• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANGTUA DAN KREATIVITAS ANAK Studi pada Siswa Kelas II SMP Kanisius Kalasan Tahun Ajaran 20042005 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANGTUA DAN KREATIVITAS ANAK Studi pada Siswa Kelas II SMP Kanisius Kalasan Tahun Ajaran 20042005 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Disusun oleh: Rumei Endri Yani

NIM: 001114011

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

HALAMAN JUDUL……… i

HALAMAN PERSETUJUAN……….. . ii

HALAMAN PENGESAHAN………. iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN………. iv

ABSTRAK……….. v

ABSTRACT……… vii

KATA PENGANTAR………. ix

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….. xiii

DAFTAR ISI……… xiv

DAFTAR TABEL……… xviii

DAFTAR LAMPIRAN……… xix

BAB I. PENDAHULUAN……… 1

A. Latar Belakang Masalah………. 1

B. Rumusan Masalah……….. 4

C. Tujuan Penelitian……… 4

(3)

2. Macam-macam Pola Asuh Orangtua……….. 8

a. Pola Demokrasi (Authoritative)………. 9

b. Pola Otoriter (Authoritarian)……….. 11

c. Pola Permisif (Indulgent)……… 13

d. Pola Laissez Faire (Indifferent)……….. 14

B. Hakikat Kreativitas Anak……… 15

1. Pengertian Kreativitas………. 16

2. Ciri-ciri Pribadi yang Kreatif……….. 16

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kreativitas……….. 18

a. Faktor-faktor yang Mendukung Perkembangan Kreativitas……….. 18

b. Faktor-faktor yang Menghambat Perkembangan Kreativitas……….. 21

4. Peran Kreativitas dalam Hidup Manusia……… 22

C. Hubungan antara Pola Asuh Orangtua dan Kreativitas Anak 24 D. Sikap Orangtua yang Memupuk dan Menghambat Pengembangan Kreativitas Anak……… 29

(4)

1. Populasi Penelitian………. 33

2. Sampel Penelitian………... 34

C. Penentuan Variabel………. 34

D. Instrumen Pengumpulan Data……… 35

E. Prosedur Pengumpulan Data……….. 42

1. Uji Coba Instrumen……… 42

a. Validitas (Kesahihan)………. 42

b. Reliabilitas (Keandalan)………. 45

2. Tahap Pengumpulan Data………... 48

F. Teknik Analisis Data……….. 48

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 51

A. Hasil Penelitian dan Pengujian Hipotesis……….. 51

1. Hasil Penelitian ...………. 51

2. Pengujian Hipotesis ……… 53

B. Pembahasan Hasil Penelitian……….. 59

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN……… 69

A. Kesimpulan………. 69

(5)
(6)

Tabel 1 : Data Siswa-siswi Kelas II SMP Kanisius Kalasan Tahun

Ajaran 2004/2005……….. 33

Tabel 2 : Kisi-kisi Alat Ukur Uji Coba………. 40 Tabel 3 : Kisi-kisi Alat Ukur Penelitian……… 41 Tabel 4 : Klasifikasi Koefisien Korelasi Reliabilitas dan Validitas

Suatu Alat Tes………. 46

Tabel 5 : Rekapitulasi Hasil Perhitungan Validitas dan Reliabilitas 47 Tabel 6 : Jadwal Pengumpulan Data Penelitian……… 48 Tabel 7 : Tabulasi Data penelitian Pola Asuh Orangtua... 52 Tabel 8 : Hasil Penelitian Hubungan Pola Asuh Orangtua dan

Kreativitas Anak……… 53

(7)

Lampiran 1a : Kuesioner Uji Coba……… 76 Lampiran 1b : Kuesioner Penelitian……….. 84 Lampiran 2a : Hasil Analisis Uji Validitas Uji Coba Kuesioner 91

Pola Asuh Orangtua………

Lampiran 2b : Hasil Analisis Uji Validitas Uji Coba Kuesioner 97 Kreativitas………..

Lampiran 3a : Hasil Analisis Uji Validitas Penelitian Kuesioner 102 Pola Asuh Orangtua………

Lampiran 3b : Hasil Analisis Uji Validitas Penelitian Kuesioner 104 Kreativitas………..

Lampiran 4 : Perhitungan Reliabilitas dan Validitas Hasil Uji Coba 106 Lampiran 5 : Perhitungan Reliabilitas dan Validitas Hasil Penelitian 110 Lampiran 6a : Tabel Jumlah Skor-skor Hasil Uji Coba Kuesioner

Pola Asuh Orangtua……… 114

Lampiran 6b : Tabel Jumlah Skor-skor Hasil Uji Coba Kuesioner

Kreativitas………….……… 115

Lampiran 7a : Tabel Jumlah Skor-skor Hasil Penelitian Kuesioner

Pola Asuh Orangtua……….. 116

Lampiran 7b : Tabel Jumlah Skor-skor Hasil Penelitian Kuesioner

(8)
(9)

Studi pada Siswa Kelas II SMP Kanisius Kalasan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah (1) Pola asuh demokratis/authoritative berhubungan secara signifikan dengan kreativitas anak. (2) Pola asuh otoriter/authoritarian berhubungan secara signifikan dengan kreativitas anak. (3) Pola asuh permisif/indulgent berhubungan secara signifikan dengan kreativitas anak. (4) Pola asuh laissez faire/indifferent berhubungan secara signifikan dengan kreativitas anak. Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan tahun ajaran 2004/2005.

Jenis penelitian ini adalah penelitian ex-post facto. Pada penelitian ini, peneliti tidak mengendalikan variabel bebas secara langsung dan kesimpulan dibuat tentang hubungan di antara variabel-variabel dilakukan tanpa ada intervensi langsung dari peneliti. Peneliti mencoba menghimpun keterangan-keterangan berdasarkan kejadian atau pengalaman yang telah berlangsung di masa lalu menyangkut pola pengasuhan orangtua sebagaimana dialami anak maupun kreativitas yang dimiliki anak.

Sampel penelitian adalah sebagian dari siswa-siswi kelas II SMP Kanisius Kalasan tahun ajaran 2004/2005 yang sampai saat ini tinggal bersama dengan orangtua mereka. Jumlah sampel adalah 47 orang. Variabel penelitian ada dua yaitu: (1). variabel bebas (X) adalah pola asuh orangtua (demokrasi/authoritative, otoriter/authoritarian, permisif/indulgent dan laissez faire/indifferent), dan (2). variabel terikat (Y) adalah kreativitas anak. Alat pengumpul data yang digunakan adalah Kuesioner Pola Asuh Orangtua yang diadopsi dari alat penelitian Barus yang direvisi oleh Alibata dan dikembangkan oleh peneliti, yang terdiri dari pola asuh orangtua demokratis 32 item, pola asuh orangtua otoriter 15 item, pola asuh orangtua permisif 11 item dan pola asuh orangtua laissez faire 18 item, dan Kuesioner Kreativitas yang diadopsi dari alat penelitian Mujiyana yang dikembangkan oleh peneliti, yang terdiri dari kemampuan berpikir kreatif 20 item, dan ciri afektif 40 item. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik korelasi Product-Moment dari Pearson.

(10)
(11)

A Case Study at Second Grade Students of SMP Kanisius Kalasan In 2004/2005 Learning Year

RUMEI ENDRI YANI Sanata Dharma University

Yogyakarta 2005

This research aimed at understanding whether (1) rearing patterns of democratic or authoritative relate significantly to kids creativity, (2) rearing pattern of authoritary or authoritarian relate significantly to kids creativity, (3) rearing pattern of permissive or indulgent relate significantly to kids creativity, and (4) rearing pattern of laissez faire or indifferent relate significantly to kids creativity. The research was performed on second grade students of SMP Kanisius Kalasan, in learning year of 2004/2005.

The type of this research was ex-post facto one. Upon this research, the researcher did not control independent variable directly and conclusion made about which relationship among variables was conducted with no direct intervention of researcher. Researcher tried to collect information based on events or experience during which had already taken place in the past concerning parental rearing patterns as experienced by children and creativity owned by kids.

Research sample largely was second grade students of SMP Kanisius Kalasan in 2004/2005 learning year as up to now still living together with their parents. The amount of sample was 47 people. Two research’s variables observed; are: (1). independent variable (X), i.e. parental rearing pattern (democracy or authoritative, authoritary or authoritarian, permissive or indulgent, and laissez faire or indifferent) and (2). dependent variable (Y), i.e. kids creativity. Data collection means that was used were Parental Rearing Pattern Questioner adopted from Barus investigation tool revised by Alibata and forther developed by researcher, consisting of 32 items of democratic parental rearing pattern, 15 items of authoritary parental rearing pattern, 11 items permissive parental rearing pattern, and 18 items laissez faire parental rearing pattern, and Creativity Questioner adopted from Mujiyana’s research tool that was forther developed by researcher, consisting of 20 items of creative thinking ability, and 40 items of affective characteristic. Data analysis technique used was Product-Moment correlation technique of Pearson.

(12)
(13)

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis akan memaparkan latar belakang masalah,

perumusan masalah, hipotesis penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan

definisi operasional variabel.

A. Latar Belakang Masalah

Munandar Utami (1999: 14) mengemukakan bahwa sebagai negara

berkembang, Indonesia sangat membutuhkan tenaga-tenaga kreatif yang

mampu memberi sumbangan bermakna kepada ilmu pengetahuan, teknologi,

dan kebudayaan, termasuk kesenian, demi kesejahteraan bangsa pada

umumnya. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya tertuju pada pengembangan

kreativitas peserta didik agar kelak dapat memenuhi kebutuhan pribadi serta

kebutuhan masyarakat dan negara.

Keluarga sebagai media pendidikan pertama bagi anak merupakan

media yang paling efektif bagi terciptanya daya kreativitas dalam diri anak,

karena di dalam keluarga anak pertama kali mendapatkan pengalaman hidup

dan keluarga merupakan lingkungan yang paling kuat pengaruhnya dalam

membesarkan dan mendidik anak. Bila ditinjau dari segi waktu, keluarga

memperoleh lebih banyak jam tatap muka bersama anak dibandingkan dengan

sekolah formal, sehingga kebersamaan dengan orangtua memungkinkan

(14)

Dalam GBHN 1993 (dalam Munandar, 1999) dinyatakan bahwa

pengembangan kreativitas hendaknya dimulai pada usia dini, yaitu di

lingkungan keluarga sebagai tempat pendidikan pertama dan dalam

pendidikan prasekolah. Perkembangan kreativitas anak sangatlah penting,

tidak hanya demi pengembangan intelektualitasnya, atau untuk meningkatkan

kebudayaannya, tetapi juga bagi kesejahteraan jiwanya. Renzulli, 1981 (dalam

Munandar, 1999) mengemukakan bahwa kreativitas atau daya cipta

memungkinkan penemuan-penemuan baru dalam bidang ilmu dan teknologi,

serta dalam semua bidang usaha manusia lainnya.

Dewasa ini kreativitas anak-anak dapat dikatakan belum

berkembang dengan baik. Hal ini dipengaruhi oleh pola asuh orangtua, cara

orangtua dalam mendidik dan memberi pemahaman kepada anak-anak. Masih

banyak orangtua yang mendidik anak dengan cara-cara yang kurang

mendukung terciptanya daya kreativitas dalam diri anak. Banyak orangtua

yang kurang memberikan kesempatan kepada anak dalam mengembangkan

daya kreativitas mereka. Orangtua mempunyai harapan tertentu tentang

bagaimana anak mereka harus berperilaku dan setiap orangtua akan senang

bila harapan ini terpenuhi, akan tetapi kebanyakan orangtua kurang bisa

menyampaikan apa yang diinginkannya untuk dilakukan oleh anak mereka

dengan cara yang tepat dan tanpa mengetahui apa yang sebenarnya diinginkan

oleh anak. Jika anak sejak kecil terlalu dikekang, selalu diberi contoh

bagaimana seharusnya bertingkah laku dan tidak dirangsang untuk berpikir

(15)

mempunyai daya kreasi. Hal-hal tersebut di atas menyebabkan anak,

khususnya pada usia remaja kurang bisa memunculkan ide-ide maupun

pikiran-pikiran baru yang mendorong daya kreativitasnya.

Bermacam-macam kondisi rumah tangga, misalnya: keadaan

sosial-ekonomi keluarga, hubungan ayah dan ibu, hubungan orangtua dan

anak, kesibukan orangtua di luar rumah, perhatian dan kasih sayang dalam

kehidupan keluarga, jumlah anak dalam keluarga, tingkat pendidikan

orangtua, dan sebagainya mempunyai hubungan yang erat dengan

perkembangan kreativitas anak dalam keluarga.

Keadaan ideal yang diharapkan adalah orangtua menyadari

besarnya peran mereka terhadap perkembangan remaja, khususnya terhadap

perkembangan kreativitasnya. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh para

orangtua untuk merangsang perkembangan kreativitas anaknya, misalnya

dengan mengusahakan suatu lingkungan yang kaya akan rangsangan mental

dan suasana di mana anak merasa tertarik dan tertantang untuk mewujudkan

kreativitasnya. Orangtua seharusnya memberi kebebasan kepada anak untuk

melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan yang merangsang dan menumbuhkan

kreativitas anak.

Orangtua hendaknya juga menyadari bahwa setiap anak merupakan

pribadi yang unik, setiap anak mempunyai bakat dan minat yang

berbeda-beda. Tanggungjawab orangtua ialah mengenal potensi setiap anak dan

menciptakan suatu iklim dan suasana di dalam keluarga yang memupuk dan

(16)

B. Rumusan Masalah

Permasalahan yang akan diselidiki dalam penelitian ini adalah:

“Apakah ada hubungan yang signifikan antara pola asuh orangtua dan

kreativitas anak pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan?” Secara lebih

rinci permasalahan utama tersebut dijabarkan sebagai berikut:

1. Apakah ada hubungan yang signifikan antara pola asuh

demokratis/authoritative dan kreativitas anak pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan?

2. Apakah ada hubungan yang signifikan antara pola asuh

otoriter/authoritarian dan kreativitas anak pada siswa kelas II SMP

Kanisius Kalasan?

3. Apakah ada hubungan yang signifikan antara pola asuh permisif/indulgent

dan kreativitas anak pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan?

4. Apakah ada hubungan yang signifikan antara pola asuh laissez

faire/indifferent dan kreativitas anak pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bermaksud untuk mengkaji hubungan antara pola

asuh orangtua dan kreativitas anak pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan.

Secara terinci tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui hubungan antara pola asuh demokratis/authoritative dan

(17)

2. Mengetahui hubungan antara pola asuh otoriter/authoritarian dan kreativitas anak pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan.

3. Mengetahui hubungan antara pola asuh permisif/indulgent dan kreativitas anak pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan.

4. Mengetahui hubungan antara pola asuh laissez faire/indifferent dan

kreativitas anak pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan.

D. Manfaat Hasil Penelitian

Manfaat yang akan diperoleh dalam penelitian ini adalah:

1. Memberikan sumbangan pemikiran yang dapat dimanfaatkan oleh para

pendidik, baik guru pembimbing maupun orangtua, agar dapat merancang

kegiatan yang bermanfaat dan menarik bagi remaja sehingga remaja dapat

tumbuh sebagai pribadi yang kreatif.

2. Memberikan tambahan informasi bagi penelitian ilmiah, khususnya di

bidang Pendidikan, Bimbingan dan Konseling tentang kreativitas ditinjau

dari pola asuh orangtua.

3. Hasil penelitian ini diharapkan digunakan oleh guru pembimbing untuk

mengembangkan program bimbingan, baik bimbingan pribadi, bimbingan

sosial, bimbingan belajar, maupun bimbingan karier, untuk siswa-siswi

(18)

E. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel 1. Identifikasi Variabel

Terdapat dua variabel dalam penelitian ini. Variabel pertama

adalah pola asuh orangtua (demokratis, otoriter, permisif dan laissez faire) sebagai variabel bebas (X) dan variabel kedua adalah kreativitas anak,

sebagai variabel terikat (Y).

2. Definisi Operasional Variabel

a. Pola asuh orangtua adalah perlakuan orangtua dalam rangka dalam

rangka merawat, mendidik, melatih, memimpin, memberikan

perlindungan, dan memenuhi kebutuhan anak dalam kehidupan

sehari-hari. Bentuk perlakuan itu diekspresikan secara nyata dan langsung,

serta dilakukan secara berulang-ulang.

b. Kreativitas adalah kemampuan mental dan berbagai jenis keterampilan

khas manusia yang dapat melahirkan pengungkapan yang unik,

berbeda, orisinal, sama sekali baru, tepat sasaran dan tepat guna

(Chandra Julius, 1994: 15). Menurut Olson (1989: 14) kreativitas

mengacu pada kemampuan individu yang mengandalkan keunikan dan

kemahirannya untuk menghasilkan gagasan baru dan wawasan yang

(19)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Pada bab ini secara singkat akan dijelaskan kajian teoritis yang

menjadi dasar perumusan hipotesis yang memberi arahan bagi penelitian ini.

Kajian teoritis yang dimaksud mencakup: Pola asuh orangtua, kreativitas anak,

hubungan pola asuh orangtua dengan kreativitas anak, dan sikap orangtua yang

memupuk dan menghambat kemampuan kreativitas remaja.

A. Hakikat Pola Asuh Orangtua 1. Pengertian Pola Asuh Orangtua

Pola dapat diartikan sebagai sebuah sistem, cara kerja, bentuk yang

tetap, bentuk pengorganisasian program kegiatan. Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia (1990) pola bisa diartikan sebagai bentuk (yang

dipraktekkan secara berulang-ulang) atau struktur yang tetap. Sedangkan

asuh berarti menjaga (merawat dan mendidik) anak, membimbing

(membantu dan melatih), memimpin (mengepalai, menyelenggarakan) dan

menjaga supaya orang (anak) dapat berdiri sendiri. Jadi pola asuh dapat

dimaknai sebagai suatu sistem yang diterima dan dipakai sebagai pedoman

(20)

2. Macam-macam Pola Asuh Orangtua.

Menurut Diana Baumrind (dalam Alibata, 2000) ada dua aspek dari

tingkah laku pengasuhan orangtua, yaitu: parental responsiveness dan

parental demandingness. Parental responsiveness menunjuk pada sejauh mana orangtua menanggapi atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak

dalam suatu sikap yang menerima dan mendukung, sedangkan parental

demandingness menunjuk pada sejauh mana orangtua mengharapkan dan menuntut perilaku yang bertanggungjawab dan matang dari anak-anak

mereka.

Menurut Steinberg (dalam Alibata, 2000) perpaduan antara aspek

parental responsiveness dan parental demandingness melahirkan empat pola pengasuhan orangtua terhadap anak, sebagaimana divisualisasikan

pada gambar sebagai berikut:

Demandingness

High Low

High Responsiveness

Low

Authoritative Indulgent

Authoritarian Indifferent

Gambar 1. Pola Pengasuhan Orangtua (dalam Alibata, 2000)

Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan bahwa: pertama, pola

(21)

tanggap terhadap pemenuhan kebutuhan-kebutuhan anak-anak mereka,

namun juga sangat menuntut anak-anak mereka. Kedua pola asuh

authoritarian yang bercirikan orangtua yang sangat menuntut ketaatan dan kepatuhan dari anak-anak mereka, tetapi kurang responsif atau kurang

tanggap terhadap pemenuhan kebutuhan-kebutuhan anak-anak mereka.

Ketiga, pola asuh indulgent yang bercirikan orangtua yang sangat

responsif, tetapi tidak menuntut kedisiplinan dari anak-anak mereka,

bahkan tidak menuntut sama sekali sehingga memanjakan anak. Keempat,

pola asuh indifferent yang bercirikan orangtua yang tidak menuntut,

namun juga tidak responsif atau tidak tanggap terhadap

kebutuhan-kebutuhan anak-anaknya. Bahkan sering acuh tak acuh kepada anak.

Prasetya (2003: 27) mengkualifikasikan pola pengasuhan dalam

empat kategori, yaitu pola asuh demokratis (authoritative), pola asuh otoriter (authoritarian), pola asuh permisif/penyabar/pemanja (indulgent), dan pola asuh laissez faire/penelantar (indifferent).

Masing-masing pola pengasuhan itu diidentifikasi sebagai berikut:

a. Pola Demokratis ( Authoritative )

Menurut Prasetya (2003: 27) pola pengasuhan demokratis

diterapkan oleh orangtua yang menerima kehadiran anak dengan

sepenuh hati serta memiliki pandangan atau wawasan kehidupan masa

depan dengan jelas. Mereka tidak hanya memikirkan masa kini, tetapi

memahami bahwa masa depan harus dilandasi oleh tindakan-tindakan

(22)

perkembangan kepribadian anak sepanjang hidup. Orangtua

demokratis lebih memprioritaskan kepentingan anak dibandingkan

dengan kepentingan dirinya.

Orangtua demokratis mengajarkan kepada anaknya tentang

bagaimana berperilaku dan bertanggungjawab, mereka menghadiahkan

sesuatu benda kepada anaknya jika anaknya melaksanakan apa yang

diajarkan dan ada beberapa konsekuensi bila anak melanggar

peraturan, namun tingkah laku anak lebih sering dihargai daripada

dihukum (Lighter, 1999: 19). Perlakuan orangtua penuh cinta kasih

tetapi tegas. Hurlock (1999) dan Lighter (1999) mengatakan bahwa

orangtua demokratis menggunakan seperangkat standar untuk

mengatur anak-anaknya sesuai dengan perkembangan dan kemampuan

anak. Kepada anak yang masih kecil dibiasakan dan diberitahukan

mengenai peraturan yang harus dipatuhi dalam kata-kata yang

dimengertinya. Dengan bertambahnya usia, anak tidak saja dibiasakan

dan diberi penjelasan tentang peraturan, melainkan juga diberi

kesempatan untuk menyatakan pendapat mereka tentang peraturan.

Menurut Prasetya (2003: 27) “orangtua demokratis tidak

ragu-ragu dalam mengendalikan anak. Berani menegur anak bila anak

berperilaku buruk. Mereka mengarahkan perilaku anak sesuai dengan

kebutuhan anak agar memiliki sikap, pengetahuan, dan

keterampilan-keterampilan yang akan mendasari anak untuk mengarungi hidup dan

(23)

sebagai makhluk biologis semata, tetapi merupakan manusia utuh yang

juga memiliki pikiran dan emosi”.

Pola asuh demokratis memungkinkan anak tumbuh dengan

keunikan rasa sebagai pribadi dan dengan kecakapan untuk menjadi

mandiri (Lighter, 1999; Prasetya, 2003). Gunarsa dan Gunarsa (1986:

84) mengatakan bahwa orangtua demokratis memperhatikan dan

menghargai kebebasan anak, namun kebebasan yang tidak mutlak dan

dengan bimbingan yang penuh pengertian antara kedua belah pihak,

anak dan orangtua. Keinginan dan pendapat anak diperhatikan. Dengan

cara demokratis ini pada anak akan tumbuh rasa tanggung jawab untuk

memperlihatkan sesuatu tingkah laku dan selanjutnya memupuk

kepercayaan dirinya.

Para peneliti (dalam Prasetya, 2003: 29) menemukan bahwa

anak-anak dengan pola pengasuhan authoritative cenderung lebih

mandiri, tegas terhadap diri sendiri, memiliki kemampuan introspeksi

dan mengendalikan diri, mudah bekerja sama dengan orang lain serta

ramah terhadap orang lain yang menyebabkan mereka mudah bergaul

dengan teman-teman sebaya maupun dengan orang-orang yang lebih

dewasa.

b. Pola Otoriter ( Authoritarian )

Menurut Prasetya (2003: 29) orangtua otoriter menilai dan

(24)

sepihak oleh orangtua, memutlakkan kepatuhan dan rasa hormat atau

sopan santun. Orangtua merasa tidak pernah berbuat salah. Lighter

(1999: 18) mengatakan bahwa “orangtua yang bertipe authoritarian

pasti akan sangat keras kepada anak dan mungkin tampak sangat kuat

dan mengancam dalam beberapa hal. Anak dipaksa untuk menerima

nilai-nilai yang mereka ajarkan dan mematuhi cara mereka melakukan

segala sesuatu pada setiap saat. Orangtua menetapkan peraturan rumah

yang keras”.

Orangtua otoriter membuat pembatasan dan peraturan untuk

mengontrol perilaku anak. Apabila anak melanggar peraturan, norma,

atau ketentuan yang telah ditetapkan, maka anak akan mendapat

hukuman, namun jika anak melaksanakan apa yang telah ditetapkan

orangtua, anak jarang sekali mendapat pujian/penghargaan (Hurlock

1999: 93). Kebanyakan anak dari pola pengasuhan otoriter melakukan

tugas-tugasnya karena takut memperoleh hukuman (Prasetya, 2003:

29). Meskipun orangtua mencintai anaknya, mereka kurang

memperlihatkan afeksi mereka secara fisik kepada anak-anaknya

(Hurlock, 1999; Lighter, 1999).

Menurut Prasetya (2003: 29) pola asuh otoriter cenderung tidak

memikirkan apa yang akan terjadi di masa kemudian hari, fokusnya

lebih pada masa kini. Orangtua mengendalikan anak lebih karena

kepentingan orangtua untuk kemudahan kepengasuhan. Orangtua tidak

(25)

otoriter mungkin akan menimbulkan masalah yang lebih rumit dan

memusingkan.

Orangtua yang bersikap otoriter, yang selalu memberi kecaman

terhadap anak membuat anak berperilaku agresif (Shochib, 1998).

Prasetya (2003: 30) mengatakan bahwa anak laki-laki dengan pola

pengasuhan otoriter sangat mungkin memiliki resiko berperilaku

antisosial, agresif, impulsif dan perilaku-perilaku maladaptif lainnya.

Anak perempuan cenderung menjadi tergantung pada orangtuanya.

Anak-anak yang dibesarkan dalam pola otoriter ditambah dengan

siksaan-siksaan atau deraan-deraan fisik dikemudian hari dapat

menjadi kriminal atau melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang

dari norma-norma yang wajar.

c. Pola Permisif ( Indulgent )

Orangtua permisif cenderung lebih bersikap membiarkan

remaja mereka, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam

tingkah laku mereka. Remaja mendapatkan kesempatan

sebebas-bebasnya untuk menentukan keinginannya sesuai dengan pola

pikirnya, dipacu untuk mandiri, sehingga kontrol orangtua tidak terlalu

berperan (Gunarsa dan Gunarsa, 1986: 83; Lighter, 1999: 19).

Orangtua permisif terlalu cepat mengalihkan tanggungjawab kepada

(26)

dihukum dan tidak pernah diberi hadiah bila melakukan hal-hal yang

umum (Lighter, 1999: 19).

Orangtua permisif sangat mencintai anak-anaknya, namun

mereka sama sekali tidak menetapkan aturan dan disiplin. Orangtua

permisif mengabaikan peluang yang penting untuk melatih dan

membimbing anak-anaknya dengan berbagai kecakapan yang

diperlukan anak-anak untuk mandiri (Lighter 1999: 19). Prasetya

(2003: 31) mengatakan bahwa anak-anak yang terlantar karena

orangtua yang kurang bahkan sama sekali tidak mempedulikan

perkembangan psikis anak merupakan anak-anak yang paling potensial

terlibat penggunaan obat-obatan terlarang (narkoba) dan

tindakan-tindakan kriminal lainnya. Orangtua lebih memprioritaskan

kepentingan sendiri daripada kepentingan anak. Kepentingan

perkembangan kepribadian anak terabaikan karena orangtua terlalu

sibuk dengan kegiatannya sendiri. Orangtua sering tidak peduli atau

tidak tahu dimana anak-anaknya berada, dengan siapa saja mereka

bergaul, sedang apa anak tersebut dan sebagainya.

d. Pola Laissez Faire ( Indifferent )

Orangtua laissez faire cenderung membiarkan anak-anak

mereka untuk meraba-raba dalam situasi yang terlalu sulit untuk

ditanggulangi oleh mereka sendiri tanpa bimbingan atau pengendalian

(27)

(dalam Alibata 2000) orangtua indifferent cenderung

menolak/mengabaikan/menelantarkan anak. Bagi orangtua indifferent

tidak ada kesempatan untuk memperhatikan anak. Mereka tidak peduli

terhadap kebutuhan, aktivitas, kegiatan belajar maupun pergaulan

anak-anak dengan teman-temannya. Orangtua indifferent hampir tidak pernah berbincang-bincang atau berkomunikasi dengan anak. Mereka

mengabaikan pendapat atau masukan anak dalam membuat keputusan.

Mereka bahkan menjauh dari anak baik secara fisik maupun psikis.

B. Hakikat Kreativitas Anak 1. Pengertian Kreativitas

Menurut Munandar (1988: 1) kreativitas merupakan ungkapan

unik dari keseluruhan kepribadian sebagai hasil interaksi individu dengan

lingkungannya, dan yang tercermin dalam pikiran, perasaan, sikap atau

perilakunya. Olson (1989) mengatakan bahwa :

“Kreativitas mengacu pada kemampuan individu yang mengandalkan keunikan dan kemahirannya untuk menghasilkan gagasan baru dan wawasan yang segar yang sangat bernilai bagi individu tersebut. Kreativitas merupakan suatu proses yang menghasilkan sesuatu yang tidak berkembang secara alamiah atau tidak dibuat dengan cara yang biasa”.

Menurut Semiawan. dkk (1984: 8) kreativitas adalah

kemampuan untuk membuat kombinasi-kombinasi baru; atau melihat

hubungan-hubungan baru antar unsur, data, atau hal-hal yang sudah ada

(28)

antara hal-hal atau obyek-obyek yang sebelumnya tidak ada atau tidak

tampak hubungannya. Sedangkan Hurlock (1999: 4) mengemukakan

bahwa:

“Kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk menghasilkan komposisi, produk, atau gagasan apa saja yang pada dasarnya baru, dan sebelumnya tidak dikenal pembuatnya. Ia dapat berupa kegiatan imajinatif atau sintesis pemikiran yang hasilnya bukan hanya perangkuman. Ia mungkin mencakup pembentukan pola baru dangabungan informasi yang diperoleh dari pengalaman sebelumnya dan pencangkokan hubungan lama ke situasi baru dan mungkin mencakup pembentukan korelasi baru. Ia harus mempunyai maksud dan tujuan yang ditentukan, bukan fantasi semata, walaupun merupakan hasil yang sempurna dan lengkap. Ia mungkin dapat berbentuk produk seni, kesusasteraan, produk ilmiah, atau mungkin bersifat prosedural atau metodologis”.

2. Ciri-ciri Pribadi yang Kreatif

Pribadi yang kreatif adalah orang-orang yang terbuka sepenuhnya

kepada semua pengalaman, yang memiliki kepercayaan diri, yang fleksibel

dalam keputusan serta tindakan mereka dan yang akan mengungkapkan

diri mereka dalam produk-produk yang kreatif dan kehidupan yang kreatif

dalam semua bidang kehidupan mereka (Rogers; dalam Schultz, 1991: 54).

Munandar, 1977 (dalam Semiawan. dkk, 1984: 10) mengemukakan bahwa

pribadi kreatif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: mempunyai daya

imajinasi yang kuat, mempunyai inisiatif, mempunyai minat yang luas,

bebas dalam berpikir, bersifat ingin tahu, selalu ingin mendapat

pengalaman-pengalaman baru, percaya pada diri sendiri, penuh semangat

(29)

menyatakan pendapat meskipun mendapat kritik dan berani

mempertahankan pendapat yang menjadi keyakinannya).

Menurut Chandra (1994) ciri-ciri orang yang kreatif adalah sebagai

berikut:

a. Memiliki hasrat untuk mengubah hal-hal di sekelilingnya menjadi

lebih baik.

b. Memiliki kepekaan, yaitu bersikap terbuka dan tanggap terhadap

segala sesuatu.

c. Memiliki minat untuk menggali lebih dalam dari yang tampak di

permukaan.

d. Memiliki rasa ingin tahu yaitu semangat yang tak pernah berhenti

untuk mempertanyakan.

e. Mendalam dalam berpikir yaitu sikap yang mengarahkan untuk

pemahaman yang mendalam pula.

f. Memiliki konsentrasi yaitu mampu menekuni suatu permasalahan

hingga menguasai seluruhnya.

g. Memiliki sikap mencoba dan melaksanakan yaitu bersedia

mencurahkan tenaga dan waktu untuk mencari dan mengembangkan.

h. Memiliki kesabaran untuk memecahkan permasalahan dalam

detailnya.

i. Memiliki optimisme yaitu memadukan antusiasme (kegairahan) dan

rasa percaya diri.

(30)

Torrance (dalam Munandar, 1999) mengatakan bahwa pribadi yang

kreatif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: berani dalam pendirian dan

keyakinan, melit (ingin tahu), mandiri dalam berpikir dan dalam memberi

pertimbangan, bersibuk diri terus-menerus dengan kerjanya atau apa yang

menarik perhatiannya, intuitif, ulet, dan tidak bersedia menerima pendapat

orang lain (termasuk otoritas) begitu saja jika tidak sesuai dengan

keyakinannya.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kreativitas. a. Faktor-faktor yang Mendukung Perkembangan Kreativitas.

Menurut Munandar, Utami (1988: 17) sikap-sikap dan

kondisi-kondisi yang perlu dipupuk untuk menumbuhkan dan meningkatkan

kreativitas individu, yang berlaku baik bagi remaja dan orang dewasa

muda maupun bagi masa-masa usia selanjutnya yaitu:

1). Kesendirian (aloneness).

Kesendirian memungkinkan orang lebih mendengarkan (peka

terhadap) sumber-sumber dalam dirinya, dan tidak terlalu

diungkapkan terhadap rangsangan-rangsangan konvensional atau

klik-klik di dalam masyarakat. Biasanya orang memperoleh

inspirasi dalam kesendirian, bukan di dalam massa. Dalam hal ini

kesendirian bukan sebagai suatu penarikan diri atau suatu

ketidakmampuan untuk bergaul dengan orang lain, tetapi

(31)

jangka waktu tertentu dan tidak selalu berada bersama orang lain

atau hanya senang melakukan kegiatan kelompok. Individu harus

mampu berselang-seling antara kegiatan kelompok dan kegiatan

sendiri, dalam situasi inilah kreativitas lebih dimungkinkan

berkembang.

2). Mengambil waktu untuk berpikir dan ber-rasa.

Mengembangkan alam perasaan sangat penting untuk pertumbuhan

kreativitas. Individu membutuhkan waktu untuk berpikir dan

ber-rasa. Jika seseorang selalu terlibat dalam salah satu kegiatan atau

pekerjaan di luar, ia membatasi kemungkinan untuk

mengembangkan sumber-sumber dalam dirinya. Bekerja memang

baik bagi remaja untuk membentuk rasa tanggungjawab dan

kewarganegaraan yang baik, tetapi terlalu banyak kegiatan rutin

tanpa waktu untuk berpikir dan ber-rasa akan menghambat

kegiatan/pertumbuhan mental dan kreativitas.

3). Merenung dan melamun.

Dalam merenung dan melamun individu tidak pasif, tetapi

dapat melihat kemungkinan-kemungkinan baru, gagasan-gagasan

yang sampai saat ini belum pernah terpikirkan. Melamun dan

merenung, seperti kesendirian, perlu untuk melakukan introspeksi

(32)

4). Berpikir bebas.

Bebas dari hambatan, dari praduga atau stereotip, yang

memungkinkan individu menelusuri macam-macam arah,

menjajaki macam-macam alternatif, yang akan menghasilkan

ide-ide baru.

5). Kesiapan untuk melihat kesamaan atau analogi

Kemampuan untuk membentuk sesuatu yang baru dengan

menggabung unsur-unsur yang beragam atau yang pada kesan

pertama nampaknya tidak relevan.

6). Kesediaan untuk menunda pemberian kritik, pertimbangan atau

penilaian untuk kala waktu tertentu.

Kecenderungan untuk langsung memberikan kritik terhadap suatu

gagasan baru, dapat mematikan spontanitas dan keberanian untuk

menyampaikan sesuatu pendapat, apalagi jika pendapat itu

menyimpang dari yang konvensional.

7). Konflik sebagai motivasi

Konflik dapat menjadi motivasi untuk berkreasi.

8). Kesiagaan dan disiplin

Untuk menghasilkan karya kreatif yang bermakna, yang diperlukan

tidak hanya kualitas-kualitas seperti; imajinasi, inspirasi, firasat

dan talenta/bakat, tetapi juga disiplin, kesiagaan, belajar dan

bekerja keras, pengikatan diri terhadap apa yang menjadi

(33)

b. Faktor-faktor yang Menghambat Perkembangan Kreativitas.

Lingkungan yang menghambat perkembangan kreativitas dapat

merusak motivasi anak dan dapat mematikan kreativitas (Amabile,

1989; dalam Munandar, 1999). Menurut Munandar (1999: 316) dalam

upaya membantu anak merealisasikan potensinya, seringkali orangtua

menggunakan cara paksaan agar anak belajar. Penggunaan paksaan

atau kekerasan tidak saja berarti bahwa orangtua mengancam dengan

hukuman atau memaksakan aturan, tetapi juga bila orangtua

memberikan hadiah atau pujian secara berlebihan.

Amabile (dalam Munandar, 1999) mengemukakan empat cara

yang mematikan kreativitas, yaitu: evaluasi, hadiah, persaingan

(competitive) dan lingkungan yang membatasi. 1). Evaluasi.

Menurut Rogers (dalam Munandar, 1999) salah satu syarat

untuk memupuk kreatifitas konstruktif adalah bahwa pendidik

tidak memberikan evaluasi, atau setidak-tidaknya menunda

pemberian evaluasi sewaktu anak sedang berkreasi.

2). Hadiah.

Munandar (1999: 318) mengatakan bahwa pemberian

hadiah dapat merusak motivasi intrinsik dan mematikan kreativitas.

3). Persaingan (Kompetisi).

Kompetisi terjadi apabila siswa merasa bahwa

(34)

yang terbaik akan mendapatkan hadiah. Kompetisi terjadi dalam

kehidupan sehari-hari dan sayangnya dapat mematikan kreativitas.

(Munandar, 1999: 318).

4). Lingkungan yang membatasi.

Menurut Albert Einstein (dalam Munandar 1999) belajar

dan kreativitas tidak dapat ditingkatkan dengan paksaan.

4. Peran Kreativitas dalam Kehidupan Manusia

Manfaat dari kreativitas yang dapat dikembangkan dan dimiliki

seseorang bagi kehidupannya di dunia ini besar sekali. Menurut Ruth

Richards (dalam Gie; 2003: 22) kreativitas merupakan dasar bagi

kelangsungan di dunia ini, karena kemampuan itu adalah kemampuan kita

untuk menyesuaikan diri pada perubahan, ini menjadi inti bagi

kelangsungan hidup manusia. Ellen McGrath (dalam Gie; 2003: 22)

berpendapat bahwa untuk menghadapi ketidakstabilan dalam hidup, setiap

orang perlu menemukan berbagai pemecahan yang baru dan kreatif

terhadap berbagai tantangan dari kehidupan sehari-hari, oleh karenanya

kreativitas akan menjadi keterampilan untuk kelangsungan hidup.

Menurut Munandar (1999: 43) kreativitas begitu bermakna

dalam kehidupan manusia karena:

a. Dengan berkreasi orang dapat mewujudkan dirinya, dan perwujudan

diri merupakan kebutuhan pokok pada tingkat tertinggi dalam hidup

(35)

b. Pemikiran kreatif (disebut juga berpikir divergen) perlu dilatih, karena

membuat anak lancar dan luwes (fleksibel) dalam berpikir, mampu

melihat suatu masalah dari berbagai sudut pandang, dan mampu

melahirkan banyak gagasan.

c. Bersibuk diri secara kreatif tidak hanya bermanfaat bagi diri pribadi

dan lingkungan, tetapi juga memberikan kepuasan kepada individu.

d. Kreativitaslah yang memungkinkan manusia meningkatkan kualitas

hidupnya.

Olson (1989: 20) mengatakan bahwa kreativitas bermanfaat

bagi manusia, yaitu dengan kreativitas:

a. Manusia menjadi lebih kreatif menjadi lebih terbuka pikirannya

terhadap gagasan sendiri (kepercayaan terhadap diri sendiri menjadi

lebih besar dan gagasan orang lain.

b. Manusia mempelajari bagaimana menunda keputusan.

c. Inisiatif dan sumber daya manusia meningkat. Permasalahan umumnya

diketahui lebih awal dan ditangani pada saat itu juga. Demikian juga,

peluang pada umumnya diketahui lebih awal dan dapat memperoleh

keuntungan daripadanya selekas mungkin. Penundaan, yang sering

diakibatkan oleh masalah yang muncul secara luar biasa, telah

menurun.

(36)

e. Manusia memperoleh kepercayaan dan penerimaan diri yang lebih

besar yang juga menghasilkan penerimaan tanggung jawab yang lebih

antusias.

f. Membantu manusia dalam pemecahan masalah secara kreatif serta

dapat membangkitkan gagasan.

g. Manusia memperoleh kesenangan yang dapat memberi motivasi dan

energi untuk mendekati kehidupan secara kreatif, yang pada gilirannya

meningkatkan kesenangan dan kegembiraan hidup.

C. Hubungan antara Pola Asuh Orangtua dan Kreativitas Anak

Pola asuh orangtua mempengaruhi kemampuan kreativitas remaja.

Menurut Munandar (1999) kreativitas adalah hasil dari proses interaksi antara

individu dan lingkungan. Kemampuan kreatif seseorang dipengaruhi oleh

lingkungan di mana seseorang berada, dengan demikian berarti lingkungan

dapat menunjang dan atau menghambat kreativitas seseorang.

Sikap-sikap orangtua terhadap anak dapat memupuk dan

memperkembangkan kreativitas anak, tetapi dapat pula menghambat atau

tidak memupuk kreativitas anak. Memupuk kreativitas anak maksudnya

menciptakan suatu iklim di dalam keluarga dan di rumah yang merangsang

dan mendorong anak untuk berkreasi. Ada orangtua yang cenderung menuntut

terlalu banyak dari anaknya dengan maksud mengembangkan kreativitas

(37)

kreativitasnya memerlukan waktu untuk bermain-main, untuk bergaul dengan

temannya, untuk membaca buku-buku biasa dan tidak semata-mata buku

pelajaran.

Kebanyakan orangtua sering mengungkapkan bahwa mereka ingin

memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya, akan tetapi memberikan yang

terbaik hanya akan mudah diucapkan, tidak mudah dilaksanakan. Sering kali

maksudnya demikian, tetapi hasilnya adalah memanjakan, dan pada

hakikatnya orangtua yang memanjakan akan melemahkan anak-anaknya. Di

lain pihak ada orangtua yang ambisius, lalu memberi anak-anaknya banyak

bekal dan target. Tetapi hasilnya malahan semacam penjejalan, sehingga

timbul rasa rendah diri dalam diri anak kalau ia gagal dalam memenuhi

harapan.

Menurut Munandar (1999) dalam suasana non-otoriter, ketika anak

belajar atas prakarsa sendiri maka anak dapat berkembang karena orangtua

menaruh kepercayaan terhadap kemampuan anak untuk berpikir dan berani

mengemukakan gagasan baru, dan ketika anak diberi kesempatan untuk

bekerja sesuai dengan minat dan kebutuhannya, maka kemampuan kreatif

dapat tumbuh subur.

Menurut Indrawati (dalam Kartono: 1985) anak yang dibesarkan di

rumah yang bersuasana otoriter akan menjadi kurang kreatif karena orangtua

selalu melarang segala tindakan anak yang sedikit menyimpang dari yang

seharusnya dilakukan. Dengan larangan dan hukuman, orangtua menekan

(38)

mencoba dan ia tidak akan mengembangkan kemampuan untuk melakukan

sesuatu karena tidak mendapat kesempatan untuk mencoba. Anak juga akan

kehilangan spontanitas, dan tidak dapat mencatuskan ide-ide baru. Dapat juga

anak menjadi takut mengemukakan pendapatnya.

Orangtua yang memberikan kebebasan kepada remaja untuk bebas

mengekspresikan secara simbolis pikiran atau perasaannya, permissiveness ini memberi remaja kebebasan dalam berpikir atau merasa sesuai dengan apa

yang ada dalam dirinya. Dengan adanya kebebasan psikologis dan kesempatan

sebebas-bebasnya untuk menentukan keinginannya sesuai dengan pola

pikirnya, dipacu untuk mandiri, maka akan memungkinkan timbulnya

kreativitas yang konstruktif dalam diri remaja (Rogers, dalam Munandar,

1999; Gunarsa dan Gunarsa, 1986: 83; Lighter, 1999: 19).

Perilaku orangtua laissez faire/indifferent, yang mengabaikan

kebutuhan-kebutuhan materi dan psikis anak, baik secara langsung maupun

tidak langsung merupakan penelantaran anak oleh orangtuanya sendiri.

Penelantaran ini sangat mengganggu perkembangan anak, terutama

perkembangan kreativitasnya. Prasetya (2003), mengatakan bahwa anak yang

dibesarkan oleh orangtua yang menganut pola asuh laissez faire cenderung lebih agresif, impulsif, pemurung dan kurang mampu berkonsentrasi pada

suatu kegiatan.

Kreativitas diperlukan dalam mewarnai cinta dalam keluarga.

Orangtua modern sesungguhnya tidak layak bersikap pasif dalam pendidikan

(39)

penting sekali untuk membekali mereka. Kalau suasana dalam rumah

mencerminkan kreativitas yang tak putus-putus, di mana ayah, ibu, anak-anak

sendiri terlibat, maka langsung atau tak langsung dalam keluarga itu

dibenihkan kecerdasan yang lebih komplit. Rumah adalah arena pendidikan

untuk kreativitas yang terpenting untuk kemajuan bangsa. Untuk mendorong

berkembangnya kreativitas dalam diri anak, perlu diusahakan suatu suasana

terbuka terhadap gagasan-gagasan baru yaitu dengan menciptakan iklim yang

kreatif dimana anak dan orangtua saling menerima dan saling menghargai.

Dukungan dan sikap positif dari orangtua akan menimbulkan

dorongan dalam diri anak untuk mengungkapkan kreativitas mereka. Oleh

karena itu hendaknya orangtua:

1. Bersikap terbuka terhadap minat dan gagasan anak.

2. Memberikan waktu kepada anak untuk mengembangkan kreativitas

mereka.

3. Menciptakan suasana saling menghargai dan saling menerima antara anak,

dan antara anak dan orangtua sehingga anak dapat bekerja sama dengan

orang lain maupun bekerja secara mandiri.

4. Memberi kesempatan kepada anak untuk berperan serta dalam mengambil

keputusan.

5. Menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh anak dalam

(40)

Adapun kondisi-kondisi lingkungan yang bersifat memupuk

kreativitas anak, pertama adalah keamanan psikologis dan kedua kebebasan

psikologis (Rogers; dalam Munandar, 1999).

1. Anak akan merasa aman secara psikologis apabila:

a. Orangtua dapat menerimanya sebagaimana adanya, tanpa syarat,

dengan segala kekuatan dan kelemahannya, serta memberi

kepercayaan padanya bahwa pada dasarnya ia baik dan mampu.

b. Orangtua mengusahakan suasana di mana anak tidak merasa “dinilai”

oleh orang lain. Memberi penilaian terhadap seseorang dapat dirasakan

sebagai ancaman, sehingga menimbulkan kebutuhan akan pertahanan

diri.

c. Orangtua memberikan pengertian dalam arti dapat memahami

pemikiran, perasaan, dan perilaku anak, dapat menempatkan diri dalam

situasi anak dan dalam melihat dari sudut pandang anak. Dalam

suasana ini anak merasa aman untuk mengungkapkan kreativitasnya.

Mengenal dan ikut menghayati perasaan anak,

pemikiran-pemikirannya, tindakan-tindakannya, dapat melihat dari sudut pandang

anak dan tetap menerimanya, betul-betul memberi rasa aman. Dalam

suasana seperti ini, diri yang sebenarnya (real self) dimungkinkan untuk timbul, untuk diekspresikan dalam bentuk-bentuk baru dalam

hubungannya dengan lingkungan. Inilah pada dasarnya memupuk

(41)

2. Anak akan merasakan kebebasan psikologis apabila:

Orangtua mengijinkan atau memberi kesempatan kepada anak untuk bebas

mengekspresikan/mengungkapkan pikiran-pikiran atau perasaan-perasaan

anaknya secara simbolis misalnya dengan mengekspresikannya melalui

sajak atau gambar, mengungkapkan perasaan-perasaannya dalam buku

harian, atau ia dapat menyatakan emosinya yang meluap dengan bermain

musik atau dengan “bermain tinju”. Dengan demikian maka akan

memberikan anak kebebasan dalam berpikir atau merasa sesuai dengan

apa yang ada dalam dirinya bahkan dapat menimbulkan karya-karya

kreatif.

D. Sikap Orangtua yang Memupuk dan Menghambat Kemampuan Kreativitas Anak.

Menurut Munandar (1999: 137) sikap orangtua terhadap anak dapat

memupuk dan menghambat pengembangan kreativitas anak. Sikap orangtua

yang memupuk kreativitas anak adalah:

1. Menghargai pendapat anak dan mendorongnya untuk mengungkapkannya,

2. Memberi waktu kepada anak untuk berpikir, merenung, dan berkhayal,

3. Membolehkan anak mengambil keputusan sendiri,

4. Mendorong kemelitan anak, untuk menjajaki dan mempertanyakan hal-hal,

5. Meyakinkan anak bahwa orangtua menghargai apa yang ingin dicoba

dilakukan, dan apa yang dihasilkan,

(42)

7. Menikmati keberadaannya bersama anak,

8. Memberi pujian yang sungguh-sungguh kepada anak,

9. Mendorong kemandirian anak dalam bekerja,

10. Menjalin hubungan kerja sama yang baik dengan anak,

Adapun sikap orangtua yang menghambat pengembangan

kreativitas anak, adalah:

1. Orangtua yang selalu khawatir atau takut-takut, sehingga anak terlalu

dibatasi dalam kegiatan-kegiatannya,

2. Orangtua yang terlalu mengawasi gerak-gerik anak,

3. Orangtua yang menekankan pada kebersihan dan keteraturan secara

berlebihan,

4. Orangtua yang menuntut kepatuhan mutlak dari anak tanpa

mempertimbangkan alasan-alasan anak,

5. Orangtua yang mempunyai pandangan bahwa berkhayal itu tidak baik,

tidak berguna,

6. Orangtua yang selalu mengkritik perilaku atau pekerjaan anak,

7. Orangtua yang memberikan saran-saran spesifik tentang penyelesaian

tugas,

8. Orangtua yang tidak sabar dengan anak,

9. Orangtua dan anak adu kekuasaan,

10. Orangtua menekan dan memaksa anak untuk menyelesaikan tugas,

11. Orangtua yang jarang memberi pujian atau penghargaan terhadap usaha

(43)

E. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara atas rumusan masalah dalam

suatu penelitian, yang kebenarannya masih harus dibuktikan. Dalam penelitian

ini peneliti merumuskan hipotesis sebagai berikut: “Ada hubungan yang

signifikan antara pola asuh orangtua dan kreativitas anak pada siswa kelas II

SMP Kanisius Kalasan”. Secara lebih rinci hipotesis penelitian tersebut

dijabarkan sebagai berikut:

1. Ada hubungan yang positif secara signifikan antara pola asuh

demokratis/authoritative dan kreativitas anak pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan.

2. Ada hubungan yang negatif secara signifikan antara pola asuh

otoriter/authoritarian dan kreativitas anak pada siswa kelas II SMP

Kanisius Kalasan.

3. Ada hubungan yang positif secara signifikan antara pola asuh

permisif/indulgent dan kreativitas anak pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan.

(44)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penggunaan metode penelitian yang tepat akan mempengaruhi ketepatan

suatu hasil penelitian. Sehingga dalam suatu penelitian perlu dipilih suatu metode

yang baik, agar dapat menjawab permasalahan yang diajukan peneliti. Bab ini

membahas tentang jenis penelitian, populasi dan sampel, instrumen pengumpulan

data, prosedur pengumpulan data dan teknik analisis data.

A. Jenis Penelitian.

Penelitian ini termasuk penelitian ex post facto karena penelitian ini tidak mengendalikan variabel secara langsung. Kerlinger (Furchan, 1982:

382) menjelaskan:

Penelitian ex-post facto adalah penyelidikan empiris yang

sistematis dimana peneliti tidak mengendalikan variabel bebas secara langsung karena perwujudan variabel tersebut telah terjadi, atau karena variabel tersebut pada dasarnya tidak dapat dimanipulasi.

Jadi dalam penelitian ini, peneliti menghimpun keterangan

berdasarkan kejadian atau pengalaman yang telah berlangsung di masa lalu

menyangkut pola pengasuhan orangtua maupun kreativitas sebagaimana

(45)

B. Populasi dan Sampel Penelitian. 1. Populasi Penelitian

Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian. Populasi penelitian

ini adalah siswa-siswi kelas II SMP Kanisius Kalasan tahun ajaran

2004/2005. Populasi ini terdiri dari para siswa yang sampai saat ini tinggal

bersama dengan orangtua mereka. Siswa kelas II SMP dipilih sebagai

populasi penelitian karena mereka berada pada awal masa remaja atau

sering disebut sebagai remaja awal dengan rentang usia 13 sampai dengan

16 tahun (Hurlock, 1992). Pada usia tersebut pola pengasuhan orangtua

masih mewarnai kehidupan pribadi mereka, khususnya dalam

perkembangan kreativitas mereka.

Berikut ini disajikan data populasi penelitian.

Tabel 1. Data Siswa-siswi Kelas II SMP Kanisius Kalasan Tahun Ajaran 2004/2005

Kelas II A II B II C Jumlah

Total

Jumlah Siswa 31 31 30 92

Jumlah siswa yang tinggal dengan orangtua

29 27 28 84

Berdasarkan data yang diperoleh dari SMP Kanisius Kalasan,

jumlah siswa kelas II yang tinggal bersama dengan orangtua tahun ajaran

2004/2005 sebanyak 84 orang. Ke 84 orang tersebut berada pada usia

13-16 tahun. Dengan demikian, 84 orang tersebut telah memenuhi kriteria

(46)

2. Sampel Penelitian

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi. Sampel penelitian

diambil dari populasi penelitian yang berjumlah 84 siswa, untuk itu

peneliti mengambil 50 siswa sebagai sampel dan diharapkan dapat

mewakili populasi. Penarikan sampel dilakukan dengan teknik simple

random sampling (penarikan acak sederhana), dengan alasan semua anggota populasi mempunyai peluang yang sama untuk dipilih sebagai

anggota sampel penelitian (Furchan, 1982: 192). Teknik random sampling

ditempuh dengan cara undian, yaitu kertas kecil ditulisi nomor subyek,

satu nomor untuk satu kertas, kertas digulung sebanyak 84, kemudian

diambil sebanyak 50 gulungan kertas dengan nomor berbeda, setiap

gulungan kertas diambil dan nomornya menjadi anggota sampel. Langkah

ini digunakan dengan pertimbangan bahwa sampel yang semakin

mendekati populasi berarti semakin representatif bagi populasi (Arikunto,

1989).

C. Penentuan Variabel

Variabel merupakan gejala yang diamati yang menggambarkan

konstruk. Konstruk adalah konsep yang mempunyai makna (arti khusus)

dalam ilmu yang diteliti (Furchan, 1982). Ada dua variabel utama dalam

penelitian ini, yaitu pola asuh orangtua sebagai variabel bebas (X) dan

(47)

Pola asuh orangtua adalah suatu cara, pedoman, sistem yang

diterima dan digunakan oleh orangtua dalam merawat, mendidik, melatih dan

memimpin anak.

Sementara itu kreativitas menekankan pada suatu kemampuan yang

dimiliki remaja didalam mengungkapkan ide, gagasan, maupun dalam

menciptakan sesuatu secara kreatif.

D. Instrumen Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode instrumentasi yaitu

menggunakan suatu alat di dalam melakukan penelitian. Instrumen

pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah kuesioner (angket) yang

terdiri dari dua bagian yaitu pertama, kuesioner pola asuh orangtua (meliputi

empat bagian yaitu pola asuh demokratis/authoritative, pola asuh

otoriter/authoritarian, pola asuh permisif/indulgent dan pola asuh laissez faire/indifferent) dan kedua, kuesioner kreativitas. Penjelasan secara terperinci mengenai kedua alat ukur (kuesioner) tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kuesioner Pola Asuh Orangtua

Kuesioner pola asuh orangtua dalam penelitian ini diambil dan

dikembangkan dari alat yang disusun oleh Barus (1999) dan telah direvisi

oleh Alibata (2000). Kuesioner pola asuh diolah dan disusun berdasarkan

indikator sebagai berikut:

(48)

2). Menggunakan seperangkat standar untuk mengatur anak-anaknya

yang sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan anak-anaknya,

3). Menempatkan nilai yang tinggi pada perkembangan kemandirian

dan pengaturan diri sendiri,

4). Menanamkan kebiasaan-kebiasaan rasional, berorientasi pada

permasalahan, sering melibatkan diri dalam perbincangan dan

penjelasan dengan anak-anak mereka di seputar

persoalan-persoalan disiplin,

5). Mendorong tumbuhnya interaksi saling memberi dan menerima,

6). Mendukung, menerima, dan bertanggung jawab dalam

mempertimbangkan berbagai alternatif, tetapi tidak mendominasi

dari sudut pendirian mereka sendiri,

7). Menggunakan wewenang, tetapi terapannya lebih bersifat

membimbing,

8). Melibatkan/mengijinkan remaja dalam membuat

keputusan-keputusannya sendiri dan mengekspresikan

pandangan-pandangannya sendiri serta menghargai individualitas remaja,

sementara orangtua ikut memberikan penjelasan-panjelasan yang

masuk akal (bekerja sama dalam membuat keputusan).

B. Aspek Authoritarian, dengan indikator:

(49)

2). Cenderung lebih suka menghukum, mutlak dan kaku dalam

tindakan disiplin,

3). Tidak mengenal “give and take” karena menurut keyakinan

mereka, anak harus menerima aturan-aturan dan standar yang

ditetapkan orangtuanya tanpa mempersoalkannya,

4). Cenderung untuk tidak mendukung perilaku bebas dan melarang

otonomi anak,

5). Membuat pembatasan-pembatasan dan peraturan-peraturan untuk

mengontrol perilaku anak,

6). Cenderung kurang hangat, kurang menerima, kurang mendukung

anak-anak mereka dan lebih suka melarang atau membatasi

otonomi, self-expression, dan keterlibatan remaja dalam membuat keputusan,

7). Berusaha membentuk, mengontrol, dan mengevaluasi perilaku dan

sikap-sikap anak sesuai dengan standar (biasanya absolut, (sering)

dengan motivasi teologis (dengan menyetir ajaran agama atau

ayat-ayat kitab suci), dan dirumuskan dengan kewenangan atau

kekuasaan yang lebih tinggi yang dibuat oleh orangtua sendiri,

8). Mendesak anak-anak untuk mematuhi arahan atau

perintah-perintahnya, sangat mengutamakan atau mementingkan kerja dan

(50)

C. Aspek Indulgent, dengan indikator:

1). Serba menerima, lunak, dan pasif dalam pembiasaan disiplin,

2). Memberi kebebasan sepenuhnya kepada anak-anak untuk berbuat

semaunya sendiri tanpa sedikitpun mengendalikan perilaku anak,

3). Melayani atau membantu anak sepenuhnya dalam hampir setiap

kegiatannya dan cenderung memanjakan anak,

4). Menuruti kemauan anak dan menghindari konflik dengan mereka,

5). Melindungi dan menyayangi anak secara berlebihan dan low

standard.

D. Aspek Indifferent, dengan indikator:

1). Tidak ada kesempatan untuk memperhatikan anak,

2). Cenderung menolak/mengabaikan/menelantarkan anak,

3). Tidak peduli terhadap kebutuhan, aktivitas, kegiatan belajar,

maupun pertemanan anaknya,

4). Hampir tidak pernah berbincang-bincang atau berkomunikasi

dengan anak,

5). Mengabaikan pendapat atau masukan anak dalam membuat

keputusan,

6). Menjauh dari anak secara fisik dan psikis.

2. Kuesioner Kreativitas

Kuesioner kreativitas dalam penelitian ini, diambil dan

(51)

melakukan penelitian Hubungan Kecenderungan Pola Asuh Demokratis

Dengan Kemampuan Kreativitas Anak. Kuesioner kreativitas diolah dan

disusun berdasarkan indikator sebagai berikut:

A. Aspek Kemampuan Berpikir Kreatif, dengan indikator :

1). Keterampilan berpikir lancar

2). Keterampilan berpikir luwes

3). Keterampilan berpikir orisinal

4). Keterampilan memperinci (mengelaborasi)

5). Keterampilan menilai

6). Keterampilan bekerja sama

B. Aspek Ciri Afektif, dengan indikator :

1). Rasa ingin tahu

2). Bersifat imajinatif

3). Merasa tertantang oleh kemajemukan

4). Sifat berani mengambil resiko

5). Sifat menghargai

6). Sikap mencoba

7). Rasa optimis

8). Sifat mandiri

9). Sikap yang terbuka

10).Kepercayaan diri

(52)

Kedua alat tersebut disusun dalam bentuk skala bertingkat

berdasarkan prinsip Likert’s Summated Ratings. Peneliti menyajikan

pertanyaan-pertanyaan (item) yang memungkinkan responden untuk

menentukan sikap apakah ia “selalu”, “sering”, “kadang-kadang”, “jarang”,

atau “tidak pernah”. Untuk item positif diberi skor yang bergerak dari 5

sampai 1 untuk pilihan berturut-turut dari “selalu” sampai “tidak pernah”,

demikian sebaliknya item-item negatif diberi skor yang bergerak dari 1 sampai

5 untuk pilihan berturut-turut dari “selalu” sampai “tidak pernah”. Variabel

diukur dari tinggi rendahnya total skor yang diperoleh siswa yang

bersangkutan. Jumlah skor ini dijadikan sebagai data olahan statistik. Kedua

jenis alat di atas akan diuji coba untuk mengetahui taraf validitas dan

reliabilitasnya.

Tabel 2. Kisi-kisi Alat Ukur Uji Coba

(53)

Ciri Afektif 30, 31, 34, 35, 37, 38, 39,

Kuesioner pola pengasuhan orangtua menggunakan alat yang

diadopsi dari alat penelitian Barus yang direvisi oleh Alibata dan

dikembangkan oleh peneliti, sedangkan kuesioner kreativitas

menggunakan alat yang diadopsi dari alat penelitian Mujiyana yang

dikembangkan oleh peneliti. Kuesioner pola asuh orangtua dan kuesioner

kreativitas diuji coba untuk mengetahui validitas dan reliabilitas

berdasarkan norma tertentu.

Berdasarkan perhitungan validitas dan reliabilitas, peneliti

melakukan rekonstruksi terhadap alat yang telah diuji coba. Rekonstruksi

alat ukur dilakukan dengan memperbaiki item-item yang koefisien

korelasinya mendekati 0,30 dan dengan menghilangkan item yang

koefisien korelasinya < 0,30. Maka tersusunlah alat yang siap digunakan

untuk penelitian, yaitu kuesioner kemampuan berpikir kreatif 20 item, ciri

afektif 40 item, kuesioner pola asuh orangtua demokratis 32 item, pola

asuh orangtua otoriter 15 item, pola asuh orangtua permisif 11 item dan

pola asuh orangtua laissez faire 18 item.

Tabel 3. Kisi-kisi Alat Ukur Penelitian

(54)

Authoritarian

E. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data meliputi uji coba instrumen (validitas

dan reliabilitas dan tahap pangumpulan data).

1. Uji Coba Instrumen

Uji coba alat ukur penelitian dilaksanakan untuk mengetahui taraf

validitas dan reliabilitasnya. Uji coba alat ukur penelitian dilaksanakan

pada tanggal 9 September 2004. Subyek yang dijadikan responden ujicoba

alat ukur penelitian adalah siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan yang

tinggal bersama dengan orangtua mereka yang berjumlah 34 orang yang

diambil secara acak. Ke 34 subyek tersebut dinilai representatif dan

memiliki karakteristik yang sama dengan subyek penelitian.

a. Validitas (Kesahihan)

Validitas atau kesahihan adalah seberapa cermat, tepat dan teliti

alat ukur mampu malakukan fungsi ukurnya (Azwar, 1997: 176).

(55)

suatu tes mampu mengukur apa yang seharusnya diukur. Untuk

mengetahui tingkat validitas alat ukur pada penelitian ini, ditempuh uji

analisis validitas konstruk (construct validity) secara internal. Prosedur pengujiannya dilakukan dengan cara menganalisis setiap item (item analysis) masing-masing kuesioner dengan mengkorelasikan skor setiap item (X) dengan skor total (Y). Dalam penelitian ini

dipergunakan teknik korelasi Product Moment Pearson (Masidjo,

1995: 142) dengan rumus sebagai berikut:

)

(

)

Keterangan: Keterangan rumus:

xy

r = Koefisien validitas item

∑X = Jumlah skor dalam sebaran X ( Item Gasal )

∑Y = Jumlah skor dalam sebaran Y ( Item Genap )

∑XY = Jumlah hasil kali skor X dan skor Y yang berpasangan

∑X2 = Jumlah skor yang dikuadratkan dalam sebaran X

∑Y 2 = Jumlah skor yang dikuadratkan dalam sebaran Y

N = Banyaknya subyek

Proses penghitungan taraf validitas dilakukan dengan

memberi skor pada setiap item dan mentabulasikan ke dalam data uji

coba. Selanjutnya dilakukan penghitungan dengan menggunakan

(56)

Penetapan validitas (kesahihan) item menggunakan kriteria

Azwar dan Friedenberg (dalam Sulistiya, 2003) yang menyatakan

bahwa untuk skala psikologi sebaiknya digunakan harga koefisien

korelasi minimal 0,30. Dengan demikian, item yang koefisien korelasi

minimal < 0,30 dinyatakan gugur atau tidak valid, sedangkan item

yang dianggap valid adalah item dengan koefisien korelasi ≥ 0,30.

Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan terhadap 100

item kuesioner pola asuh orangtua diperoleh 67 item valid, 9 item yang

koefisien korelasinya mendekati 0,30 sehingga diperbaiki dan 24 item

tidak valid atau digugurkan. Sehingga jumlah item keseluruhan

kuesioner pola asuh orangtua yang akan digunakan dalam penelitian

adalah 76 item.

Sedangkan perhitungan yang dilakukan terhadap 85 item

kuesioner kreativitas ditemukan 53 item valid, 7 item yang koefisien

korelasinya mendekati 0,30 sehingga diperbaiki dan 25 item tidak

valid atau digugurkan. Sehingga jumlah item keseluruhan kuesioner

kreativitas yang akan digunakan dalam penelitian adalah 60 item.

Rekapitulasi hasil uji validitas kuesioner pola asuh orangtua dan

kuesioner kreativitas dapat dilihat pada lampiran 2.

Setelah mengadakan penelitian, peneliti melihat kembali

validitas kuesioner penelitian dengan tujuan untuk menjadi acuan bila

(57)

ini. Proses penghitungan validitas sama dengan proses penghitungan

validitas uji coba.

Atas dasar kriteria Azwar dan Friedenberg (dalam Sulistiya,

2003) yang menyatakan bahwa untuk skala psikologi sebaiknya

digunakan harga koefisien korelasi minimal 0,30. Dengan demikian,

item yang koefisien korelasi minimal < 0,30 dinyatakan gugur atau

tidak valid, sedangkan item yang dianggap valid adalah item dengan

koefisien korelasi ≥ 0,30. Akhirnya setelah dilakukan perhitungan

terhadap 76 item kuesioner pola asuh orangtua diperoleh 43 item valid,

33 item yang gugur. Sedangkan perhitungan yang dilakukan terhadap

60 item kuesioner kreativitas ditemukan 43 item yang valid dan 17

item yang gugur. Rekapitulasi hasil validitas setelah penelitian pada

kuesioner pola asuh orangtua dan kuesioner kreativitas dapat dilihat

pada lampiran 3.

Untuk melihat koefisien validitas keseluruhan digunakan rumus

tt

Reliabilitas suatu alat ukur merupakan taraf sampai di mana

(58)

yang diperlihatkan dalam taraf ketetapan dan ketelitian hasil dalam

satu atau berbagai pengukuran (Masidjo, 1995: 209). Menurut Azwar

(1997: 176) reliabilitas alat ukur menunjukkan sejauh mana

pengukuran itu dapat memberikan hasil yang relatif konsisten jika

dilakukan pengukuran ulang pada subyek yang sama. Suatu angket

yang reliabel akan menunjukkan ketelitian dan keajegan hasil dalam

berbagai pengukurannya.

Koefisien reliabilitas dinyatakan dalam suatu koefisien

reliabilitas yang dinyatakan dengan bilangan koefisien antara −1,00

sampai 1,00 yang dikelompokkan ke dalam beberapa klasifikasi dari

sangat rendah sampai sangat tinggi. Garrett (1976: 176)

mengemukakan suatu deskripsi tentang penafsiran koefisien korelasi

seperti pada tabel 4.

Tabel 4. Klasifikasi koefisien korelasi reliabilitas dan validitas suatu alat tes

Koefisien Korelasi Klasifikasi

± 0,70 – ± 1,00 Tinggi – Sangat tinggi

± 0,40 – ± 0,70 Cukup

± 0,20 – ± 0,40 Rendah

0,00 – ± 0,20 Tidak ada – sangat rendah

Dalam penelitian ini pengujian tingkat reliabilitas yang

digunakan adalah metode belah dua yang sering disebut juga metode

genap dan gasal. Metode belah dua merupakan metode yang lebih

efisien, karena dalam menentukan taraf reliabilitas hanya

(59)

bernomor gasal, dan kedua, skor yang berasal dari item bernomor

genap. Kedua belah dikorelasikan dengan formula korelasi Product

Moment Pearson dan hasilnya dikoreksi dengan formulasi Spearman-Brown. Formula Spearman-Brown merupakan sebuah formula komputasi yang sangat popular untuk reliabilitas alat ukur yang

dibelah menjadi dua bagian yang relatif paralel (Azwar, 1997: 68).

Taraf reliabilitas suatu alat ukur diperoleh dengan menggunakan

formula koreksi dengan rumus Spearman-Brown sebagai berikut:

(Garrett, 1967: 339)

r Koefisien reliabilitas alat ukur

xy

r = Koefisien korelasi item-item gasal dan genap

Rekapitulasi hasil perhitungan taraf reliabilitas dan taraf

validitas instrumen dapat dilihat pada tabel di bawah ini, sedangkan

proses penghitungan dapat dilihat pada lampiran 4 dan 5.

Tabel 5. Rekapitulasi Hasil Perhitungan Validitas dan Reliabilitas

Koefisien Validitas Koefisien Reliabilitas Kuesioner

Uji coba Penelitian Uji coba Penelitian

Pola Asuh Orangtua 0,73 0,73 0,53 0,53

Kreativitas 0,97 0,97 0,94 0,94

Dengan membandingkan hasil uji coba dan penelitian

(60)

Hasil uji coba dan hasil penelitian menunjukkan bahwa kuesioner pola

asuh orangtua menunjukkan koefisien validitas pada kualifikasi tinggi

dan reliabilitas cukup, sedangkan kuesioner kreativitas menunjukkan

koefisien validitas dan reliabilitas pada kualifikasi sangat tinggi

(Garrett, 1967: 176).

2. Tahap Pengumpulan Data

Tahap pengumpulan data dilaksanakan pada hari Kamis tanggal

14 Oktober 2004. Sebelumnya peneliti bertemu dengan kepala sekolah dan

guru yang menangani urusan kurikulum untuk menentukan jadwal.

Pengisian kuesioner dilaksanakan pada jam pelajaran komputer. Siswa

yang diminta untuk menjawab kuesioner tetap berada di kelas sedangkan

siswa yang lain mengikuti pelajaran komputer. Pada saat pelaksanaan

pengumpulan data penelitian peneliti tidak didampingi oleh guru. Adapun

jadwal penelitian sebagai berikut:

Tabel 6. Jadwal Pengumpulan Data Penelitian

Kelas Waktu Hadir Tidak hadir Jumlah

II B 08.20 – 09.00 15 1 16

II A 09.55 – 10.35 16 1 17

II C 11.30 – 12.10 16 1 17

Pengerjaan kuesioner memakan waktu kurang lebih 45 menit.

F. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Gambar

Gambar 1. Pola Pengasuhan Orangtua (dalam Alibata, 2000)
Tabel 1. Data Siswa-siswi Kelas II SMP Kanisius Kalasan
Tabel 2. Kisi-kisi Alat Ukur Uji Coba
Tabel 3. Kisi-kisi Alat Ukur Penelitian
+5

Referensi

Dokumen terkait

vocabulary which is using word wall in teaching vocabulary in recount text. The topic is based on the students‟ English book of recount text “Holiday” at the eighth grade

Faktor hygiene memotivasi seorang karyawan untuk keluar dari ketidakpuasan, faktor eksternal tersebut termasuk gaji ( money ), keamanan kerja ( security ), kondisi kerja,

terdiri dari brand awareness (kesadaran merek), perceived quality (persepsi kualitas), brand association (asosiasi merek), brand loyalty (loyalitas merek) produk Sari

Setiap anak yang berkebutuhan khusus seperti tuna rungu yang berada dalam komunitas deaf art community akan menunjukan kepada masyarkat sekitar bahwa anak tuna rungu bukanlah

Prara profesional SQA didorong untuk memperluas kegiatan testing terhadap coding pada setiap bagian proses produksi, yang menyebabkan adanya testing setiap unit dari modul

We have described to one of the, for the Supplement of the LEATH- ER STANDARD by OEKO ‑ TEX® approved, testing institutes the pre- cautionary measures taken within the company to

Adanya hubungan hubungan antara kemandirian belajar dengan hasil belajar keterampilan dasar praktik klinik mahasiswa semester I prodi D IV bidan pendidik STIKES

selaku Koordinator Skripsi Teknik Sipil Universitas Bina Nusantara, serta selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan banyak masukan yang sangat berharga.. Made