• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.

Gulma di Kebun Tebu

Pengertian gulma selalu dikaitkan dengan perencanaan penggunaan sesuatu lahan, contohnya pada kondisi tertentu alang-alang masih berguna bagi manusia karena dapat mengurangi erosi dan meningkatkan bahan organik dalam tanah. Namun, bila lahan tersebut akan dipergunakan untuk budidaya tanaman pokok maka berubahlah statusnya menjadi gulma. Menurut Moenandir (1988) gulma selalu berada dimana ada tanaman tumbuh karena gulma selalu berasosiasi dengan tanaman tertentu. Dengan sendirinya gulma juga ada di sekitar tanaman dan saling berinteraksi. Salah satu bentuk interaksi adalah persaingan atau kompetisi. Persaingan gulma dalam memperebutkan unsur hara, air, cahaya matahari dan ruang akan mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman pokok (Tjitrosoedirdjo et al 1984). Gulma didefinisikan sebagai tanaman yang tidak diinginkan tumbuh pada tempat-tempat dimana tanaman pokok dibudidayakan oleh manusia (Humbert, 1968). Secara anthroposentris, gulma dapat didefinisikan sebagai semua jenis vegetasi atau tumbuhan yang menimbulkan gangguan pada lokasi tertentu terhadap tujuan yang diinginkan manusia dan sejenis tumbuhan yang individu-individunya sering kali tumbuh pada tempat-tempat dimana mereka menimbulkan kerugian pada manusia. Secara ekologis, gulma juga dapat didefinisikan sebagai tumbuhan yang telah beradaptasi dengan habitat buatan dan menimbulkan gangguan terhadap segala aktifitas manusia (Sastroutomo 1990). Gulma dapat berkembangbiak dengan menggunakan rhizome dan biji. Gulma yang berkembangbiak dengan biji sering sulit untuk dikontrol atau dikendalikan ketika gulma mencapai fase perkecambahan di sekeliling areal tanaman. Gulma yang berkembangbiak dengan akar sangat sulit dikontrol secara mekanis. Sering dijumpai beberapa akar gulma tetap berada pada kondisi yang sesuai untuk melanjutkan pertumbuhannya (Humbert 1968).

Menurut Kuntohartono (1987), gulma merupakan kendala utama di areal perkebunan tebu terutama karena terjadi peningkatan kelebatan pertumbuhan gulma yang cepat dan lebat dengan berbagai macam spesies yang mendominasi. Padahal pada masa-masa tertentu tebu harus terhindar dari persiangan gulma, salah satunya adalah ketika tebu pada masa bertunas dan memulai fase anakan. Masa tersebut merupakan masa kritis pertumbuhan tebu dan selepas masa kritis tersebut tebu mampu bersaing dengan gulma. Gulma tumbuh rapat sejak tanaman tebu berumur 4-6 minggu dan sangat lebat pada saat umur tanaman tebu 8-12 minggu.

Kehadiran gulma akan mempersulit pemeliharaan dan pemanenan serta menurunkan kualitas penebangan tebu, baik yang dilakukan secara manual, maupun mekanik. Peng (1984) menyatakan bahwa penurunan hasil yang disebabkan oleh gulma pada pertanaman tebu bisa mencapai 6.6% – 11.7% pada berbagai jenis tanah yang beragam. Pengaruh buruk yang diberikan oleh gulma dapat dilihat pada berkurangnya jumlah anakan tebu, batang tebu menjadi kecil, ruas pendek-pendek dan berwarna pucat.

Menurut Setyamidjaja dan Azharni (1992), macam spesies gulma di kebun tebu sangat ditentukan oleh cara mengolah tanah dan macam tanaman budidayanya. Pengolahan tanah menyeluruh dengan membajak akan mengurangi kepadatan berbagai spesies gulma dari keluarga poaceae, tetapi dapat menambah pertumbuhan teki dan berbagai spesies gulma berdaun lebar. Pada lahan tegalan, macam spesies gulma pada pertanaman baru agak berbeda dengan keprasannya, karena waktu pertumbuhan tanaman baru jatuh pada awal musim hujan, sedangkan waktu pertumbuhan

(2)

5 keprasan adalah musim kemarau. Beberapa spesies gulma yang ada di kebun tebu dapat dilihat pada tabel 3 dan tabel 4.

Tabel 3. Spesies gulma penting di kebun tebu lahan sawah

(Sumber: Setyamidjaja 1992)

Tabel 4. Spesies gulma penting di kebun tebu lahan tegalan

Gulma Di pulau Jawa Di luar pulau Jawa

Berdaun sempit

Echinochloa colonum Echinochloa colonum Dactyloctenium aegyptium Dactyloctenium aegyptium Rottboelia exaltata Imperata cylindrica Digitaria sp Rottboelia exaltata

Eleusine indica

Berdaun lebar

Amaranthus spinosus Amaranthus spinosus Commelina benghalenisis Mimosa invisa Centrosema pubescens Mikania cordata Ageratum conyzoides Boreria alata Teki-tekian Cyperus rotundus Cyperus rotundus (Sumber: Setyamidjaja 1992)

B.

Teknik Pengendalian Gulma

Menurut Sukman (2002), pengertian pengendalian gulma (control) harus dibedakan dengan pemberantasan gulma (eradication). Pengendalian gulma (weed control) dapat didefinisikan sebagai proses membatasi gulma sedemikian rupa sehingga tanaman dapat dibudidayakan secara produktif dan efisien. Dalam pengendalian gulma tidak ada keharusan untuk membunuh seluruh gulma, melainkan cukup menekan pertumbuhan dan atau mengurangi populasinya sampai pada tingkat dimana penurunan produksi yang terjadi tidak berarti atau keuntungan yang diperoleh dari penekanan

Gulma Diolah secara Reynoso Diolah secara mekanis

di kebun bibit di kebun produksi

Berdaun sempit Cynodon dactylon Cynodon dactylon Echinochloa colonum Polytrias amaura Echinochloa colonum Leptochloa chinensis

Panicum reptans

Berdaun lebar Ipomoea triloba

Amaranthus spinosa Euphorbia sp Portulaca oleraceae Teki-tekian Cyperus rotundus Cyperus rotundus Cyperus rotundus

(3)

6 gulma sedapat mungkin seimbang dengan usaha ataupun biaya yang dikeluarkan. Dengan kata lain pengendalian bertujuan hanya menekan populasi gulma sampai tingkat populasi yang tidak merugikan secara ekonomik atau tidak melampaui ambang ekonomik, sehingga sama sekali tidak bertujuan menekan populasi gulma sampai nol.

Pemberantasan merupakan usaha mematikan seluruh gulma yang ada baik yang sedang tumbuh maupun alat-alat reproduksinya, sehingga populasi gulma sedapat mungkin ditekan sampai nol. Cara ini akan lebih baik dilakukan pada areal yang sempit dan tidak miring, sebab pada areal yang luas cara ini merupakan sesuatu yang mahal dan pada tanah miring kemungkinan besar menimbulkan erosi. Eradikasi pada umumnya hanya dilakukan terhadap gulma-gulma yang sangat merugikan dan pada tempat-tempat tertentu (Sukman 2002).

Menurut Sukman (2002), terdapat beberapa metode/cara pengendalian gulma yang dapat dipraktikkan di lapangan, metode-metode tersebut diantaranya adalah:

1. Pengendalian dengan upaya preventif (pembuatan peraturan/ perundangan, karantina, sanitasi dan peniadaan sumber invasi).

2. Pengendalian secara mekanis/fisik (pengerjaan tanah, penyiangan, pencabutan, pembabatan, penggenangan dan pembakaran).

3. Pengendalian secara kultur-teknis (penggunaan jenis unggul terhadap gulma, pemilihan saat tanam, cara tanam-perapatan jarak tanam/heavy seeding, tanaman sela, rotasi tanaman dan penggunaan mulsa).

4. Pengendalian secara hayati (pengadaan musuh alami, manipulasi musuh alami dan pengelolaan musuh alami yang ada di suatu daerah).

5. Pengendalian secara kimiawi (herbisida dengan berbagai formulasi, surfaktan, alat aplikasi dsb).

6. Pengendalian dengan upaya memanfaatkannya untuk berbagai keperluan seperti sayur, bumbu, bahan obat, penyegar, bahan/karton, biogas, pupuk, bahan kerajinan dan makanan ternak.

1.

Pengendalian Gulma Secara Kimia

Pengendalian secara kimiawi adalah mengenakan bahan-bahan kimia baik berupa cairan maupun padatan kepada bagian-bagian tanaman, bahan-bahan kimia atau obat-obatan tersebut disemprotkan dengan merang sebagai alat tradisional atau dengan alat penyemprot (sprayer) dan alat pedebu (duster) (Hermawan dkk 2010). Menurut Sukman (2002) bahan kimia atau obat-obatan yang dipergunakan sebagai pengendali gulma dikenal dengan nama herbisida. Sehingga menurutnya herbisida berarti suatu senyawa kimia yang digunakan untuk mengendalikan gulma tanpa mengganggu tanaman pokok. Adapun keuntungan yang diberikan oleh herbisida adalah sebagai berikut (Sukman 2002):

1. Dapat mengendalikan gulma sebelum mengganggu 2. Dapat mengendalikan gulma di larikan tanaman 3. Dapat mencegah kerusakan perakaran tanaman

4. Lebih efektif membunuh gulma tahunan dan semak belukar 5. Dalam dosis rendah dapat sebagai hormon tumbuh

6. Dapat menaikkan hasil panen tanaman dibandingkan dengan perlakuan penyiangan biasa. Disamping herbisida dapat memberikan kelebihan dan keuntungan, herbisida juga mempunyai kekurangan-kekurangan yang dapat merugikan. Kerugian itu antara lain adalah herbisida dapat menimbulkan: a) efek samping, b) spesies gulma yang resisten, c) polusi, dan d) residu dapat meracuni tanaman, pada pola pergiliran tanaman.

(4)

7 Pemilihan dan penggunaan jenis herbisida harus tepat dan sesuai dengan gulma yang ingin dikendalikan termasuk dengan tanaman yang di budidayakan. Oleh karenanya, menurut Sukman (2002) herbisida digolongkan menjadi beberapa macam. Penggolongan ini juga bertujuan untuk mempermudah pengenalan jenis herbisida yang sangat banyak jenisnya. Secara umum Sukman (2002) mengklasifikasikan herbisida menjadi empat, yaitu herbisida berdasarkan waktu aplikasi, herbisida berdasarkan aplikasi, herbisida berdasarkan molekul dan herbisida berdasarkan cara kerja.

a.

Herbisida Berdasarkan Waktu Aplikasi

Waktu aplikasi herbisida ditentukan oleh stadia pertumbuhan dari tanaman maupun gulma. Berdasarkan hal tersebut, maka Sukman (2002) membagi waktu aplikasi herbisida menjadi:

1. Pre plant, maksudnya herbisida diaplikasikan pada saat tanaman (crop) belum ditanam, tetapi tanah sudah diolah

2. Pre emergence, maksudnya herbisida diaplikasikan sebelum benih tanaman (crop) atau biji gulma berkecambah. Pada perlakuan ini benih dari tanaman (crop) sudah ditanam dan gulma belum tumbuh

3. Post emergence, maksudnya herbisida diaplikasikan pada saat gulma dan tanaman sudah lewat stadia perkecambahan. Aplikasi herbisida bisa dilakukan pada waktu tanaman masih muda maupun pada waktu tanaman sudah tua.

b.

Herbisida Berdasarkan Cara Aplikasi

Herbisida yang berdasarkan cara aplikasi ini Sukman (2002) membaginya menjadi dua yaitu melalui daun dan melalui tanah. Herbisida yang diaplikasikan melalui daun dibagi dua yaitu bersifat kontak dan sistemik. Bersifat kontak berarti herbisida hanya mematikan bagian hijau tumbuhan yang terkena semprotan, sedangkan yang bersifat sistemik herbisida yang diberikan pada gulma setelah diserap oleh jaringan daun kemudian ditranslokasikan keseluruh bagian tumbuhan (gulma) tersebut. Herbisida yang diaplikasikan melalui tanah adalah herbisida yang bersifat sistemik. Herbisida ini disemprotkan ke tanah yang kemudian akan diserap oleh akar gulma dan ditranslokasikan bersama aliran transpirasi sampai ke side of action pada jaringan daun dan menghambat proses pada photosystem II pada fotosíntesis.

Penggunaan herbisida dalam mengendalikan gulma di kebun tebu berbeda-beda, hal ini tergantung dari keadaan di lapangan. Beberapa diantaranya tergantung dari masa tanam tebu, jenis gulma dominan, jenis tebu yang dibudidayakan dan penutupan gulma. Ardhita (2009) menjelaskan bahwa pengendalian gulma secara kimia pada kebun tebu terdiri dari dua jenis, yaitu pengendalian sebelum gulma tumbuh (pre-emergence) dan pengendalian setelah gulma tumbuh (post-emergence).

Pengendalian gulma sebelum tumbuh (pre-emergence) adalah pengendalian gulma yang dilakukan pada saat biji gulma atau rimpang dan tebu belum berkecambah atau tumbuh, dilakukan 3 hari setelah tanam untuk Plant Cane (PC), dan 3 hari setelah tebang untuk Ratoon Cane (RC). Setyamidjaja 1992 menerangkan bahwa PC atau yang bisa disebut juga tanaman pertama merupakan budidaya tebu yang ditanam dari bibit tebu baru, sehingga sebelum proses penanaman membutuhkan penyiapan lahan dan pengolahan tanah terlebih dahulu agar tanah memiliki kondisi yang baik dan siap untuk ditanami tebu. Sedangkan RC atau yang bisa disebut juga tanaman tebu keprasan adalah tanaman tebu yang berasal dari tanaman pertama setelah ditebang dan tunggul-tunggulnya dipelihara kembali sampai menghasilkan tunas-tunas baru menjadi tanaman baru. Pelaksanaan pre-emergence pada kondisi lahan lembab dan bersih dari bongkahan-bongkahan dan sampah. Aplikasi pre-emergence paling optimum dilakukan pada rentang waktu antara pukul 04.00-09.00, karena pada waktu itu kondisi lahan masih lembab dan tidak ada angin yang bertiup.

(5)

8 Lebih lanjut Ardhita (2009) memaparkan bahwa pengendalian gulma setelah tumbuh (post-emergence) adalah pengendalian gulma yang dilakukan pada saat gulma dan tebu sudah tumbuh, dilakukan dengan menggunakan herbisida. Pelaksanaan pengendalian gulma secara post-emergence untuk tanaman tebu biasanya dilakukan 1 – 2 kali. Namun demikian, jika kondisi tajuk tebu (kanopi) sudah saling menutup, maka post-emergence hanya dilakukan 1 kali. Pada kondisi tertentu dimana masih dijumpai gulma yang tumbuh atau gulma yang merambat sebagai akibat lebih awalnya aplikasi post-emergence I atau kurang sempurnanya aplikasi post-emergence I, maka perlu dilaksanakan aplikasi post-emergence II. Post-emergence I dilakukan pada saat umur tanaman sekitar 2 bulan dan post-emergence II dilakukan pada sekitar umur 4 bulan. Post-emergence baik I maupun II dilakukan dengan peralatan hand sprayer.

Menurut Ardhita (2009), herbisida banyak dijual di pasaran dengan berbagai nama dagang, akan tetapi yang terpenting dalam pemilihan suatu herbisida adalah bahan aktif yang terkandung di dalam herbisida tersebut. Baik pre-emergence ataupun post-emergence memerlukan dosis yang tepat pada setiap aplikasinya. Tabel di bawah ini menampilkan beberapa jenis herbisida, konsentrasi dan dosis yang sering digunakan untuk pengendalian gulma di perkebunan tebu :

Tabel 5. Jenis dan dosis herbisida

Waktu

Aplikasi Jenis Tebu

Umur Tanaman (hari)

Dosis (liter/ha)

Diuron Ametryn 2.4D Paraquat Sticker

Pre-emergence PC/RPC/RC 1-5 2.5 - 1.5 - -

Post-Emergence 1 PC/RPC/RC 75 - 2 1.5 0.5 0.5

Post-Emergence 2 PC/RPC/RC 120 - - - 1.5 0.5

(Sumber: Arditha 2009)

Tabel 6. Jenis dan konsentrasi herbisida untuk post emergence

Aplikasi

Jenis dan konsentrasi herbisida/200 liter air Ametry

n Paraquat 2-4 Diamin Stiker

Post Emergence 1 Post Emergence 2 - Alternatif 1 - Alternatif 2 1 - 1 0.25 – 0.5 0.75 0.25 – 0.5 0.75 - 0.75 0.25 0.25 0.25 (Sumber: Arditha 2009)

(6)

9 Jika berdasarkan jenis gulma dan waktu aplikasinya, herbisida dapat dikelompokkan seperti dalam tabel 7:

Tabel 7. Jenis herbisida dan gulma sasarannya Jenis

Herbisida

Sifat Herbisida Objek Pengendalian

Keterangan Sistemik Kontak Daun

Sempit Daun Lebar Alang-alang Diuron √ - √ - - Pre-emergence Ametrin √ - √ - - Post-emergence 2-4 D. Amine √ - - √ - Pre/Post-emergence Paraquat - √ √ √ - Post-emergence Glyphosate √ - √ √ √ Post-emergence (Sumber: Arditha 2009)

2.

Pengendalian Gulma Secara Mekanis

Menurut Sukman (2002) pengendalian gulma secara mekanis merupakan usaha menekan pertumbuhan gulma dengan cara merusak bagian-bagian tanaman sehingga gulma tersebut mati atau pertumbuhannya terhambat. Dalam praktiknya dilakukan secara tradisional dengan tangan, alat sederhana sampai penggunaan alat berat yang lebih modern, sehingga pengendalian secara mekanis dapat dilakukan dengan cara; pengolahan tanah, pencabutan, pembabatan, pembakaran dan penggenangan. Setyamidjaja (1992) menyatakan pengendalian secara mekanis secara tidak langsung ditujukan untuk menekan populasi gulma dengan cara mengolah tanahnya pada persiapan penanaman tebu. Dengan pengolahan tanah yang baik dimana tanah dihaluskan dan digemburkan serta pada kadar air tanah yang tepat, populasi gulma dan macam spesies gulma berubah dan dengan demikian

dapat mengurangi persaingan terhadap tanaman tebu. Pengolahan tanah dengan alat-alat seperti cangkul, bajak, garu, traktor dan sebagainya, pada

umumnya juga berfungsi untuk mengendalikan gulma. Pengolahan tanah banyak mempengaruhi beberapa faktor penting bagi pertumbuhan gulma, yakni dapat membenamkan gulma dan menyebabkan kerusakan fisik karena dapat memotong akar gulma sehingga gulma mati disebabkan potongan-potongan akar akan mengering sebelum pulih kembali serta mengganggu kondisi hara tersebut (Sukman 2002). Metode pengolahan tanah dapat menentukan pertumbuhan dan perkembangan gulma pada suatu pertanaman. Hasil penelitian Pramuhadi (2005) menunjukkan bahwa penutupan gulma dan bobot kering gulma pada pertanaman tebu cenderung meningkat dengan bertambahnya intensitas penggaruan tanah, tetapi cenderung menurun dengan bertambahnya intensitas pembajakan tanah, terutama pembajakan dengan bajak singkal. Gulma kalah bersaing dengan tebu pada kondisi densitas dan tahanan penetrasi tanah yang rendah. Metode pengolahan tanah dengan intensitas pengolahan tanah minimum yang menghasilkan densitas dan tahanan penetrasi sebesar 1.2 – 1.3 g/cc dan 6.0 – 14.0 kgf/cm2 menyebabkan pertumbuhan gulma menjadi tertekan.

Menurut Hermawan dkk (2010) penyiangan atau pemberantasan gulma secara mekanis dapat dilakukan dengan cara memotong, mencabut akar atau menutup gulma tersebut. Cara penyiangan dengan memotong atau mencabut akar gulma akan lebih mudah dan baik dilakukan bila gulma tersebut sudah cukup tinggi, sedangkan penyiangan dengan menutup gulma (covering) akan lebih

(7)

10 efektif dilakukan untuk gulma yang pendek. Sembiring (1981) menyatakan mengenai cara pemberantasan alang-alang/gulma secara mekanis bermaksud menekan pertumbuhan alang-alang dengan memotong-motong rhizom, mengangkatnya ke permukaan untuk dikeringkan, membenamkan potongan rhizom ke dalam tanah. Soeryani (1970) diacu dalam Sembiring (1981) menyatakan terpotong-potongnya rhizom dapat mematahkan dominasi pucuk (apical dominance) yang menyebabkan tumbuhnya mata tunas dan mengakibatkan berkurangnya cadangan makanan dalam rhizom. Perihal waktu pelaksanaannya Setyamidjaja (1992) menyatakan bahwa pengendalian gulma secara mekanis lebih tepatnya dimulai sejak tanaman berumur 3-4 minggu dan diulangi 1-2 kali pada waktu gulma telah tumbuh lebat.

C.

Alat dan Mesin Pengendalian Secara Kimia

Masalah pengendalian hama serangga dan penyakit tumbuhan menyebabkan perlunya sebagian petani dan pekebun buahan-buahan untuk menambahkan dalam alat usahatani mereka mesin-mesin untuk pemberian pestisida baik dalam bentuk debu maupun cairan (Smith dan Wilkes 1976). Berdasarkan pernyataan tersebut maka untuk mengaplikasikan bahan kimia termasuk herbisida diperlukan alat dan mesin. Menurut Daywin (1992), saat ini sudah ada dua jenis alat yaitu sprayer dan duster, duster adalah alat yang digunakan untuk menghembuskan bahan kimia berbentuk tepung atau butiran halus sedangkan sprayer merupakan alat yang digunakan untuk menghembuskan bahan kimia berbentuk cairan. Duster memiliki konstruksi yang lebih sederhana dibandingkan sprayer dan bagian-bagian yang bergerak lebih sedikit.

Sprayer pertama kali dikembangkan dan digunakan untuk pemberian fungisida dalam pengendalian penyakit tanaman anggur di sekitar Borduex, Perancis. Sprayer tangan untuk memberantas serangga dikembangkan antara tahun 1850 – 1860 oleh John Bean dari California, D. B. Smith dari New York dan Brandt bersaudara dari Minnesota. Sprayer dengan tenaga motor bensin dikembangkan sekitar tahun 1900. Penyemprot yang dipasang pada traktor belum dikembangkan sampai beberapa tahun setelah diperkenalkan traktor untuk tanaman larikan pada tahun 1925. Palang penyemprot dipasang pada pesawat udara pertama kali pada awal tahun 1940-an (Smith dan Wilkes 1976).

1.

Fungsi Sprayer

Menurut Bronson dan Anderson dalam Smith (1990), fungsi utama dari suatu sprayer adalah memecah cairan menjadi tetes-tetes dengan ukuran yang efektif untuk didistribusikan secara merata di atas permukaan atau ruang yang harus dilindungi. Fungsi lain adalah mengatur banyaknya pestisida untuk menghindarkan pemberian yang berlebihan yang terbukti bersifat merusak atau merupakan pemborosan. Sedangkan tujuan utama dari penyemprotan obat anti hama dengan menggunakan sprayer adalah untuk melindungi tanaman dari jasad pengganggu dalam batas-batas yang menguntungkan petani (Daywin et al 1992).

2.

Klasifikasi Sprayer

Tenaga yang digunakan untuk menggerakkan pompa pada sprayer bisa berasal dari tenaga manusia sebagai operator, motor bakar bensin, ataupun putaran dari PTO suatu traktor. Menurut Smith (1990), sprayer dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan tenaga penggeraknya, yaitu:

a. Sprayer dengan penggerak tangan (hand operated sprayer), yang terdiri atas:

1) Hand sprayer, yaitu sprayer yang berukuran kecil dan khusus untuk keperluan di lapangan rumah, taman dan penyemprotan ringan lainnya.

(8)

11 2) Sprayer otomatis: yaitu sprayer dengan tekanan tinggi dimana tekanan diberikan atau dibentuk melalui pemompaan sebelum penyemprotan dilakukan. Sprayer ini disebut juga comprassed air sprayer dengan tekanan dalam tangki sekitar 140 – 200 psi atau 10 – 14 kg/cm2.

3) Sprayer semi otomatis, yaitu sprayer yang bentuk fisiknya menyerupai sprayer otomatis tetapi tidak memerlukan tekanan tinggi. Pembentukan tekanan melalui pemompaan yang diberikan sebelum dan selama penyemprotan berlangsung.

4) Jenis-jenis lainnya seperti bucket sprayer, barrel sprayer, cheel barrow sprayer, slide pump sprayer. Pada tipe-tipe ini tangki dan pompa tidak tersusun dalam satu unit, melainkan saling terpisah.

b. Sprayer bermotor (power sprayer): menggunakan sumber tenaga penggerak dari motor

bakar atau motor listrik atau PTO traktor. Ada beberapa tipe dari power sprayer yaitu hydraulic sprayer sprayer, hydraulic-pneumatic sprayer: blower sprayer: aerosol generator.

Menurut Barus (2003) sprayer dibagi menjadi tiga jenis yaitu hand atau knapsack sprayer, motor sprayer dan CDA sprayer. Controlled Droplet Application (CDA) sprayer merupakan sprayer yang tidak menggunakan tekanan udara untuk menyebarkan larutan herbisida ke arah gulma sasaran, melainkan berdasarkan gaya gravitasi dan putaran piringan. Putaran piring digerakkan oleh dynamo dengan sumber tenaga baterai 12 volt. Putaran piringan sekitar 2000 rpm dan butiran yang keluar berbentuk seragam dengan ukuran 250 mikron. Ukuran butiran 250 mikron merupakan ukuran butiran yang optimal untuk membasahi permukaan gulma dan meresap ke dalam jaringan gulma.

Menurut Barus (2003) hand sprayer atau alat semprot punggung merupakan sprayer yang paling banyak digunakan di perkebunan. Prinsip kerjanya, larutan dikeluarkan dari tangki akibat adanya tekanan udara melalui tenaga pompa yang dihasilkan oleh gerakan tangan penyemprot, pada waktu gagang pompa digerakkan, larutan keluar dari tangki menuju tabung udara sehingga tekanan di dalam tabung meningkat. Keadaan ini menyebabkan larutan herbisida dipaksa keluar melalui klep dan selanjutnya diarahkan oleh nosel ke gulma sasaran. Pada penggunaan hand sprayer, tekanan udara yang dihasilkan harus diusahakan agar tetap konstan, tekanan pompa yang tidak konstan mengakibatkan butiran-butiran herbisida tidak seragam dari waktu ke waktu. Dari seluruh butiran yang dihasilkan, sekitar 80% berukuran 100 mikron. Hal ini menyebabkan terjadinya drift karena butiran yang kecil dan halus mudah terbawa oleh hembusan angin.

Menurut Hardjosentono dkk (2000) ada dua jenis alat penyemprot tangan/penyemprot gendong (hand sprayer) yang lebih dikenal di Indonesia yaitu penyemprot semi otomatis (lihat gambar 1a) dan penyemprot otomatis (lihat gambar 1b). Perbedaan kedua penyemprot tersebut terletak pada sistem pemompaan. Penyemprot semi otomatis menggunakan tipe pompa cairan (pompa isap), dalam pengoperasiannya pemompaan tambahan diperlukan terus-menerus selama pekerjaan penyemprotan berlangsung agar diperoleh kondisi semprotan yang konstan. Penyemprot otomatis menggunakan tipe pompa angin, dalam pengoperasiannya memerlukan sejumlah pemompaan untuk memasukkan angin (udara) sehingga terdapat cukup tekanan udara untuk menyemprotkan habis seluruh cairan yang ada di dalam tangki, tanpa pemompaan ulang.

(9)

12

(a) (b)

Gambar 1. Penyemprot tipe gendong (Hardjosentono 2000); (a) Tipe semi otomatis (b) Tipe otomatis

3.

Komponen Utama Sprayer

Berdasarkan Hardjosentono dkk (2000), penyemprot tipe gendong terdiri atas 3 (tiga) bagian utama, yaitu tangki, pompa dan bagian pengabut.

a.

Bagian tangki (reservoir)

Tangki pada sprayer merupakan tempat atau wadah untuk menyimpan cairan yang akan disemprotkan. Adapun bahan yang biasa digunakan untuk membuat tangki adalah bahan plastik dan bahan logam. Bahan dari plastik memiliki keunggulan terutama dari segi dimensi yang lebih ringan dibandingkan bahan dari logam. Akan tetapi bahan dari logam memiliki keunggulan dalam penggunaannya, contohnya adalah kemudahan pada saat membersihkan tangki dari sisa-sisa bahan semprot (Smith dan Wilkes 1990).

Ukuran tangki berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan, untuk hand sprayer kapasitas yang digunakan biasanya berkisar 10 sampai 17 liter. Hal ini disesuaikan dengan kemampuan operator untuk menggendongnya, selain itu hand sprayer hanya diperuntukkan bagi tugas penyemprotan ringan dengan areal yang tidak terlalu luas. Sedangkan untuk penyemprotan bahan yang lebih luas digunakan boom sprayer yang dipasang pada traktor dengan tangki berkapasitas sampai 500 galon atau 1892 liter (Smith dan Wilkes 1990).

Menurut Hardjosentono dkk (2000), ada 2 macam bentuk tangki yang sangat popular, yaitu: 1) Bentuk bulat panjang atau silinder. Penyemprot otomatis menggunakan tangki berbentuk

silinder.

2) Bentuk pipih (penampang melintang), berbentuk elips, dan bagian belakang disesuaikan dengan lekuk punggung.

Pelengkap tambahan lainnya adalah manometer, komponen ini berfungsi sebagai penunjuk tekanan. Menurut Smith dan Wilkes (1990), manometer merupakan komponen pengukuran tekanan yang telah dikalibrasi dengan cermat dalam kisaran tekanan pompa, disediakan pada saluran pengeluaran untuk memandu operator dalam pengaturan tekanan untuk setiap pekerjaan dalam penyemprotan. Dengan demikian operator dapat menyesuaikan tekanan yang dibutuhkan untuk menghasilkan ukuran diameter dan pola butiran semprot yang diinginkan. Bila operator menginginkan butiran yang halus, maka tekanan yang digunakan harus cukup kuat. Pada hand sprayer SWAN tipe A-14 kisaran tekanan pada

(10)

13 manometer adalah 0 sampai 10 kg/cm2, sedangkan tekanan yang dianjurkan oleh pihak produsen berkisar dari 4 sampai 6 kg/cm2 dan kisaran 6 sampai 10 kg/cm2 merupakan ambang maksimum tekanan yang diperbolehkan. Sehingga di manometer yang ada pada sprayer, kisaran tekanan 6 sampai 10 kg/cm2 diberi warna merah.

b.

Bagian Pompa (unit pompa)

Unit pompa merupakan komponen yang terpenting dari penyemprot tipe gendong karena dari konstruksinya dapat mengetahui mengenai perbedaan tipe pompa, cara kerja dan perbedaan bentuk alat penyemprot secara keseluruhannya. Pompa inilah yang dapat menghasilkan tekanan udara di dalam pipa komponen pemompa. Selanjutnya tekanan udara tersebut mendorong cairan pada tangki yang berisi larutan pestisida sehingga akan terdorong dengan cairan yang mengalir ke dalam pipa pengeluaran dan selanjutnya akan tersemprot keluar melalui nosel. Dekat atau jauhnya pancaran larutan nosel tersebut sangat tergantung pada besarnya tekanan pompa. Semakin kuat tekanan pompa maka pancaran larutan dari nosel akan jauh dan sebaliknya semakin lemah tekanan pompa maka pancaran larutan dari nosel akan dekat. Ada dua tipe pompa penyemprot gendong yang paling umum, yaitu tipe pompa angin atau pompa torak dan tipe pompa isap (tekan). Tipe pompa isap digunakan pada hand sprayer tipe semi otomatis, sedangkan tipe pompa torak digunakan pada hand sprayer tipe otomatis (Hardjosentono 2000).

Kampas (torak) merupakan salah satu komponen yang paling penting pada tipe pompa torak, torak berfungsi untuk menekan angin/udara di dalam tabung pompa. Smith dan Wilkes (1990) menyatakan pompa torak telah menjadi standar dalam industri penyemprotan selama bertahun-tahun karena penampilannya yang sangat baik dalam pemompaan hampir setiap bahan semprotan, termasuk bentuk pestisida serbuk yang dapat dibasahkan. Pompa tipe torak biasanya dipergunakan dalam kisaran keluaran kurang dari 2 – 8 galon per menit (7.6 – 50.3 liter per menit) dengan tekanan mencapai kisaran 400 psi (27.6 kg/cm2) atau lebih. Menurut Hardjosentono (2000), kampas (torak) pompa angin ada 2 macam yaitu torak bentuk mangkuk yang terbuat dari kulit (lihat gambar 2a) dan torak bentuk paking yang terbuat dari karet (lihat gambar 2b).

(a) (b)

Gambar 2. Jenis Torak pada pompa angin (Hardjosentono 2000)

c.

Bagian Pengabut (Unit Selang dan Pelengkap nosel)

Hardjosentono (2000) menyatakan unit komponen pengabut terdiri atas tiga bagian penting antara lain selang, laras penyembur dan kepala penyemprot.

1) Selang

Panjang selang penyembur rata-rata 1 meter. Salah satu ujung diberi mur penguat yang ditautkan pada pipa (keran utama) tangki, sedangkan ujung lainnya terpaut pada pegangan (handle) lengkap dengan keran semprot. Selang dibuat sedemikian rupa sehingga tahan

(11)

14 terhadap tekanan dan lekukannya tidak mengakibatkan selang melipat. Untuk mengatasi masalah tersebut, bagian dalam keran diberi lapis (kain) atau kawat spiral baja yang halus. 2) Laras Penyembur

Panjang laras penyembur rata-rata 45-50 cm. Laras penyemprot terbuat dari logam campuran. 3) Kepala Penyemprot (nosel)

Nosel penyemprot merupakan komponen terpenting yang berfungsi untuk memecah cairan semprotan menjadi tetes-tetes dengan ukuran yang diinginkan dan memancarkannya ke permukaan yang harus disemprot (Smith dan Wilkes, 1990). Bentuk kepala penyemprot ada bermacam-ragam, tetapi hanya beberapa saja yang umum terdapat pada hand sprayer (lihat gambar 3), antara lain:

a) Jenis tunggal, terdapat dalam bentuk I dan L b) Jenis ganda, terdapat dalam bentuk U, T dan O

Gambar 3. Bentuk-bentuk nosel pada hand sprayer (Hardjosentono 2000)

D.

Alat dan Mesin Pengendalian Secara Mekanis

Menurut Smith dan Wilkes (1990) alat yang pertama yang digunakan untuk pengendalian gulma adalah cangkul. Di zaman dulu, hampir kebanyakan tanaman ditanam dengan cara disebar, dan cangkul merupakan satu-satunya alat yang dapat digunakan untuk membasmi gulma di antara tanaman. Hal ini diperkuat oleh Sukman (2002) yang menyatakan bahwa meskipun cangkul merupakan alat pengolah tanah tetapi dapat juga digunakan untuk pengendalian gulma terutama untuk pertanian di lahan kering, meskipun tidak keseluruhan akar gulma terpotong. Selain cangkul, alat sederhana lain yang digunakan untuk mengendalikan gulma secara mekanis adalah sabit, garpu, kored, lalandak dan garu dengan hewan penggerak. Alat pemotong berupa parang atau sabit/celurit biasanya hanya memotong bagian atas saja sehingga untuk pertanaman semusim kurang dianjurkan dan pemotongan biasa dilakukan untuk mengurangi pertumbuhan semak belukar. Sedangkan lalandak alat pengendali gulma pada tanah sawah dan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik biasanya penggunaan lalandak disertai dengan pencabutan (Sukman 2002). Alat sederhana biasanya dikerjakan secara manual.

Seiring dengan kemajuan teknologi dan banyaknya pengembangan dari alat sederhana telah banyak melahirkan alat modern/besar untuk mengendalikan gulma secara mekanis. Seperti halnya menurut Sukman (2002) yang menyatakan bahwa penggunaan peralatan besar seperti kultivator dan rotary weeder merupakan kemajuan besar menyusul penggunaan peralatan pengendalian gulma dengan tangan (manual weed control). Penggunaan kultivator dan rotary weeder untuk jalur tanaman yang lurus dengan jarak antar jalur sesuai dengan peralatan. Menurut Setyamidjadja (1992) pengendalian gulma secara mekanis dilaksanakan dengan menggunakan traktor yang menarik alat penyiang mekanis seperti weeder rake, multi-weeder dan spinner weeder. Cara ini dilaksanakan oleh perkebunan besar tebu terutama di areal tanaman yang luas dan dimaksudkan untuk mengatasi

(12)

15 kesulitan tenaga kerja atau karena mahalnya tenaga kerja untuk melaksanakan pengendalian gulma secara manual. Beberapa jenis alat penyiang disajikan pada gambar 4.

(a) (b)

Gambar 4. Beberapa jenis alat penyiang mekanis (Hermawan dkk 2010); (a) Tipe manual (b) Kultivator dengan taktor

Menurut Smith dan Wilkes (1990), sejarah berkembangnya kultivator pada akhir tahun 1880-an, kultivator mulai dioperasikan dengan ditarik oleh seekor kuda satu larik dengan berjalan dan dikendarai. Pada tahun 1900 kultivator ditarik dengan dua kuda dengan dikendarai. Kultivator tanaman larikan tanaman pertama yang digunakan dengan traktor adalah kultivator yang ditarik kuda yang disesuaikan dengan penyambungan di belakang traktor. B. F. Avery Company membuat kultivator yang dipasang pada traktor sekitar tahun 1918. Kultivator yang terpasang secara terpadu pertama pada traktor dikembangkan kira-kira tahun 1925 oleh International Harvester Company. Rangkaian alatnya diangkat dengan tuas-tuas yang dioperasikan secara manual. Kultivator dengan daya (penggerak) baru dikembangkan menjelang tahun 1933 (Smith dan Wilkes 1990).

Smith dan Wilkes (1990) menyatakan bahwa kultivasi merupakan suatu bentuk kegiatan yang membutuhkan semacam alat yang akan mengaduk permukaan tanah sampai kedalaman yang sedikit saja dengan cara sedemikian rupa, hingga gulma yang masih kecil akan dibinasakan dan pertumbuhan tanaman budidaya dapat ditingkatkan. Dengan demikian tujuan kultivasi adalah (Smith dan Wilkes 1990) :

a) Menahan lengas dengan membasmi gulma, melonggarkan mulsa pada permukaan dan menahan air.

b) Mengembangkan bahan makan tanaman.

c) Aerasi tanah yang memungkinkan oksigen masuk ke dalam tanah. d) Meningkatkan kegiatan jasad renik (mikroorganisme)

Sukman (2002) menerangkan lebih lanjut mengenai cara kerja kultivator dengan 2 cara yaitu memotong pucuk gulma seperti dalam pemangkasan rumput atau memecah ke sistem bawah tanah dan membenamkan bagian potongan ke dalam tanah.

Banyak tipe kultivator telah digunakan, mulai dari kultivator kecil yang digunakan dengan tangan yang cocok untuk kebun keluarga sampai kultivator besar untuk 8 larikan yang terpasang pada traktor yang mampu mengkultivasi 40.5 – 52.7 hektar per hari ( lihat gambar 5). Namun menurut Srivastava (1993) pada dasarnya terdapat dua tipe kultivator, yaitu field cultivator dan row crop cultivator. Field cultivator sering digunakan sebagai pengolahan tanah kedua untuk mempersiapkan persemaian. Field cultivator memiliki penampilan mirip dengan bajak chissel tetapi memiliki kemampuan kedalaman lebih dangkal. Row crop cultivator digunakan untuk perawatan dan pengendalian gulma selama periode pertumbuhan tanaman dalam baris. Field cultivator merupakan salah satu tipe penggandengan secara mounted atau pull type dengan roda untuk untuk mengatur

(13)

16 kedalaman pengolahan. Menurut The Illustrated Science and Invention Encyclopedia ada juga jenis kultivator lainnya yaitu rotary cultivator, yakni salah satu implemen traktor yang memiliki prinsip memotong tanah dan menghaluskan sehingga kondisinya sesuai untuk persemaian benih. Selain itu, kultivator dapat memotong tanaman yang tidak diinginkan menjadi mulch (campuran batang, daun dan jerami) kemudian dikomposkan sebagai pupuk untuk tanaman selanjutnya. Disebut rotary cultivator karena mempunyai rangkaian pisau bergulir.

Gambar

Tabel 3. Spesies gulma penting di kebun tebu lahan sawah
Tabel 7. Jenis herbisida dan gulma sasarannya  Jenis
Gambar 4. Beberapa jenis alat penyiang mekanis (Hermawan dkk 2010);
Gambar 5. Kultivator 8 larikan (Smith dan Wilkes 1990)

Referensi

Dokumen terkait

kehidupan bermasyarakat. Kesenian-kesenian modern berhasil menggantikan posisi kesenian tradisional termasuk sastra lisan srandul. Perkembangan dan improvisasi adalah salah

Berbagai pemberitaan media massa yang terkait dengan citra partai-partai Islam atau berbasis massa Islam tentu tidak dapat dilepaskan dari konstruksi sosial media

Larva diperoleh dari produksi telur serangga Hermetia illucens hasil produksi di Laboratorium Pakan Alami Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias,

[r]

Dari hasil perhitungan peran produktivitas faktor produksi dan peran tehnologi dalam membentuk tingkat pertumbuhan output industri manufaktur di Jawa Timur, maka strategi dan

1) Kementerian Perhubungan mulai menyadari bahwa dari awal terbentuknya kebijakan ini telah menyalahi aturan, karena seharusnya angkutan umum yang melewati 2 wilayah

(c) Median untuk data genap adalah rata-rata dari dua data yang terletak di tengah... Sedangkan rata-rata gaji bagian marketing adalah 3 juta dengan jumlah personel

Website ini memiliki fitur publikasi kegiatan, laporan kegiatan, evaluasi kegiatan dengan memberikan rating dan komentar pada setiap kegiatan, pertanyaan pada setiap