• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan terhadap Pengaturan Pre Install Application (Bloatware) dalam Perangkat Telepon Seluler Menurut Sistem Hukum Indonesia Dikaitkan dengan Prinsip Tying Agreement dan Perlindungan Hukum bagi Konsumen Pengguna Telepon Seluler.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan terhadap Pengaturan Pre Install Application (Bloatware) dalam Perangkat Telepon Seluler Menurut Sistem Hukum Indonesia Dikaitkan dengan Prinsip Tying Agreement dan Perlindungan Hukum bagi Konsumen Pengguna Telepon Seluler."

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

I

TINJAUAN TERHADAP PENGATURAN PRE INSTALL APPLICATION (BLOATWARE) DALAM PERANGKAT TELEPON SELULER MENURUT

SISTEM HUKUM INDONESIA DIKAITKAN DENGAN PRINSIP TYING AGREEMENT DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGGUNA TELEPON

SELULER

ABSTRAK

Komunikasi merupakan hal yang vital bagi kehidupan manusia. Seiring perkembangan jaman, alat komunikasi menjadi suatu kebutuhan bagi manusia saat ini. Salah satunya adalah telepon seluler. Perkembangan telepon seluler yang semula hanya digunakan sebagai alat komunikasi semata kini berubah mulai dari tampilan desain, aksesoris, hingga fitur telepon seluler yang kini di dalamnya terdapat suatu aplikasi. Di dalam telepon seluler terdapat 2 (dua) macam aplikasi yaitu: aplikasi yang otomatis diinstal oleh pihak produsen telepon seluler (pre install application/bloatware) dan aplikasi yang diinstal secara manual oleh pihak konsumen pengguna telepon seluler. Dalam kenyataanya keberadaan bloatware dalam telepon seluler bersifat permanen dan telah menimbulkan konsekuensi dan permasalahan hukum bagi konsumen pengguna telepon seluler, seperti Konsumen tidak memiliki haknya untuk memilih aplikasi mana yang menjadi kebutuhan dan keinginanya, berkurangnya kapasitas memori telepon seluler, energi baterai, kuota internet, hingga dapat terjadi bocornya data konsumen.

Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan yang lebih mengacu pada bahan hukum primer berupa Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan Peraturan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha No.5 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 15 (Perjanjian tertutup) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dan pendekatan konseptual yang mengacu pada bahan hukum sekunder berupa buku-buku, jurnal-jurnal hukum, dan pendapat para ahli. Untuk melengkapi penulisan skripsi ini, penulis melakukan wawancara berkaitan dengan permasalahan hukum mengenai bloatware. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis bahwa terdapat indikasi produsen telepon seluler (pelaku usaha) melakukan perjanjian tertutup dalam bentuk perjanjian pengikatan dengan pelaku usaha lain dan terdapat hak-hak konsumen pengguna telepon seluler telah dilanggar akibat keberadaan bloatware dalam telepon seluler.

Penyertaan bloatware yang diikatkan dalam telepon seluler merupakan indikasi dari perjanjian tertutup dalam bentuk perjanjian pengikatan, dan perlindungan hukum bagi konsumen pengguna telepon seluler dengan memperhatikan hak konsumen yaitu mendapatkan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam menggunakan telepon seluler. Namun hal tersebut belum spesifik mengatur sehingga diperlukan aturan yang lebih jelas dan spesifik serta upaya hukum yang dapat ditempuh melalui jalur pengadilan dan di luar pengadilan bagi konsumen pengguna telepon seluler yang hak-haknya telah dirugikan oleh produsen telepon seluler. Keberadaan bloatware belum menjadi perhatian bagi pemerintah dan rakyat Indonesia dikarenakan belum ada regulasi yang mengatur mengenai permasalahan hukum bloatware secara khusus, ditambah banyaknya konsumen yang mentoleransi kerugian akibat keberadaan bloatware dalam telepon seluler.

(2)

II

THE REVIEW ABOUT REGULATION PRE INSTALL APPLICATION (BLOATWARE) IN A CELLULER PHONE ACCORDING TO THE INDONESIAN LEGAL SYSTEM ASSOCIATED WITH THE TYING AGREEMENT AND LEGAL

PROTECTION FOR CELLULER PHONE USERS ABSTRACT

Communication is vital for human life .As era development , a means of communication into a need for beings now .One of them is celluler phone .The development of celluler phone it is used as a means of communication is now changed start of a display design , accessories , until features celluler phone who is now at which there is an application .In celluler phone are 2 ( two ) kind of application namely: the automatic installed by producer celluler phone ( pre install application / bloatware) and application who was installed manually by the consumers cell phone users .In fact the existence of bloatware in a telephone cellular permanent and had generated a consequence and legal issues for those cell phone users , as people did not having her right to choose application what the needs and want , reduced memory capacity mobile phone , Energize a battery , the quota the internet , until can occur the leakage of data consumers.

A method of writing used in writing thesis this uses the method juridical normative by adopting regulations that more reference on the material law primary in form of act number 5 of 1999 about prohibition of monopoly and unfair business competition, the act of number 8 of 1999 about consumer protection, and regulations industry competition supervision commission number 5 of 2011 on guidelines article 15 ( agreement closed ) the act of number 5 of 1999 on prohibition of monopoly and unfair business competition, and approach conceptual reference on the material law secondary of books, journals about law, opinion’s expert. To furnish writing this thesis, writer interviewing relating to legal issues about bloatware. Based on the results of research conducted by writer that there is an indication producers celluler phone (business players) have an agreement closed in the form of a binding agreement with the other businesses and there are the rights of consumers cell phone users have been violated due to the existence of bloatware in a telephone cellular.

Participation bloatware fastened in a telephone cellular an indication of of an agreement closed in the form of a binding agreement, and legal protection of consumers cell phone users by taking into account the right consumers that is get comfort, security, and safety in using cellular phone. But it has not been specifically set up so that the necessary rules more clear and specific as well as remedy which can be reached through the Court and out of court for the consumer cell phone users that his rights have been harmed by mobile phone manufacturers. The existence of bloatware is not yet a concern for the Government and people of Indonesia because there is no regulation governing legal issues bloatware in particular, plus the large number of consumers who tolerate the loss due to the existence of bloatware in celluler phones.

(3)

X

Pengesahan Pembimbing………......II

Persetujuan Panitia Sidang Ujian………..………III

Persetujuan Revisi……….………..………IV

Abstrak……….….……V

Abstract……….……VI

Kata Pengantar………...……VII

Daftar Isi………...……….…X

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………...………...………1

B. Rumusan Masalah………...………...11

C. Tujuan Penulisan………...………...….…12

D. Manfaat Penulisan………...……….………...……13

E. Kerangka Pemikiran………...……….13

F. Metode Penelitian……...……….20

G. Sistematika Penulisan………...………...25

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN JUAL-BELI TELEPON SELULER DAN

(4)

XI

1. Pengertian Perikatan………..27

2. Pengertian Perijanjian………30

3. Hubungan Perikatan dan Perjanjian………...34

4. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian………..…...35

5. Asas-Asas Perjanjian……….38

B. Tinjauan Hukum Persaingan Usaha………...42

1. Pengertian Persaingan Usaha dan Monopoli………..42

2. Asas dan Tujuan Hukum Persaingan Usaha………...…48

3. Pendekatan Per Se Illegal dan Rule Of Reason dalam Penegakan Hukum Persaingan Usaha….………..…52

4. Perjanjian yang Dilarang dalam Hukum Persaingan Usaha………...54

C. Konsep Perjanjian Pengikatan (Tying Agreement) Sebagai Bentuk Perjanjian Tertutup………..……….66

1. Pengertian Tying Agreement dalam Persaingan Usaha Tidak Sehat Menurut Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat………...…………66 2. Latar Belakang Pelaku Usaha dalam Melakukan Perjanjian Tying Agreement………...………..71

BAB III PENGATURAN PRE INSTALL APPLICATION (BLOATWARE) DALAM

(5)

XII

2. Aplikasi dalam Telepon Seluler……….79

B. Perjanjian Jual-Beli Telepon Seluler………...……86

1. Pengaturan Jual-Beli Telepon Seluler dalam Perundang-Undangan……….….86

2. Keabsahan Jual-Beli Telepon Seluler ………90

C. Subjek Perjanjian Jual-Beli Telepon Seluler………...……95

1. Konsumen Pengguna Telepon Seluler………...………95

2. Produsen Telepon Seluler………100

D. Konsekuensi Keberadaan Pre Install Application (Bloatware) yang diikatkan pada Produk Telepon Seluler……….104

BAB IV TINJAUAN TERHADAP PENGATURAN PRE INSTALL APPLICATION

(BLOATWARE) DALAM PERANGKAT TELEPON SELULER MENURUT SISTEM

HUKUM INDONESIA DIKAITKAN DENGAN PRINSIP TYING AGREEMENT DAN

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN PENGGUNA TELEPON SELULER

A. Pengaturan Masalah Bloatware yang Diindikasikan Sebagai Perjanjian Tertutup Telah Terakomodir dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen juncto Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek

Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat………...110

1. Bloatware yang Diindikasikan Sebagai Perjanjian Tertutup dalam Telepon

(6)

XIII

3. Pengaturan Masalah Bloatware yang Diindikasikan Sebagai Perjanjian Tertutup Telah Terakomodir dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat……….115

4. Kasus Microsoft yang Melakukan Praktek Tying Agreement………...………131 B. Pre Install Application (Bloatware) yang Sudah Dielaborasi dalam Telepon Seluler

Diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen……….140

1. Hubungan Hukum Antara Konsumen Pengguna Telepon Seluler dan Produsen Telepon Seluler (Pelaku Usaha)………...140 2. Konsekuensi Keberadaan Bloatware dalam Telepon Seluler yang Merugikan

Konsumen Pengguna Telepon Seluler……….146

C. Upaya Hukum yang Dapat Dilakukan Pengguna Telepon Seluler yang Mengalami Kerugian Akibat Keberadaan Bloatware Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum dalam Perlindungan Konsumen………...155 1. Penyelesaian Sengketa Konsumen di Luar Pengadilan………157 2. Penyelesaian Sengketa Konsumen di Pengadilan………164

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………...……171 B. Saran………...………..176

(7)
(8)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Komunikasi merupakan suatu hal yang vital dalam kehidupan manusia, saat setiap manusia memiliki hak untuk melakukan komunikasi dengan sesamanya. Hal ini dijamin dalam Pasal 28F UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa:

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

(9)

Setiap manusia dalam memenuhi kebutuhan akan informasi di dalam kehidupannya melakukan komunikasi. Komunikasi yang dilakukan dengan cara yang sangat sederhana adalah dengan berbicara. Sejak ditemukannya media komunikasi, mempermudah manusia dalam melakukan komunikasi dengan sesamanya. Media komunikasi yang sering digunakan sesuai dengan perkembangan jaman saat ini yang mengharuskan untuk mendapatkan informasi secara cepat, tepat, dengan tingkat mobilitas yang tinggi adalah telepon seluler.

(10)

batas-batas negara dan meningkatkan intensitas persaingan. Gejala ini dipercepat oleh kemajuan komunikasi dan teknologi transportasi.1

Seiring dengan perkembangan jaman keberadaan telepon seluler terus berkembang, dapat dilihat mulai dari tampilan desain, aksesoris, hingga fitur. Perkembangan yang paling signifikan pada saat ini terlihat pada bagian fitur. Telepon seluler yang digunakan pada jaman dahulu hanya berfungsi sebagai alat komunikasi. Namun dengan berjalannya waktu kini telepon seluler mengalami kemajuan yang pesat, di mana di dalamnya terdapat aplikasi-aplikasi yang terhubung dengan sistem internet yang memberikan fungsi tambahan. Selain memiliki fungsi sebagai alat komunikasi, telepon seluler juga memiliki fungsi tambahan lain seperti melalukan kegiatan editing dokumen, pencarian data, dan hiburan bagi pengguna telepon seluler. Pada masa ini telepon seluler disebut dengan smartphone (telepon pintar) karena memiliki banyak fitur yang memudahkan manusia dalam menjalankan kehidupannya.

Keuntungan dari pertumbuhan produsen telepon seluler yang signifikan dapat dilihat dari banyaknya pengguna telepon seluler mulai dari produk luar negeri hingga telepon seluler produk Indonesia. Bergesernya telepon seluler dari barang “mewah” hingga menjadi barang “pokok” karena harga yang menjadi relatif sangat murah sehingga umumnya dapat dijangkau setiap kalangan. Namun hal tersebut juga memberikan kerugian terhadap

1

(11)

pengguna telepon seluler. Adapun kerugian yang ditimbulkan akibat persaingan usaha tersebut menjadikan produsen telepon seluler umumnya tidak memperhatikan keamanan, kenyamanan, dan perlindungan konsumen.

Telepon seluler sendiri yang didesain serta dirancang sedemikian rupa oleh produsennya yang selalu dikembangkan dan disesuaikan dengan kemajuan teknologi, kemajuan teknologi dalam telepon seluler salah satunya yaitu aplikasi. Aplikasi dalam telepon seluler dibagi menjadi 2 (dua) yaitu yang pertama adalah aplikasi yang diinstal manual oleh pengguna telepon seluler, dan yang kedua adalah aplikasi yang diinstal oleh produsen telepon seluler tersebut atau lebih dikenal dengan istilah pre install application (bloatware).

Pengertian dari bloatware itu sendiri adalah:

“The term bloatware may be applied to software that has become bloated through inefficiency or accretion of features as outlined above. The same term bloatware is also commonly used to refer to preinstalled software on a device, usually included by the hardware manufacturer, that is mostly unwanted by the purchaser. This may account for up to 45% of pre-installed software on a new device. The term may also be applied to the accumulation of unwanted and unused software elements that remain after partial and incomplete uninstallation. These elements may include whole programs, libraries, associated configuration information or data. The impact over time may be resultant deterioration of performance as the unwanted software or software components occupy memory, waste processing time, add disk, consume storage and cause delays at system startup and shutdown. In the worst cases, the leftover software may interfere with the correct operation of wanted software”.2

Yang bila diartikan ke dalam bahasa Indonesia pengertiannya adalah: “Istilah bloatware dapat diterapkan untuk perangkat lunak yang telah menjadi terisi melalui inefisiensi atau pertambahan fitur seperti diuraikan di atas. Istilah bloatware yang sama juga sering digunakan untuk merujuk ke

(12)

perangkat lunak terinstal pada perangkat, biasanya disertakan oleh produsen

hardware, yang sebagian besar tidak diinginkan oleh pembeli. Ini mungkin

terhitung hingga 45 % dari pra-instal perangkat lunak pada perangkat baru. Istilah juga dapat diterapkan untuk akumulasi unsur perangkat lunak yang tidak diinginkan dan tidak terpakai yang tetap setelah uninstal parsial dan tidak lengkap. Unsur-unsur ini mungkin termasuk program keseluruhan, perpustakaan, informasi konfigurasi terkait atau data. Dampak dari waktu ke waktu mungkin kerusakan yang dihasilkan dari kinerja sebagai perangkat lunak atau software komponen yang tidak diinginkan menempati memori, waktu pengolahan sampah, menambah disk, mengkonsumsi penyimpanan dan menyebabkan keterlambatan pada sistem startup dan shutdown. Dalam kasus terburuk, software sisa dapat mengganggu operasi yang benar dari

software yang diinginkan”.

Di dalam penjualan telepon seluler kepada penggunanya, produsen menyertakan suatu aplikasi yang tidak bisa dihapus pengguna telepon seluler. Produk yang dikategorikan ke dalam tying agreement yang mana terdapat 2 modul yang dapat dikaitkan, yaitu ada produk 1 (satu) atau utama yang artinya barang atau jasa inilah yang dibutuhkan atau diinginkan konsumen, dan produk 2 (dua) yang menjadi barang atau jasa yang diikatkan (tied) dengan produk kesatu yang bisa saja tidak dibutuhkan atau diinginkan konsumen. Produk yang menjadi pengikat (tying product) adalah telepon seluler dan produk yang harus dibeli (tied product) adalah bloatware. Hal tersebut merupakan suatu hubungan jual-beli antara produsen telepon seluler dengan konsumen pengguna telepon seluler, yang kemudian secara tidak langsung timbul tying agreement. Tying agreement (perjanjian yang

mengikat) secara harafiah diartikan tying yang artinya mengikat dan

agreement yang artinya perjanjian. Secara umum perjanjian diartikan

(13)

untuk melakukan suatu hal.3 Tying agreement menurut Undang-Undang No.

5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat Pasal 15 ayat (2) menyatakan “Perjanjian yang memuat

persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa tertentu harus

bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok”.

Pasal 15 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tying agreement termasuk

kedalam perjanjian tertutup. Perjanjian tertutup adalah perjanjian antara para

pelaku usaha yang memuat persyaratan:4

“(1) Pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan/atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/atau pada tempat tertentu;

(2) Pihak yang menerima barang dan/atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok;

(3) Pelaku usaha yang menerima barang dan/atau jasa dari pelaku usaha pemasok: (a) Harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok,

(b) Tidak akan membeli barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok. Mengenai perjanjian tertutup ini diatur dalam pasal 15 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Antimonopoli.”

Menurut peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 5 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 15 (Perjanjian Tertutup) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang tertuang di Bab 1 bagian Latar Belakang bahwa perjanjian tertutup yang secara aktual maupun potensial berakibat secara umum

3

Hermansyah. Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2009, hlm.24.

(14)

merugikan pelaku usaha lain dan/atau konsumen dan/atau secara khusus

melanggar/ menghambat persaingan usaha yang sehat harus dilarang, jika

hal tersebut telah terjadi harus ditindak. Hal ini penting untuk diperhatikan

karena dengan membuat perjanjian tertutup pelaku usaha dapat menjalankan

usahanya untuk kepentingan sendiri atau golongan tertentu dengan cara-cara

yang dapat merugikan pelaku usaha lain.

Masalah dari keberadaan tying agreement yang dibuat produsen

telepon seluler dengan penyedia aplikasi bagi konsumen adalah: (1) aplikasi

yang tidak bisa dihapus tersebut menyebabkan konsumen tidak memiliki

haknya untuk memilih aplikasi mana yang menjadi kebutuhan dan

keinginannya, (2) tidak bisa memanfaatkan secara seutuhnya kapasitas

memori dari perangkat telepon seluler dan umumnya aplikasi yang sudah

terinstal tersebut tidak dibutuhkan konsumen yang kemudian menjadi

bloatware, (3) keberadaan bloatware juga dapat menguras energi baterai

dari telepon seluler, karena bloatware tersebur harus dilakukan

pembaharuan dalam jangka waktu tertentu, (3) keberadaan dari bloatware

yang dilakukan pembaharuan dalam jangka waktu tertentu tentulah harus

menggunakan akses internet yang artinya memakan kuota internet, dan (4)

keberadaan bloatware yang mengharuskan konsumen mengisi data-data,

yang mana data-data yang dimasukkan konsumen terhubung ke pusat dan

dapat terjadi bocornya data konsumen.

Di Indonesia pengguna telepon seluler yang di dalamnya terdapat

(15)

menyebabkan lemahnya aspirasi konsumen dalam menyampaikan

keluhannya. Kenyataan menunjukkan, beragam faktor penting sebagai

penyebab lemahnya konsumen. Menurut hasil penelitian Badan Pembina

Hukum Nasional (BPHN), faktor-faktor yang melemahkan konsumen

adalah:5

1. “Masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan haknya;

2. Belum terkondisinya masyarakat konsumen karena sebagai masyarakat belum tahu akan hak-hak dan kemana haknya disalurkan jika mendapat kesulitan atau kekurangan dari standar barang atau jasa yang sewajarnya;

3. Belum terkondisinya masyarakat konsumen menjadi masyarakat yang mempunyai kemauan menuntut hak-haknya;

4. Proses peradilan yang ruwet dan waktu yang berkepanjangan; 5. Posisi konsumen yang lemah”.

Konsumen yang sadar akan haknya membuat para pelaku usaha dalam

memproduksi barang dan/atau jasa memperhatikan aspek keamanan,

kenyamanan, dan keselamatan dari konsumen. Seperti di negara China

produsen telepon seluler Oppo dan Samsung digugat akibat bloatware yang

tidak bisa dihapus.6 Jaminan perlindungan konsumen selain dijamin

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang

merupakan penjabaran dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat

(1) menyatakan bahwa:

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan

hukum”.

5

Hamzah Hatrik. Asas-Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability). Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, hlm.77.

(16)

Pada dasarnya setiap konsumen menginginkan setiap produk barang

dan/atau jasa yang dikonsumsinya nyaman, aman, dan selamat ketika

mengkonsumsi barang dan/atau jasa tersebut, sesuai dengan

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4 poin

(a) menyatakan bahwa:

“Hak konsumen adalah: hak atas kenyamanan, keamanan dan

keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”

Oleh karena itu pemerintah sebagai pihak ketiga yang membuat aturan

harus berperan aktif menjembatani setiap kepentingan-kepentingan antara

para pelaku usaha dan konsumen, yang tertuang dalam Undang-Undang No.

8 Tahun 1999 Tentang perlindungan konsumen. Perlindungan konsumen itu

sesungguhnya menyeimbangkan kedudukan konsumen dan pengusaha,

dengan siapa dia saling berhubungan dan saling membutuhkan. Keadaan

seimbang para pihak yang saling berhubungan, akan lebih menciptakan

keserasian dan keselarasan materiil tidak sekedar formal, dalam kehidupan

manusia Indonesia.7

Di Indonesia sendiri belum ada aturan yang mengatur mengenai pre

install application (bloatware) seperti di Korea Selatan. Pemerintah Korea

Selatan menaruh perhatian terhadap keberadaan pre install application (bloatware) yang merugikan warganya, aturan tersebut menyatakan bahwa pre install application (bloatware) harus dapat dihapus sendiri oleh

(17)

konsumen telepon seluler.8 Dimana salah satu asas hukum kita yaitu “kepastian hukum” yang artinya hukum itu harus memberikan kepastian bilamana objek tersebut sudah ada keberadaanya namun belum ada hukum yang mengatur.

Sampai saat ini belum ada penelitian yang membahas atau meneliti mengenai pengaturan dan perlindungan hukum terhadap konsumen yang dirugikan akibat dari keberadaan tying agreement yang menyebabkan aplikasi bloatware tidak bisa dihapus tersebut menimbulkan

masalah-masalah bagi pengguna telepon seluler, sehingga sekiranya penelitian yang

dilakukan penulis dapat dijadikan suatu referensi penemuan hukum. Yang

nyatanya pada saat ini di Indonesia belum ada produsen telepon seluler yang

memberikan hak-hak dari konsumen pengguna telepon seluler secara utuh.

Berdasarkan uraian tersebut penulis akan melakukan tinjauan yuridis dengan judul “TINJAUAN TERHADAP PENGATURAN PRE INSTALL APPLICATION (BLOATWARE) DALAM PERANGKAT

TELEPON SELULER MENURUT SISTEM HUKUM INDONESIA

DIKAITKAN DENGAN PRINSIP TYING AGREEMENT DAN

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN PENGGUNA

TELEPON SELULER”.

B. Rumusan Masalah

(18)

Dalam penulisan ini yang akan menjadi permasalahan menyangkut pre install application (bloatware) dalam telepon seluler terhadap prinsip tying arrangement dan kaitanya dengan perlindungan hukum bagi pengguna telepon seluler, dilatarbelakangi akibat keluhan yang dialami pengguna telepon seluler dan belum ada aturan hukum yang mengatur masalah bloatware, terhadap hal tersebut akan dirumuskan perumusan masalah yang akan diuraikan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan masalah bloatware yang diindikasikan sebagai perjanjian tertutup diakomodir dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juncto

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli

Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat?

2. Apakah keberadaan pre install application (bloatware) yang sudah disatukan dalam ponsel telah diatur dalam Undang-Undang No. 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?

3. Apa langkah hukum yang dapat dilakukan pengguna telepon seluler yang mengalami kerugian akibat keberadaan bloatware sebagai bentuk perlindungan hukum dalam perlindungan konsumen?

C. Tujuan Penulisan

(19)

1. Untuk mengetahui pengaturan masalah bloatware yang diindikasikan sebagai perjanjian tertutup diakomodir dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juncto Undang-Undang

No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat.

2. Untuk mengetahui keberadaan pre install application yang sudah

disatukan dalam telepon seluler diatur dalam Undang-Undang No. 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

3. Untuk mengetahui langkah hukum yang dapat dilakukan pengguna telepon seluler yang mengalami kerugian akibat keberadaan bloatware sebagai bentuk perlindungan hukum dalam perlindungan konsumen.

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Teoritis

a) Penulis berharap bahwa skripsi ini dapat dijadikan bahan literatur baik bagi akademisi maupun praktisi.

b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum.

2. Manfaat Praktis

(20)

E. Kerangka Pemikiran dan Kerangka Konseptual

1. Kerangka pemikiran

Negara Indonesia adalah negara hukum, demikian bunyi Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Pasal tersebut memberikan batasan-batasan yang dilakukan setiap warga negara Indonesia dalam memberikan suatu keadilan dan kepastian dalam hak dan kewajibannya. Dalam konteks kali ini dikaitkan dengan hak dan kewajiban dari konsumen telepon dan pelaku usaha telepon seluler, negara atau pemerintah harus menjamin hak dan kewajiban tersebut. Karena kepastian melalui hukum bagi perseorangan merupakan tujuan utama dari pada hukum.9

“All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood”.

“Setiap manusia dilahirkan merdeka dan sama dalam martabat dan hak-haknya. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya harus bertindak satu dengan yang lain dalam semangat persaudaraan (Article 1 Universal Declaration of Human Rights).

“No state shall make on enforce any law which shall abridge the privileges or immunities of citizens…, nor shall any state deprive any

(21)

person of life, liberty, or property without due process of law, nor deny any person within its jurisdiction the equal protection of the laws”.

“Tidak satu Negara pun dapat membuat atau menjalankan hukum yang dapat mengurangi hak dan kekebalan dari warga negara…, juga tidak satu negara pun yang dapat menghilangkan kehidupan, kebebasan, atau hak milik dari seseorang tanpa melalui proses hukum yang adil, tidak ada satu negara pun yang dapat menolak perlakuan yang sama terhadap warga negaranya di depan hukum” (Amandemen XIV dari Konstitusi Negara Amerika serikat).10

Akibat semakin ketatnya persaingan usaha produsen telepon seluler di Indonesia, tak sedikit produsen telepon seluler melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat. Salah satu praktik yang dilakukan produsen telepon seluler di Indonesia adalah tying agreement. Tying agreement perjanjian tertutup dengan pembuat aplikasi, menyertakan produk utamanya yaitu telepon seluler dan produk yang terikat (tied product) yaitu aplikasi yang sudah terinstal sebelum konsumen telepon seluler membeli produk telepon seluler, yang mana keberadaan dari aplikasi tersebut tidak dapat dihapus oleh konsumen yang menyebabkan beberapa kerugian bagi pengguna telepon seluler tersebut.

(22)

Menurut Roscoe Pound yang menyatakan “law as a tool of social engineering” artinya hukum sebagai alat merekayasa pembaharuan masyarakat. Kondisi kesenjangan antara posisi konsumen yang lebih rendah dari jaman dahulu hingga saat ini, yang seharusnya hukum perlindungan konsumen mampu menjadi alat atau sarana untuk membaharui kondisi tersebut agar terjadi keseimbangan antara posisi konsumen telepon seluler dan produsen telepon seluler agar menjadi setara atau sama.

Di Indonesia posisi konsumen masih rendah dibandingkan dengan posisi pelaku usaha. Lebih dari itu dilihat dari posisi ekonomi pelaku usaha lebih kuat dan lebih leluasa dibanding dengan konsumen yang umumnya berekonomi lemah dan tidak banyak memiliki pilihan banyak kecuali hanya menikmati barang dan jasa yang diproduksi pelaku usaha.11 Kesenjangan yang terjadi antara produsen telepon seluler dan konsumen telepon seluler yang terjadi di Indonesia belum bisa menciptakan keadilan yang pasti. Aristoteles membedakan dua macam keadilan yaitu keadilan distributif dan keadilan komutatif. Keadilan distributif adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang porsi menurut porsinya. Keadilan komutatif adalah keadilan yang diberikan tanpa membeda-bedakan prestasinya.12 Perlindungan yang diberikan konsumen harus didasarkan keadilan komutatif yakni

11

Siahaan. Op. Cit. hlm.36.

(23)

keadilan yang memberikan keadilan kepada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perorangan.13

Seorang guru besar dalam bidang filosofis moral dari Glasgow University pada tahun 1750, sekaligus pula sebagai ahli teori hukum, “Bapak ekonomi modern” yakni Adam Smith mengatakan bahwa tujuan keadilan adalah untuk melindungi dari kerugian (the end of justice is to secure from injury).14 Artinya tujuan dari keadilan adalah memberikan perlindungan bagi setiap konsumen yang dirugikan akibat menggunakan atau mengkonsumsi suatu barang dan/atau jasa. Dengan kata lain hukum perlindungan konsumen harus mampu menciptakan keadilan yang meciptakan keseimbangan antara posisi konsumen telepon seluler dan produsen telepon seluler, serta melindungi konsumen telepon seluler yang dirugikan akibat menggunakan telepon seluler.

2. Kerangka Konseptual

Di dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan kerangka konseptual sebagai berikut:

a. Pre install application menurut English dictionary memiliki arti pre yaitu sebelum, install yang artinya memasang, menginstall, dan application yang artinya aplikasi, jadi pengertian dari pre install application adalah

13

Chainur Arrasjid. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm.40. 14

(24)

aplikasi yang telah di instal oleh produsen telepon seluler sebelum telepon seluler dijual kepada konsumen;15

b. Bloatware menurut the law dictionary adalah “A software application that takes up too much space with its useless extra features” yang bila diartikan ke dalam bahasa Indonesia Sebuah aplikasi perangkat lunak yang mengambil ruang terlalu banyak dengan fitur tambahan sia-sia.16

c. Perjanjian tertutup menurut peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 5 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 15 (Perjanjian Tertutup) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Perjanjian tertutup merupakan suatu perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha agar dapat menjadi sarana dan upaya bagi pelaku usaha untuk dapat melakukan pengendalian oleh pelaku usaha terhadap pelaku usaha lain secara vertikal (“Pengendalian Vertikal”), baik melalui pengendalian harga maupun melalui pengendalian non-harga;

d. Tying agreement menurut peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 5 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 15 (Perjanjian Tertutup) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan

15 www.Englishdictionary.com, diakses tanggal 26 Agustus 2015, pukul 18:44 WIB.

(25)

Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah Perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha dengan pihak (pelaku usaha) lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok (dalam hukum persaingan usaha, dalam Bahasa Inggris istilahnya adalah tying);

e. Produsen/ pelaku usaha menurut menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen adalah adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi;

(26)

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode penelitian yang bersifat yuridis normatif.17 Selain itu konsep ini juga memandang hukum sebagai sistem normatif yang bersifat otonom, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat.18 Pada metode ini, Penulis mengacu pada norma hukum yang berhubungan dengan pembahasan dalam skripsi ini yakni peraturan perundang-undangan mengenai larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, yang terkait juga dengan aturan mengenai perlindungan konsumen. Penelitian ini dapat dijadikan penemuan hukum disebabkan oleh belum ada aturan yang mengatur mengenai keberadaan bloatware yang timbul akibat adanya tying agreement dan secara nyata merugikan hak-hak konsumen yang ditinjau dari sudut pandang konstitusi. Penyusunan tugas akhir ini menggunakan sifat, pendekatan, jenis data, teknik pengumpulan data sebagai berikut:

1. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan dalam tugas akhir ini dilakukan secara deskriptif analitis yaitu penelitian yang menggambarkan peristiwa yang sedang diteliti dan kemudian menganalisisnya berdasarkan fakta-fakta berupa data sekunder

17

Soerjono Soekanto dan Sri Madmuji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994, hlm. 24.

(27)

yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.19 Tujuan penulisan deskriptif adalah untuk membuat penjelasan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta yang terjadi. Dalam penelitian ini, penulis akan mencoba menggambarkan situasi dan kondisi perlindungan hukum terhadap pengguna telepon seluler (konsumen) akibat keberadaan dari bloatware dalam telepon seluler menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan prinsip tying agreement kemudian

dianalisis menggunakan bahan hukum primer, sekunder, dan

tersier.

2. Pendekatan Penelitian

Penyusunan tugas akhir ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan konseptual dan menggunakan perundang-undangan (statute approach)20 dan pendekatan konseptual (conceptual approach)21 dengan tujuan mendekatkan kepada gambaran masalah serta mempermudah dalam menganalisis penyelesaian masalah menjadi komprehensif dan akurat. Pendekatan undang-undang berkenaan dengan peraturan hukum yang mengatur masalah produsen telepon seluler dengan perlindungan konsumen telepon seluler juga informasi dan transaksi

19

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Grafindo, 2006, hlm. 10. 20

Johny Ibrahim. Teori dan Metologi Penelitian Hukum. Malang: Bayumedia Publishing, 2007, hlm. 295.

(28)

elektronik. Kemudian pendekatan konseptual digunakan berkenaan dengan konsep-konsep yuridis yang berkaitan dengan prinsip keadilan dan kepastian

3. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder, dengan bahan-bahan hukum sebagai berikut:

a. Data sekunder bahan hukum primer, yaitu bahan yang sifatnya mengikat masalah-masalah yang akan diteliti, berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan data sekunder bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap pengguna telepon seluler akibat keberadaan bloatware ditinjau berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat.

(29)

hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai klasifikasi tinggi.22

c. Data sekunder bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi mengenai bahan hukum primer dan sekunder, misalnya kamus bahasa, kamus hukum, majalah, serta media massa lainya.

4. Teknik Pengumpulan Data dan Teknik Analisis Data

a. Teknik Pengumpulan Data

Data sekunder diperoleh dengan cara studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan untuk mencari teori-teori, pendapat-pendapat yang berkenaan dengan permasalahan mengenai kondisi keberadaan bloatware dalam telepon seluler bagi pengguna telepon seluler. Berkenaan dengan metode yuridis normatif yang digunakan dalam penulisan tugas akhir ini maka penulis melakukan penelitian dengan memakai studi kepustakaan yang merupakan data sekunder yang berasal dari literatur serta melakukan wawancara berkaitan dengan permasalahan bloatware.

b. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yaitu cara pengolahan, analisis, dan konstruksi data yang yang diperoleh dari studi literatur

(30)

atau dokumen. Teknik analisis terhadap data yang ada menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan melakukan penemuan konsep-konsep yang terkandung di dalam bahan-bahan hukum dengan cara memberikan gambaran terhadap bahan-bahan hukum tersebut, mengelompokan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang berkaitan, menemukan hubungan diantara berbagai kategori atau peraturan, serta menguraikan dan menjelaskan hubungan berbagai kategori perundang-undangan, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif, sehingga memberikan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan.

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, secara garis besar metode penelitian dalam karya ilmiah ini menggunakan kombinasi di antara metode pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif.

G. Sistematika Penulisan

(31)

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bagian ini akan menjelaskan secara garis besar mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II :TINJAUAN UMUM PERJANJIAN JUAL-BELI

TELEPON SELULER DAN PENGATURAN TYING

AGREEMENT DALAM UNDANG-UNDANG NO.5

TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK

MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK

SEHAT DI INDONESIA

Pada bagian ini akan memberikan pemaparan secara umum mengenai perjanjian jual-beli, tinjauan umum hukum persaingan usaha, serta konsep perjanjian pengikatan sebagai bentuk perjanjian tertutup.

BAB III :PENGATURAN PRE INSTALL APPLICATION

(BLOATWARE) DALAM TELEPON SELULER

(32)

Pada bagian ini akan menjelaskan jawaban terhadap isi pokok dari skripsi ini, yang dapat menjawab pertanyaan yang terdapat dalam pokok permasalahan.

BAB V : PENUTUP

(33)

165 BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai permasalahan bloatware, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pengaturan masalah bloatware yang diindikasikan sebagai perjanjian tertutup dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjadi hukum positif yang mengatur hubungan konsumen dan pelaku usaha, saat ini belum mengakomodir tentang pengaturan masalah bloatware yang diindikasikan sebagai perjanjian tertutup secara nyatanya hal tersebut merugikan konsumen, sedangkan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatur masalah bloatware yang diindikasikan sebagai perjanjian tertutup. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat mengenai perjanjian tertutup.

(34)
(35)

product) adalah telepon seluler dan produk yang harus dibeli

(tied product) adalah bloatware, yang seharusnya aplikasi

serupa dapat konsumen instal sesuai dengan keinginannya

sendiri. Dapat diketahui bahwa produsen telepon seluler yang

menyertakan bloatware dalam telepon seluler yang dijual

kepada konsumen telah melakukan perjanjian tertutup dalam

bentuk pengikatan produk (tying agreement). Berdasarkan hal-hal yang telah diungkapkan pelaku usaha yang terbukti melakukan perjanjian tertutup dalam hal ini produsen (pelaku usaha) telepon seluler yang terbukti melakukan perjanjian tertutup dalam bentuk tying agreement dapat dikenakan sanksi sesuai yang tertuang dalam Pasal 47- Pasal 49 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

2. Keberadaan Pre install application (bloatware) yang sudah disatukan dalam ponsel diatur dalam Undang-Undang No. 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang merupakan

hukum positif di Indonesia yang mengatur mengenai konsumen

dan pelaku usaha. Dalam penyertaan bloatware yang disatukan

dalam telepon seluler oleh pelaku usaha, terjadi perikatan yang

dihasilkan dari perjanjian jual-beli yang mana para pihaknya

(36)

bloatware dalam telepon seluler nyatanya telah menimbulkan

dampak negatif bagi konsumen yaitu:

a) Aplikasi yang tidak bisa dihapus tersebut menyebabkan

konsumen tidak memiliki haknya untuk memilih aplikasi

mana yang menjadi kebutuhan dan keinginannya;

b) Aplikasi yang tidak bisa dihapus tersebut menyebabkan

konsumen tidak bisa memanfaatkan secara seutuhnya

kapasitas memori dari perangkat telepon seluler dan

umumnya aplikasi yang sudah terinstal tersebut tidak

dibutuhkan konsumen yang kemudian menjadi

bloatware;

c) Keberadaan bloatware juga dapat menguras energi

baterai dari telepon seluler, karena bloatware tersebur

harus dilakukan pembaharuan dalam jangka waktu

tertentu;

d) Keberadaan dari bloatware yang dilakukan pembaharuan

dalam jangka waktu tertentu tentulah harus

menggunakan akses internet yang artinya memakan

kuota internet; dan

e) Keberadaan bloatware yang mengharuskan konsumen

mengisi data-data, dimana data-data yang dimasukkan

konsumen terhubung ke pusat dan dapat terjadi bocornya

(37)

Hal tersebut telah melanggar ketentuan dalam Pasal 4 huruf (a)

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, bahwa:

“Hak konsumen adalah: hak atas kenyamanan, keamanan, dan

keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”. Dalam

hal ini aspek-aspek tersebut adalah kenyamanan, keamanan, dan

keselamatan konsumen pengguna telepon seluler dalam

menggunakan telepon seluler.

3. Langkah hukum yang dapat dilakukan pengguna telepon seluler yang mengalami kerugian akibat keberadaan bloatware sebagai bentuk perlindungan hukum dalam perlindungan konsumen dapat dilakukan baik perorangan maupun secara kelompok (class action) atau bahkan bisa dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melalui gugatan yang diajukan. Mekanisme penyelesaian sengketa ini dapat ditempuh melalui 2 jalur sesuai Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:

a) Di dalam pengadilan (litigasi): mengacu pada ketentuan peradilan umum yang berlaku dan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; dan

(38)

mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen, dengan beberapa cara, yaitu: konsiliasi, mediasi, maupun arbitrase.

Penyelesaian sengketa antara konsumen dan produsen, undang-undang telah menentukan suatu badan yaitu Badan Penyelesaian Sengketa (BPSK) yang mempunyai fungsi sebagaimana diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

B. Saran

Saran yang diberikan penulis berdasarkan kesimpulan di atas yaitu: 1. Saran untuk akademisi

Penulisan ini diharapkan mampu memberikan kontribusi yang baik terhadap permasalahan hukum yang berkaitan dengan bloatware dan mampu memberikan informasi serta pengetahuan hukum bagi akademisi mengenai perlindungan konsumen dan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

2. Saran untuk pemerintah

(39)

pengguna telepon seluler di Indonesia tidak dirugikan lagi dengan keberadaan bloatware dalam telepon seluler, serta pemerintah diharapkan berperan lebih aktif dalam melakukan pengawasan terhadap produk telepon seluler yang dihasilkan produsen telepon seluler.

3. Saran untuk masyarakat

(40)

172

DAFTAR PUSTAKA

Referensi Buku:

Abdul Kadir Muhammad. Hukum Perikatan. Citra Aditya. Bandung: Bakti, 1992. Adrian Sutedi. Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen.

Bogor: Ghalia Indonesia, 2008.

Ahmad Adi Nugroho. Strategi Bundling/Tying Sebagai Upaya Abuse of Dominance; Studi Kasus Penerapan Strategi Tying/Bundling oleh Microsoft. Jurnal Persaingan Usaha: Komisi Pengawas Persaingan Usaha 3, 2010.

Ahmadi Miru. Prinsip-prinsip perlindungan bagi Konsumen di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. 2011.

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. Yogyakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja. Hukum Anti Monopoli. Jakarta: Grafindo Raja Persada, 2002.

Andi Fahmi Lubis, Dkk. Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks. Jakarta: Creative Media, 2009.

Arie Siswanto. Hukum Persaingan Usaha. Bogor: Ghalia Indonesia. 2004. A.Z. Nasution. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Diadit Media, 2002.

Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Orasi Ilmiah Pengukuhan Sebagai Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Tahun 2004.

(41)

Carl Joachim Friedrich. Filsafat Hukum Prespektif Historis. Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004.

Celina Tri Siwi Kristiyanti. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Chainur Arrasjid. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikthasar Indonesi Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka. 2005.

Elyata Ras Ginting. Hukum Anti Monopoli Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.

Emerso Yuntho. Class Action Sebuah Pengantar. Jakarta: ELSAM, 2005. Gouzali Saydam. Sistem Telekomunikasi. Jakarta: Djambatan, 1993.

Gunawan Widjaja. Merger dalam Persfektif Monopoli. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 1999.

Handri Rahardjo. Hukum Perjanjian di Indonesia. Jakarta: Pustaka Yustisia, 2009. Hamzah Hatrik. Asas-Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana

Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability). Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Hardijan Rusli. Hukum Perjanjian Indonesia Dan Common Law. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan., 1992.

H.C Black’s Law Dictionary 5th. St. Paul Minnesota West Publishiing. 1983.

(42)

Hatta dalam Zulfikri Suleman. Demokrasi untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010.

Janus Sidabalok. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.

Johny Ibrahim. Teori dan Metologi Penelitian Hukum. Malang: Bayumedia Publishing, 2007.

J. Satrio. Hukum Perjanjian. Bandung: Aditya Bhakti, 1992, hlm. 306.

L.J, Van Apeldoornm, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1981. Mariam Darus Badrulzaman. Aneka Hukum Bisnis. Bandung: Alumni, 1994.

Mariam Darus Badrulzaman. Kompilasi Hukum Perikatan Perdata. Jakarta: Intenusa, 1989.

Mochtar Kusumaatmadja.Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan (Kumpulan Karya Tulis). Bandung: Alumni, 2002.

Munir Fuadi. Dinamika Teori Hukum. Ciawi-Bogor: Ghalia Indonesia, 2007.

Munir Fuady. Hukum Anti Monopoli: Menyongsong Era Persaingan Sehat. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.

M. Yahya Harahap. Segi-segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni,1986.

N.H.T Siahaan. Hukum Konsumen Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk. Jakarta: Panta Rei, 2005.

Ningrum Natasya Sirait, Kumpulan Tulisan Berbagai Aspek Mengenai Hukum Persaingan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004.

(43)

Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2005.

Rahmadi Usman. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.

RM. Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Liberty: Yogyakarta, 1988.

Ronny Hanitijo Soemitro. Metode Penelitian Hukum dan jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia 1988.

R. Subekti. Aneka perjanjian. Jakarta: Citra Aditya Bhakti, 1995. R. Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 1985.

R. Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intenusa, 1989.

Rudyanti Dorotea Tobing. Aspek Hukum Pendirian Menara Telekomunikasi. Jurnal Socioscientia, Volume III No.1, Februari 2011.

Salim H.S. Hukum Kontrak, Teori & Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Salim, H. S. Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2003.

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Grafindo, 2006.

Soerjono Soekanto dan Sri Madmuji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.

Suharsil dan Mohammad Taufik Makarao. Hukum Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.

(44)

Yusuf Sofie. Pelaku Usaha Konsumen dan Tindak Pidan Korporasi. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.

Yusuf Shofie. Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut UUPK Teori dan Penegakan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.

Zainal Abdi. Industri Telekomunikasi: Lokomotif Pertumbuhan Ekonomi dan Kemajuan Bangsa. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2006.

Referensi Perundang-undangan:

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Menurut peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 5 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 15 (Perjanjian Tertutup) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

Peraturan Menteri Perindustrian No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Referensi Internet:

(45)

http://www.beritatekno.blogdetik.com/2014/07/15/smartphone-dan-ciri-cirinyadiakses tanggal 08 November 2015.

http://www.englishdictonary.com, diakses tanggal 26 Agustus 2015.

http://www.europa.eu/ scadplus/leg/en/lvb/l26092.ht, diakses tanggal 1 November

2015.

http://www. id.netblog.com/m-ibadurrahman/blog/blogid=12684, diakses tanggal 23

Januari 2015.

http://www.kbbi.web.id/aman diakses tanggal 26 Desember 2015.

http://www.kbbi.web.id/ikat diakses tanggal 29 Oktober 2015.

http://www.kbbi.web.id/nyaman diakses tanggal 26 Desember 2015.

http://www.kbbi.web.id/selamat diakses tanggal 26 Desember 2015.

http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/smartphone diakses tanggal 08 November 2015.

http://www.techno.id/tech-news/samsung-dan-oppo-dituntut-gara-gara-bloatware-merugikan-150706t.html diakses tanggal 26 Agustus 2015.

http:// www.thelawdictionary.com/bloatware diakses tanggal 26 Agustus 2015.

http://www.wikipedia.org/wiki/Software_bloat diakses tanggal 26 Agustus 2015.

Referensi

Dokumen terkait

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan Pasal 2 Peraturan Presiden ini tidak berlaku bagi penanaman modal yang telah disetujui pada bidang usaha tertentu

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pendidikan keimanan kepada Allah SWT melalui sedekah studi pada jama‟ah majelis doa mawar Allah. Fokus masalah yang akan dikaji adalah;

Penelitian ini menggunakan bahan baja paduan rendah 41xx yang merupakan baja dengan kekuatan tarik tinggi (high tensile) namun karena hasil produk cor (as-cast)

Berdasarkan Tabel 1 juga dapat diketahui bahwa pemberian pupuk anorganik dan kompos menunjukkan pengaruh yang tidak nyata terhadap jumlah batang pada tanaman

Berdasarkan seluruh penjelasan di atas kiranya telah jelas terungkap bagaimana dasar pertimbangan Hakim maupun kekuatan pembuktian dari saksi-saksi dalam suatu tindak

Statistik = Ilmu yang mempelajari cara pengumpulan data, pengolahan data, analisis data serta penyajian data sehingga menjadi suatu informasi yang berguna bagi pengambilan

Distribusi Fe paling banyak terdapat pada bagian bawah, hal ini menguatkan hasil pengujian kekerasan material, dari gambar diatas terlihat kurang banyaknya serbuk

8 Jadi, dapat disimpulkan bahwa model inkuiri terbimbing adalah model pembelajaran yang secara sepenuhnya melibatkan peserta didik, sedangkan pendidik hanya sebagai