• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENTINGNYA QUANTITATIVE REASONING (QR) DALAM PROBLEM SOLVING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENTINGNYA QUANTITATIVE REASONING (QR) DALAM PROBLEM SOLVING"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

PENTINGNYA QUANTITATIVE REASONING (QR)

DALAM PROBLEM SOLVING

Agustinus Sroyer

Program Studi Pendidikan Matematika PMIPA FKIP Uncen Jl. Raya Sentani Abepura Jayapura, e-mail: sroyera@yahoo.co.id

Abstrak

Quantitative Reasoning (QR) atau Penalaran Kuantitatif merupakan suatu penalaran yang menekankan suatu penarikan kesimpulan berdasarkan data-data atau informasi kuantitatif. Penalaran ini sangat penting karena sangat baik untuk menyelesaikan soal-soal problem solving. Diharapkan, penalaran ini menjadi salah satu pilihan karena dapat meningkatkan daya nalar siswa.

Keywords: penalaran, penalaran kuantitatif, informasi kuantitatif, problem solving

PENDAHULUAN

Menurut National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) (tahun 2000), tujuan pembelajaran matematika adalah mengembangkan kemampuan: komunikasi matematis, penalaran matematis, problem solving matematis, koneksi matematis, dan representasi matematis. Lebih lanjut menurut NCTM, salah satu keterampilan matematika yang perlu dikuasai siswa adalah kemampuan problem solving matematis. Standar problem solving NCTM, menetapkan bahwa program pembelajaran dari pra-taman kanak-kanak sampai kelas 12 harus memungkinkan siswa untuk: membangun pengetahuan matematika baru melalui problem solving; memecahkan masalah yang muncul di dalam matematika dan di dalam konteks-konteks yang lain; menerapkan dan menyesuaikan bermacam-macam strategi yang sesuai untuk memecahkan masalah; dan memonitor dan merefleksikan proses dari problem solving matematis.

Penelitian dari Wahyudin (1999) mengungkapkan bahwa hasil belajar matematika dalam hal penalaran belum menggembirakan karena siswa kurang menggunakan penalaran yang logis dalam menyelesaikan masalah matematika.

Pentingnya problem solving juga ditegaskan dalam NCTM (2000: 52) yang menyatakan bahwa problem solving merupakan bagian integral dalam pembelajaran matematika. Seperti yang dikemukakan Ruseffendi (1991) bahwa kemampuan pemecahan masalah amatlah penting dalam matematika, bukan saja bagi mereka yang di kemudian hari akan mendalami atau mempelajari matematika, melainkan juga bagi mereka yang akan menerapkannya dalam bidang studi lain dan dalam kehidupan sehari-hari.

Seperti kita ketahui bersama bahwa kenyataan di lapangan pada umumnya belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal tersebut dapat dilihat dari pembelajaran matematika masih cenderung berorientasi pada buku teks; guru matematika masih menggunakan cara konvensional seperti: menyajikan materi pembelajaran, memberikan contoh-contoh soal dan meminta siswa mengerjakan soal-soal latihan yang terdapat dalam buku teks yang mereka gunakan dalam

(2)

mengajar dan kemudian membahasnya bersama siswa. Pembelajaran seperti ini tentunya kurang dapat mengembangkan kemampuan penalaran dan problem solving matematis siswa. Siswa hanya dapat mengerjakan soal-soal matematika berdasarkan apa yang dicontohkan guru, jika diberikan soal yang berbeda mereka akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikannya.

Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengkaji tipe-tipe soal yang berkaitan dengan penalaran kuantitatif (QR). Diharapkan, soal-soal yang berkaitan dengan QR dapat diberi dan dilatih kepada siswa agar kemampuan bernalar secara kuantitatif menjadi lebih baik.

PEMBAHASAN

1. Penalaran Kuantitatif (QR)

Penalaran merupakan proses berpikir dalam proses penarikan kesimpulan (Sumarmo, 2013: 148). Secara garis besar, penalaran dibagi menjadi dua yaitu induktif dan deduktif. Penarikan kesimpulan berdasarkan sejumlah kasus atau contoh terbatas disebut induksi sedangkan penarikan kesimpulan berdasarkan aturan yang disepakati disebut deduksi (Sumarmo, 1987). John Carroll (1993) menyatakan bahwa penalaran kuantitatif sudah ada pada anak usia lima tahun sampai dewasa. Beliau menyimpulkan bahwa ada tiga kemampuan penalaran utama: sekuensial (deduktif), induktif, dan kuantitatif.

QR adalah kemampuan yang dikembangkan dalam pembelajaran matematika untuk menganalisis informasi kuantitatif dan untuk menentukan keterampilan dan prosedur yang dapat diterapkan pada masalah tertentu untuk sampai pada suatu solusi. Oleh karena itu, tidak terbatas pada keterampilan yang diperoleh dalam mata pelajaran matematika, tetapi mencakup kemampuan penalaran yang dikembangkan dari waktu ke waktu melalui praktek di hampir semua program sekolah atau perguruan tinggi, serta dalam kegiatan sehari-hari seperti penganggaran dan pembelanjaan barang.

Penalaran kuantitatif, baik secara umum maupun untuk tujuan penilaian, difokuskan pada problem solving. Hal tersebut meliputi enam kemampuan: membaca dan memahami informasi yang diberikan dalam berbagai bentuk; menafsirkan informasi kuantitatif dan membuat gambaran kesimpulan; problem solving menggunakan aritmatika, aljabar, geometri, atau metode statistik; memperkirakan jawaban dan memeriksa kelayakan; mengkomunikasikan informasi kuantitatif; dan membuat batasan dari metode matematika atau statistik.

NCTM (2000), Asosiasi Matematika Amerika (MAA, 2003), masyarakat matematika Amerika (AMS) (Howe, 1998), dan (Asosiasi Matematika Amerika untuk Diploma Dua [AMATYC], 1995), dalam laporan mereka tentang tujuan pendidikan matematika, semua membahas penalaran kuantitatif sebagai kemampuan yang harus dikembangkan pada semua siswa SMA dan mahasiswa.

(3)

2. Problem Solving

Kemampuan problem solving adalah suatu keterampilan pada diri siswa agar mampu menggunakan kegiatan matematis untuk memecahkan masalah dalam matematika, masalah dalam ilmu lain dan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan pemecahan masalah diperlukan untuk melatih siswa agar terbiasa menghadapi berbagai permasalahan dalam kehidupannya yang semakin kompleks, bukan hanya pada masalah dalam matematika itu sendiri tetapi juga masalah-masalah dalam bidang studi lain dan masalah dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh karena itu, kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah matematis perlu terus dilatih sehingga seseorang itu mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapinya.

3. Tipe-tipe Pertanyaan Penalaran Kuantitatif

Menurut ETS (2010), terdapat 4 tipe pertanyaan untuk mengukur QR yaitu: perbandingan kuantitatif (quantitative comparison), pilihan ganda (multiplechoice-select one), pilihan ganda (multiplechoice-select one or more), dan memasukkan jawaban dalam kotak (numeric entry).

Berikut diberikan beberapa contoh yang berkaitan dengan 4 tipe tersebut.

a). Perbandingan kuantitatif. Pertanyaan ini untuk membandingkan dua kuantitas (A dan B) kemudian menentukan pernyataan mana yang menjelaskan perbandingan.

Contoh: (1). Kuantitas A Kuantitas B 54% dari 360 150

A. Kuantitas A lebih besar. B. Kuantitas B lebih besar. C. Dua kuantitas adalah sama.

D. Hubungan tidak dapat ditentukan dari informasi yang diberikan. (2). Panjang PQ = PR

Kuantitas A Kuantitas B Panjang PS Panjang SR A. Kuantitas A lebih besar.

B. Kuantitas B lebih besar. C. Dua kuantitas adalah sama.

(4)

b). Pilihan ganda satu pilihan. Pertanyaan ini adalah pertanyaan pilihan ganda untuk memilih hanya satu pilihan jawaban dari lima pilihan.

Contoh: (1). Sebuah mobil menghabiskan 1 galon bensin tiap 33 mil, di mana biaya bensin 2,95 dollar per galon. Berapa perkiraan biaya bensin (dalam dollar) yang digunakan dalam mengendarai mobil sejauh 350 mil?

A. $10 B. $20 C. $30 D. $40 E. $50

(2).Sebuah kantong berisi 60 jelly kacang-22 putih, 18 hijau, 11 kuning, 5 merah, dan 4 ungu. Jika jelly kacang dipilih secara acak, berapakah probabilitas bahwa jelly kacang bukan merah atau ungu?

A. 0,09 B. 0,15 C. 0,54 D. 0,85 E. 0,91

c). Pilihan ganda beberapa pilihan. Pertanyaan ini adalah pertanyaan pilihan ganda untuk memilih satu atau lebih pilihan jawaban dari daftar pilihan.

Contoh: (1). Manakah dari bilangan bulat berikut kelipatan 2 dan 3? Tunjukkan semua bilangan bulat tersebut. A. 8 B. 9 C. 12 D. 18 E. 21 F. 36

(2). Yang mana dari bilangan-bilangan berikut mempunyai hasil kali yang lebih besar dari 60?

A. -9 B. -7 C. 6 D. 8

(5)

d). Memasukkan jawaban dalam kotak. Pertanyaan ini untuk memasukkan jawaban berupa integer atau desimal atau pecahan.

Contoh: (1). Satu pena seharga 0,25 dollar dan satu spidol seharga 0,35 dollar. Berapa biaya total 18 pena dan 100 spidol?

(2). Persegi panjang R memiliki panjang 30 dan lebar 10, dan persegi S memiliki panjang 5. Berapa keliling S dari keliling R?

Selain keempat tipe tersebut, terdapat satu tipe QR yang menggambarkan QR secara umum yaitu menginterpretasikan data. Maksud dari menginterpretasikan data adalah dengan merujuk pada tabel, grafik, atau presentasi data lainnya. Pertanyaan-pertanyaan ini meminta kita untuk menafsirkan atau menganalisis data yang diberikan. Jenis-jenis pertanyaan mungkin pilihan ganda (bisa 1 pilihan atau beberapa pilihan).

(6)

SIMPULAN DAN SARAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa problem solving dalam matematika merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari penalaran atau QR. Dengan kata lain, jika seseorang mempunyai daya nalar yang baik maka kemungkinan untuk menyelesaikan/memecahkan suatu masalah dalam matematika menjadi mudah. QR juga sangat perlu dikembangkan dari usia Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi.

Penalaran Kuantitatif (QR) merupakan suatu bentuk penalaran yang sangat berguna dalam pembelajaran matematika karena melalui penalaran ini siswa dapat mengembangkan kemampuan mereka masing-masing melalui informasi kuantitatif (berhubungan dengan angka/bilangan) yang diberikan. Pertanyaan/Soal-soal QR yang bervariasi sangat berguna untuk melatih cara berpikir siswa. Gurupun diharapkan mengajukan soal-soal yang berhubungan dengan problem solving sehingga siswa menjadi terbiasa untuk memecahkan masalah, baik masalah matematika maupun masalah dalam kehidupan sehari-hari. Materi pembelajaran yang merujuk kepada pembelajaran konvensional harus segera ditinggalkan.

DAFTAR PUSTAKA

American Mathematical Association of Two-Year Colleges. (1995). Crossroads in mathematics: Standards for introductory college mathematics before calculus. Retrieved October 15, 2002, from http://www.imacc.org/standards/

Carroll, J. B. (1993). Human cognitive abilities: A survey of factor-analytic studies. Cambridge, England: Cambridge University Press.

Dwyer, C. A., Gallagher, A., Levin, J., & Morley, M. E. (2003). What is Quantitative Reasoning? Defining the Construct for Assessment Purposes. Pricenton, NJ: Educational Testing Service.

Educational Testing Service (ETS). (2010). Introduction to the Quantitative Reasoning Measure. United States.

(7)

Howe, R. (1998). The AMS and mathematics education: The revision of the “NCTM standards.” Notices of the AMS, 45(2), 243-247.

Mathematical Association of America (MAA). (2003). Guidelines for programs and departments in undergraduate mathematical sciences. Washington, DC: Author.

National Council of Teachers of Mathematics. (2000). Principles and standards for school mathematics. Reston, VA: Author.

Ruseffendi, E. T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Sumarmo, U. (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa dikaitkan dengan Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasi pada PPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Sumarmo, U. (2013). Berpikir dan Disposisi Matematik serta Pembelajarannya: Kumpulan Makalah. Jurusan Pendidikan Matematika, UPI, Bandung.

Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, dan Siswa dalam Mata Pelajaran Matematika. Disertasi pada PPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.

(8)

MENINGKATKAN KEMAMPUAN REPRESENTASI DAN PENALARAN

MATEMATIS SISWA SMP MELALUI PENDIDIKAN MATEMATIKA

REALISTIK

Sakrani

Jurusan Pendidikan Matematika SPs UPI

Jl. Setia Budhi, Bandung. Email: sakrani.sukro@gmail.com

ABSTRAK

Makalah ini mengkaji pembelajaran matematika dengan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik(PMR) dalam meningkatkan kemampuan representasi dan penalaran matematis siswa. PMR menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana matematika harus diajarkan. Pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR mangacu pada pendapat Fruedhental yang mengatakan bahwa “Proses belajar siswa akan terjadi ketika pengetahuan yang sedang dipelajari menjadi bermakna (meaningful) bagi siswa. Karakteristik pendidikan matematika realistik meliputi: (1) penggunaan konteks; (2) penggunaan model untuk matematisasi progresif; (3) pemanfaatan hasil konstruksi siswa; (4) interaktivitas; (5) keterkaitan. Dalam hal ini kemampuan representasi matematis siswa meliputi: representasi visual, simbolik dan verbal. Sedangkan kemampuan penalaran dapat digolongkan menjadi dua jenis yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif.

Kata kunci: Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik(PMR), kemampuan representasi, dan kemampuan penalaran.

PENDAHULUAN

Matematika merupakan ilmu yang kaya dan menarik, karena banyak materi matematika yang bisa dikaitkan dengan kehidupan nyata, sehingga memungkinkan banyak hal yang bisa dieksplorasi dan diinteraksikan dengan siswa. Namum pada saat pembelajaran interaksi matematika yang sering terjadi hanyalah pemberian informasi berupa penjelasan definisi, penjelasan contoh dan pemberian latihan kepada siswa, sehingga siswa tidak dijadikan sebagai subjek pembelajaran.

Hal tersebut juga diungkapkan oleh Russefendi menyatakan bahwa bagian terbesar dari matematika yang dipelajari siswa di sekolah tidak diperoleh melalui eksplorasi matematika, tetapi melalui pemberitahuan. Pembelajaran yang demikian membuat siswa kurang aktif karena kurang memberi peluang kepada siswa untuk lebih banyak berinteraksi dengan sesama dan dapat membuat siswa memandang matematika sebagai suatu kumpulan aturan dan latihan yang dapat berujung pada rasa bosan dan bingung saat diberikan soal yang berbeda dengan soal latihan.

Berdasarkan pedoman penyusunan KTSP Depdiknas (2006 : 36) tujuan dari pembelajaran matematika meliputi: memahami konsep, menggunakan penalaran, memecahkan masalah, mengkomunikasikan gagasan dan memiliki sikap menghargai terhadap matematika.

Rumusan tujuan pembelajaran matematika dipertegas lagi dalam National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 2000) yaitu belajar untuk berkomunikasi (mathematical

(9)

communication), belajar untuk bernalar (mathematical reasoning), belajar untuk memecahkan masalah (mathematical problem solving), belajar untuk mengaitkan ide (mathematical connection), belajar untuk merepresentasikan ide-ide (mathematical representation).

Dari tujuan pembelajaran yang tercantum baik di KTSP dan NCTM maka kelima tujuan pembelajaran harus mampu dihadirkan setelah melakukan pembelajaran matematika. Dalam makalah ini penulis memilih dua dari lima tujuan pembelajaran matematika yang perlu dihadirkan yaitu kemampuan representasi dan penalaran matematis. Kedua tujuan pembelajaran tersebut juga memeberikan peranan penting dalam mencapai hasil belajar matematika yang optimal.

Kemampuan representasi matematis untuk dimiliki oleh siswa, karena sangat membantu siswa dalam memahami konsep matematis berupa gambar, simbol, dan kata-kata tertulis. Penggunaan representasi yang benar oleh siswa akan membantu siswa menjadikan gagasan-gagasan matematis menjadi lebih konkrit.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hudiono (Indah Widiati, 2012) menyatakan bahwa kemampuan representasi matematis yang masih lemah adalah aspek visual. Sementara itu hasil yang berbeda ditunjukkan melalui penelitian yang dilakukan oleh Pujiastuti (2008) hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sebagian besar siswa lemah dalam menyatakan ide atau gagasannya melalui kata-kata atau teks tertulis, ini artinya salah satu aspek representasi yang kurang berkembang adalah aspek verbal.

Sedangkan kemampuan penalaran merupakan kemampuan untuk menarik kesimpulan berdasarkan fakta dan sumber yang relevan. Materi matematika dan penalaran matematis merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu matematika dipahami melalui penalaran, dan penalaran dilatih melalui belajar matematika (Depdiknas).

Meskipun kemampuan representasi matematis salah satu kemampuan yang harus dimiliki siswa setelah pembelajaran matematika, akan tetapi pelaksanaannya bukan merupakan hal yang mudah. Keterbatasan pengetahuan guru dan kebiasaan siswa belajar dengan cara pembelajaran matematika biasa belum memungkinkan mengembangkan kemampuan representasi secara optimal. Hal tersebut dikarenakan siswa cendrung meniru langkah guru, siswa kurang diberikan kesempatan untuk menghadirkan kemampuan representasinya yang dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dalam pembelajaran matematika.

Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh Partini dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan penalaran matematis yang merupakan salah satu kompetensi yang diharapkan dalam KTSP, secara keseluruhan belum mencapai hasil yang memuaskan. Indikatornya ditunjukkan oleh hasil studi tentang kemampuan penalaran matematis pada siswa SMA ditemukan bahwa baik secara keseluruhan maupun dikelompokkan menurut tahap kognitif siswa, kemampuan siswa dalam penalaran matematis masih kurang memuaskan.

(10)

Sesuai dengan amanat KTSP, pembelajaran yang dianjurkan sejalan dengan teori belajar konstruktivisme. Menurut Pusat Perkembangan Kurikulum Kementrian Pendidikan Malaysia, konstruktivisme merupakan teori belajar yang berpusat pada siswa artinya pengetahuan dibina sendiri oleh siswa secara aktif berdasarkan pengetahuan yang ada. Bertitik tolak dari itu maka pengetahuan dibina secara aktif oleh siswa, siswa tidak menyerap secara pasif pengetahuan yang disampaikan oleh guru, siswa menyesuaikan sebarang pengetahuan dengan pengetahuan yang ada untuk membentuk pengetahuan baru sehingga bermuara pada pembelajaran bermakna.

Oleh sebab itu diperlukan model atau pendekatan pembelajaran yang dapat memfasilitasi siswa untuk berperan aktif, menarik dan menantang siswa untuk berfikir sehingga berpengaruh terhadap kemampuan siswa dalam merepresentasi dan menggunakan penalaran dalam memahami materi pada saat pembelajaran berlangsung. Dengan penggunaan model atau pendekatan pembelajaran yang tepat maka materi pelajaran yang disampaikan dapat dengan mudah dimengerti oleh siswa dan diharapkan terjadi pembelajaran yang optimal.

PMR merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada siswa. Karena PMR memiliki karakteristik dan prinsip yang memungkinkan siswa dapat berkembang secara optimal, seperti kebebasan siswa untuk menyampaikan pendapatnya, adanya masalah konstektual yang dapat mengaitkan konsep matematika dengan kehidupan nyata. Menurut Russefendi (2004), alasan digunakannya pendekatan matematika realistik di sekolah karena matematika dapat digunakan diberbagai keadaan, digunakan oleh setiap manusia pada setiap kegiatan baik pola pikir maupun matematika itu sendiri, dan siswa yang bersekolah itu mempunyai kemampuan beragam.

LANDASAN TEORI A. Representasi Matematis

Dalam psikologi umum representasi berarti proses membuat model konkrit dalam dunia nyata ke dalam konsep abstrak atau simbol. NCTM mengemukakan representasi yang dimunculkan oleh siswa merupakan ungkapan-ungkapan dari gagasan-gagasan atau ide-ide matematis yang ditampilkan siswa dalam upayanya untuk mencari suatu solusi dari masalah yang sedang dihadapinya.

Terkait dengan kemampuan representasi matematis Sternberg, (2008 : 217) mengemukakan bahwa ada dua jenis representasi yaitu representasi eksternal dan internal. Representasi eksternal terdiri dari simbol, kaidah (ketentuan), dan diagram yang digunakan siswa untuk menyatakan definisi. Sedangkan representasi internal, berhubungan secara individu, membangun psikologi, dan penetapan sebuah definisi.

Lesh, Post, dan Bohr (Indah Widiati, 2012) menyatakan bahwa terdapat lima representasi yang digunakan dalam pendidikan matematika yang terdiri dari (1) representasi objek dunia nyata (2) representasi konkrit (3) representasi simbol aritmatik (4) representasi bahasa dalam

(11)

berbicara (5) representasi gambar dan grafik. Di antara kelima representasi tersebut, tiga representasi yang terakhir lebih abstrak dan level representasinya lebih tinggi.

B. Kemampuan Penalaran

Menurut Kreaf (Sukirwan, 2008: 32) istilah penalaran merupakan proses berfikir yang berusaha menghubung-hubungkan fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang diketahui menuju kesimpulan. Tim PPPG matematika (2005) menyatakan bahwa penalaran adalah suatu proses atau aktivitas berfikir untuk menarik kesimpulan atau membuat pernyataan baru yang benar berdasarkan pada pernyataan yang telah dibuktikan (diasumsikan) kebenarannya. Sejalan dengan itu, penalaran itu sendiri merupakan proses berfikir untuk menarik kesimpulan berupa pengetahuan dengan menggunakan logika tertentu berdasarkan informasi yang diberikan. Sebagai bukti kebenaran dari kesimpulan tersebut seorang siswa harus memberikan argument atau alasan yang logis.

Selama mempelajari matematika di kelas, aplikasi penalaran seringkali ditemukan meskipun tidak secara formal disebut sebagai belajar bernalar. Misalnya:

Sumarmo (2010) mengatakan bahwa secara garis besar penalaran dapat digolongkan dalam dua jenis yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif diartikan sebagai penarikan kesimpulan yang bersifat umum atau khusus berdasarkan data yang teramati. Nilai kebenaran dalam penalaran induktif dapat bersifat benar atau salah. Beberapa kegiatan yang tergolong pada penalaran induktif di antaranya adalah:

1. Transduktif: menarik kesimpulan dari satu kasus atau sifat khusus yang satu diterapkan pada kasus khusus yang lainnya. Contoh: segitiga ABC siku-siku di A berlaku BC2 = AC2 + AB2.

2. Analogi: penarikan kesimpulan berdasarkan keserupaan data atau proses.

Untuk menentukan hasil dari 5 X 9, berdasarkan pengetahuan yang sudah dimilikinya para siswa yaitu (5 X 10 ) – 5, maka para siswa diharapkan dapat menyimpulkan 5 X 9 adalah sama dengan 50 – 5 atau sama dengan 45.

Dari Jakarta ke Bandung ada dua rute bis, dan dari Bandung ke Semarang ada tiga rute bis. Relasi antara banyaknya rute bis dari Jakarta ke Semarang melalui Bandung dengan bilangan 6.

Relasi antara banyaknya pasangan celana panjang (warna putih, biru, hitam) dan kemeja (warna kuning dan merah) dengan bilangan: a. 2 c. 5 e. 8 b. 3 d. 6

Serupa dengan

(12)

3. Generalisasi: penarikan kesimpulan umum berdasarkan sejumlah data yang teramati. Contoh soal

Berdasarkan gambar di atas, terdapat pola 1, pola 2, pola 3, dan pola 4. Tentukanlah pola ke-n dari gambar di atas.

4. Menggunakan pola hubungan untuk menaganalisis situasi, dan menyusun konjektur. Contoh soal: berdasarkan gambar pada soal c) tentukanlah pola ke tujuh dari gambar di atas.

5. Memperkirakan jawaban, solusi, kevendrungan, interpolasi dan ekstrapolasi. Contoh soal: berdasarkan laporan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) Kabupaten Bima, dikabupaten Bima tercatat 200 siswa sekolah menengah yang putus. Diantaranya 150 siswa disebabkan oleh ekonomi, 30 siswa disebabkan oleh narkoba, serta sisanya disebabkan oleh faktor lain. Berapakah peluang bahwa siswa tersebut putus sekolah bukan karena faktor ekonomi?

6. Memberikan penjelasan terhadap model, fakta, sifat hubungan, atau pola yang ada. Contoh soal: sebuah kolam renang memliki panjang 50 m, lebar 20 m, dan kedalaman 3 m. Andi ingin mengisi kolam hingga penuh dalam waktu 20 hari? Berikan alasan.

Penalaran deduktif adalah penarikan kesimpulan berdasarkan aturan yang disepakati. Nilai kebenaran dalam penalaran deduktif bersifat mutlak benar atau salah tidak bisa sekaligus keduanya. Beberapa kegiatan yang tergolong pada penalaran deduktif diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Melaksanakan perhitungan berdasarkan aturan atau rumus tertentu

2. Menarik kesimpulan logis berdasarkan aturan inferensi, memeriksa validitas argument, membuktikan dan menyusun agumen yang valid. Contoh soal: seseorang hendak berpergian dari kota A menuju kota C melalui kota P atau kota Q. dari kota A ke kota Q ada 2 jalan dan dari kota Q ke kota C ada 5 jalan. Dari kota P ke kota Q atau sebaliknya tidak ada jalan. Berapa banyak cara yang dapat ditempuh untuk berpergian dari kota A menuju kota C?

3. Menyusun pembuktian langsung, pembuktian tidak langsung dan pembuktian dengan induksi matematika

(13)

Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR) merupakan salah satu teori belajar mengajar dalam pendidikan matematika. Teori PMR pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun 1970an oleh sekelompok ahli matematika dari Institut Freudentahl dengan berlandaskan pada filosofi matematika sebagai aktivitas manusia “mathematics as human activity” yang dicetuskan oleh Hans Freudhental (Ariyadi Wijaya, 2012). Teori ini mengacu pada pendapat Freudhental yang mengatakan bahwa “Proses belajar siswa akan terjadi ketika pengetahuan yang sedang dipelajari bermakna (meaningful) bagi siswa Freudentahl & CORD. Suatu pengetahuan akan menjadi bermakna bagi siswa jika proses belajar melibatkan masalah realistik atau dilaksanakan dalam dan dengan suatu konteks. (NCTM: 2000).

Secara umum menurut Treffers (Ariyadi Wijaya, 2012) menyebutkan lima karakteristik dari pembelajaran matematika realistik, yaitu: penggunaan konteks, penggunaan model untuk matematisasi progresif, pemanfaatan hasil konstruksi siswa, interaktivitas, dan keterkaitan.

Karakteristik yang pertama mengemukakan pentingnya menggunakan kontek. Kontek memainkan peranan penting dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR, konteks atau permasalahan realistik digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika. Konteks tidak harus berupa masalah dunia nyata namun bisa juga sesuatu yang bisa dibayangkan siswa. Konteks terbagi dalam tiga jenis (De Lange dalam Jarnawi 2011) yakni kontek orde satu, kontek orde dua, kontek orde tiga. Kontek orde satu berbentuk terjemahan dari soal-soal matematika dalam bentuk teks. Sebagai contoh:

Konteks orde dua memberikan kesempatan pada siswa untuk melakukan proses matematika. Sebagai contoh:

Konteks orde tiga memberikan kesempatan pada siswa untuk menemukan konsep maupun algoritma dalam matematika. Sebagai contoh:

Karakteristik yang kedua mengemukakan tentang pentingnya menggunakan model dalam menyelesaikan masalah matematika. Dalam pendidikan matematika realistik, model digunakan

Tentukan volume bak mandi yang berbentuk balok dengan ukuran panjang 60 cm, lebar 50 cm, dan tinggi 50 cm

Misalkan diketahui kapasitas bis yang akan dipakai untuk karyawisata SD A berkapasitas 40 penumpang. Jika pada saat karyawisata tersebut digunakan 4 bis siswa terisi penuh, berapa banyak siswa yang mengikuti karyawisata tersebut?

Dalam suatu pertemuan warga RT 05 setiap orang yang hadir saling bersalaman. Jika diketahui warga yang ikut pertemuan tersebut 25 orang, berapa banyak salaman yang terjadi?

(14)

dalam melakukan matematisasi secara progresif. Penggunaan model berfungsi sebagai jembatan (bridge) dari pengetahuan dan matematika tingkat konkrit menuju pengetahuan matematika tingkat formal. Model merupakan tahapan proses transisi level informal menuju level matematika formal dalam artian dari hal-hal yang konkrit menuju hal-hal abstrak.

Karakteristik yang ketiga pemanfaatan hasil konstruksi siswa maupun kontribusinya dalam memecahkan masalah diperoleh melalui berbagai kegiatan, sisa diberi kesempatan untuk menemukan konsep-konsep maupun algoritma dalam matematika melalui kegiatan doing mathematics. Untuk terwujudnya konstruksi tersebut guru perlu merangsang siswa agar dapat berkontribusi secara maksimal.

Karakteristik yang keempat adalah pelunya interaksi antar siswa maupun antara siswa dengan guru dalam pembelajaran matematika. Interaksi antar siswa maupun antara siswa dengan guru dalam bentuk interprestasi, diskusi, kerja sama, dan evaluasi merupakan kegiatan-kegiatan interaktivitas dalam pembelajaran matematika. Dengan adanya interaksi dari berbagai unsur akan membuat suasana kelas menjadi dinamis dan hidup. Hal ini akan membuat siswa termotivasi dalam belajar matematika. Interaksi tersebut akan membuat siswa menjadi fokus dari segala kegiatan di kelas. Guru berfungsi sebagai moderator agar interaksi yang terjadi berlangsung secara efektif dalam mencapai tujuan pembelajaran.

Karakteristik terakhir mengenai pentingnya keterkaitan antar topik dalam matematika maupun dengan topik di luar matematika bertujuan mempermudah siswa dalam memahami suatu konsep yang terdapat dalam topik yang bersangkutan. Suatu topik dalam matematika lebih sukar dipahami bila terpisah dengan topik lain. Peran guru dalam karakteristik ini adalah memberikan wawasan baru (new insight) tentang keterkaitan antar topik tersebut dan siswa memahami keterkaitan tersebut, serta memunculkan konsep yang terdapat pada topik-topik tersebut.

Menurut Hadji (Akbar & Jarnawi, 2011: 6.23-6.24) terdapat lima langkah atau tahapan yang dilakukan dalam pembelajaran matematika melalui pendekatan realistik, yakni sebagai berikut:

1. Guru mengkondisikan kelas agar kondusif

2. Guru menyampaikan dan menjelaskan masalah kontekstual 3. Siswa menyelesaikan masalah kontekstual

4. Penarikan kesimpulan

5. Penegasan dan pemberian tugas

D. Hubungan PMR dengan Representasi Matematis dan Penalaran Matematis

Salah satu dari lima karakteristik pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik yang diungkapkan oleh Ariyadi Wijaya (2012 : 22) yaitu “Penggunaan model untuk matematisasi progresif”. Pada karakteristik ini penggunaan model berfungsi sebagai jembatan

(15)

(bridge) dari pengetahuan dan matematika tingkat konkrit menuju pengetahuan matematika tingkat formal.

Dalam PMR, masalah nyata berfungsi sebagai sumber dari proses belajar masalah nyata dan situasi nyata, keduanya digunakan untuk menunjukkan dan menerapkan konsep-konsep matematika. Ketika siswa mengerjakan masalah-masalah nyata mereka dapat mengembangkan ide-ide/konsep-konsep matematika dan pemahamannya. Pertama, mereka mengembangkan strategi yang mengarah (dekat) dengan konteks. Kemudian aspek-aspek dari situasi nyata tersebut dapat menjadi lebih umum. Artinya model atau strategi tersebut dapat digunakan untuk memecahkan masalah lain. Bahkan model tersebut memberikan akses siswa menuju pengetahuan matematika yang formal.

Jadi proses pendekatan ini, siswa mencoba menemukan hubungan-hubungan antara bagian-bagian masalah kontekstual dan mentransfernya ke dalam model matematika melalui kemampuan representasi. Secara garis besar seperti berikut : “Konstekstual → Informal → Formal”. Pengembangan pengetahuan dimulai dari masalah kontekstual hingga sampai ke masalah formal merupakan suatu proses yang bertahap, proses tersebut dapat didukung dengan penggunaan kemampuan representasi dan penalaran yang tepat.

PENELITIAN YANG RELEVAN

Pembelajaran dengan pendekatan realistik dan kontekstual memiliki berbagai kesamaan baik dari teori belajar serta masalah kontekstual (masalah yang bisa dibayangkan) sebagai karakteristik khusus dari kedua pendekatan ini, sehingga penelitian yang relevan untuk pendekatan realistik bisa diambil dari hasil penelitian yang menggunakan pendekatan kontekstual.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kartini Hutagaol (2007) dan dinyatakan dalam tesisnya menjelaskan bahwa siswa yang mendapat pendekatan pembelajaran Kontekstual untuk meningkatkan kemampuan representasi matematis siswa lebih besar persentasenya daripada siswa yang mendapat belajar matematika dengan pendekatan pembelajaran matematika biasa.

Sedangkan penelitian yang berkenaan dengan hubungan PMR terhadap penalaran, juga pernah dipaparkan pada workshop pembelajaran matematika oleh Siswono (2006), “PMRI: Pembelajaran Matematika yang Mengembangkan Pealaran, Kreativitas dan Kpribadian siswa”.

Penelitian yang sama juga telah dilakukan oleh Putri (2012) dan dinyatakan dalam tesisnya bahwa siswa yang belajar dengan pendekatan PMR memliki pengaruh postif terhadap kemampuan penalaran matematis.

KESIMPULAN

1. Secara teoretis, pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR dapat meningkatkan kemampuan representasi matematis siswa

(16)

2. Secara teoretis, pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR dapat meningkatkan penalaran matematis siswa.

SARAN

1. Guru matematika pada semua jenjang pendidikan hendaknya mempelajari dan lebih memperdalam lagi tentang konsep-konsep dan teori-teori pendekatan PMR

2. Guru hendaknya memilih atau membuat soal- soal kontekstual sesuai dengan kemampuan matematis yang dicapai

DAFTAR PUSTAKA

Ariyadi Wijaya (2012). PMR: Suatu Alternatif Pendekatan Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Areti Panaoura (2007). The Impact of Recent Metacognitive Expereiences on Preservice Teachers‟ Self-representation in Mathematics and its Teaching. University of Cyprus, Fredrick Institute of Technology.

Athanasios Gagagtsis, dkk, (2006) Are Registers of Representations and Problem Solving Processes on Functions Compartmentalized in Students‟ Thinking.

Depdiknas. (2006). Pedoman Penyusunan; Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah Dasar.

Erman Suherman, dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Jica: Bandung.

Finola Marta Putri. (2012). Pengaruh Pembelajaran Matematika Realistik terhadap Kemampuan Penalaran dan Koneksi Matematis Siswa SMP. Tesis UPI: Tidak diterbitkan.

Hutagaol, Kartini (2007). Pembelajaran Matematika Konstektual untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi Matematis Siswa SMP. Tesis SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Jarnawi Afgani D. & Akbar Sutawidjaja (2011). Pembelajaran Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka.

NCTM (2000). “Principles and Standards for School Mathematics” United States. Partini (2009). Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan

kemampuan Penalaran dan Represesntasi Matematis Siswa SMA. Tesis UPI Robert J. Sternberg, dkk. (2008). Psikologi Kognitif. Pustaka Pelajar. Yogyakarta

(17)

Russefendi (2004), “landasan Filosofis dan Psikologi Pembelajaran Matematika Realistik. Makalah disajikan dalam lokakarya pembelajaran matematika realistik bagi guru SD. Bandung.

Sofia Anastasiadou & Athanasios Gagatsis (2007). Exploring the Effects of Representations on the Learning of Statistics in Greek Primary School. University of Western Macedonia dan University of Cyprus.

Sukirwan (2008). Kegiatan Pembelajaran Exploratif untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Koneksi Matematis siswa Sekolah Dasar. Tesis SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Sumarmo, Utari (2010), Berfikir dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik. Bandung FMIPA UPI.

Supardi (2012). Pengaruh Pembelajaran Matematika Realistik Terhadap Hasil Belajar Matematika ditinjau dari Motivasi Belajar. Jurnal Cakrawala Pendidikan.

Tatang Yuli Eko Siswono (2006), PMRI: Pembelajaran Matematika yang Mengembangkan Penalaran, Kreativitas dan Kepribadian Siswa. Makalah Workshop Pembelajaran Matematika.

Zulkardi, (2005). Pendidikan Matematika Realistik Indonesia dan Implementasinya. Makalah pada seminar kenaikan jabatan dari Lektor Kepala ke Guru Besar Pendidikan Matematika pada tanggal 29 Maret 2005 di Inderalaya.

Zulkardi, (2001). Realistik Mathematics Education dan Pembelajarannya. Makalah dalam seminar kenaikan Jabatan pada tanggal 21 Maret 2001: FKIP Uniersitas Sriwijaya Palembang.

(18)

Kajian Literatur tentang Heuristik

dalam Pemecahan Masalah Matematika

Indah Riezky Pratiwi

Program Studi Pendidikan Matematika SPs UPI

Jl. Dr. Setiabudi 229 Bandung 40154, email: indah_riezky@yahoo.com

Abstrak

Masalah Matematika digambarkan sebagai persoalan atau tantangan dimana seorang siswa tidak langsung mengetahui bagaimana cara/prosedur khusus yang bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu kemampuan penting yang harus dimiliki oleh semua siswa. Namun kenyataannya, kemampuan pemecahan masalah Matematika siswa Indonesia sangat memprihatinkan. Hal ini bisa diamati berdasarkan hasil studi TIMMS tahun 2011 (Trends in International Mathematics and Science Study) yang menunjukkan bahwa siswa Indonesia berada pada ranking amat rendah yaitu berada pada peringkat ke-38 dari 45 negara yang berpartisipasi pada penilaian tersebut. Siswa indonesia mengalami kesulitan dalam kemampuan (1) memahami informasi yang komplek, (2) teori, analisis dan pemecahan masalah, (3) pemakaian alat, prosedur dan pemecahan masalah dan (4) melakukan investigasi.Perlu diketahui bahwa salah satu faktor yang menyebabkan siswa kurang terampil dalam memecahkan masalah adalah karena kurangnya kemampuan heuristik. Studi literatur ini bertujuan untuk membahas mengenai apa itu heuristik, pentingnya heuristik, apa saja komponen dari heuristik, dan bagaimana Heuristik dapat diajarkan dalam pembelajaran Matematika.

Kata Kunci: Pemecahan Masalah Matematika, Heuristik.

PENDAHULUAN

Kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu kemampuan yang penting untuk dimiliki oleh semua siswa. Kemampuan pemecahan Masalah Matematika dibutuhkan implikasinya dalam kehidupan sehari-hari dalam proses pengambilan keputusan dalam berbagai hal. Masalah Matematika berkaitan dengan persoalan atau tantangan dimana seseorang tidak langsung mengetahui bagaimana cara/prosedur khusus yang bisa diterapkan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pentingnya kemampuan pemecahan masalah Matematika yang dimiliki oleh siswa Indonesia tidak sejalan dengan kenyataan yang ada. Kemendikbud (2012) memaparkan hasil studi TIMMS (Trends in International Mathematics and Science Study) menunjukkan bahwa siswa Indonesia berada pada ranking amat rendah dalam kemampuan (1) memahami informasi yang komplek, (2) teori, analisis dan pemecahan masalah, (3) pemakaian alat, prosedur dan pemecahan masalah dan (4) melakukan investigasi. Selain itu, beberapa hasil penelitian yang memfokuskan pada bagaimana kemampuan pemecahan masalah Matematika menunjukkan bahwa siswa masih saja sering menemui kesulitan dalam memecahkan masalah Matematika. Arslan dan Altun (2007) mengatakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan siswa kurang terampil dalam menyelesaikan masalah adalah kurangnya kemampuan heuristik.

(19)

Ketika dihadapkan pada masalah kompleks yang tidak familiar, sebagian besar siswa tidak secara langsung menerapkan strategi heuristik seperti menggambarkan skema yang cocok, atau membuat tabel, dan sebagainya. Siswa biasanya hanya melihat masalah secara sekilas dan mencoba memutuskan perhitungan apa yang cocok untuk dijalankan terhadap bilangan yang ada pada permasalahan.

Sebagai dimensi proses, pemecahan masalah dibelajarkan sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan berpikir Matematik siswa dalam memecahkan masalah Matematika. Pemecahan masalah dilakukan melalui tahapan-tahapan berpikir yang disebut heuristik. Oleh karena itu, konsep heuristik tidak dapat dipisahkan dari kajian tentang pemecahan masalah dan pembelajarannya (Yusnita,2012).

Lemahnya keterampilan siswa dalam menggunakan heuristik tentu saja menghambat proses pemecahan masalah yang dilakukan. Sehingga diperlukan upaya untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sebelum mencari solusi yang tepat untuk meningkatkan keterampilan heuristik ini, pengkajian literatur secara lebih mendalam sangat diperlukan untuk mengupas tuntas mengenai heuristik dan konsep-konsep yang berhubungan dengannya sehingga melalui penelitian, selanjutnya peneliti dapat mengembangkan keterampilan heuristik tersebut melalui treatment yang tepat.

A. Masalah matematika dan Pentingnya pemecahan masalah

Dalam proses pembelajaran Matematika, seringkali kita mendengar tentang masalah Matematika. Namun, masih sering terjadi kesalahpahaman mengenai pendefinisian „masalah‟ itu sendiri. Bahkan ada sebagian dari kita yang memaknai semua soal Matematika sebagai suatu „masalah Matematika‟. Ternyata konsep dan pendefinisian „masalah‟ bukan merupakan suatu yang sederhana. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi (2012) menyatakan bahwa menyusun masalah Matematika merupakan salah satu tantangan untuk para guru, karena bukan merupakan satu hal yang mudah. Banyak hambatan yang sering ditemui oleh guru dalam menyusun masalah Matematika.

Dari pernyataan di atas, kita dapat menangkap suatu fenomena mengenai kesalahpahaman dari pendefinisian konsep „masalah Matematika‟ yang mungkin masih ada sampai sekarang. Karena masih ada di antara kita yang memahami „masalah Matematika‟ sebagai soal biasa yang sering digunakan dalam proses pembelajaran matematika. Baik yang berupa soal ingatan biasa atau bahkan soal cerita. Sehingga diperlukan pengkajian secara lebih mendalam mengenai hal tersebut.

Beberapa ahli merangkum definisi masalah sebagai berikut :

a. Krulik dan Rudnik (1995) mendefinisikan masalah secara formal sebagai berikut : “A problem is a situation, quantitatif or otherwise, that confront an individual or group of individual, that requires resolution, and for wich the individual sees no apparent or obvius

(20)

means or path to obtaining a solution”. Definisi tersebut menjelaskan bahwa masalah merupakan suatu situasi yang dihadapi oleh seseorang atau kelompok yang memerlukan suatu pemecahan tetapi individu atau kelompok tersebut tidak melihat secara jelas atau langsung mengenai cara/jalan untuk dapat memperoleh solusinya.

b. Kusnandi (2012) menyatakan bahwa masalah dalam matematika adalah suatu persoalan yang siswa sendiri mampu menyelesaikannya tanpa menggunakan cara atau algoritma yang rutin. Maksudnya adalah siswa belum memiliki prosedur atau algoritma tertentu untuk menyelesaikannya, tetapi ia harus mampu menyelesaikannya berdasarkan baik kesiapan mentalnya maupun pengetahuan siapnya terlepas dari apakah ia sampai atau tidak kepada jawabannya.

c. Cooney dkk (Shadiq, 2004) mengatakan bahwa suatu pernyataan akan menjadi masalah jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan (challenge) yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin (routine procedure) yang sudah diketahui si pelaku.

Berdasarkan definisi yang sudah dipaparkan oleh beberapa ahli di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa masalah Matematika dipandang sebagai suatu tantangan yang dihadapkan kepada seorang individu atau suatu kelompok yang mana individu atau kelompok tersebut tidak dapat menyelesaikan tantangan tersebut secara langsung melalui prosedur biasa (langkah-langkah rutin dengan penggunaan rumus langsung) sehingga mereka harus memiliki kesiapan mental maupun pengetahuan untuk memperoleh solusi dari masalah yang diberikan melalui berbagai strategi/trik yang bisa digunakan untuk mendekatkan siswa kepada solusi yang diharapkan.

Sekarang pemahaman konsep kita tentang masalah Matematika harus digeser ke arah yang lebih mendalam, bahwa tidak semua soal yang biasa digunakan dalam proses pembelajaran Matematika bisa dikatakan sebagai suatu masalah. Masalah Matematika bersifat relatif, bahwa suatu tantangan/soal bisa menjadi masalah bagi seorang siswa, namun belum tentu bagi siswa lainnya. Sehingga seorang guru harus benar-benar menguasai karakteristik dan pemahaman siswa sehingga masalah yang dikonstruk oleh guru untuk digunakan dalam proses pembelajaran dapat menjadi masalah bagi seluruh siswa secara universal. Tentu saja hal ini merupakan tantangan bagi para guru, karena menyusun masalah Matematika bukanlah merupakan hal yang mudah.

Dibawah ini dilampirkan contoh masalah Matematika dan soal rutin.

(21)

Kita dapat melihat perbedaan dari kedua jenis soal di atas. Pertanyaan nomor 1 bisa dikategorikan sebagai masalah bagi siswa kelas 1 SMP. Karena ketika siswa kelas 1 SMP diberikan soal tersebut, mereka tidak dapat secara langsung menentukan solusi dari masalah tersebut hanya dengan sekedar mensubstitusikan nilai ke dalam rumus. Melainkan mereka harus memilih strategi yang melibatkan proses berpikir untuk memecahkan masalah tersebut. Berbeda dengan pertanyaan nomor 2, dimana siswa kelas 1 SMP dapat memecahkan masalah tersebut hanya dengan melakukan operasi hitung biasa. Sehingga pertanyaan nomor 2 tidak bisa dikatakan sebagai masalah, melainkan termasuk soal rutin.

Melalui masalah yang diberikan oleh guru, siswa diharapkan dapat memecahkan masalah tersebut sehingga ditemukan solusi yang memenuhi masalah tersebut. Menurut Wardhani (Munaka, 2007) menjelaskan pemecahan masalah sebagai proses penerapan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya dalam situasi baru yang belum diketahui. Masalah bersifat relatif, artinya masalah bagi seorang pada suatu saat belum tentu merupakan masalah bagi orang lain pada saat itu atau pada orang itu sendiri berapa saat kemudian. Masalah pada hakekatnya adalah pertanyaan yang harus dijawab. Sebaliknya suatu pertanyaan belum tentu menjadi masalah bagi seseorang.

Pentingnya kemampuan siswa dalam memecahkan masalah tertuang dalam tujuan kurikulum. Namun kenyataannya kemampuan siswa dalam memecahkan masalah masih sangat kurang. Sehingga masih sangat perlu dilakukan pengkajian mendalam mengenai hal ini.

Josep (2010) menambahkan bahwa berdasarkan penyelidikan yang dilakukan oleh Kai Kow Joseph YEO dalam penelitiannya mengenai kesulitan siswa SMP dalam menyelesaikan masalah nonrutin diperoleh informasi bahwa siswa terbiasa menggunakan satu jenis heuristik. Siswa tidak menunjukkan fleksibilitas dalam mencari cara untuk memecahkan masalah dengan menggunakan lebih dari satu heuristik.Siswa yang bekerja dengan satu solusi sering tidak menyadari bahwa solusi yang mereka ambil tidak benar. Selain itu juga, siswa tidak berusaha memeriksa apakah solusi mereka benar atau memenuhi kondisi masalah atau tidak.

Pendapat dari ahli lain yang mendukung hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Kai Kow Joseph, Arslan dan Altun (2007) mengatakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan siswa kurang terampil dalam menyelesaikan masalah adalah kurangnya kemampuan heuristik. Ketika dihadapkan pada masalah kompleks yang tidak familiar, sebagian besar siswa tidak secara langsung menerapkan strategi heuristik seperti menggambarkan skema yang cocok, atau membuat tabel, dan sebagainya. Siswa biasanya hanya melihat masalah secara sekilas dan mencoba memutuskan perhitungan apa yang cocok untuk dijalankan terhadap bilangan yang ada pada permasalahan.

(22)

Ho dan Tan (2013) mengemukakan bahwa tidak seluruh siswa memiliki pengetahuan umum tentang berbagai heuristik. Mereka berada pada titik tolak dan tingkatan pengetahuan heursitik yang berbeda. Penyajian dari apa yang mereka kerjakan mengenai langkah-langkah pengerjaannya sangat bergantung pada bagaimana guru matematika yang mengajar sebelumnya dan seberapa luas pembelajaran yang mereka ikuti sebelumnya

B. Heuristik dalam Pemecahan Masalah

Pemecahan Masalah Matematika terintegrasi dalam proses pembelajaran, dimana melalui proses pembelajaran siswa diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah mereka. Wong Khoon Yoong (2006) mengatakan bahwa pemecahan masalah sudah menjadi fokus utama dalam Kurikulum Matematika Singapore selama lima belas tahun terakhir. Untuk sukses dalam menyelesaikan berbagai jenis masalah, khususnya masalah nonrutin, seorang siswa yang termotivasi harus menerapkan empat tipe kemampuan matematika yaitu konsep matematika, keterampilan, proses, dan metakognisi untuk memecahkan masalah. Dalam kemampuan proses adalah menggunakan heuristik.

Powwel dan Lai (2010) menjelaskan bahwa melalui heuristik, kita dapat menjelaskan setiap tahap-tahap pengerjaan yang dilakukan dalam menyelesaikan permasalahan yang menyajikan sebuah makna untuk meningkatkan pemahaman dalam tugas pemecahan masalah. Kita tidak menyatakan secara tidak langsung bahwa ketika pemecah masalah mengimplementasikan heuristik hal itu dapat menghantarkan mereka menuju penemuan solusi, tapi hanya bermaksud melakukannya. Pemikiran kita tentang heuristik memasukan strategi umum yang harus dipatuhi dan secara nyata seperti yang dijelaskan oleh Polya.

Definisi mengenai Heuristik sangat beragam. Romanycia dan Pelletier (1985) menegaskan bahwa sesuatu bisa disebut sebagai heuristik oleh seorang peneliti belum tentu dikatakan juga oleh peneliti lain. Hal ini disebabkan karena beberapa heuristik memasukkan berbagai sisi yang menonjol yang berbeda dan beberapa peneliti sudah menekankan perbedaan dari masing-masing karakteristik ini sebagai sesuatu yang mendasar untuk menjadi sebuah definisi heuristik.

Definisi Heuristik menurut beberapa ahli yang dirangkum melalui berbagai sumber. Adapun definisi-definisi yang terangkum adalah sebagai berikut:

1.

Lidinillah (2009) menjelaskan bahwa heuristik adalah suatu langkah-langkah umum yang memandu pemecah masalah dalam menentukan solusi masalah. Berbeda dengan algoritma yang berupa prosedur penyelesaian sesuatu dimana jika prosedur itu digunakan maka akan sampai pada solusi yang benar. Sementara heuristik tidak menjamin solusi yang tepat, tetapi hanya memandu dalam menemukan solusi. Jika langkah-langkah algoritma harus dilakukan secara berurutan, maka heuristik tidak menuntut langkah berurutan.

(23)

2.

Slage (Romanycia dan Pelletier,1985) menjelaskan heuristik sebagai rule of thumb, strategi, metode, atau trik yang biasa digunakan untuk mengembangkan ketepatgunaan suatu sistem yang dicoba untuk menemukan solusi dari permasalahan yang kompeks.

3.

Ministry of Education Singapore(2009) menjelaskan bahwa heuristik merupakan apa yang siswa dapat lakukan untuk mendekatkan sebuah permasalahan ketika solusi dari permasalahan tersebut tidak jelas.

4.

Chaves (2007) menjelaskan bahwa Heuristik dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah non rutin atau masalah yang tidak jelas bentuk penyelesaiannya. Teknik ini adalah petunjuk umum yang sangat berguna dalam menyelesaikan masalah yang luas kajiannya. Perbedaan heuristik menyajikan maksud yang berbeda yaitu membantu anak memahami masalah, mengidentifikasi segala alasan yang mungkin terjadi, mengidentifikasi beberapa solusi yang memungkinkan, berfikir atau bernalar.

Sehingga dapat kita tarik benang merah dari beberapa definisi heuristik tersebut dalam memahami konsep heuristik. Kita melihat suatu kata kunci dari penjabaran beberapa pengertian heuristik yang sudah didefinisikan oleh para ahli. Heuristik erat kaitannya dengan tahapan-tahapan/langkah-langkah berpikir/aturan/strategi/teknik/apa saja yang bisa dilakukan terhadap suatu permasalahan yang diberikan dengan tujuan mendekatkan permasalahan tersebut kepada solusi yang tepat ketika kita dihadapkan oleh permasalahan yang tidak familiar. Seringkali, dalam pembelajaran Matematika di sekolah siswa akan cederung mudah menyerah ketika mereka menemui kesulitan dan merasa tidak bisa berbuat banyak atas permasalahan yang mereka hadapi. Permasalahan ini merupakan permasalahan yang tidak familiar.

Newell (1981) menyatakan bahwa heuristik disini erat kaitannya dengan langkah-langkah pemecahan masalah yang dikemukakan oleh Polya. Adapun karakteristik dari heuristik yang diadopsi dari tahapan berfikir Polya adalah sebagai berikut:

Proses yang dilibatkan dalam model Polya dielaborasi pada tahun 2001 pada silabus Matematika, seperti yang ditunjukkan di bawah ini :

Langkah – Langkah untuk Pemecahan Masalah 1. Memahami Masalah

 Mencari informasi yang diberikan

 dapat memberikan gambaran tentang informasi yang diberikan  mengatur informasi yang diberikan

 menghubungkan informasi yang diberikan 2. Merencanakan sebuah rancangan

 Act it out (menunjukkan/ membuktikan)  Menggunakan diagram atau pemodelan  Menggunakan terkaan dan pengecekan  Membuat sebuah daftar yang teratur

(24)

 Mencari pola-pola

 Bekerja dari langkah belakang  Menggunakan konsep sebab akibat

 Membuat sebuah anggapan/perkiraan/dugaan/pengandaian  Menyelesaikan masalah dengan menggunakan jalan lain  Menyederhanakan masalah

 Menyelesaikan bagian dari permasalahan

 Memikirkan sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan  Menggunakan sebuah persamaan

3. Menjalankan Rencana

 Menggunakan Kemampuan perhitungan  Menggunakan kemampuan geometri  Menggunakan Penalaran Logika 4. Refleksi/Evaluasi

 Mengoreksi solusi yang telah diselesaikan  Membetulkan metode yang digunakan  Mencari solusi alternatif

 Mengembangkan cara untuk masalah lain Ministery of Education Singapore (2009 )

Pada kenyataannya, heuristik tidak selalu menjamin kebenaran selalu tercapai dalam proses penyelesaian masalah, namun proses tersebut yang paling penting, bagaimana siswa berusaha mencari jalan keluar untuk mendekatkan masalah pada solusi yang diharapkan. Wong Khoon Yoong (2006) mengatakan bahwa guru Matematika sering berkeinginan untuk menunjukan perbedaan strategi untuk menyelesaikan masalah yang diberikan. Hal ini dilakukan dengan niat untuk meningkatkan kemampuan berfikir kreatif siswa dan untuk mematahkan persepsi umum bahwa masalah Matematika selalu hanya memiliki satu cara yang benar dan satu-satunya jawaban yang benar. Guru berharap siswa berfikir keras tentang perbedaan strategi untuk pemecahan masalah dalam masalah yang sama. Karena berdasarkan hal tersebut, guru memperoleh pemahaman yang mendasar tentang bagaimana siswa berfikir secara Matematis, seringkali dalam cara yang benar-benar tidak terduga, jawaban yang benar ataupun salah.

Berdasarkan uraian di atas, sangat diperlukan adanya pengkajian secara lebih mendalam mengenai kemampuan heuristik yang mengarah pada keterampilan siswa dalam menggunakan heuristik dengan tujuan untuk memperkuat keterampilan proses pemecahan masalah. Selain itu, siswa yang cenderung menggunakan beberapa heuristik dalam menyelesaikan masalah yang sama diharapkan akan memiliki kemampuan berfikir kreatif yang baik.

John, Hedberg,dan Luis (2010) mengatakan bahwa dalam pelaksanan proses pembelajaran, tidak semua macam heuristik dapat diajarkan oleh guru secara eksplisit, karena

(25)

kenyataannya kadangkala ada beberapa heuristik yang digunakan oleh siswa diperoleh dari pengalaman pemecahan masalah mereka pribadi atau yang diidentifikasi ketika mereka mengobservasi pemecahan masalah dari orang lain. Kita juga dapat mempelajari macam-macam heuristik melalui pengujian dan belajar berdasarkan pada contoh yang ada pada textbook. Alasan yang paling penting untuk mempelajari heuristik adalah karena heuristik dapat membantu menyelesaikan masalah pada topik yang tidak familiar, walaupun sebenarnya tanpa bantuan heuristik, siswa mungkin masih bisa menyelesaikan masalah, dalam hal ini heuristik hanya meningkatkan kesempatan untuk menemukan solusi yang tepat. Pengajaran tentang penggunaan Heuristik ini diterapkan oleh guru melalui penugasan penyelesaian masalah-masalah Matematika sehingga siswa terbiasa dalam menggunakan berbagai macam Heuristik.

KESIMPULAN

Heuristik tidak dapat dipisahkan dari proses pemecahan masalah Matematika. Heuristik dipandang sebagai proses berpikir siswa dalam memecahkan masalah Matematika yang berkaitan dengan tahapan-tahapan/langkah-langkah berpikir/aturan/strategi/teknik/apa saja yang bisa lakukan terhadap suatu permasalahan yang diberikan dengan tujuan mendekatkan permasalahan tersebut kepada solusi yang tepat ketika kita dihadapkan oleh permasalahan yang mereka hadapi. Heuristik erat kaitannya dengan dengan langkah-langkah pemecahan masalah Polya yaitu: (1) Memahami masalah; (2) Merencanakan sebuah rancangan; (3) Menjalankan rencana; dan (4) Refleksi/evaluasi. Heuristik dapat diintegrasikan dalam proses pembelajaran Matematika melalui latihan pengerjaan masalah nonrutin sehingga diharapkan siswa dapat meningkatkan keterampilan mereka dalam mengaplikasikan heuristik dalam penyelesaian masalah Matematika.

DAFTAR PUSTAKA

Arslan dan Altun.(2007).Learning to Solve Non-Routine Mathematical Problems.Elementary Education Online 6 (1).

Ho,K.Fai dan Preston T.(2013).Weaving Reflection into Enchance Problem- Solving in Mathematics Classroom,Innovation an Exemplary Practice in Mathematics Education :The6th East Asia Regional Conference on Mathematics Education Proceedings Vol.2,64-72.Phuket,Thailand:ICMI- International Commission on Mathematical Instruction

Jhon Tion dkk.(2010).A Metacognitive Approach to Support Heuristic Solution of Mathematical Problems.diakses tanggal 20 Oktober 2012.

Josep,Kai Kow.(2010).Secondary 2 Student‟s Difficulties in Solving Non-Routine Problems.National Institute of Education.

Krulik, Stephen dan Rudnick, Jesse A. (1995). The New Sourcebook for Teaching Reasoning and Problem Solving in Elementary School. Boston : Temple University.

(26)

Kusnandi.(2012).Penalaran Matematika.Modul Perkuliahan UPI: Tidak diterbitkan. Kemendikbud.(2012).Dokumen Kurikulum 2013.Jakarta:Kemendikbud

Lidinillah.(2009).Heuristik dalam Pemecahan Masalah Matematika dan Pembelajarannya di Sekolah Dasar. Diakses melalui http://file.u[i.edu/Direktori/KD- TASIKMALAYA/DIDIN_ABDUL_MUIZ_LIDINILLAH_(KD-TASIKMALAYA)-

197901132005011003/132313548%20-%20didin%20abdul%20muiz%20lidinillah/Heuristik%20Pemecahan%20Masalah.pdf

Ministry of Education Singapore.(2009).The Singapore Model Method for Learning Mathematics.Singapore : Ministry of Education Singapore

Munaka, Fitrianty.(2007).Makalah Peserta Seminar Nasional Pendidikan Matematika (Pemberdayaan Siswa Berbakat Intelektual Sebagai Asisten Guru salam Pembeljajaran Pemecahan Masalah Matematika di Sekolah Menengah Pertama).Palembang:UNSRI

Newell,Allen.(1981).The Heuristic of George Polya and Its Relation to Artificial Intelligence.United States :Department of Computer Science Carnegie Mellon University Pittsburgh,Pennsylvania 15213

Pratiwi,I.R.(2012).Pembelajaran Pemecahan Masalah Matematika di SMAN 15 Palembang.Skripsi UNSRI:Tidak diterbitkan

Romanycia,Pelletier.(1985).What is a heuristics?.Comput.Intel vol 1, 1985.

Shadiq,Fajar.(2004).Pemecahan Masalah,Penalaran dan Komunikasi Disampaikan pada Diklat Instruktur/Pengembang Matematika SMA Jenjang Dasar Tanggal 6 s.d 19 Agustus 2004 di PPPG Matematika.Yogyakarta:Depdiknas

Yoong.(2006). Enhancing Mathematical Reasoning at Secondary School Level. http://math.nie.edu.sg/ame/mtc06/Mathematics%20Teachers%27%20Conference%20W ongKY%20Math%20Reasoning.pdf/tanggal 10 Oktober 2012)

Yoong dan Tiong.(2008).Developing the Repertoire of Heuristics for

Mathematical Problem Solving: Student Problem Solving Exercises and Attitude. Technical Report for Project CRP38/03 TSK

Yusnita.(2012).Pembelajaran Heuristik Pemecahan Masalah Matematika.(

(27)

KEMAMPUAN SISWA SMP DALAM MENENTUKAN POLA

GAMBAR TUMBUH SEBAGAI PENDUKUNG PEMBELAJARAN ALJABAR

Georgius Rocki Agasi1), M. Andy Rudhito2)

1) Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Sanata Dharma Kampus III USD Paingan Maguwoharjo Yogyakarta,

e-mail: Agasi.georgeus.13@gmail.com

2) Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Sanata Dharma Kampus III USD Paingan Maguwoharjo Yogyakarta, email: arudhito@gmail.com

Abstract

Kemampuan berpikir menentukan pola sangat diperlukan dalam pembelajaran aljabar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan dan cara berpikir siswa SMP dalam menentukan pola gambar tumbuh. Penelitian ini merupakan penelitian diskriptif kualitatif dengan subyek penelitian 5 siswa SMP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa siswa mengalami kesulitan dalam menentukan pola gambar tumbuh. Ada berbagai variasi cara berpikir siswa dalam menentukan pola gambar perulangan dengan benar. Siswa yang masih mengalami kesulitan dalam menentukan pola masih sulit diungkap cara berpikirnya. Keywords:siswa SMP, pola, gambartumbuh, pembelajaranaljabar.

PENDAHULUAN

Matematika dipandang sebagai dasar dari penalaran tentang objek dan hubungan. Selain itu matematika hal lain melibatkan seperti memeriksa, menyelidikikebenaran dan klaimtentangbenda danhubungan ( Carpenter et al. 2003) ( dalam E. Warren • T. Cooper.2008) . Kelebihan matematika terletak pada hubungan sehingga menimbulkan pola dan generalisasi.

(Soekadijo, 1999: 134) ( dalam Herdian. 2010) mengatakan bahwa penalaran yang menyimpulkan suatu konklusi yang bersifat umum dari premis-premis yang berupa proposisi empirik itu disebut generalisasi. ( Rahman, 2004: 15) ( dalam Herdian. 2010) mengatakan bahwa generalisasi adalah proses penarikan kesimpulan dimulai dengan memeriksa keadaan khusus menuju kesimpulan umum. Penalaran tersebut mencakup pengamatan contoh-contoh khusus dan menemukan pola atau aturan yang melandasinya. Sedangkan (Trisnadi, 2006:11) ( dalam Dedy, 2013) mengungkapkan bahwa generalisasi adalah menyatakan pola, menentukan struktur/ data/ gambaran/ suku berikutnya dan memformulasikan keumuman secara simbolis. Abstrak pola adalah transformasi dasar pengetahuan struktural bertujuan untuk pembelajaran matematika dalam konteks pendidikan. Jadi tujuan pembelajaran matematika harus diarahkan untuk mendorong keterampilan dasar dalam hal generalisasi.

Memahami pola untuk menduga dan membuat generalisasi (kesimpulan) merupakan salah satu Kompetensi Dasar yang ada dalam Kurikulum 2013 ( Lampiran Permendikbud tentang Kurikulum SMP-Mts, 2013:68). Kegiatan yang sering terjadi pada sekolah dasar selama beberapa tahun adalah eksplorasi pola berulang sederhana menggunakan bentuk, warna , gerakan, merasakan dan suara . Biasanya siswa diminta untuk menyalin dan melanjutkan pola-pola , mengidentifikasi bagian mengulang, dan menemukan unsur-unsur yang hilang , fokus pada pemikiran variasional tunggal dimana variasi terjadi dalam pola itu sendiri. Pada

(28)

kenyataannya hanya sedikit aktivitas terjadi dengan pola pertumbuhan visual. Tetapi pendekatan dengan memperkenalkan aljabar untuk anak-anak di usia rata-rata 12-13 tahun membangun eksplorasi awal pola visual, ini digunakan untuk menghasilkan ekspresi aljabar.

Pola yang digunakan dalam pengalaman pengantar aljabar formal didominasi pola pertumbuhan visual. Siswa diminta untuk membentuk hubungan antara pola dan posisi mereka , dan menggunakan generalisasi ini untuk menghasilkan langkah-langkah dalam polauntukposisilain, yaitu, dimanamereka diminta untuk mempertimbangkan kembali pola yang tumbuh sebagai fungsi (yaitu , sebagai hubungan antara pola dan posisinya ) bukan sebagai variasi satu set data ( yaitu , sebagai hubungan antara periode yang berurutan dalam pola itu sendiri ) . Umumnya ini menghasilkan representasi visual , data rekaman dalam tabel ( posisi dan jumlah elemen pada posisi itu ) , dan dari tabel teridentifikasi hubungan antara dua set data . Ini berbeda dari pengenalan pola yang digunakan dalam induksi matematika. Fokus di hasil adalah memastikan pada hubungan fungsional antara set data dan mengeksplorasi konsep variabel.

Kesulitan-kesulitan yang terjadiyaitu kurangnya bahasa yang tepat diperlukan untuk menggambarkan hubungan ini , kecenderungan hanya tertuju pada satu data tunggal untuk menggambarkan generalisasi dan ketidakmampuan untuk memvisualisasikan spasial atau pola lengkap.

METODE PENELITIAN Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif diskriptif Waktu dan Tempat Penelitian

Subjek pada penelitian ini adalah anak SMP kelas 7 yang rata-rata berusia 12-13 tahun. Untuk teknik memperoleh subjek adalah meminta subjek penelitian yang berasal dari sekolah tempat Peneliti PPL ( Progam Pengalaman Lapangan) di SMPN 6 Yogyakarta. Selain itu subjek juga berasal SMP Stella Duce 2.

Prosedur

Penelitian dilakukan dibeberapa dua tempat dan waktu yang berbeda, yang pertama adalah di rumah subjek yaitu di Kadipaten Wetan no 196 Yogyakarta dan SMPN 6 Yogyakarta yaitu berada di kelas 7A. Data didapat dengan meminta subjek untuk mengerjakan Tes yang diberikan kepada mereka dengan waktu 30 menit. Prosedur pengambilan penelitian adalah dengan meminta subjek mengerjakan soal dengan memilih jawaban yang telah disediakan dan didalam soal itu terdapat kolom alasan mengapa subjek memilih jawaban yang telah disediakan. Selain mengisi soal ada juga wawancara lisan yang digunakan untuk mengetahui secara detail apa yang menyebabkan siswa tidak mengisi kolom alasan yang diberikan secara jelas.

(29)

Data, Intrumen, dan Teknik Pengumpulan Data

Untuk pengambilan data di Kadipaten wetan no 196 Yogyakarta diambil waktu malam hari pk 20.00 WIB sedangkan untuk di SMPN 6 Yogyakarta, data diambil pada siang hari sepulang sekolah pk 11.30. Teknis pengumpulan data pada subjek di SMPN 6 Yogyakarta adalah dengan mengempulkan mereka sepulang sekolah dan meminta mereka untuk menegerjakan tes yang diberikan dan tentunya dengan waktu yang sudah disiapkan yaitu 30 menit sedangkan untuk pengambilan data yang berada di Kadipaten wetan yaitu dengan membuat janji terlebih dahulu dengan subjek untuk waktu yang tepat lalu mendatangi subjek di waktu yang telah dijanjikan.

Berikut Instrumen Tes pola gambar tumbuh yang diberikan kepada subjek : SOAL – SOAL GAMBAR POLA TUMBUH

“ Selamat Mengerjakan”

I. Kerjakan soal-soal dibawah ini dengan benar dan lengkap seperti contoh diatas ! II. 1. Alasan : 2 Alasan :

(30)

3 Alasan : 4 Alasan : 5 Alasan : 6 Alasan :

(31)

7.

Alasan :

Gambar 1.Soal – soal Tes Pola gambar tumbuh Teknik Analisis Data

Cara memaknakan data yang diperoleh dengan dua cara yaitu dengan melihat dari kolom alasan dan wawancara lisan terkait jawaban yang dipilih subjek.Untuk menegetahui jawaban yang benar yaitu melihat kunci jawaban yang sudah benar. Dari pengisian kolom alasan dan wawancara lisan dapat mengetahui apa saja yang menjadi pemikiran subjek serta dapat mengetahui permasalahan apa saja terkait masalah gambar pola tumbuh dan dari situ dapat diketahui seberapa pemahaman siswa mengenai hubungan gambar pola tumbuh dan juga pemahaman tentang bentuk aljabarnya.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada saat pengambilan data awalnya mengambil 5 subjek untuk diteliti tetapi saat hasil sudah didapat banyak terdapat hasil kurang memuaskan dikarenakan banyak jawaban yang tidak dijawab dan tidak memberikan alasan. Untuk itu perlu dilakukan pengambilan data dari subjek lain maka ditambah lagi pencarian data dan mendapatkan 10 subjek untuk diteliti. Setelah dilakukan pencarian data yang kedua dihasilkan data yang dicari tetapi masih perlu disaring karena masih terdapat jawaban kurang memuaskan dari subjek yang diteliti. Pada akhirnya daritotal 15 data yang dicari hanya lima yang dianggap cukup memuaskan untuk diteliti lebih lanjut. Berikut adalah hasil yang didapat dari penelitian ini.

Gambar

Gambar 1.Soal – soal Tes Pola gambar tumbuh  Teknik Analisis Data
Tabel 1. Alasan Siswa dalam Memilih Jawaban
Tabel 2. Uji Homogenitas Kemampuan Pemahaman Matematis  Levene  Statistic df1 df2 Sig
Tabel 6 .Uji Homogenitas Hasil Pretes, Postes dan Gain Ternormalisasi   Kemampuan Penalaran Matematis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, peneliti ingin melakukan penelitian untuk mengidentifikasi kegagalan usaha dari perajin tahu yang berasal dari Citeureup, Kecamatan Cimahi Utara

Keluarga tercinta, Mamah tercinta yang tak pernah lupa bangun setiap tengah malam untuk mendoakan anak anaknya yang semuanya tinggal jauh dengan orang tuanya, Bapak tersayang

Dokumen Penawaran dikirim/disampaikan ke : Kelompok Kerja (Pokja) Pada Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Dan Aset Kabupaten Sintang Tahun Anggaran 2013 Jalan Pierre

Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya.. Bandung: PT

persoalan hierarki antara kedua perangkat hukum itu sehingga kemudian menimbulkan sudut pandang yang berbeda dalam aliran monisme. mengenai superioritas antara

For the random variables that denote times in Example 5-2, determine the conditional probability density function for Y given that X ⫽ x. First the marginal density function of x

Penelitian ini menggambarkan hubungan kebiasaan belajar siswa dan hasil akademik siswa dalam mata pelajaran Bahasa Inggris para siswa kelas II SMP Pangudi Luhur Sedayu

Meskipun PP BBH sama sekali tidak menyebut Islam dalam menjelaskan prinsip bagi hasil, namun pemakaian istilah muamalat dan syariah telah cukup sebagai informasi bahwa yang