• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Sinusitis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makalah Sinusitis"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I BAB I

PENDAHULUAN PENDAHULUAN

A.

A. Latar BelakangLatar Belakang

Sinusitis merupakan penyakit yang sangat lazim diderita di Sinusitis merupakan penyakit yang sangat lazim diderita di seluruh dunia, hampir menimpa kebanyakan penduduk Asia. Penderita seluruh dunia, hampir menimpa kebanyakan penduduk Asia. Penderita sinusitis bisa dilihat dari ibu jari bagian atas yang kempot. Sinusitis dapat sinusitis bisa dilihat dari ibu jari bagian atas yang kempot. Sinusitis dapat menyebabkan seseorang menjadi sangat sensitif terhadap beberapa bahan, menyebabkan seseorang menjadi sangat sensitif terhadap beberapa bahan, termasuk perubahan cuaca (sejuk), pencemaran alam sekitar, dan jangkitan termasuk perubahan cuaca (sejuk), pencemaran alam sekitar, dan jangkitan  bakteri.

 bakteri. Gejala Gejala yang yang mungkin mungkin terjadi terjadi pada pada sinusitis sinusitis adalah adalah bersin-bersinbersin-bersin terutama di waktu pagi, rambut rontok, mata sering gatal, kaki terutama di waktu pagi, rambut rontok, mata sering gatal, kaki pegal- pegal,

 pegal, cepat cepat lelah lelah dan dan asma. asma. Jika Jika kondisi kondisi ini ini berkepanjangan berkepanjangan akanakan meimbulkan masalah keputihan bagi perempuan, atau ambeien (gangguan meimbulkan masalah keputihan bagi perempuan, atau ambeien (gangguan  prostat) bagi laki-laki.

 prostat) bagi laki-laki.

Menurut Lucas seperti yang di kutip Moh. Zaman, etiologi Menurut Lucas seperti yang di kutip Moh. Zaman, etiologi sinusitis sangat kompleks, hanya 25% disebabkan oleh infeksi, sisanya sinusitis sangat kompleks, hanya 25% disebabkan oleh infeksi, sisanya yang 75% disebabkan oleh alergi dan ketidakseimbangan pada sistim saraf yang 75% disebabkan oleh alergi dan ketidakseimbangan pada sistim saraf otonom yang menimbulkan perubahan-perubahan pada mukosa sinus. otonom yang menimbulkan perubahan-perubahan pada mukosa sinus. Suwasono dalam penelitiannya pada 44 penderita sinusitis maksila kronis Suwasono dalam penelitiannya pada 44 penderita sinusitis maksila kronis mendapatkan 8 di antaranya (18,18%) memberikan tes kulit positif dan mendapatkan 8 di antaranya (18,18%) memberikan tes kulit positif dan kadar IgE total yang meninggi. Terbanyak pada kelompok umur 21-30 kadar IgE total yang meninggi. Terbanyak pada kelompok umur 21-30 tahun dengan frekuensi antara laki-laki dan perempuan seimbang. Hasil tahun dengan frekuensi antara laki-laki dan perempuan seimbang. Hasil  positif pada

 positif pada tes kulit tes kulit yang terbanyak adalah yang terbanyak adalah debu rumah debu rumah (87,75%), tungau(87,75%), tungau (62,50%) dan serpihan kulit manusia (50%).

(62,50%) dan serpihan kulit manusia (50%).

Sebagian besar kasus sinusitis kronis terjadi pada pasien dengan Sebagian besar kasus sinusitis kronis terjadi pada pasien dengan sinusitis akut yang tidak respon atau tidak mendapat terapi. Peran bakteri sinusitis akut yang tidak respon atau tidak mendapat terapi. Peran bakteri sebagai dalang patogenesis sinusitis kronis saat ini sebenarnya masih sebagai dalang patogenesis sinusitis kronis saat ini sebenarnya masih dipertanyakan. Sebaiknya tidak menyepelekan pilek yang terus menerus dipertanyakan. Sebaiknya tidak menyepelekan pilek yang terus menerus karena bisa jadi pilek yang tak kunjung sembuh itu bukan sekadar flu karena bisa jadi pilek yang tak kunjung sembuh itu bukan sekadar flu  biasa.

(2)
(3)

Oleh karena faktor alergi merupakan salah satu penyebab Oleh karena faktor alergi merupakan salah satu penyebab timbulnya sinusitis, salah satu cara untuk mengujinya adalah dengan tes timbulnya sinusitis, salah satu cara untuk mengujinya adalah dengan tes kulit epidermal berupa tes kulit cukit (Prick test, tes tusuk) di mana tes ini kulit epidermal berupa tes kulit cukit (Prick test, tes tusuk) di mana tes ini cepat, simpel, tidak menyakitkan, relatif aman dan jarang menimbulkan cepat, simpel, tidak menyakitkan, relatif aman dan jarang menimbulkan reaksi anafilaktik. Uji cukit (tes kulit tusuk) merupakan pemeriksaan yang reaksi anafilaktik. Uji cukit (tes kulit tusuk) merupakan pemeriksaan yang  paling

 paling peka peka untuk untuk reaksi-reaksi reaksi-reaksi yang yang diperantarai diperantarai oleh oleh IgE IgE dan dan dengandengan  pemeriksaan ini alergen penyebab dapat ditentukan

 pemeriksaan ini alergen penyebab dapat ditentukan B.

B. Rumusan MasalahRumusan Masalah 1.

1. Bagaimana konsep dasar pad a sinusitis ?Bagaimana konsep dasar pad a sinusitis ? 2.

2. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan sinusitis ?Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan sinusitis ? 3.

3. Bagaimana klasifikasi dan kriteria sinusitis berdasarkan skenarioBagaimana klasifikasi dan kriteria sinusitis berdasarkan skenario kasus

kasus pada pada masing-masing masing-masing pasien ?pasien ?

C.

C. Tujuan PenulisanTujuan Penulisan

 Tujuan UmumTujuan Umum

Memahami

Memahami bagaimana bagaimana konsep konsep dasar dasar dan dan proses proses asuhanasuhan keperawatan pada klien sinusitis.

keperawatan pada klien sinusitis.

 Tujuan KhususTujuan Khusus

 Mengidentifikasi Konsep sinusitis meliputi definisi,Mengidentifikasi Konsep sinusitis meliputi definisi, etiologi,

etiologi,

 manifestasi manifestasi klinis klinis dan dan patofisiologi, patofisiologi, komplikasi,komplikasi,  penatalaksanaan,

 penatalaksanaan, pencegahan, pencegahan, serta serta pemeriksaanpemeriksaan  penunjangnya.

 penunjangnya.

 Mengidentifikasi proses keperawatan pada mastoiditisMengidentifikasi proses keperawatan pada mastoiditis -- Mengetahui pengkajian pada klien sinusitis.Mengetahui pengkajian pada klien sinusitis.

-- Mengetahui diagnosa keperawatan yang terjadi padaMengetahui diagnosa keperawatan yang terjadi pada klien sinusitis, tujuan dan kriteria hasil

klien sinusitis, tujuan dan kriteria hasil

-- Mengetahui intervensi keperawatan dari klienMengetahui intervensi keperawatan dari klien dengan sinusitis.

dengan sinusitis.

D.

D. Manfaat PenulisanManfaat Penulisan a.

(4)

Mengetahui faktor-faktor resiko penyakit dan gejala dari penyakit Mengetahui faktor-faktor resiko penyakit dan gejala dari penyakit sinusitis sehingga dapat mengetahui cara pencegahan dan sinusitis sehingga dapat mengetahui cara pencegahan dan  pengobatannya.

 pengobatannya.  b.

 b. Bagi institusi pendidikanBagi institusi pendidikan

Memperbanyak informasi dan pandangan terhadap masalah Memperbanyak informasi dan pandangan terhadap masalah kesehatan dan penyakit yang sering timbul terutama penyakit kesehatan dan penyakit yang sering timbul terutama penyakit sinusitis.

sinusitis. c.

c. Bagi masyarakat umumBagi masyarakat umum Memberikan in

Memberikan informasi pada formasi pada masyarakat masyarakat luas tentang luas tentang faktor yfaktor yangang mempengaruhi

mempengaruhi timbulnya timbulnya sinusitis sinusitis pada pada seluruh seluruh tingkatan tingkatan usiausia sehingga dapat dilakukan pencegahan dan penanggulannya.

sehingga dapat dilakukan pencegahan dan penanggulannya. d.

d. Bagi penulisBagi penulis

Memperluas wawasan dan pengetahuan mengenai konsep dasar Memperluas wawasan dan pengetahuan mengenai konsep dasar  penyakit

 penyakit sinusitis sinusitis pada pada anak anak maupun maupun dewasa dewasa serta serta dapat dapat menjadimenjadi  pedoman asuhan keperawatan pada saat praktik di Rumah S

(5)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. ANATOMI FISIOLOGI 1. Anatomi hidung luar

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung  bagian luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas;

struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan ; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :

1)  pangkal hidung (bridge), 2)  batang hidung (dorsum nasi), 3)  puncak hidung (hip),

4) ala nasi, 5) kolumela,

6) lubang hidung (nares anterior).

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang  berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.

Kerangka tulang terdiri dari: 1) tulang hidung (os nasal) 2)  prosesus frontalis os maksila 3)  prosesus nasalis os frontal;

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu

1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior

2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (ala mayor) 3) tepi anterior kartilago septum.

(6)

2. Anatomi hidung dalam

Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os. internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior.

Gambar 1. Anatomi Hidung Dalam

2.1 Septum nasi

Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum (kuadrilateral) ,  premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior dan inferior

oleh os vomer, krista maksila , Krista palatine serta krista sfenoid.

2.2 Kavum nasi

Kavum nasi terdiri dari: 1. Dasar hidung

Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan  prosesus

(7)

horizontal os palatum. 2. Atap hidung

Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan  permukaan kranial konka superior.

3. Dinding Lateral

Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus medial.

4. Konka

Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior, celah antara konka media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian superior dan palatum.

2.3 Meatus superior

Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang besarnya  bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan korpus os

(8)

sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid.

2.4 Meatus media

Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk  bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang  berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di

atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya  bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di  posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum.

2.5 Meatus Inferior

Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril.

2.6 Nares

 Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares posterior bagian bawahnya

(9)

dibentuk

dibentuk oleh lamina oleh lamina horisontalis palatum, horisontalis palatum, bagian bagian dalam oleh dalam oleh osos vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina pterigoideus.

luar oleh lamina pterigoideus.

2.7. Sinus

2.7. Sinus ParanasaParanasall

Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus yang terdiri atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal terbesar di antara lainnya, maksilaris merupakan sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular dengan dasarnya menghadap yang berbentuk piramid yang irregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah apeks prosesus ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah apeks prosesus zygomatikus os maksilla.

zygomatikus os maksilla.(2)(2)

3.

3. Kompleks ostiomeatal (KOM)Kompleks ostiomeatal (KOM)

Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan anterior yang berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga koronal sinus paranasal gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting di antara konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan ressus frontal.

hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan ressus frontal.

Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu karena sekret yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. ke celah sempit infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret akan keluar melalui celah sempit Sedangkan pada sinus frontal sekret akan keluar melalui celah sempit resesus frontal y

resesus frontal yang disebut ang disebut sebagai serambi dsebagai serambi depan sinus epan sinus frontal. frontal. DariDari resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke infundibulum resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka media.

(10)

4.

4. Perdarahan hidungPerdarahan hidung

Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari a.karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya adalah ujung a.palatina dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina  bersama n.sfenopalatina

 bersama n.sfenopalatina dan memasuki rdan memasuki rongga hidung di ongga hidung di belakang ujungbelakang ujung  posterior

 posterior konka konka media. media. Bagian Bagian depan depan hidung hidung mendapat mendapat pendarahan pendarahan daridari cabang

cabang –  –  cabang a.fasialis. cabang a.fasialis.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.p

a.palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area).alatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung) terutama sehingga sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung) terutama  pada anak.

 pada anak.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan  berdampingan

 berdampingan dengan dengan arterinya arterinya .Vena .Vena di di vestibulum vestibulum dan dan struktur struktur luarluar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi merupakanfaktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial.

hingga ke intracranial.

5.

5. PersarafaPersarafan n hidunghidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila lannya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut-serabut parasimpatis dari serabut sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari

(11)

n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.

sedikit di atas ujung posterior konka media.  Nervus

 Nervus olfaktorius olfaktorius : : saraf saraf ini ini turun turun dari dari lamina lamina kribrosa kribrosa daridari  permukaan bawah bulbus

 permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian olfaktorius dan kemudian berakhir pada sberakhir pada sel-selel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

hidung.

6.

6. Fisiologi hidungFisiologi hidung

Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : fungsional, maka fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1)

1) Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning air conditioning ),),  penyaring

 penyaring udara, udara, humidifikasi, humidifikasi, penyeimbang penyeimbang dalam dalam pertukaranpertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal;

tekanan dan mekanisme imunologik lokal; 2)

2) Fungsi Penghidu. Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu danFungsi Penghidu. Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan  pengecap

 pengecap dengan dengan adanya adanya mukosa mukosa olfaktorius olfaktorius pada pada atap atap ronggarongga hidung, konka superior, dan sepertiga bagian atas septum. Partikel hidung, konka superior, dan sepertiga bagian atas septum. Partikel  bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir  bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir

atau bila menarik nafas dengan kuat. atau bila menarik nafas dengan kuat. 3)

3) Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantuFungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu  proses

 proses berbicara berbicara dan dan mencegah mencegah hantaran hantaran suara suara sendiri sendiri melaluimelalui konduksi tulang;

konduksi tulang; 4)

4) Fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala,Fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala,  proteksi terhadap trauma dan pelindung

 proteksi terhadap trauma dan pelindung panas;panas; 5)

5) Refleks nasal. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleksRefleks nasal. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks  bersin

 bersin dan nafdan nafas as terhenti. terhenti. Rangsang bau Rangsang bau tertentu tertentu akan menakan menyebabkanyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pankreas.

sekresi kelenjar liur, lambung, dan pankreas.

6.1 Sistem Mukosiliar Hidung 6.1 Sistem Mukosiliar Hidung

Gambar 3. Sistim Gambar 3. Sistim Mukosiliar / Mukosiliar / Mucociliary C Mucociliary C

(12)

Transportasi mukosiliar atau TMS adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk membersihkan dirinya dengan cara mengangkut partikel-partikel asing yang terperangkap pada palut lender ke arah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan local pada mukosa hidung. Transpor mukosiliar disebut juga clearance mucosiliar  atau sistem pembersih mukosiliar sesungguhnya.

Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang bekerja simultan, yaitu gerakan silia dan palut lendir. Ujung silia sepenuhnya masuk menembus gumpalan mukus dan bergerak ke arah posterior  bersama dengan materi asing yang terperangkap di dalamnya ke arah nasofaring. Aliran cairan pada sinus mengikuti pola tertentu. Transportasi mukosiliar pada sinus maksila berawal dari dasar yang kemudian menyebar ke seluruh dinding dan keluar ke ostium sinus alami. Kecepatan kerja pembersihan oleh mukosiliar dapat diukur dengan menggunakan suatu partikel yang tidak larut dalam  permukaan mukosa. Lapisan mukosa mengandung enzim lisozim (muramidase), dimana enzim ini dapat merusak bakteri. Enzim tersebut sangat mirip dengan immunoglobulin A (Ig A), dengan ditambah beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel. Imunoglobulin G (IgG) dan Interferon dapat juga ditemukan pada sekret hidung sewaktu serangan akut infeksi virus. Ujung silia tersebut dalam keadaan tegak dan masuk menembus gumpalan mukus kemudian menggerakkannya ke arah posterior bersama materi asing yang terperangkap ke arah faring. Cairan perisiliar yang di bawahnya akan di alirkan kearah posterior oleh aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti. Transportasi mukosiliar yang bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini tidak bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut lender akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit. Kecepatan dari TMS sangatlah  bervariasi, pada orang yang sehat adalah antara 1 sampai 20 mm /

(13)

Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus inferior dan media maka gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan menarik lapisan mukus dari meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari tempat yang jauh dari ostium. Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresif saat mencapai ostium, dan  pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan 15

hingga 20 mm/menit.

Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung dengan sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat infundibulum etmoid, kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba eustachius akan dialirkan ke arah nasofaring. Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior dan sfenoid akan bergabung di resesus sfenoetmoid, kemudian melalui  posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju nasofaring. Dari

rongga nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan menelan. Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda pada setiap bagian hidung. Pada segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya 1/6 segmen posterior, sekitar 1 hingga 20 mm / menit.

Anatomi Sinus Paranasal

Sinus paranasal merupakan salah salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Ada empat pasang (delapan) sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung ; sinus frontalis kanan dan kiri, sinus etmoid kanan dan kiri (anterior dan  posterior), sinus maksila, yang terbesar, kanan dan kiri disebut Antrum Highmore dan sinus sfenoidalis kanan dan kiri. Semua rongga sinus ini

(14)

dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing.

Gambar 4. Sinus Paranasal

Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu  bagian anterior dan posterior. Kelompok anterior bermuara di bawah konka media, atau di dekat infundibulum, terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel anterior sinus etmoid. Kelompok posterior bermuara di berbagai tempat di atas konka media terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sphenoid. Garis perlekatan konka media pada dinding lateral hidung merupakan batas antara kedua kelompok. Proctor  berpendapat bahwa salah satu fungsi penting sinus paranasal adalah sebagai sumber lendir yang segar dan tak terkontaminasi yang dialirkan ke mukosa hidung.

Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang  berisi udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh  pseudostratified columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel goblet

(15)

1. Sinus maksila

Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus  paranasal yang terbesar. Merupakan sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan pembentukan sinus tersebut terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, yang kemudian  berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal

yaitu 15 ml pada saat dewasa.

Pada waktu lahir sinus maksila ini mulanya tampak sebagai cekungan ektodermal yang terletak di bawah penonjolan konka inferior, yang terlihat berupa celah kecil di sebelah medial orbita. Celah ini kemudian akan berkembang menjadi tempat ostium sinus maksila yaitu di meatus media. Dalam perkembangannya, celah ini akan lebih kea rah lateral sehingga terbentuk rongga yang berukuran 7 x 4 x 4 mm, yang merupakan rongga sinus maksila. Perluasan rongga tersebut akan berlanjut setelah lahir, dan berkembang sebesar 2 mm vertical, dan 3 mm anteroposterior tiap tahun. Mula-mula dasarnya lebih tinggi dari pada dasar rongga hidung dan pada usia 12 tahun, lantai sinus maksila ini akan turun, dan akan setinggi dasar hidung dan kemudian berlanjut meluas ke bawah bersamaan dengan  perluasan rongga. Perkembangan sinus ini akan berhenti saat erupsi gigi permanen. Perkembangan maksimum tercapai antara usia 15 dan 18 tahun.

Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke fosa nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina,dinding posteriornya adalah  permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding

lateral rongga hidung. Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh lamina vertikalis os palatum, prosesus unsinatus os etmoid,  prosesus maksilaris konka inferior, dan sebagaian kecil os lakrimalis. Dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah  prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di

(16)

sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Menurut Morris , pada buku anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata sinus maksila pada bayi baru lahir 7-8 x 4-6 mm dan untuk usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm. Antrum mempunyai hubungan dengan infundibulum di meatus medius melalui lubang kecil, yaitu ostium maksila yang terdapat di  bagian anterior atas dinding medial sinus. Ostium ini biasanya

terbentuk dari membran. Jadi ostium tulangnya berukuran lebih besar daripada lubang yang sebenarnya. Hal ini mempermudah untuk keperluan tindakan irigasi sinus.

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah :

1) Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas , yaitu premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua dan gigi molar kesatu dan dua tumbuhnya dekat dengan dasar sinus. Bahkan kadang-kadang tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan  pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan rongga sinus yang akan mengakibatkan sinusitis.

2) Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita. 3) Os sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada

(17)

daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.

2. Sinus frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak  bulan ke emapat fetus, berasal dari sel resesus frontal atau dari

sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai  berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran

maksimal sebelum usia 20 tahun.

Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi , dan seringkali juga sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus dan  pasangannya, kadang-kadang juga ada sinus yang rudimenter. Bentuk

sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran rata-rata sinus frontal : tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-rata 6-7 ml. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal  berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di ressus frontal yang  berhubungan dengan infundibulum etmoid

3. Sinus etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling  bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat

merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya.

Sel-sel etmoid, mula-mula terbentuk pada janin berusia 4  bulan, berasal dari meatus superior dan suprema yang membentuk kelompok sel-sel etmoid anterior dan posterior. Sinus etmoid sudah

(18)

ada pada waktu bayi lahir kemudian berkembang sesuai dengan  bertambahnya usia sampai mencapai masa pubertas. Pada orang

dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di  bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi

2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian  posterior, volume sinus kira-kira 14 ml.

Sinus etmoid berongga  –   rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius, dan sinus etmoid  posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang  berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut  bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila(2)

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di  bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus

sphenoid.

4. Sinus sfenoid

Sinus sfenoid terbentuk pada janin berumur 3 bulan sebagai  pasangan evaginasi mukosa di bagian posterior superior kavum nasi. Perkembangannya berjalan lambat, sampai pada waktu lahir evaginasi mukosa ini belum tampak berhubungan dengan kartilago nasalis  posterior maupun os sfenoid. Sebelum anak berusia 3 tahun sinus sfenoid masih kecil, namun telah berkembang sempurna pada usia 12

(19)

sampai 15 tahun. Letaknya di dalam korpus os etmoid dan ukuran serta bentuknya bervariasi. Sepasang sinus ini dipisahkan satu sama lain oleh septum tulang yang tipis, yang letakya jarang tepat di tengah, sehingga salah satu sinus akan lebih besar daripada sisi lainnya.

Letak os sfenoid adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya berkisar dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid. Batas-batasnya adalah : sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral  berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.

2. Fisiologi sinus paranasal

Sinus paranasal secara fisiologi memiliki fungsi yang  bermacam-macam. Bartholini adalah orang pertama yang mengemukakan bahwa ronga-rongga ini adalah organ yang penting sebagai resonansi, dan  Howell   mencatat bahwa suku Maori dari Selandia Baru memiliki suara yang sangat khas oleh karena mereka tidak memiliki rongga sinus paranasal yang luas dan lebar. Teori ini dipatahkan oleh Proetz , bahwa binatang yang memiliki suara yang kuat, contohnya singa, tidak memiliki rongga sinus yang besar. Beradasarkan teori dari Proetz, bahwa kerja dari sinus paranasal adalah sebagai barier pada organ vital terhadap suhu dan bunyi yang masuk. Jadi sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal . Ada yang berpendapat bahwa sinus  paranasal tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya

(20)

sebagai akibat pertumbuhan tulang muka. Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain adalah

(1) Sebagai pengatur kondisi u dara (air condi tioni ng)

Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah ternyata tidak didapati pertukaran udara yangdefinitif antara sinus dan rongga hidung. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.

(2) Sebagai penahan suhu (thermal in sul ator s)

Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas , melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi.

(3) M embantu keseimbangan kepala

Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna.

(4) M embantu r esonansi suar a

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat ,  posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.

(5) Sebagai per edam per ubahan tekanan udar a

Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.

(21)

Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis

B. DEFINISI

Sinusitis merupakan radang pada rongga hidung (A.K. Muda Ahmad, 2003).

Sinusitis adalah radang sinus yang ada di sekitar hidung, dapat  berupa sinusitis maxilaris dan frontalis sinusitis dapat berlangsung akut maupun kronik. Dapat mengenai anak yang sudah besar. Pada sinusitis  pranasal sudah berkembang pada umur 6-11 tahun (Ngystia,1997).

C. Klasifikasi

Secara klinis sinusitis dikategorikan:

 Sinusitis akut (bila gejalanya berlangsung beberapa hari sampai 4

mnggu).

Macam-macam sinusitis akut

 Sinusitis maksilla akut

 Sinusitis etmoidal akut

 Sinusitis frontal akut

 Sinusitis sphenoid akut

 Sinusitis subakut (bila berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan)  Sinusitis kronis (bila berlangsung lebih dari 3 bulan). (Anonim, 2010).

D. Etiologi

Pada sinusitis akut bias terjadi setelah adanya infeksi virus pada saluran pernafasan bagian atas (misalnya Rhinovirus, Influenza virus, dan  parainfluenza virus.)

(22)

Didalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan penyakit (misalnya Streptococcus  pneumonia, haemohilus influenza). Jika system pertahanan tubuh menurun atau drainase dari sinus tersumbat akibat flu atau infeksi virus lainnya , maka bakteri yang sebelumnya tidak berbahaya akan berkembang biak dan menyusup kedalam sinus, sehingga terjadi infeksi sinus akut.Infeksi jamur  bias menyebabkan sinusitis akut pada penderita gangguan siste kekebalan,

contohnya jamur Aspergillus. Peradangan menahun pada hidung.

Pada sinusitis kronik yaitu sinusitis akut yang sering kambuh atau tidak sembuh, alergi, karies dentis ( gigi geraham atas ), septumnasi yang  bengkok sehingga mengganggu aliran mukosa, benda asing di hidung dan

sinus paranasal, dan tumor pada hidung. E. Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium  –   ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar ( mucociliary clearance ) didalam kompleks osteomeatal. Sinus dilapisi sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang elapisi sinus dapat dibagi menjadi dua, yaitu lapisan viscous superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mucus dilepaskan oleh sel epitel untuk membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta mengandung zat  –   zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan . cairan mucus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya  berlebihan.

Faktor yang paling penting yang mempengaruhi pathogenesis terjadinya sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium sinus akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel selmensekresikan cairan mucus dengan kualitas yang kurang baik, disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi mucus yang kurang baik pada sinus.

(23)

Inflamasi mukosa hidung menyebabkan pembengkakan dan eksudasi yang mengakibatkan obstruksi ostium sinus. Obstruksi ini menyebabkan gangguan ventilasi dan drainase , resorbsi oksigen yang ada dirongga sinus, kemudian terjadi hipoksia ( oksigen menurun, PH menurun, tekanan negative ) selanjutnya diikuti permeabilitas kapiler meningkat , sekresi kelenjar meningkat kemudian transudasi , peningkatan eksudasi serous, penurunan fungsi silia, akhirnya terjadi retensi sekresi disinus ataupun pertumbuhan kuman.

Bila terjadi edema di kompleks osteomeatal, mukosa yang letaknya  berhadapan akan saling bertemu , sehingga siliatidak dapat bergerak dan lender tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi didalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang  baik untuk tumbuhnya bakteri pathogen. Bila sumbatan berlangsung terus, akan terjadi hipoksia dan retensi lender sehingga timbul infeksi oleh  bakteri anaerob. (Consensus tahun 2004).

(24)
(25)
(26)
(27)

H. Manifestasi Sinusitis

 Demam > 39oc ,edema periorbital, nyeri wajah

 Batuk malam hari sering menyertai infeksi virus pernafasan atas,

tetapi batuk siang hari lebih berkesan sinusitis.

  Nyeri kepala, pelembekan edema tidak lazim

 Pemeriksaan sesudah pemberian dekogestan topical dapat

menunjukkan adanya nanah dalam meates yang memberi kesan keterlibatan sinus maksillaris ,frontalis, atau etmoidalis anterior , nanah pada meatus superior memberikan kesan keterlibatan sel spernoid atau etmodalis posterior.

 Cairan postnatal dapat mengakibatkan nyeri tenggorokan atau batuk

 persisten terutama malam hari

 Pada etmoditis akut terutama pada bayi dan anak kecil, selulitis

 periorotas, dengan edema jaringan lunak dan kemerahan kulit merupakan manifestasi yang lazim.

 Gejala sinusitis kronis sering terjadi demam, malaise, mudah lelah,

anoreksia. (Ngystia, 1997)

I. Pemeriksaan Penunjang Sinusitis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis pemeriksaan fisik dan  pemeriksaan penunjang.

1. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior,  pemeriksaan naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusistis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sphenoid).

2. Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius. 3. Pemerikasaan pembantu yang penting adalh foto polos atau CT scan.

(28)

menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, batas udara, cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa.

4. CT scan sinus merupakan golg standard diagnosis sinusitis karena mampu manila anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secacra keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusistis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus.

5. Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena sangat terbatas kegunaannya.

6. Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil secret dari meatus medius/superior, untuk mendapat antibiotic yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil secret yang keluar dari pungsi sinus maksila.

7. Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi. (Anonim, 2010).

J. Penatalaksanaan Sinusitis

Tujuan terapi sinusitis ialah : - Mempercepat penyembuhan - Mencegah komplikasi

- Mencegah perubahan menjadi kronik

Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehinggan drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.

1. Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bacterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan

(29)

maukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotic diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang. Pada sinusitis kronik diberikan antibiotic yang sesuai untuk kuman negative gram dan anaerob.

2. Selain dekongestan oral dan topical, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan, seperti analgetik, mukolitik, teroid oral/topical, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan secret jadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2. Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement therapy juga merupakan terapi tambahan yang  bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita

kelainan alergi yang berat.

3. Tindakan operasi. Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan ringan dan tidak radikal. Indikasinya berupa: sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat; sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang irreversible; polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.( Higler, AB. 1997).

K. Komplikasi

Sinus akut

 Akses otak

 Sinusitis orbita atau periobita

 Absesorbita superiousteal

(30)

 Meningitis

Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronik dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intracranial.

1. Kelainan orbita disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang paling sering adalah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra, selulitis orbita, asbes subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus kavernosus. Kelainan Intrakranial. Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak dan thrombosis sinus kavernosus.

2. Komplikasi juga dapat terjadi padasinusitis kronis berupa: Osteomielitis dan abses suberiostal. Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula  pada pipi.

3. Kelainan paru, seperti bronchitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma  bronchial yang sukar dihilangkan sebalum sinusitisnya disembuhkan.

(Soepardi, EA. 2007).

L. Asuhan Keperawatan Sinusitis 10.1 Askep Teori

A. Pengkajian Keperawatan

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah

(31)

terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas

1. Biodata : Nama ,umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan,  pekerjaan,,

2. Keluhan utama :

Biasanya penderita mengeluh nyeri kepala sinus, tenggorokan.

3. Riwayat Penyakit sekarang :

Sekarang Berisi tentang kapan gejala mulai dirasakan, seberapa sering gejala dirasakan, upaya yang telah dilakukan untuk mengatasinya.

4. Riwayat penyakit dahulu :

- Pasien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung atau trauma

- Pernah mempunyai riwayat penyakit THT - Pernah menedrita sakit gigi geraham.

5. Riwayat keluarga :

Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang lalu yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang.

6. Riwayat spikososial

a. Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas/sedih0

 b. Interpersonal : hubungan dengan orang lain.

7. Pola fungsi kesehatan

(32)

Untuk mengurangi flu biasanya klien menkonsumsi obat tanpa memperhatikan efek samping

 b. Pola nutrisi dan metabolisme :

Biasanya nafsumakan klien berkurang karena terjadi gangguan pada hidung

c. Pola istirahat dan tidur

Selama inditasi klien merasa tidak dapat istirahat karena klien sering pilek.

d. Pola Persepsi dan konsep diri

Klien sering pilek terus menerus dan berbau menyebabkan konsepdiri menurun

e. Pola sensorik

Daya penciuman klien terganggu karena hidung buntu akibat pilek terus menerus (baik purulen , serous, mukopurulen).

8. Pemeriksaan Persistem

Pemeriksaan fisik pada klien dengan sinusitis meliputi  pemeriksaan fisik umum per system dari observasi keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda vital, B1 (breathing), B2 (Blood), B3 (Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel), dan B6 (Bone).

1. Pernafasan B1 (breath) a. Bentuk dada : normal  b. Pola napas : tidak teratur

c. Suara napas : ronkhi d. Sesak napas : ya e. Batuk : tidak

f. Retraksi otot bantu napas ; ya

(33)

2. Kardiovaskular B2 (blood) a. Irama jantung : regular  b. Nyeri dada : tidak

c. Bunyi jantung ; normal d. Akral : hangat

3. Persyarafan B3 (brain)

a. Penglihatan (mata) : normal

 b. Pendengaran (telinga) : tidak ada gangguan c. Penciuman (hidung) : ada gangguan

d. Kesadaran: gelisah e. Reflek: normal

4. Perkemihan B4 (bladder) a. Kebersihan : bersih

 b. Bentuk alat kelamin : normal c. Uretra : normal

d. Produksi urin: normal

5. Pencernaan B5 (bowel) a. Nafsu makan : menurun  b. Porsi makan : setengah

c. Mulut : bersih d. Mukosa : lembap

6. Muskuloskeletal/integument B6 (bone) a. Kemampuan pergerakan sendi : bebas  b. Kondisi tubuh: kelelahan

9. Pemeriksaan fisik

1) Status kesehatan umum : keadaan umum , tanda viotal, kesadaran.

(34)

2) Pemeriksaan fisik data focus hidung : nyeri tekan pada sinus, rinuskopi (mukosa merah dan bengkak).

B. Analisa Data Data subyektif : 1. Observasi nares :

a. Riwayat bernafas melalui mulut, kapan, onset, frekwensinya

 b. Riwayat pembedahan hidung atau trauma

c. Penggunaan obat tetes atau semprot hidung : jenis,  jumlah, frekwensinyya , lamanya.

2. Sekret hidung :

a. warna, jumlah, konsistensi secret  b. Epistaksis

c. Ada tidaknya krusta/nyeri hidung. 3. Riwayat Sinusitis :

a.  Nyeri kepala, lokasi dan beratnya

 b. Hubungan sinusitis dengan musim/ cuaca. 4. Gangguan umum lainnya :

Kelemahan Data Obyektif 

1. Demam, drainage ada : - Serous Mukppurulen - Purulen

2. Polip mungkin timbul dan biasanya terjadi bilateral pada hidung dan sinus yang mengalami radang Pucat, Odema keluar dari hidng atau mukosa sinus.

3. Kemerahan dan Odema membran mukosa. 4. Pemeriksaan penunjang :

a. Kultur organisme hidung dan tenggorokan  b. Pemeriksaan rongent sinus.

(35)

C. Diagnosa Keperawatan

1. Jalan nafas tidak efektik berhubungan dengan obtruksi  penumpukan sekret hidung) sekunder dari peradangan

sinus.

2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan  peradangan pada hidung

3. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dai kebutuhan  berhubungan dengan nafsu makan menurun sekuder dari  peradangan sinus.

4. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan klien tentang penyakit dan prosedur tindakan medis (irigasi/operasi).

5. Gangguan Istirahat dan tidur berhubungan dengan hidung  buntu, nyeri sekunder dari proses peradangan .

(36)

D. Rencana Asuhan Keperawatan

1. Jalan nafas tidak efektik berhubungan dengan obtruksi (penumpukan sekret hidung) sekunder dari peradangan sinus.

Tujuan : jalan nafas efektif setelah sekret (seous, purulen)dikeluarkan Kriteria hasil :

 Klien tidak bernafas lagi melalui mulut  Jalan nafas kembali normal terutama hidung

INTERVENSI RASIONAL

a. Kaji penumpukan sekret yang ada

 b. Obsevasi tanda-tanda vital c. Kolaborasi dengan tim medis

untuk pembersihan sekret

a. Mengetahui tingkat keparahan dan tindakan selanjutnya

 b. Mengetahui perkembangan klien sebelum dilakukan operasi

c. Kerjasama untuk meghilangkan  penumpukan sekret/masalah.

2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan peradangan pada hidung

Tujuan : Nyeri klien berkurang atau hilang Kriteria Hasil:

- Klien mengungkapkan nyeri yang dirasakan berkurang atau hila ng - Klien tidak menyeringai kesakitan

(37)

INTERVENSI RASIONAL a. Kaji tingkat nyeri klien

 b. Jelaskan sebab dan akibat nyeri pada klien serta keluarganya

c. Ajarkan tekhnik relaksasi dan distraksi

d. Observasi tanda-tanda vital dan keluahan klien

e. Kolaborasi dengan tim medis :

1. Terapi Konservatif :

- Obat Acetaminopen, Aspirin, obat sakit kepala  berupa puyer atau tablet.

Dekongestan Hidung (obat tetes hidung) à untuk memperlancar drenase, hanya diberikan untuk waktu yang terbatas 5 sampai 10 hari. - Drainase Sinus, pada sinus

frontal dapat dilakukan dari

a. Mengetahui tigkat nyeri klien dalam menentukan tindakan selanjutnya

 b. Dengan sebab dan akibat nyeri diharapkan klien berpartisipasi dalam perawatan untuk mengurangi nyeri

c. Klien mengetahui tekhnik distraksi dan relaksasi sehingga dapat mempraktekkannya bila mengalami nyeri.

d. Mengetahui keadaan umum dan  perkembangan kondisi klien. e. Menghilangkan/menguragi

(38)

dalam hidung (intranasal) atau dengan operasi dari luar (eksternasal), seperti pada operasi killian. Sedangkan  pada sinus sfenoid dilakukan dari dalam hidung (intranasal)

2. Pembedahan : - Irigasi Antral :

Untuk Sinusitis Maksilaris

dilakukan untuk

mengeluarkan sekret yang terkumpul di dalam rongga sinus maksila

- Operasi Cadwell luc. à untuk mengangkat mukosa yang patologik dan membuat drainase dari sinus yang terkena

3. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dai kebutuhan berhubungan dengan nafsu makan menurun sekuder dari peradangan sinus.

Tujuan : kebutuhan nutrisi klien dapat terpenuhi Kriteria hasil

 Klien menghabiskan korsi makannya

 Berat badan tetap seperti sebelum sakit atau bertambah

(39)

a. Kaji pemenuhan kebutuhan nutrisi klien

 b. Jelaskan pentingnya makanan  bagi proses penyembuhan. c. Catat intake ouput makanan

klien.

d. Anjurkan makan sedikit tapi sering

e. Sajikan makan secara menarik

a. Mengatahui kekurangan nutrisi klien

 b. Dengan pengetahuan yang baik tentang nutrisi akan memotivasi meningkatkan pemenuhan nutrisi

c. Mengetahui perkembangan  pemenuhan nutrisi klien

d. Dengan sedikit tapi sering mengurangi penekana yang  berlebihan pada lambung

e. Meningkatkan selara makan klien

4. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan klien tentang  penyakit dan prosedur tindakan medis (irigasi/operasi).

Tujuan : Cemas klien berkurang/hilang Kriteria hasil :

 Klien akan menggambarkan tingkat kecemasan dan pola kopingnya  Klien mengetahui dan mengerti tentang penyakit yang dideritanya

serta pengobatannya.

INTERVENSI RASIONAL

a. Kaji tingkat kecemasan klien  b. Berikan kenyamanan dan

ketentraman pada klien.

c. Temani klien Perlihatkan rasa empati (datang dengan menyentuh klien)

c. Berikan penjelasan pada klien tentang penyakit yang

a. Menentukan tindakan selanjutnya.

 b. Memudahkan penerimaan klien terhadap informasi yang diberikan

c. Meningkatkan pemahaman klien tentang penyakit dan terapi untuk penyakit tersebut sehingga klien lebih koopretif.

(40)

dideritanya perlahan, tenang serta gunakan kalimat yang  jelas, singkat mudah di

mengerti

d. Singkirkan stimulasi yang  berlebihan misalnya : Tempatkan klien diruangan yang lebih tenang

-  batasi kontak dengan orang lain/klien lain yang kemungkinan mengalami kecemasan Observasi tanda-tanda vital.

- Bila perlu, kolaborasi dengan tim medis.

1. Terapi Konservatif :

- Obat Acetaminopen ; Aspirin, obat sakit kepala berupa puyer atau tablet. Dekongestan Hidung (obat tetes hidung) à untuk memperlancar drenase, hanya diberikan untuk waktu yang terbatas 5 sampai 10 hari.

- Drainase Sinus, pada sinus frontal dapat dilakukan dari dalam hidung (intranasal) atau dengan operasi dari luar (eksternasal), seperti pada operasi killian. Sedangkan pada sinus sfenoid dilakukan dari dalam hidung

d. Dengan menghilangkan stimulus yang mencemaskan akan meningkatkan ketenangan klien.

e. Mengetahui perkembangan klien secara dini.

f. Obat dapat menurunkan tingkat kecemasan klien

(41)

(intranasal) 2. Pembedahan :

- Irigasi Antral :

Untuk Sinusitis Maksilari dilakukan untuk mengeluarkan sekret yang terkumpul di dalam rongga sinus maksila

- Operasi Cadwell luc. untuk mengangkat mukosa yang  patologik dan membuat drainase

dari sinus yang terkena

5. Gangguan Istirahat dan tidur berhubungan dengan hidung buntu, nyeri sekunder dari proses peradangan .

Tujuan : klien dapat istirahat dan tidur dengan nyaman Kriteria hasil :

- Klien tidur 6-8 jam sehari

INTERVENSI RASIONAL

a. Kaji kebutuhan tidur klien.  b. Ciptakan suasana yang

nyaman.

c. Anjurkan klien bernafas lewat mulut.

d. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat.

a. Mengetahui permasalahan klien dalam pemenuhan kebutuhan istirahat tidur

 b. Agar klien dapat tidur dengan tenang.

c. Pernafasan tidak terganggu d. Pernafasan dapat efektif

kembali lewat hidung 6. Hipertermi berhubungan dengan reaksi inflamasi.

Tujuan : suhu tubuh kembali dalam keadaan normal Kriteria hasil :

(42)

 Kulit hangat dan lembab, membran mukosa lembab.

INTERVENSI RASIONAL

a. Monitoring perubahan suhu tubuh

 b. Mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh dengan  pemasangan infus.

c. Kolaborasi dengan dokter dalam  pemberian antibiotik guna

mengurangi proses peradangan (inflamasi).

d. Anjurkan pada pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang optimal sehingga

metabolisme dalam tubuh dapat  berjalan lancer.

a. Suhu tubuh harus dipantau secara efektif guna mengetahui  perkembangan dan kemajuan dari  pasien.

 b. Cairan dalam tubuh sangat  penting guna menjaga homeostasis (keseimbangan) tubuh. Apabila suhu tubuh meningkat maka tubuh akan kehilangan cairan lebih banyak. c. Antibiotik berperan penting

dalam mengatasi proses  peradangan (inflamasi).

d. Jika metabolisme dalam tubuh  berjalan sempurna maka tingkat kekebalan/ sistem imun bisa melawan semua benda asing (antigen) yang masuk.

(43)

BAB III

TINJAUAN KASUS

Asuhan Keperawatan pada Tn. A

Tn. A Umur 35 tahun datang ke RS dengan keluhan sakit kepala, demam, hidung tersumbat, kehilangan rasa membaui dan nyeri tekan (tumpul) di sekitar wajah, nyeri terlokalisir di area hidung (sinus), nyeri betambah berat dirasakan Tn.A ketika membungkuk atau tidur terlentang. Tn. A juga mengeluh mengeluarkan cairan hijau tebal dari hidung disertai nanah atau darah. Kemudian Tn.A dikaji nyerinya dengan cara menundukan kepala dan melakukan valsava manuver, ternyata nyeri bertambah berat. TD (130/80 mmHg), RR (20 x/menit), HR (80 x/menit), Suhu (380C). Pada saat akan diberikan tindakan keperawatan,  pasien menolak tindakan tersebut.

PENGKAJIAN A. Anamnesa

a. Identitas :

 Nama : Tn. A

Jenis Kelamin : laki-laki

Umur : 35 tahun

 b. Keluhan Utama :

Pasien datang ke RS dengan keluhan sakit kepala,demam, hidung tersumbat, kehilangan rasa membaui dan nyeri tekan (tumpul) di sekitar wajah.

c. Riwayat Penyakit Sekarang :

Tn. A Umur 35 tahun datang ke RS dengan keluhan sakit kepala,demam, hidung tersumbat, kehilangan rasa membaui dan nyeri tekan (tumpul) di sekitar wajah, nyeri terlokalisir di area hidung (sinus), nyeri betambah berat dirasakan Tn.A ketika membungkuk

(44)

atau tidur terlentang. Tn. A juga mengeluh mengeluarkan caira hijau tebal dari hidung disertai nanah atau darah.

d. Riwayat Penyakit Dahulu : e. Riwayat Penyakit Keluarga : -f. Riwayat Alergi :

B. Pengkajian Pola Fungsi

a. Pola Aktivitas/Latihan : nyeri betambah berat dirasakan Tn.A ketika membungkuk atau tidur terlentang.

 b. Pola Nyeri/Kenyamanan : pasien mengeluh sakit kepala, nyeri tekan tumpul disekitar wajah.

c. Pola Sensorik : pasien kehilangan rasa membaui.

C. Pemeriksaan Fisik

a. B1 (Breathing) : hidung tersumbat  b. B2 (Blood) :

-c. B3 (Brain) : sakit kepala, demam. d. B4 (Bladder) :

e. B5 (Bowel) :

-f. B6 (Bone) : nyeri pada pipi

D. Pemeriksaan Penunjang

- Valsava Manuver : nyeri bertambah berat

E. Analisa Data

No Data Etiologi Masalah

Keperawatan 1 DS:

Pasien datang ke RS dengan keluhan sakit kepala, nyeri tekan

Peradangan pada hidung

Gangguan rasa nyaman nyeri

(45)

(tumpul) di sekitar wajah, nyeri terlokalisir di area hidung (sinus), nyeri  betambah berat dirasakan Tn.A ketika membungkuk atau tidur terlentang.

DO: Saat melakukan valsava manuver, ternyata nyeri  bertambah berat. TD (130/80 mmHg). 2 DS: Pasien mengeluh hidung tersumbat, kehilangan rasa membaui, pasien  juga mengeluh mengeluarkan cairan hijau tebal dari hidung disertai nanah atau darah.

DO:

-Adanya

 penumpukan sekret

Ketidakefektifan  bersihan jalan napas

3 DS:

Pasien mengeluh demam.

DO:

(46)

Suhu 38oC 4 DS: Pasien menolak tindakan keperawatan DO:

Pada saat akan dilakukan tindakan keperawatan, klien menolak. Kurang informasi mengenai tindakan yang akan dilakukan Defisit pengetahuan F. Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan peradangan pada hidung

2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan  penumpukan sekret

3. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi

4. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi mengenai tindakan yang akan dilakukan.

(47)
(48)
(49)

DAFTAR PUSTAKA

Diambil dari : Blogger Nuzulull

http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35554-Kep%20Sensori%20dan%20Persepsi-Askep%20Sinusitis.html

Anonim1. Asuhan Keperawatan Sinusitis.

http://ilmukeperawatan.com/asuhan_keperawatan_ sinusitis.html, diakses tanggal 22 November 2010

Anonim2. Askep Sinusitis. http://putrisayangbunda.blog.com/2010/02/10/askep-sinusitis/, diakses tanggal 22 November 2010

Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: Penerbit buku Kedokteran EGC

Higler, AB. 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC

Soepardi, EA. 2007. Buku Ajar Ilmu Kersehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta: Gaya Baru

Doenges, M. G. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3 EGC, Jakarta 2000 Lab. UPF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan tenggorokan FK Unair, Pedoman diagnosis dan Terapi Rumah sakit Umum Daerah dr Soetom FK Unair, Surabaya  Ngystia, 1997 Ilmu Penyakit THT, EGC Jakarta

(50)

LAMPIRAN LAPORAN TUTORIAL STEP I KLASIFIKASI ISTILAH 1. Valsava maneuver 2.  Nyeri terlokalisir 3.  Nanah 4.  Nyeri tekan 5. Hidung tersumbat 6. Cairan hijau kental 7. TD, RR, HR

8. Demam JAWABAN

1. Suatu tindakan mendorong paksa pada saluran pernapasan dengan cara menutup bibir/mulut dan hidung agar udara keluar melalui telinga pada saluran eustachi.

2.  Nyeri terlihat pada asalnya/ lokasinya hanya pada satu titik/ jelas.

3. Cairan hijau kental, akibat reaksi tubuh terhadap pagositosit virus dan  bakteri.

4. Akibat tekanan yang ditimbulkan dari jaringan yang meradang pada ujung dinding saraf

5. Penyumbatan saluran hidung yang diakibatkan cairan di lapisan hidung atau adanya peradangan.

6. Cairan yang sudah terinfeksi yang diproduksi berlebih.

7. Tekanan darah, normalnya 90-120/90, Respirasi rate 16-24x/mnt, Hate rate 60-100x/mnt

8. Keadaan dimana suhu tubuh meningkat / respon alami tubuh melawan  benda asing,virus, atau bakteri terhadap tubuh. Sebagai proses pertahanan

tubuh.

STEP II

IDENTIFIKASI MASALAH

1.  Nyeri tekan tumpul disekitar wajah? 2. Kehilangan rasa membaui?

3.  Nyeri terlokalisir ddaerah hidung?

4.  Nyeri bertambah berat dirasakan ketika tidur terlentang? 5. Mengeluarkan cairan hijau

6. Suhu meningkat

(51)

8. Dikaji nyeri dengan cara menundukkan kepala dan melakukan valsava maneuver dan nyeri bertambah berat?

9. Pasien menolak untuk dilakukan tindakan operasi?

STEP III

ANALISA MASALAH

1. Adanya tekanan yang ditimbulkan pada jaringan yang meradang pada ujung dinding saraf

2. hidung tersumbat karena adanya cairan yang menumpuk

3. daerah yang terinfeksi didaerah hidung, hidung merupakan gerbang utama  pernapasan/ akibat imunitas yang tidak baik, sehingga terjadi peradangan 4. karena dapat menutup saluran bernapas/ oksigen sulit masuk sehingga

timbul lah nyeri

5. adanya infeksi/ adanya perlukaan

6. terjadi peradangan di sinus, danmerupakan akibat dari system pertahanan tubuh

7. suhu menningkat, berpengaruh pada sakit kepala,hidung tersumbat, karena reaksi dan adanya cairan disinus

8. untuk menentukan seberapa besar skala nyeri pada pasien/ untuk memastikan bahwa pasien mengalami penyakit sinus.

9. Kurang pengetahuan atau kurangnya pendikikan kesehatan.

STEP IV HIPOTESA SINUSITIS MAXILLARIS STEP V LEARNING OBJECTIVE 1. Defenisi Sinusitis 2. Klasifikasi Sinusitis 3. Etiologi Sinusitis 4. Patofisiologi Sinusitis 5. WOC Sinusitis 6. Manifestasi Sinusitis

7. Pemeriksaan penunjang Sinusitis 8. Penatalaksanaan Sinusitis

9. Komplikasi Sinusitis

(52)

STEP VI

(53)

SATUAN ACARA PENYULUHAN

PERAN KELUARGA DALAM PERAWATAN ANAK DENGAN SINUSITIS

DI SUSUN OLEH : KELOMPOK II B

SEMESTER 5 B

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JAMBI

TAHUN

2014

Gambar

Gambar 1. Anatomi Hidung Dalam
Gambar 3. SistimGambar 3. Sistim Mukosiliar /Mukosiliar / Mucociliary CMucociliary C
Gambar 4. Sinus Paranasal

Referensi

Dokumen terkait

Kuesioner yang digunakan untuk penelitian ini dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian pertama mengukur atribut determinan yang paling penting keberadaannya pada

Frasa adverbial adalah kelompok kata yang dibentuk dengan keterangan.. kata sifat. Frasa adverbial dibagi dua

Fission , sebagai cara reproduksi aseksual, adalah kemampuan alami teripang untuk membelah tubuhnya menjadi dua bagian (anterior dan posterior) dan tiap bagian tersebut akan

Isim berdasarkan jenisnya dibagi menjadi dua bagian yaitu isim mudzakkar (laki-laki) dan isim muannats (perempuan), masing-masing bagian tersebut ada yang faktanya berjenis

a) Permukaan anterior itu juga terdiri dari beberapa bagian yaitu puncak ujung lidah sampai ke bagian tubuh lidah. Permukaan posterior lidah bawah terdiri dari tubuh lidah

Deposito bank komersial merupakan bagian penting dari penawaran uang. Deposito dapat dibagi menjadi dua bagian. Deposito derivatif akan menimbulkan peningkatan

Rhizines merupakan untaian yang menyatu dari hifa yang berwarna kehitam-hitaman yang muncul dari kulit bagian bawah (korteks bawah) dan mengikat thallus ke bagian dalam.. Ada dua

Anatomi Mata adalah lapisan pelindung mata yang terdiri dari tujuh lapisan dan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Lamella Anterior, Lamella Media, dan Lamella