Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling
Disusun oleh: Rumei Endri Yani
NIM: 001114011
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
HALAMAN JUDUL……… i
HALAMAN PERSETUJUAN……….. . ii
HALAMAN PENGESAHAN………. iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN………. iv
ABSTRAK……….. v
ABSTRACT……… vii
KATA PENGANTAR………. ix
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….. xiii
DAFTAR ISI……… xiv
DAFTAR TABEL……… xviii
DAFTAR LAMPIRAN……… xix
BAB I. PENDAHULUAN……… 1
A. Latar Belakang Masalah………. 1
B. Rumusan Masalah……….. 4
C. Tujuan Penelitian……… 4
2. Macam-macam Pola Asuh Orangtua……….. 8
a. Pola Demokrasi (Authoritative)………. 9
b. Pola Otoriter (Authoritarian)……….. 11
c. Pola Permisif (Indulgent)……… 13
d. Pola Laissez Faire (Indifferent)……….. 14
B. Hakikat Kreativitas Anak……… 15
1. Pengertian Kreativitas………. 16
2. Ciri-ciri Pribadi yang Kreatif……….. 16
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kreativitas……….. 18
a. Faktor-faktor yang Mendukung Perkembangan Kreativitas……….. 18
b. Faktor-faktor yang Menghambat Perkembangan Kreativitas……….. 21
4. Peran Kreativitas dalam Hidup Manusia……… 22
C. Hubungan antara Pola Asuh Orangtua dan Kreativitas Anak 24 D. Sikap Orangtua yang Memupuk dan Menghambat Pengembangan Kreativitas Anak……… 29
1. Populasi Penelitian………. 33
2. Sampel Penelitian………... 34
C. Penentuan Variabel………. 34
D. Instrumen Pengumpulan Data……… 35
E. Prosedur Pengumpulan Data……….. 42
1. Uji Coba Instrumen……… 42
a. Validitas (Kesahihan)………. 42
b. Reliabilitas (Keandalan)………. 45
2. Tahap Pengumpulan Data………... 48
F. Teknik Analisis Data……….. 48
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 51
A. Hasil Penelitian dan Pengujian Hipotesis……….. 51
1. Hasil Penelitian ...………. 51
2. Pengujian Hipotesis ……… 53
B. Pembahasan Hasil Penelitian……….. 59
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN……… 69
A. Kesimpulan………. 69
Tabel 1 : Data Siswa-siswi Kelas II SMP Kanisius Kalasan Tahun
Ajaran 2004/2005……….. 33
Tabel 2 : Kisi-kisi Alat Ukur Uji Coba………. 40 Tabel 3 : Kisi-kisi Alat Ukur Penelitian……… 41 Tabel 4 : Klasifikasi Koefisien Korelasi Reliabilitas dan Validitas
Suatu Alat Tes………. 46
Tabel 5 : Rekapitulasi Hasil Perhitungan Validitas dan Reliabilitas 47 Tabel 6 : Jadwal Pengumpulan Data Penelitian……… 48 Tabel 7 : Tabulasi Data penelitian Pola Asuh Orangtua... 52 Tabel 8 : Hasil Penelitian Hubungan Pola Asuh Orangtua dan
Kreativitas Anak……… 53
Lampiran 1a : Kuesioner Uji Coba……… 76 Lampiran 1b : Kuesioner Penelitian……….. 84 Lampiran 2a : Hasil Analisis Uji Validitas Uji Coba Kuesioner 91
Pola Asuh Orangtua………
Lampiran 2b : Hasil Analisis Uji Validitas Uji Coba Kuesioner 97 Kreativitas………..
Lampiran 3a : Hasil Analisis Uji Validitas Penelitian Kuesioner 102 Pola Asuh Orangtua………
Lampiran 3b : Hasil Analisis Uji Validitas Penelitian Kuesioner 104 Kreativitas………..
Lampiran 4 : Perhitungan Reliabilitas dan Validitas Hasil Uji Coba 106 Lampiran 5 : Perhitungan Reliabilitas dan Validitas Hasil Penelitian 110 Lampiran 6a : Tabel Jumlah Skor-skor Hasil Uji Coba Kuesioner
Pola Asuh Orangtua……… 114
Lampiran 6b : Tabel Jumlah Skor-skor Hasil Uji Coba Kuesioner
Kreativitas………….……… 115
Lampiran 7a : Tabel Jumlah Skor-skor Hasil Penelitian Kuesioner
Pola Asuh Orangtua……….. 116
Lampiran 7b : Tabel Jumlah Skor-skor Hasil Penelitian Kuesioner
Studi pada Siswa Kelas II SMP Kanisius Kalasan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah (1) Pola asuh demokratis/authoritative berhubungan secara signifikan dengan kreativitas anak. (2) Pola asuh otoriter/authoritarian berhubungan secara signifikan dengan kreativitas anak. (3) Pola asuh permisif/indulgent berhubungan secara signifikan dengan kreativitas anak. (4) Pola asuh laissez faire/indifferent berhubungan secara signifikan dengan kreativitas anak. Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan tahun ajaran 2004/2005.
Jenis penelitian ini adalah penelitian ex-post facto. Pada penelitian ini, peneliti tidak mengendalikan variabel bebas secara langsung dan kesimpulan dibuat tentang hubungan di antara variabel-variabel dilakukan tanpa ada intervensi langsung dari peneliti. Peneliti mencoba menghimpun keterangan-keterangan berdasarkan kejadian atau pengalaman yang telah berlangsung di masa lalu menyangkut pola pengasuhan orangtua sebagaimana dialami anak maupun kreativitas yang dimiliki anak.
Sampel penelitian adalah sebagian dari siswa-siswi kelas II SMP Kanisius Kalasan tahun ajaran 2004/2005 yang sampai saat ini tinggal bersama dengan orangtua mereka. Jumlah sampel adalah 47 orang. Variabel penelitian ada dua yaitu: (1). variabel bebas (X) adalah pola asuh orangtua (demokrasi/authoritative, otoriter/authoritarian, permisif/indulgent dan laissez faire/indifferent), dan (2). variabel terikat (Y) adalah kreativitas anak. Alat pengumpul data yang digunakan adalah Kuesioner Pola Asuh Orangtua yang diadopsi dari alat penelitian Barus yang direvisi oleh Alibata dan dikembangkan oleh peneliti, yang terdiri dari pola asuh orangtua demokratis 32 item, pola asuh orangtua otoriter 15 item, pola asuh orangtua permisif 11 item dan pola asuh orangtua laissez faire 18 item, dan Kuesioner Kreativitas yang diadopsi dari alat penelitian Mujiyana yang dikembangkan oleh peneliti, yang terdiri dari kemampuan berpikir kreatif 20 item, dan ciri afektif 40 item. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik korelasi Product-Moment dari Pearson.
A Case Study at Second Grade Students of SMP Kanisius Kalasan In 2004/2005 Learning Year
RUMEI ENDRI YANI Sanata Dharma University
Yogyakarta 2005
This research aimed at understanding whether (1) rearing patterns of democratic or authoritative relate significantly to kids creativity, (2) rearing pattern of authoritary or authoritarian relate significantly to kids creativity, (3) rearing pattern of permissive or indulgent relate significantly to kids creativity, and (4) rearing pattern of laissez faire or indifferent relate significantly to kids creativity. The research was performed on second grade students of SMP Kanisius Kalasan, in learning year of 2004/2005.
The type of this research was ex-post facto one. Upon this research, the researcher did not control independent variable directly and conclusion made about which relationship among variables was conducted with no direct intervention of researcher. Researcher tried to collect information based on events or experience during which had already taken place in the past concerning parental rearing patterns as experienced by children and creativity owned by kids.
Research sample largely was second grade students of SMP Kanisius Kalasan in 2004/2005 learning year as up to now still living together with their parents. The amount of sample was 47 people. Two research’s variables observed; are: (1). independent variable (X), i.e. parental rearing pattern (democracy or authoritative, authoritary or authoritarian, permissive or indulgent, and laissez faire or indifferent) and (2). dependent variable (Y), i.e. kids creativity. Data collection means that was used were Parental Rearing Pattern Questioner adopted from Barus investigation tool revised by Alibata and forther developed by researcher, consisting of 32 items of democratic parental rearing pattern, 15 items of authoritary parental rearing pattern, 11 items permissive parental rearing pattern, and 18 items laissez faire parental rearing pattern, and Creativity Questioner adopted from Mujiyana’s research tool that was forther developed by researcher, consisting of 20 items of creative thinking ability, and 40 items of affective characteristic. Data analysis technique used was Product-Moment correlation technique of Pearson.
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis akan memaparkan latar belakang masalah,
perumusan masalah, hipotesis penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan
definisi operasional variabel.
A. Latar Belakang Masalah
Munandar Utami (1999: 14) mengemukakan bahwa sebagai negara
berkembang, Indonesia sangat membutuhkan tenaga-tenaga kreatif yang
mampu memberi sumbangan bermakna kepada ilmu pengetahuan, teknologi,
dan kebudayaan, termasuk kesenian, demi kesejahteraan bangsa pada
umumnya. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya tertuju pada pengembangan
kreativitas peserta didik agar kelak dapat memenuhi kebutuhan pribadi serta
kebutuhan masyarakat dan negara.
Keluarga sebagai media pendidikan pertama bagi anak merupakan
media yang paling efektif bagi terciptanya daya kreativitas dalam diri anak,
karena di dalam keluarga anak pertama kali mendapatkan pengalaman hidup
dan keluarga merupakan lingkungan yang paling kuat pengaruhnya dalam
membesarkan dan mendidik anak. Bila ditinjau dari segi waktu, keluarga
memperoleh lebih banyak jam tatap muka bersama anak dibandingkan dengan
sekolah formal, sehingga kebersamaan dengan orangtua memungkinkan
Dalam GBHN 1993 (dalam Munandar, 1999) dinyatakan bahwa
pengembangan kreativitas hendaknya dimulai pada usia dini, yaitu di
lingkungan keluarga sebagai tempat pendidikan pertama dan dalam
pendidikan prasekolah. Perkembangan kreativitas anak sangatlah penting,
tidak hanya demi pengembangan intelektualitasnya, atau untuk meningkatkan
kebudayaannya, tetapi juga bagi kesejahteraan jiwanya. Renzulli, 1981 (dalam
Munandar, 1999) mengemukakan bahwa kreativitas atau daya cipta
memungkinkan penemuan-penemuan baru dalam bidang ilmu dan teknologi,
serta dalam semua bidang usaha manusia lainnya.
Dewasa ini kreativitas anak-anak dapat dikatakan belum
berkembang dengan baik. Hal ini dipengaruhi oleh pola asuh orangtua, cara
orangtua dalam mendidik dan memberi pemahaman kepada anak-anak. Masih
banyak orangtua yang mendidik anak dengan cara-cara yang kurang
mendukung terciptanya daya kreativitas dalam diri anak. Banyak orangtua
yang kurang memberikan kesempatan kepada anak dalam mengembangkan
daya kreativitas mereka. Orangtua mempunyai harapan tertentu tentang
bagaimana anak mereka harus berperilaku dan setiap orangtua akan senang
bila harapan ini terpenuhi, akan tetapi kebanyakan orangtua kurang bisa
menyampaikan apa yang diinginkannya untuk dilakukan oleh anak mereka
dengan cara yang tepat dan tanpa mengetahui apa yang sebenarnya diinginkan
oleh anak. Jika anak sejak kecil terlalu dikekang, selalu diberi contoh
bagaimana seharusnya bertingkah laku dan tidak dirangsang untuk berpikir
mempunyai daya kreasi. Hal-hal tersebut di atas menyebabkan anak,
khususnya pada usia remaja kurang bisa memunculkan ide-ide maupun
pikiran-pikiran baru yang mendorong daya kreativitasnya.
Bermacam-macam kondisi rumah tangga, misalnya: keadaan
sosial-ekonomi keluarga, hubungan ayah dan ibu, hubungan orangtua dan
anak, kesibukan orangtua di luar rumah, perhatian dan kasih sayang dalam
kehidupan keluarga, jumlah anak dalam keluarga, tingkat pendidikan
orangtua, dan sebagainya mempunyai hubungan yang erat dengan
perkembangan kreativitas anak dalam keluarga.
Keadaan ideal yang diharapkan adalah orangtua menyadari
besarnya peran mereka terhadap perkembangan remaja, khususnya terhadap
perkembangan kreativitasnya. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh para
orangtua untuk merangsang perkembangan kreativitas anaknya, misalnya
dengan mengusahakan suatu lingkungan yang kaya akan rangsangan mental
dan suasana di mana anak merasa tertarik dan tertantang untuk mewujudkan
kreativitasnya. Orangtua seharusnya memberi kebebasan kepada anak untuk
melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan yang merangsang dan menumbuhkan
kreativitas anak.
Orangtua hendaknya juga menyadari bahwa setiap anak merupakan
pribadi yang unik, setiap anak mempunyai bakat dan minat yang
berbeda-beda. Tanggungjawab orangtua ialah mengenal potensi setiap anak dan
menciptakan suatu iklim dan suasana di dalam keluarga yang memupuk dan
B. Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan diselidiki dalam penelitian ini adalah:
“Apakah ada hubungan yang signifikan antara pola asuh orangtua dan
kreativitas anak pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan?” Secara lebih
rinci permasalahan utama tersebut dijabarkan sebagai berikut:
1. Apakah ada hubungan yang signifikan antara pola asuh
demokratis/authoritative dan kreativitas anak pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan?
2. Apakah ada hubungan yang signifikan antara pola asuh
otoriter/authoritarian dan kreativitas anak pada siswa kelas II SMP
Kanisius Kalasan?
3. Apakah ada hubungan yang signifikan antara pola asuh permisif/indulgent
dan kreativitas anak pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan?
4. Apakah ada hubungan yang signifikan antara pola asuh laissez
faire/indifferent dan kreativitas anak pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bermaksud untuk mengkaji hubungan antara pola
asuh orangtua dan kreativitas anak pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan.
Secara terinci tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui hubungan antara pola asuh demokratis/authoritative dan
2. Mengetahui hubungan antara pola asuh otoriter/authoritarian dan kreativitas anak pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan.
3. Mengetahui hubungan antara pola asuh permisif/indulgent dan kreativitas anak pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan.
4. Mengetahui hubungan antara pola asuh laissez faire/indifferent dan
kreativitas anak pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan.
D. Manfaat Hasil Penelitian
Manfaat yang akan diperoleh dalam penelitian ini adalah:
1. Memberikan sumbangan pemikiran yang dapat dimanfaatkan oleh para
pendidik, baik guru pembimbing maupun orangtua, agar dapat merancang
kegiatan yang bermanfaat dan menarik bagi remaja sehingga remaja dapat
tumbuh sebagai pribadi yang kreatif.
2. Memberikan tambahan informasi bagi penelitian ilmiah, khususnya di
bidang Pendidikan, Bimbingan dan Konseling tentang kreativitas ditinjau
dari pola asuh orangtua.
3. Hasil penelitian ini diharapkan digunakan oleh guru pembimbing untuk
mengembangkan program bimbingan, baik bimbingan pribadi, bimbingan
sosial, bimbingan belajar, maupun bimbingan karier, untuk siswa-siswi
E. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel 1. Identifikasi Variabel
Terdapat dua variabel dalam penelitian ini. Variabel pertama
adalah pola asuh orangtua (demokratis, otoriter, permisif dan laissez faire) sebagai variabel bebas (X) dan variabel kedua adalah kreativitas anak,
sebagai variabel terikat (Y).
2. Definisi Operasional Variabel
a. Pola asuh orangtua adalah perlakuan orangtua dalam rangka dalam
rangka merawat, mendidik, melatih, memimpin, memberikan
perlindungan, dan memenuhi kebutuhan anak dalam kehidupan
sehari-hari. Bentuk perlakuan itu diekspresikan secara nyata dan langsung,
serta dilakukan secara berulang-ulang.
b. Kreativitas adalah kemampuan mental dan berbagai jenis keterampilan
khas manusia yang dapat melahirkan pengungkapan yang unik,
berbeda, orisinal, sama sekali baru, tepat sasaran dan tepat guna
(Chandra Julius, 1994: 15). Menurut Olson (1989: 14) kreativitas
mengacu pada kemampuan individu yang mengandalkan keunikan dan
kemahirannya untuk menghasilkan gagasan baru dan wawasan yang
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pada bab ini secara singkat akan dijelaskan kajian teoritis yang
menjadi dasar perumusan hipotesis yang memberi arahan bagi penelitian ini.
Kajian teoritis yang dimaksud mencakup: Pola asuh orangtua, kreativitas anak,
hubungan pola asuh orangtua dengan kreativitas anak, dan sikap orangtua yang
memupuk dan menghambat kemampuan kreativitas remaja.
A. Hakikat Pola Asuh Orangtua 1. Pengertian Pola Asuh Orangtua
Pola dapat diartikan sebagai sebuah sistem, cara kerja, bentuk yang
tetap, bentuk pengorganisasian program kegiatan. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1990) pola bisa diartikan sebagai bentuk (yang
dipraktekkan secara berulang-ulang) atau struktur yang tetap. Sedangkan
asuh berarti menjaga (merawat dan mendidik) anak, membimbing
(membantu dan melatih), memimpin (mengepalai, menyelenggarakan) dan
menjaga supaya orang (anak) dapat berdiri sendiri. Jadi pola asuh dapat
dimaknai sebagai suatu sistem yang diterima dan dipakai sebagai pedoman
2. Macam-macam Pola Asuh Orangtua.
Menurut Diana Baumrind (dalam Alibata, 2000) ada dua aspek dari
tingkah laku pengasuhan orangtua, yaitu: parental responsiveness dan
parental demandingness. Parental responsiveness menunjuk pada sejauh mana orangtua menanggapi atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak
dalam suatu sikap yang menerima dan mendukung, sedangkan parental
demandingness menunjuk pada sejauh mana orangtua mengharapkan dan menuntut perilaku yang bertanggungjawab dan matang dari anak-anak
mereka.
Menurut Steinberg (dalam Alibata, 2000) perpaduan antara aspek
parental responsiveness dan parental demandingness melahirkan empat pola pengasuhan orangtua terhadap anak, sebagaimana divisualisasikan
pada gambar sebagai berikut:
Demandingness
High Low
High Responsiveness
Low
Authoritative Indulgent
Authoritarian Indifferent
Gambar 1. Pola Pengasuhan Orangtua (dalam Alibata, 2000)
Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan bahwa: pertama, pola
tanggap terhadap pemenuhan kebutuhan-kebutuhan anak-anak mereka,
namun juga sangat menuntut anak-anak mereka. Kedua pola asuh
authoritarian yang bercirikan orangtua yang sangat menuntut ketaatan dan kepatuhan dari anak-anak mereka, tetapi kurang responsif atau kurang
tanggap terhadap pemenuhan kebutuhan-kebutuhan anak-anak mereka.
Ketiga, pola asuh indulgent yang bercirikan orangtua yang sangat
responsif, tetapi tidak menuntut kedisiplinan dari anak-anak mereka,
bahkan tidak menuntut sama sekali sehingga memanjakan anak. Keempat,
pola asuh indifferent yang bercirikan orangtua yang tidak menuntut,
namun juga tidak responsif atau tidak tanggap terhadap
kebutuhan-kebutuhan anak-anaknya. Bahkan sering acuh tak acuh kepada anak.
Prasetya (2003: 27) mengkualifikasikan pola pengasuhan dalam
empat kategori, yaitu pola asuh demokratis (authoritative), pola asuh otoriter (authoritarian), pola asuh permisif/penyabar/pemanja (indulgent), dan pola asuh laissez faire/penelantar (indifferent).
Masing-masing pola pengasuhan itu diidentifikasi sebagai berikut:
a. Pola Demokratis ( Authoritative )
Menurut Prasetya (2003: 27) pola pengasuhan demokratis
diterapkan oleh orangtua yang menerima kehadiran anak dengan
sepenuh hati serta memiliki pandangan atau wawasan kehidupan masa
depan dengan jelas. Mereka tidak hanya memikirkan masa kini, tetapi
memahami bahwa masa depan harus dilandasi oleh tindakan-tindakan
perkembangan kepribadian anak sepanjang hidup. Orangtua
demokratis lebih memprioritaskan kepentingan anak dibandingkan
dengan kepentingan dirinya.
Orangtua demokratis mengajarkan kepada anaknya tentang
bagaimana berperilaku dan bertanggungjawab, mereka menghadiahkan
sesuatu benda kepada anaknya jika anaknya melaksanakan apa yang
diajarkan dan ada beberapa konsekuensi bila anak melanggar
peraturan, namun tingkah laku anak lebih sering dihargai daripada
dihukum (Lighter, 1999: 19). Perlakuan orangtua penuh cinta kasih
tetapi tegas. Hurlock (1999) dan Lighter (1999) mengatakan bahwa
orangtua demokratis menggunakan seperangkat standar untuk
mengatur anak-anaknya sesuai dengan perkembangan dan kemampuan
anak. Kepada anak yang masih kecil dibiasakan dan diberitahukan
mengenai peraturan yang harus dipatuhi dalam kata-kata yang
dimengertinya. Dengan bertambahnya usia, anak tidak saja dibiasakan
dan diberi penjelasan tentang peraturan, melainkan juga diberi
kesempatan untuk menyatakan pendapat mereka tentang peraturan.
Menurut Prasetya (2003: 27) “orangtua demokratis tidak
ragu-ragu dalam mengendalikan anak. Berani menegur anak bila anak
berperilaku buruk. Mereka mengarahkan perilaku anak sesuai dengan
kebutuhan anak agar memiliki sikap, pengetahuan, dan
keterampilan-keterampilan yang akan mendasari anak untuk mengarungi hidup dan
sebagai makhluk biologis semata, tetapi merupakan manusia utuh yang
juga memiliki pikiran dan emosi”.
Pola asuh demokratis memungkinkan anak tumbuh dengan
keunikan rasa sebagai pribadi dan dengan kecakapan untuk menjadi
mandiri (Lighter, 1999; Prasetya, 2003). Gunarsa dan Gunarsa (1986:
84) mengatakan bahwa orangtua demokratis memperhatikan dan
menghargai kebebasan anak, namun kebebasan yang tidak mutlak dan
dengan bimbingan yang penuh pengertian antara kedua belah pihak,
anak dan orangtua. Keinginan dan pendapat anak diperhatikan. Dengan
cara demokratis ini pada anak akan tumbuh rasa tanggung jawab untuk
memperlihatkan sesuatu tingkah laku dan selanjutnya memupuk
kepercayaan dirinya.
Para peneliti (dalam Prasetya, 2003: 29) menemukan bahwa
anak-anak dengan pola pengasuhan authoritative cenderung lebih
mandiri, tegas terhadap diri sendiri, memiliki kemampuan introspeksi
dan mengendalikan diri, mudah bekerja sama dengan orang lain serta
ramah terhadap orang lain yang menyebabkan mereka mudah bergaul
dengan teman-teman sebaya maupun dengan orang-orang yang lebih
dewasa.
b. Pola Otoriter ( Authoritarian )
Menurut Prasetya (2003: 29) orangtua otoriter menilai dan
sepihak oleh orangtua, memutlakkan kepatuhan dan rasa hormat atau
sopan santun. Orangtua merasa tidak pernah berbuat salah. Lighter
(1999: 18) mengatakan bahwa “orangtua yang bertipe authoritarian
pasti akan sangat keras kepada anak dan mungkin tampak sangat kuat
dan mengancam dalam beberapa hal. Anak dipaksa untuk menerima
nilai-nilai yang mereka ajarkan dan mematuhi cara mereka melakukan
segala sesuatu pada setiap saat. Orangtua menetapkan peraturan rumah
yang keras”.
Orangtua otoriter membuat pembatasan dan peraturan untuk
mengontrol perilaku anak. Apabila anak melanggar peraturan, norma,
atau ketentuan yang telah ditetapkan, maka anak akan mendapat
hukuman, namun jika anak melaksanakan apa yang telah ditetapkan
orangtua, anak jarang sekali mendapat pujian/penghargaan (Hurlock
1999: 93). Kebanyakan anak dari pola pengasuhan otoriter melakukan
tugas-tugasnya karena takut memperoleh hukuman (Prasetya, 2003:
29). Meskipun orangtua mencintai anaknya, mereka kurang
memperlihatkan afeksi mereka secara fisik kepada anak-anaknya
(Hurlock, 1999; Lighter, 1999).
Menurut Prasetya (2003: 29) pola asuh otoriter cenderung tidak
memikirkan apa yang akan terjadi di masa kemudian hari, fokusnya
lebih pada masa kini. Orangtua mengendalikan anak lebih karena
kepentingan orangtua untuk kemudahan kepengasuhan. Orangtua tidak
otoriter mungkin akan menimbulkan masalah yang lebih rumit dan
memusingkan.
Orangtua yang bersikap otoriter, yang selalu memberi kecaman
terhadap anak membuat anak berperilaku agresif (Shochib, 1998).
Prasetya (2003: 30) mengatakan bahwa anak laki-laki dengan pola
pengasuhan otoriter sangat mungkin memiliki resiko berperilaku
antisosial, agresif, impulsif dan perilaku-perilaku maladaptif lainnya.
Anak perempuan cenderung menjadi tergantung pada orangtuanya.
Anak-anak yang dibesarkan dalam pola otoriter ditambah dengan
siksaan-siksaan atau deraan-deraan fisik dikemudian hari dapat
menjadi kriminal atau melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang
dari norma-norma yang wajar.
c. Pola Permisif ( Indulgent )
Orangtua permisif cenderung lebih bersikap membiarkan
remaja mereka, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam
tingkah laku mereka. Remaja mendapatkan kesempatan
sebebas-bebasnya untuk menentukan keinginannya sesuai dengan pola
pikirnya, dipacu untuk mandiri, sehingga kontrol orangtua tidak terlalu
berperan (Gunarsa dan Gunarsa, 1986: 83; Lighter, 1999: 19).
Orangtua permisif terlalu cepat mengalihkan tanggungjawab kepada
dihukum dan tidak pernah diberi hadiah bila melakukan hal-hal yang
umum (Lighter, 1999: 19).
Orangtua permisif sangat mencintai anak-anaknya, namun
mereka sama sekali tidak menetapkan aturan dan disiplin. Orangtua
permisif mengabaikan peluang yang penting untuk melatih dan
membimbing anak-anaknya dengan berbagai kecakapan yang
diperlukan anak-anak untuk mandiri (Lighter 1999: 19). Prasetya
(2003: 31) mengatakan bahwa anak-anak yang terlantar karena
orangtua yang kurang bahkan sama sekali tidak mempedulikan
perkembangan psikis anak merupakan anak-anak yang paling potensial
terlibat penggunaan obat-obatan terlarang (narkoba) dan
tindakan-tindakan kriminal lainnya. Orangtua lebih memprioritaskan
kepentingan sendiri daripada kepentingan anak. Kepentingan
perkembangan kepribadian anak terabaikan karena orangtua terlalu
sibuk dengan kegiatannya sendiri. Orangtua sering tidak peduli atau
tidak tahu dimana anak-anaknya berada, dengan siapa saja mereka
bergaul, sedang apa anak tersebut dan sebagainya.
d. Pola Laissez Faire ( Indifferent )
Orangtua laissez faire cenderung membiarkan anak-anak
mereka untuk meraba-raba dalam situasi yang terlalu sulit untuk
ditanggulangi oleh mereka sendiri tanpa bimbingan atau pengendalian
(dalam Alibata 2000) orangtua indifferent cenderung
menolak/mengabaikan/menelantarkan anak. Bagi orangtua indifferent
tidak ada kesempatan untuk memperhatikan anak. Mereka tidak peduli
terhadap kebutuhan, aktivitas, kegiatan belajar maupun pergaulan
anak-anak dengan teman-temannya. Orangtua indifferent hampir tidak pernah berbincang-bincang atau berkomunikasi dengan anak. Mereka
mengabaikan pendapat atau masukan anak dalam membuat keputusan.
Mereka bahkan menjauh dari anak baik secara fisik maupun psikis.
B. Hakikat Kreativitas Anak 1. Pengertian Kreativitas
Menurut Munandar (1988: 1) kreativitas merupakan ungkapan
unik dari keseluruhan kepribadian sebagai hasil interaksi individu dengan
lingkungannya, dan yang tercermin dalam pikiran, perasaan, sikap atau
perilakunya. Olson (1989) mengatakan bahwa :
“Kreativitas mengacu pada kemampuan individu yang mengandalkan keunikan dan kemahirannya untuk menghasilkan gagasan baru dan wawasan yang segar yang sangat bernilai bagi individu tersebut. Kreativitas merupakan suatu proses yang menghasilkan sesuatu yang tidak berkembang secara alamiah atau tidak dibuat dengan cara yang biasa”.
Menurut Semiawan. dkk (1984: 8) kreativitas adalah
kemampuan untuk membuat kombinasi-kombinasi baru; atau melihat
hubungan-hubungan baru antar unsur, data, atau hal-hal yang sudah ada
antara hal-hal atau obyek-obyek yang sebelumnya tidak ada atau tidak
tampak hubungannya. Sedangkan Hurlock (1999: 4) mengemukakan
bahwa:
“Kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk menghasilkan komposisi, produk, atau gagasan apa saja yang pada dasarnya baru, dan sebelumnya tidak dikenal pembuatnya. Ia dapat berupa kegiatan imajinatif atau sintesis pemikiran yang hasilnya bukan hanya perangkuman. Ia mungkin mencakup pembentukan pola baru dangabungan informasi yang diperoleh dari pengalaman sebelumnya dan pencangkokan hubungan lama ke situasi baru dan mungkin mencakup pembentukan korelasi baru. Ia harus mempunyai maksud dan tujuan yang ditentukan, bukan fantasi semata, walaupun merupakan hasil yang sempurna dan lengkap. Ia mungkin dapat berbentuk produk seni, kesusasteraan, produk ilmiah, atau mungkin bersifat prosedural atau metodologis”.
2. Ciri-ciri Pribadi yang Kreatif
Pribadi yang kreatif adalah orang-orang yang terbuka sepenuhnya
kepada semua pengalaman, yang memiliki kepercayaan diri, yang fleksibel
dalam keputusan serta tindakan mereka dan yang akan mengungkapkan
diri mereka dalam produk-produk yang kreatif dan kehidupan yang kreatif
dalam semua bidang kehidupan mereka (Rogers; dalam Schultz, 1991: 54).
Munandar, 1977 (dalam Semiawan. dkk, 1984: 10) mengemukakan bahwa
pribadi kreatif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: mempunyai daya
imajinasi yang kuat, mempunyai inisiatif, mempunyai minat yang luas,
bebas dalam berpikir, bersifat ingin tahu, selalu ingin mendapat
pengalaman-pengalaman baru, percaya pada diri sendiri, penuh semangat
menyatakan pendapat meskipun mendapat kritik dan berani
mempertahankan pendapat yang menjadi keyakinannya).
Menurut Chandra (1994) ciri-ciri orang yang kreatif adalah sebagai
berikut:
a. Memiliki hasrat untuk mengubah hal-hal di sekelilingnya menjadi
lebih baik.
b. Memiliki kepekaan, yaitu bersikap terbuka dan tanggap terhadap
segala sesuatu.
c. Memiliki minat untuk menggali lebih dalam dari yang tampak di
permukaan.
d. Memiliki rasa ingin tahu yaitu semangat yang tak pernah berhenti
untuk mempertanyakan.
e. Mendalam dalam berpikir yaitu sikap yang mengarahkan untuk
pemahaman yang mendalam pula.
f. Memiliki konsentrasi yaitu mampu menekuni suatu permasalahan
hingga menguasai seluruhnya.
g. Memiliki sikap mencoba dan melaksanakan yaitu bersedia
mencurahkan tenaga dan waktu untuk mencari dan mengembangkan.
h. Memiliki kesabaran untuk memecahkan permasalahan dalam
detailnya.
i. Memiliki optimisme yaitu memadukan antusiasme (kegairahan) dan
rasa percaya diri.
Torrance (dalam Munandar, 1999) mengatakan bahwa pribadi yang
kreatif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: berani dalam pendirian dan
keyakinan, melit (ingin tahu), mandiri dalam berpikir dan dalam memberi
pertimbangan, bersibuk diri terus-menerus dengan kerjanya atau apa yang
menarik perhatiannya, intuitif, ulet, dan tidak bersedia menerima pendapat
orang lain (termasuk otoritas) begitu saja jika tidak sesuai dengan
keyakinannya.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kreativitas. a. Faktor-faktor yang Mendukung Perkembangan Kreativitas.
Menurut Munandar, Utami (1988: 17) sikap-sikap dan
kondisi-kondisi yang perlu dipupuk untuk menumbuhkan dan meningkatkan
kreativitas individu, yang berlaku baik bagi remaja dan orang dewasa
muda maupun bagi masa-masa usia selanjutnya yaitu:
1). Kesendirian (aloneness).
Kesendirian memungkinkan orang lebih mendengarkan (peka
terhadap) sumber-sumber dalam dirinya, dan tidak terlalu
diungkapkan terhadap rangsangan-rangsangan konvensional atau
klik-klik di dalam masyarakat. Biasanya orang memperoleh
inspirasi dalam kesendirian, bukan di dalam massa. Dalam hal ini
kesendirian bukan sebagai suatu penarikan diri atau suatu
ketidakmampuan untuk bergaul dengan orang lain, tetapi
jangka waktu tertentu dan tidak selalu berada bersama orang lain
atau hanya senang melakukan kegiatan kelompok. Individu harus
mampu berselang-seling antara kegiatan kelompok dan kegiatan
sendiri, dalam situasi inilah kreativitas lebih dimungkinkan
berkembang.
2). Mengambil waktu untuk berpikir dan ber-rasa.
Mengembangkan alam perasaan sangat penting untuk pertumbuhan
kreativitas. Individu membutuhkan waktu untuk berpikir dan
ber-rasa. Jika seseorang selalu terlibat dalam salah satu kegiatan atau
pekerjaan di luar, ia membatasi kemungkinan untuk
mengembangkan sumber-sumber dalam dirinya. Bekerja memang
baik bagi remaja untuk membentuk rasa tanggungjawab dan
kewarganegaraan yang baik, tetapi terlalu banyak kegiatan rutin
tanpa waktu untuk berpikir dan ber-rasa akan menghambat
kegiatan/pertumbuhan mental dan kreativitas.
3). Merenung dan melamun.
Dalam merenung dan melamun individu tidak pasif, tetapi
dapat melihat kemungkinan-kemungkinan baru, gagasan-gagasan
yang sampai saat ini belum pernah terpikirkan. Melamun dan
merenung, seperti kesendirian, perlu untuk melakukan introspeksi
4). Berpikir bebas.
Bebas dari hambatan, dari praduga atau stereotip, yang
memungkinkan individu menelusuri macam-macam arah,
menjajaki macam-macam alternatif, yang akan menghasilkan
ide-ide baru.
5). Kesiapan untuk melihat kesamaan atau analogi
Kemampuan untuk membentuk sesuatu yang baru dengan
menggabung unsur-unsur yang beragam atau yang pada kesan
pertama nampaknya tidak relevan.
6). Kesediaan untuk menunda pemberian kritik, pertimbangan atau
penilaian untuk kala waktu tertentu.
Kecenderungan untuk langsung memberikan kritik terhadap suatu
gagasan baru, dapat mematikan spontanitas dan keberanian untuk
menyampaikan sesuatu pendapat, apalagi jika pendapat itu
menyimpang dari yang konvensional.
7). Konflik sebagai motivasi
Konflik dapat menjadi motivasi untuk berkreasi.
8). Kesiagaan dan disiplin
Untuk menghasilkan karya kreatif yang bermakna, yang diperlukan
tidak hanya kualitas-kualitas seperti; imajinasi, inspirasi, firasat
dan talenta/bakat, tetapi juga disiplin, kesiagaan, belajar dan
bekerja keras, pengikatan diri terhadap apa yang menjadi
b. Faktor-faktor yang Menghambat Perkembangan Kreativitas.
Lingkungan yang menghambat perkembangan kreativitas dapat
merusak motivasi anak dan dapat mematikan kreativitas (Amabile,
1989; dalam Munandar, 1999). Menurut Munandar (1999: 316) dalam
upaya membantu anak merealisasikan potensinya, seringkali orangtua
menggunakan cara paksaan agar anak belajar. Penggunaan paksaan
atau kekerasan tidak saja berarti bahwa orangtua mengancam dengan
hukuman atau memaksakan aturan, tetapi juga bila orangtua
memberikan hadiah atau pujian secara berlebihan.
Amabile (dalam Munandar, 1999) mengemukakan empat cara
yang mematikan kreativitas, yaitu: evaluasi, hadiah, persaingan
(competitive) dan lingkungan yang membatasi. 1). Evaluasi.
Menurut Rogers (dalam Munandar, 1999) salah satu syarat
untuk memupuk kreatifitas konstruktif adalah bahwa pendidik
tidak memberikan evaluasi, atau setidak-tidaknya menunda
pemberian evaluasi sewaktu anak sedang berkreasi.
2). Hadiah.
Munandar (1999: 318) mengatakan bahwa pemberian
hadiah dapat merusak motivasi intrinsik dan mematikan kreativitas.
3). Persaingan (Kompetisi).
Kompetisi terjadi apabila siswa merasa bahwa
yang terbaik akan mendapatkan hadiah. Kompetisi terjadi dalam
kehidupan sehari-hari dan sayangnya dapat mematikan kreativitas.
(Munandar, 1999: 318).
4). Lingkungan yang membatasi.
Menurut Albert Einstein (dalam Munandar 1999) belajar
dan kreativitas tidak dapat ditingkatkan dengan paksaan.
4. Peran Kreativitas dalam Kehidupan Manusia
Manfaat dari kreativitas yang dapat dikembangkan dan dimiliki
seseorang bagi kehidupannya di dunia ini besar sekali. Menurut Ruth
Richards (dalam Gie; 2003: 22) kreativitas merupakan dasar bagi
kelangsungan di dunia ini, karena kemampuan itu adalah kemampuan kita
untuk menyesuaikan diri pada perubahan, ini menjadi inti bagi
kelangsungan hidup manusia. Ellen McGrath (dalam Gie; 2003: 22)
berpendapat bahwa untuk menghadapi ketidakstabilan dalam hidup, setiap
orang perlu menemukan berbagai pemecahan yang baru dan kreatif
terhadap berbagai tantangan dari kehidupan sehari-hari, oleh karenanya
kreativitas akan menjadi keterampilan untuk kelangsungan hidup.
Menurut Munandar (1999: 43) kreativitas begitu bermakna
dalam kehidupan manusia karena:
a. Dengan berkreasi orang dapat mewujudkan dirinya, dan perwujudan
diri merupakan kebutuhan pokok pada tingkat tertinggi dalam hidup
b. Pemikiran kreatif (disebut juga berpikir divergen) perlu dilatih, karena
membuat anak lancar dan luwes (fleksibel) dalam berpikir, mampu
melihat suatu masalah dari berbagai sudut pandang, dan mampu
melahirkan banyak gagasan.
c. Bersibuk diri secara kreatif tidak hanya bermanfaat bagi diri pribadi
dan lingkungan, tetapi juga memberikan kepuasan kepada individu.
d. Kreativitaslah yang memungkinkan manusia meningkatkan kualitas
hidupnya.
Olson (1989: 20) mengatakan bahwa kreativitas bermanfaat
bagi manusia, yaitu dengan kreativitas:
a. Manusia menjadi lebih kreatif menjadi lebih terbuka pikirannya
terhadap gagasan sendiri (kepercayaan terhadap diri sendiri menjadi
lebih besar dan gagasan orang lain.
b. Manusia mempelajari bagaimana menunda keputusan.
c. Inisiatif dan sumber daya manusia meningkat. Permasalahan umumnya
diketahui lebih awal dan ditangani pada saat itu juga. Demikian juga,
peluang pada umumnya diketahui lebih awal dan dapat memperoleh
keuntungan daripadanya selekas mungkin. Penundaan, yang sering
diakibatkan oleh masalah yang muncul secara luar biasa, telah
menurun.
e. Manusia memperoleh kepercayaan dan penerimaan diri yang lebih
besar yang juga menghasilkan penerimaan tanggung jawab yang lebih
antusias.
f. Membantu manusia dalam pemecahan masalah secara kreatif serta
dapat membangkitkan gagasan.
g. Manusia memperoleh kesenangan yang dapat memberi motivasi dan
energi untuk mendekati kehidupan secara kreatif, yang pada gilirannya
meningkatkan kesenangan dan kegembiraan hidup.
C. Hubungan antara Pola Asuh Orangtua dan Kreativitas Anak
Pola asuh orangtua mempengaruhi kemampuan kreativitas remaja.
Menurut Munandar (1999) kreativitas adalah hasil dari proses interaksi antara
individu dan lingkungan. Kemampuan kreatif seseorang dipengaruhi oleh
lingkungan di mana seseorang berada, dengan demikian berarti lingkungan
dapat menunjang dan atau menghambat kreativitas seseorang.
Sikap-sikap orangtua terhadap anak dapat memupuk dan
memperkembangkan kreativitas anak, tetapi dapat pula menghambat atau
tidak memupuk kreativitas anak. Memupuk kreativitas anak maksudnya
menciptakan suatu iklim di dalam keluarga dan di rumah yang merangsang
dan mendorong anak untuk berkreasi. Ada orangtua yang cenderung menuntut
terlalu banyak dari anaknya dengan maksud mengembangkan kreativitas
kreativitasnya memerlukan waktu untuk bermain-main, untuk bergaul dengan
temannya, untuk membaca buku-buku biasa dan tidak semata-mata buku
pelajaran.
Kebanyakan orangtua sering mengungkapkan bahwa mereka ingin
memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya, akan tetapi memberikan yang
terbaik hanya akan mudah diucapkan, tidak mudah dilaksanakan. Sering kali
maksudnya demikian, tetapi hasilnya adalah memanjakan, dan pada
hakikatnya orangtua yang memanjakan akan melemahkan anak-anaknya. Di
lain pihak ada orangtua yang ambisius, lalu memberi anak-anaknya banyak
bekal dan target. Tetapi hasilnya malahan semacam penjejalan, sehingga
timbul rasa rendah diri dalam diri anak kalau ia gagal dalam memenuhi
harapan.
Menurut Munandar (1999) dalam suasana non-otoriter, ketika anak
belajar atas prakarsa sendiri maka anak dapat berkembang karena orangtua
menaruh kepercayaan terhadap kemampuan anak untuk berpikir dan berani
mengemukakan gagasan baru, dan ketika anak diberi kesempatan untuk
bekerja sesuai dengan minat dan kebutuhannya, maka kemampuan kreatif
dapat tumbuh subur.
Menurut Indrawati (dalam Kartono: 1985) anak yang dibesarkan di
rumah yang bersuasana otoriter akan menjadi kurang kreatif karena orangtua
selalu melarang segala tindakan anak yang sedikit menyimpang dari yang
seharusnya dilakukan. Dengan larangan dan hukuman, orangtua menekan
mencoba dan ia tidak akan mengembangkan kemampuan untuk melakukan
sesuatu karena tidak mendapat kesempatan untuk mencoba. Anak juga akan
kehilangan spontanitas, dan tidak dapat mencatuskan ide-ide baru. Dapat juga
anak menjadi takut mengemukakan pendapatnya.
Orangtua yang memberikan kebebasan kepada remaja untuk bebas
mengekspresikan secara simbolis pikiran atau perasaannya, permissiveness ini memberi remaja kebebasan dalam berpikir atau merasa sesuai dengan apa
yang ada dalam dirinya. Dengan adanya kebebasan psikologis dan kesempatan
sebebas-bebasnya untuk menentukan keinginannya sesuai dengan pola
pikirnya, dipacu untuk mandiri, maka akan memungkinkan timbulnya
kreativitas yang konstruktif dalam diri remaja (Rogers, dalam Munandar,
1999; Gunarsa dan Gunarsa, 1986: 83; Lighter, 1999: 19).
Perilaku orangtua laissez faire/indifferent, yang mengabaikan
kebutuhan-kebutuhan materi dan psikis anak, baik secara langsung maupun
tidak langsung merupakan penelantaran anak oleh orangtuanya sendiri.
Penelantaran ini sangat mengganggu perkembangan anak, terutama
perkembangan kreativitasnya. Prasetya (2003), mengatakan bahwa anak yang
dibesarkan oleh orangtua yang menganut pola asuh laissez faire cenderung lebih agresif, impulsif, pemurung dan kurang mampu berkonsentrasi pada
suatu kegiatan.
Kreativitas diperlukan dalam mewarnai cinta dalam keluarga.
Orangtua modern sesungguhnya tidak layak bersikap pasif dalam pendidikan
penting sekali untuk membekali mereka. Kalau suasana dalam rumah
mencerminkan kreativitas yang tak putus-putus, di mana ayah, ibu, anak-anak
sendiri terlibat, maka langsung atau tak langsung dalam keluarga itu
dibenihkan kecerdasan yang lebih komplit. Rumah adalah arena pendidikan
untuk kreativitas yang terpenting untuk kemajuan bangsa. Untuk mendorong
berkembangnya kreativitas dalam diri anak, perlu diusahakan suatu suasana
terbuka terhadap gagasan-gagasan baru yaitu dengan menciptakan iklim yang
kreatif dimana anak dan orangtua saling menerima dan saling menghargai.
Dukungan dan sikap positif dari orangtua akan menimbulkan
dorongan dalam diri anak untuk mengungkapkan kreativitas mereka. Oleh
karena itu hendaknya orangtua:
1. Bersikap terbuka terhadap minat dan gagasan anak.
2. Memberikan waktu kepada anak untuk mengembangkan kreativitas
mereka.
3. Menciptakan suasana saling menghargai dan saling menerima antara anak,
dan antara anak dan orangtua sehingga anak dapat bekerja sama dengan
orang lain maupun bekerja secara mandiri.
4. Memberi kesempatan kepada anak untuk berperan serta dalam mengambil
keputusan.
5. Menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh anak dalam
Adapun kondisi-kondisi lingkungan yang bersifat memupuk
kreativitas anak, pertama adalah keamanan psikologis dan kedua kebebasan
psikologis (Rogers; dalam Munandar, 1999).
1. Anak akan merasa aman secara psikologis apabila:
a. Orangtua dapat menerimanya sebagaimana adanya, tanpa syarat,
dengan segala kekuatan dan kelemahannya, serta memberi
kepercayaan padanya bahwa pada dasarnya ia baik dan mampu.
b. Orangtua mengusahakan suasana di mana anak tidak merasa “dinilai”
oleh orang lain. Memberi penilaian terhadap seseorang dapat dirasakan
sebagai ancaman, sehingga menimbulkan kebutuhan akan pertahanan
diri.
c. Orangtua memberikan pengertian dalam arti dapat memahami
pemikiran, perasaan, dan perilaku anak, dapat menempatkan diri dalam
situasi anak dan dalam melihat dari sudut pandang anak. Dalam
suasana ini anak merasa aman untuk mengungkapkan kreativitasnya.
Mengenal dan ikut menghayati perasaan anak,
pemikiran-pemikirannya, tindakan-tindakannya, dapat melihat dari sudut pandang
anak dan tetap menerimanya, betul-betul memberi rasa aman. Dalam
suasana seperti ini, diri yang sebenarnya (real self) dimungkinkan untuk timbul, untuk diekspresikan dalam bentuk-bentuk baru dalam
hubungannya dengan lingkungan. Inilah pada dasarnya memupuk
2. Anak akan merasakan kebebasan psikologis apabila:
Orangtua mengijinkan atau memberi kesempatan kepada anak untuk bebas
mengekspresikan/mengungkapkan pikiran-pikiran atau perasaan-perasaan
anaknya secara simbolis misalnya dengan mengekspresikannya melalui
sajak atau gambar, mengungkapkan perasaan-perasaannya dalam buku
harian, atau ia dapat menyatakan emosinya yang meluap dengan bermain
musik atau dengan “bermain tinju”. Dengan demikian maka akan
memberikan anak kebebasan dalam berpikir atau merasa sesuai dengan
apa yang ada dalam dirinya bahkan dapat menimbulkan karya-karya
kreatif.
D. Sikap Orangtua yang Memupuk dan Menghambat Kemampuan Kreativitas Anak.
Menurut Munandar (1999: 137) sikap orangtua terhadap anak dapat
memupuk dan menghambat pengembangan kreativitas anak. Sikap orangtua
yang memupuk kreativitas anak adalah:
1. Menghargai pendapat anak dan mendorongnya untuk mengungkapkannya,
2. Memberi waktu kepada anak untuk berpikir, merenung, dan berkhayal,
3. Membolehkan anak mengambil keputusan sendiri,
4. Mendorong kemelitan anak, untuk menjajaki dan mempertanyakan hal-hal,
5. Meyakinkan anak bahwa orangtua menghargai apa yang ingin dicoba
dilakukan, dan apa yang dihasilkan,
7. Menikmati keberadaannya bersama anak,
8. Memberi pujian yang sungguh-sungguh kepada anak,
9. Mendorong kemandirian anak dalam bekerja,
10. Menjalin hubungan kerja sama yang baik dengan anak,
Adapun sikap orangtua yang menghambat pengembangan
kreativitas anak, adalah:
1. Orangtua yang selalu khawatir atau takut-takut, sehingga anak terlalu
dibatasi dalam kegiatan-kegiatannya,
2. Orangtua yang terlalu mengawasi gerak-gerik anak,
3. Orangtua yang menekankan pada kebersihan dan keteraturan secara
berlebihan,
4. Orangtua yang menuntut kepatuhan mutlak dari anak tanpa
mempertimbangkan alasan-alasan anak,
5. Orangtua yang mempunyai pandangan bahwa berkhayal itu tidak baik,
tidak berguna,
6. Orangtua yang selalu mengkritik perilaku atau pekerjaan anak,
7. Orangtua yang memberikan saran-saran spesifik tentang penyelesaian
tugas,
8. Orangtua yang tidak sabar dengan anak,
9. Orangtua dan anak adu kekuasaan,
10. Orangtua menekan dan memaksa anak untuk menyelesaikan tugas,
11. Orangtua yang jarang memberi pujian atau penghargaan terhadap usaha
E. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah jawaban sementara atas rumusan masalah dalam
suatu penelitian, yang kebenarannya masih harus dibuktikan. Dalam penelitian
ini peneliti merumuskan hipotesis sebagai berikut: “Ada hubungan yang
signifikan antara pola asuh orangtua dan kreativitas anak pada siswa kelas II
SMP Kanisius Kalasan”. Secara lebih rinci hipotesis penelitian tersebut
dijabarkan sebagai berikut:
1. Ada hubungan yang positif secara signifikan antara pola asuh
demokratis/authoritative dan kreativitas anak pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan.
2. Ada hubungan yang negatif secara signifikan antara pola asuh
otoriter/authoritarian dan kreativitas anak pada siswa kelas II SMP
Kanisius Kalasan.
3. Ada hubungan yang positif secara signifikan antara pola asuh
permisif/indulgent dan kreativitas anak pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Penggunaan metode penelitian yang tepat akan mempengaruhi ketepatan
suatu hasil penelitian. Sehingga dalam suatu penelitian perlu dipilih suatu metode
yang baik, agar dapat menjawab permasalahan yang diajukan peneliti. Bab ini
membahas tentang jenis penelitian, populasi dan sampel, instrumen pengumpulan
data, prosedur pengumpulan data dan teknik analisis data.
A. Jenis Penelitian.
Penelitian ini termasuk penelitian ex post facto karena penelitian ini tidak mengendalikan variabel secara langsung. Kerlinger (Furchan, 1982:
382) menjelaskan:
Penelitian ex-post facto adalah penyelidikan empiris yang
sistematis dimana peneliti tidak mengendalikan variabel bebas secara langsung karena perwujudan variabel tersebut telah terjadi, atau karena variabel tersebut pada dasarnya tidak dapat dimanipulasi.
Jadi dalam penelitian ini, peneliti menghimpun keterangan
berdasarkan kejadian atau pengalaman yang telah berlangsung di masa lalu
menyangkut pola pengasuhan orangtua maupun kreativitas sebagaimana
B. Populasi dan Sampel Penelitian. 1. Populasi Penelitian
Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian. Populasi penelitian
ini adalah siswa-siswi kelas II SMP Kanisius Kalasan tahun ajaran
2004/2005. Populasi ini terdiri dari para siswa yang sampai saat ini tinggal
bersama dengan orangtua mereka. Siswa kelas II SMP dipilih sebagai
populasi penelitian karena mereka berada pada awal masa remaja atau
sering disebut sebagai remaja awal dengan rentang usia 13 sampai dengan
16 tahun (Hurlock, 1992). Pada usia tersebut pola pengasuhan orangtua
masih mewarnai kehidupan pribadi mereka, khususnya dalam
perkembangan kreativitas mereka.
Berikut ini disajikan data populasi penelitian.
Tabel 1. Data Siswa-siswi Kelas II SMP Kanisius Kalasan Tahun Ajaran 2004/2005
Kelas II A II B II C Jumlah
Total
Jumlah Siswa 31 31 30 92
Jumlah siswa yang tinggal dengan orangtua
29 27 28 84
Berdasarkan data yang diperoleh dari SMP Kanisius Kalasan,
jumlah siswa kelas II yang tinggal bersama dengan orangtua tahun ajaran
2004/2005 sebanyak 84 orang. Ke 84 orang tersebut berada pada usia
13-16 tahun. Dengan demikian, 84 orang tersebut telah memenuhi kriteria
2. Sampel Penelitian
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi. Sampel penelitian
diambil dari populasi penelitian yang berjumlah 84 siswa, untuk itu
peneliti mengambil 50 siswa sebagai sampel dan diharapkan dapat
mewakili populasi. Penarikan sampel dilakukan dengan teknik simple
random sampling (penarikan acak sederhana), dengan alasan semua anggota populasi mempunyai peluang yang sama untuk dipilih sebagai
anggota sampel penelitian (Furchan, 1982: 192). Teknik random sampling
ditempuh dengan cara undian, yaitu kertas kecil ditulisi nomor subyek,
satu nomor untuk satu kertas, kertas digulung sebanyak 84, kemudian
diambil sebanyak 50 gulungan kertas dengan nomor berbeda, setiap
gulungan kertas diambil dan nomornya menjadi anggota sampel. Langkah
ini digunakan dengan pertimbangan bahwa sampel yang semakin
mendekati populasi berarti semakin representatif bagi populasi (Arikunto,
1989).
C. Penentuan Variabel
Variabel merupakan gejala yang diamati yang menggambarkan
konstruk. Konstruk adalah konsep yang mempunyai makna (arti khusus)
dalam ilmu yang diteliti (Furchan, 1982). Ada dua variabel utama dalam
penelitian ini, yaitu pola asuh orangtua sebagai variabel bebas (X) dan
Pola asuh orangtua adalah suatu cara, pedoman, sistem yang
diterima dan digunakan oleh orangtua dalam merawat, mendidik, melatih dan
memimpin anak.
Sementara itu kreativitas menekankan pada suatu kemampuan yang
dimiliki remaja didalam mengungkapkan ide, gagasan, maupun dalam
menciptakan sesuatu secara kreatif.
D. Instrumen Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode instrumentasi yaitu
menggunakan suatu alat di dalam melakukan penelitian. Instrumen
pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah kuesioner (angket) yang
terdiri dari dua bagian yaitu pertama, kuesioner pola asuh orangtua (meliputi
empat bagian yaitu pola asuh demokratis/authoritative, pola asuh
otoriter/authoritarian, pola asuh permisif/indulgent dan pola asuh laissez faire/indifferent) dan kedua, kuesioner kreativitas. Penjelasan secara terperinci mengenai kedua alat ukur (kuesioner) tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kuesioner Pola Asuh Orangtua
Kuesioner pola asuh orangtua dalam penelitian ini diambil dan
dikembangkan dari alat yang disusun oleh Barus (1999) dan telah direvisi
oleh Alibata (2000). Kuesioner pola asuh diolah dan disusun berdasarkan
indikator sebagai berikut:
2). Menggunakan seperangkat standar untuk mengatur anak-anaknya
yang sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan anak-anaknya,
3). Menempatkan nilai yang tinggi pada perkembangan kemandirian
dan pengaturan diri sendiri,
4). Menanamkan kebiasaan-kebiasaan rasional, berorientasi pada
permasalahan, sering melibatkan diri dalam perbincangan dan
penjelasan dengan anak-anak mereka di seputar
persoalan-persoalan disiplin,
5). Mendorong tumbuhnya interaksi saling memberi dan menerima,
6). Mendukung, menerima, dan bertanggung jawab dalam
mempertimbangkan berbagai alternatif, tetapi tidak mendominasi
dari sudut pendirian mereka sendiri,
7). Menggunakan wewenang, tetapi terapannya lebih bersifat
membimbing,
8). Melibatkan/mengijinkan remaja dalam membuat
keputusan-keputusannya sendiri dan mengekspresikan
pandangan-pandangannya sendiri serta menghargai individualitas remaja,
sementara orangtua ikut memberikan penjelasan-panjelasan yang
masuk akal (bekerja sama dalam membuat keputusan).
B. Aspek Authoritarian, dengan indikator:
2). Cenderung lebih suka menghukum, mutlak dan kaku dalam
tindakan disiplin,
3). Tidak mengenal “give and take” karena menurut keyakinan
mereka, anak harus menerima aturan-aturan dan standar yang
ditetapkan orangtuanya tanpa mempersoalkannya,
4). Cenderung untuk tidak mendukung perilaku bebas dan melarang
otonomi anak,
5). Membuat pembatasan-pembatasan dan peraturan-peraturan untuk
mengontrol perilaku anak,
6). Cenderung kurang hangat, kurang menerima, kurang mendukung
anak-anak mereka dan lebih suka melarang atau membatasi
otonomi, self-expression, dan keterlibatan remaja dalam membuat keputusan,
7). Berusaha membentuk, mengontrol, dan mengevaluasi perilaku dan
sikap-sikap anak sesuai dengan standar (biasanya absolut, (sering)
dengan motivasi teologis (dengan menyetir ajaran agama atau
ayat-ayat kitab suci), dan dirumuskan dengan kewenangan atau
kekuasaan yang lebih tinggi yang dibuat oleh orangtua sendiri,
8). Mendesak anak-anak untuk mematuhi arahan atau
perintah-perintahnya, sangat mengutamakan atau mementingkan kerja dan
C. Aspek Indulgent, dengan indikator:
1). Serba menerima, lunak, dan pasif dalam pembiasaan disiplin,
2). Memberi kebebasan sepenuhnya kepada anak-anak untuk berbuat
semaunya sendiri tanpa sedikitpun mengendalikan perilaku anak,
3). Melayani atau membantu anak sepenuhnya dalam hampir setiap
kegiatannya dan cenderung memanjakan anak,
4). Menuruti kemauan anak dan menghindari konflik dengan mereka,
5). Melindungi dan menyayangi anak secara berlebihan dan low
standard.
D. Aspek Indifferent, dengan indikator:
1). Tidak ada kesempatan untuk memperhatikan anak,
2). Cenderung menolak/mengabaikan/menelantarkan anak,
3). Tidak peduli terhadap kebutuhan, aktivitas, kegiatan belajar,
maupun pertemanan anaknya,
4). Hampir tidak pernah berbincang-bincang atau berkomunikasi
dengan anak,
5). Mengabaikan pendapat atau masukan anak dalam membuat
keputusan,
6). Menjauh dari anak secara fisik dan psikis.
2. Kuesioner Kreativitas
Kuesioner kreativitas dalam penelitian ini, diambil dan
melakukan penelitian Hubungan Kecenderungan Pola Asuh Demokratis
Dengan Kemampuan Kreativitas Anak. Kuesioner kreativitas diolah dan
disusun berdasarkan indikator sebagai berikut:
A. Aspek Kemampuan Berpikir Kreatif, dengan indikator :
1). Keterampilan berpikir lancar
2). Keterampilan berpikir luwes
3). Keterampilan berpikir orisinal
4). Keterampilan memperinci (mengelaborasi)
5). Keterampilan menilai
6). Keterampilan bekerja sama
B. Aspek Ciri Afektif, dengan indikator :
1). Rasa ingin tahu
2). Bersifat imajinatif
3). Merasa tertantang oleh kemajemukan
4). Sifat berani mengambil resiko
5). Sifat menghargai
6). Sikap mencoba
7). Rasa optimis
8). Sifat mandiri
9). Sikap yang terbuka
10).Kepercayaan diri
Kedua alat tersebut disusun dalam bentuk skala bertingkat
berdasarkan prinsip Likert’s Summated Ratings. Peneliti menyajikan
pertanyaan-pertanyaan (item) yang memungkinkan responden untuk
menentukan sikap apakah ia “selalu”, “sering”, “kadang-kadang”, “jarang”,
atau “tidak pernah”. Untuk item positif diberi skor yang bergerak dari 5
sampai 1 untuk pilihan berturut-turut dari “selalu” sampai “tidak pernah”,
demikian sebaliknya item-item negatif diberi skor yang bergerak dari 1 sampai
5 untuk pilihan berturut-turut dari “selalu” sampai “tidak pernah”. Variabel
diukur dari tinggi rendahnya total skor yang diperoleh siswa yang
bersangkutan. Jumlah skor ini dijadikan sebagai data olahan statistik. Kedua
jenis alat di atas akan diuji coba untuk mengetahui taraf validitas dan
reliabilitasnya.
Tabel 2. Kisi-kisi Alat Ukur Uji Coba
Ciri Afektif 30, 31, 34, 35, 37, 38, 39,
Kuesioner pola pengasuhan orangtua menggunakan alat yang
diadopsi dari alat penelitian Barus yang direvisi oleh Alibata dan
dikembangkan oleh peneliti, sedangkan kuesioner kreativitas
menggunakan alat yang diadopsi dari alat penelitian Mujiyana yang
dikembangkan oleh peneliti. Kuesioner pola asuh orangtua dan kuesioner
kreativitas diuji coba untuk mengetahui validitas dan reliabilitas
berdasarkan norma tertentu.
Berdasarkan perhitungan validitas dan reliabilitas, peneliti
melakukan rekonstruksi terhadap alat yang telah diuji coba. Rekonstruksi
alat ukur dilakukan dengan memperbaiki item-item yang koefisien
korelasinya mendekati 0,30 dan dengan menghilangkan item yang
koefisien korelasinya < 0,30. Maka tersusunlah alat yang siap digunakan
untuk penelitian, yaitu kuesioner kemampuan berpikir kreatif 20 item, ciri
afektif 40 item, kuesioner pola asuh orangtua demokratis 32 item, pola
asuh orangtua otoriter 15 item, pola asuh orangtua permisif 11 item dan
pola asuh orangtua laissez faire 18 item.
Tabel 3. Kisi-kisi Alat Ukur Penelitian
Authoritarian
E. Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data meliputi uji coba instrumen (validitas
dan reliabilitas dan tahap pangumpulan data).
1. Uji Coba Instrumen
Uji coba alat ukur penelitian dilaksanakan untuk mengetahui taraf
validitas dan reliabilitasnya. Uji coba alat ukur penelitian dilaksanakan
pada tanggal 9 September 2004. Subyek yang dijadikan responden ujicoba
alat ukur penelitian adalah siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan yang
tinggal bersama dengan orangtua mereka yang berjumlah 34 orang yang
diambil secara acak. Ke 34 subyek tersebut dinilai representatif dan
memiliki karakteristik yang sama dengan subyek penelitian.
a. Validitas (Kesahihan)
Validitas atau kesahihan adalah seberapa cermat, tepat dan teliti
alat ukur mampu malakukan fungsi ukurnya (Azwar, 1997: 176).
suatu tes mampu mengukur apa yang seharusnya diukur. Untuk
mengetahui tingkat validitas alat ukur pada penelitian ini, ditempuh uji
analisis validitas konstruk (construct validity) secara internal. Prosedur pengujiannya dilakukan dengan cara menganalisis setiap item (item analysis) masing-masing kuesioner dengan mengkorelasikan skor setiap item (X) dengan skor total (Y). Dalam penelitian ini
dipergunakan teknik korelasi Product Moment Pearson (Masidjo,
1995: 142) dengan rumus sebagai berikut:
)
(
)
Keterangan: Keterangan rumus:
xy
r = Koefisien validitas item
∑X = Jumlah skor dalam sebaran X ( Item Gasal )
∑Y = Jumlah skor dalam sebaran Y ( Item Genap )
∑XY = Jumlah hasil kali skor X dan skor Y yang berpasangan
∑X2 = Jumlah skor yang dikuadratkan dalam sebaran X
∑Y 2 = Jumlah skor yang dikuadratkan dalam sebaran Y
N = Banyaknya subyek
Proses penghitungan taraf validitas dilakukan dengan
memberi skor pada setiap item dan mentabulasikan ke dalam data uji
coba. Selanjutnya dilakukan penghitungan dengan menggunakan
Penetapan validitas (kesahihan) item menggunakan kriteria
Azwar dan Friedenberg (dalam Sulistiya, 2003) yang menyatakan
bahwa untuk skala psikologi sebaiknya digunakan harga koefisien
korelasi minimal 0,30. Dengan demikian, item yang koefisien korelasi
minimal < 0,30 dinyatakan gugur atau tidak valid, sedangkan item
yang dianggap valid adalah item dengan koefisien korelasi ≥ 0,30.
Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan terhadap 100
item kuesioner pola asuh orangtua diperoleh 67 item valid, 9 item yang
koefisien korelasinya mendekati 0,30 sehingga diperbaiki dan 24 item
tidak valid atau digugurkan. Sehingga jumlah item keseluruhan
kuesioner pola asuh orangtua yang akan digunakan dalam penelitian
adalah 76 item.
Sedangkan perhitungan yang dilakukan terhadap 85 item
kuesioner kreativitas ditemukan 53 item valid, 7 item yang koefisien
korelasinya mendekati 0,30 sehingga diperbaiki dan 25 item tidak
valid atau digugurkan. Sehingga jumlah item keseluruhan kuesioner
kreativitas yang akan digunakan dalam penelitian adalah 60 item.
Rekapitulasi hasil uji validitas kuesioner pola asuh orangtua dan
kuesioner kreativitas dapat dilihat pada lampiran 2.
Setelah mengadakan penelitian, peneliti melihat kembali
validitas kuesioner penelitian dengan tujuan untuk menjadi acuan bila
ini. Proses penghitungan validitas sama dengan proses penghitungan
validitas uji coba.
Atas dasar kriteria Azwar dan Friedenberg (dalam Sulistiya,
2003) yang menyatakan bahwa untuk skala psikologi sebaiknya
digunakan harga koefisien korelasi minimal 0,30. Dengan demikian,
item yang koefisien korelasi minimal < 0,30 dinyatakan gugur atau
tidak valid, sedangkan item yang dianggap valid adalah item dengan
koefisien korelasi ≥ 0,30. Akhirnya setelah dilakukan perhitungan
terhadap 76 item kuesioner pola asuh orangtua diperoleh 43 item valid,
33 item yang gugur. Sedangkan perhitungan yang dilakukan terhadap
60 item kuesioner kreativitas ditemukan 43 item yang valid dan 17
item yang gugur. Rekapitulasi hasil validitas setelah penelitian pada
kuesioner pola asuh orangtua dan kuesioner kreativitas dapat dilihat
pada lampiran 3.
Untuk melihat koefisien validitas keseluruhan digunakan rumus
tt
Reliabilitas suatu alat ukur merupakan taraf sampai di mana
yang diperlihatkan dalam taraf ketetapan dan ketelitian hasil dalam
satu atau berbagai pengukuran (Masidjo, 1995: 209). Menurut Azwar
(1997: 176) reliabilitas alat ukur menunjukkan sejauh mana
pengukuran itu dapat memberikan hasil yang relatif konsisten jika
dilakukan pengukuran ulang pada subyek yang sama. Suatu angket
yang reliabel akan menunjukkan ketelitian dan keajegan hasil dalam
berbagai pengukurannya.
Koefisien reliabilitas dinyatakan dalam suatu koefisien
reliabilitas yang dinyatakan dengan bilangan koefisien antara −1,00
sampai 1,00 yang dikelompokkan ke dalam beberapa klasifikasi dari
sangat rendah sampai sangat tinggi. Garrett (1976: 176)
mengemukakan suatu deskripsi tentang penafsiran koefisien korelasi
seperti pada tabel 4.
Tabel 4. Klasifikasi koefisien korelasi reliabilitas dan validitas suatu alat tes
Koefisien Korelasi Klasifikasi
± 0,70 – ± 1,00 Tinggi – Sangat tinggi
± 0,40 – ± 0,70 Cukup
± 0,20 – ± 0,40 Rendah
0,00 – ± 0,20 Tidak ada – sangat rendah
Dalam penelitian ini pengujian tingkat reliabilitas yang
digunakan adalah metode belah dua yang sering disebut juga metode
genap dan gasal. Metode belah dua merupakan metode yang lebih
efisien, karena dalam menentukan taraf reliabilitas hanya
bernomor gasal, dan kedua, skor yang berasal dari item bernomor
genap. Kedua belah dikorelasikan dengan formula korelasi Product
Moment Pearson dan hasilnya dikoreksi dengan formulasi Spearman-Brown. Formula Spearman-Brown merupakan sebuah formula komputasi yang sangat popular untuk reliabilitas alat ukur yang
dibelah menjadi dua bagian yang relatif paralel (Azwar, 1997: 68).
Taraf reliabilitas suatu alat ukur diperoleh dengan menggunakan
formula koreksi dengan rumus Spearman-Brown sebagai berikut:
(Garrett, 1967: 339)
r Koefisien reliabilitas alat ukur
xy
r = Koefisien korelasi item-item gasal dan genap
Rekapitulasi hasil perhitungan taraf reliabilitas dan taraf
validitas instrumen dapat dilihat pada tabel di bawah ini, sedangkan
proses penghitungan dapat dilihat pada lampiran 4 dan 5.
Tabel 5. Rekapitulasi Hasil Perhitungan Validitas dan Reliabilitas
Koefisien Validitas Koefisien Reliabilitas Kuesioner
Uji coba Penelitian Uji coba Penelitian
Pola Asuh Orangtua 0,73 0,73 0,53 0,53
Kreativitas 0,97 0,97 0,94 0,94
Dengan membandingkan hasil uji coba dan penelitian
Hasil uji coba dan hasil penelitian menunjukkan bahwa kuesioner pola
asuh orangtua menunjukkan koefisien validitas pada kualifikasi tinggi
dan reliabilitas cukup, sedangkan kuesioner kreativitas menunjukkan
koefisien validitas dan reliabilitas pada kualifikasi sangat tinggi
(Garrett, 1967: 176).
2. Tahap Pengumpulan Data
Tahap pengumpulan data dilaksanakan pada hari Kamis tanggal
14 Oktober 2004. Sebelumnya peneliti bertemu dengan kepala sekolah dan
guru yang menangani urusan kurikulum untuk menentukan jadwal.
Pengisian kuesioner dilaksanakan pada jam pelajaran komputer. Siswa
yang diminta untuk menjawab kuesioner tetap berada di kelas sedangkan
siswa yang lain mengikuti pelajaran komputer. Pada saat pelaksanaan
pengumpulan data penelitian peneliti tidak didampingi oleh guru. Adapun
jadwal penelitian sebagai berikut:
Tabel 6. Jadwal Pengumpulan Data Penelitian
Kelas Waktu Hadir Tidak hadir Jumlah
II B 08.20 – 09.00 15 1 16
II A 09.55 – 10.35 16 1 17
II C 11.30 – 12.10 16 1 17
Pengerjaan kuesioner memakan waktu kurang lebih 45 menit.
F. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah