasil pemeriksaan laboratorium yang memburuk.

k.Bila timbul kejang dapat diberikan Diazepam.

Pada kasus dengan renjatan pasien dirawat di perawatan intensif dan segera dipasang infus sebagai pengganti cairan yang hilang dan bila tidak tampak perbaikan diberikan plasma atau plasma ekspander atau dekstran sebanyak 20 – 30 ml/kg BB.

Pemberian cairan intravena baik plasma maupun elektrolit dipertahankan 12 – 48 jam setelah renjatan teratasi. Apabila renjatan telah teratasi nadi sudah teraba jelas, amplitudo nadi cukup besar, tekanan sistolik 20 mmHg, kecepatan plasma biasanya dikurangi menjadi 10 ml/kg BB/jam.

(6)

Transfusi darah diberikan pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal yang hebat. Indikasi pemberian transfusi pada penderita DHF yaitu jika ada perdarahan yang jelas secara klinis dan abdomen yang makin tegang dengan penurunan Hb yang mencolok. Pada DBD tanpa renjatan hanya diberi banyak minum yaitu 1½-2 liter dalam 24 jam. Cara pemberian sedikit demi sedikit dengan melibatkan orang tua. Infus diberikan pada pasien DBD tanpa renjatan apabila :

a.Pasien terus menerus muntah, tidak dapat diberikan minum sehingga mengancam terjadinya dehidrasi.

b.Hematokrit yang cenderung mengikat. 10.Pencegahan

Prinsip yang tepat dalam pencegahan DHF ialah sebagai berikut :

a.Memanfaatkan perubahan keadaan nyamuk akibat pengaruh alamiah dengan melaksanakan pemberantasan vektor pada saat sedikit terdapatnya kasus DHF.

b.Memutuskan lingkaran penularan dengan menahan kepadatan vektor pada tingkat sangat rendah untuk memberikan kesempatan penderita viremia sembuh secara spontan.

c.Mengusahakan pemberantasan vektor di pusat daerah penyebaran yaitu di sekolah, rumah sakit termasuk pula daerah penyangga sekitarnya.

d.Mengusahakan pemberantasan vektor di semua daerah berpotensi penularan tinggi. Ada 2 macam pemberantasan vektor antara lain :

a.Menggunakan insektisida.

Yang lazim digunakan dalam program pemberantasan demam berdarah dengue adalah malathion untuk membunuh nyamuk dewasa dan temephos (abate) untuk membunuh jentik (larvasida). Cara penggunaan malathion ialah dengan pengasapan atau pengabutan. Cara penggunaan temephos (abate) ialah dengan pasir abate ke dalam sarang-sarang nyamuk aedes yaitu bejana tempat penampungan air bersih, dosis yang digunakan ialah 1 ppm atau 1 gram abate SG 1 % per 10 liter air.

b.Tanpa insektisida Caranya adalah :

1)Menguras bak mandi, tempayan dan tempat penampungan air minimal 1 x seminggu (perkembangan telur nyamuk lamanya 7 – 10 hari).

(7)

3)Membersihkan halaman rumah dari kaleng bekas, botol pecah dan benda lain yang memungkinkan nyamuk bersarang.

Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

Dalam asuhan keperawatan digunakan pendekatan proses keperawatan sebagai cara untuk mengatasi masalah klien.

Proses keperawatan terdiri dari 5 tahap yaitu : pengkajian keperawatan, identifikasi, analisa masalah (diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi). 1.Pengkajian Keperawatan

Dalam memberikan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan dasar utama dan hal penting dilakukan oleh perawat. Hasil pengkajian yang dilakukan perawat terkumpul dalam bentuk data. Adapun metode atau cara pengumpulan data yang dilakukan dalam pengkajian : wawancara, pemeriksaan (fisik, laboratorium, rontgen), observasi, konsultasi.

a.Data subyektif

Adalah data yang dikumpulkan berdasarkan keluhan pasien atau keluarga pada pasien DHF, data obyektif yang sering ditemukan menurut Christianti Effendy, 1995 yaitu : 1.)Lemah.

2.)Panas atau demam. 3.)Sakit kepala.

4.)Anoreksia, mual, haus, sakit saat menelan. 5.)Nyeri ulu hati.

6.)Nyeri pada otot dan sendi. 7.)Pegal-pegal pada seluruh tubuh. 8.)Konstipasi (sembelit).

b.Data obyektif :

Adalah data yang diperoleh berdasarkan pengamatan perawat atas kondisi pasien. Data obyektif yang sering dijumpai pada penderita DHF antara lain :

1)Suhu tubuh tinggi, menggigil, wajah tampak kemerahan. 2)Mukosa mulut kering, perdarahan gusi, lidah kotor.

3)Tampak bintik merah pada kulit (petekia), uji torniquet (+), epistaksis, ekimosis, hematoma, hematemesis, melena.

4)Hiperemia pada tenggorokan. 5)Nyeri tekan pada epigastrik.

(8)

6)Pada palpasi teraba adanya pembesaran hati dan limpa.

7)Pada renjatan (derajat IV) nadi cepat dan lemah, hipotensi, ekstremitas dingin, gelisah, sianosis perifer, nafas dangkal.

Pemeriksaan laboratorium pada DHF akan dijumpai : 1)Ig G dengue positif.

2)Trombositopenia.

3)Hemoglobin meningkat > 20 %.

4)Hemokonsentrasi (hematokrit meningkat).

5)Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan hipoproteinemia, hiponatremia, hipokloremia.

Pada hari ke- 2 dan ke- 3 terjadi leukopenia, netropenia, aneosinofilia, peningkatan limfosit, monosit, dan basofil

1)SGOT/SGPT mungkin meningkat.

2)Ureum dan pH darah mungkin meningkat. 3)Waktu perdarahan memanjang.

4)Asidosis metabolik.

5)Pada pemeriksaan urine dijumpai albuminuria ringan. 2.Diagnosa Keperawatan

Beberapa diagnosa keperawatan yang ditemukan pada pasien DHF menurut Christiante Effendy, 1995 yaitu :

a.Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses penyakit (viremia). b.Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakit.

c.Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia.

d.Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan permeabilitas dinding plasma.

e.Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kondisi tubuh yang lemah. f.Resiko terjadi syok hypovolemik berhubungan dengan kurangnya volume cairan tubuh.

g.Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (pemasangan infus). h.Resiko terjadi perdarahan lebih lanjut berhubungan dengan trombositopenia.

i.Kecemasan berhubungan dengan kondisi pasien yang memburuk dan perdarahan yang dialami pasien.

(9)

3.Perencanaan Keperawatan

a.Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses penyakit (viremia). Tujuan :

Suhu tubuh normal (36 – 370C). Pasien bebas dari demam. Intervensi :

5)Kaji saat timbulnya demam.

Rasional : untuk mengidentifikasi pola demam pasien.

6)Observasi tanda vital (suhu, nadi, tensi, pernafasan) setiap 3 jam.

Rasional : tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien. 7)Anjurkan pasien untuk banyak minum  2,5 liter/24 jam.

Rasional : Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan tubuh meningkat sehingga perlu diimbangi dengan asupan cairan yang banyak.

8)Berikan kompres hangat.

Rasional : Dengan vasodilatasi dapat meningkatkan penguapan yang mempercepat penurunan suhu tubuh.

9)Anjurkan untuk tidak memakai selimut dan pakaian yang tebal. Rasional : pakaian tipis membantu mengurangi penguapan tubuh.

10)Berikan terapi cairan intravena dan obat-obatan sesuai program dokter. Rasional : pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan suhu tinggi. b.Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakit.

Tujuan :

Rasa nyaman pasien terpenuhi. Nyeri berkurang atau hilang. Intervensi :

1)Kaji tingkat nyeri yang dialami pasien

Rasional : untuk mengetahui berapa berat nyeri yang dialami pasien. 2)Berikan posisi yang nyaman, usahakan situasi ruangan yang tenang. Rasional : Untuk mengurangi rasa nyeri

3)Alihkan perhatian pasien dari rasa nyeri.

Rasional : Dengan melakukan aktivitas lain pasien dapat melupakan perhatiannya terhadap nyeri yang dialami.

(10)

Rasional : Analgetik dapat menekan atau mengurangi nyeri pasien.

c.Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia.

Tujuan :

Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi, pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan posisi yang diberikan /dibutuhkan.

Intervensi :

1)Kaji keluhan mual, sakit menelan, dan muntah yang dialami pasien. Rasional : Untuk menetapkan cara mengatasinya.

2)Kaji cara / bagaimana makanan dihidangkan.

Rasional : Cara menghidangkan makanan dapat mempengaruhi nafsu makan pasien. 3)Berikan makanan yang mudah ditelan seperti bubur.

Rasional : Membantu mengurangi kelelahan pasien dan meningkatkan asupan makanan .

4)Berikan makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering. Rasional : Untuk menghindari mual.

5)Catat jumlah / porsi makanan yang dihabiskan oleh pasien setiap hari. Rasional : Untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan nutrisi.

6)Berikan obat-obatan antiemetik sesuai program dokter.

Rasional : Antiemetik membantu pasien mengurangi rasa mual dan muntah dan diharapkan intake nutrisi pasien meningkat.

7)Ukur berat badan pasien setiap minggu. Rasional : Untuk mengetahui status gizi pasien

d.Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan permeabilitas dinding plasma.

Tujuan :

Volume cairan terpenuhi. Intervensi :

1)Kaji keadaan umum pasien (lemah, pucat, takikardi) serta tanda-tanda vital.

Rasional : Menetapkan data dasar pasien untuk mengetahui penyimpangan dari keadaan normalnya.

2)Observasi tanda-tanda syock.

Rasional : Agar dapat segera dilakukan tindakan untuk menangani syok. 3)Berikan cairan intravena sesuai program dokter

(11)

Rasional : Pemberian cairan IV sangat penting bagi pasien yang mengalami kekurangan cairan tubuh karena cairan tubuh karena cairan langsung masuk ke dalam pembuluh darah.

4)Anjurkan pasien untuk banyak minum.

Rasional : Asupan cairan sangat diperlukan untuk menambah volume cairan tubuh. 5)Catat intake dan output.

Rasional : Untuk mengetahui keseimbangan cairan.

e.Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kondisi tubuh yang lemah. Tujuan :

Pasien mampu mandiri setelah bebas demam. Kebutuhan aktivitas sehari-hari terpenuhi Intervensi :

1)Kaji keluhan pasien.

Rasional : Untuk mengidentifikasi masalah-masalah pasien.

2)Kaji hal-hal yang mampu atau yang tidak mampu dilakukan oleh pasien.

Rasional : Untuk mengetahui tingkat ketergantungan pasien dalam memenuhi kebutuhannya.

3)Bantu pasien untuk memenuhi kebutuhan aktivitasnya sehari-hari sesuai tingkat keterbatasan pasien.

Rasional : Pemberian bantuan sangat diperlukan oleh pasien pada saat kondisinya lemah dan perawat mempunyai tanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari pasien tanpa mengalami ketergantungan pada perawat.

4)Letakkan barang-barang di tempat yang mudah terjangkau oleh pasien.

Rasional : Akan membantu pasien untuk memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan orang lain.

f.Resiko terjadinya syok hypovolemik berhubungan dengan kurangnya volume cairan tubuh

Tujuan :

Tidak terjadi syok hipovolemik. Tanda-tanda vital dalam batas normal. Keadaan umum baik.

Intervensi :

(12)

Rasional : memantau kondisi pasien selama masa perawatan terutama pada saat terjadi perdarahan sehingga segera diketahui tanda syok dan dapat segera ditangani. 2)Observasi tanda-tanda vital tiap 2 sampai 3 jam.

Rasional : tanda vital normal menandakan keadaan umum baik. 3)Monitor tanda perdarahan.

Rasional : Perdarahan cepat diketahui dan dapat diatasi sehingga pasien tidak sampai syok hipovolemik.

4)Chek haemoglobin, hematokrit, trombosit

Rasional : Untuk mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah yang dialami pasien sebagai acuan melakukan tindakan lebih lanjut.

5)Berikan transfusi sesuai program dokter.

Rasional : Untuk menggantikan volume darah serta komponen darah yang hilang. 6)Lapor dokter bila tampak syok hipovolemik.

Rasional : Untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut sesegera mungkin. g.Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (infus).

Tujuan : - Tidak terjadi infeksi pada pasien. Intervensi :

1)Lakukan teknik aseptik saat melakukan tindakan pemasangan infus.

Rasional : Tindakan aseptik merupakan tindakan preventif terhadap kemungkinan terjadi infeksi.

2)Observasi tanda-tanda vital.

Rasional : Menetapkan data dasar pasien, terjadi peradangan dapat diketahui dari penyimpangan nilai tanda vital.

3)Observasi daerah pemasangan infus.

Rasional : Mengetahui tanda infeksi pada pemasangan infus.

4)Segera cabut infus bila tampak adanya pembengkakan atau plebitis.

Rasional : Untuk menghindari kondisi yang lebih buruk atau penyulit lebih lanjut. h.Resiko terjadinya perdarahan lebih lanjut berhubungan dengan trombositopenia. Tujuan :

Tidak terjadi tanda-tanda perdarahan lebih lanjut. Jumlah trombosit meningkat.

Intervensi :

1)Monitor tanda penurunan trombosit yang disertai gejala klinis.

(13)

2)Anjurkan pasien untuk banyak istirahat

Rasional : Aktivitas pasien yang tidak terkontrol dapat menyebabkan perdarahan. 3)Beri penjelasan untuk segera melapor bila ada tanda perdarahan lebih lanjut. Rasional : Membantu pasien mendapatkan penanganan sedini mungkin. 4)Jelaskan obat yang diberikan dan manfaatnya.

Rasional : Memotivasi pasien untuk mau minum obat sesuai dosis yang diberikan. i.Kecemasan berhubungan dengan kondisi pasien yang memburuk dan perdarahan yang dialami pasien.

Tujuan : - Kecemasan berkurang. Intervensi :

1)Kaji rasa cemas yang dialami pasien.

Rasional : Menetapkan tingkat kecemasan yang dialami pasien. 2)Jalin hubungan saling percaya dengan pasien.

Rasional : Pasien bersifat terbuka dengan perawat. 3)Tunjukkan sifat empati

Rasional : Sikap empati akan membuat pasien merasa diperhatikan dengan baik. 4)Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan perasaannya

Rasional : Meringankan beban pikiran pasien. 5)Gunakan komunikasi terapeutik

Rasional : Agar segala sesuatu yang disampaikan diajarkan pada pasien memberikan hasil yang efektif.

4.Implementasi

Pelaksanaan tindakan keperawatan pada klien anak dengan DHF disesuaikan dengan intervensi yang telah direncanakan.

5.Evaluasi Keperawatan.

Hasil asuhan keperawatan pada klien anak dengan DHF sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi ini didasarkan pada hasil yang diharapkan atau perubahan yang terjadi pada pasien.

Adapun sasaran evaluasi pada pasien demam berdarah dengue sebagai berikut : a.Suhu tubuh pasien normal (36- 370C), pasien bebas dari demam.

(14)

b.Pasien akan mengungkapkan rasa nyeri berkurang.

c.Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi, pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang diberikan atau dibutuhkan.

d.Keseimbangan cairan akan tetap terjaga dan kebutuhan cairan pada pasien terpenuhi.

e.Aktivitas sehari-hari pasien dapat terpenuhi.

f.Pasien akan mempertahankan sehingga tidak terjadi syok hypovolemik dengan tanda vital dalam batas normal.

g.Infeksi tidak terjadi.

h.Tidak terjadi perdarahan lebih lanjut.

i.Kecemasan pasien akan berkurang dan mendengarkan penjelasan dari perawat tentang proses penyakitnya.

Sumber:

1.Sunaryo, Soemarno, (1998), Demam Berdarah Pada Anak, UI ; Jakarta. 2.Effendy, Christantie, (1995), Perawatan Pasien DHF, EGC ; Jakarta.

3.Hendarwanto, (1996), Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, edisi ketiga, FKUI ; Jakarta. 4.Doenges, Marilynn E, dkk, (2000), Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa Keperawatan, EGC ; Jakarta.

DIarsipkan di bawah: 1. ASKEP ZONE

« ASKEP SINDROM NEFROTIK ASKEP BRONKITIS » Leave a Reply

Name (required)

Mail (will not be published) (required) Website

(15)

BLOG AUTHOR harnawatiaj CALENDER Maret 2008S S R K J S M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 « Feb Apr » ASUHAN KEPERAWATAN KUMPULAN ASKEP MASTER ASKEP BEAUTY WORLD KOSMETIK Blogroll hadija.wordpress.com harnawatiaj.wordpress.com mailmkes.multiply.com WordPress.com WordPress.org www.cybermq.com/ www.harunyahya.com/ www.islamway.com/ www.islamworld.com/ UROLITHIASIS

Ditulis pada Maret 17, 2008 oleh harnawatiaj 1. Pengertian

Ureterolithiasis adalah kalkulus atau batu di dalam ureter (Sue Hinchliff, 1999 Hal 451).

(16)

Batu ureter pada umumnya berasal dari batu ginjal yang turun ke ureter. Batu ureter mungkin dapat lewat sampai ke kandung kemih dan kemudian keluar bersama kemih. Batu ureter juga bisa sampai ke kandung kemih dan kemudian berupa nidus menjadi batu kandung kemih yang besar. Batu juga bisa tetap tinggal di ureter sambil menyumbat dan menyebabkan obstruksi kronik dengan hidroureter yang mungkin asimtomatik. Tidak jarang terjadi hematuria yang didahului oleh serangan kolik. (R. Sjamsuhidajat, 1998 Hal. 1027).

2.Etiologi

Etiologi pembentukan batu meliputi idiopatik, gangguan aliran kemih, gangguan metabolisme, infeksi saluran kemih oleh mikroorganisme berdaya membuat urease (Proteus mirabilis), dehidrasi, benda asing, jaringan mati (nekrosis papil) dan multifaktor (www.detikhealth.com/konsultasi/ urologi/html, 07 Oktober 2003 Jam 09.00).

Banyak teori yang menerangkan proses pembentukan batu di saluran kemih; tetapi hingga kini masih belum jelas teori mana yang paling benar.

Beberapa teori pembentukan batu adalah : a.Teori Nukleasi

Batu terbentuk di dalam urine karena adanya inti batu sabuk batu (nukleus). Partikel-partikel yang berada dalam larutan yang kelewat jenuh (supersaturated) akan mengendap di dalam nukleus itu sehingga akhirnya membentuk batu. Inti batu dapat berupa kristal atau benda asing di saluran kemih.

b.Teori Matriks

Matriks organik terdiri atas serum/protein urine (albumin, globulin, dan mukoprotein) merupakan kerangka tempat diendapkannya kristal-kristal batu.

c.Penghambatan kristalisasi

Urine orang normal mengandung zat penghambat pembentuk kristal, antara lain : magnesium, sitrat, pirofosfat, mukoprotein dan beberapa peptida. Jika kadar salah satu atau beberapa zat itu berkurang, akan memudahkan terbentuknya batu di dalam saluran kemih.

(Basuki, 2000 hal. 63). 3. Insiden

penyakit ini dapat menyerang penduduk di seluruh dunia tidak terkecuali penduduk di negara kita. Angka kejadian penyakit ini tidak sama di berbagai belahan bumi. Di

(17)

negara-negara berkembang banyak dijumpai pasien batu buli-buli sedangkan di negara maju lebih banyak dijumpai penyakit batu saluran kemih bagian atas; hal ini karena adanya pengaruh status gizi dan aktivitas pasien sehari-hari.

Di Amerika Serikat 5 – 10% penduduknya menderita penyakit ini, sedangkan di seluruh dunia rata-rata terdapat 1 – 12 % penduduk menderita batu saluran kemih (Basuki, 2000 Hal. 62).

4. Patofisiologi

Komposisi batu saluran kemih yang dapat ditemukan adalah dari jenis urat, asam urat, oksalat, fosfat, sistin, dan xantin. Batu oksalat kalsium kebanyakan merupakan batu idiopatik. Batu campuran oksalat kalsium dan fosfat biasanya juga idiopatik; di antaranya berkaitan dengan sindrom alkali atau kelebihan vitamin D. Batu fosfat dan kalsium (hidroksiapatit) kadang disebabkan hiperkalsiuria (tanpa hiperkalsemia). Batu fosfat amonium magnesium didapatkan pada infeksi kronik yang disebabkan bakteria yang menghasilkan urease sehingga urin menjadi alkali karena pemecahan ureum. Batu asam urin disebabkan hiperuremia pada artritis urika. Batu urat pada anak terbentuk karena pH urin rendah (R. Sjamsuhidajat, 1998 Hal. 1027).

Pada kebanyakan penderita batu kemih tidak ditemukan penyebab yang jelas. Faktor predisposisi berupa stasis, infeksi, dan benda asing. Infeksi, stasis, dan litiasis merupakan faktor yang saling memperkuat sehingga terbentuk lingkaran setan atau sirkulus visiosus.

Jaringan abnormal atau mati seperti pada nekrosis papila di ginjal dan benda asing mudah menjadi nidus dan inti batu. Demikian pula telor sistosoma kadang berupa nidus batu (R. Sjamsuhidajat, 1998 Hal. 1027).

5. Manifestasi Klinis

Gerakan pristaltik ureter mencoba mendorong batu ke distal, sehingga menimbulkan kontraksi yang kuat dan dirasakan sebagai nyeri hebat (kolik). Nyeri ini dapat menjalar hingga ke perut bagian depan, perut sebelah bawah, daerah inguinal, dan sampai ke kemaluan.

Batu yang terletak di sebelah distal ureter dirasakan oleh pasien sebagai nyeri pada saat kencing atau sering kencing. Batu yang ukurannya kecil (<5 mm) pada umumnya dapat keluar spontan sedangkan yang lebih besar seringkali tetap berada di ureter dan menyebabkan reaksi peradangan (periureteritis) serta menimbulkan obstruksi kronik berupa hidroureter/hidronefrosis (Basuki, 2000 Hal 69).

(18)

a.Air kemih 1)Mikroskopik endapan 2)Biakan 3)Sensitivitas kuman b.Faal ginjal 1)Ureum 2)Kreatinin 3)Elektrolit

c.Foto polos perut (90% batu kemih radiopak) d.Foto pielogram intravena (adanya efek obstruksi) e.Ultrasonografi ginjal (hidronefrosis)

f.Foto kontras spesial 1)Retrograd

2)Perkutan

g.Analisis biokimia batu

h.Pemeriksaan kelainan metabolik 7. Penatalaksanaan Medik

a.Medikamentosa

Ditujukan untuk batu yang ukurannya < 5 mm, karena batu diharapkan dapat keluar spontan. Terapi yang diberikan bertujuan mengurangi nyeri, memperlancar aliran urine dengan pemberian diuretikum, dan minum banyak supaya dapat mendorong batu keluar.

b.ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsi)

Alat ESWL adalah pemecah batu yang diperkenalkan pertama kali oleh Caussy pada tahun 1980. Alat ini dapat memecah batu ginjal, batu ureter proksimal, atau batu buli-buli tanpa melalui tindakan invasif atau pembiusan. Batu dipecah menjadi fragmen-fragmen kecil sehingga mudah dikeluarkan melalui saluran kemih.

c.Endourologi

1). PNL (Percutaneous Nephro Litholapaxy) : mengeluarkan batu yang berada di saluran ginjal dengan cara memasukkan alat endoskopi ke sistem kaliks melalui insisi kulit. Batu kemudian dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu.

2). Litotripsi : memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan memasukkan alat pemecah batu (litotriptor) ke dalam buli-buli. Pecahan batu dikeluarkan dengan evakuator Ellik.

(19)

3). Ureteroskopi atau uretero-renoskopi : memasukkan alat ureteroskopi per uretram guna melihat keadaan ureter atau sistem pielokaliks ginjal. Dengan memakai energi tertentu, batu yang berada di dalam ureter maupun sistem pelvikalises dapat dipecah melalui tuntunan ureteroskopi atau uretero-renoskopi ini.

4). Ekstraksi Dormia : mengeluarkan batu ureter dengan menjaringnya dengan keranjang Dormia.

d.Bedah Laparoskopi

Pembedahan laparoskopi untuk mengambil batu saluran kemih saat ini sedang berkembang. Cara ini banyak dipakai untuk mengambil batu ureter.

e.Bedah terbuka :

1). Pielolitotomi atau nefrolitotomi : mengambil batu di saluran ginjal 2). Ureterolitotomi : mengambil batu di ureter.

3). Vesikolitotomi : mengambil batu di vesica urinaria 4). Ureterolitotomi : mengambil batu di uretra.

B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN

Proses keperawatan adalah suatu sistem perencanaan pelayanan asuhan keperawatan yang terdiri dari 5 (lima) tahap (Doenges, 1998 Hal. 2), yaitu :

1.Pengkajian

Pengkajian keperawatan merupakan pengumpulan data yang berhubungan dengan pasien secara sistematis. Pengkajian keperawatan pada ureterolithiasis tergantung pada ukuran, lokasi, dan etiologi kalkulus (Doenges, 1999 Hal 672).

a.Aktivitas / istirahat

Gejala : pekerjaan monoton, pekerjaan di mana klien terpajan pada lingkungan bersuhu tinggi, keterbatasan aktivitas / mobilitas sehubungan kondisi sebelumnya. b. Sirkulasi

Tanda : peningkatan TD / nadi, (nyeri, obstruksi oleh kalkulus) kulit hangat dan kemerahan, pucat.

c. Eliminasi

Gejala : riwayat adanya ISK kronis, penurunan haluaran urine, distensi vesica urinaria, rasa terbakar, dorongan berkemih, diare.

Tanda : oliguria, hematuria, piuruia, perubahan pola berkemih d. Makanan / cairan

(20)

Gejala : mual / muntah, nyeri tekan abdomen, diet tinggi purin, kalsium oksalat / fosfat, ketidakcukupan intake cairan

Tanda : Distensi abdominal, penurunan / tidak ada bising usus , muntah e. Nyeri / kenyamanan

Gejala : episode akut nyeri berat, lokasi tergantung pada lokasi batu, nyeri dapat digambarkan sebagai akut, hebat, tidak hilang dengan perubahan posisi atau tindakan lain

Tanda : melindungi, prilaku distraksi, nyeri tekan pada area abdomen f. Keamanan

Gejala : pengguna alkohol, demam, menggigil g. Penyuluhan dan Pembelajaran

Gejala : riwayat kalkulus dalam keluarga, penyakit ginjal, ISK, paratiroidisme, hipertensi, pengguna antibiotik, antihipertensi, natrium bikarbonat, allopurinol, fosfat, tiazid, pemasukan berlebihan kalsium dan vitamin

h. Pemeriksaan diagnostik

Urinalisis, urine 24 jam, kultur urine, survey biokimia, foto Rontgen, IVP, sistoureteroskopi, scan CT, USG

2. Diagnosa Keperawatan

Dari data-data yang didapatkan pada pengkajian, disusunlah diagnosa keperawatan. Adapun diagnosa keperawatan yang umum timbul pada batu saluran kemih adalah (Doenges, 1999 Hal 672)

a.Nyeri (akut), berhubungan dengan trauma jaringan

b.Perubahan pola eliminasi berkemih (polakisuria) berhubungan dengan obstruksi mekanik

c.Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis pasca obstruksi

i.Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan / mengingat, salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi

3.Intervensi

Dari diagnosa yang telah disusun berdasarkan data dari pengkajian, maka langkah selanjutnya adalah menyusun intervensi.

a.Nyeri (akut), berhubungan dengan trauma jaringan Tujuan : Nyeri hilang atau terkontrol.

(21)

Intervensi :

1). Catat lokasi nyeri, lamanya intensitas, dan penyebaran

Rasional : membantu mengevaluasi tempat obstruksi dan pergerakan kalkulus. 2). Jelaskan penyebab nyeri

Rasional : memberi kesempatan untuk pemberian analgetik dan membantu meningkatkan koping klien.

3). Lakukan tindakan nyaman

Rasional : meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot, dan meningkatkan koping.

4). Bantu dengan ambulasi sesuai indikasi Rasional : mencegah stasis urine

5). Kolaborasi : pemberian obat sesuai indikasi Rasional : mengurangi keluhan

b.Perubahan pola eliminasi berkemih (polakisuria) berhubungan dengan obstruksi mekanik

Tujuan : Mempertahankan fungsi ginjal adekuat Intervensi :

1). Awasi pemasukan dan pengeluaran dan karakteristik urine

Rasional : memberikan informasi tentang fungsi ginjal dan adanya komplikasi. 2). Tetapkan pola berkemih normal klien dan perhatikan variasi

Rasional : kalkulus dapat menyebabkan eksibilitas saraf, sehingga menyebabkan sensasi kebutuhan berkemih segera.

3). Dorong peningkatan intake cairan

Rasional : peningkatan hidrasi membilas bakteri, darah, dan dapat membantu lewatnya batu

4). Periksan semua urine, catat adanya batu

Rasional : penemuan batu memungkinkan identifikasi tipe dan jenis batu untuk pilihan terapi.

5). Selidiki keluhan kandung kemih penuh

Rasional : Retensi urine dapat terjadi, menyebabkan distensi jaringan 6). Kolaborasi : awasi pemeriksaan laboratorium

Rasional : hal ini mengindikasikan fungsi ginjal

c.Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis pasca obstruksi

(22)

Tujuan : Mencegah komplikasi Intervensi :

1). Awasi pemasukan dan pengeluaran

Rasional : membandingkan keluaran aktual dan yang diantisipasi membantu dalam evaluasi adanya kerusakan ginjal

2). Tingkatkan pemasukan cairan sampai 3-4 liter / hari dalam toleransi jantung

Rasional : mempertahankan keseimbangan cairan untuk homeostasis tindakan “mencuci” yang dapat membilas batu keluar.

3). Observasi tanda-tanda vital

Rasional : indikasi hidrasi / volume sirkulasi dan kebutuhan intervensi 4). Kolaborasi : awasi Hb. / Ht., elektrolit

Rasional : mengkaji hidrasi dan keefektifan / kebutuhan intervensi

d.Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan / mengingat, salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi

Tujuan : Memberikan informasi tentang proses penyakitnya / prognosis dan kebutuhan pengobatan

Intervensi :

1). Kaji ulang proses penyakit

Rasional : memberikan pengetahuan dasar di mana klien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi

2). Tekankan pentingnya peningkatan masukan cairan

Rasional : pembilasan sistem ginjal menurunkan kesempatan pembentukan batu 3). Kaji ulang program diet

Rasional : diet tergantung tipe batu 4.Implementasi

Implementasi keperawatan merupakan tahap ke ekmpat dari proses keperawatan dimana rencana perawatan dilaksanakan. Pada tahap ini perawat siap untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas – aktivitas yang telah dicatat dalam rencana perawatan pasien.

Agar implementasi perencanaan ini dapat tepat waktu dan efektif terhadap biaya, perlu mengidentifikasi prioritas perawatan pasien kemudian bila telah dilaksanakan memantau dan mencatat respon pasien terhadap setiap intervensi dan

(23)

mengkomunikasikan informasi ini kepada penyedia perawatan kesehatan lainnya (Doenges, 1998 Hal 105).

5.Evaluasi

Evaluasi dilakukan untuk menilai tingkat keberhasilan pelayanan asuhan keperawatan yang telah dilakukan. Dalam tahap ini, akan terlihat apakah tujuan yang telah disusun tercapai atau tidak.

Pada penderita dengan ureterolithiasis, hasil evaluasi yang diharapkan meliputi : a.Nyeri hilang / terkontrol

b.Keseimbangan cairan dan elektrolit dipertahankan c.Komplikasi dicegah / minimal

d.Proses penyakit / prognosis dan program terapi dipahami

C. Long Barbara, Perawatan Medikal Bedah , jilid 3, Yayasan IAPK Pajajaran, Bandung, 1996

Doenges ME, dkk., Rencana Asuhan Keperawatan, edisi 3, EGC, Jakarta, 2000

Engram, Barbara, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, volume I, EGC, Jakarta , 1999

Marry Ann Matteson, Introductory Nursing Care of Adults, Sounder Company, Philadelpia Penn Sylvani, 1995

Purnomo, B. Basuki, Dasar-dasar Urolog , cetakan I, CV. Infomedika, Jakarta, 2000 Robert Prihardjo, Pengkajian Fisik Keperawatan, cetakan II, EGC, Jakarta, 1996 Wim de Jong dan Sjamsuhidayat, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta, 1998

(24)

http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/17/urolithiasis/ visit 17/12/2008. 6;35 Pudji Wiyanti.

HERNIA NUKLEUS PULPOSUS Pengertian

Diskus Intervertebralis adalah lempengan kartilago yang membentuk sebuah bantalan diantara tubuh vertebra. Material yang keras dan fibrosa ini digabungkan dalam satu kapsul. Bantalan seperti bola dibagian tengah diskus disebut nukleus pulposus. HNP merupakan rupturnya nukleus pulposus. (Brunner & Suddarth, 2002)

Hernia Nukleus Pulposus bisa ke korpus vertebra diatas atau bawahnya, bisa juga langsung ke kanalis vertebralis. (Priguna Sidharta, 1990)

(25)

Protrusi atau ruptur nukleus pulposus biasanya didahului dengan perubahan degeneratif yang terjadi pada proses penuaan. Kehilangan protein polisakarida dalam diskus menurunkan kandungan air nukleus pulposus. Perkembangan pecahan yang menyebar di anulus melemahkan pertahanan pada herniasi nukleus. Setela trauma *jatuh, kecelakaan, dan stress minor berulang seperti mengangkat) kartilago dapat cedera.

Pada kebanyakan pasien, gejala trauma segera bersifat khas dan singkat, dan gejala ini disebabkan oleh cedera pada diskus yang tidak terlihat selama beberapa bulan maupun tahun. Kemudian pada degenerasi pada diskus, kapsulnya mendorong ke arah medula spinalis atau mungkin ruptur dan memungkinkan nukleus pulposus terdorong terhadap sakus dural atau terhadap saraf spinal saat muncul dari kolumna spinal.

Hernia nukleus pulposus ke kanalis vertebralis berarti bahwa nukleus pulposus menekan pada radiks yang bersama-sama dengan arteria radikularis berada dalam bungkusan dura. Hal ini terjadi kalau tempat herniasi di sisi lateral. Bilamana tempat herniasinya ditengah-tengah tidak ada radiks yang terkena. Lagipula,oleh karena pada tingkat L2 dan terus kebawah sudah tidak terdapat medula spinalis lagi, maka herniasi di garis tengah tidak akan menimbulkan kompresi pada kolumna anterior.

Setelah terjadi hernia nukleus pulposus sisa duktus intervertebralis mengalami lisis sehingga dua korpora vertebra bertumpang tindih tanpa ganjalan.

(26)

PATOFLOW :

Manifestasi Klinis

Nyeri dapat terjadi pada bagian spinal manapun seperti servikal, torakal (jarang) atau lumbal. Manifestasi klinis bergantung pada lokasi, kecepatan perkembangan (akut atau kronik) dan pengaruh pada struktur disekitarnya. Nyeri punggung bawah yang berat, kronik dan berulang (kambuh).

(27)

Pemeriksaan Diagnostik

1. RO Spinal : Memperlihatkan perubahan degeneratif pada tulang belakang

2. M R I : untuk melokalisasi protrusi diskus kecil sekalipun terutama untuk penyakit spinal lumbal.

3. CT Scan dan Mielogram jika gejala klinis dan patologiknya tidak terlihat pada M R I

4. Elektromiografi (EMG) : untuk melokalisasi radiks saraf spinal khusus yang terkena.

Penatalaksanaan 1. Pembedahan

Tujuan : Mengurangi tekanan pada radiks saraf untuk mengurangi nyeri dan mengubah defisit neurologik.

Macam :

a. Disektomi : Mengangkat fragmen herniasi atau yang keluar dari diskus intervertebral

b. Laminektomi : Mengangkat lamina untuk memajankan elemen neural pada kanalis spinalis, memungkinkan ahli bedah untuk menginspeksi kanalis spinalis, mengidentifikasi dan mengangkat patologi dan menghilangkan kompresi medula dan radiks

c. Laminotomi : Pembagian lamina vertebra. d. Disektomi dengan peleburan.

2. Immobilisasi

Immobilisasi dengan mengeluarkan kolor servikal, traksi, atau brace. 3. Traksi

Traksi servikal yang disertai dengan penyanggah kepala yang dikaitkan pada katrol dan beban.

4. Meredakan Nyeri

Kompres lembab panas, analgesik, sedatif, relaksan otot, obat anti inflamasi dan jika perlu kortikosteroid.

Pengkajian 1. Anamnesa

(28)

Keluhan utama, riwayat perawatan sekarang, Riwayat kesehatan dahulu, Riwayat kesehatan keluarga

2. Pemeriksaan Fisik

Pengkajian terhadap masalah pasien terdiri dari awitan, lokasi dan penyebaran nyeri, parestesia, keterbatasan gerak dan keterbatasan fungsi leher, bahu dan ekstremitas atas. Pengkajian pada daerah spinal servikal meliputi palpasi yang bertujuan untuk mengkaji tonus otot dan kekakuannya.

3. Pemeriksaan Penunjang

Diagnosa Keperawatan yang Muncul 1. Nyeri b.d Kompresi saraf, spasme otot

2. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri, spasme otot, terapi restriktif dan kerusakan neuromuskulus

3. Ansietas b.d tidak efektifnya koping individual

4. Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi mengenai kondisi, prognosis dan tindakan pengobatan.

Intervensi

1. Nyeri b.d kompresi saraf, spasme otot

a. Kaji keluhan nyeri, lokasi, lamanya serangan, faktor pencetus / yang memperberat. Tetapkan skala 0 – 10

b. Pertahankan tirah baring, posisi semi fowler dengan tulang spinal, pinggang dan lutut dalam keadaan fleksi, posisi telentang

c. Gunakan logroll (papan) selama melakukan perubahan posisi d. Bantu pemasangan brace / korset

e. Batasi aktifitas selama fase akut sesuai dengan kebutuhan f. Ajarkan teknik relaksasi

g. Kolaborasi : analgetik, traksi, fisioterapi

2. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri, spasme otot, terapi restriktif dan kerusakan neuromuskulus

a. Berikan / bantu pasien untuk melakukan latihan rentang gerak pasif dan aktif b. Bantu pasien dalam melakukan aktivitas ambulasi progresif

(29)

c. Berikan perawatan kulit dengan baik, masase titik yang tertekan setelah rehap perubahan posisi. Periksa keadaan kulit dibawah brace dengan periode waktu tertentu. d. Catat respon emosi / perilaku pada immobilisasi

e. Demonstrasikan penggunaan alat penolong seperti tongkat. f. Kolaborasi : analgetik

3. Ansietas b.d tidak efektifnya koping individual a. Kaji tingkat ansietas pasien

b. Berikan informasi yang akurat

c. Berikan kesempatan pasien untuk mengungkapkan masalah seperti kemungkinan paralisis, pengaruh terhadap fungsi seksual, perubahan peran dan tanggung jawab. d. Kaji adanya masalah sekunder yang mungkin merintangi keinginan untuk sembuh dan mungkin menghalangi proses penyembuhannya.

e. Libatkan keluarga

4. Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi mengenai kondisi, prognosis a. Jelaskan kembali proses penyakit dan prognosis dan pembatasan kegiatan

b. Berikan informasi mengenai mekanika tubuh sendiri untuk berdiri, mengangkat dan menggunakan sepatu penyokong

c. Diskusikan mengenai pengobatan dan efek sampingnya.

d. Anjurkan untuk menggunakan papan / matras yang kuat, bantal kecil yang agak datar dibawah leher, tidur miring dengan lutut difleksikan, hindari posisi telungkup. e. Hindari pemakaian pemanas dalam waktu yang lama

f. Berikan informasi mengenai tanda-tanda yang perlu diperhatikan seperti nyeri tusuk, kehilangan sensasi / kemampuan untuk berjalan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Smeltzer, Suzane C, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth edisi 8 Vol 3, Jakarta : EGC, 2002

2. Doengoes, ME, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 2, Jakarta : EGC, 2000.

(30)

4. Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah, Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran, 1996.

5. Priguna Sidharta, Sakit Neuromuskuloskeletal dalam Praktek, Jakarta : Dian Rakyat, 1996.

6. Chusid, IG, Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional, Yogyakarta : Gajahmada University Press, 1993

Penanggulangan Gagal Ginjal Kronik dan Kemajuannya R.P. Sidabutar

Sub. Bagian Ginjal Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia /

RS Dr. Ciptomangunkusumo Jakarta.

Gagal Ginjal Kronik adalah suatu kerusakan kekurangan fungsi ginjal yang hampir selalu tidak reversibel dan sebabnya bermacam-macam. Uremia adalah istilah yang sudah lama dipakai yang menggambarkan suatu gambaran klinik sebagai akibat

gagal ginjal. Sebenarnya pada dewasa ini sudah dipahami bahwa retensi urea di dalam darah bukanlah penyebab utama gejala gagal ginjal, bahkan binatang percobaan yang diberi banyak urea secara intravena, tidak menunjukkan gejala-gejala uremia. Banyak istilah yang dalam bahasa Inggris dipakai untuk menggambarkan gagal ginjal, tetapi renal failure merupakan istilah yang lazim dipakai.

Penyebab Gagal Ginjal Kronik

Penyebab Gagal Ginjal Kronik dapat dibagi dua, yaitu : 1. Kelainan parenkim ginjal

a. Penyakit ginjal primer Glomerulonefritis Pielonefritis Ginjal polikistik TBC ginjal

(31)

b. Penyakit ginjal sekunder Nefritis lupus Nefropati analgesik Amiloidosis ginjal 2. Penyakit ginjal obstruktip

Pembesaran prostat batu, Batu saluran kencing, dll. Tahapan Gagal Ginjal Kronik

Pada tahap ringan tidak ada gejala gagal ginjal kronik sampai pada suatu ketika filtrasi glomeruler (GFR) menurun sampai 10% dari normal. Kalau GFR masih di atas 25 ml/menit ekskresi zat-zat yang larut tidak berubah. Bila klirens kreatinin turun sampai antara 5 dan 20 ml/menit, ekskresi zat-zat larut mulai terganggu, tetapi pada umumnya masih mungkin memelihara kesehatan penderita dengan kualitas hidup yang baik.Bila klirens kreatinin turun sampai di bawah 5 atau 3 ml/menit, dibutuhkan penanggulangan khusus. Saat ini disebut gagal ginjal kronik berat.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan mengenali simtom dan tanda-tanda klinik serta pemeriksaan-pemeriksaan khusus. Langkah-langkah diagnostik bertujuan menegakkan tahapan gagal ginjal dan etiologi gagal ginjal kronik.

Pengobatan

Pengobatan dapat dibagi 2 golongan: Pengobatan konservatif

Pengobatan pengganti (Replacement treatment)

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa pengobatan konservatif masih mungkin dilakukan, bila klirens kreatinin lebih dari 5 ml/menit , tetapi bila sudah turun sampai kurang dari 5 ml/menit, harus ditetapkan apakah penderita tersebut mungkin

diberi pengobatan pengganti. Tujuan pengobatan konservatif adalah memanfaatkan faal ginjal yang masih bisa, mencegah faktor-faktor pemberat dan di mana mungkin mencoba memperlambat progresi gagal ginjal.

(32)

Pengobatan pengganti pada dasarnya adalah dialisis dan transplantasi. Pengobatan konservatif terdiri dari:

I . a. Minum yang cukup b. Pengaturan diet protein c. Pengendalian hipertensi d. Pengobatan anaemia

e. Pengobatan gangguan elektrolit f. Pengobatan asidosis

g. Pengobatan osteodistrofi h. Pengobatan bakteruri

i. Pengobatan hiperurikaemi berat j. Pengobatan gejala saluran pencernaan k. Pengobatan gejala saraf dan otot 1. Pengobatan pruritis

II . a. Menghindarkan obat nefrotoksik

b. Menghindarkan kontras radiologik yang tidak amat perlu c. Menghindarkan instrumentasi yang tidak amat perlu d. Mencegah kehamilan pada penderita yang berrisiko tinggi e. Mencegah pemberian hal-hal yang toksik secara tidak sengaja Kemajuan di bidang pengobatan konservatif terutama timbul dalam : a. Pengertian yang lebih baik mengenai metabolisme protein

b. Pengertian yang lebih baik mengenai hiperterrsi padagagal ginjal c. Pilihan obat yang lebih luas pada hipertensi gagal ginjal

d. Pengertian yang lebih baik dan kemungkinan memberi 1,25 dihidroksi kalsiferol untuk osteodistrofi

e. Pengertian yang baik mengenai timbulnya pruritus

Diet rendah protein ditujukan untuk mencapai imbangan nitrogen yang positip. Metabolisme protein dapat disokong dengan pemberian protein yang mengandung asam amino essensial secara cukup. Pemberian asam amino essensial dapat dilakukan dengan diet protein nilai biologik tinggi atau pemberian substitusi semi sintetik.

(33)

Di samping itu harus diberi kalori yang cukup, yang pada umumnya dapat diberi dalam bentuk glukosa cair. Diet Giordano Giovanetti berisi 18 g protein nilai

biologik tinggi. Pengertian dan pengobatan hipertensi pada gagal ginjal mengalami kemajuan yang sangat berarti. Diet rendah garam tidak boleh diberikan secara membabi buta, karena pada fase tertentu gagal ginjal kronik disertai sifat membuang natrium (salt wasting renal failure). Dalam memilih obat anti hipertensi

Cermin Dunia Kedokteran No. 28, 1982 1 9

harus dihindari obat-obat yang merendahkan filtrasi glomeruler dan obat yang berakumulasi dalam darah yang dapat menyebabkan hipotensi .yang berlarut.

Pada gagal ginjal kronik ringan, beta blocker atau prazosin dapat dipergunakan. Pada keadaan yang berat atau dalam keadaan yang gawat, 150—300 mg diasoksit intravena atau 0,9 mg/500 ml dekstrose 5% dalam tetesan intravena dapat diberi. Bila dibutuhkan diuretika untuk mencegah retensi natrium, furosemit dapat diberi 40 mg -1000 mg/hari, tetapi harus diingat bahwa pemberian yang terlalu cepat intravena dapat menimbulkan tuli sementara.

Diuretika lup lain seperti bumetamit dapat juga diberikan, asam etakrinik harus diberikan lebih hati-hati.1,25 dihidroksikolkalsiferol 0,25 mikrogram perhari dapat mencegah osteodistrofi yang disebabkan resistensi terhadapvitamin D.

Pruritis kadang-kadang sangat sukar dikendalikan dan penyebabnya multipel. Pruritis yang disebabkan oleh nilai perkalian kalsium dan fosfat yang tinggi dapat dihindarkan secara perlahan, dengan memberikan pengikat fosfat di dalam usus misalnya aluminium hidroksit. Bila disertai hiperurikaemia, allopurinol dapat dianjurkan. Harus pula diperhatikan, kemungkinan gatal-gatal karena kepekaan terhadap obat. Difen-hidramin, lidokain intravena, radiasi ultra violet kadang-kadang dapat menolong. Walaupun sebagian penderita gagal ginjal kronik bisa subur, sebagian besar tidak subur. Sebaiknya kehamilan dicegah pada gagal ginjal sedang dan berat, karena gagal ginjal dapat menjadi progresif. Nilai kreatinin darah lebih dari 3 mg% dan gagal

ginjal disertai hipertensi yang nyata, merupakan tanda-tanda risiko yang besar.

Tidaklah jarang dalam memberikan sesuatu obat atau sesuatu zat, secara tidak disadari terikut zat-zat yang toksik seperti kalium dan magnesium. Dengan demikian kita memberikan obat dan zat-zat apa pun kepada penderita gagal ginjal kronik, setelah mengetahui dengan tepat komposisi daripada obat-obat dan zat tersebut.

(34)

Pengobatan Pengganti

Dialisis adalah salah satu kemungkinan pengobatan pengganti. Sudah kita ketahui bahwa dialisis dapat berupa:

-- Hemodialisis -- Dialisis peritoneal -- Dialisis intestinal -- Dialisis pleural -- Dialisis perikardial

Dialisis pleural dan dialisis perikardial tidak mempunyai nilai klinik karena tidak praktis dan risikonya besar.

Dialisis peritoneal pada mulanya hanya dianjurkan untuk gagal ginjal akut yang tidak hiperkatabolik. Sikap tersebut timbul karena dialisis peritoneal tidak seefektif hemodialisis, sehingga memerlukan waktu dialisis yang panjang. Di samping itu teknik untuk berkali-kali menusuk dinding abdomen atau menempatkan kateter permanen belum dikuasai. Tetapi kemudian kesulitan ini diatasi dengan diperke-nalkannya berbagai kateter, yang dapat bertahan lama.

Boen dkk 1962: mengemukakan pengalaman dengan dialysis peritoneal intermiten yang memakai sistem tertutup (1) kateter yang permanen yang kemudian menjadi standar pada penggunaan dialisis peritoneal untuk gagal ginjal kronik (5).

Dialisis peritoneal intermitten terutama dengan alat-alat otomatik tertutup banyak dipergunakan tetapi tidak sebanyak hemodialisis. Pada akhir tahun tujuhpuluhan hanya sekitar 5% penderita gagal ginjal kronik yang diobati dengan cara ini.

Kemajuan yang menyolok timbul setelah diperkenalkannya 20 Cermin Dunia Kedokteran No. 28, 1982

teknik baru yaitu CAPD (Chronic Ambulatory Peritoneal Dialysis) oleh Popovich.R.P., Moncrief J.W., dan Dechero J.B.(4)Pada dasarnya cara ini mereka kemukakan sebagai sistem klirens rendah dan ekuilibrium. Azas proses ini adalah membuat asites sengaja, dengan sebanyak 1,5--2 liter cairan yang komposisinya sama dengan serum normal tetapi tentunya tidak mengandung albumin (jadi cairan ini hampir sama dengan cairan dialisis peritoneal biasa). Cairan ini diganti 3 sampai 6 kali sehari. Pada tahun 1978 Oreopoulos D.G. dkk mengetengahkan pengalaman yang luas dan hasil yang memuaskan mempergunakan CAPD pada GGK. (2)

(35)

Banyak kepustakaan yang mencoba menganalisa dan membandingkan cara-cara ini dengan dialisis intermitten yang lazim dilakukan. Pada umumnya beberapa kesimpulan disetujui, yaitu:

1. CAPD diterima sebagai pengobatan pengganti terus-menerus,(continuous) sebagai alternatif pengobatan pengganti intermiten lainnya.

2. Pelaksanaannya walaupun sederhana tetap mempunyai beberapa kesulitan sebagai kesulitan sementara misalnya kelebihan glukosa dan kesulitan yang sukar dihindari seperti sklerosis peritoneal.

3. Hasil-hasil 1 sampai 2 tahun masih sangat bervariasi, sebagian mengatakan baik sebagian lain hasilnya buruk. (3)

4. Masa depan CAPD masih belum jelas, walaupun memberi harapan untuk kebebasan yang lebih luas bagi penderita serta mungkin penghematan biaya. 5. CAPD harus dipertimbangkan secara sungguh-sungguh pada penderita GGK

dengan diabetes mellitus yang tergantung pada insulin dan GGK dengan kelainan kardiovaskuler yang nyata.

6. Kriteria yang tegas untuk memilih antara CAPD dan hemodialisis menahun sampai sekarang belum jelas.

7. Beberapa hal harus diingat dalam menganjurkan CAPD,yaitu:

a. Agaknya akan ada pembatasan waktu efektifitas CAPD karena toleransi peritoneal.

b. Sesuatu program CAPD memerlukan suatu team.

c. Masih diperlukan perjalanan multi center yang lebih luas untuk menetapkan kriteria memilih CAPD.

Kemajuan di hidang hemodialisis terutama terjadi pada peningkatan efisiensi, peningkatan peralatan sehingga lebih aman,mudah dan teliti.

Efisiensi ditingkatkan dengan membran-membran baru, pengamanan dari gelembung udara, kebocoran membran diperoleh dengan berbagai modifikasi serta ketelitian dicapai misalnya dengan sebelumnya dapat mengatur beberapa cairan yang akan ditarik pada tiap dialisis.Dari segi komplikasi diketahui bahwa aluminium dalam dialisat memegang peranan penting dalam terjadinya dimensi dialisis.Idaman untuk sesuatu "alat dialisis" yang ditanam di dalam badan sampai saat ini belum terwujud. Pemakaian heparin pada sirkulasi di luar badan kadang-kadang dapat membawa kesulitan maka ada usaha untuk menaburi seluruh sistema sirkulasi di luar tubuh dengan antikoagulonsia.

(36)

Sehingga darah tidak membeku tetapi sifat darah sendiri tidak berubah.

Teknik untuk heparinisasi minimal yang membilas sirkulasi luar tubuh diperkenalkan pula untuk membran tertentu.

Survival donor mayat dan EDTA nampak pada gambar 3A danB. Survival donor hidup EDTA dan di Jakarta nampak pada gambar 4. Transplantasi

Transplantasi sudah merupakan prosedur rutin. Teknik bedah tidak merupakan kesulitan lagi. Usaha pada dasarnya ditugas-kan untuk meningkatditugas-kan "survival".

Rejeksi lebih dipahami karena itu di kemudian hari akan terbuka jalan baru untuk melawan rejeksi.

Rejeksi pada transplantasi tadinya diduga sesuatu proses arah dari sistema kekebalan tubuh resipien untuk menolak ginjal donor. Akan tetapi kemudian disadari bahwa ada juga proses yang mengurangi kemungkinan rejeksi atau inhibitor rejeksi. Imbangan kedua faktor inilah yang menentukan terjadinya atau tidak terjadinya rejeksi.

Yang mendorong terjadinya rejeksi adalah : 1. Limfosit sitotoksik

2. Antibodi 3. Makrofag 4. Granulosik 5. Sel K dan sel N K 6. "Helper limfosit"

Yang menghalangi rejeksi adalah: 1. Antibodi enhancing

2. Limfosit Supresor T 3. Antibodi anti idiotype

4. Imun kompleks dalam sirkulasi 5. Limfokinesis

6. Efek inhibisi makrofag 7. Prostaglandin

(37)

Hemodialisis tetap merupakan pilihan utama pada GGK yang memerlukan pengobatan pengganti.

Kemajuan di hidang hemodialisis terutama terjadi pada peningkatan efisiensi, peningkatan peralatan sehingga lebih aman, mudah dan teliti.

SURVIVAL GINJAL DONOR MAYAT EDTA Gambar : 3 A dan 3 B

Walaupun terdapat kemajuan-kemajuan seperti tersebut diatas, survival transplantasi ginjal, baik donor hidup maupun donor mayat tidak menyolok berubah. Gambar 3A, 3B, dan 4 menunjukkan survival pada kelompok The European Dialysis and Transplant Association serta Jakarta.

Kesimpulan

Dikemukakan dasar-dasar pengobatan gagal ginjal kronik. Kemajuan yang menyolok tidak banyak. Di bidang dialisis

CAPD membuka era baru yang di tahun-tahun mendatang akan lebih jelas kedudukannya.

Di bidang transplantasi pengetahuan mengenai mekanisme rejeksi lebih jelas tetapi akibatnya terhadap survival belum nyata. Survival transplantasi ginjal di Jakarta tidak banyak berbeda dengan EDTA.

Kepustakaan

1. Boen ST, Mulinari AS, Dillard DH, Screbner BH. Periodic peritoneal dialysis

in the management of chronic uraemia. Trans Am Soc Artif Organs 1962; 8 : 256-262.

2. Oreopoulos DG, Robson M, Izatt S et al. A simple and safe tech-nique for continous ambulatory dialysis (CAPD). Trans Am. Soc. Artif intern Organs 1978; 24 : 484-487.

3. Oreopoulos DG. An up date on continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD). Int I Artif Organs 1980; 3 : 231.

4. Popovich RP, Moncrief JW, Dechero JB et al. The definition of a novel portable wearable equilibrium peritoneal dialysis technique. Abstracts. Trans Am Soc Artif Organs 1976;5 : 64.

(38)

5. Tenckhoff H, Schecter H. A bacteriologically safe peritoneal acces device. Trans Am Soc Artif Organis 1968; 14 : 181-186.

Hipertensi Renal Made Sukahatya

Sub. Bagian Ginjal -- Hipertensi Bagian llmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNAIR

Surabaya.

PENDAHULUAN

Peranan ginjal dalam terjadinya hipertensi telah dikirakanoleh R.Bright dalam tahun 1836, akan tetapi baru menjadi konsep penting setelah percobaan klasik dari Dr. Harry Goldblatt pada tahun 1934 (3, 8, 18). Untuk masa berikutnya terjadi periode kekacauan klinik tentang hubungan ginjal dan hipertensi. Ada kelompok sarjana yang berpendapat bahwa etiologi dari semua hipertensi adalah kelainan ginjal; kelompok lain berpendapat sebaliknya yaitu bahwa ginjal jarang sekali memegang peranan dalam terjadinya hipertensi.

Pada masa kini kebanyakan sarjana berpendapat bahwa antara hipertensi dan penyakit ginjal terdapat jalinan hubungan sebab-akibat yang erat sekali. Semua sebab-sebab primer dari hipertensi dapat menyebabkan kelainan ginjal akibat tingginya tekanan darah per se ; kelainan ginjal tersebut bila cukup berat, akan menyebabkan hipertensinya menetap walaupun sebab primernya dapat dihilangkan. Pemakaian obat-obat untuk menormalkan tekanan darah akan mencegah atau memperlambat kerusakan ginjal, walaupun sebab primernya tetap

ada (3, 8, 12, 13, 14, 18). Sebaliknya, penyakit ginjal primer sering mengakibatkan timbulnya hipertensi.22

Dalam hubungan ini dikenal 4 hipotesa utama yaitu:

1. Ketidak sanggupan ginjal untuk merusak atau mengekskresi suatu bahan presor. 2. Ketidak sanggupan ginjal untuk menghasilkan suatu bahanantipresor.

3. Ginjal menghasilkan suatu bahan vasokonstriktor.

4. Pengaruh ginjal terhadap keseimbangan elektrolit (NA) dan air.

Hipotesa yang kini paling banyak dianut oleh para klinisi adalah terdapatnya hubungan abnormal antara pengaturan eksresi garam-air dengan sistim rennin

(39)

angiotensin aldosteron; sehingga hipertensi dibedakan dalam 2 golongan yaitu: hipertensi karena renin (renin-dependent hypertension) dan hipertensi karena

garam-air (volume-dependent hypertension) (4, 5, 12, 15, 17). BATASAN DAN ETIOLOGI

Hipertensi renal adalah hipertensi sekunder yang disebabkan oleh kelainan parenkim ginjal dan atau pembuluh darahmginjal unilateral atau bilateral (3, 12, 18). Angka kejadiannya berkisar antara 10--20% dari semua kasus hipertensi dan yang

dapat disembuhkan dengan pembedahan kurang lebih 5%

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/06_PenanggulanganGagalGinjalkronik.pdf/06_ PenanggulanganGagalGinjalkronik.html.visit, 17/12/2008, 6;54. Pudji Wiyanti KONDAS GAGAL GINJAL KRONIK (GGK)

PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut , serta bersifat persisten dan irreversible.

Menurut catatan medical record RS Fatmawati klien gagal ginjal kronik yang dirawat di RS Fatmawati pada periode 1 Agustus 2003 – 31 Juli 2004 berjumlah 224 orang atau 6,73% dari 3327 penderita penyakit dalam yang dirawat, adapun periode 1 Agustus 2004 – 31 Juli 2005 berjumlah 237 orang atau 6,03 % dari 3930 klien penyakit dalam yang dirawat, hal ini menunjukan penurunan jumlah penderita gagal ginjal kronis yang dirawat sebesar 0,33 %, namun demikian masalah keperawatan yang sering timbul pada gagal ginjal kronik cukup kompleks, yang meliputi : kelebihan volume cairan, perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, kecemasan, penurunan cardiac out put, gangguan mobilitas fisik, konstipasi / diare, resiko tinggi injuri perdarahan, perubahan proses pikir dan kurangnya pengetahuan.

(40)

Dalam mengatasi berbagai permasalahan yang timbul pada pasien gagal ginjal kronik, peran perawat sangat penting, diantaranya sebagai pelaksana, pendidik, pengelola, peneliti, advocate. Sebagai pelaksana, perawat berperan dalam memberikan asuhan keperawatan secara profesional dan komprehensif yang meliputi : mempertahankan pola nafas yang efektif, mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit,

meningkatkan asupan nutrisi yang adekuat, meningkatkan aktivitas yang dapat ditoleransi dan mencegah injury.

Sebagai pendidik perawat memberikan pendidikan kesehatan, khususnya tentang perbatasan diet, cairan, dll. Perawat sebagai pengelola, yaitu perawat harus membuat perencanaan asuhan keperawatan dan bekerja sama dengan tenaga kesehatan lainnya sehingga program pengobatan dan perawatan dapat berjalan dengan baik. Peran perawat sebagai peneliti adalah menerapkan hasil penelitian di bidang keperawatan untuk meningkat mutu asuhan keperawatan. Peran perawat sebagai advocate adalah membela hak klien selama perawatan, seperti hak klien untuk mengetahui rasional penatalaksanaan medis, pemeriksaan penunjang , dan sebagainya.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk mendapatkan gambaran lebih jelas tentang bagaimana “Asuhan Keperawatan Pada Tn. J Yang Mengalami Gagal Ginjal Kronik di Lantai Kiri IRNA B Teratai Merah RS Fatmawati Jakarta”.

B. TUJUAN PENULISAN. 1. Tujuan Umum

Memberikan gambaran nyata tentang pelaksanaan Asuhan Keperawatan Pada Tn.J Yang Mengalami Gagal Ginjal Kronik di Lantai Kiri IRNA B Teratai Merah RS Fatmawati Jakarta

2. Tujuan KhususUntuk mendapatkan gambaran nyata tentang :

a. Pengkajian keperawatan pada klien Tn. J yang mengalami gagal ginjal kronik. b. Diagnosa keperawatan pada klien Tn. J yang mengalami gagal ginjal kronik. c. Perencanaan keperawatan pada klien Tn. J yang mengalami gagal ginjal kronik.

(41)

d. Implementasi pada klien Tn. J yang mengalami gagal ginjal kronik.

e. Hasil evaluasi keperawatan pada klien Tn. J yang mengalami gagal ginjal kronik. f. Faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan asuhan keperawatan pada

klien Tn. J yang mengalami gagal ginjal kronik.

C. METODE PENULISAN

Metode yang digunakan dalam penyelesaian laporan kasus ini adalah : 1. Metode Deskriptif

Metode deskriptif dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan, dengan cara mengumpulkan data langsung dari klien dan keluarga serta kolaborasi dengan tim kesehatan lain.

2. Metode Kepustakaan

Metode kepustakaan digunakan untuk mendapatkan sumber ilmiah yang berhubungan dengan masalah yaitu dengan mempelajari buku-buku dan makalah.

D. SISTEMATIKA PENULISAN

Dalam penulisan laporan kasus ini penulis membuat sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini meliputi Latar Belakang Masalah, Tujuan Penulisan secara umum dan khusus, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN TEORITIS

Berisikan atas dua Sub bagian pertama menguraikan tentang Konsep Dasar Gagal Ginjal Kronik meliputi Pengertian, Etiologi, Patofisiologi, Fisiologi, Tanda dan Gejala, Pemeriksaan penunjang, Komplikasi dan Penatalaksanaan Medis Sub bagian kedua menguraikan tentang Konsep Asuhan Keperawatan Pada Klien GGK yang meliputi Pengkajian, Diagnosa Keperawatan, Intervensi, Implementasi, dan Evaluasi Keperawatan.

(42)

BAB III TINJAUAN KASUS

Bab ini meliputi Gambaran Kasus, Diagnosa, Perencanaan, Implementasi, dan Evaluasi Keperawatan.

BAB IV PEMBAHASAN

Berisikan perbandingan antara teori dan fakta yang ada pada kasus, menganalisa faktor-faktor pendukung dan menghambat dalam mengambil kasus dan menentukan alternatif pemecahan masalah dalam mengidentifikasi Asuhan Keperawatan.

BAB V PENUTUP

Bab ini merupakan akhir dari laporan penulis yang berisikan tentang Kesimpulan dari Bab I sampai dengan Bab IV serta Saran-Saran untuk permasalahan yang belum dapat teratasi.

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. KONSEP DASAR GAGAL GINJAL KRONIK 1. Pengertian

Gagal ginjal kronik adalah destruksi struktur ginjal yang progresif dan terus menerus. Gagal ginjal kronik dapat timbul dari hampir semua penyakit. (Elizabeth J. Corwin, 2001)

Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat persisten dan irreversibel (Arif Mansjoer, 1999).

Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut (Slamet Suyono, 2001).

(43)

a. Anatomi Ginjal.

Secara normal, manusia memiliki dua ginjal ( ginjal kanan dan kiri ) setiap ginjal memiliki panjang 12 cm, lebar 7 cm, dan tebal maksimum 2,5 cm, dan terletak pada bagian belakang abdomen, posterior terhadap peritoneum, pada cekungan yang berjalan disepanjang sisi corpus vertebrae. Lemak perinefrik adalah lemak yang melapisi ginjal. Ginjal kanan terletak agak lebih rendah dari pada ginjal kiri karena adanya hepar pada sisi kanan. Sebuah glandula adrenalis terletak pada bagian atas setiap ginjal.

Struktur ginjal meliputi, kapsula fibrosa pada bagian luar, korteks adalah bagian ginjal yang pucat dan berbercak-bercak oleh glomerulus, medula yaitu bagian ginjal yang berwarna gelap dan bergaris terdiri dari sejumlah papilla renalis yang menonjol kedalam pelvis, dan pembesaran pada ujung atas ureter. Setiap ginjal dibentuk oleh sekitar satu juta nefron. Nefron adalah unit struktural dan fungsional ginjal. Setiap nefron terdiri dari tubulus renalis, glomerulus, dan pembuluh darah yang menyertainya. Setiap tubulus renalis adalah tabung panjang yang bengkok, dilapisi oleh selapis sel kuboid. Tubulus renalis dimulai sebagai kapsula bowman, mangkuk berlapis ganda yang menutupi glomerulus, terpuntir sendiri membentuk tubulus kontortus proksimal, berjalan dari korteks ke medula dan kembali lagi, membentuk ansa henle, terpuntir sendiri kembali membentuk tubulus kontortus distal. Dan berakhir dengan memasuki duktus koligentes. Setiap duktus koligentes berjalan melalui medula ginjal, bergabung dengan duktus koligentes dari nefron lain. Dan mereka membuka bersama pada permukaan papila renalis didalam pelvis ureter.

b. Fungsi Ginjal

1) Pengaturan cairan tubuh dan mengontrol keseimbangan asam basa. 2) Ekskresi produk akhir metabolisme.

3) Memproduksi Hormon.

Selain fungsinya sebagai pengendali keseimbangan air dan kimia tubuh, ginjal menghasilkan renin dan eritropitin. Renin diproduksi oleh sel-sel tertentu dalam dinding arteriol yang dilalui darah menuju glomerulus. Renin disekresi bila tekanan darah sangat menurun sehingga jumlah darah yang melewati ginjal tidak cukup.

Referensi

Dokumen terkait

gula darah pada penderita diabetes mellitus di wilayah kerja Puskesmas Toroh. 1

Diabetes mellitus adalah penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas tidak cukup menghasilkan insulin atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang

DBD umumnya dimulai dengan peningkatan suhu tubuh secara tiba-tiba yang disertai dengan kemerahan pada wajah.. serta gejala spesifik nonspesifik lain. DBD biasanya

Ulkus diabetika terutama terjadi pada penderita Diabetes #ellitus yang telah menderita * tahun atau lebih, apabila kadar glukosa darah tidak  terkendali, karena akan mun7ul

Keywords: hepatogenous diabetes, type 2 diabetes mellitus, 2hPP/FPG ratio, fasting insulin level ABSTRAK Latar belakang: Sekitar 30% penderita sirosis hati juga menderita diabetes

Adapun definisi dari Diabetes Melitus adalah Diabetes Mellitus adalah gangguan metabolisme kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah seseorang hiperglikemia

Kata kunci: diabetes mellitus tipe 2, ekstrak ethanol daun kersen, kadar insulin PENDAHULUAN Diabetes melitus tipe 2 merupakan kelainan metabolisme kronis, ditandai dengan

Prevalensi penderita diabetes mellitus mengalami peningkatan pada tahun Hubungan Kualitas Diet dengan Kadar Glukosa Darah pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 di Kota Yogyakarta The