• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Self Care pada Pasien DM tipe 2 di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Self Care pada Pasien DM tipe 2 di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diabetes Melitus 2.1.1. Definisi

Diabetes secara harfiah artinya “mengalirkan”, yang menunjukkan pengeluaran urin dalam jumlah besar pada penyakit ini. Melitus artinya “manis”, urin pasien dengan diabetes melitus terasa manis karena banyaknya glukosa yang manik ke dalam urin (Sherwood, 2011). DM adalah penyakit metabolisme yang merupakan suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar glukosa darahdi atas nilai normal. Penyakit ini disebabkan gangguan metabolisme glukosa akibat kekurangan insulin baik secara absolut maupun relatif (Guyton, 2009).

DM adalah suatu penyakit kronik yang terjadi ketika tubuh tidak mampu memproduksi hormon insulin atau tidak dapat menggunakan insulin dengan efektif. Insulin merupakan hormone yang diproduksi di kelenjar pankreas yang membawa glukosa yang berasal dari makanan masuk ke dalam sel tubuh yang akan dikonversi menjadi energi untuk digunakan oleh otot dan jaringan dalam menjalankan fungsinya. Seseorang dengan DM tidak dapat mengabsorbsi glukosa dan menyalurkan hasilnya ke sirkulasi darah (hiperglikemia) yang menyebabkan kerusakan jaringan tubuh dalam waktu yang lama. Kerusakan ini menyebabkan ketidakseimbangan dan komplikasi (IDF, 2013).

(2)

7

gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, protein yang disebabkan oleh gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya.

2.1.2. Epidemiologi

Menurut IDF (2013), terdapat 382 juta penderita DM di dunia dan akan meningkat menjadi 592 juta pada tahun 2035 dimana 80 % terdapat di negara dengan pendapatan rendah atau sedang. 175 juta orang menderita DM dan tidak terdiagnosa dan lebih dari 79.000 anak-anak menderita DM tipe 1 pada tahun 2013. Usia rata-rata penderita DM antara 40-59 tahun dengan jumlah 184 juta di tahun 2013 meningkat menjadi 264 juta pada tahun 2035. Pada tahun 2013 terdapat 198 juta laki-laki dan 184 juta perempuan penderita DM meningkat menjadi 303 juta laki-laki dan 288 juta perempuan pada tahun 2035. Menurut distribusinya pada tahun 2013, penderita DM di daerah urban sebanyak 246 juta dan 136 juta di daerah rural meningkat menjadi 347 juta di daerah urban dan 145 juta di daerah rural pada tahun 2035. Penderita DM di Indonesia pada tahun 2013 sebanyak 8,5 juta jiwa dan diprediksikan meningkat menjadi 14,1 juta jiwa pada tahun 2035 dengan usia 20-79 tahun.

WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah penderita diabetes yang cukup besar pada tahun -tahun mendatang. WHO memprediksi kenaikan jumlah penderita DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan prevalensi, data dari WHO maupun IDF menunjukkan adanya peningkatan jumlah penderita DM sebanyak 2 -3 kali di Indonesia pada tahun 2030.

(3)

8

DM terendah dengan DM terdiagnosis dokter sebanyak 0,7% dan terdiagnosis dokter atau gejala 0,8%. Sedangkan prevalensi DM di Sumatera Utara yang terdiagnosis dokter sebesar 1,8% dan terdiagnosis dokter atau gejala 2,3% (RISKESDAS, 2013).

2.1.3. Klasifikasi

ADA (2010) mengklasifikasikan DM menjadi empat jenis yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lain, dan DM gestasional. Pengelompokan ini berdasarkan pada diagnosis keadaan pasien dan banyak dari penderita DM ini tidak masuk dalam satu kelas saja.

a. DM tipe 1

Disebut juga DM tergantung insulin (Insulin Dependent Diabetes Mellitus [IDDM] ), disebabkan oleh destruksi sel beta pankreas menyebabkan defisiensi insulit absolut yang disebabkan oleh proses autoimun atau idiopatik. 5% sampai 10% penderita diabetes termasuk dalam tipe ini. Sel-sel beta pankreas yang normalnya menghasilkan insulin dihancurkan oleh proses autoimun. Diperlukan suntikan insulin untuk mengontrol kadar gula darah.

(4)

9

Diperlukan suatu faktor pemicu yang berasal dari lingkungan (infeksi virus, toksin dll) untuk menimbulkan gejala klinis DM tipe-1 pada seseorang yang rentan.

b. DM tipe 2

Disebut juga DM tidak tergantung insulin (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus [NIDDM] ). DM tipe 2 disebabkan karena berkurangnya sekresi insulin secara progresif yang menyebabkan terjadinya resistensi insulin. 90% sampai 95% penderita DM termasuk dalam tipe ini.

Perkiraan jumlah pasien DM tipe 2 di dunia pada tahun 2010 sebanyak 285 juta jiwa dari total populasi dunia sebanyak 7 miliar jiwa dan meningkat sebanyak 439 juta jiwa pada tahun 2030 dari total populasi dunia sebanyak 8,4 miliar jiwa. Kenaikan insidensi pasien DM tipe 2 juga terjadi di Asia Tenggara. Total populasi di Asia Tenggara pada rentang usia 20-79 tahun sebanyak 838 juta jiwa pada tahun 2010. Dari total populasi tersebut, terdapat 58,7 juta jiwa (7,6%) pasien DM tipe 2. Jumlah tersebut meningkat pada tahun 2030, yaitu dari total populasi pada rentang usia 20-79 tahun sebanyak 1,2 miliar, terdapat 101 juta (9,1%) pasien DM tipe 2 (Yuanita, et al., 2014).

c. DM yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya Merupakan DM yang disebabkan karena defek genetic fungsi sel beta, gangguan kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (seperti fibrosis kistik), obat-obatan atau zat kimia (seperti pada penatalaksanaan AIDS atau setelah transplantasi organ).

d. DM Gestasional (Gestational Diabetes Mellitus [GDM])

Merupakan DM yang terjadi selama kehamilan. DM jenis ini akan berdampak terhadap pertumbuhan janin yang kurang baik. DM gestasioanl merupakan DM yang benar-benar terjadi akibat kehamilan dan baru terdeteksi saat kehamilan.

(5)

10

pertama. Wanita yang beresiko tinggi harus segera diskrining. Pemeriksaan dapat ditangguhkan pada wanita beresiko rendah hingga minggu ke-24 sampai minggu ke-28 gestasi (Nolte dan Karam, 2010).

Tabel 2.1. Klasifikasi Diabetes Melitus

I. Diabetes Melitus Tipe 1

(Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut): A. Melalui Proses Imunologik

B. Idiopatik

II. Diabetes Melitus Tipe 2

(Bervariasi mulai terutama yang predominan resistensi insulin disertai defesiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin)

III. Diabetes Melitus Tipe Lain A. Defek Genetik fungsi sel Beta :

- Kromosom 12, HNF-1α (dahulu MODY 3) - Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2) - Kromosom 20, HNF-4α (dahulu MODY 1)

- Kromosom 13, insulin Promoter factor-1 (IPF-1, dahulu MODY4) - Kromosom 17, HNF-1β (dahulu MODY 5)

- Kromosom 2, Neuro D1 (dahulu MODY 6) - DNA Mitochondria, dan lainnya

B. Defek genetik kerja insulin : resistensi insulin tipe A leprechaunism, sindrom Rhabson Mendenhall, diabetes lipoatrofik, lainnya

C. Penyakit eksokrin Pankreas : Pankreatitis, trauma/pankreatektomi, neoplasma, fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus, lainnya D. Endokrinopati : akromegali, sindrom cushing, feokromotositoma,hipertiroidisme somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya E. Karena obat/zat kimia : vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormone tiroid, diazoxid, agonis β edrenergic, tiazid, dilantin, interferon alfa, lainnya Moon-Biedl, Distrofi Miotonik, Porfiria, Sindrom Prader Willi, lainnya

IV Diabetes kehamilan

(6)

11

2.1.4. Faktor Resiko

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan DM, yaitu : a. Faktor Genetik

Resiko seseorang untuk mederita DM tipe 2 lebih besar jika orang tersebut mempunyai orangtua yang menderita DM (ADA, 2013). Orang yang memiliki riwayat keluarga menderita DM beresiko lima kali lebih besar menderita DM tipe 2 dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat keluarga menderita DM (Wuwungan et al., 2012).

Riwayat dalam keluarga serta faktor keturunan dapat menjadi penyebab yang penting terhadap kejadian penyakit DM karena pola familial yang kuat mengakibatkan terjadinya kerusakan sel-sel beta pankreas yang memproduksi insulin, sehingga terjadi kelainan dalam sekresi insulin maupun kerja insulin (Suriani N, 2012).

b. Obesitas

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sunjaya, menemukan bahwa individu yang mengalami obesitas mempunyai resiko 2,7 kali lebih besar untuk terkena diabetes melitus dibandingkan dengan individu yang tidak mengalami masalah obesitas. Obesitas sentral berdasarkan lingkar pinggang lebih berperan sebagai faktor resiko DM dibandingkan dengan obesitas umum berdasarkan Indeks Masa Tubuh (IMT) (Farida et al., 2010).

(7)

12

c. Aktifitas Fisik

Meskipun faktor keturunan memiliki pengaruh dalam menentukan seseorang berisiko terkena DM atau tidak, gaya hidup juga memiliki peran besar terhadap risiko terjadinya DM Tipe 2. Penelitian yang dilakukan di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang menunjukkan bahwa salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian DM Tipe 2 yaitu aktivitas fisik olahraga (Wicaksono, 2011). Oleh karena itu, pencegahan diabetes bagi yang berisiko dapat dilakukan dengan membiasakan hidup sehat dan berolahraga secara teratur (Adib, 2011).

d. Usia

Terdapat hubungan antara umur penderita dengan kejadian DM tipe 2. Orang yang berumur ≥ 45 tahun delapan kali lebih beresiko menderita DM tipe 2 dibandingkan orang yang berumur kurang dari 45 tahun (Wuwungan et al, 2012). Umur berhubungan secara bermakna dengan DM dimana umur 55-64 tahun adalah kelompok yang paling beresiko. Semakin tua semakin tinggi kecenderungan terkena DM (Nainggolan et al, 2013). Kelompok usia 36-45 tahun beresiko 1,30 kali memiliki kadar gula darah tinggi, usia 45-46 tahun beresiko 1,52 kali memiliki kadar gula darah tinggi dibandingkan dengan usia < 35 tahun (Syafei, 2010).

Semakin bertambah usia, kemungkinan terkena DM semakin besar. Ketika masih berumur dibawah 30 tahun, kemungkinan DM hanya ditemukan kurang lebih satu persen. Artinya dari 100 penduduk yang berusia dibawah 30 tahun kemungkinan satu orang yang terkena DM. Bila dia atas 40 tahun, kemungkinan terkena DM menjadi delapan persen. Di atas 50 tahun, kemungkinan terkena DM naik sampai 20%. Di atas 60 tahun, menjadi 25% (Tandra, 2014).

e. Hipertensi

(8)

13

(Nainggolan et al, 2013). Hipertensi diduga merupakan salah satu faktor yang berperan dalam terjadinya komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular pada DM (Kurniawan I, 2010).

Penderita DM tipe 2 pada umumnya memiliki kondisi yang disebut dengan resistensi insulin, yaitu kondisi di mana seseorang memiliki jumlah insulin yang cukup untuk mengubah glukosa, namun tidak bekerja sebagaimana mestinya. Insulin yang ada, tidak digunakan untuk mengubah glukosa, dan mengakibatkan kadar glukosa dalam darah naik, yang mengakibatkan diabetes. Insulin yang tidak bekerja ini tidak akan di rombak menjadi apa pun, akan tetap berada dalam bentuk insulin. Insulin berlebih inilah yang menyebabkan terjadinya hipertensi pada pasien DM (National Diabetes Services Scheme, 2010).

f. Jenis Kelamin

Perempuan lebih banyak menderita DM dibandingkan dengan laki-laki (Efendi, 2012).

2.1.5. Patogenesis

Semua tipe Diabetes Melitus, sebab utamanya adalah hiperglikemi atau tingginya gula darah dalam tubuh yang disebabkan sekresi insulin, kerja dari insulin atau keduanya (Ignativicius & Workman, 2006).

Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu (ADA, 2012) :

1. Rusaknya sel-sel pancreas. Rusaknya sel beta ini dapat dikarenakan genetik, imunologis atau dari lingkungan seperti virus. Karakteristik ini biasanya terdapat pada DiabetesMelitus tipe 1.

2. Penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas. 3. Kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer.

Apabila di dalam tubuh terjadi kekurangan insulin, maka dapat mengakibatkan (Ignativicius dan Workman, 2006; Smeltzer et al, 2008) :

(9)

14

2. lapar atau nafsu makan meningkat atau yang biasa disebut poliphagia. 3. Meningkatnya pembentukan glikolisis dan glukoneogenesis, karena proses

ini disertai nafsu makan meningkat atau poliphagia sehingga dapat mengakibatkan terjadinya hiperglikemi. Kadar gula darah tinggi mengakibatkan ginjal tidak mampu lagi mengabsorpsi dan glukosa keluar bersama urin, keadaan ini yang disebut glukosuria. Manifestasi yang muncul yaitu penderita sering berkemih atau poliuria dan selalu merasa haus atau polidipsi.

4. Menurunnya glikogenesis, dimana pembentukan glikogen dalam hati dan otot terganggu.

5. Meningkatkan glikogenolisis, glukoneogenesis yang memecah sumber selain karbohidrat seperti asam amino dan laktat

6. Meningkatkan lipolisis, dimana pemecahan trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak bebas

7. Meningkatkan ketogenesis (merubah keton dari asam lemak bebas

8. Proteolisis, dimana merubah protein dan asam amino dan dilepaskan ke otot.

2.1.6. Patofisiologi

Kelainan dasar yang terjadi pada DM tipe 2 yaitu : 1). Resistensi insulin pada jaringan lemak, otot, dan hati menyebabkan respon reseptor terhadap insulin berkurang sehingga ambilan, penyimpanan, dan penggunaan glukosa pada jaringan tersebut menurun; 2). Kenaikan produksi glukosa oleh hati mengakibatkan kondisi hiperglikemia; 3). Kekurangan sekresi insulin oleh pankreas yang menyebabkan turunnya kecepatan transport glukosa ke jaringan, lemak, otot, dan hepar (Guyton dan Hall, 2007).

(10)

15

masih dapat melakukan kompensasi bahkan sampai overkompensasi, insulin disekresi secara berlebihan sehingga terjadi kondisi hiperinsulinemia dengan tujuan normalisasi kadar gula darah. Mekanisme kompensasi yang terjadi terus menerus menyebabkan kelelahan sel pankreas (exhaustion) yang disebut dekompensasi, mengakibatkan produksi insulin yang menurun secara absolute. Kondisi resistensi insulin diperberat oleh produksi insulin yang menurun akibatnya kadar glukosa darah semakin meningkat sehingga memenuhi kriteria diagnosis DM (Waspadji dalam Soegondo, 2009).

2.1.7. Kriteria Diagnosis

Diagnosis dari DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Penegakan diagnosis DM harus memperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Penegakan diagnosis berdasarkan pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO, sedangka-angkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler (PERKENI, 2011).

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada pasien DM. PERKENI (2011) membagi keluhan DM menjadi dua jenis yaitu :

1. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsi, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

2. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:

(11)

16

Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.

2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 1β6 mg/dL (7,0 mmol/L) dengan adanya keluhan klasik. Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori

tambahan sedikitnya 8 jam.

3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air. Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.

(12)

17

Tabel 2.2. Kriteria Diagnostik DM

1. A1C ≥ 6,5 % atau

2. Kadar Glukosa Darah Sewaktu (plasma vena) > 200 mg/dl atau

3. Kadar Glukosa Darah Puasa > 126 mg/dl atau

4. Kadar Glukosa Plasma > 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gr pada TTGO

Sumber : ADA (2010)

Gambar 2.1. Langkah – Langkah Diagnostik DM dan Toleransi Glukosa Terganggu

(13)

18

2.1.8. Gejala Klinis

Gejala klinis DM tipe 2 dapat digolongkan menjadi gejala akut dan kronik (Perkeni, 2011) :

1. Gejala Akut Penyakit Diabetes Melitus

Gejala penyakit Diabetes Melitus dari satu penderita ke penderita lain bervariasi, bahkan mungkin tidak menunjukkan gejala apa pun sampai saat tertentu. Permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi serba banyak (poli) yaitu banyak makan (poliphagi), banyak minum (polidipsi) dan banyak kencing (poliuri). Keadaan tersebut, jika tidak segera diobati maka akan timbul gejala banyak minum, banyak kencing, nafsu makan mulai berkurang/berat badan turun dengan cepat (turun 5 – 10 kg dalam waktu 2 – 4 minggu), mudah lelah, dan bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual, bahkan penderita akan jatuh koma yang disebut dengan koma diabetik.

2. Gejala Kronik Diabetes Melitus

Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita DM adalah kesemutan, kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa tebal di kulit, kram, mudah mengantuk, mata kabur, biasanya sering ganti kacamata, gatal di sekitar kemaluan terutama wanita, gigi mudah goyah dan mudah lepas kemampuan seksual menurun, bahkan impotensi dan para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam kandungan, atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg.

2.1.9. Tatalaksana

Menurut PERKENI (2011), tujuan penatalaksanaan DM adalah meningkatkan kualitas hidup penderita DM. Penatalaksanaan ini dikenal dengan empat pilar penatalaksanaan DM, yaitu : edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis.

(14)

19

oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien, sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus (PERKENI, 2011).

a. Edukasi

Diabetes Melitus umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan kokoh. Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri membutuhkan partisipasi aktif penderita, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan harus mendampingi penderita dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif pengembangan ketrampilan dan motivasi. Edukasi secara individual dan pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan perilaku hampir sama dengan proses edukasi yang memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi dan evaluasi (PERKENI, 2011).

b. Terapi Gizi Medis

Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein, lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut (PERKENI, 2011):

1. Karbohidrat : 45 – 65% total asupan energi 2. Protein : 10 – 20% total asupan energi 3. Lemak : 20 – 25 % kebutuhan kalori

(15)

20

status gizi, dan kalori yang diperlukan untuk menghadapi stres akut sesuai dengan kebutuhan. Pada dasarnya kebutuhan kalori pada diabetes tidak berbeda dengan non diabetes yaitu harus dapat memenuhi kebutuhan untuk aktifitas baik fisik maupun psikis dan untuk mempertahankan berat badan supaya mendekati ideal (PERKENI, 2011).

c. Latihan Jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti : jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan (PERKENI, 2011).

d. Pengelolaan Farmakologis

Sarana pengelolaan farmakologis diabetes mellitus dapat berupa Obat Hipoglikemik Oral (OHO). Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan, antara lain (Soegondo,2007) :

A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonilurea dan glinid 1. Sulfonilurea

(16)

21

2. Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.

B. Penambah sensitivitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion Tiazolidindion

Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR- ), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.

C. Penghambat glukoneogenesis (metformin) Metformin

Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.

D. Penghambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase alfa

(17)

22

2.1.10. Komplikasi 1. Komplikasi Akut

Komplikasi metabolik DM disebabkan oleh perubahan relatif akut dari konsentrasi glukosa plasma.

a. Hipoglikemia

Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <60 mg/dL. Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang DM harus selalu dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama.

Gejala-gejala hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan epinefrin (berkeringat, gemetar, sakit kepala, palpitasi), juga akibat kekurangan glukosa dalam otak (tingkah laku yang aneh, sensorium yang tumpul, dan koma). Harus ditekankan bahwa serangan hipoglikemia adalah serangan berbahaya, bila sering terjadi atau terjadi dalam waktu yang lama dapat menyebabkan kerusakan otak permanen atau bahkan kematian.

b. Hiperglikemia

Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi pada DM, baik tipe 1 maupun tipe 2. Keadaan tersebut merupakan komplikasi serius yang mungkin terjadi sekalipun pada DM yang terkontrol dengan baik. Krisis hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk ketoasidosis diabetik (KAD), status hiperosmolar hiperglikemik (SHH) atau kondisi yang mempunyai elemen kedua keadaan diatas.

(18)

23

bersangkutan menghentikan suntikan insulin ataupun pengobatannya tidak adekuat.

b.1. Ketoasidosis Diabetik (KAD)

Pada ketoasidosis diabetik, kadar glukosa darah meningkat dengan cepat akibat glukoneogenesis (300-600 mg/dL), dan peningkatan penguraian lemak yang progresif. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/ mL). Terjadi poliuria dan dehidrasi. Kadar keton juga meningkat (ketosis) akibat penggunaan asam lemak yang hampir total untuk menghasilkan ATP. Keton keluar melalui urine menyebabkan bau napas seperti buah. Pada ketosis, pH turun di bawah 7,3 yang menyebabkan asidosis metabolik.

Individu dengan KAD sering mengalami mual dan nyeri abdomen. Dapat terjadi muntah yang memperparah dehidrasi ekstrasel dan intrasel. Kadar kalium turun total tubuh tubuh turun akibat poliuria dan muntah berkepanjangan. Di negara maju dengan sarana yang lengkap, angka kematian KAD berkisar antara 9-10%, sedangkan di klinik dengan sarana sederhana dan pasien usia lanjut angka kematian dapat mencapai 25-50%. Angka kematian KAD di RS Dr. Cipto Mangunkusumo selama periode 5 bulan (Januari-Mei 2005) terdapat 39 kasus KAD dengan angka kematian 15%.

b.2. Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH)

SHH adalah komplikasi akut yang dijumpai pada pengidap DM tipe 2. SHH adalah manifestasi awal DM pada 7-17% pasien DM.33 Walaupun tidak rentan mengalami ketosis, pengidap DM tipe 2 dapat mengalami hiperglikemia berat peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dL). Kadar hiperglikemia ini menyebabkan osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL). Situasi ini menyebabkan pengeluaran berliter-liter urine, rasa haus yang hebat, defisit kalium yang parah dan sekitar 15-20 menit dapat terjadi koma dan kematian.

(19)

24

2. Komplikasi Kronik

Terdapat banyak komplikasi jangka panjang pada DM. Sebagian besar disebabkan langsung oleh tingginya konsentrasi glukosa darah. Komplikasi DM tersebut hampir mengenai semua organ tubuh. Komplikasi kronis ini berkaitan dengan gangguan vaskular, yaitu: komplikasi mikrovaskular dan komplikasi makrovaskular.

a. Komplikasi Mikrovaskular a.1. Retinopati Diabetik

Komplikasi jangka panjang DM yang sering dijumpai adalah gangguan penglihatan. Ancaman paling serius terhadap penglihatan adalah retinopati diabetik, atau kerusakan pada retina karena tidak mendapatkan oksigen. Retina adalah jaringan yang aktif bermetabolisme dan pada hipoksia kronis akan mengalami kerusakan secara progresif dalam struktur kapilernya, membentuk mikroaneurisma, dan memperlihatkan bercak-bercak perdarahan. Terbentuk jaringan-jaringan infark (jaringan yang mati) yang diikuti neuvaskularisasi (pembentukan pembuluh baru), bertunasnya pembuluh-pembuluh lama. Sayangnya pembuluh-pembuluh baru dan tunas-tunas dari pembuluh lama berdinding tipis dan sering hemoragik, menyebabkan aktivasi sistem inflamasi dan pembentukan jaringan parut di retina. Edema interstisial terjadi dan tekanan intaokulus meningkat, yang menyebabkan kolapsnya kapiler dan saraf yang tersisa sehingga terjadi kebutaan. DM juga berkaitan dengan peningkatan katarak dan glaukoma.

(20)

25

Serikat. Retinopati dabetik juga bertanggung jawab atas sekitar 10.000 kasus kebutaan setiap tahunnya di Amerika Serikat.

a.2. Nefropati Diabetik

Nefropati diabetik merupakan salah satu penyebab kematian terpenting pada DM yang lama. Nefropati diabetik merupakan istilah yang mencakup semua lesi yang terjadi di ginjal pada DM. Lesi awalnya adalah hiperfiltrasi glomerulus (peningkatan laju filtrasi glomerulus) yang menyebabkan penebalan difusi pada membran basal glomerulus, bermanifestasi sebagai mikroalbuminuria (albumin dalam urin 30-300 mg/hari), merupakan tanda sangat akurat terhadap kerusakan vaskular secara umum yang menjadi prediktor kematian akibat penyakit kardiovaskular. Albuminuria persisten (albumnin urin >300 mg/hari) awalnya disertai dengan GFR (Glomerular Filtration Rate) yang normal, namun setelah terjadi protenuria berlebih (protein dalam urin >0,5 g/24 jam), GFR menurun secara progresif dan terjadi gagal ginjal.

Telah diperkirakan bahwa sekitar 35% hingga 45% pasien DM tipe 1 akan berkembang menjadi gagal ginjal kronik dalam waktu 15 hingga 25 tahun setelah awitan DM. Individu dengan DM tipe 2 lebih sedikit yang berkembang menjadi gagal ginjal kronik (sekitar 10% hingga 20%) dengan insidensi mendekati 50%. Nefropati diabetik adalah penyebab nomor satu gagal ginjal di Amerika Serikat dan negara-negara barat lainnya

a.3. Neuropati Diabetik

Diabetes Mellitus merusak sistem saraf perifer, termasuk komponen sensorik dan motorik divisi somatik otonom. Penyakit saraf yang disebabkan DM disebut neuropati diabetik. Neuropati diabetik disebabkan hipoksia kronis sel-sel saraf yang kronis serta efek hiperglikemia, termasuk hiperglikosilasi protein yang melibatkan fungsi sel saraf. Sel-sel penunjang saraf, terutama sel Schwann mulai menggunakan metode alternatif untuk mengatasi beban peningkatan glukosa kronis, yang akhirnya mengakibatkan demielinisasi segmental saraf perifer.

(21)

26

adanya sensasi getar pada extremitas bawah. Kemudian sensasi raba dan nyeri menghilang. Pasien sering kali mengeluh baal (kesemutan), dan rasa seperti terbakar di malam hari. Ulkus kronis tanpa nyeri berkembang di tempat-tempat yang terkena trauma berulang.

Semua penyandang DM yang disertai neuropati perifer harus diberikan edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki karena kulit pada daerah ekstremitas bawah merupakan tempat yang sering mengalami infeksi. Kuman stafilokokus merupakan kuman penyebab utama. Ulkus kaki terinfeksi biasanya melibatkan banyak mikroorganisme, yang sering terlibat adalah stafilokokus, streptokokus, batang gram negatif dan kuman anaerob.

Neuropati otonom dapat menyebabkan disfungsi ereksi (impotensi seksual) pada 25% pasien pria dan disfungsi gastrointestinal serta infeksi saluran kemih. Prevalensi disfungsi ereksi pada penyandang DM tipe 2 lebih dari 10 tahun cukup tinggi dan merupakan akibat adanya neuropati autonom, angiopati dan masalah psikis. Upaya pengobatan utama adalah memperbaiki kontrol glukosa darah senormal mungkin dan memperbaiki faktor risiko disfungsi ereksi lain seperti dislipidemia, merokok, obesitas dan hipertensi.

b. Komplikasi Makrovaskular

(22)

27

Komplikasi makrovaskular akan mengakibatkan penyumbatan vaskular. Jika mengenai arteri-arteri perifer, maka dapat mengakibatkan insufisiensi vaskular perifer yang disertai klaudikasio intermitten dan ganggren pada ekstremitas serta insufisiensi serebral dan stroke. Jika yang terkena adalah arteri koronaria dan aorta maka dapat mengakibatkan angina dan infark miokardiun.

Pada penderita DM, risiko penyakit serebrovaskular meningkat dua kali lipat, penyakit jantung koroner meningkat tiga sampai lima kali lipat, dan penyakit pembuluh darah perifer meningkat 40 kali. Risiko relatif penyakit kardiovaskular adalah dua sampai empat kali lipat lebih tinggi pada pria dan tiga sampai empat kali lebih tinggi pada wanita DM dari pada kelompok kontrol berusia sama. Makrovaskular merupakan penyebab utama kematian pada pasien DM tipe 2, mencakup 50% kematian pada kelompok ini.

2.2. Perilaku Self Care 2.2.1. Definisi

Pengertian perilaku self care menurut Orem adalah suatu pelaksanaan kegiatan yang diprakarsai dan dilakukan oleh individu itu sendiri unutuk memenuhi kebutuhan guna mempertahankan kehidupan, kesehatan, dan kesejahteraannya sesuai keadaan, baik sehat maupun sakit (Tomey dan Alligood, 2006). Perilaku self care DM merupakan program atau tindakan yang harus dijalankan sepanjang kehidupan penderita dan menjadi tanggung jawab penuh bagi setiap penderita DM (Bai et al., 2009).

(23)

28

2.2.2. Pengukuran Perilaku Self Care

Pengukuran perilaku self care meggunakan pengukuran perilaku self care DM

(The Summary of Diabetes Self-Care Activities / SDSCA) yang dikembangkan oleh

Toobert, DJ et al. (2000). Perilaku self care tersebut meliputi pengaturan pola makan

(diet), latihan fisik/ exercise, pemantauan gula darah, pengobatan dan perawatan kaki.

2.3. Faktor – faktor yang mempengaruhi Perilaku Self Care DM

Beberapa factor yang dapat mempengaruhi penderita dalam melakukan perilaku self care DM yaitu :

2.3.1. Umur

Usia mempunyai hubungan yang positif terhadap perilaku self care DM. semakin meningkat usia maka akan terjadi peningkatan dalam perilaku self care DM. Peningkatan usia menyebabkan terjadinya peningkatan kedewasaan/ kematangan seseorang sehingga penderita dapat berfikir secara rasional tentang manfaat yang akan dicapai jika penderita melakukan perilaku self care DM secara adekuat dalam kehidupan sehari-hari (Sousa et al., 2005).

Hasil penelitian berbeda dijelaskan oleh Kusniawati (2011) bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara usia dengan perilaku self care DM. Hal ini disebabkan penderita DM tipe 2 baik yang berusia muda maupun berusia tua, mereka sama-sama melakukan perilaku self care DM dengan tujuan untuk mencapai kadar gula darah normal dan mencegah atau meminimalkan komplikasi yang mungkin timbul akibat DM.

2.3.2. Jenis Kelamin

(24)

29

Penderita DM tipe 2 yang berjenis kelamin laki-laki memiliki perilaku self care yang lebih baik daripada perempuan (Bai et al., 2009). Penderita DM tipe 2 lebih banyak berjenis kelamin perempuan dibanding laki-laki. Perempuan memiliki kualitas hidup yang lebih rendah daripada laki-laki dan memiliki perilaku self care yang lebih rendah daripada laki-laki (Made, 2014).

2.3.3. Tingkat Pendidikan 2.3.4. Sosial Ekonomi

DM merupakan kondisi penyakit yang memerlukan biaya yang cukup mahal sehingga akan berdampak terhadap kondisi ekonomi keluarga terutama bagi masyarakat golongan ekonomi rendah. Masyarakat golongan ekonomi rendah, mereka tidak dapat melakukan pemeriksaan kesehatan secara kontinu disebabkan karena keterbatasan biaya, sedangkan penderita DM harus melakukan kunjungan ke pelayanan kesehatan minimal 1-2 minggu sekali untuk memantau kondisi penyakitnya agar terhindar dari komplikasi potensial yang dapat muncul akibat DM (Nwanko et al., 2010). Menurut Bai et al. (2009) yang menjelaskan bahwa sosial ekonomi berpengaruh terhadap perilaku self care DM.

2.3.5. Lama Menderita DM

Gambar

Tabel 2.1. Klasifikasi Diabetes Melitus
Tabel 2.2. Kriteria Diagnostik DM

Referensi

Dokumen terkait

Analisis data tes akhir dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui peningkatan pemahaman konsep fisika setelah diberikan materi pembelajaran kalor antara kelas

Sub Bidang Pengaturan meliputi: 1) Penetapan peraturan daerah bidang penataan ruang tingkat provinsi; 2) Penetapan pedoman pelaksanaan NSPK bidang penataan ruang; 3)

The flight missions were set up to determine the return-to-home (RTH) landing precision and the power consumption of the UAV at different wind speeds.. The landing precision

[r]

1) Perencanaan, yaitu persiapan yang bertolak dari ide awal, hasil pra survey, dan hasil diagnosis yang terkait dengan pemecahan masalah atau fokus tindakan

Seiring dengan kebutuhan jaman dibutuhkan perencanaan hotel transit, dipilih pada lahan bekas bangunan Kereta Api yang dijadikan sebagai bangunan konversi, letaknya yang

LIABILITAS DAN EKUITAS.. Lampiran 1a Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/30/DPNP tanggal 16 Desember 2011a.

These components include the Connection object, the Command object, the Parameters collection and the Parameter object, the Recordset object, the Fields collection and Field