Diterjemahkan oleh Agung Mazkuriy hwahaha.agung@gmail.com
Diterjemahkan oleh Agung Mazkuriy hwahaha.agung@gmail.com
Keadilan Distributif Global:
Apa dan Mengapa ?
Bab ini memperkenalkan gagasan keadilan distributif global, serta mengkaji beberapa argumen yang mendukungnya, walaupun beberapa orang mungkin terbersit dalam pikirannya bahwa adanya jurang
perbedaan pendapatan atau standar hidup diberbagai negara dibelahan dunia patut disesalkan. Keadaan
seperti ini lantas janganlah membuat kita berprasangka bahwa mereka yang hidup lebih beruntung telah berbuat tidak adil. Sama halnya, ketika kita berpikir bahwa hal itu merupakan privillage bagi
seseorang –sebagaimana masyarakat di negara-negara maju– yang memiliki semacam tanggung jawab untuk ikut peduli atas kenyataan bahwa ada orang lain tidak memiliki akses terhadap air bersih , gizi
yang cukup atau pemenuhan hak pendidikan dasar. Ini semua bukan selalu berarti bahwa mereka yang mendapatkan ‘keistimewaan’ memiliki kewajiban atas penegakan keadilan tersebut. Teori keadilan distributif global mencoba melakukan apa yang seharusnya dilakukan, dan penerapannya secara
selektif memilih beberapa realitas, misalnya banyak orang tidak memiliki akses pendidikan dasar,
dilain sisi sebagian orang terpenuhi hak pendidikannya dibanding yang lain hanya karena kebetulan
mereka telah dilahirkan di negara maju, bukan berarti realita semacam ini bisa dikatakan tidak adil. Meski begitu, mereka acapkali menyuarakan kepada kita bahwa kita juga memiliki kewajiban
menegakan keadilan untuk peduli fakta-fakta tersebut.
Bagian ini terdiri dari beberapa bagian, dalam bagian 1.1, mengangkat fakta-fakta secara umum terkait kemiskinan global, dan bagaimana kita harus menghadapi fakta tersebut guna menentukan
apakah perlu atau tidak bagi kita keberadaan teori distributif global. Kemudian bagian 1.2, menelaah gagasan tentang keadilan distributif global (global distributive justice). Lebih jauh, apakah kita cukup
hanya mengkaji teori keadilan distributif global saja ketika ada prinsip hukum lain sebagai
pembanding? Semisal prinsip moral (principle of charity) atau prinsip kemanusiaan. Kendati pun metode
pendekatannya berbeda, tetapi setiap teori hukum memiliki kecenderungan kesamaan pada apa yang
ingin dicapai, yaitu hukum harus ditegakan dan harus dilaksanakan secara tegas. Secara umum, teori
keadilan distributif global menyatakan bahwa seseorang yang memiliki kewajiban yang timbul dari suatu hak (entitlements) 1, misalnya menyediakan air minum bersih atau membayar pekerja dengan
1
Diterjemahkan oleh Agung Mazkuriy hwahaha.agung@gmail.com
upah layak merupakan bagian persoalan keadilan. Hal tersebut sama artinya kita mengatakan bahwa
orang lain bertindak tidak adil ketika mereka tidak menjalankan kewajiban yang mana kewajiban tersebut muncul dari hak (entitlement) yang mereka miliki. Bagian 1.2 juga mengupas perbedaan
penting antara dua bentuk kewajiban, yaitu kewajiban positif dan kewajiban negatif dari keadilan.
Dengan adanya asumsi bahwa prinsip-prinsip keadilan distributif global itu cukup tegas dan juga dapat ditegakkan, maka justifikasi dalam prinsip-prinsip tersebut itu penting. Kenapa sih kita harus
percaya adanya prinsip-prinsip keadilan distributif global? Apakah karena kita hidup di dunia yang interconnected atau hidup di dunia yang meng-global? Bab 1.3, memaparkan dua bentuk jawaban atas satu pertanyaan, yaitu; mengapa harus keadilan distributif global? Jawaban pertama dari dua jawaban
tersebut adalah apa yang kita sebut jawaban relasional, yang mana memang menunjukan ada beberapa
fakta atau serangkaian fakta tentang kondisi dunia yang membuat teori ini relevan dalam era globalisasi. Secara spesifik, pendekatan relasional menegaskan sebuah konsep dimana setiap individu
(dimasing-masing negara) diseluruh dunia ini dipersatukan oleh beberapa peraturan internasional
sehingga mereka bersekutu di dalam beberapa kelembagaan tersebut atau, bisa dikatakan, semua orang adalah bagian dari realita ekonomi global. Sedangkankan jawaban disisi lain, pendekatan non-relasional
tidak mempertimbangkan pendekatan relasional sebagai pendekatan yang cukup penting atau tidak.
Disisi lain, pendekatan-pendekatan tersebut mungkin cukup penting dalam menjelaskan beberapa hal,
meskipun penggunaan pendekatan-pendekatan itu tak akan menjelaskan kepada kita mengapa kita
membutuhkan keadilan distributif global sebagai tujuan utama (dalam kehidupan bersama umat manusia). Pendekatan non-relasional menekankan pada nilai-nilai kemanusiaan, martabat, atau
individualitas, sebuah realita yang menunjukan tidak adanya keterikatan seorang manusia dengan
lembaga ataupun ikatan sosial dengan manusia lain.
Bab ini akan mencoba memberi kita penjelasan umum tentang apa itu keadilan distributif global dan
mencoba memberikan paparan argumentasi mendalam terkait kenapa kita harus berpikir keberadaan
keadilan distributif global itu sangat penting. Tetapi saya sendiri belum begitu tahu secara lebih
mendalam tentang konten seperti apa saja yang harus ada dalam prinsip keadilan global, pemahaman saya baru sejauh apa yang ingin dicapai oleh teori ini? Dan masih sejauh taraf seringnya mereka
yang tak beruntung harus menyuarakan keadilan kepada kita? Bagian 1.4 mencoba menjelaskan perbedaan antara tujuan lokal-domestik keadilan (minimalist account) dan tujuan egaliter (egaliter
Diterjemahkan oleh Agung Mazkuriy hwahaha.agung@gmail.com
account) dari teori keadilan distributif global yang memiliki tititk temu kesamaan dengan uraian buku
ini. Secara garis besar, tujuan keadilan tingkat domestik mencoba mengajak kita untuk mengarahkan
fokus pada komunitas yang relatif kecil dulu untuk mencapai tujuan egaliter keadilan bagi setiap orang
di dunia demi kondisi yang lebih baik. Akan tetapi pendekatan penegakan keadilan ditingkat domestik-lokal secara tidak langsung mencurahkan perhatian pada kondisi ketimpangan di level global, dan
faktanya pendukung pendekatan seperti ternyata sangatlah banyak. Pendekatan egaliter cenderung
mempertimbangkan banyak hal yang mana tujuannya adalah menciptakan derajat yang sama dalam
pendistribusian hak dan kewajiban (termasuk didalam hal sumber daya), setidaknya untuk sedikit menghapus kondisi ketimpangan masyarakat dunia. Pendekatan egaliter mungkin sepakat dengan
pendekatan lokal-domestik terkait hal apa yang seharusnya dilakukan untuk mereduksi ketimpangan
atau setuju terkait hal apa saja yang seharusnya dilakukan demi pemenuhan hal-hal mendasar dalam
penegakan keadilan. Namun, melakukan hal itu saja tidaklah cukup, kita juga harus menanggulangi ketidaksetaraan itu sendiri. Bagi pihak yang peduli dan setuju dengan keberadaan teori keadilan
distributif global sebagai hal penting, mengkomparasikan dan memperdebatkan metode pendekatan
egaliter dan pendekatan lokal-domestik demi mewujudkan keadilan distributif global itu sangat penting.
Diterjemahkan oleh Agung Mazkuriy hwahaha.agung@gmail.com
1.1 Fakta-Fakta Mengenai Kemiskinan Global
Statistik kemiskinan global diteliti dan dibukukan oleh lembaga organisasi
seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Bank Dunia. Bank Dunia memiliki dua
indikator utama dalam meneliti kemiskinan, lembaga ini mendefinisikan orang yang
berada dibawah garis kemiskinan adalah orang yang berpenghasilan kurang dari 2 US
dollar per hari, dan dikategorikan berada dibawah garis kemiskinan ekstrim bagi orang
yang berpenghasilan kurang dari 1,25 US dollar per hari, tapi orang dengan
penghasilan dibawah 1,25 US dollar per hari sangatlah kecil kemungkinannya disaat
ini. Kita mungkin berpikir bahwa 2 US dollar akan mencukupi kebutuhan hidup
seseorang di negara miskin yang mana barang-barang kebutuhan dasar yang mungkin
terbilang cukup murah didapat, maka indikator guna menghitung angka kemiskinan itu
keliru. Jadi, Bank Dunia menggunakan ukuran yang disebut 'paritas daya beli'
(purchasing power parity). Sehingga ketika dikatakan, seumpama seseorang yang
berada di India hidup dengan pendapatan kurang dari 2 US dollar per hari dan uang itu
cukup untuk memenuhi kebutuhannya di India, maka pendapatan itu sama cukupnya
untuk memenuhi kebutuhannya di Amerika Serikat, meski kemungkinan seperti itu
sangatlah kecil.
Tentu saja hal itu bukanlah gambaran secara utuh untuk menggambarkan
kemiskinan, organisasi seperti Bank Dunia pun acap kali dikritik karena sering terfokus
pada pendapatan moneter sebagai indikator menentukan angka kemiskinan tersebut.
Kita mungkin juga berpikir bahwa adanya orang-orang yang berada dibawah garis
kemiskinan karena mereka, misalnya tidak memiliki akses terhadap pendidikan atau
pemenuhan kesehatan mendasar (Pogge dan Reddy 2010). The UN’s Millennium
Development Goals (yang mana akan dibahas dalam bab 3) mengajak kita untuk lebih
jauh melihat, bukan hanya melihat pada sudut pandang pendapatan moneter saja,
termasuk seperti menggunakan indikator taraf pendidikan, melek huruf, pemenuhan
kesehatan dan sebagainya. Jadi, disini terjadi ketidaksepahaman tentang bagaimana
cara terbaik untuk memahami, dan menentukan indikator apa untuk mengukur
kemiskinan tersebut.
Sebagaimana statistik yang dirilis Bank Dunia, betapa banyak orang yang
berada dibawah garis kemiskinan dan bagaimanakah kondisi kemiskinan itu semakin
bertambah dari waktu ke waktu? Statistik Bank Dunia menunjukkan bahwa jumlah
Diterjemahkan oleh Agung Mazkuriy hwahaha.agung@gmail.com
peningkatan, sekitar 2,5 sampai 2,6 miliar orang dalam rentang periode 1981-2005.
Tapi sebagai perbandingan, (bertambahnya) penduduk dunia itu bisa merepresentasikan
penurunan angka kemiskinan dari 70 persen menjadi 48 persen dari keseluruhan
populasi manusia yang hidup sekarang ini. Statistik masyarakat dunia yang hidup
dibawah garis kemiskinan ekstrim (1,25 US dollar per hari atau kurang) justru turun
pada periode yang sama dari 1,9 milyar-1,4 milyar penduduk dunia (mengalami
penurunan dari 52 persen ke level 26 persen dari total populasi dunia). Jadi, gambaran
umum menunjukkan bahwa jumlah dari orang-orang dalam garis kemiskinan relatif
statis meski angka kemiskinan ekstrim menurun. Tapi gambaran umum ini tidak bisa
menutupi perbedaan bersifat regional yang begitu penting. Tampaknya sebagian besar
penurunan angka kemiskinan terjadi di Cina dan pada tingkat lebih kecil berada di
India. Disisi lain, juga telah terjadi penurunan angka kemiskinan jauh lebih kecil di
daerah lain, seperti sub-Sahara Afrika. Jadi, pertumbuhan ekonomi yang pesat
dibeberapa negara berkembang mungkin telah menyembunyikan realita kemajuan
ekonomi sangat kecil dampaknya bagi pihak yang berada di ‘bottom billion of humanity’ yang semakin tertinggal jauh dibelakang diberbagai belahan dunia (Collier 2007). Boks 1.1 ini mencoba memberikan beberapa gambaran penting tentang
kemiskinan global.
Boks
1.1
Beberapa Gambaran Penting Terkait Kemiskinan Global
2600.000.000 orang diseluruh dunia hidup dengan pendapatan
kurang dari 2 US dollar/hari.
1.400,000.000 orang diseluruh dunia hidup dengan pendapatan kurang dari 1,25 US dollar/hari.
Sekitar 27 persen anak-anak di negara berkembang diperkirakan kekurangan gizi atau memiliki pertumbuhan terhambat (PBB
2007a).
72 juta anak usia sekolah dasar putus sekolah pada tahun 2005, 57 persen dari mereka adalah perempuan (PBB 2007b).
1,8 juta anak meninggal setiap tahun karena diare, dan hampir separuhnya dari penduduk negara berkembang, yang pada satu
waktu berkaitan dengan ketersediaan air bersih dan buruknya
Diterjemahkan oleh Agung Mazkuriy hwahaha.agung@gmail.com
1.2 Keadilan Distributif Global Sebagai Sebuah Ide
……… ……… ……… Keadilan merupakan istilah (term) yang sulit dipahami yang mana
perumusannya dalam berbagai kegunaan akan berbeda. Misalnya, di dalam lingkup
hubungan internasional, orang sering berbicara dan mendebatkannya antara adil dan
tidak adil dalam lingkup hukum humaniter (hukum perang) cuma untuk menanggapi
tindak terorisme dan bagaimana cara interogasinya yang berkeadilan terhadapnya.
Isu-isu tersebut sangatlah menarik tetapi berada di luar kajian buku ini. Topik kita adalah
keadilan distributif (distributive justice). Dalam hal ini, definisi yang sangat umum bisa
dikatakan bahwa keadilan distributif itu menyangkut cara bagaimana antara
kemanfaatan dan beban tanggung jawab dalam hidup bisa dipikul rata antara kita.
Sebuah prinsip keadilan distributif yang mana adanya tersebut menjelaskan kepada kita
tentang bagaimana berbagi kemanfaatan atau beban tanggung jawab tertentu, atau
adanya prinsip keadilan sebagai satu rangkaian tak terpisahkan antara kemanfataan dan
beban tanggung jawab yang seharusnya dipikul bersama antara kita. Maka, prinsip yang
menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pendidikan dasar gratis, atau sebuah
lapangan pekerjaan harus diperuntukan bagi orang terbaik yang memenuhi kualifikasi,
hal seperti itulah yang dianggap sebagai bentuk dari keadilan distributif.
Orang terkadang membatasi ruang lingkup keadilan distributif hanya terkait
isu-isu ekonomi semata. Sebagai contoh, Lamont dan Favor menyatakan bahwa 'Prinsip
keadilan distributif adalah prinsip-prinsip normatif yang dirancang guna memandu
pengalokasian antara kemanfaatan dan beban tanggung jawab aktivitas ekonomi'
(1996:1). Pendapat ini cukup mengundang tanda tanya, karena mengecualikan beberapa
hal yang begitu penting bagi kita, tetapi hal itu tidak bisa dikategorikan sebagai bagian
dari ‘kehidupan ekonomi’, seperti halnya pendidikan atau kesehatan. Meski begitu, tetap saja banyak sekali persoalan yang perlu dibahas dalam buku ini karena memiliki
beberapa kecocokan dimensional terhadap kegiatan berbau ekonomi, termasuk
didalamnya keadilan dalam hal perdagangan, dan hak kepemilikan atas sumber daya
alam. Tugas kita adalah untuk memberikan bantuan materi kepada orang miskin dalam
Diterjemahkan oleh Agung Mazkuriy hwahaha.agung@gmail.com
Poin utama tentang kemanfaatan dan beban tanggung jawab tentu saja adalah
poin terpenting dalam keadilan distributif, karena hal itu akan menunjukkan kepada kita
pada dua sisi keadilan distributif. Di satu sisi, teori keadilan distributif biasanya akan
memberi kita penjelasan tentang hak berupa entitlements atau penjelasan tentang apa itu
hak berupa rights, tentu saja penjelasannya sejalan dengan asas kemanfaatan dan beban
tanggung jawab. Sebagai contoh, teori keadilan distributif mungkin memilih dan
memilah beberapa kepentingan utama atau kebutuhan orang-orang tak beruntung
tersebut guna dibantu, misalnya soal kebutuhan akan pangan, air dan perumahan yang
mana hal itu telah menyadarkan kita bahwa kita memiliki entitlements atas keadilan
untuk hal-hal tersebut. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa kita haruslah
menyediakan hal-hal tersebut bagi mereka. Jika tidak, maka kita telah membiarkan
ketidakadilan terjadi. Keadaan seperti itu sendiri belumlah menjelaskan kepada kita
lebih jauh tentang siapa saja yang seharusnya menyediakan bahan makanan, air bersih,
atau hunian layak. Untuk itu, kita perlu suatu pembagian kewajiban untuk kita (yang
tentutanya sesuai dengan beban tanggung jawab yang telah disebutkan sebelumnya).
Bisa dikatakan, kehidupan bersama telah membebani kita suatu tugas atau kewajiban
tertentu agar tidak memperlakukan orang-orang di sekitar kita dengan semau kita
sendiri, atau dengan kata lain, kita harus beritikad memenuhi hak tertentu orang lain
ketika mereka terbukti sebagai kaum rentan tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan
dasar mereka sendiri.
Teori keadilan distributif akan tampak berbeda bentuk isinya terkait hak
(entitlements) yang mana hak tersebut membebani kita sebuah kewajiban (duties).
Beberapa isinya akan menunjukkan kepada kita bahwasanya kita juga memiliki
hak-hak dasar, dan oleh karena adanya hak-hak dasar tersebut, kita juga memiliki kewajiban
yang bersifat dasar pula terhadap (tegaknya) keadilan. Hal ini merupakan satu
rangkaian tak terpisahkan yang saling melengkapi antara hak dan tuntutan (demands)
berupa kewajiban. Kita akan kembali mengupas masalah ini dalam bagian 1.4, dimana
kita dituntut bisa membedakan antara pendekatan lokal-domestik (minimalist account;
selanjutnya akan disebut pendekatan minimalis) dan pendekatan egaliter (egaliter
account). Tapi ada kontroversi lain yang perlu kita kenali sedari awal, yaitu
ketidaksepahaman tentang isi dari masing-masing prinsip itu dalam kaitanya dengan
keadilan distributif. Saya tegaskan lagi bahwa teori keadilan distributif menjelaskan
kepada kita tentang bagaimana untuk mendistribusikan suatu kemanfaatan dan beban
Diterjemahkan oleh Agung Mazkuriy hwahaha.agung@gmail.com
kata ‘kami’ atau pihak yang berkewajiban dan ‘kita’ atau pihak yang harus dipenuhi haknya adalah yang ingin kita kaji saat ini? Dalam hal ini, kita dihadapkan kembali
pada fakta ketidaksepahaman yang sangat mendasar. Sementara beberapa teori keadilan
distributif merumuskan pandangan teorinya 'hanya' pada pengaturan distribusi
kemanfaatan dan beban tanggung jawab dalam bentuk masyarakat tunggal. Disisi lain,
masyarakat di seluruh dunia ini menggunakan suatu pola yang jauh lebih komplek
dalam kenyataannya. Dipihak lain lagi, mereka akan memberi masukan terkait
prinsip-prinsip keadilan distributif hanya untuk masyarakat individu (dalam lingkup komunitas
negara), dan dipihak lainnya mendorong penerapannya untuk masyarakat global.
Maksud dari adanya buku ini adalah mencoba mendefinisikan keadilan distributif
global sebagai suatu teori yang akan menunjukan kepada kita bahwasanya ada hak
(entlitements) yang berkorelasi dengan keadilan yang memiliki cakupan global serta
bertujuan menunjukan adanya kewajiban-kewajiban (duties) atas keadilan yang
memiliki lingkup global pula. Pendekatan keadilan distributif global memperlihatkan
kepada kita validitas dari prinsip-prinsip keadilan tersebut memilki lingkup global. Hal
itu akan saya coba uraikan bahwa setidaknya prinsip-prinsip tersebut secara sah dan
meyakinkan memiliki lingkup global. Setidaknya, teori ini akan mencoba berusaha
untuk mengatur distribusi mengenai kemanfaatan-kemanfaatan atau beban tanggung
jawab pada tingkat global. Maka, tujuan dari teori keadilan global (account of global
justice) akan menjelaskan kepada kita bahwa ada individu-individu memiliki beberapa
entitlements sebagai bagian dari persoalan keadilan, misalnya pemenuhan ketersediaan
air bersih dan penyediaan pendidikan dasar.
Teori ini mencoba menjelaskan kepada kita bahwa setiap orang diseluruh dunia
memiliki kewajiban terkait keadilan distributif global. Disamping itu, ada hal-hal
tertentu yang mewajibkan kita untuk melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu,
dan kewajiban ini secara logis cukuplah berat sebagaimana bisa dikatakan bahwa kita
bisa dikatakan berperilaku tidak adil (atau telah berperilaku adil) jika kita telah
mengukur kondisi kita dengan kondisi mereka. Di bagian akhir bab dalam chapter ini
kita akan fokus membahas tentang kewajiban (duties), karena hal ini akan memberikan
kita gambaran yang relatif jelas mengenai perbedaan antara prendekatan keadilan
distributif global (account of global justice) dan pendekatan kepedulian sosial
(accounts on charity) kepada sesama. Pada bagian pertama, yaitu bagian 1.2.1, kita
akan menelaah perbedaan antara kewajiban atas dasar kemanusiaan (humanitarian
Diterjemahkan oleh Agung Mazkuriy hwahaha.agung@gmail.com
berikutnya, yaitu 1.2.2, kita akan beralih mengkaji perbedaan antara kewajiban bersifat
positif dan kewajiban bersifat negatif.
1.2.1. Kewajiban yang dibebankan oleh keadilan (Duties of Justice) dan
kewajiban atas dasar kemanusiaan (Duties of Humanitarianism)
Ketika merenungkan fakta tentang kemiskinan sebagaimana telah dipaparkan
dalam bagian 1.1, kita mungkin memiliki berbagai tanggapan. Kita mungkin berpikir
bahwa tidak ada yang bermasalah terkait fakta-fakta tersebut secara normatif. Kita bisa
mengatakan setuju bahwa seseorang telah jatuh ke dalam jurang kemiskinan karena
mereka mengabaikan kesempatan demi kehidupan lebih baik. Lantas, akankah kita
berkata ‘begitulah kehidupan semestinya berjalan’. Atau dengan kata lain, kita mungkin setuju bahwa ada seseorang terjerumus ke dalam kemiskinan, tetapi percaya bahwa
mereka terjerumus dalam jurang kemiskinan karena hasil dari buruknya kebijakan
orang-orang yang duduk didalam tampuk pemerintahan negaranya yang telah terjadi
bertahun-tahun. Patut diakui bahwa argumentasi baru saja itu akan sulit menjelaskan
kepada kita ketika kita dibenturkan pada kenyataan anak-anak yang baru saja terlahir di
berbagai negara miskin tersebut yang tentu saja tak memiliki beban tanggung jawab
atas apa yang telah dilakukan para pemimpin politik (negara) mereka di masa lalu,
tetapi tetap ikut menanggung resiko tersebut berupa masa depan yang lebih
menyedihkan lagi. Saya yakin, masih ada beberapa orang tergerak hatinya oleh
fakta-fakta tersebut. Kita mungkin berpikir bahwa kita memiliki kewajiban untuk membantu
mereka yang ada disekitar kita, tetapi tidak ada kewajiban sama sekali untuk membantu
orang-orang yang hidup jauh dari sekitar kita (gagasan ini yang akan kita telaah
kembali pada akhir bagian ini).
Atau mungkin kita berprasangka bahwa ada suatu kesalahan yang cukup
signifikan yang luput dari sorotan kita terkait fakta-fakta kemiskinan tersebut. Kita
mungkin berpikir bahwa hal yang luput dari sorotan itu berupa kesalahan fatal
penyebab orang-orang tersebut tidak memiliki akses atas pemenuhan air bersih,
pemenuhan gizi yang memadai, atau akses atas pendidikan dasar. Disatu sisi, kita
mungkin juga akan terusik oleh fakta bahwa orang-orang di negara maju cenderung
menghabiskan uang jauh lebih banyak hanya untuk biaya perawatan binatang
peliharaannya daripada mereka tergerak membantu untuk mengatasi kemiskinan di luar
negaranya. Kita mungkin pernah terbersit bahwa memberantas kemiskinan global
Diterjemahkan oleh Agung Mazkuriy hwahaha.agung@gmail.com
membutuhkan adalah tindakan kontra-produktif, tetapi tetap saja dilakukan. Kita
mungkin juga merasa kesulitan untuk mendamaikan pikiran kita terhadap keadaan
dunia dimana seseorang memiliki ruang gerak sangat sempit dalam pemenuhan
kebutuhan hidupnya.
Jika yang dirasakan demikian, ada 2 pertanyaan penting untuk diajukan, yang
pertama adalah; siapakah yang memiliki kewajiban (duties) atas pengentasan
kemiskinan global tersebut? dan yang kedua adalah; seperti apakah bentuk kewajiban
tersebut? Untuk menemukan titik tolak awal, pertama-tama yang harus dilakukan jika
kita ingin menunjukkan bahwa ada kewajiban untuk mengatasi kemiskinan global itu,
maka kita perlu menentukan siapa subyek yang harus dilekati kewajiban (duties)
tersebut. Kita bisa saja memberikan jawaban berupa tanggung jawab individu atau
tanggung jawab secara kolektif atas pertanyaan tersebut. Jika memilih jawaban pertama
berarti kewajiban tersebut adalah kewajiban orang-perorang secara terpisah dan tak
terkait satu sama lain guna mengatasi kemiskinan global. Misalnya, mungkin dengan
inisiatif memberikan bantuan materi kepada organisasi tertentu untuk membantu
orang-orang di negara berkembang atau dengan cara memboikot barang-barang dari suatu
negara yang dipimpin oleh rezim otoriter yang menelantarkan warga negaranya hidup
dalam kemiskinan-keterbelakangan, atau melobi pemerintah negara masing-masing
untuk berpartisipasi memperbaiki kebijakannya dalam pengentasan kemiskinan global.
Atau, kita mungkin lebih tertarik memilih jawaban kedua, yaitu tanggung jawab
kolektif, yang artinya sama halnya bahwa tanggung jawab tersebut akan menunjuk pada
kolektifitas orang-perorang, atau bahkan antar organisasi yang memiliki kewajiban
mulia tersebut. Sebagai contoh, kita mungkin percaya hal itu, dengan berargumentasi
bahwa cuma negara-negara yang memiliki sumber daya dan memiliki kapasitas untuk
mengatasi kemiskinan global, yang mana tugas negara memang untuk mengatasi hal
tersebut. Atau misalnya, kita mungkin menspesifikasikan tugas tersebut kepada
perusahaan multinasional yang memiliki kewajiban untuk memberikan kontribusi
terhadap tercapainya tujuan keadilan global. Dan tentu saja, teori keadilan global
mungkin juga memberikan jawaban beragam (mixed answer) guna menunjukkan bahwa
setiap individu dan secara kolektif sebagaimana halnya negara memiliki tugas secara
relevan. Sebagai contoh, bagian 1.3.1.1 akan membahas karya Thomas Pogge, seorang
ahli teori keadilan global yang yang ingin menunjukkan apa yang seharusnya sesama
negara lakukan (dan kewajiban apa yang seharusnya tidak dilakukan) tetapi
Diterjemahkan oleh Agung Mazkuriy hwahaha.agung@gmail.com
bentuk kerjasama global yang tidak adil. Disamping itu, setiap individu memiliki
kewajiban untuk melobi negara-negaranya masing-masing agar berlaku lebih adil
dalam melakukan hubungan di kancah global .
Terkait 2 hal berkaitan kewajiban diatas, secara umum ada 2 perihal alternatif.
Kita mungkin berpikir ada suatu kewajiban moral (Obligation of Charity) dalam diri
kita, membangun kerangka dasar prinsip-prinsip kemanusiaan untuk memecahkan
masalah kemiskinan tersebut, atau mungkin kita berpikir bahwasanya kita memiliki
kewajiban atas penegakan keadilan distributif. Perbedaan antara kemanusiaan
(humanitarianisme) dan keadilan distributif (distributive of justice) sangatlah umum
dalam literatur yang mengangkat tema keadilan distributif global. Lantas, apa
sebenarnya perbedaan diantara dua hal tersebut? Ada berbagai proposisi terkait
perbedaan antara dua hal tersebut, dan saya akan memulai dengan menelaah kesalahan
peletakan terma awal untuk menunjukkan bahwa kewajiban (yang bertitik tolak atas
dasar) moral kemanusiaan bagaimana pun 'superficial' untuk menyentuh ke akar
masalah, sedangkan kewajiban keadilan mengatasinya langsung ke dasar
masalah-masalah secara menyeluruh.
Ini adalah cara pertama dalam menjelaskan perbedaan dua hal tersebut guna
menunjukkan bahwa kewajiban atas keadilan (Duties of Justice) bagaimana pun lebih
fundamental dalam pencapaian sasarannya, sedangkan kewajiban atas dasar
kemanusiaan (duties of humanitarians) tak mampu melakukan hal itu. Dari penjelasan
perbedaan itu yang ingin saya kehendaki adalah memberi kita skema berpikir dalam
menanggapi kemiskinan dan ketimpangan melalui frame prinsip keadilan global
daripada prinsip-prinsip kemanusiaan yang bagaimana pun itu lebih baik sebagai titik
tolak berfikir dalam mengarahkan fokus kita. Secara umum, prinsip-prinsip
kemanusiaan menjelaskan bahwa kita memiliki keterpanggilan untuk memecahkan
masalah kemiskinan global karena menyangkut hak asasi manusia yang mendasar.
Tapi, Kok-Chor Tan (2004: 21) mengatakan bahwa pendekatan prinsip kemanusiaan
yang menjelaskan kepada kita bahwa kita harus menyumbangkan sebagian sumber
daya kita untuk mengatasi kemiskinan di negara-negara miskin pada faktanya prinsip
moral itu gagal untuk mengatasi permasalahan sampai pada akar masalah. Itulah
sebabnya mereka seperti dihukum tanpa henti untuk mendonasikan uangnya tanpa bisa
memutus mata rantai yang mengekalkan ketidakadilan sedari awal mula. Lebih lanjut,
menurut Tan bahwa teori keadilan global itu mengajak perhatian kita langsung tertuju
Diterjemahkan oleh Agung Mazkuriy hwahaha.agung@gmail.com
bahwa karakteristik tugas kita terkait kemiskinan global berupa tugas ‘memberi bantuan’ kemanusiaan guna mengalihkan perhatian kita ke dalam suatu cara berpikir dimana kita benar-benar berkontribusi secara efektif terhadap pengentasan kemiskinan
(Pogge 2004). Sedangkan ide 'bantuan' sepertinya menunjukkan bahwasanya teori ini
secara moral pun tak memiliki cacat, tetapi justru juga bentuk kedermawanan berupa
memberi bantuan kepada orang miskin. Lebih lanjut, teori keadilan sendiri telah
mengajukan kepada kita berbagai pertanyaan-pertanyaan sulit tentang asal-usul
kemiskinan itu dan dimana keterlibatan kita di dalam mencipatakan kemiskinan
tersebut (argumentasi kita akan menelaah lebih lanjut di dalam bagian 1.3.1.1).
Perbedaan diatas memang tidak sepenuhnya membantu mengurai masalah
kemiskinan secara penuh. Namun yang pasti, pendapat Tan dan Pogge ada benarnya
tentang kaburnya subtansi tujuan dari istilah 'bantuan' tersebut. Serta dalam hal ini jelas
bahwa apa yang dikemukakan Tan dan teori keadilan global oleh Pogge lebih unggul
dalam memberikan uraian yang komperhensif kepada kita tentang bagaimana
kemiskinan tercipta dan selalu ada, dan juga menjelaskan bagaimana 'sistem' global
telah berkontribusi terjadinya kemiskinan itu. Namun, ini bukan berarti berkaitan
kebenaran konseptual yang mana semua tujuan teori keadilan global harus
menjawabnya. Memang, apa yang menjadi tujuan prinsip kemanusiaan implikasinya
cukup identik dengan tujuan yang coba dicapai oleh prinsip keadilan global. Kedua
teori ini mungkin memiliki kesamaan, misalnya tiap negara harus memberikan 0,7
persen dari pendapatan nasional mereka untuk dialokasikan sebagai bantuan luar negeri
(sebagaimana disepakati beberapa negara dalam rangka mensukseskan program
‘Millennium Development Goals’ PBB yang selanjutnya akan dibahas dalam bab 3). Entah memenuhi kualifikasi atau tidak sebagai pihak yang dilekati kewajiban,
negara-negara tersebut tentu tak akan pernah setuju bahwa mereka berkewajiban atau memiliki
tanggung jawab terkait pengentasan kemiskinan global tersebut. Disatu sisi,
negara-negara tersebut tak akan mampu menjawab pertanyaan sulit yang dikemukakan Pogge
dan Tan sebagaimana diatas. Pada dasarnya, prinsip keadilan global dapat menjawab
pertanyaan mendasar terkait adanya kemiskinan global, akan tetapi hal itu bukan berarti
bahwa pendekatan tersebut merupakan bagian prinsip keadilan. Karena jika katakan ya,
maka perbedaan antara masing-masing capaian teori berupa ‘superficial/fundamental’ tak akan benar-benar membantu.
Lantas, apa perbedaan antara kewajiban yang dibebankan oleh keadilan dan
Diterjemahkan oleh Agung Mazkuriy hwahaha.agung@gmail.com
kewajiban yang dibebankan oleh keadilan distributif (berikutnya akan kita sebut dengan
istilah kewajiban keadilan) lebih berbobot berat kewajibannya dibanding kewajiban
atas dasar kemanusiaan, dan tentu saja tugas keadilan tersebut harus ditegakkan. Suatu
tugas yang berat dan sulit yang tentu saja tidak mungkin terhindarkan, tetapi bukan
berarti bahwa suatu kewajiban yang dikatakan berat sama halnya mengatakan bahwa
tugas itu butuh biaya mahal. Sebagai contoh sederhana, mari kita berandai-andai bahwa
saya dibebani kewajiban keadilan sebesar £5 per minggu untuk didonasikan dalam
program pemberantasan kemiskinan global dan itu tak masalah bagi saya, meskipun
saya telah menghabiskan sebagian besar gaji saya minggu ini sehingga hanya tersisa
£20 saja. Dikesempatan lain, saya juga telah mengatakan kepada teman saya bahwa
saya akan meminjamkan £20 untuknya guna membeli sepasang sepatu baru. Jadi di sini
saya memiliki dua kewajiban yang sama-sama harus dipenuhi, yaitu kewajiban keadilan
untuk mendonasikan £5, dan kewajiban moral untuk memberikan pinjaman kepada
teman saya sebesar £20 sebagaimana yang telah saya janjikan. Dalam kasus seperti ini
maka kewajiban moral lebih diutamakan sejak saya telah membelanjakan seluruh uang
saya, sedangkan tagihan atas kewajiban keadilan cuma butuh £5. Tetapi dalam hati kita
harus tetap mengatakan bahwa tugas keadilan tetap lebih penting untuk diutamakan.
Jika hal tersebut tidak kita yakini, apa yang telah dikonstriuksi diatas tidak akan ada
gunanya dan hal itu akan jauh lebih buruk dibanding kewajiban moral. Bukankah kadar
berat suatu beban kewajiban sejalan-sebanding terhadap prioritas pemenuhannya? Jika
dalam teori dikatakan bahwa kita memiliki prioritas kewajiban lebih berat atas keadilan
distributif global, mereka pasti membantahnya bahwa kewajiban moral tersebut lebih
penting dan lebih berat kadarnya. Tetapi kedua hal tersebut tak seharusnya diabaikan
hanya karena kita lebih suka menghabiskan uang kita untuk hal-hal lain sembari
membenarkan bahwa tugas keadilan berdasarkan hal ini lebih berat (kadar
kewajibannya) daripada kewajiban kemanusiaan. Lebih lanjut, ketika para teoretikus
berdebat terkait apa bentuk kewajiban kita mengenai kemiskinan, apakah berupa
kewajiban moral atau kewajiban keadilan, mereka justru sering berdebat tentang
bagaimana agar perusahaan-perusahaan juga memilki ‘peran’ atas kewajiban tersebut. Mungkin cara terbaik untuk menjelaskan perbedaannya adalah mengatakan
bahwa tugas keadilan tidak seperti tugas kemanusiaan, tugas keadilan secara moral
Diterjemahkan oleh Agung Mazkuriy hwahaha.agung@gmail.com
domestik pun berdonasi untuk kegiatan sosial amal umumnya tidak dikategorikan
sebagai bentuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban atas keadilan. Artinya lagi, sama
halnya kita seperti setuju bahwa si kikir tak bisa dipaksa dalam mendonasikan beberapa
sen uangnya ke dalam kotak amal penggalangan dana tetapi disisi lain, kita juga setuju
bahwa seseorang yang menolak membayar pajak harus dipaksa untuk membayarnya,
yang mana penarikan pajak tersebut diantara fungsinya guna mencapai pemenuhan
tujuan keadilan di dalam negeri, dan kita juga percaya bahwa pada prinsipnya suatu
sanksi bisa diterapkan asalkan sanksi itu proporsional dan efektif, katakan saja begitu.
Dan kita juga setuju bahwa ada beban memenuhi kewajiban keadilan untuk membayar
pajak. Maka, setidaknya bila kita berasumsi seperti itu artinya pemerintah kita adalah
pihak yang punya legitimasi untuk penegakannya, dan setidaknya dengan berpikir
demikian kita akan mendekati obyektifitas. Dari berbagai teori keadilan distributif
global yang ada, kita tentu setuju pada dasarnya prinsip-prinsipnya dikembangkan
dengan cara yang sama. Jika kita sepakat menggunakan bahasa ‘keadilan’ dalam memilah dan memilih antara kepentingan atau hak yang memilki signifikansi terhadap
kewajiban atas keadilan (duties of justice), yang mana pada akhirnya menimpakan
suatu tugas begitu berat kepada setiap orang, maka kita harus siap menyisihkan
sebagian kecil penghasilan kita sebagaimana kita meyakini bahwa kewajiban itu wajib
dilaksanakan. Kita juga harus siap untuk mengatakan bahwa kita dituntut untuk
memenuhi tugas-tugas atas keadilan tersebut meskipun biaya yang harus ditanggung
terkadang menjadi begitu tinggi (Miller 2007:248). Jadi, secara umum ada kesepakatan
bahwa tugas keadilan sebagai lawan tugas kemanusiaan, itu lebih diprioritaskan
pemenuhannya dan kadar moralitasnya lebih berat, meskipun juga tak ada kesepakatan
secara universal akan hal ini dengan meyakinkan. Dengan demikian, sebagaimana
Samuel Freeman (2006:34) katakan bahwa suatu prinsip tidak bisa dikategorikan
sebagai prinsip keadilan distributif global kecuali dengan cara mendistribusikan semua
sumber daya yang tersedia dengan adil.
Prinsip yang menjadikan sumber daya sebagai titik tolak memahami keadilan
distributif (dengan tak mengindahkan hal lain,misalnya air bersih dan pemenuhan
pendidikan dasar) tidaklah secara tepat mewakili definisi prinsip keadilan, sebagaimana
yang telah dikemukakan Freeman. Bahkan pendefinisian tersebut seolah
meyederhanakan permasalahan. Lebih lanjut, prinsip yang menyatakan bahwa
kebutuhan dasar setiap orang diseluruh dunia harus dipenuhi sebagai perihal keadilan
Diterjemahkan oleh Agung Mazkuriy hwahaha.agung@gmail.com
yang telah saya jelaskan. Jadi, prinsip keadilan distributif ini akan terkesan begitu
ambisius terkait pengaturan distribusi sumber daya alam diseluruh dunia. Satu hal yang
harus dipahami dari buku ini adalah ketika kita membahas ide tentang keadilan
distributif global, kita harus berasumsi bahwa setiap orang memiliki hak dan kewajiban
yang sama sebagai bagian dari skema keadilan, dan itu juga berlaku dalam kadar berat
kewajiban yang sama bagi setiap orang dimanapun dia berada. Akan tetapi, hal ini
janganlah ditafsirkan bahwa tugas masing-masing dari kita hanya tercurahkan kepada
kewajiban global saja karena adanya beberapa petunjuk yang telah menunjukkan
kepada kita bahwasanya kita memiliki kewajiban bersifat general itu terhadap semua
orang sebagaimana uraian diatas. Secara terpisah dan mungkin lebih berat kadar
prioritasnya bahwasanya kita juga memiliki kewajiban terhadap sesama warga negara
sendiri. Jadi, tujuan dari adanya prinsip keadilan global adalah pemilahan beberapa hak
(entitlements) yang mana bisa diterapkan secara global, dan menentukan kewajiban apa
saja yang bisa diterapkan secara lintas batas negara guna menyalurkan entitlements
tersebut.
1.2.2. Sisi positif dan negatif dari kewajiban keadilan (duties of justice)
Salah satu perbedaan penting lainnya terkait keberadaan berbagai teori keadilan
global adalah perbedaan antara kewajiban positif dan negatif. Perbedaan tersebut
bersifat diametral antara keadilan dan moral kemanusiaan, sehingga kadang kewajiban
yang bersifat positif dapat berupa moral kemanusiaan atau tugas keadilan. Lantas, apa
perbedaan sebenarnya antara kewajiban positif dan kewajiban negatif? Jawabannya,
sebagimana John Rawls utarakan, tugas positif adalah ‘kewajiban untuk melakukan sesuatu yang baik bagi orang lain', sedangkan tugas negatif 'mengharuskan kita tidak
melakukan sesuatu yang buruk' (Rawls 1971:114).
Jadi, kewajiban positif itu sebagaimana biasanya kita pahami, yaitu suatu
bentuk kewajiban untuk memberikan sesuatu yang baik bagi orang lain, misalnya
menyediakan bahan pangan bagi yang kelaparan atau mendonasikan materi kita kepada
pihak lain dalam bentuk dana bantuan pembangunan internasional. Sebagaimana yang
sering kita jumpai, banyak pihak memandang skeptis terkait bentuk kewajiban
semacam ini, setidaknya dalam hal memandang kewajiban tersebut sebagai kewajiban
yang diprioritaskan dan perlu diutamakan dalam penegakan keadilannya. Akan tetapi,
biasanya kita juga beranggapan bahwasanya kita juga memiliki kewajiban negatif
Diterjemahkan oleh Agung Mazkuriy hwahaha.agung@gmail.com
merupakan bagian dari kewajiban keadilan juga. Sebagaimana Rawls katakan,
kewajiban negatif adalah kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu yang merugikan
pihak lain. Misalnya, kita sering beranggapan bahwa kita memiliki kewajiban untuk
tidak melanggar otonomi masyarakat lain yang nantinya akan merugikan kepentingan
dasar mereka, seperti mencemari lingkungan tinggal mereka, mengeksploitasi atau
menindas keberadaan mereka. Nah, pada bagian 1.3.1.1 ini, kita akan membahas
argumentasi Thomas Pogge itu, yang mengatakan bahwasanya kita juga memiliki
kewajiban negatif terhadap keadilan yang berupa tindakan untuk tidak memaksakan
perintah dengan legitimasi kelembagaan yang tidak adil kepada pihak lain. Bagi
beberapa teoretikus, sebagaimana juga Pogge, penerimaan atas kewajiban negatif ini
justru adalah hal paling mendasar yang dapat membawa kita lebih jauh lagi untuk
mencapai tujuan yang memuaskan bagi keadilan global tersebut. Penerimaan kita atas
teori kewajiban negatif dalam mewujudkan keadilan mungkin memiliki imbas kurang
menyenangkan bagi penduduk negara-negara maju yang pada kenyataanya benefits
mereka sebenarnya didapat dari pemaksaan perjanjian dari suatu kelembagaan yang
tidak adil terhadap pihak lain.
Kewajiban negatif kadang kala harus ditempatkan lebih prioritas daripada
kewajiban positif, tentu saja pendapat tersebut dalam bingkai pandangan Pogge.
Argumantasi Pogge ini bertolak dari asumsi bahwasanya setiap orang secara
meyakinkan memiliki kewajiban positif terhadap orang lain dibelahan dunia manapun.
Tetapi, hal ini juga harus dipertegas bahwasanya ada hal-hal tertentu pula dimana kita
tidak harus berbuat sesuatu untuk mereka, dan hal ini adalah masih dalam bentuk
pandangan yang masih perlu diperinci. Tapi, sebagaimana Pogge amati, pandangan
tersebut mungkin mengandung beberapa ‘shock therapy’ yang menarik bagi
orang-orang yang menyatakan diri mereka skeptis terhadap keadilan global. Tapi juga perlu
diingat kembali bahwa di awal bagian ini saya dan beberapa orang telah menyatakan
bahwa kami tidak memilki bentuk ‘hutang’ apapun terhadap orang-orang diluar komunitas kami, bahkan kepada komunitas terdekat dengan komunitas kami. Teori
realisme dalam hubungan internasional mungkin juga mengadopsi pandangan ini.
Saya harap lebih baik kita kembali ke gagasan awal karena banyak hal yang
cukup rumit sebagaimana yang terlihat, dan tentu saja banyak hal yang harus
dipertimbangkan dari sudut pandang realisme, yang mana akan memberi pengaruh
tersendiri terhadap klaim keadilan ini. Salah satu klaim yang pasti kita dengar adalah
Diterjemahkan oleh Agung Mazkuriy hwahaha.agung@gmail.com
masyarakat negara diluar negara kita, dan mengklaim bahwa kelangsungan hidup dan
perkembangan untuk komunitas masing-masing adalah hal terpenting dari sudut
pandang moral. Sebuah klaim yang sedikit menyimpang yang mana penekanannya pada
kepentingan masing-masing komunitas dengan beranggapan bahwa penekanannya
seperti itu diharapkan masing-masing komunitas mampu menciptakan lingkungan yang
aman dimana kepentingan dasar setiap rakyat masing-masing komunitas bisa
dilindungi. Sedangkan klaim kedua berangkat dari pemahaman klaim pertama bahwa
kita tidak memiliki ‘hutang’ kewajiban apapun bagi komunitas masyarakat diluar kita.
Maka kewajiban negatif sebagai titik tolak sangat penting dalam hal ini. Maka, kita
dalam menanggapi kritik oleh penganut teori realisme atau menanggapi skeptisme
masyarakat umum yang menyatakan bahwa kita tidak memiliki kewajiban keadilan
terhadap siapa pun diluar komunitas kita dengan melempar pertanyaan: ‘Benarkah anda percaya bahwa kita tidak memiliki kewajiban negatif atas keadilan?’. Jika jawabnya tidak ada kewajiban sama sekali, maka dari sudut pandang keadilan, kita tidak
sepatutnya melakukan suatu interaksi apapun terhadap masyarakat diluar komunitas
kita. Lantas, dapatkah pandangan seperti itu bisa dijadikan alasan pembenar membunuh
atau memiskinkan orang asing hanya karena mereka orang diluar komunitas kita?
Kebanyakan orang merefleksikan setuju bahwa memang ada beberapa kewajiban
negatif sebagai penentu tentang apa yang mungkin harus kita lakukan untuk orang lain
dimana pun mereka berada. Bisa dipahami, adanya ketidaksepahaman hanya terletak
pada bentuk konten apa dalam keadilan tersebut sebagai acuan kita berbuat sesuatu
terhadap mereka.
1.3 Kenapa Harus Keadilan Distributif Global ?
……… ……… ………
Sebagaimana dalam pemaparan, teori keadilan distributif global mungkin
membebankan kewajiban yang cukup berat untuk dilaksanakan kepada kita dimanapun
kita berada, yang mana kewajiban tersebut juga memberi garansi kepada kita hak
entitlements tertentu. Jika kita meyakini keberadaan teori ini, maka kita perlu
penjelasan lebih lanjut kenapa keadilan global sangat diperlukan? Itulah sebabnya
Diterjemahkan oleh Agung Mazkuriy hwahaha.agung@gmail.com
hal-hal apa saja yang membuat teori ini begitu relevan dan penting? Secara garis besar,
teori keadilan global berusaha untuk menyadarkan kita dengan menunjukan kepada
kita, baik terkait fakta-fakta tentang kondisi dunia atau fakta-fakta terkait keadaan alam
yang kita tempati. Teori berusaha menunjukan kepada kita beberapa fakta di dunia kita
dari sudut pandang pendekatan relasional; sebuah teori yang menunjukan kita bahwa
kita memiliki keterikatan satu sama lain dalam suatu kelembagaan tertentu, atau
keberadaan kita bersama dipersatukan oleh cara-cara tertentu yang begitu penting
keberadaanya. Sebuah teori yang menunjuk pada fakta-fakta seputar manusia, dan
sebuah teori yang diilhami tentang apa yang seharusnya kita lakukan dalam hal berbagi
sesama manusia, yaitu teori pendekatan non-relasional. (Sangiovanni 2007). Saya akan
mencoba menjelaskannya satu per satu.
1.3.1 Pendekatan relasional
Pendekatan relasional menunjukkan bahwasanya keadilan distributif sangatlah
relevan bagi keberadaan manusia ketika mereka hidup sebagai spesies yang sama dalam
melakukan hubungan satu sama lain, hubungan antar manusia dalam berbagai bentuk
tersebut sebagaimana akan kita uraikan dalam bab 3. Memang, ada beberapa orang
sangat menentang terhadap teori keadilan distributif global dengan alasan karakter
relasionalnya yang tidak spesifik. Alasan mereka mungkin berdasarkan fakta bahwa ada
hubungan relasional timbal balik yang bersifat lebih utama kadarnya, yaitu hubungan
relasional antar sesama warga negara, atau karena adanya suatu hubungan relasional
tertentu yang diatur oleh pemerintah bagi sesamanya. Mereka juga percaya bahwa
keutamaan hubungan antar warga negaralah yang relevan dalam mewujudkan keadilan
itu, bukan mewujudkannya diluar kontek hubungan antar negara. Sehingga, mungkin
hubungan relasional tersebut dengan sendirinya membatasi keadilan tersebut pada
lingkup domestik saja dan menolak penerapan gagasan keadilan distributif dalam
lingkup global sama sekali. Tetapi sebagai catatan kita bersama, bentuk hubungan yang
membuat kita tertarik untuk mengkajinya sekarang ini adalah bentuk hubungan yang
saya percayai berupa adanya beberapa bentuk hubungan alamiah antar sesama manusia,
itu saja, tidak kurang dan tidak lebih. Berbagi kepada sesama manusialah yang
membuat keadilan itu selalu relevan.
Salah satu pandangan yang sangat umum adalah keadilan berlaku bagi setiap
orang yang berbagi tempat tinggal dengan kita, yaitu dalam dunia yang tunggal. Alasan
Diterjemahkan oleh Agung Mazkuriy hwahaha.agung@gmail.com
akan selalu relevan antar sesama manusia, dan akan selamanya relevan. Meskipun
kebanyakan para penganut teori relasional menginginkan penjelasan yang lebih spesifik
lagi akan hal itu, tetapi ketika kita memaparkan hubungan relasional tersebut jauh
secara spesifik sedikit lebih, maka implikasi dari teori keadilan distributif global praktis
akan berubah arah pemahaman. Menurut pandangan lainnya lagi, dikatakan bahwa
keadilan distributif antar sesama manusia akan selalu relevan ketika mampu
menyadarkan masing-masing individu. Ketika kita mengambil suatu keputusan yang
mana keputusan tersebut menjadi penyebab orang lain dalam bertindak, maka kita
sudah dalam bentuk melakukan hubungan interaksi dengan mereka yang mana hal
tersebut telah menjadi concerns dari keadilan distributif (O'Neill 1986).
Jika kita memfokuskan teori keadilan tersebut sepenuhnya dalam mengkaji
struktur ekonomi, maka kita mungkin akan berpendapat bahwa keadilan distributif
berlaku pula dalam struktur ekonomi global, yang merupakan sebuah sistem dalam
skala besar dimana sekecil apapun tindakan setiap individu berpotensi memiliki
dampak terhadap individu lain. Sebagai contoh, krisis moneter global tahun 2009 yang
menunjukkan ada saling ketergantungan (antar negara) secara substansial, sehingga
krisis yang pada awalnya berskala kecil dan domestik dengan cepat merambat menjadi
krisis moneter global. Namun demikian, mungkin ada beberapa pihak yang tidak
menjadi bagian dari struktur ekonomi global itu, dan mungkin pihak seperti itu tidak
terlalu banyak untuk dewasa ini. Tak bisa dipungkiri ada beberapa masyarakat adat
yang mandiri yang tidak memainkan peran dalam global cash-driven economy
(mungkin dikarenakan faktor mereka tinggal di pulau terpencil yang relatif tak
tersentuh oleh dunia luar, umpamanya). Lantas, apakah kita boleh mengatakan bahwa
kita tidak memilki kewajiban keadilan terhadap mereka itu? Kita mungkin berpikir
bahwa kita masih memiliki kewajiban kemanusiaan terhadap mereka, atau pun
sebaliknya, yaitu mereka memilki kewajiban kemanusiaan kepada kita, tetapi mereka
bukan merupakan bagian dari skema keadilan distributif kita meski mereka memiliki
hak entlitements dalam teori keadilan global. Kebanyakan, alasan pengeculian bagi
mereka ini sedikit mengada-ada.
Jika kita memfokuskan teori keadilan tersebut bukan hanya sekedar mengkaji
struktur ekonomi semata, yaitu menggerakan perhatiannya lebih jauh terkait perubahan
iklim. Di sini tampak jelas bahwa mereka yang menolak keberadaan teori keadilan
global akan mengatakan, bahwa kita ternyata berbagi ekosistem global yang tunggal,
Diterjemahkan oleh Agung Mazkuriy hwahaha.agung@gmail.com
komunitas kita, dan mungkin bahkan pada pihak lain yang jauh dari komunitas kita.
Dengan demikian, meskipun penghuni pulau terpencil tersebut bukan bagian dari
struktur ekonomi global, mereka tetap akan terkena dampak keputusan berkaitan
dengan ekologi yang kita ambil. Contohnya, jika kita membeli mobil dengan bahan
bakar konvensional atau menggunakan fosil sebagai sumber daya dalam pembangkit
tenaga listrik, tentu akan ada konsekuensi ekologis bagi penghuni pulau tersebut.
Kenyataan yang sering kita dengar dari dampak ekologi atas pemakaian sumber daya
alam yang tidak ramah lingkungan tersebut adalah naiknya permukaan air laut yang
berdampak ekologis bagi ekosistem masyarakat pulau terpencil itu dimana mereka
melangsungkan hidup sehari-hari. Dengan melihat akibat dampak yang muncul, maka
mereka harus dianggap sebagai bagian dari skema keadilan distributif kita juga
bilamana mengacu pada isu-isu ekologis. Penjelasan terkait ekologi ini menunjukkan
kepada kita bahwa keadilan global sangat relevan bagi kita semua tanpa terkecuali
dengan bukti adanya beberapa perbuatan kita berdampak bagi kehidupan orang lain.
Tetapi penganut teori relasional masih saja menuntut tujuan yang lebih spesifik.
Memang, hal demikian itu bisa dikatakan wajar karena penjabaran teori relasional
bertumpu pada sistem kelembagaan, terutama lembaga-lembaga ekonomi global atau
organisasi yang mengatur hal itu. Tujuan institusionalisasi teori keadilan dikarenakan
keberadaan lembaga umum (sosial, politik atau ekonomi) akan membuat perbedaan
sudut pandang sangat mendasar dari sisi normatif. Perlu diingat bersama bahwa kata
'kelembagaan/institusional' mungkin juga bisa digunakan dalam arti yang luas, yaitu
penggabungan antara aturan umum serta pola interaksi yang seharusnya, serta adanya
organisasi yang lebih formal keberadaanya. Dengan demikian, keberadaan ekonomi
global itu sendiri memenuhi syarat sebagai sebuah institusional, tergantung pada
seberapa rinci kita mendefinisikan kata ‘kelembagaann’. Dalam berbagai kasus, prinsip-prinsip keadilan selalu diidentikan dengan sistem kelembagaan, baik lembaga
sosial, politik atau ekonomi, jika sudah demikian, keberadaan kelembagaan dianggap
menentukan apa yang ingin dijangkau keadilan. Jika tidak ada lembaga-lembaga global
yang secara signifikan berkompeten, maka keadilan global tidak akan mencapai
tujuannya. Anggapan umum yang sering berlaku adalah; adanya asumsi bahwasanya
lembaga-lembaga global tidak hanya menyuruh kita untuk bertindak dalam suatu patron
tertentu tanpa memperhatikan aspirasi kita, orang di seluruh dunia sepertinya telah
Diterjemahkan oleh Agung Mazkuriy hwahaha.agung@gmail.com
tersebut, lembaga tersebut minimal haruslah menawarkan sebuah metode keadilan
kepada kita. Secara institusional, prinsip-prinsip keadilan ini, terutama prinsip-prinsip
yang kita angkat ini untuk menilai lembaga-lembaga yang ada, yang mana
keberadaanya kita yakini semestinya untuk memenuhi dan memperjuangkan standar
keadilan tertentu, memperlakukan kita dalam kesetaraan yang sama, atau katakanlah
untuk memastikan bahwa kebutuhan dasar kita sebisa mungkin terpenuhi.
Maka fakta empiris teori relasional tersebut dalam dunia kontemporer sangat
jelas memiliki signifikansi terhadap teori keadilan global. Kenyataannya, beberapa
fakta tersebut sepertinya telah mentakdirkan bahwa keadilan distributif telah bisa
diterapkan dan memberi kita alasan untuk menggapai cita-cita keadilan global itu.
Sepertinya, globalisasi telah secara fundamental mengubah ranah normatif tersebut
demi mewujudkan prinsip keadilan distributif global dimana sebelumnya tidak ada.
Teori yang berdasarkan pemikiran bahwa komunitas masyarakat pada dasarnya
independen dan mandiri dari komunitas lain sebagaimana pandangan-pandangan teori
politik klasik, sekarang ini haruslah dianggap sebagai teori yang tak sesuai perubahan
zaman.
1.3.1.1. Pandangan Pogge terkait tatanan institusional global
Gagasan Tomas Pogge mengenai ‘tatanan’ tersebut ditulis dalam bukunya berjudul World Poverty and Human Rights (Pogge 2002 ). Titik tolak dari argumentasi
Pogge adalah klaim relasional sekarang ini yang terdapat dalam ‘tatanan institusi’
ditingkat global. ‘Tatanan’ tersebut sebagian dilakukan oleh institusi formal seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), Organisasi Perdagangan Dunia
(WTO), PBB dan sebagainya. Tetapi juga terdapat pada lembaga-lembaga semi formal,
seperti ketentuan perdagangan internasional dan konvensi yang mengatur cara-cara
yang berhubungan dengan transaksi jual beli sumber daya alam (lihat bagian ke-5).
Jika pertimbangan pertama Pogge adalah bentuk ‘tatanan’ didalam tatanan kelembagaan ditingkat global, maka pertimbangannya yang kedua adalah perintah
kelembagaan tersebut dimaksudkan untuk menekan beberapa pihak. Lebih jelasnya,
adanya ‘maksud terselubung’ dari perintah institusional tersebut … berupa perintah demi menguntungkan pihak tertentu dan menekan pihak yang tertentu tak beruntung
(2002:199). Maka, kelompok negara yang diuntungkan bisa menikmati posisi lebih
menguntungkan untuk menentukan pola interaksi ekonomi global, membuat perjanjian
Diterjemahkan oleh Agung Mazkuriy hwahaha.agung@gmail.com
kuatnya daya tawar mereka didalam organisasi seperti WTO. Sebagai contoh, mereka
memberi subsidi begitu besar untuk industri pertanian mereka, dan pada saat yang sama
memasang tarif bea impor atas barang-barang yang diproduksi oleh negara-negara
miskin (2002:18). Praktek seperti ini secara efektif mengunci negara-negara miskin
dalam posisi merugikan secara terus-menerus dan mereka merasa sangat sulit untuk
keluar dari kondisi ini. Secara moralitas, kita seharusnya tidak hanya memaksakan
perintah kelembagaan tanpa melihat konsekuensi yang ditimbulkan. Maka, dari sudut
pandang keadilan distributif, kita memiliki semacam kewajiban untuk memastikan tata
kelola kelembagaan global tersebut keberadaannya untuk mencapai kondisi tertentu
yang lebih baik. Pogge mengungkapkan kegelisahannya melihat kondisi ini dalam
perspektif hak asasi manusia. Pogge ingin menyuarakan bahwa kita telah bertindak
tidak adil ketika kita memaksakan suatu perintah pada orang-orang itu yang mana
perintah tersebut justru menjauhkannya dari mendapat hak-hak asasinya.
Pertimbangan ketiga oleh Pogge yaitu kemiskinan yang ada sekarang ini
dihasilkan oleh ‘tatanan’ dari adanya perintah kelembagaan tersebut. Perintah istitusional yang menekan dan merugikan pihak tertentu seharusnya dihindari, dihindari
dalam arti adanya alternatif pilihan lain yang lebih manusiawi bagi pihak/negara
tersebut untuk memilih, agar 'kemiskinan yang parah dan meluas seperti sekarang tidak
terjadi' (2002:199). Fakta dari survei tentang kemiskinan seperti disebutkan di awal bab
ini boleh jadi untuk dipertanyakan prosesnya. Kita tidak boleh tertipu oleh angka-angka
yang ditulis dalam statistik kemiskinan itu. Lebih lanjut, Menurut Pogge bahwa ada
banyak sekali negara kaya di dunia dewasa ini, tetapi hanya 1 persen saja dari total
pendapatan global yang tersalurkan kepada negara-negara miskin guna dialokasikan
memerangi kemiskinan, sebagaimana yang diungkapkan Bank Dunia (2002:2).
Ketidakmampuan mendistribusikan sumber dayalah yang menjadi penyebab
kemiskinan, dan ada berbagai macam hal yang bisa kita lakukan untuk mengurangi
penyebab dalam melanggengkan kemiskinan. Umpamanya, kita bisa berhenti memberi
subsidi untuk petani kita, atau menahan melakukan posisi nilai daya tawar dalam WTO
agar memungkinkannya kondisi yang lebih adil dalam dunia perdagangan dalam
memperbaiki kondisi global (lihat bab 6). Itulah cara lain demi untuk meredam bencana
kemiskinan bagi masyarakat rentan di dunia lebih parah. Jika bersikukuh tetap
menolak alternatif ini, sama saja kita secara sengaja melanggar hak asasi masyarakat
Diterjemahkan oleh Agung Mazkuriy hwahaha.agung@gmail.com
Jelas sudah segi perbedaan yang kita bahas di bagian 1.2.2, Argumentasi Pogge
adalah adanya kewajiban negatif dalam diri kita. Meskipun tampaknya dia juga percaya
bahwa kita juga memiliki kewajiban positif untuk membantu orang miskin di dunia,
Argumentasinya tidak sepenuhnya menjelaskan apakah dia percaya bahwa kewajiban
itu termasuk bentuk tugas keadilan (Gilabert 2005). Tapi patut diapresiasi bahwa Pogge
sangat berkomitmen untuk memaparkan panjang lebar kepada kita meski hanya sejauh
kemauan penerimaan kita terhadap kewajiban negatif saja kepada semua orang. Apa
yang disampaikan dia terkait kewajiban negatif dalam diri kita seharusnya sudah lebih
dari cukup untuk membuat kita sangat gelisah atas keterlibatan kita dalam
mereproduksi kemiskinan global. Dikarenakan fokus Pogge hanya pada kewajiban
negatif, lalu apakah kewajiban negatif sebagaimana dia percayai bisa memastikan
bahwa kita telah melakukan pelanggaran atau tidak dalam interaksi dengan masyarakat
miskin dunia? Perumusan paling tepat oleh Pogge terkait relevansi kewajiban negatif
atas kewajiban keadilan distributif adalah; 'seorang seharusnya tidak bekerja sama
dalam suatu tatanan kelembagaan yang koersif sehingga bisa dihindari adanya
pengabaian pemenuhan hak-hak asasi manusia tanpa harus melakukan upaya berupa
tindakan membantu korban dan upaya untuk mempromosikan reformasi kelembagaan'
(Pogge 2002:170). Menurut Pogge lagi, sebagaimana telah kita lihat, tatanan
kelembagaan global memang telah membiarkan sebagian manusia tidak terpenuhi
hak-hak asasinya. Begitu banyak orang memiliki akses sulit akan bahan pangan bergizi, air
bersih dan sebagainya, kondisi tak mengenakan ini harusnya bisa dihindari jika
negara-negara maju mau bertindak lebih bijak ketika mereka menegosiasikan aturan-aturan
perdagangan internasional di WTO, umpamanya. Maka tindakan tak melakukan hal
diatas tadi oleh negara-negara maju tersebut bisa mengurangi atau meminimalisir
kondisi terabaikannya pemenuhan hak-hak asasi manusia. Ironisnya, negara-negara
maju itu belum menunjukkan kemauan politik untuk melakukannya, tapi mereka harus
melakukan itu. Warga negara masing-masing negara maju seharusnya juga melobi
pemerintah mereka agar pemerintah mereka beritikad baik memenuhi kewajiban
tersebut. Sebagaimana Pogge katakan, 'kekuatan moral global hak asasi manusia bisa
ditegakan hanya melalui munculnya suatu tatanan kelembagaan ditingkat global
(2002:71). Karena ‘maksud terselubung’ ini masih ada, kita perlu memastikan bahwa setiap interaksi kita dengan orang lain di dunia ini setidaknya harus memenuhi rasa
Diterjemahkan oleh Agung Mazkuriy hwahaha.agung@gmail.com
relasional ini telah menjelaskan urgensi apa yang dilihat sebagai kewajiban (negatif)
atas keadilan global kita.
1.3.2.Pendekatan non-relasional
Bertolak belakang dengan pendekatan relasional, pendekatan non-relasional
berpendapat bahwa manusia memiliki hak hanya karena dia telah terlahir sebagai
manusia, dan hak itu bukan timbul karena manusia telah bersekutu dalam kelembagaan
tertentu. Teori non-relasional menekankan bahwa nilai-nilai kemanusiaan atau
martabatnya sudah sepatutnya dihormati dan penegakan nilai-nilai tersebut akan
berdampak pada efektifitas keadilan distributif. Diskursus hak asasi manusia dewasa ini
cenderung menekankan pada bentuk klaim bahwa manusia sejak lahir telah dikaruniai
hak-hak asasi tertentu yang tak bisa diganggu gugat oleh apapun dan siapapun. Hak-hak
seperti ini oleh beberapa teori yang mengupas tentang hak asasi manusia juga diakui
meski tidak tertulis dalam peraturan kelembagaan global. Teori ini berkebalikan dengan
argumentasi Pogge, yang mana teori non-relasional ini tidak menganggap fakta-fakta
relasional antar manusia sebagai acuan adanya standar keadilan sebagai relevansi.
Meski bisa saja keliru, memang ada beberapa hal yang tak berkorelasi dengan hak asasi
manusia dalam dunia yang meng-global dewasa ini, dan peluang keliru lebih besar lagi,
jikalau dunia belum sampai pada taraf globalisasi seperti sekarang ini. Ini adalah fakta
kemanusiaan kita yang telah menciptakan hak dan kewajiban keadilan (Perlu diingat,
meskipun teori non-relasional yang mengacu pada umat manusia sebagai mahluk yang
otonom bukan berarti argumentasi teori non-relasional terkait keadilan global sama
seperti teori relasional, meski keberadaan kedua teori tersebut guna membenarkan
adanya suatu kewajiban dengan menjadikan nilai-nilai kemanusiaan sebagai dasar
pijakan teori keadilan distributif global. Para penganut teori keadilan distributif global
menggunakan skema berpikir seperti ini untuk memperdebatkan bagaimana bentuk
kewajibannya dan metode pelaksanaan keadilan tersebut).
Beberapa kritik dialamatkan kepada teori non-relasional ini yang mana
argumentasinya sedikit mengabaikan realita jalannya kehidupan dunia. Setidaknya
ketika teori non-relasional tersebut dibenturkan pada kewajiban positif. Bayangkan saja
jika kehidupan dunia dibagi menjadi dua komunitas masyarakat yang terpisah, dimana
dua komunitas tersebut tidak saling mengenal keberadaan satu sama lain. Bayangkan
juga jika kehidupan dua komunitas tersebut sangat berbeda. Komunitas masyarakat
Diterjemahkan oleh Agung Mazkuriy hwahaha.agung@gmail.com
akses berlibur; penduduknya mudah sekali memilih buah-buahan berkualitas dan
bergizi, atau mudahnya akses atas air bersih untuk pemenuhan kehidupan sehari-hari.
Sedang kehidupan masyarakat kedua jauh lebih sulit dalam mejalani kehidupannya;
kekurangan bahan makanan bergizi, iklim yang tak bisa diprediksi, dan susahnya untuk
memnuhi kebutuhan air bagi kehidupan sehari-hari karena medan lokasi sumber air
yang sulit. Apa kita cuma akan bilang; kesenjangan yang terjadi di masyarakat tidak
adil? Bukankah masyarakat yang lebih beruntung kehidupannya memiliki sebuah
kewajiban positif untuk mengurangi kesenjangan tersebut meski mereka mungkin tidak
mampu bertindak yang berdampak langsung bagi kehidupan mereka? Teori
non-relasional seharusnya concerns terhadap kesenjangan sebagai bahasan awal teori
(meskipun toh dalam hemat saya tak akan memiliki dampak apapun terhadap keadilan
global; dalam arti tidak bisa dipraktekkan saat ini karena adanya anggapan dasar bahwa
kondisi sekarang ini sudah benar). Anehnya, uraian teori non-relasional menganggap
penyimpulan dari pendapat teori relasional tidak masuk akal, meski secara intuitif
mereka juga mengatakan ketidaksetaraan adalah bentuk ketidakadilan. Bagi teori
non-relasional, bersandar pada nilai-nilai kemanusiaan dan perlindungan martabat manusia
sudah cukup sebagai titik tolak guna menggugah kepedulian terhadap keadilan
distributif. Faktanya, teori non-relasional sangatlah sulit dijadikan pijakan dalam
berbuat sesuatu terkait tindakan yang menipu kita hanya karena situasi ini telah
terkondisikan, dan tidak cuma sekali saja menipu kita.
Bagi para pengikut Evangelis, pendekatan non-relasional kadang-kadang
diujarkan sebagaimana diatas andai mereka mampu menyadari akan hal itu, sedangkan
penganut teori politik kontemporer begitu berkomitmen pada pandangan yang global
seperti itu pula. Sedangkan teori liberalisme dan sosialisme cenderung berpendapat
bahwa semua warga negara tanpa memandang jenis kelamin, etnis atau status sosial
harus diperlakukan sama karena mereka memiliki sifat alamiah yang sama, atau dengan
melihat dari kemampuannya untuk hidup mandiri. Argumen-argumen diatas begitu
standar dalam teori politik serta memiliki banyak penguat normatif. Teori seperti itu
juga memiliki kecenderungan 'lupa' atau mengabaikan fakta-fakta bahwa kita semua
adalah manusia dengan kapasitas yang sama untuk bertindak otonom atau
rasionalitistis, dan bukan hanya bertindak kepada sesama warga kita. Tapi secara logis,
klaim-klaim standar tersebut jelas masih berlaku umum.