• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Model Kompetensi Kerja Pada Perawat Bedah RS "X" di Kota Tasikmalaya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Model Kompetensi Kerja Pada Perawat Bedah RS "X" di Kota Tasikmalaya."

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

Universitas Kristen Maranatha Abstract

This research was conducted to produce the competency model required by surgery nurses. This competency model will be use as a reference for selection process, performance appraisal, and training and development surgery nurse.

Methodology used in this research is descriptive study and survey as a technique to collect data. This research used one variable that is competency model with 27 surgery nurses “X” Hospital in Tasikmalaya city as a respondent. As a reference researcher used generic competency model from Spencer & Spencer, 1993. Interview and job description analysis have been done at the beginning of the research, head for encompass competencies required by surgery nurse and included to interim competency model. Based on interim model, the questionnaire that consist of 56 items made.

The data obtained were processed using the average scores for each items and matrics as the guidance for determining competency to enter or not in the competency model. Based on the analysis data, the obtained results that surgery nurse “X” hospital in Tasikmalaya city has ten competencies that consist of a Concern for Order, Quality, and Accuracy (CO), Flexibility (FLX), Customer Service Orientation (CSO), Achievement Orientation (ACH), Expertise (EXP), Self-control (SCT), Teamwork and Cooperation (TW), Information Seeking (INFO), Self Confidence (SCF), and Building relationship (RB).

(2)

Universitas Kristen Maranatha Abstrak

Penelitian dilaksanakan untuk menghasilkan model kompetensi yang dibutuhkan perawat bedah RS “X” di kota Tasikmalaya. Model kompetensi ini nantinya dapat digunakan sebagai acuan untuk proses seleksi, penilaian kinerja, serta pelatihan dan pengembangan perawat bedah.

Metodologi penelitian yang dipakai adalah studi deskriptif dengan teknik pengumpulan data menggunakan survei berupa wawancara dan kuesioner. Penelitian ini menggunakan satu variabel yaitu model kompetensi dengan 27 orang perawat bedah RS “X” di kota Tasikmalaya sebagai responden. Peneliti menggunakan generic competency model dari Spencer & Spencer, 1993 sebagai acuan. Wawancara dan analisis job description yang dilakukan diawal penelitian, bertujuan untuk menjaring kompetensi – kompetensi yang dibutuhkan perawat bedah dan dimasukkan ke dalam model kompetensi sementara. Berdasarkan model kompetensi sementara yang diperoleh, selanjutnya dibuat kuesioner model kompetensi yang terdiri dari 56 item.

Pengolahan data menggunakan skor rata – rata untuk setiap item dan matriks sebagai landasan untuk menentukan sebuah kompetensi masuk atau tidak ke dalam model kompetensi. Berdasarkan perhitungan, diperoleh hasil bahwa perawat bedah RS “X” di kota Tasikmalaya memiliki 10 kompetensi yaitu Concern for Order, Quality, and Accuracy (CO), Flexibility (FLX), Customer Service Orientation (CSO), Achievement Orientation (ACH), Expertise (EXP), Self-control (SCT), Teamwork and Cooperation (TW), Information Seeking (INFO), Self Confidence (SCF), dan Building relationship (RB).

(3)

v

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR BAGAN ... ix

DAFTAR GRAFIK ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 10

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 10

1.3.1 Maksud Penelitian ... 10

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Kegunaan Penelitian ... 11

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 11

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 11

1.5 Kerangka Pemikiran ... 12

1.6 Asumsi ... 21

(4)

vi

Universitas Kristen Maranatha

2.1 Competency ... 22

2.1.1 Definisi Competency ... 22

2.1.2 Karakteristik Competency ... 24

2.1.3 Keterkaitan antara Kompetensi dengan Kinerja Kerja ... 27

2.1.4 Kategori Kompetensi ... 28

2.1.5 Pengelompokan Kompetensi ... 28

2.2 Daftar Kompetensi ... 30

2.2.1 Competence at Work (Spencer & Spencer, 1993) ... 30

2.3 Model Kompetensi ... 35

2.3.1 Definisi Model Kompetensi ... 35

2.3.2 Generic Model of Helping and Human Service Workers ... 35

2.3.3 Pendekatan dalam Merancang Model Kompetensi (Spencer & Spencer, 1993) ... 37

2.3.3.1 The Classic Competency Study Design ... 37

2.3.3.2 A Short Competency Model Based on Expert Panel . 37 2.3.3.3 Mengembangkan Model Kompetensi dari Model yang Sudah Ada ... 37

2.3.4 Pengaplikasian Model Kompetensi ... 42

2.4 Analisis Jabata ... 42

2.4.1 Pengertian Analisis Jabatan ... 43

2.4.2 Langkah – Langkah Analisis Jabatan ... 44

2.4.3 Hasil Analisis Jabatan ... 45

(5)

vii

Universitas Kristen Maranatha

2.5.1 Pengertian Kinerja dan Penilaian Kinerja ... 46

2.5.2 Syarat – syarat Indikator Standar Penilaian Kinerja ... 47

2.5.3 Implementasi Model Kompetensi dalam Penilaian Kinerja ... 48

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 49

3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian ... 49

3.2 Bagan Rancangan Penelitian ... 50

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 51

3.3.1 Variabel Penelitian ... 51

3.3.2 Definisi Konseptual ... 51

3.3.3 Definisi Operasional ... 51

3.4 Alat Ukur ... 55

3.4.1 Wawancara ... 55

3.4.2 Kuesioner Derajat Kepentingan dan Derajat Frekuensi ... 56

3.4.3 Data Pribadi dan Penunjang ... 60

3.4.3.1 Data Pribadi ... 60

3.4.3.2 Data Penunjang ... 60

3.4.4 Validitas Model Kompetensi ... 61

3.5 Populasi dan Karakteristik Populasi ... 61

3.5.1 Populasi Sasaran ... 61

3.5.2 Karakteristik Populasi ... 61

3.6 Teknik Analisis Data ... 62

(6)

viii

Universitas Kristen Maranatha

3.6.2 Kuesioner Derajat Kepentingan dan Derajat Frekuensi ... 62

BAB IV PEMBAHASAN ... 66

4.1 Hasil Penelitian ... 66

4.1.1 Hasil Kuesioner ... 67

4.2 Pembahasan ... 69

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 76

5.1 Kesimpulan ... 76

5.2 Saran ... 76

5.2.1 Saran Teoreti ... 76

5.2.2 Saran Praktis ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 78

(7)

ix

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Skor untuk Derajat Kepentingan dan Derajat Frekuensi ... 57

Tabel 3.2 Kompetensi, Key Behavior, dan Nomor Item Kuesioner Derajat Kepentingan Dan Derajat Frekensi ... 58

Tabel 3.3 Cara Perhitungan Total Skor Setiap Item ... 62

Tabel 3.3 Kriteria Penilaian Model Kompetensi ... 63

Tabel 3.4 Perhitungan Pemberian Bobot Pada Matriks ... 64

(8)

x

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran ... 20

Bagan 2.1 Keterkaitan antara Kompetensi dengan Kinerja ... 27

(9)

xi

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR GRAFIK

Grafik 4.1 Profil Model Kompetensi Kerja Perawat Bedah RS “X”

(10)

xii

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Job Description Perawat Bedah RS “X” Tasikmalaya

Lampiran 2 Kerangka Wawancara Dokter Bedah RS “X” Tasikmalaya

Lampiran 3 Kerangka Wawancara Perawat Bedah RS “X” Tasikmalaya

Lampiran 4 Hasil Wawancara Dokter Bedah RS “X” Tasikmalaya

Lampiran 5 Hasil Wawancara Perawat Bedah A RS “X” Tasikmalaya

Lampiran 6 Hasil Wawancara Perawat Bedah B RS “X” Tasikmalaya

Lampiran 7 Analisis Job Description Perawat Bedah RS “X” Tasikmalaya

Lampiran 8 Analisis Hasil Wawancara Dokter Bedah RS “X” Tasikmalaya

Lampiran 9 Analisis Hasil Wawancara Perawat Bedah A RS “X” Tasikmalaya

Lampiran 10 Analisis Hasil Wawancara Perawat Bedah B RS “X” Tasikmalaya

Lampiran 11 Kuesioner Model Kompetensi Berdasarkan Derajat Kepentingan dan

Frekuensi

Lampiran 12 Hasil Perhitungan Kuesioner Berdasarkan Derajat Kepentingan

Lampiran 13 Hasil Perhitungan Kuesioner Berdasarkan Derajat Frekuensi

Lampiran 14 Tabel Analisis Item Berdasarkan Matriks

(11)

1

Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan

kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang bertujuan untuk

mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, dengan

memberdayakan berbagai kesatuan personel terlatih dan terdidik dalam

menghadapi dan menangani masalah medik untuk pemulihan dan pemeliharaan

kesehatan yang baik (Siregar, 2004).

Personel terlatih dan terdidik atau yang biasa disebut sumber daya manusia

(SDM) yang bekerja di rumah sakit terdiri dari tenaga medis, tenaga keperawatan,

tenaga kefarmasian dan tenaga kesehatan masyarakat. Tenaga medis meliputi

dokter dan dokter gigi. Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan. Tenaga

kefarmasian meliputi apoteker, asisten apoteker dan analis farmasi. Selanjutnya

tenaga kesehatan masyarakat meliputi penyuluh kesehatan dan administrator

kesehatan. Mempekerjakan SDM yang terlatih dan terdidik menjadi hal dasar

yang harus dipenuhi oleh rumah sakit karena SDM akan mempengaruhi secara

langsung kualitas pelayanan kesehatan rumah sakit itu sendiri.

Keinginan untuk menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan yang

optimal kepada masyarakat dimiliki juga oleh RS “X” Tasikmalaya. Keinginan

(12)

2

Universitas Kristen Maranatha yang optimal akan memberikan dampak positif bagi kesehatan pasien. Kesadaran

RS “X” Tasikmalaya mengenai hal ini terlihat dari salah satu misinya yaitu

senantiasa meningkatkan kualitas dan kuantitas tenaga kerja. Pelaksanaan misi ini

tidak mudah karena hal ini berarti RS “X” harus mempekerjakan SDM yang tidak

hanya berpengalaman namun juga memiliki kinerja atau unjuk kerja yang terbaik

agar mampu melaksanakan tugas tanggung jawab pekerjaannya dengan optimal.

Program peningkatan kuantitas dan kualitas SDM juga dibutuhkan karena saat ini

RS “X” Tasikmalaya sedang mengembangkan diri untuk menjadi rumah sakit

pendidikan bagi bidan dan perawat, dengan tujuan menciptakan SDM yang

terlatih dan terdidik untuk memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat,

khususnya bidan dan perawat.

Salah satu contoh pelayanan kesehatan di RS “X” Tasikmalaya yang

memerlukan SDM dengan unjuk kerja terbaik adalah pelayanan kamar bedah.

Secara umum pelayanan yang diberikan di kamar bedah harus dilakukan dengan

pengelolaan yang baik dan khusus, misalnya pengendalian terhadap tingkat

kebersihan pada ruangan, udara, peralatan bedah, hingga para pekerja yang harus

steril atau terbebas dari kuman. Alasan yang mendasari hal tersebut karena segala

tindakan invasif (tindakan medis yang langsung dapat mempengaruhi keutuhan

jaringan tubuh manusia) melalui proses pembedahan atau bedah dilakukan di

kamar bedah, sehingga penting untuk memperhatikan kelancaran proses bedah

dan meminimalisir faktor-faktor pengganggu (http://www.majalah-farmacia.com,

2011). Tindakan invasif yang dilakukan kepada pasien, menuntut kondisi kamar

(13)

3

Universitas Kristen Maranatha langsung di kamar bedah harus bekerja sama untuk menciptakan kondisi tersebut.

Selain itu, kerja sama juga diperlukan karena pada dasarnya kegiatan bedah

adalah kegiatan yang harus dikerjakan oleh tim.

Tim bedah terdiri dari dokter bedah, perawat asisten, perawat instrument,

round nurse atau perawat sirkuler bedah dan dokter penata anastesi. Menurut dokter bedah senior RS “X” Tasikmalaya, hampir dapat dipastikan bahwa jika tim

bedah tidak lengkap maka kegiatan bedah tidak akan berlangsung. Kehadiran

dokter bedah dan dokter anastesi saja tidak serta – merta memungkinkan

terlaksananya kegiatan bedah, oleh karena itu bantuan dan peran perawat bedah

sangat diperlukan dalam setiap proses bedah yang dilaksanakan. Para dokter dan

perawat bedah maupun non bedah di RS “X” Tasikmalaya menganggap bahwa

pekerjaan perawat bedah adalah pekerjaan dengan tingkat kesulitan yang lebih

tinggi apabila dibandingkan dengan perawat non bedah. Selain menempuh

pendidikan formal keperawatan yang sama dengan perawat non bedah, para

perawat bedah dituntut untuk memiliki keahlian dan keterampilan khusus kamar

bedah. Hal ini menyebabkan adanya penilaian bahwa perawat bedah mampu

melaksanakan tugas perawat non bedah namun perawat non bedah belum tentu

mampu menyelesaikan pekerjaan perawat bedah.

Secara umum, seorang perawat bedah bertugas untuk membantu dokter

melakukan pembedahan pasien. Tugasnya dimulai dari menyiapkan pasien

sebelum proses bedah, menyiapkan berbagai peralatan yang akan digunakan pada

saat pembedahan hingga membantu dokter ketika kegiatan bedah dilaksanakan.

(14)

4

Universitas Kristen Maranatha sangat membantu kelancaran bedah. Bahkan bagi dokter bedah yang masih baru

atau belum terlalu berpengalaman, bantuan dari perawat bedah tersebut akan

sangat bermanfaat. Unjuk kerja terbaik perawat bedah ditunjukkan melalui

perilaku kerja aktual seperti terampil dalam menyiapkan peralatan bedah, penuh

pengertian dan siap sedia melayani dokter bedah ketika proses bedah, bersikap

tenang dalam situasi bedah yang sukar sekalipun, dan teliti dalam melakukan

pekerjaannya.

Pekerjaan seorang perawat bedah dibagi menjadi perawat sirkuler bedah,

perawat instrument bedah dan perawat asisten bedah. Perawat sirkuler bedah

memiliki tugas pokok untuk memenuhi kebutuhan alat – alat kesehatan dan

instrument tambahan selama operasi berlangsung. Rincian tugas perawat sirkuler antara lain menyalakan lampu operasi, melayani penambahan instrument, alat –

alat selama operasi berlangsung dan mengikat jas operator (dokter bedah),

perawat asisten dan instrumentator. Perawat instrument memiliki tugas pokok

untuk menyiapkan instrument dan alat kesehatan sesuai dengan jenis operasi yang

akan dilaksanakan serta menjaga sterilitas (instrument dan alat kesehatan) selama

operasi berlangsung. Rincian tugas perawat instrument antara lain menyusun dan

menghitung instrument yang utama di atas meja mayo, menghitung jumlah kassa,

jarum, sebelum operasi dan menghitung jumlah kassa dan instrument sebelum

daerah operasi ditutup. Selanjutnya perawat asisten bedah memiliki tugas pokok

untuk bekerja sama dengan tim membantu kelancaran kegiatan pembedahan

dokter ahli bedah sebagai mitra selama proses bedah pasien. Rincian tugas

(15)

5

Universitas Kristen Maranatha memasang pegangan lampu steril, dan menjaga ketenangan suasana operasi jika

terjadi ketegangan dan mengalami kesulitan.

Idealnya seorang perawat bedah hanya akan bertugas menjadi salah satu

dari ketiga peran yang ada, namun para perawat bedah yang bekerja di RS “X”

Tasikmalaya, dituntut untuk dapat menjalan tugas baik sebagai perawat sirkuler,

perawat instrument maupun perawat asisten bedah dikarenakan bagian kamar

bedah RS “X” Tasikmalaya memiliki tenaga perawat bedah yang terbatas.

Informasi ini diperoleh berdasarkan data terakhir tahun 2011, terdapat 29 orang

yang bekerja sebagai perawat bedah dari total keseluruhan 364 orang tenaga

perawat di RS “X” Tasikmalaya. Jumlah tenaga perawat bedah yang hanya 29

orang dinilai sangat terbatas, apabila dibandingkan dengan rata – rata jumlah

proses operasi yaitu sekitar 345 hingga 360 dalam satu bulan.

Masalah keterbatasan tenaga perawat bedah juga menyebabkan beberapa

kali bagian kamar bedah menerima perawat non bedah yang sudah bekerja di RS

“X” Tasikmalaya dan ingin mencoba untuk bekerja sebagai perawat bedah.

Seringkali para perawat non bedah yang mencoba bekerja di kamar bedah

mengalami beberapa kesulitan seperti lamban dalam menghafal instrument bedah,

kurang cekatan menyiapkan alat – alat bedah atau tidak bisa bekerja sama dalam

tim. Perawat percobaan yang mengalami hal – hal tersebut dipersilahkan untuk

mengundurkan diri sabagai perawat bedah dan selanjutnya oleh bagian kamar

bedah, perawat tersebut dikembalikan ke bagian keperawatan untuk ditempatkan

(16)

6

Universitas Kristen Maranatha Proses penerimaan perawat bedah yang selama ini berjalan di RS “X”

Tasikmalaya kurang sesuai dengan misi rumah sakit, yaitu meningkatkan kualitas

dan kuantitas SDM sesuai standar. Selain itu harapan untuk mendapatkan perawat

bedah dengan unjuk kerja terbaik dalam menjalankan tugasnya menjadi sulit

untuk dipenuhi. Hal ini terlihat dari kebijakan RS “X” Tasikmalaya yang tidak

membuka penerimaan khusus perawat bedah, hanya ada penerimaan perawat

secara umum. Bagian keperawatan rumah sakit yang akan menentukan pembagian

perawat baru yang diterima sesuai dengan kebutuhan dan permintaan. Hal ini

membuka peluang bagi perawat yang belum berpengalaman kerja di kamar bedah

atau perawat fresh graduate (lulusan D3 atau S1 Keperawatan) ditempatkan di

bagian kamar bedah RS “X” di kota Tasikmalaya. Selain itu, pihak penerimaan

calon perawat maupun dokter bedah yang menjadi koordinator bagian kamar

bedah tidak melakukan proses wawancara formal, calon perawat hanya dijelaskan

tentang tugas dan tanggung jawabnya sebagai perawat bedah. Pengalaman kerja,

sikap dan kegiatan pelatihan yang diikuti hanya dijadikan sebagai pertimbangan

dan data tambahan ketika menentukan penempatan calon perawat di bagian kamar

bedah.

Perawat yang sudah diterima sebagai perawat bedah, selanjutnya perawat

akan dikirim untuk mengikuti pelatihan kamar bedah lokal di Tasikmalaya, atau

pelatihan di luar kota seperti Bandung dan Jakarta. Perawat bedah yang fresh

graduate atau yang belum memiliki pengalaman kerja di kamar bedah tidak akan langsung diikutkan dalam kegiatan bedah tetapi diminta untuk belajar sendiri

(17)

7

Universitas Kristen Maranatha sebagai langkah awal perawat bedah akan mulai diikutkan dalam bedah sebagai

pengamat, lalu diikutkan sebagai tim bedah kecil. Selanjutnya, perawat yang

dianggap mampu oleh dokter bedah, diperbolehkan menjadi perawat asisten

dalam tim bedah besar. Tahapan ini dilakukan Di RS “X” Tasikmalaya dengan

tujuan agar perawat bedah dapat learning by doing dalam menjalankan tugasnya

sebagai perawat bedah.

Melalui hasil wawancara kepada dokter bedah senior RS “X” Tasikmalaya

diperoleh data bahwa sekitar 55 % perawat bedah yang ada saat ini belum bekerja

dengan optimal untuk memenuhi keinginan pihak rumah sakit maupun dokter

bedah. Bentuk perilaku perawat bedah yang belum optimal dalam bekerja

misalnya masih ada perawat bedah yang kurang teliti dalam menyiapkan

instrument bedah atau kurang sigap ketika sedang bertugas. Menurut dokter bedah kesalahan – kesalahan perawat bedah ini memang tidak berdampak fatal terhadap

keselamatan pasien, namun hal ini dapat menghambat atau memperlambat proses

bedah.

Perawat bedah juga mengatakan bahwa sebenarnya mereka merasakan

kebosanan dan mengalami kelelahan hampir untuk semua proses bedah yang

memiliki durasi yang lama yaitu sekitar 8 hingga 10 jam, biasanya hal ini

disebabkan karena kasus pasien sulit untuk ditangani atau pasien dalam keadaan

yang parah. Meskipun demikian perawat bedah harus selalu ada di ruangan

selama bedah berlangsung, dan tidak diperbolehkan keluar ruang bedah hingga

kegiatan bedah selesai dilaksanakan. Tanggung jawab ini menuntut para perawat

(18)

8

Universitas Kristen Maranatha dibenarkan oleh dokter bedah RS “X” Tasikmalaya, menurut pengamatannya

selama kurang lebih 25 tahun bekerja di kamar bedah RS “X”, faktor kelelahan

adalah masalah utama dari perawat bedah yang sedang bertugas di ruangan bedah.

Apabila sudah lelah maka biasanya perawat bedah menjadi lebih cepat tegang bila

menghadapi kasus yang sulit, susah bekerja sama dan menjalin komunikasi

dengan anggota tim bedah yang lain. Selain itu para perawat bedah menjadi

kurang konsentrasi bekerja, alih – alih konsentrasi merupakan hal penting untuk

perawat bedah dalam menjalankan tugasnya; konsentrasi yang baik akan

membantu perawat bedah memiliki daya ingat yang baik dan lebih teliti ketika

mengerjakan tugasnya.

Hal lain yang dianggap menjadi acuan penilaian kerja perawat bedah RS

“X” Tasikmalaya yang belum optimal adalah ketelitian. Perawat bedah seringkali

tidak teliti dalam mempersiapkan instrument bedah, hal ini menyebabkan proses

pembedahan terhadap pasien akan berhenti sejenak karena perawat sirkuler harus

keluar dan mengambil instrument atau peralatan bedah yang dibutuhkan.

Terkadang mereka juga salah mengambil instrument yang tidak layak digunakan,

misalnya seperti pisau atau gunting bedah yang tumpul. Kemampuan daya ingat

juga menjadi perhatian perawat bedah, karena setiap hari perawat bedah

berhadapan dengan banyak instrument yang antara lain terdiri dari bermacam

pisau, gunting, benang dan jarum. Para perawat bedah harus tahu dan hafal

mengenai nama, bentuk, penyusunan dan kegunaan serta paham mengenai

penggunaannnya. Perawat bedah yang demikian akan jauh lebih cepat dan tepat

(19)

9

Universitas Kristen Maranatha Data tersebut memberikan gambaran bahwa perawat bedah RS “X”

Tasikmalaya dituntunt untuk menampilkan kinerja terbaiknya ketika berperan

sebagai perawat sirkuler, perawat instrument maupun sebagai perawat asisten

bedah. Hanya saja tuntutan ini belum disertai dengan penggunaan standar atau

acuan pasti untuk menentukan kinerja terbaik yang diharapkan dari perawat

bedah. Saat ini RS “X” Tasikmalaya hanya memiliki uraian tugas dan tanggung

jawab perawat bedah. Penggunaan standar atau acuan pasti akan bermanfaat

untuk mengetahui hal – hal apa saja yang dibutuhkan atau yang perlu

dikembangkan dalam diri perawat agar dapat mencapai kinerja terbaik yang

diharapkan dari perawat bedah.

Kebutuhan RS “X” Tasikmalaya ini dapat dipenuhi dengan adanya model

kompetensi perawat bedah. Spencer & Spencer (1993) mendefinisikan model

kompetensi merupakan sekelompok kompetensi spesifik yang diperlukan untuk

mencapai kinerja terbaik (superior performance) pada suatu jabatan tertentu.

Spencer & Spencer (1993) telah membuat model kompetensi umum yang

memudahkan proses penentuan kompetensi – kompetensi apa saja yang

dibutuhkan dalam suatu jabatan tertentu. Penggunaannya harus disesuaikan

kembali dengan jabatan, tugas dan tanggung jawab pekerjaan, yang mana pada

penelitian ini adalah perawat bedah RS “X” Tasikmalaya.

Model kompetensi yang akurat dapat bermanfaat untuk menentukan

dengan tepat pengetahuan serta keterampilan apa saja yang dibutuhkan untuk

berhasil dalam suatu pekerjaan. Apabila seorang pemegang posisi mampu

(20)

10

Universitas Kristen Maranatha performance dan diprediksi akan meraih kesusksesan dalam pekerjaannya. Sebaliknya apabila pemegang posisi tersebut belum memiliki kompetensi –

kompetensi yang dipersyaratkan maka dengan adanya model kompetensi, dapat

diketahui kompetensi apa saja yang belum terpenuhi sehingga dapat dilakukan

berbagai usaha efektif seperti pelatihan atau training yang sesuai dengan

kebutuhan sehingga seseorang dapat menunjukkan kinerja terbaiknya.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin melakukan penelitian dengan

judul “Studi Deskriptif Mengenai Model Kompetensi Kerja Pada Perawat Bedah

RS “X” Di Kota Tasikmalaya”.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian diatas, masalah utama yang akan diteliti adalah:

Model Kompetensi Kerja Pada Perawat Bedah RS “X” Di Kota Tasikmalaya.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud penelitian ini adalah untuk menjaring kompetensi – kompetensi

(21)

11

Universitas Kristen Maranatha 1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan model kompetensi

perawat bedah RS “X” di kota Tasikmalaya.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoritis

a. Memperdalam pemahaman mengenai teori Competence at Work di dalam

ilmu psikologi industri dan organisasi.

b. Memberikan tambahan informasi di bidang Psikologi Industri dan

Organisasi mengenai penerapan model kompetensi kerja pada perawat

bedah.

c. Memberikan tambahan informasi kepada peneliti lain yang ingin

melakukan penelitan serupa yang berkaitan dengan kompetensi kerja pada

perawat bedah.

1.4.2 Kegunaan Praktis

a. Bagi perawat bedah RS “X” Tasikmalaya penelitian ini dapat memberikan

informasi mengenai model kompetensi yang diperlukan mereka agar dapat

menunjukkan kinerja terbaik dalam menjalankan tugas dan tanggung

jawabnya.

b. Bagi dokter bedah RS “X” Tasikmalaya penelitian ini dapat digunakan

(22)

12

Universitas Kristen Maranatha kinerja perawat bedah dan perilaku spesifik yang diharapkan untuk

dilakukan oleh perawat bedah dalam menjalankan tugasnya.

c. Bagi pihak manajemen RS “X” Tasikmalaya penelitian model kompetensi

ini dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam pemberian

pelatihan kamar bedah sesuai kebutuhan perawat bedah dan dapat

digunakan sebagai salah satu dasar evaluasi kinerja perawat bedah secara

rutin.

d. Manfaat jangka panjang bagi bagian penerimaan keperawatan RS “X”

Tasikmalaya penelitian mengenai model kompetensi perawat bedah ini

(setelah dilakukan penyesuaian – penyesuaian tertentu oleh pihak RS “X”

di kota Tasikmalaya) dapat digunakan sebagai acuan dan standar spesifik

untuk menyeleksi calon perawat bedah.

1.5 Kerangka Pemikiran

Analisis jabatan adalah suatu bentuk pengembangan uraian terperinci dari

tugas-tugas yang harus dilakukan dalam suatu jabatan, penentuan hubungan dari

satu jabatan dengan jabatan lain yang ada, dan penentuan tentang pengetahuan,

keterampilan, dan kemampuan-kemampuan lain yang diperlukan karyawan untuk

melakukan pekerjaan secara efisien dan efektif (Robbins, 1993). Dua produk

penting yang diperoleh dari analisis jabatan pada perawat bedah RS “X”

Tasikmalaya, yaitu job description dan job specification perawat bedah RS “X”

(23)

13

Universitas Kristen Maranatha yang harus dikerjakan perawat bedah, sedangkan job specification merupakan

keahlian, pengetahuan dan kemampuan minimal yang dibutuhkan perawat bedah

untuk melaksanakan pekerjaan tugasnya dan menunjukkan kualitas yang

disyaratkan untuk pelaksanaan yang dapat diterima.

Wawancara, observasi, kuesioner yang bertujuan untuk mengetahui latar

belakang organisasi, kondisi kerja dan tuntutan pekerjaan merupakan beberapa

teknik yang dapat digunakan untuk melakukan analisis jabatan. Pada penelitian ini

wawancara menjadi teknik pilihan untuk memperoleh data – data faktual guna

menganalisis jabatan perawat bedah RS “X” Tasikmalaya. Data pertama adalah

kondisi kerja kamar bedah RS “X” Tasikmalaya, kondisi kerja yang dimaksud

meliputi prosedur kerja kamar bedah yaitu disiplin menjaga sterilitas. Sterilitas

menjadi prioritas dan prosedur utama demi menjaga keselamatan pasien yang

sedang menjalani proses bedah. Kemudian kondisi kerja kamar bedah yang kedua

adalah bekerja dengan teliti dan terampil dalam menyiapkan dan menyusun

instrument yang dibutuhkan untuk kegiatan bedah.

Perawat bedah dituntut untuk dapat menjalankan tugas baik sebagai

perawat sirkuler, perawat instrument maupun perawat asisten bedah. Hal ini

menyebabkan para perawat bedah hampir tidak dapat membedakan tugas dan

tanggung jawab dari ketiga peran tersebut. Selain itu perawat bedah dituntut

bekerja dengan cekatan, sigap dan selalu menjaga sterilitas diri, instrument, dan

ruangan. Hal lain sejalan dengan visi dan misi RS “X” Tasikmalaya, yaitu

(24)

14

Universitas Kristen Maranatha Standar kualitas yang dimaksud bagi perawat bedah RS “X” Tasikmalaya adalah

mampu menjalankan ketiga peran perawat bedah yang ada dengan optimal.

Berdasarkan hasil wawancara kepada dokter dan perawat bedah serta

informasi RS “X” Tasikmalaya, diperoleh job description perawat bedah; yang

mana idealnya masing – masing peran memiliki tugas dan tanggung jawab

khusus. Perawat sirkuler memiliki tugas antara lain menyalakan lampu operasi,

melayani penambahan instrument, alat – alat selama operasi berlangsung dan

mengikat jas operator (dokter bedah), perawat asisten dan instrumentator. Perawat

instrument memiliki tugas antara lain menyusun dan menghitung instrument yang utama di atas meja mayo, menghitung jumlah kassa, jarum, sebelum operasi dan

menghitung jumlah kassa dan instrument sebelum daerah operasi ditutup.

Selanjutnya perawat asisten bedah memiliki tugas antara lain membantu posisi

pasien di atas meja operasi, memasang pegangan lampu steril, dan menjaga

ketenangan suasana operasi jika terjadi ketegangan dan mengalami kesulitan.

Job specification utama bagi perawat sirkuler, perawat instrument dan perawat asisten bedah RS “X” Tasikmalaya adalah lulusan D3 atau S1

keperawatan. Selain itu calon perawat bedah harus memiliki kemauan bekerja

atau ditempatkan di kamar bedah; sedangkan IPK, Pengalaman bekerja, pelatihan

dan seminar yang pernah diikuti hanya menjadi pertimbangan tambahan.

Job description dan job specification tersebut membuat perawat bedah diharapkan memiliki sejumlah kompetensi yang sesuai dengan tuntutan

pekerjaannya sehingga dapat mendukungnya untuk menjalankan tugas dan

(25)

15

Universitas Kristen Maranatha mendasari seseorang dan berkaitan dengan efektifitas kinerjanya dalam pekerjaan

atau beragam situasi lainnya (Spencer & Spencer, 1993). Karakteristik dasar yang

berkaitan dengan efektifitas kinerja dalam diri seseorang dapat dilihat dalam

perilaku yang ditampilkan seseorang untuk menunjang pekerjaannya.

Perilaku yang ditampilkan seseorang dikatakan efektif jika ia mampu

menampilkan kompetensi yang dibutuhkan saat bekerja atau perilaku yang dapat

menunjang seseorang mencapai keberhasilan dalam pekerjaannya. Pendekatan

kompetensi dapat dijadikan patokan untuk menilai proses kerja seseorang.

Identifikasi kompetensi pekerjaan yang akurat juga dapat dipakai sebagai tolok

ukur kemampuan seseorang. Berdasarkan sistem kompetensi dapat diketahui

apakah seseorang telah memiliki kompetensi tertentu yang dipersyaratkan.

Sebaliknya apabila seseorang belum memiliki kompetensi yang disyaratkan, maka

dapat dilakukan pengembangan dengan cara pelatihan, atau perlu dilakukan

mutasi.

Spencer & Spencer (1993) membagi kompetensi individu menjadi 6

cluster atau kelompok, yaitu Achievement and Action; Helping and Human Service; The Impact and Influence; Managerial; Cognitif dan Personal Effectiveness, dimana setiap kelompok terdiri dari beberapa kompetensi. Spencer & Spencer (1993) juga telah membuat 5 generic competency models untuk

memudahkan proses penentuan kompetensi – kompetensi apa saja yang

dibutuhkan dalam suatu jabatan tertentu. Secara garis besar untuk pekerjaan

perawat bedah tergolong dalam generic competency model of helping and human

(26)

16

Universitas Kristen Maranatha lagi dengan jabatan, tugas dan tanggung jawab perawat bedah RS “X”

Tasikmalaya. Berdasarkan hal tersebut diperoleh beberapa kompetensi yang

dianggap perlu dimiliki oleh perawat perawat sirkuler, perawat instrument dan

perawat asisten bedah RS “X” Tasikmalaya.

Kompetensi pertama Achievement Orientation (ACH), yaitu derajat

kepedulian perawat bedah RS “X” Tasikmalaya terhadap pekerjaannya sehingga

ia terdorong untuk berusaha bekerja secara lebih baik atau di atas standar yang

ditetapkan. Kompetensi ini dibutuhkan perawat bedah agar dapat bekerja optimal,

bahkan melebihi standar minimal sehingga perawat bedah terdorong untuk terus

melakukan perbaikan diri.

Kompetensi kedua adalah Concern for Order, Quality, and Accuracy

(CO), yaitu dorongan dalam diri perawat bedah RS “X” Tasikmalaya untuk

mengurangi ketidakpastian di lingkungan kamar bedah, khususnya yang berkaitan

dengan pengaturan kerja, instruksi, informasi, dan data. Kompetensi ini

dibutuhkan agar dalam melakukan pekerjaannya, perawat bedah mengutamakan

ketelitian dan keakuratan ketika berada dalam situasi bedah. Baik dalam hal

menerima instruksi dokter, persiapan dan penyimpanan kembali alat bedah.

Kompetensi ketiga adalah Customer Service Orientation (CSO), yaitu

keinginan perawat bedah RS “X” Tasikmalaya untuk melayani user. User adalah

adalah orang yang menggunakan jasa perawat bedah terdiri dari dokter bedah dan

pasien bedah RS “X” di kota Tasikmalaya. Kompetensi ini penting agar apapun

yang perawat bedah kerjakan selalu berorientasi dan mengutamakan keselamatan

(27)

17

Universitas Kristen Maranatha Kompetensi keempat adalah Building Relationship (RB), yaitu besarnya

usaha perawat bedah RS “X” Tasikmalaya untuk menjalin dan membina

hubungan sosial atau jaringan hubungan sosial dengan dokter dan sesama rekan

perawat bedah agar tetap hangat dan akrab. Kompetensi ini dibutuhkan agar dapat

tercipta suasana kerja yang nyaman bagi perawat bedah.

Kompetensi kelima adalah Teamwork and Cooperation (TW), yaitu

dorongan dan kemampuan perawat bedah RS “X” Tasikmalaya untuk bekerja

sama dengan rekan kerja dalam melaksanakan tugas sebagai perawat bedah.

Kompetensi ini sangat dibutuhkan karena kegiatan bedah adalah hasil kerjasama

tim, sehingga kesuksesan atau kegagalan bedah juga dipengaruhi oleh kerja tim

bukan hasil pekerjaan individu.

Kompetensi keenam adalah Self-control (SCT), yaitu kemampuan perawat

bedah RS “X” Tasikmalaya untuk mengendalikan emosi diri sehingga mencegah

untuk melakukan tindakan-tindakan negatif pada saat ketika bekerja, khususnya

ketika bekerja bawah tekanan. Hal ini dibutuhkan karena situasi bedah yang

terkadang tidak terduga mengharuskan parawat bedah untuk mengendalikan

emosinya, misalnya menjaga emosi agar tetap bekerja optimal meskipun sudah

sangat lelah karena menjalani bedah yang panjang atau bedah dengan kasus sulit.

Kompetensi ketujuh adalah Self Confidence (SCF), yaitu keyakinan diri

perawat bedah RS “X” Tasikmalaya sesuai dengan kemampuan dirinya sendiri

untuk menyelesaikan tugasnya. Kompetensi ini diperlukan agar perawat bedah

(28)

18

Universitas Kristen Maranatha juga berani untuk bertanggung jawab bila ada kesalahan yang diperbuat dan

memperbaikinya agar tidak terjadi di bedah selanjutnya.

Kompetensi kedelapan adalah Flexibility (FLX), yaitu kemampuan

perawat bedah RS “X” Tasikmalaya untuk beradaptasi dan bekerja secara efektif

dengan berbagai situasi yang berbeda dalam pekerjaannya. Kompetensi

dibutuhkan karena perawat bedah RS “X” Tasikmalayaharus dapat berperan

dengan baik sebagai perawat sirkuler, perawat instrument maupun sebagai

perawat asisten bedah.

Kompetensi kesembilan adalah Information Seeking (INFO), yaitu

besarnya usaha tambahan yang dikeluarkan perawat bedah RS “X” Tasikmalaya

untuk mengumpulkan informasi tambahan yang berkaitan dengan pekerjaan.

Kompetensi ini dibutuhkan karena pekerjaan dalam tim yang dijalani oleh perawat

bedah, membuat perawat bedah harus mencari informasi yang tepat sehingga

tidak terjadi kesalahan komunikasi maupun kesalahan dalam bekerja.

Kompetensi terakhir yang dibutuhkan adalah Expertise (EXP), yaitu

perawat bedah RS “X” Tasikmalaya memiliki dan termotivasi untuk

menggunakan, mengembangkan serta membagi pengetahuannya kepada rekan

kerja mengenai berbagai peralatan bedah dan standar kerja kamar bedah.

Kompetensi ini dibutuhkan agar perawat bedah tidak cepat puas dengan

keterampilan atau pengetahuan yang sudah dimiliki namun terus mengembangkan

diri agar memberikan pelayanan terbaik kepada pasien.

Kesepuluh kompetensi kemudian akan diujikan kembali kepada perawat

(29)

19

Universitas Kristen Maranatha dibutuhkan oleh perawat bedah untuk menunjang pekerjaannya akan digabung ke

dalam suatu pengelompokan yang disebut dengan model kompetensi. Spencer &

Spencer (1993) mendefinisikan model kompetensi merupakan sekelompok

kompetensi spesifik yang diperlukan untuk mencapai kinerja terbaik (superior

performance) pada suatu jabatan tertentu.

Pada akhirnya penelitian ini akan menghasilkan model kompetensi kerja

perawat bedah RS “X” Tasikmalaya yang berisikan kompetensi – kompetensi

spesifik yang diperlukan untuk memprediksi kinerja terbaik perawat bedah RS

“X” di kota Tasikmalaya. Secara ringkas alur berpikir diatas dinyatakan dalam

(30)

20

20

Universitas Kristen Maranatha

Bagan 1.1. Kerangka Pemikiran

Job Description dan Job Specification Perawat Bedah. Model Kompetensi Kerja Perawat Bedah RS “X” Tasikmalaya KOMPETENSI

Kompetensi Kerja Perawat bedah RS “X” Tasikmalaya

Competency (Spencer & Spencer, 1993) − Achievement Orientation

(ACH)

Concern for Order, Quality, and Accuracy (CO)

Customer Service Orientation (CSO)

Building relationship (RB) Teamwork and Cooperation

(TW)

Self-control (SCT) Self Confidence (SCF) Flexibility (FLX)

Information Seeking (INFO) Expertise (EXP)

- Kondisi dan Prosedur Kerja Kamar Bedah - Tuntutan Pekerjaan Perawat Bedah RS “X” Tasikmalaya Visi Misi RS “X”

Tasikmalaya

Analisis Jabatan Perawat bedah RS “X” Tasikmalaya : 1.Perawat Sirkuler 2. Perawat Instrument 3. Perawat Asisten Bedah Hasil Wawancara

Dokter dan Perawat Bedah RS “X”

(31)

21

Universitas Kristen Maranatha 1.6 Asumsi

Berdasarkan uraian di atas, peneliti menarik asumsi sebagai berikut:

a. Perawat bedah RS “X” Tasikmalaya dituntut untuk dapat menjalankan

peran sebagai perawat sirkuler, perawat instrument dan perawat asisten

bedah. Agar dapat menjalankan ketiga peran tersebut dan mencapai kinerja

terbaiknya, maka perawat bedah RS “X” Tasikmalaya membutuhkan

kompetensi – kompetensi tertentu.

b. Perawat bedah yang memiliki tugas utama membantu dokter bedah dalam

proses surgery (pembedahan), menurut Spencer & Spencer (1993)

termasuk ke dalam generic competency model helping and human service

workers.

c. Model kompetensi yang mengacu pada generic competency model helping

and human service workers dan kondisi spesifik RS “X” Tasikmalaya, mencakup 10 macam kompetensi, yaitu : Achievement Orientation (ACH),

Concern for Order, Quality, and Accuracy (CO), Customer Service Orientation (CSO), Building Relationship (RB), Teamwork and Cooperation (TW), Self-control (SCT), Self Confidence (SCF), Flexibility (FLX), dan Expertise (EXP).

d. Information Seeking (INFO) tidak termasuk ke dalam generic competency model helping and human service workers namun dibutuhkan oleh perawat bedah RS “X” Tasikmalaya untuk dapat menjadi excellent

(32)

76

Universitas Kristen Maranatha BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian yang

dilakukan pada perawat bedah RS “X” di kota Tasikmalaya, maka dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut :

a. Perawat bedah RS “X” di kota Tasikmalaya membutuhkan kompetensi

Concern for Order, Quality, and Accuracy (CO), Flexibility (FLX), Customer Service Orientation (CSO), Achievement Orientation (ACH), Expertise (EXP), Self-control (SCT), Teamwork and Cooperation (TW), Information Seeking (INFO), Self Confidence (SCF), dan Building Relationship (RB).

b. Kesepuluh kompetensi tersebut inilah yang dimasukkan menjadi model

kompetensi kerja untuk perawat bedah RS “X” di kota Tasikmalaya.

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka peneliti mengajukan beberapa saran

sebagai berikut :

5.2.1 Saran Teoretis

a. Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan jika

(33)

77

Universitas Kristen Maranatha khususnya pembuatan model kompetensi berdasarkan teori Spencer &

Spencer, 1993.

b. Bagi peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian mengenai model

kompetensi kerja pada perawat non –bedah RS “X” di Kota Tasikmalaya,

seperti perawat UGD (Unit Gawat Darurat) atau perawat yang bekerja di

ruang perawatan pasien.

5.2.2 Saran Praktis

a. RS “X” disarankan untuk mensosialisasikan model kompetensi ini kepada

perawat bedah untuk menjadi informasi dan masukan bagi perawat bedah

mengenai kompetensi yang diperlukan guna mencapai kinerja terbaik

dalam melaksanakan pekerjaannya.

b. RS “X” disarankan untuk melakukan penilaian kinerja perawat bedah

menggunakan model kompetensi ini, agar mengetahui kebutuhan perawat

bedah dalam hal pemberian program pengembangan, sehingga program

pengembangan yang diberikan tepat sasaran dan berguna untuk

peningkatan kinerja perawat bedah.

c. RS “X” disarankan melakukan perencanaan program jangka panjang untuk

menggunakan model kompetensi sebagai kriteria seleksi calon perawat

bedah, dengan pertimbangan dan penyesuaian – penyesuaian yang

(34)

78

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Manopo, Christine. 2011. Competency Based Talent and Perfomance Management System. Jakarta: Salemba Empat

Moeheriono. 2010. Pengukuran Kinerja Berbasis Kompetensi. Bogor: Ghalia Indonesia

Mohammad, Nazir. 1999. Metode Penelitian. Jakarta. Ghalia Indonesia

Robbins, Stephen P. 1993. Perilaku Organisasi. Diterjemahkan oleh Tim Salemba Empat. Jakarta : Salemba Empat

Siegel, Sidney. 1994. Statistik Non Parametrik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods) Bandung: Alfabeta

Siregar, Charles JP. 2004. Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan. Jakarta: Penerbit EGC

Spencer, Lyle M. and Signe M. Spencer. 1993. Competence at Work. USA: John Willey and Sons Inc

(35)

79

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

http://www.scribd.com/doc/39796763/4-DFA-Robi-Putra-hal-75-90-75-86

http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/09/konsep-kompentensi-definisi.html

Melinda. 2011. Studi Deskriptif Mengenai Model Kompetensi pada Jabatan Kepala Unit di Departemen Sales PT. “X” Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Wade, Carole & Carol Tavris. 2003. Psikologi Edisi 9 Jilid 1. Jakarta : Erlangga. (http://books.google.com)

Referensi

Dokumen terkait

Saran bagi guru honorer sekolah dasar negeri di kota Bandung untuk dapat mengintropeksi dan mengevaluasi pengalaman hidupnya serta mengembangkan kompetensi yang dimiliki

Keluhan yang didapatkan dari satu orang kepala perawat masih adanya budaya kerja lama yang harus diubah oleh perawat seperti terlalu santai bekerja, tidak berada di

Dalam penelitian ini masih ditemukan aspek causality orientation control dan impersonal sehingga peneliti mengajukan saran kepada pimpinan gereja “X” kota Bandung dan pihak

Kompetensi other personal effectiveness competencies yaitu kemampuan seorang guru untuk belajar dari kesalahan dan memiliki komitmen dalam mengajar, misalnya

Peneliti mengajukan saran untuk meneliti lebih lanjut mengenai Status Identitas bidang agama mahasiswa anggota Kelompok Kecil PMK di lingkungan Universitas “X” Bandung

Saran yang diberikan kepada pihak perusahaan adalah disarankan untuk memberikan transparansi dalam penentuan pemberian gaji kepada karyawan, memberikan pengakuan dan

Hasil penelitian ini dapat disampaikan kepada penderita DM di RS “X” Bekasi melalui pihak RS untuk tetap mempertahankan apa yang sudah dilakukan dalam menghayati

Peneliti mengajukan saran agar dilakukan penelitian untuk meneliti faktor pendukung apakah yang paling berperan dalam mendorong berkembangnya dominansi komponen komitmen