A. Pengertian dan Akibat Hukum Dari Suatu Perjanjian Pada Umumnya
Kehidupan manusia tidak dapat terlepas dari hubungan kausal dengan manusia
lain dalam memenuhi kebutuhan hidup. Hubungan ini tentunya tidak selamanya dengan
baik. Salah satu pihak kadangkala berusaha mengungguli pihak yang lain berbuat curang.
Sedangkan dipihak lain selalu kalah atau bahkan dengan sengaja dikalahkan. Oleh karena
itu dibutuhkan peranan hukum yang disepakati sebagai tata norma dan tata kehidupan
sehingga dapat memberikan jalan tengah yang diharapkan adil, tidak berat sebelah dan
konsisten.
Dalam mengadakan perjanjian tiap-tiap pihak mempunyai hak dan kewajiban
secara timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu dari pihak
yang lain, sedangkan pihak lain mempunyai kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut
begitu juga sebaliknya .
Sebelum membahas tentang perjanjian jual-beli maka terlebih dahulu kita
mengetahui pengertian dari suatu perjanjian. Istilah “perjanjian” dalam “hukum
Perjanjian” merupakan kesepadanan dari istilah overeenkomst dalam bahasa Belanda atau istilah agreement dalam bahasa Inggris.15
Perjanjian adalah suatu peristiwa ketika seseorang berjanji kepada orang lain
atau ketika orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Perjanjian ini
sifatnya konkret.16
Perjanjian dalam arti luas adalah setiap perjanjian yang menimbulkan akibat
hukum sebagaimana yang telah dikehendaki oleh para pihak, misalnya pejanjian tidak Dari peristiwa itu maka timbul hubungan antara dua orang atau lebih.
15
16
bernama atau perjanjian jenis baru.17
Perjanjian dalam arti sempit adalah hubungan hukum dalam lapangan harta
kekayaan misalnya perjanjian bernama.18
Pengertian lain dari suatu perjanjian yaitu perjanjian mengandung pengertian
suatu hubungan hukum kekayaan/ harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi
kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada
pihak lain melakukan prestasi. Dari pengertian tersebut kita jumpai beberapa unsur yang
memberi wujud pengertian perjanjian hubungan hukum (rechtsbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberi hak pada satu
pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.19 Prestasi ini adalah “objek”
(voorwep) dari perjanjian (verbintenis). Tanpa prestasi, hubungan hukum yang dilakukan
berdasarkan tindakan hukum sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum
perjanjian. Pihak yang berhak atas prestasi mempunyai kedudukan sebagai “kreditur”.
Pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan sebagai “debitur”.20
Perjanjian mempunyai sifat yang dapat dipaksakan. Dalam perjanjian, kreditur
berhak atas prestasi yang telah diperjanjikan. Hak mendapatkan prestasi dilindungi oleh
hukum berupa sanksi. Ini berarti kreditur diberi kemampuan oleh hukum untuk memaksa
debitur menyelesaikan pelaksanaan kewajiban atau prestasi yang mereka perjanjikan.
Apabila debitur tidak secara suka rela memenuhi prestasi, kreditur dapat meminta kepada
pengadilan untuk melaksanakan sanksi hukum, baik berupa eksekusi, ganti rugi atau uang
paksa. Akan tetapi tidak seluruhnya perjanjian mempunyai sifat yang dipaksakan seperti
17
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hal. 42.
18
Ibid.
19
M.Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 6.
20
pada perjanjian tanpa mempunyai kekuatan memaksa atau natuurlijke verbintenis.21
Hukum perjanjian diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Pengertian perjanjian berdasarkan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan hukum ketika seseorang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap seorang atau lebih. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata terdapat aturan umum yang berlaku untuk semua perjanjian dan aturan khusus
yang berlaku hanya untuk perjanjian tertentu saja (perjanjian khusus) yang namanya
sudah diberikan undang-undang. Contoh perjanjian yaitu jual beli, sewa menyewa, tukar
menukar, pinjam meminjam, pemborongan, pemberian kuasa, dan perburuhan. Pengertian
yang berdasarkan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut
menegaskan bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya kepada
orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau
lebih orang kepada satu atau lebih orang lainnya yang harus dipenuhi oleh orang atau
subjek hukum tersebut. Dengan demikian, rumusan tersebut memberikan konsekuensi
hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak
merupakan pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lain merupakan pihak yang
berhak atas prestasi tersebut (kreditur) .
Menurut R. Setiawan, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih.22
Menurut R. Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa bahwa seseorang berjanji
21
Ibid., hal. 9.
22
kepada orang lain atau kedua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.23
Sedangkan menurut R.Wirjono, perjanjian adalah suatu perhubungan hukum
mengenai harta benda antara dua belah pihak, dalam mana suatu pihak suatu pihak
berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal, dan sedangkan
pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan perjanjian.24
Dari beberapa definisi perjanjian tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa
perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum antara dua orang atau lebih yang saling
mengikatkan dirinya kepada dua orang atau lebih lainnya untuk melakukan sesuatu hal
tertentu yang memiliki akibat hukum dan dapat diketahui bahwa suatu perjanjian
menimbulkan dan berisi ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban antara dua pihak dengan
kata lain perjanjian itu melahirkan perikatan.
Perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.
Perjanjian merupakan sumber terpenting melahirkan perikatan, karena perikatan paling
banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian. Perikatan adalah suatu pengertian abstrak,
sedangkan perjanjian adalah suatu hak yang konkrit atau suatu pristiwa.25
Terdapat beberapa rumusan pengertian perikatan oleh beberapa ahli hukum,
seperti dibawah ini:26
1. Mariam, mengatakan bahwa “Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi
diantara dua orang atau lebih yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan,
dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dari pihak lainnya wajib memenuhi
prestasi”.
23
R. Subekti (1), Op.Cit., hal. 1.
24
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hal. 7.
25
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Jakarta: Alfabet,2004), hal. 74.
26
2. Setiawan, mengatakan bahwa “Perikatan adalah suatu hubungan hukum harta
kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak
(kreditur) dan pihak yang lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi”.
3. Subekti, mengatakan bahwa “Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua
orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu
hal dari pihak lain, dan pihak lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu”.
Perjanjian dan perikatan adalah dua hal yang berbeda, meskipun keduanya
memiliki ciri yang hampir sama. Perbedaan dapat dilihat pada tabel berikut ini:
PERJANJIAN PERIKATAN
Perjanjian menimbulkan atau melahirkan
perikatan
Perikatan adalah isi dari perjanjian
Perjanjian lebih konkrit daripada perikatan,
artinya perjanjian itu dapat dilihat dan di
dengar.
Perikatan merupakan pengertian yang
abstrak (hanya dalam alam pikiran)
Pada umumnya perjanjian merupakan
hubungan hukum bersegi dua, artinya
akibat hukum dikehendaki kedua belah
pihak. Hal ini bermakna bahwa hak dan
kewajiban dapat dipaksakan. Pihak pihak
berjumlah lebih dari atau sama dengan 2
sehingga bukan pernyataan sepihak, dan
Bersegi satu, hal ini berarti belum tentu
menimbulkan akibat hukum, sebagai
contoh, perikatan alami tidak dapat dituntut
di muka pengadilan (hutang karena judi)
pemenuhannya tidak dapat dipaksakan.
Pihaknya hanya berjumlah satu maka
merupakan perbuatan hukum. merupakan perbuatan biasa (bukan
perbuatan hukum).27
Dari penjelasan-penjelasan diatas maka ada akibat dari suatu perjanjian. Akibat
dari suatu perjanjian menurut Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:28
1. Perjanjian mengikat para pihak
Pihak-pihak yang mengikat antara lain:
a. Para pihak yang membuatnya (Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata).
b. Ahli waris berdasarkan alas hak umum karena mereka itu memperoleh
segala hak dari seseorang secara tidak terperinci.
c. Pihak ketiga yang diuntungkan dari perjanjian yang dibuat berdasarkan alas
hak khusus karena mereka itu memperoleh segala hak dari seseorang secara
terperinci atau khusus.
2. Perjanjian yang tidak dapat ditarik kembali secara sepihak karena (Pasal 1338 ayat (2)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) merupakan kesepakatan antara kedua belah
pihak dan alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
3. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 ayat 3 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata).
Dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat disimpulkan
adanya asas kebebasan berkontrak, akan tetapi asas ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya
memaksa, sehingga para pihak yang menaati perjanjian harus menaati hukum yang
sifatnya memaksa. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat
27
Handri Rahardjo, Op.Cit., hal.43 28
kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup
untuk itu. Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan
didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan
oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Suatu perjanjian tidak boleh membawa
kerugian bagi pihak ketiga.
Melaksanakan apa yang menjadi hak di satu pihak dan kewajiban di satu pihak
yang lain dari yang membuat perjanjian. Hakim berkuasa menyimpangi isi perjanjian bila
bertentangan dengan rasa keadilan sehingga agar suatu perjanjian dapat dilaksanakan
harus dilandasi dengan itikad baik, prinsip kepatutan, kebiasaan, dan sesuai dengan
undang-undang.29
Hukum perjanjian atau perikatan disebut juga sebagai hukum tuntut menuntut
karena di dalamnya terdapat pengertian satu pihak yaitu pihak penjual atau pembeli
menuntut sesuatu kepada pihak penjual atau yang dituntut dari pihak pembeli yaitu
prestasi.
Prestasi atau yang dalam bahasa Inggris disebut juga dengan istilah
performence, dalam hukum kontrak atau perjanjian dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu perjanjian oleh pihak yang telah
mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan term dan condition
sebagaimana disebutkan dalam perjanjian yang bersangkutan.30
Menurut Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, prestasi dibagi
dalam 3 jenis:
1. Prestasi untuk memberikan sesuatu
29
Ibid., hal. 59.
30
Prestasi ini terdapat pada Pasal 1237 Kitab Undang-Undang Hukum perdata, contoh:
prestasi pembeli menyerahkan uang kepada penjual, prestasi penjual menyerahkan
barang kepada pembeli.
2. Prestasi untuk melakukan sesuatu atau berbuat sesuatu
Prestasi ini terdapat dalam Pasal 1239 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
contoh: prestasi pengangkatan untuk membawa barang angkutan ke tempat tujuan.
3. Prestasi untuk tidak berbuat atau tidak melakukan sesuatu
Prestasi ini terdapat dalam Pasal 1239 kitab Undang-Undang Hukum Perdata, contoh:
A dan B membuat perjanjian untuk tidak akan membuat barang yang sama
seperti yang dibuat A.
Apabila seseorang telah ditetapkan prestasinya sesuai dengan perjanjian itu,
maka kewajiban pihak tersebut melaksanakan atau menaatinya. Apabila seseorang tidak
melaksanakan atau tidak memenuhi prestasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka
disebut wanprestasi.
Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak
yang dirugikan untuk menutut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan
ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan
karena wanprestasi.
B. Asas-Asas Hukum Perjanjian
Asas-asas hukum merupakan sumber bagi sistem hukum yang memberikan
inspirasi mengenai nilai-nilai etis, moral, dan sosial masyarakat. Asas hukum sebagai
pada akhirnya harus dapat dikembalikan pada asas hukum yang menjiwainya. Asas-asas
hukum dapat timbul dari pandangan kepantasan dalam pergaulan sosial yang kemudian
diambil oleh pembuat undang-undang sehingga menjadi aturan hukum.31
Asas-asas hukum dalam perjanjian menurut Sudikno Mertokusumo adalah
pikiran dasar yang umum sifatnya dan merupakan latar belakang dari peraturan hukum
yang konkrit, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim
yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat dalam
peraturan konkrit tersebut.32
Didalam hukum perjanjian dikenal lima asas perjanjian yaitu asas kebebasan
berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sun servanda, asas itikad baik, asas
kepribadian (personalitas) antara lain:
1. Asas kebebasan berkontrak
Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam
hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran
hak asasi manusia yang perkembangannya dilandasi semangat liberialisme. Menurut
paham individualisme setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendaki,
sementara itu ada di dalam hukum perjanjian dalam asas kebebasan berkontrak.33
Menurut Salim H. S bahwa asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang
memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat
perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapa pun, menentukan isi perjanjian
31
Agus Yuda Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 103.
32
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1991), hal. 97.
33
pelaksanaan, persyaratannya, dan menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis dan lisan.
Di dalam hukum perjanjian nasional, asas kebebasan berkontrak yang bertanggung
jawab, yang mampu memelihara keseimbangan tetap perlu dipertahankan, yaitu
pengembangan kepribadian untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir
batin yang serasi, selaras dan seimbang dengan kepentingan masyarakat.34
Asas kebebasan berkontrak ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan “Semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Asas Kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga
para pihak membuat persetujuan harus mentaati hukum yang sifatnya memaksa
tersebut.35
Namun yang penting diperhatikan bahwa asas kebebasan berkontrak di dalam
Pasal 1338 ayat (1) tidaklah berdiri sendiri. Asas tersebut berada dalam satu sistem
utuh dan padu. Sebagai suatu kesatuan yang bulat dan utuh dalam satu sistem, maka
penerapan asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam Pasal 1338 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata harus juga dikaitkan dengan kerangka pemahaman
pasal-pasal lain. Apabila Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dihubungkan dengan pasal-pasal lain dalam satu kerangka sistem hukum perjanjian
(Pasal 1320, 1335, 1337, 1338 (3) serta 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)
maka penerapan asas kebebasan berkontrak perlu dihubungkan dengan rambu-rambu
hukum lainnya.
34
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 229.
35
Hal ini berarti kebebasan para pihak dalam membuat kontrak perlu
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Mempunyai syarat sahnya suatu kontrak.
b.Untuk mencapai tujuan para pihak, kontrak harus mempunyai kausa.
c.Tidak mengandung kausa palsu atau dilarang oleh undang-undang.
d.Tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan, kesusilaan dan ketertiban
umum.
e.Harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Asas kebebasan berkontrak didasarkan pada para pihak dalam kontrak memiliki
posisi yang seimbang, tetapi pada kenyataannya para pihak tidak selalu memiliki posisi
yang seimbang. Apabila terjadi dalam suatu perjanjian terdapat ketidakseimbangan,
ketidakadilan, ketimpangan, posisi berat sebelah, maka justru merupakan pengingakaran
terhadap asas kebebasan berkontrak.36
2.Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme mempunyai hubungan erat dengan asas kebebasan
berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat dalam Pasal 1338 (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Hal ini sedasar dengan pendapat Subekti yang
menyatakan bahwa asas konsensualisme terdapat dalam Pasal 1320 jo 1338 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan
mengakibatkan perjanjian itu tidak sah.37
Asas konsensualitas menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat antara dua
atau lebih orang telah mengikat sehingga telah melahirkan kewajiban bagi salah satu
36
Agus Yuda Hernoko, Op.Cit., hal. 111-120.
37
atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut mencapai kesepakatan atau konsensus
meskipun kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan semata-mata. Ini berarti pada
prinsipnya perjanjian yang mengikat dan berlaku sebagai perikatan bagi para pihak
yang berjanji tidak memerlukan formalitas. Walaupun demikian, untuk menjaga
kepentingan pihak debitur atau pihak yang berkewajiban memenuhi prestasi maka
diadakanlah bentuk-bentuk formalitas atau dipersyaratkan adanya suatu tindakan nyata
tertentu. Ketentuan yang mengatur mengenai konsensualitas dapat kita temui dalam
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu untuk sahnya suatu perjanjian,
diperlukan empat syarat:38
a. Kesepakatan mereka mengikat dirinya.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
c. Suatu hal tertentu.
d. Suatu sebab yang tidak dilarang.
Asas konsensualisme sebagaimana terdapat dalam Pasal 1320 ayat (1)
perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainnya kata sepakat antara para pihak.
Kesepakatan tersebut dapat dibuat secara lisan maupun dituangkan dalam bentuk
tulisan berupa akta, jika dikehendaki sebagai alat bukti. Perjanjian yang dibuat secara
lisan didasarkan pada asas bahwa manusia itu dapat dipegang perkataannya artinya
dapat dipercaya dengan kata-kata yang diucapkannya. Tetapi ada beberapa perjanjian
harus dibuat secara tertulis, misalnya perjanjian perdamaian, perjanjian
penghibaan, perjanjian pertanggungan, tujuannya ialah sebagai alat bukti lengkap dari
38
yang diperjanjikan.39
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa kecuali ditentukan secara khusus untuk
tiap-tiap perjanjian yang mengakibatkan tidak sahnya suatu perjanjian, suatu kesepakatan
lisan saja sudah tercapai antara para pihak yang membuat atau mengadakan perjanjian
telah membuat perjanjian tersebut sah dan mengikat bagi para pihak. Ini berarti asas
konsensualisme merupakan ketentuan umum yang melahirkan perjanjian konsensuil.40
3. Asas Asas Daya Mengikat Kontrak (Pacta Sun Servanda)
Dalam perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata asas ini dapat
disimpulkan dari pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pengertian berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya menunjukan bahwa undang-undang
sendiri mengakui dan menempatkan posisi para pihak dalam kontrak sejajar dengan
pembuat undang-undang.41
Mengikat artinya masing-masing pihak dalam perjanjian harus menghormati
dan melaksanakan isi perjanjian, serta tidak boleh melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan isi perjanjian. Isi perjanjian yang mengikat tersebut berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.42
Perkembangan asas pacta sun servanda dapat ditelusuri dari sumber hukum
kanonik. Dalam hukum kanonik dikenal asas nudus consensus obligat, pacta sun servanda. Asas pacta sun servanda mempunyai pengertian bahwa persesuaian
39
Komariah, Op.Cit., hal. 228.
40
Gunawan Widjaja Op.Cit., hal. 265.
41
Agus Yuda Hernoko, Op.Cit., hal. 127.
42
kehendak tidak perlu dilakukan dibawah sumpah, atau dibuat dengan tindakan
formalitas tertentu. Artinya menurut hukum persesuaian kehendak itu mengikat.
Demikian halnya nudum pactum yaitu suatu persesuaian kehendak saja, sudah memenuhi syarat. Dengan mengikuti alur tersebut. Maka mengikatnya suatu perjanjian
itu karena adanya penyesuaian kehendak. Mengingat consensus itu telah diwujudkan di dalam suatu pactum, sehingga kemudian dipandang sebagai mempunyai kekuatan
mengikat. Oleh karena itulah, dapat dipahami kalau pada saat ini yang lebih menionjol
adalah asas pacta nuda sun servanda yang kemudian berkembang menjadi pacta sun servanda yang berkaitan dengan kekuatan yang mengikatnya suatu perjanjian.43
4.Asas Itikad Baik
Sebagaimana diketahui bahwa dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata tersimpul asas kebebasan berkontrak, asas
konsensualisme, asas daya mengikat perjanjian atau pacta sun servanda. Pemahaman terhadap pasal tersebut tidak berdiri sendiri, asas-asas yang terdapat dalam pasal
tersebut berada dalam satu sistem padu dan integratif dengan ketentuan-ketentuan
lainnya. Terkait dengan daya mengikatnya suatu perjanjian berlaku sebagai
undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (pacta sun servanda), pada situasi
tertentu daya berlakunya dibatasi antara lain dengan itikad baik.
Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa
“perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Maksudnya perjanjian
itu dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan. Pengertian itikad baik dalam dunia
hukum mempunyai arti yang lebih luas dari pada pengertian sehari hari. Pengertian
itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
43
berarti melaksanakan perjanjian dengan itikad baik dengan bersifat dinamis. Artinya
dalam melaksanakan perbuatan ini kejujuran harus berjalan dalam hati nurani
seseorang.44
5. Asas Kepribadian (Personalitas)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang
akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan
saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan 1340 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Pasal 1315 berbunyi “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan
perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”. Inti ketentuan ini bahwa
seseorang mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingannya sendiri. Pasal 1340
berbunyi “Perjanjian hanya berlaku antara para pihak yang membuatnya“. Ini berarti
bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang
membuatnya.45
Disamping kelima asas itu, di dalam lokakarya hukum perikatan yang
diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dari
tanggal 17- 19 Desember 1985 telah berhasil dirumuskan delapan asas hukum perikatan
nasional antara lain:46
a. Asas Kepercayaan
Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan
mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara, mereka
di belakang hari.
44
Ibid., hal.134-139.
45
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal.12.
46
b. Asas Persamaan Hukum
Bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan,
hak, dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak dibeda-bedakan antara
satu sama lain, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, ras .
c. Asas Keseimbangan
Asas ini adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan
melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan
jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun
debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.
d. Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian
ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi
yang membuatnya.
e. Asas Moral
Asas moral ini terkait dalam perikatan wajar yaitu suatu perbuatan sukarela dari
seseorang tidak dapat menuntut hak-hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak
debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan
dengan sukarela (moral). Dalam hal ini yang bersangkutan mempunyai kewajiban
hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang
memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah
didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya.
f. Asas Kepatutan
bahwa isi perjanjian itu harus sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku,
ketertiban umum, dan kesusilaan. Asas ini tertuang dalam Pasal 1339 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
g. Asas Kebiasaan
Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya
mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal menurut
kebiasaan lazim diikuti.
h. Asas Perlindungan
Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur
harus dilindungi oleh hukum.47
Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan
dan membuat kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian
dapat dipahami bahwa keseluruhan asas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus
diperhatikan bagi pembuat kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari kesepakatan
dapat tercapai dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak.
Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah
pihak debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah.
C. Syarat - Syarat Sahnya dan Pelaksanaan Perjanjian
Sebelum mengetahui syarat-syarat sahnya suatu perjanjian agar perjanjian
tersebut dianggap sah maka terlebih dahulu kita melihat unsur-unsur dalam suatu
perjanjian. Ada beberapa unsur perjanjian:
1. Ada pihak-pihak (subjek) sedikitnya dua pihak.
2. Ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap.
47
3. Ada tujuan yang akan dicapai yaitu memenuhi kebutuhan pihak-pihak.
4. Ada prestasi yang akan dilaksanakan.
5. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan.
6. Ada syarat-syarat tertentu bagi isi perjanjian.
Selain unsur-unsur perjanjian, agar suatu perjanjian dianggap sah, harus
memenuhi persyaratan. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan
untuk sahnya perjanjian-perjanjian diperlukan empat syarat yaitu:
1. Kesepakatan mereka mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan.
3. Suatu hal yang tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Keempat syarat ini merupakan syarat pokok bagi setiap perjanjian, artinya
setiap perjanjian harus memenuhi keempat syarat ini bila ingin suatu perjanjian sah dan
keempat syarat umum suatu perjanjian ini juga diterapkan dalam perjanjian khusus yaitu
perjanjian jual beli.48
1. Syarat Subjektif
Syarat sahnya suatu perjanjian meliputi dua hal, yaitu syarat
subjektif dan syarat objektif antara lain:
Syarat subjektif adalah syarat yang berkaitan dengan subjek perjanjian meliputi
antara lain:
a. Adanya kesepakatan atau ijin kedua belah pihak
Dalam suatu perjanjian harus ada kesepakatan antara para pihak yaitu
persesuaian kehendak antara kedua belah pihak, tidak ada paksaan. Dengan
48
diberlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua
pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Syarat kesepakatan sangat
penting karena syarat ini bagi sebagian besar perjanjian menetukan ada atau tidak
adanya unsur penawaran (offer) oleh salah satu pihak diikuti oleh penerimaan
(acceptence) dari pihak lainnya, sehingga pada akhirnya terjadilah suatu kontrak.49
Unsur kesepakatan adalah penting untuk menjadikan suatu perjanjian sah
secara hukum. Suatu perjanjian tanpa adanya kesepakatan adalah perjanjian yang
tidak sah secara hukum .
50
Menurut Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kata sepakat
harus diberikan secara bebas, dalam arti tidak ada paksaan, penipuan, dan
kekhilafan. Masalah lain yang dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yakni yang disebut cacat kehendak atau kehendak yang timbul tidak
murni dari yang bersangkutan.51
Tiga unsur cacat kehendak menurut Pasal 1321 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata antara lain:
1) Kekhilafan atau kekeliruan atau kesesatan atau dwaling (Pasal 1322 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata )
Sesat dianggap ada apabila pernyataan sesuai dengan kemauan
tetapi kemauan itu didasarkan atas gambaran yang keliru baik mengenai
orangnya atau objeknya.
Menurut R. Subekti kehilafan terjadi jika salah satu pihak khilaf tentang
49
Munir Fudy, Op.Cit., hal. 36.
50
Hardijan Rusli, Op.Cit., hal. 66.
51
hal-hal pokok apa yang diperjanjikan atau tentang dengan orang-orang
siapa perjanjian itu diadakan.52
Kekeliruan dapat terjadi dalam kemungkinan yaitu :53
a) Kekeliruan terhadap orang atau subjek hukum
Misalnya: perjanjian pertunjukan penyanyi yang terkenal yang
disangka Agnes Monica ternyata kemudian bukanlah Agnes Monica.
b) Kekeliruan terhadap barang atau objek hukum
Misalnya: jual beli lukisan yang disangka lukisan ciptaan Affandi
ternyata lukisan tersebut bukan lukisan Affandi.
2) Paksaan atau dwang (Pasal 1323-1327 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata)
Paksaan bukan karena kehendaknya sendiri, namun dipengaruhi
oleh orang lain. Paksaan telah terjadi bila perbuatan itu sedemikian rupa
sehingga dapat menakutkan seseorang yang berpikiran sehat dan
apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut
bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang
terang dan nyata.54
Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan paksaan adalah paksaan rohani
atau paksaan jiwa yang diancamkan itu adalah tindakan yang dilarang
52
R.Subekti (1), Op.Cit., hal. 23.
53
C. S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, cetakan keempat, (Jakarta: PT.Pradnya Paramitha, 2004), hal. 224-225.
54
oleh undang-undang.55
3) Penipuan atau bedrog (Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata )
Menurut Subekti penipuan terjadi apabila satu pihak dengan
sengaja memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar disertai
tipu musliat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perijinan.56
Pihak yang menipu dengan daya akalnya menanamkan suatu gambaran yang
keliru tentang orangnya atau objeknya sehingga pihak lain bergerak untuk
menyepakatinya.
Penipuan dapat dibagi dalam dua macam yaitu:57
a) Penipuan yang material
Penipuan ini terjadi apabila suatu pernyataan yang tidak benar itu
menyebabkan orang berpikiran waras atau orang-orang tertentu
memberikan kesepakatannya untuk suatu transaksi.
b)Penipuan yang fraudulent
Penipuan ini terjadi bila pernyataan tidak benar itu disertai maksud dari
pembuat pernyataan untuk mempengaruhi pihak lawannya agar
percaya. Perjanjian itu dapat dibatalkan, apabila terjadi kegiatan hal
tersebut.
4) Penyalahgunaan keadaan atau undue Influence (Tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata )
Pada Hakikatnya ajaran penyalahgunaan keadaan bertumpu pada
55
R. Subekti, Op.Cit., hal. 23.
56
Ibid., hal. 24.
57
kedua hal berikut, yaitu:
a) Penyalahgunaan keunggulan ekonomi
b) Penyalahgunaan keunggulan kejiwaan termasuk tentang psikologi,
penegtahuan, dan pengalaman.
Konsekuensi bila ada penyalahgunaan keadaan maka perjanjian itu dapat
dibatalkan.58
b. Kedua belah pihak harus cakap bertindak
Cakap bertindak, yaitu kecakapan atau kemampuan kedua belah pihak untuk
melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan
menimbulkan akibat hukum. Orang yang cakap adalah orang yang sudah dewasa.
Ukuran kedewasaan adalah telah berumur 21 tahun dan atau sudah kawin.
Sedangkan orang yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum menurut
Pasal 1330 KUH Perdata meliputi anak dibawah umur, orang-orang yang dalam
pengampuan.
Didalam dunia hukum perkataan orang (persoon) berarti pendukung hak dan kewajiban yang juga disebut subjek hukum. Meskipun setiap subjek hukum
mempunyai kewajiban untuk melakukan perbuatan hukum namun perbuatan
tersebut harus didukung oleh kecakapan dan kewenangan hukum.59
2. Syarat Objektif
Syarat objektif adalah syarat yang berkaitan dengan objek perjanjian antara lain:
a. Suatu Hal tertentu
Objek dalam perjanjian adalah prestasi. Prestasi adalah memberikan sesuatu,
58
Handri Rahardjo, Op.Cit., hal. 51.
59
berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu. Suatu perjanjian haruslah mempunyai
objek tertentu berupa benda yang sekarang dan benda yang akan ada misalnya:
jumlah, jenis, bentuknya.
Berkaitan dengan hal tersebut benda yang dijadikan objek perjanjian harus
memenuhi beberapa ketentuan yaitu:
1) Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan
Barang-barang yang digunakan untuk kepentingan umum antara lain jalan
umum, pelabuhan umum, gedung-gedung umum dan sebagainya.
2) Dapat ditentukan jenisnya
3) Barang yang akan datang.
b. Adanya sebab yang halal
Dalam suatu perjanjian diperlukan adanya sebab yang halal artinya ada
sebab-sebab hukum yang menjadi dasar perjanjian yang tidak dilarang oleh
peraturan, keamanan dan ketertiban umum dan sebagainya.60 Sebab yang
dimaksud adalah isi perjanjian itu sendiri atau tujuan dari para pihak mengadakan
perjanjian. Halal adalah tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban
umum, dan kesusilaan.61
Apabila syarat kesepakatan dan kecakapan tidak terpenuhi maka perjanjian itu
dapat dibatalkan. Artinya, bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada Pengadilan
untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Tetapi apabila para pihak tidak ada
keberatan maka perjanjian itu dianggap sah. Jika syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab
yang halal tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, bahwa dari
60
Titik Triwulan Tutik, Op.Cit., hal. 222-226.
61
semula perjanjian itu dianggap tidak ada.62
Selain syarat dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sering
ditentukan syarat atau formalitas yang ditentukan oleh undang-undang. Terhadap
perjanjian formil bila tidak dipenuhi formalitasnya yang telah ditetapkan oleh
undang-undang maka perjanjian itu batal demi hukum. Contoh perjanjian formil adalah
perjanjian penghibaan benda tidak bergerak harus menggunakan akta notaris perjanjian
perdamaian harus tertulis.
Mengenai pelaksanaan perjanjian dapat dilihat dari syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian bahwa dalam melaksanakan suatu perjanjian haruslah berdasarkan asas itikad
baik yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
merupakan ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan
perjanjian harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya
untuk memperoleh hak milik ialah jual beli.
Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah
diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Jadi perjanjian
itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah
mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara
sepihak saja. Pelaksanaan perjanjian dalam hal ini adalah realisasi atau pemenuhan hak
dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai
tujuannya. Pelaksanaan perjanjian jual beli pada dasarnya menyangkut soal pembayaran
dan penyerahan barang yang menjadi objek utama perjanjian. Pembayaran dan
penyerahan barang dapat terjadi secara serentak.
62
Dalam pelaksanaan perjanjian jual beli dilakukan dengan cara penyerahan.
Syarat-syarat penyerahan barang atau levering adalah sebagai berikut: 1. Harus ada perjanjian yang bersifat kebendaan.
2. Harus ada alas hak (titel), dalam hal ini ada 2 teori yang sering digunakan yaitu
teori kausal dan teori abstrak.
3. Dilakukan orang yang berwenang menguasai benda.
4. Penyerahan harus nyata (feitelijk).
Dalam suatu perjanjian, pihak-pihak telah menetapkan apa yang telah
disepakati. Apabila yang telah disepakati itu sudah jelas menurut kata-katanya, sehingga
tidak mungkin menimbulkan keraguan-keraguan lagi, tidak diperkenankan memberikan
pengertian lain. Dengan kata lain tidak boleh ditafsirkan lain (Pasal 1342 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata).
D. Lahirnya dan Berakhirnya Perjanjian
Untuk mengetahui apakah suatu perjanjian telah lahir dan bagaimana perjanjian
tersebut lahir, apakah kesepakatan telah tercapai. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1233
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian timbul karena:63
1. Persetujuan
2. Dari Undang-Undang.
Perjanjian yang lahir dari persetujuan dapat kita lihat dalam Pasal 1313 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yaitu suatu tindakan atau perbuatan seseorang atau lebih
yang mengikatkan diri kepada seseorang lain atau lebih. Tindakan atau perbuatan yang
63
menciptakan persetujuan, berisi pernyataan kehendak antara para pihak. Tindakan yang
dimaksud dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah tindakan atau
perbuatan hukum. Sebab tidak semua tindakan atau perbuatan mempunyai akibat hukum.
Hanya tindakan hukum sajalah yang dapat menimbulkan akibat hukum. Penyesuaian
kehendak atau pernyataan kehendak dapat dinyatakan dalam lisan, tulisan atau surat dan
lain lain. Namun tidak selamanya pernyataan kehendak seseorang itu berwujud
persetujuan yang mengikat sebagaimana yang dikehendaki Pasal 1313 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Hanya pernyataan kehendak yang menimbulkan
kewajiban hukum saja yang melahirkan kontrak atau persetujuan.
Mengenai perjanjian yang lahir dari undang-undang diatur dalam Pasal 1352
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu semata mata dari undang-undang dan dari
undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia. Perjanjian yang lahir dari
undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia. Perjanjian yang lahir dari
undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia.
Sebagaimana diketahui, hukum perjanjian dari Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata menganut asas konsensualisme. Artinya ialah hukum perjanjian dari Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata itu menganut suatu asas bahwa untuk melahirkan
perjanjian cukup dengan sepakat saja dan bahwa perjanjian itu sudah dilahirkan pada saat
atau detik tercapainya konsensus sebagaimana yang dimaksud diatas. Pada detik tersebut
perjanjian sudah jadi dan mengikat, bukannya pada detik-detik lain yang terkemudian
atau yang sebelumnya.64
Kesepakatan berarti persesuaian kehendak, namun kehendak atau keinginan
yang disimpan di dalam hati, tidak mungkin diketahui pihak lain dan karenanya tidak
64
mungkin melahirkan sepakat yang diperlukan untuk melahirkan perjanjian. Menyatakan
kehendak ini tidak terbatas pada mengucapkan perkataan-perkataan, ia dapat dicapai pula
dengan memberikan tanda-tanda apa saja yang dapat mengartikan kehendak baik oleh
pihak yang mengambil prakarsa yaitu pihak yang menawarkan maupun pihak yang
menerima penawaran tersebut.65
Sama halnya dengan perjanjian jual beli. Jual beli dianggap sudah berlangsung
antara pihak penjual dan pembeli, apabila mereka telah menyetujui dan bersepakat
tentang keadaan benda dan harga barang tersebut, sekalipun barangnya belum diserahkan
dan harganya belum dibayarkan, seperti yang ditegaskan dalam Pasal 1458 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi jual beli sudah terjadi antara kedua belah
pihak seketika setelah mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan harga meskipun
barang belum diserahkan dan harga belum dibayar.66
Jual beli tiada lain dari persesuaian kehendak antara penjual dan pembeli
mengenai barang dan harga.67
Dalam hal perjanjian jual beli biasanya kata sepakat pihak penjual maupun
pihak pembeli. Dengan demikian yang akan menjadi alat pengukur tentang tercapainya
persesuaian kehendak tersebut adalah persyaratan-persyaratan yang telah dilakukan oleh
kedua belah pihak. Dan apabila timbul perselisihan tentang apakah terdapat konsensus
atau tidak maka hakim atau pengadilanlah yang menetapkannya.
Barang dan hargalah yang menjadi essensilia perjanjian
jual beli. Sebaliknya, jika barang objek jual beli tidak dibayar dengan suatu harga jual
beli dianggap tidak ada.
Dalam suatu perjanjian ada lahirnya suatu perjanjian dan perjanjian juga dapat
65
Ibid., hal. 6.
66
Ibid., hal. 2.
67
berakhir. Berakhirnya kontrak merupakan selesai atau hapusnya sebuah kontrak yang
dibuat antara dua pihak, yaitu kreditur dengan debitur tentang suatu hal. Mengenai
berakhirnya suatu perjanjian diatur dalam Bab XII Buku III Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Penagturan mengenai hal ini perlu bagi kedua belah pihak, baik untuk
menentukan sikap selanjutnya maupun untuk memperjelas sampai dimana batas
perjanjian tersebut. Ada pun cara-cara penghapusan perjanjian telah diatur dalam Pasal
1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Didalam Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan
beberapa cara hapusnya suatu perjanjian yaitu:
a. Pembayaran
Ditinjau dari segi yuridis bahwa pembayaran tidak selalu diartikan dalam bentuk
penyerahan uang semata, tetapi terpenuhinya sejumlah prestasi yang diperjanjikan
juga memenuhi unsur pembayaran.68 Bisa saja dengan pemenuhan jasa atau
pembayaran dengan bentuk tidak berwujud atau yang immaterial. Pembayaran
prestasi dapat dilakukan dengan melakukan sesuatu. 69 Pemenuhan prestasi dalam
suatu perjanjian sepaturnya dilaksanakan sesuai dengan hal yang telah
diperjanjikan termasuk waktu yang diperjanjikan. Penawaran dan penerimaan
pemenuhan prestasi sebelum waktunya dapat menjadi sebab berakhirnya
perjanjian.70
b. Penawaran tunai disertai dengan penitipan
Dalam Pasal 1517 menyatakan bahwa jika sipembeli tidak membayar
harga pembelian sipenjual dapat menuntut pembatalan pembelian.
Pemenuhan prestasi dalam suatu perjanjian sepatutnya dilaksanakan sesuai hal yang
68
69
M.yahya Harahap, Op.Cit., hal.107.
70
diperjanjikan termasuk waktu pemenuhannya, namun tidak jarang prestasi tersebut
dapat dipenuhi sebelum waktu yang diperjanjikan. Penawaran dan penerimaan
pemenuhan prestasi sebelum waktunya dapat menjadi sebab berakhirnya suatu
perjanjian.71
c. Perjumpaan hutang (kompensasi)
Perjumpaan utang diatur pada Pasal 1425 sampai 1435 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Yang diartikan dengan kompensasi adalah penghapusan masing-masing utang dengan jalan saling memperhitungkan utang yang sudah
dapat ditagih antar kreditur dan debitur.72 Perjumpaan hutang terjadi karena antara
kreditur dan debitur saling mengutang terhadap yang lain, sehingga utang keduanya
dianggap terbayar oleh piutang mereka masing-masing.73
d. Percampuran hutang (Konfusio)
Percampuran utang (konfusio) terjadi akibat keadaan bersatunya kedudukan debitur dan kreditur pada diri seseorang dengan bersatunya kedudukan debitur dan kreditur
pada diri seseorang dengan sendirinya menurut hukum sudah terjadi percampuran
hutang, dan dengan sendirinya pula semua tagihan menjadi terhapus seperti pada Pasal
1436 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Atau bisa terjadi akibat dari hibah wasiat
maupun karena persetujuan jual beli antara seorang ahli waris dengan pewaris, dengan
meninggalnya si pewaris, maka jual beli dengan sendirinya bersatu pada diri ahli
waris.74
71
http:/
Berubahnya kedudukan para pihak atas suatu objek perjanjian juga dapat
menyebabkan terjadinya percampuran utang yang mengakhiri perjanjian. Pada keadaan
72
Salim H. S,Op.Cit., hal. 170.
73
74
perjanjian dengan jaminan, hapusnya perjanjian karena percampuran hutang,
menyebabkan gugurnya jaminan ini diatur dalam Pasal 1437 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang berbunyi “Percampuran hutang (konfusio) yang terjadi pada pribadi debitur utama, berlaku juga terhadap para penjamin”.75
e. Pembebasan hutang
Pembebasan utang diatur dalam Pasal 1438 sampai 1443 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.76
f. Musnahnya benda yang terhutang
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1438 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang mengatakan pembebasan atau penghapusan hutang tidak boleh
diduga-duga tapi harus dibuktikan. Pembebasan utang dapat terjadi karena adanya
kerelaan pihak kreditur untuk membebaskan debitur dari kewajiban membayar
utang, sehingga dengan terbebasnya debitur dari kewajiban pemenuhan utang,
maka hal yang disepakati dalam perjanjian sebagai syarat sahnya perjanjian dan
dengan demikan berakhirlah perjanjian.
Musnahnya barang yang diperjanjikan juga menyebabkan tidak terpenuhinya syarat
perjanjian karena barang sebagai hal (objek) yang diperjanjikan tidak ada sehingga
berimplikasi pada berakhirnya perjanjian yang mengaturnya. Apabila benda yang
menjadi objek dari suatu perikatan musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan atau
hilang, maka berarti telah terjadi suatu keadaan memaksa, sehingga undang-undang
perlu mengadakan pengaturan tentang akibat-akibat dari perikatan tersebut.
Menurut Pasal 1444 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka untuk perikatan
sepihak dalam keadaan yang demikian itu, hapuslah perikatannya asal barang itu
75
Ibid., hal. 159.
76
musnah atau hilang di luar salahnya debitur, dan sebelum ia lalai
menyerahkannya.77
g. Kebatalan atau pembatalan
Kebatalan kontrak diatur dalam Pasal 1446 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
sampai dengan Pasal 1456 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ada tiga
penyebab timbulnya pembatalan kontrak, yaitu:78
1) Adanya perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang belum dewasa dan
dibawah pengampuan.
2) Tidak mengindahkan bentuk perjanjian yang disyaratkan dalam
undang-undang.
3) Adanya cacat kehendak yang merupakan kekurangan dalam kehendak orang
atau orang-orang yang melakukan perbuatan yang menghalangi terjadinya
persesuaian kehendak dari pihak dalam perjanjian.
Kebatalan atau pembatalan tidak terpenuhinya syarat sahnya suatu perjanjian dapat
mengakibatkan perjanjian berakhir tata cara pembatalan yang disepakati dalam
perjanjian tidak memenuhi syarat kecakapan hukum.
h. Berlakunya syarat batal
Berlaku suatu syarat batal diatur dalam Pasal 1265 Kitab Undang-Undang Hukum
perdata. Syarat batal adalah suatu syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan
perjanjian dan membawa segala sesuatu pada keadaan semula, seolah-olah tidak
ada suatu perjanjian (Pasal 1265 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Biasanya
77
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 145.
78
syarat batal berlaku pada perjanjian timbal balik, seperti perjanjian jual beli.79
Pasal 1266 dan pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata secara khusus
memberikan pengaturan tentang syarat yang membatalkan perjanjian timbal balik.
Undang-Undang tersebut menentukan bahwa syarat yang membatalkan perjanjian
timbal balik, adalah kalau salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya (ingkar
janji).80
Disamping itu, dalam praktik dikenal pula cara berakhirnya perjanjian (kontrak),
yaitu:
1. Jangka waktu berakhir
Setiap kontrak yang dibuat oleh para pihak, baik kontrak yang dibuat melalui akta
dibawah tangan maupun yang dibuat oleh atau di muka pejabat yang berwenang telah
ditentukan secara tegas jangka waktu dan tanggal berakhirnya kontrak tersebut.
Penentuan jangka waktu dan tanggal berakhirnya kontrak yang dimaksudkan bahwa
salah satu pihak tidak perlu memberitahukan tentang berakhirnya kontrak tersebut,
namun para pihak telah mengetahuinya masing-masing. Penentu jangka waktu
tanggal berakhirnya kontrak adalah didasarkan pada kemauan dan kesepakaatan.81
2. Dilaksanakan objek perjanjian
Pada dasarnya objek perjanjian adalah sama dengan prestasi. Prestasi terdiri dari
melakukan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Didalam perjanjian
timbal balik seperti jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, dan lain-lain telah
ditentukan objek perjanjiannya dengan telah dilaksanakan objek perjanjian antara
79
Ibid., hal. 175.
80
Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit., hal. 43.
81
penjual dan pembeli telah berakhir, baik secara diam-diam maupun secara tegas.82
3. Kesepakatan kedua belah pihak
Kesepakatan kedua belah pihak merupakan salah satu cara berakhirnya kontrak,
dimana kedua belah pihak telah sepakat untuk menghentikan kontrak yang telah
ditutup antara keduanya. Motivasi mereka untuk menyepakati berakhirnya suatu
kontrak didasarkan pada nilai-nilai kemanusian dan ada juga yang menyepakatinya
didasarkan bisnis.
4. Pemutusan kontrak secara sepihak oleh salah satu pihak
Pada dasarnya kontrak harus dilaksanakan oleh para pihak berdasarkan itikad baik
namun dalam kenyataannya sering sekali salah satu pihak tidak melaksanakan
substansi kontrak, walaupun mereka telah diberikan somasi sebanyak tiga kali
berturut-turut. Karena salah satu pihak lalai melaksanakan prestasinya maka pihak
yang lainnya dengan sangat terpaksa memutuskan kontrak itu secara sepihak.83
5. Adanya pemutusan pengadilan
Apabila penyelesaian sengketa di luar pengadilan seperti negoisasi, mediasi, koalisasi
dan penilaian para ahli belum juga jalan untuk menyelesaikan masalah diantara para
pihak maka para pihak terutama pihak yang dirugikan dalam pelaksanaan kontrak
dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri di tempat kontrak atau objek
berada.84
82
Ibid., hal. 176-177.
83
Ibid., hal. 178.
84