• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Konsep Diri Wanita terhadap Penyesuaian Diri pada Masa Menopause di Kota Binjai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Konsep Diri Wanita terhadap Penyesuaian Diri pada Masa Menopause di Kota Binjai"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Menopause

2.1.1 Pengertian Menopause

Menopause merupakan sebuah kata yang mempunyai banyak arti, “men” dan

“pauseis” adalah kata Yunani yang pertama kali digunakan untuk menggambarkan

berhentinya haid. Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary mendefinisikan menopause sebagai periode berhentinya haid secara alamiah yang biasanya terjadi

antara usia 45 sampai 50 tahun (Kasdu, 2004).

Menurut WHO, menopause adalah berhentinya menstruasi secara permanen

akibat tidak bekerjanya folikel ovarium. Sehingga untuk menentukan onset dilakukan

recara retrospektif, yaitu dimulai dari amenorea spontan sampai 12 bulan kemudian,

seiring dengan peningkatan follicle-stimulating hormone (FSH). Menopause merupakan kegagalan ovarium dengan onset pada usia dewasa, ditandai dengan tidak

adanya estrogen, progesteron, dan androgen ovarium (Spencer dan Brown, 2007).

Glasier & Gebbie (2006) mendefinisikan menopause sebagai periode

menstruasi spontan yang terakhir pada seorang wanita dan merupakan diagnosa yang

ditegakkan secara retrospektif setelah amenorrhea selama 12 bulan. Menopause terjadi pada usia rata-rata 51 tahun. Fase transisi fluktuasi fungsi ovarium yang terjadi

(2)

“perimenopause” atau “klimakterium”. Wanita secara universal menyebut fase

klimakterium sebagai “mengalami menopause”.

Menopause adalah periode kehidupan pada seorang wanita dengan terhentinya

menstruasi, sinonim dengan klimakterik (Chalpin, 1999).

Nugroho dan Setiawan (2010) mendefinisikan menopause sebagai proses

alami dari penuaan, yaitu ketika wanita tidak lagi mendapat haid selama 1 tahun.

Penyebab berhentinya haid karena ovarium tidak lagi memproduksi hormon estrogen

dan progesteron, dan rata-rata terjadi menopause pada usia 50 tahun.

Shimp & Smith (2000) mendefinisikan menopause sebagai akhir periode

menstruasi, tetapi seorang wanita tidak diperhitungkan post menopause sampai

wanita tersebut telah megalami amenorrhea. Menopause membuat berakhirnya fase

reproduksi pada kehidupan wanita.

Menopause adalah berhentinya siklus haid terutama karena ketidakmampuan

sistem neurohumoral untuk mempertahankan stimulasi periodiknya pada sistem

endokrin (Potter & Perry, 1997), Baziad (2003) menyebutkan menopause sebagai

perdarahan rahim terakhir yang masih diatur oleh hormon ovarium. Istilah menopause

digunakan untuk menyatakan suatu perubahan hidup dan pada saat itulah seorang

wanita mengalami periode terakhir masa haid (Kasdu, 2004).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menopause adalah masa setahun

setelah berhentinya haid yang disebabkan oleh menurunnya produksi hormon

estrogen dan progesteron di ovarium sehingga masa reproduksi wanita menjadi

(3)

2.1.2 Tahap-Tahap dalam Menopause

Menurut Manuaba (1999), perubahan wanita menuju masa menopause antara

usia 48-65 tahun dengan melewati beberapa fase yaitu :

a. Fase pra-menopause (klimakterium), pada fase ini seorang wanita akan

mengalami kekacauan pola menstruasi, terjadi perubahan psikologis/kejiwaan,

terjadi perubahan fisik. Berlangsung selama 4-5 tahun. Terjadi pada usia

antara 48-55 tahun.

b. Fase menopause, terhentinya menstruasi. Perubahan pada keluhan psikologis

dan fisik makin menonjol. Berlangsung sekitar 3-4 tahun. Pada usia antara

56-60 tahun.

c. Fase pasca-menopause (senium), terjadi pada usia 61-65 tahun. Wanita

beradaptasi terhadap perubahan psikologis dan fisik. Keluhan makin

berkurang.

Nugroho dan Setiawan (2010) menyatakan bahwa tahapan menopause

bermula dari tahap reproduksi sampai berakhir pada awal senium, antara usia 40-65

tahun yaitu :

a. Pra-menopause merupakan masa 4-5 tahun sebelum menopause, fungsi

reproduksi mulai menurun, timbul keluhan tanda-tanda menopause, seperti

perdarahan tidak teratur.

b. Menopause, terjadi pada usia sekitar 50 tahun, perdarahan uterus terakhir

(4)

datangnya haid sampai berhenti, periode dengan keluhan memuncak,

rentangan 1-2 tahun sebelum dan 1 tahun sesudah menopause.

c. Pasca-menopause, masa 3-5 tahun setelah menopause, munculnya

perubahan-perubahan patologi secara permanen disertai memburuknya

kondisi fisik pada usia lanjut (senium).

d. Ooforopause, saat ovarium kehilangan fungsi hormonalnya sama sekali.

2.1.3 Fisiologis Menopause dan Perimenopause

Perubahan endokrin dan metabolik yang dihubungkan dengan menopause

tetap belum dipahami sepenuhnya. Telah diketahui bahwa beberapa tahun sebelum

menopause, ovarium mulai kehabisan persediaan oosit dan struktur di sekitarnya

yang menghasilkan sebagian besar estrogen yang ada selama masa reproduksi.

Penurunan fungsi folikel ovarium dan penurunan estrogen yang bersirkulasi juga

menyebabkan perubahan dalam produksi hormon seks dari hipotalamus, kelenjar

hipofisis, dan kelenjar adrenal (Scharbo-De Haan et al., 1991 dalam Reeder, dkk,

2011). Misalnya, penurunan produksi estradiol dan progesteron memungkinkan

pelepasan sejumlah besar gonadotropin dari hipofisis, yang menghasilkan

peningkatan kadar FSH dan LH yang bersirkulasi. Hipotalamus menyekresi GnRH

dalam jumlah besar ke sirkulasi portal dengan cara berdenyut, yang diyakini

bertanggung jawab menyebabkan hot flushes yang sering kali menyertai menopause (Wren, 1992 dalam Reeder, dkk, 2011). Dengan penurunan estrogen,

(5)

dalam Reeder, dkk, 2011). Fluktuasi kadar hormon tersebut berkontribusi pada

perubahan emosi.

Dampak fisiologis perimenopause dapat menyebabkan wanita mengalami

berbagai gejala. Perubahan mukosa vagina bervariasi di antara wanita perimenopause.

Bahkan, perubahan minimal dapat menyebabkan rasa nyeri saat berhubungan seksual

(dispareunia). Penipisan lapisan vagina dan penurunan estrogen lubrikasi dapat diatasi dengan pemberian estrogen secara oral atau lokal dengan supositoria vagina

atau krim. Dispa reunia merupakan gejala umum yang tidak boleh diabaikan dalam penatalaksanaan wanita pasca-menopause.

Tiap wanita bereaksi berbeda terhadap perubahan fungsi endokrin pada masa

menopause. Reaksi tersebut tidak dapat diduga dan dalam beberapa hal bergantung

pada riwayat emosional wanita, sistem pendukungnya dalam keluarga dan fakta

bahwa sistem reproduksi-endokrin di masa menopause dapat sangat labil selama

kurun waktu tersebut, yang dapat berlangsung selama 8 atau 9 tahun (Ravnikar, 1990,

Ferguson et, al., 1989 dalam Reeder, dkk, 2011).

Beberapa kesulitan selama masa perimenopause dapat dikurangi melalui

penyuluhan mengenai penuaan, menopause, dan masalah yang terkait (Cook, 1993

dalam Reeder, dkk, 2011). Sangat penting untuk memberikan konseling pada wanita

mengenai peningkatan risiko perubahan yang merugikan terkait dengan penurunan

estrogen (misalnya, osteoporosis, aterosklerosis, infark miokardium, stroke, dan

kanker) dan metode untuk meningkatkan kesehatan selama proses penuaan (Reeder,

(6)

2.1.4 Perubahan yang terjadi pada Menopause

Perubahan yang terjadi selama menopause adalah :

2.1.4.1 Perubahan Organ Reproduksi

Akibat berhentinya haid, berbagai organ reproduksi akan mengalami

perubahan.

1) Rahim

Rahim mengalami atropi, panjangnya menyusut dan dindingnya menipis.

Jaringan miometrium (otot rahim) menjadi sedikit dan lebih banyak

mengandung jaringan fibrotik (sifat serabut secara berlebihan). Leher rahim

(serviks) menyusut tidak menonjol ke dalam vagina, bahkan lama-lama akan

merata dengan dinding vagina (Kasdu, 2004).

2) Saluran telur

Lipatan-lipatan saluran menjadi lebih pendek, menipis, dan mengerut.

Rambut getar yang ada pada ujung saluran telur atau fimbria menghilang.

3) Indung telur

Setelah wanita melewati akhir usia 30-an, produksi indung telur

berangsur-angsur menurun. Dengan demikian, pelepasan sel telur tidak selalu

pada setiap siklus haid. Pada saat ini, jarak haid menjadi agak tidak teratur,

yaitu terjadi pada selang waktu yang lebih lama, pola cairan haid berubah

menjadi semakin sedikit atau semakin banyak. Sampai akhirnya, pelepasan sel

telur tidak lagi terjadi dan haid pun berhenti. Didapatkan sekitar 33% dari

(7)

meningkat menjadi 69% pada wanita menopause dan post-menopause.

Penelitian klinik pada wanita menopause menunjukkan bahwa lebih kurang

90% wanita selama menopause mengalami ketidakteraturan haid; hanya

10-12% dari wanita premenopause yang mengalami amenore mandadak(Kasdu,

2004).

Haid terakhir merupakan titik puncak dari suatu proses perubahan dalam

kadar hormon dan fungsi indung telur yang bisa jadi membutuhkan waktu hingga

sepuluh tahun. Akan tetapi, estrogen yang jumlahnya lebih sedikit terus dihasilkan

oleh indung telur selama 10 hingga 20 tahun setelah menopause. Kelenjar-kelenjar

adrenalin dan sel-sel lemak juga dapat menghasilkan estrogen.

Dengan menurunnya produksi indung telur maka terjadi juga penurunan

hormon. Indung telur memproduksi tiga hormon yaitu estrogen, progesteron, dan

androgen. Kadar estrogen dan progesteron mulai menurun secara berangsur-angsur

atau secara tidak teratur. Berhentinya ovulasi (keluarnya sel telur dari indung telur),

progesteron tidak diproduksi lagi. Namun, pada wanita perimenopause dan

pascamenopause dengan indung telur utuh, untuk jangka waktu tertentu hormon

androgen terus diproduksi bersamaan dengan hormon estrogen (Reeder, dkk, 2011).

Akibat proses tersebut, terjadi perubahan pada organ reproduksi wanita

sebagai berikut :

a. Ukuran indung telur mengecil dan permukaannya akan menjadi keriput

(8)

luteum (badan kuning), dan tunika albugenia-nya (selaput pembungkus) menebal

b. Terjadi sklerosis (penebalan) dini pada sistem pembuluh darah indung telur

sehingga diperkirakan sebagai penyebab utama gangguan vaskularisasi

(pembuluh darah) indung telur.

c. Sirkulasi menjadi anovulasi (tidak ada ovulasi), folikel primer (pertumbuhan

sel telur awal) tidak dapat matang secara baik di samping tingginya kadar

hormon gonadotropin. Akibatnya, secara metabolism dan proses pertumbuhan

zat pada indung telur menurun dan jaringan ikat makin meningkat. Oleh

karena itu indung telur menjadi atrofi

d. Produksi hormon estrogen turun sehingga tidak terjadi lagi perubahan

endometrium

e. FSH dan LH meningkat, tetapi plasma estradiol (bentuk dari estrogen) sangat

rendah (Kasdu, 2004).

4) Serviks (leher rahim)

Seperti halnya Rahim dan indung telur, serviks juga mengalami

pengerutan dan memendek.

5) Vagina

(9)

mempertahankan elastisitasnya akibat fibrosis (pembentukan jaringan ikat dalam alat atau bagian tubuh dalam jumlah yang melampaui keadaan biasa).

Perlu diketahui, perubahan ini sampai batas tertentu dipengaruhi oleh

keberlangsungan dalam aktivitas seksual. Artinya, makin lama kegiatan

tersebut dilakukan makin kurang laju pendangkalan atau pengecilan alat

kelamin bagian luar wanita (genitalia eksterna) (Mackenzie, 1992). 6) Vulva (mulut kemaluan)

Jaringannya menipis karena berkurang dan hilangnya jaringan lemak serta

jaringan elastik. Kulitnya menipis dan pembuluh darah berkurang sehingga

menyebabkan pengerutan lipatan vulva. Terjadi gangguan rasa gatal dan juga

hilangnya sekret kulit serta mengerutnya lubang masuk kemaluan.

Berkurangnya serabut pembuluh darah dan serabut elastik. Semua keadaan ini

memengaruhi munculnya gangguan nyeri waktu sanggama (Yatim, 2001).

2.1.4.2 Perubahan Hormon

Sesuatu yang berlebihan atau kurang, tentu mengakibatkan timbulnya suatu

reaksi. Pada kondisi menopause reaksi yang nyata adalah perubahan hormon estrogen

yang menjadi berkurang. Meskipun perubahan terjadi juga pada hormon lainnya,

seperti progesteron, tetapi perubahan yang memengaruhi langsung kondisi fisik tubuh

maupun organ reproduksi, juga psikis adalah akibat perubahan hormon estrogen.

Menurunnya kadar hormon ini menyebabkan terjadi perubahan haid menjadi

(10)

tumbuhnya selaput lendir rahim akibat rendahnya hormon estrogen (Spencer dan

Brown, 2007).

2.1.4.3 Perubahan Fisik

Akibat perubahan organ reproduksi maupun hormon tubuh pada saat

menopause memengaruhi berbagai keadaan fisik tubuh seorang wanita. Keadaan ini

berupa keluhan-keluhan ketidaknyamanan yang timbul dalam kehidupan sehari-hari.

1) Hot flushes (perasaan panas)

Hot flushes adalah rasa panas yang luar biasa pada wajah dan tubuh bagian atas (seperti leher dan dada). Dengan perabaan tangan akan terasa adanya

peningkatan suhu pada daerah tersebut.

Gejolak panas terjadi karena jaringan-jaringan yang sensitif atau yang

bergantung pada estrogen akan terpengaruh sewaktu kadar estrogen menurun.

Pancaran panas diperkirakan merupakan akibat dari pengaruh hormon pada

bagian otak yang bertanggung jawab untuk mengatur temperatur tubuh.

Gejala ini sering timbul pada malam hari menyebabkan yang bersangkutan

sulit tidur. Pada keadaan cuaca dingin, gejolak panas terjadi lebih jarang dan

singkat dibandingkan jika cuaca panas. Makan makanan atau minuman panas

atau makanan pedas, alkohol, kafein, dan stres dapat menyebabkan terjadinya

hot flushes.

Intensitas, lamanya serta frekuensi dari gejala tersebut sangat bervariasi.

(11)

terganggu. Lamanya hot flushes umumnya 1-5 menit dan hanya 6% yang mengalami > 6 menit. Gejala ini lebih banyak dialami oleh wanita di Amerika

Utara, Eropa dan Australia sekitar 50-85% dan terjadi secara periodik selama

1-5 tahun. Hanya 10-20% wanita Indonesia dan 10-25% wanita China yang

mengalami hot flushes.

Gejolak panas timbul ketika wanita akan memasuki usia menopause atau

pada saat menopause dan akan menghilang sekitar 4-5 tahun

pasca-menopause (Kasdu, 2004; Mackenzie, 1992).

2) Keringat di malam hari

Berkeringat malam hari, bangun bersimbah peluh. Sehingga perlu

mengganti pakaian di malam hari. Berkeringat malam hari tidak saja

menggangu tidur melainkan juga teman atau pasangan tidur. Akibatnya di

antara keduanya merasa lelah dan lebih mudah tersinggung, karena tidak

dapat tidur nyenyak.

Cara bekerjanya secara persis tidak diketahui, tetapi pancaran panas pada

tubuh akibat pengaruh hormon yang mengatur thermostat tubuh pada suhu yang lebih rendah. Akibatnya, suhu udara yang semula dirasakan nyaman,

mendadak menjadi terlalu panas dan tubuh mulai menjadi panas serta

mengeluarkan keringat untuk mendinginkan diri (Reitz, 1993).

3) Vagina kering

Kekeringan vagina terjadi karena leher rahim sedikit sekali mensekresikan

(12)

vagina menjadi lebih tipis, lebih kering dan kurang elastis. Alat kelamin mulai

mengerut, liang sanggama kering sehingga menimbulkan nyeri pada saat

sanggama, keputihan, rasa sakit pada saat kencing. Keadaan ini membuat

hubungan seksual akan terasa sakit. Selain itu, akibat berkurangnya estrogen

menyebabkan keluhan gangguan pada epitel vagina, jaringan penunjang dan elastisitas dinding vagina. Padahal, epitel vagina mengandung banyak reseptor estrogen yang sangat membantu mengurangi rasa sakit dalam berhubungan

seksual (Sibagariang, dkk, 2010).

4) Tidak dapat menahan air seni

Ketika usia bertambah tua, air seni sering tidak dapat ditahan pada saat

bersin atau batuk. Hal ini akibat estrogen yang menurun sehingga salah satu

dampaknya adalah inkontinensia urin (tidak dapat mengendalikan fungsi

kandung kemih). Dinding serta lapisan otot polos uretra wanita juga

mengandung banyak reseptor estrogen. Kekurangan estrogen menyebabkan

terjadinya gangguan penutupan uretra dan perubahan pola aliran urin menjadi

abnormal sehingga mudah terjadi infeksi pada saluran kemih bagian bawah

(Kasdu, 2004).

5) Kulit

Rendahnya kadar estrogen dalam tubuh berpengaruh pada jaringan kolagen

yang berfungsi sebagai jaringan penunjang pada tubuh. Hilangnya kolagen

(13)

mudah goyang dan gusi berdarah, sariawan, kuku rusak, serta timbulnya rasa

sakit dan ngilu pada persendian (Muchtadi, 2009).

6) Penambahan berat badan

Saat wanita mulai menginjak usia 40-an, biasanya tubuh mudah menjadi

gemuk, tetapi sebaliknya sangat sulit untuk menurunkan berat badan.

Berdasarkan penelitian ditemukan 29% wanita pada masa menopause

memperlihatkan kenaikan berat badan dan 20% diantaranya memperlihatkan

kenaikan yang mencolok. Hal ini diduga ada hubungannya dengan turunnya

estrogen dan gangguan pertukaran zat dasar metabolism lemak.

Kulitpun mejadi lebih kendur sehingga mudah menjadi tempat simpanan

lemak. Bahkan dengan bertambah usia, aktivitas tubuh juga berkurang. Hal ini

menyebabkan gerak tubuh berkurang sehingga lemak semakin banyak

tersimpan, apalagi tidak dibarengi dengan pengaturan makanan yang tepat

(Kasdu, 2004).

Memasuki menopause mengubah cara tubuh menyimpan lemak, sebelum

menopause wanita biasanya menyimpan kelebihan lemak di sekitar panggul

dan paha, yang menyebabkan bentuk tubuh wanita seperti ‘buah pear’. Setelah

menopause kelebihan lemak disimpan di sekitar pinggang dan perut yang

menyebabkan bentuk tubuh seperti ‘buah apel’ (Spencer dan Brown, 2007).

7) Gangguan mata

Kurang dan hilangnya estrogen memengaruhi produksi kelenjar air mata

(14)

8) Nyeri tulang dan sendi

Seiring meningkatnya usia maka beberapa organ tidak lagi mengadakan

remodeling, di antaranya tulang. Bahkan, mengalami proses penurunan karena pengaruh dari perubahan organ lain. Selain itu, dengan bertambahnya usia

penyakit yang timbul semakin beragam. Hal ini tentu saja berkaitan dengan

kebugaran dan kesehatan tubuh seorang wanita (Jones, 1997).

9) Osteoporosis

Osteoporosis (pengeroposan tulang) adalah suatu penyakit metabolik yang

ditandai dengan menurunya massa tulang dan mikroarsitektur dari jaringan

tulang akibat berkurangnnya hormon estrogen (Spencer dan Brown, 2007).

Estrogen juga membantu penyerapan kalsium ke dalam tulang, sehingga

wanita yang telah mengalami menopause mempunyai risiko lebih terkena

osteoporosis. Kehilangan massa tulang merupakan fenomena universal yang

dimulai sekitar 40 tahun, dan meningkat pada wanita postmenopause, yaitu

rata-rata kehilangan massa tulang 2% tiap tahun. Pada tahun-tahun awal

setelah menopause, kehilangan massa tulang berlangsung sangat cepat dan

risiko jangka panjang untuk terjadinya patah tulang meningkat (Kasdu, 2004).

Lebih dari 90% pasien osteoporosis adalah wanita postmenopause.

Diperkirakan antara 25% dan 44% wanita post menopause mengalami fraktur

karena osteoporosis, terlebih pada tulang belakang, sendi tulang paha dan

lengan bawah. Pada wanita kulit putih kira-kira 8 dari 1000 mengalami fraktur

(15)

putih dan wanita Asia mempunyai risiko yang meningkat untuk terjadi fraktur

karena osteoporosis, wanita kulit hitam mempunyai angka kematian lebih

tinggi pada 6 bulan pertama setelah fraktur sendi tulang paha dibandingkan

wanita kulit putih yaitu 20% dan 11% (Shimp & Smith, 2000).

Penelitian yang dilakukan Pramono (1998) dalam Kasdu (2004)

menemukan bahwa pada lansia berusia 75-78 tahun sering ditemukan

osteoporosis, dan pada golongan ini wanita dua kali lebih banyak

dibandingkan pria. Secara kumulatif, selama hidupnya wanita akan

mengalami kehilangan 40%-50% massa tulangnya, sedangkan pria hanya

kehilangan sebanyak 20%-30%. Dengan demikian wanita lebih berisiko

menderita osteoporosis dan patah tulang.

10)Penyakit jantung koroner

Kelainan kardiovaskular menjadi penyebab utama kematian dan kesakitan

pada wanita menopause. Pada tahun 2000, 38% wanita di Amerika Serikat

berumur 45 tahun atau lebih, pada tahun 2015 proporsi ini akan meningkat

menjadi 45%. Satu dari sembilan wanita berumur 45-64 tahun menderita

berbagai macam penyakit kardiovaskular dan setelah 65 tahun rasionya

meningkat menjadi 1 banding 3. Kira-kira 40% penyakit koroner pada wanita

berakibat fatal dan 67% dari semua kematian mendadak yang terjadi pada

wanita tersebut tanpa riwayat penyakit jantung koroner. Mereka kehilangan

daya tahan terhadap penyakit jantung koroner akibat berkembangnya

(16)

gaya hidup atau faktor risiko tetapi karena perubahan lipoprotein yang terjadi

pada menopause.

Penurunan estrogen juga mengakibatkan penurunan hight density lipoprotein (HDL) dan menigkatkan low density lipoprotein (LDL), trigliserida, dan kolesterol total, yang dapat meningkatkan risiko penyakit

jantung koroner. Penelitian yang dilakukan oleh Gallup (1995) dalam Kasdu

(2004) ditemukan bahwa wanita berpeluang dua kali lebih besar terkena

penyakit jantung koroner daripada kanker payudara, dan terjadinya penyakit

jantung koroner pada wanita menopause menjadi dua kali lipat dibanding pria

pada usia yang sama.

2.1.4.4 Perubahan Psikologis Wanita Menopause

Pada wanita yang menghadapi periode menopause, munculnya

simtom-simtom psikologis sangat dipengaruhi oleh adanya perubahan pada aspek

fisik-fisiologis sebagai akibat dari berkurang dan berhentinya produksi hormon estrogen.

Selain fisik, perubahan psikologis juga sangat memengaruhi wanita dalam menjalani

masa menoapuse. Perubahan yang terjadi pada wanita menopause adalah perubahan

mood, irritabilitas, kecemasan, labilitas emosi, merasa tidak berdaya, gangguan daya

ingat, konsentrasi berkurang, sulit mengambil keputusan, dan merasa tidak berharga

(Glasier & Gebbie, 2005; Ibrahim, 2002).

Stres kehidupan setengah baya dapat memperburuk menopause. Menghadapi

(17)

penambahan berat badan atau kegemukan adalah beberapa bentuk stres yang

mengakibatkan risiko masalah emosional yang serius (Bobak et al, 2005).

Emptynest syndrome adalah suatu keadaan yang terjadi pada saat anak-anak meninggalkan rumah untuk menjalani kehidupan masing-masing. Anggapan bahwa

tugas sebagai orang tua berakhir saat setelah anak-anak meninggalkan rumah sering

membuat orang tua menjadi stres terutama bagi para ibu yang merasa kehilangan arti

atau makna hidup bagi dirinya (Rini, 2004).

Perubahan psikologis pada masa menopause sangat tergantung pada

pandangan masing-masing wanita terhadap menopause, termasuk pengetahuan yang

cukup akan membantu wanita memahami dan menyesuaikan dirinya menjalani masa

masa menopause dengan lebih baik. Latar belakang masing-masing wanita sangat

berpengaruh terhadap kondisi wanita dalam mengalami masa menopause, misalnya

apakah wanita tersebut menikah atau tidak, apakah wanita tersebut mempunyai

suami, anak, cucu, atau kehidupan keluarga yang membahagiakannya, serta pekerjaan

yang mengisi aktivitas sehari-harinya (Kasdu, 2004).

Peran budaya juga memengaruhi status emosi selama menopause.

Kebanyakan orang melihat menopause sebagai langkah pertama untuk masuk ke usia

tua dan menghubungkannya dengan hilangnya kecantikan. Budaya Barat menghargai

masa muda dan kecantikan fisik, sementara orang tua menderita akibat kehilangan

(18)

2.2 Penyesuaian Diri

Istilah penyesuaian diri merupakan terjemahan dari kata “adjustment” (Inggris). Konsep ini kerap digunakan dalam bidang Psikologi, terutama untuk

menekankan pada unsur individu serta bagaimana seorang individu mengatur

hidupnya. Penyesuaian diri memiliki pengertian yang luas, dimana konsep ini

berkaitan dengan semua reaksi seorang individu menghadapi tuntutan dari lingkungan

maupun dari dalam dirinya sendiri. Oleh karena itu, konsep ini dapat dipergunakan

selama respon yang ditampilkan seorang individu mengarah kepada usahanya untuk

mengurangi atau meredusir tututan-tuntutan yang masuk sebagai usaha penyesuaian

diri, yang dialami individu tersebut dalam menghadapi menopause.

Schneiders (1964) mendefinisikan penyesuaian diri sebagai : suatu proses

yang mencakup respon mental dan tingkah laku, yang merupakan usaha individu agar

berhasil mengatasi dan meguasai kebutuhan dalam dirinya, ketegangan, konflik, dan

frustrasi yang dialaminya. Tujuan dari usaha itu adalah untuk memperoleh

keselarasan dan keharmonisan antara tuntutan dari dalam diri dengan apa yang

diharapkan oleh lingkungan di mana ia berada.

Definisi yang dikemukakan Schneiders, memperlihatkan bahwa apa yang

disebut sebagai penyesuaian diri pada dasarnya adalah semua upaya yang dilakukan

oleh seorang individu untuk mengatasi keadaan yang tidak menyenangkan bagi

dirinya dalam menghadapi menopause. Dalam kaitannya dengan penelitian ini,

kondisi fisik dan psikologis yang dirasakan tidak menyenangkan, adalah sangat

(19)

menyenangkan tersebut. Artinya, bagi seorang wanita menopause, arti dan makna

menopause tergantung dari bagaimana ia mengevaluasi atau menilai menopause

tersebut. Apabila menopause itu dinilai sebagai suatu situasi yang tidak

menyenangkan dan ia menjadi frustrasi karenanya, maka akan muncul reaksi

emosional tertentu sebagai kodisi yang mewarnai frustrasi (bisa sangat sedih, marah,

tidak berguna lagi, dan sebagainya). Sudah tentu, kondisi ini berusaha untuk

diatasinya, sebagai nilai dasar dari kemanusiaan yang dimiliki setiap individu untuk

mempertahankan hidupnya.

Setiap individu memberikan reaksi yang berbeda dalam menghadapi suatu

situasi dan hal ini tergantung pada proses pendekatannya. Seseorang mungkin akan

dapat bereaksi tanpa adanya beban, akan tetapi orang lain menganggapnya sebagai

situasi yang membebaninya (mengancam). Perbedaan tersebut menyangkut

bagaimana seorang individu melakukan persepsi, penilaian (appraisal), dan evaluasi terhadap situasi yang dihadapinya serta sumber daya apa (potensi) yang dimiliki

individu itu sendiri yang dipergunakan untuk solusi dari masalah yang dihadapi. Jadi,

frustrasi (pada akhirnya stres/terancam atau terbebani) atau tidaknya seorang wanita

menopause akibat menopause yang dialaminya adalah tergantung bagaimana ia

mempersepsikan, menilai, dan menevaluasi dari menopause yang dihadapinya.

Individu tidak akan bisa menghilangkan atau mengabaikan realitas. Individu

berreaksi pada apa yang dialaminya dan dipersepsikannya. Proses persepsi yang

(20)

memelihara keseimbangan dan keharmonisan di dalam dirinya. Persepsi terhadap

realitas inilah yang disebut sebagai realitas individu, yang artinya kenyataan yang

sebagaimana mestinya, yang diterima oleh individu tersebut setelah melalui proses

penyesuaian diri. Tegasnya, kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai pada diri seorang

individu memengaruhi proses persepsi (beserta atribusi) yang dilakukannya dan akan

melalui proses penyesuaian diri sebelum diterima sebagai suatu realitas individu.

Agar dapat dengan mudah dipahami, maksud uraian ini secara lebih sederhana dapat

dimodelkan dalam Gambar Bagan 2.1 berikut:

PERSEPSI DAN ATRIBUSI

PENYESUAIAN DIRI

Gambar 2.1 Bagan Pengaruh Needs dan Values dalam Persepsi, Atribusi, dan Penyesuaian Diri

Bagan 2.1 menjelaskan bahwa penyesuaian diri seorang individu terhadap

realitas individu selalu ditentukan oleh cara tertentu dalam ia mempersepsikan dan

mengatribusikan realitas. Cara individu mengamati, menilai, dan mengevaluasi

realitas (termasuk dirinya sendiri) ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan dan

nilai-nilai dari individu tersebut. Dengan kata lain, untuk mengetahui hubungan antara INDIVIDU

NEEDS DAN VALUES

(21)

dinamika psikis dan penyesuaian diri terhadap realitas individu, yang perlu diingat

adalah bahwa realitas sebagai sesuatu hal yang diusahakan seorang individu supaya ia

dapat menyesuaikan diri, akan dipengaruhi oleh kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai

yang dianut oleh individu.

Proses persepsi dan atribusi yang dilakukan seorang individu dalam

menghadapi menopause, akan dilakukan individu melalui pembuatan sejumlah

asumsi dalam dirinya, yang meliputi asumsi tentang dirinya sendiri dan asumsi di luar

dirinya. Pembuatan asumsi ini dilakukan individu melalui konsep diri yang

dimilikinya, yang diperolehnya melalui proses belajar disepanjang hidupnya. Hal

senada dikemukakan oleh Coleman (1976), yang menyebutkan : pembuatan sejumlah

asumsi oleh individu dalam mempersepsi suatu situasi sebagai fungsi dari sistem diri

(self system). Berfungsinya “self system” pada diri seorang individu mencakup terbetuknya asumsi-asumsi yang dibuat oleh individu itu sendiri. Asumsi-asumsi

inilah yang akhirnya membentuk kerangka rujukan (frame of reference) yang merupakan suatu pandangan yang menetap pada diri seorang individu dalam ia

menghadapi menopause dan juga yang merupakan hal penting dalam mengarahkan

tingkah lakunya.

Beberapa aspek dari kerangka rujukan yang dimiliki oleh setiap individu,

memiliki pengertian yang mendalam pada:

1. Asumsi individu tentang realitas, kemungkinan-kemungkinan dan nilai-nilai

yang dimilikinya, yang mengarahkan individu pada identitas dirinya. Hal

(22)

2. Pola-pola asumsi individu mendukung pada konsistensi dalam berpikir,

mempersepsi, merasakan, dan bertindak, yang merupakan gaya hidupnya

(style of life).

3. Asumsi-asumsi individu, tidak hanya berperan sebagai pengarah tingkah laku,

tetapi juga merupakan pengendalian dari dalam diri.

Kerangka rujukan (frame or reference) yang dimiliki individu, dalam beberapa hal, merupakan dasar untuk mengevaluasi pengalaman-pengalaman baru

dengan dunianya melalui kemampuan menghadapi menopause. Sebagai

konsekuensinya, seorang individu cenderung mempertahankan asumsi-asumsi yang

sudah dimilikinya dan menolak informasi baru yang berlainan dengan nilai yang

terdapat dalam konsep dirinya atau sistem dirinya.

Perbedaan yang ada pada individu dalam penyesuaian diri, menyebabkan

konsep penyesuaian diri menjadi relatif sifatnya. Artinya, tidak dapat dibuat suatu

alternatif pilihan tentang cara-cara dalam menghadapi ancaman/beban tertentu yang

dialami oleh seorang individu secara pasti. Dengan perkataan lain, tidak ada suatu

formula tunggal sebagai usaha utuk mengatasi stress, ancaman, atau beban tertentu

yang dialami seorang individu. Hal ini dikemukakan pula oleh Schneiders (1964),

yang menyatakan penyesuaian diri bersifat relatif dikarenakan :

1) Penyesuaian diri dirumuskan dan dievaluasi dalam pengertian kemampuan

seseorang untuk merubah atau untuk mengatasi tuntutan dari lingkungannya

yang mengganggunya. Kemampuan ini berubah-ubah, sesuai dengan nilai

(23)

2) Kualitas dari penyesuaian diri juga berubah-ubah sesuai dengan nilai-nilai

pada masyarakat dan kebudayaan (lingkungan) tempat dimana ia tinggal dan

dibesarkan.

3) Adanya perbedaan individual, yang merupakan variasi tertentu yang dimiliki

oleh masing-masing individu.

Meskipun terdapat perbedaan pola reaksi penyesuaian diri yang dilakukan

seorang individu, namun tidak dapat diabaikan pula adanya kenyataan bahwa terdapat

derajat atau tingkatan dari penyesuaian diri itu sendiri, yaitu sebagai yang berhasil

(well adjusted) dan yang tidak berhasil. Berdasarkan kenyataan ini, Schneiders (1964) mengemukakan bahwa : seorang individu yang berhasil dalam penyesuaian dirinya

adalah individu yang dengan keterbatasannya, kemampuannya, serta bentuk

kepribadiannya, telah belajar untuk bereaksi terhadap dirinya sendiri dan

lingkungannya dengan cara yang matang, bermanfaat, efisiensi, dan memuaskan.

Selain itu, individu ini dapat atau mampu menyelesaikan konflik-konflik mental,

frustrasi, dan dapat menyelesaikan kesulitan-kesulitan dalam diri maupun kesulitan

yang berhubungan dengan lingkungan sosialnya, dengan tidak mengembangkan atau

menimbulkan tingkah laku yang menyimpang.

Schneiders (1964) juga mengemukakan beberapa kriteria yang penting dan

spesifik dari dasar hubungan yang terdapat di seluruh tahapan penyesuaian diri dalam

menghadapi menopause, yaitu :

(24)

frustrasi, dan untuk menghadapi masalah-masalah atau situasi secara efektif.

Dalam penyusuaian diri yang berhasil, maka seorang individu harus tahu dan

sadar terlebih dahulu atas kemampuan-kemampuan dan

keterbatasan-keterbatasan dirinya. Jelasnya, pengetahuan dan kesadaran diri membutuhkan

investarisasi intelijen dari kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri

individu. Dengan mengetahui apa kelemahan diri, maka individu dapat

mengurangi, menambah, atau meningkatkan pengaruhnya pada penyesuaian

dirinya dengan kehidupan sehari-hari. Sebagian jalan keluar dari hal ini, harus

bermula dari keberanian dan ketetapan hati untuk menghadapi kenyataan.

Harus ada kesadaran untuk mengakui kelemahan, kegagalan, atau kesalahan

diri. Tidak malah melakukan rasionalisasi, membodohkan atau

mencemoohkan diri sendiri atau orang lain. Dalam kenyataannya, hal ini tidak

mudah dilaksanakan. Oleh karena itu, dalam penyesuaian diri yang baik selalu

membutuhkan adanya pengetahuan dan kesadaran akan diri sediri.

Adanya pengetahuan dan kesadaran terhadap diri sendiri, berarti juga sadar

terhadap adanya motivasi dan pandangan ke depan, yang akan mengarah pada

tindakan atau perilaku yang merupakan kebiasaan individu. Apabila

pengetahuan dan kesadaran diri terhambat karena suatu motif,

peristiwa/tindakan tertentu, atas oleh sifat dari kepribadian, maka dengan

mudah individu dapat dibuat bingung dengan tuntutan, konflik, ataupun

problem yang dihadapinya. Sebagai akibatnya, individu akan mengalami

(25)

individu membenarkan atau merasionalisasikan tindakannya (perilakunya),

yang pada dasarnya tidak adekuat; atau memproyeksikan kegagalannya

sendiri untuk lepas dari tanggung jawab, yang semuanya ini sebenarnya

merupakan bentuk mekanisme dari pertahanan diri.

Pengetahuan atau kesadaran diri, dalam hal ini bukan diartikan sebagai analisa

diri (self analysis). Hal ini dikarenakan, analisa ataupun intropeksi seseorang terhadap dirinya sendiri seringkali sangat berlebihan. Oleh karena itu, batasan

untuk pengetahuan diri dan kesadaran diri adalah merupakan kemampuan

seorang individu untuk mengetahui motif perasaan dan tindakannya sendiri,

tanpa harus terlarut didalamnya. Artinya, apabila seseorang mengetahui

hal-hal mana yang baik dan tidak baik dari tingkah lakunya ia akan bereaksi

secara tidak berlebihan.

2) Obyektifitas diri dan penerimaan diri (self objectivity and self acceptance).

Penggunaan yang sehat dari prinsip pengetahuan dan kesadaran diri, menurut

Schneiders akan mengarah kepada obyektifitas diri dan terutama penerimaan

diri dalam menghadapi menopause seorang individu. Keduanya merupakan

kualitas tambahan, dimana penyesuaian diri dapat dievaluasi. Perilaku atau

pernyataan diri yang adekuat adalah merupakan sikap yang obyektif terhadap

keterbatasan diri. Sebaliknya, sikap yang subyektif atau pernyataan subyektif

seringkali dimiliki oleh individu yang tergantung dan penyesuaian diri yang

tidak baik. Sebagai contoh apabila seorang individu mempunyai rasa rendah

(26)

melalui penilaian diri secara obyektif. Dengan demikian, individu dapat

menghindari kesalahan yang dapat merusak nilai dirinya, yang didapatnya

dari hubungannya dengan orang lain. Dengan perkataan lain, individu dapat

mengukur sejauh mana akibat yang muncul dari perasaan rendah dirinya, yang

dalam hal ini merupakan proses untuk menjadi obyektif terhadap dirinya

sendiri.

Obyektifitas diri akan mengarah pada penerimaan diri, yang didasarkan pada

pengetahuan obyektif dan penghargaan diri sendiri secara positif. Ini tidak

berarti memanfaatkan kelemahan atau kekurangan yang dimiliki seseorang,

karena sikap seperti ini hanya akan menghambat usaha penyesuaian diri yang

baik.

3) Kontrol diri dan pengembangan diri (self control and self development).

Kontrol diri dalam penyesuaian diri dimaksudkan sebagai kemampuan

seorang individu untuk mengarahkan dan mengatur dorongan-dorongan,

pemikiran, kebiasaan, emosi, sikap, dan tingkah laku dalam menghadapi

menopause. Kemampuan kontrol diri ini penting bagi penyesuaian diri yang

baik, karena kontrol diri adalah bagian dari kewajiban manusia terhadap

dirinya sendiri dan masyarakatnya/lingkungannya. Dalam arti lain,

penyesuaian terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan sosial,

membutuhkan keselarasan pemikiran, perasaan, dan tingkah laku, dengan

patokan yang dapat diterima oleh masyarakat. Apabila individu tidak mampu

(27)

tidak akan berhasil mengatasi persoalan dan masalah yang dihadapinya. Ini

berarti, seseorang yang memiliki penyesuaian diri yang baik adalah tidak kaku

dalam mengontrol reaksi dirinya sendiri dan mampu berempati atau

beradaptasi dengan orang lain secara baik dalam mengahadapi menopause.

Individu seperti ini, megarahkan tingkah lakunya pada tujuan dan

keberhasilan. Di sisi lain, kontrol diri adalah dasar dari pengembangan diri.

Hal ini berarti bahwa langkah-langkah pengembangan kepribadian seorang

individu diarahkan pada tujuan yang matang (mature). Pengembangan diri dalam hal ini hanya dapat dimengerti dalam tahapan realisasi diri ke arah

kematangan, di mana kontrol diri yang kontinyu sangat diperlukan.

Kesimpulan dari kriteria yang penting dan spesifik dalam penyesuaian diri

yang baik dalam menghadapi menopause, seperti yang telah dikemukakan adalah

merupakan dasar dari tindakan individu dalam melakukan penyesuaian diri, baik

dengan dirinya sendiri maupun dengan orang lain di lingkungannya yang

termanifestasikan dalam perilaku menghadapi menopause.

Schneiders (1964) menyatakan : penyesuaian diri berdasarkan klasifikasi atas

jenis respon yang ditampilkan mencakup 5 aspek, yaitu (1) penyesuaian diri yang

normal (normal adjustments); (2) penyesuaian diri dalam bentuk reaksi pertahanan diri (adjustments by means of defence reaction); (3) penyesuaian diri dengan perilaku menghindar (adjustments by escape and withdra wing); (4) penyesuaian diri dalam bentuk sakit (adjustments by illness); dan (5) penyesuaian diri dalam bentuk agresi

(28)

of adjustment) dalam membahas penyesuaian diri adalah untuk menjelaskan bagaimana seorang individu bereaksi terhadap ancaman, konflik pribadi, frustrasi,

serta tuntutan-tuntutan dari lingkungan. Pendekatan ini akan menunjukkan pada jenis

respon yang ditampilkan oleh individu untuk menghadapi persoalan, kesulitan, dan

tuntutan (ancaman) apapun juga. Sedangkan pendekatan penyesuaian berdasarkan

masalah dan situasi yang dihadapi (varieties of adjustment), diartikan sebagai penyesuaian diri yang dilakukan seseorang dalam usahanya mengatasi dan

menyelesaikan tuntutan dari dalam diri dan lingkungannya.

Penyesuaian diri dalam klasifikasi ini meliputi 6 aspek, yaitu (penyesuaian

diri terhadap pribadi/personal; (2) penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial; (3)

penyesuaian diri terhadap keluarga dan kerabat; (4) penyesuaian diri terhadap

pendidikan; (5) penyesuaian diri terhadap pekerjaan; dan (6) penyesuaian diri

terhadap perkawinan.

Kedua pendekatan dari penyesuaian diri ini merupakan landasan dasar dari

studi tentang penyesuaian diri manusia pada umumnya (human adjustments) yang ditinjau dari sudut pandang situasi (situational context) dari respon-respon individu dalam menghadapi menopause. Artinya, bagaimana respon seorang individu wanita

yang mengalami menopause terhadap dirinya sendiri, lingkungan sosialnya, keluarga

dan kerabatnya, pendidikannya, pekerjaannya, dan perkawiannya, melalui perilaku

dalam menghadapi menopause.

Kriteria yang spesifik dari penyesuaian diri yang telah dikemukakan adalah

(29)

dengan dirinya sendiri maupun dengan lingkungan sosialnya. Sekalipun kriteria yang

spesifik dari penyesuaian diri ini dapat dianggap sebagai batasan dari kemampuan

penyesuaian diri yang baik, akan tetapi aktualisasinya akan lebih nyata bila dilihat

dari karakteristik penyesuaian diri yang normal.

Masing-masing lingkungan sosial dimana individu berada, memiliki tuntutan

atau kriteria tertentu yang berbeda dan harus dipenuhi agar individu dapat dikatakan

telah mampu menyesuaikan diri dengan baik. Misalnya untuk dapat menyesuaikan

diri dengan normal di lingkungan sosial keluarga, seorang individu harus mampu

menerima otoritas orangtuanya, dapat membina relasi yang baik antar anggota

keluarga, mampu mencapai kemandirian tanpa tergantung pada orangtuanya, mau

membantu keluarga dalam mencapai tujuan keluarga, dan sebagainya.

Karaktersitik penyesuaian diri yang normal menurut Schneiders (1964), terdiri

atas 7 karakteristik, yaitu :

1. Tidak terdapat emosionalitas yang berlebihan (Absence of Excessive Emotionality). Penyesuaian diri yang normal dapat ditandai dengan adanya emosi yang relatif tidak berlebihan atau tidak terdapatnya gangguan emosi

yang merusak. Individu yang kurang tanggap atau bahkan terlalu menanggapi

situasi atau masalah yang dihadapinya dengan cara yang normal, akan selalu

disertai dengan ketenangan dan kontrol emosi yang baik. Dengan demikian

individu mampu mengatasi masalah bagaimanapun sulitnya. Ketiadaan emosi

(30)

merupakan lebih sebagai pengontrolan emosi yang positif agar dapat

mengatasi tuntutan dan situasi yang dihadapinya dengan berhasil.

2. Tidak terdapat mekanisme pertahanan diri (Absence of Psychological Mechanisms). Dimaksudkan di sini bahwa aspek kedua menjelaskan pendekatan terhadap permasalahan lebih mengindikasikan respon yang normal

dari pada penyelesaian masalah yang memutar melalui serangkaian mekanisme

pertahanan diri yang disertai tindakan nyata untuk mengubah suatu kondisi.

Individu dikategorikan normal jika bersedia mengakui kegagalan yang

dialami dan berusaha kembali untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.

Individu dikatakan mengalami gangguan penyesuaian diri jika individu

mengalami kegagalan dan menyatakan bahwa tujuan tersebut tidak berharga

untuk dicapai.

3. Tidak terdapat perasaan frustrasi pribadi (Absence of The Sense of Personal Frustration). Adanya perasaan frustrasi, akan membuat individu sulit atau bahkan tidak mungkin berreaksi secara normal terhadap situasi maupun

masalah yang dihadapinya. Individu ini akan menghadapi kesulitan dalam

mengolah pemikiran, perasaan, motif atau tingkah lakunya secara efisien

dalam menghadapi situasi atau masalah.

4. Pertimbangan rasional dan pengarahan diri (Rational Deliberation and Self Direction). Pertimbangan rasional tidak dapat berjalan dengan baik apabila disertai dengan emosi yang berlebihan, sehingga individu tidak dapat

(31)

5. Kemampuan untuk belajar (Ability to Learn). Proses penyesuaian diri yang normal selalu dapat ditandai dengan sejumlah pertumbuhan dan

perkembangan yang berhubungan dengan cara-cara seorang individu

menyelasikan situasi atau ancaman bagi dirinya. Melalui belajar secara

kontinyu, individu akan dapat mengembangkan kualitas dirinya serta mampu

menghadapi tuntutan dari lingkungannya dalam kehidupan kesehariannya.

6. Pemanfaatan pengalaman (Utilization of Past Experience). Adanya kesediaan individu untuk belajar dari pengalaman dan memanfaatkannya merupakan hal

yang penting bagi penyesuaian diri normal. Artinya, dibutuhkan kesediaan

seorang individu untuk belajar dan memanfaatkan pengalamannya, maka ia

tidak akan mengalami kesulitan dalam menghadapi suatu situasi yang sama.

7. Sikap-sikap yang realistis dan obyektif (Realistic and Objective Attitudes).

Karakteristik ini berhubungan erat dengan orientasi seorang individu terhadap

realitas yang dihadapinya. Sikap yang realistik dan obyektif, didasarkan pada

proses belajar. Dalam hal ini, pengalaman masa lalu dan pemikiran-pemikiran

yang rasional, memungkinkan seorang individu menilai situasi, masalah

ataupun kekurangannya secara obyektif. Oleh karena itu, kegagalan untuk

menilai kualitas diri ini, tidak terlepas dari adanya perasaan curiga yang akan

mempersulit individu dalam berreaksi secara normal terhadap tuntutan dan

situasi yang dihadapinya.

Pentingnya faktor kepribadian individu dalam proses penyesuaian diri yang

(32)

menghadapi tuntutan dari lingkungan maupun dari dalam diri individu sendiri,

individu akan berreaksi dengan caranya sendiri. Adanya keunikan individu inilah

yang disebut oleh Adler (1954) sebagai gaya hidup (style of life) dari kepribadian seseorang.

Untuk mengerti interaksi individu dengan lingkungannya, para Adlerian

(1954) mengemukakan 2 hukum umum dari dinamika kepribadian dalam konteks

sosial, yaitu (1) melalui persepsi individu yang unik, dunia ini dapat dimengerti; dan

(2) individu tidak melihat dirinya dan melihat dunia seperti kebanyakan orang lain

melihatnya.

Dari kedua hukum umum dinamika kepribadian individu, dapat disimpulkan

bahwa manusia sebagai makhluk sosial adalah merupakan produk, perkembangan,

dan contoh nilai-nilai (budaya) masyarakatnya/lingkungannya. Akan tetapi, pada saat

yang sama individu adalah kreasinya sendiri. Hal ini berarti bahwa individu menjadi

unik dalam cara menanggapi, cara mencapai tujuannya, dan arah pergerakannya, yang

diselaraskan dengan minat dan kedekatannya dengan orang-orang di sekitarnya.

Dalam konteks inilah, peyesuaian diri menjadi penting dalam kepribadian seorang

individu (Agustiani, 2006).

Tingkatan kualitas penyesuaian diri individu dalam menjalani masa

menopause, dapat dikategorikan ke dalam penyesuaian diri yang berhasil

(welladjusted) atau penyesuaian diri yang tidak berhasil (maladjusted). Menurut

Schneiders (1964) : “kualitas penyesuaian diri sangat erat kaitannya degan sifat dasar

(33)

penyesuaian diri yang berhasil dan tidak berhasil dalam menjalani menopause yang

dialaminya, semakin pula individu paham akan sifat dasar dari proses penyesuaian

diri itu”.

Schneiders lebih jauh mengemukakan bahwa perbedaan antara penyesuaian

diri yang berhasil dan yang tidak berhasil dalam menjalani menopause adalah terletak

pada derajat atau tingkatan penyesuaian diri, dimana hal ini dapat ditentukan oleh

kriteria dari respon-respon yang ditampilkan oleh individu. Dengan perkataan lain,

semakin respon-respon yang ditampilkan oleh individu memenuhi kriteria yang

ditentukan, maka akan semakin besar tingkat penyesuaian dirinya. Secara lebih jelas,

kualitas dari penyesuaian diri ditampilkan oleh Schneiders (1964) dalam Gambar 2.2

berikut :

PD buruk PD sangat PD kurang PD sedang PD baik PD sangat

Kurang Baik

Keterangan :

PD = Penyesuaian Diri

Gambar 2.2 Bagan Kontinum dari Proses Penyesuaian Diri Sumber : Schneiders, 1964

Bagan 2.2 memperlihatkan gambaran dari kontinum proses penyesuaian diri,

dari titik ekstrim penyesuaian dirinya (buruk) sampai ke titik sangat baik penyesuaian

(34)

pada masa menopause, cenderung mengelompokkan di bagian tengah kontinum, yaitu

antara titik penyesuaian diri sedang dan penyesuaian diri kurang.

Individu dikatakan gagal atau tidak berhasil dalam penyesuaian dirinya, yaitu

apabila ia tidak mampu untuk mengatasi berbagai konflik yang dihadapi pada masa

menopause, sehingga dapat menimbulkan frustasi pada dirinya. Frustasi ini dapat

terjadi bila tuntutan hidup sangat membebani individu, karena ia tidak menemukan

cara yang sesuai untuk mengatasi masalah tuntutan-tuntutan tadi, maka fungsi

penyesuaian diri individu akan menjadi lemah dan berkurang. Keadaan ini, pada

akhirnya akan mengganggu efektifitas penyesuaian dirinya.

2.3 Konsep Diri

2.3.1 Pengertian Konsep Diri

Untuk membahas pengertian konsep diri secara lebih jelas, terlebih dahulu

akan dibahas pengertian diri. Hal ini dikarenakan, konsep diri merupakan salah satu

aspek dari diri.

Calhoun dan Acocella (1990) menyatakan : diri dapat didefinisikan sebagai

suatu susunan konsep hipotesis yang merujuk pada perangkat kompleks dari

karakteristik proses fisik, perilaku, dan kejiwaan dari seseorang. Diri sebagai sebuah

konstruk hipotetik diartikan tidak dapat dibuktikan keberadaannya melalui panca

indera, tetapi ia ada karena dibutuhkan sebagai suatu kesatuan istilah untuk

(35)

inderanya. Manusia memberi sebutan “diri” adalah untuk apa yang diyakininya

merupakan kesatuan dari prinsip, yang mempersatukan banyak aspek kepribadiannya.

Banyak aspek yang terdapat pada diri merupakan hal yang biasa dalam

psikologi. Calhoun dan Acocella (1990) mengemukakan ada 5 aspek dari diri, yaitu :

1. Fisik diri merupakan tubuh dan semua aktifitas biologis yang berlangsung di

dalamnya. Meskipun banyak orang mengidentifikasikan diri mereka lebih

pada akal pikiran daripada dengan fisik mereka sendiri, tidak dapat disangkal

bahwa manakala fisik terancam bahaya atau cedera, maka pengertian diri

menjadi terganggu;

2. Diri sebagai proses merupakan suatu aliran akal pikiran, emosi, dan perilaku

manusia yang konstan. Apabila manusia mendapat suatu masalah yang

membutuhkan tanggapan respon secara emosional, maka manusia membuat

suatu perencanaan, seperti misalnya : bagaimana memecahkannya dan

melakukan tindakan apa. Semua peristiwa tersebut adalah bagian dari diri

sebagai proses;

3. Diri sosial dari akal pikiran dan perilaku yang dilakukan manusia sebagai

respon secara umum terhadap orang lain dan masyarakat (Gergen, 1972 dalam

Calhoun dan Acocella, 1990). Dalam masyarakatnya, manusia memainkan

peran-peran tertentu, misalnya peran ayah, anak, guru, murid, dan sebagainya,

dimana manusia mengidentifikasikan dirinya dengan peran-peran tersebut

(36)

Dengan perkataan lain, satu aspek dari diri dirancang untuk kebutuhan sosial

atau umum;

4. Konsep diri merupakan suatu pandangan pribadi yang dimiliki manusia

tentang dirinya masing-masing. Masing-masing manusia melukis sebuah

gambaran mental tentang dirinya sendiri, dan meskipun gambaran ini

mungkin sangat tidak realistis, semua hal tersebut tetap miliknya dan

berpengaruh besar pada pemikiran dan perilakunya. Dengan perkataan lain,

konsep diri manusia adalah apa yang terlintas dalam pikirannya saat dia

berpikir tentang “dirinya”;

5. Cita diri merupakan apa yang manusia inginkan. Aspek cita diri berkaitan

dengan aspek konsep diri, dimana cita diri seorang manusia akan menentukan

konsep dirinya atau dengan perkataan lain cita diri merupakan faktor penting

dari perilaku manusia.

Berbagai aspek tentang diri yang telah dikemukakan saling tergantung satu

dengan yang lain. Secara bersama mereka menampilkan suatu kesatuan yang utuh

dari pegertian diri, dan meski manusia berubah dari situasi yang satu ke situasi yang

lain, diri juga memiliki kontinuitas dan kedinamisan.

Banyak pengertian yang diberikan oleh para ahli mengenai konsep diri.

Agustiani (2006) menjelaskan bahwa konsep diri merupakan gambaran yang

dimiliki seseorang mengenai dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman

yang dia peroleh dari interaksi dengan lingkungan. Penjelasan tersebut sejalan

(37)

adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu

tentang dirinya dan memengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang

lain. Hal ini termasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya,

interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan

pengalaman dan objek, tujuan serta keinginannya.

Berzonsky (1981), mengemukakan bahwa konsep diri adalah gambaran

mengenai diri seseorang, baik persepsi terhadap diri nyatanya maupun penilaian

berdasarkan harapannya yang merupakan gabungan dari aspek-aspek fisik, psikis,

sosial, dan moral. Sejalan dengan definisi tersebut Burn (1993) mendefinisikan

konsep diri sebagai suatu kesatuan psikologis yang meliputi perasaan-perasaan,

evaluasi-evaluasi, dan sikap-sikap kita yang dapat mendeskripsikan diri kita.

Demikian juga Arini (2006) menjelaskan konsep diri sebagai sekumpulan

keyakinan-keyakinan yang kita miliki mengenai diri kita sendiri dan hubungannya

dengan perilaku dalam situasi-situasi tertentu.

Konsep diri juga dapat diartikan sebagai penilaian keseluruhan terhadap

penampilan, perilaku, perasaan, sikap-sikap, kemampuan serta sumber daya yang

dimiliki seseorang (Sunaryo, 2004). Konsep diri sebagai suatu penilaian terhadap

diri juga dijelaskan dalam definisi konsep diri yang dikemukakan oleh

Suryabrata (2005) yaitu bahwa konsep diri adalah cara bagaimana individu

menilai diri sendiri, bagaimana penerimaannya terhadap diri sendiri sebagaimana

yang dirasakan, diyakini, dan dilakukan, baik ditinjau dari segi fisik, moral,

(38)

Konsep sikap diri, dari definisi-definisi yang ada, menurut Mar’at (1984)

adalah : “terdapat 4 (empat) komponen yang harus dimasukkan, yaitu (1) adanya

suatu keyakinan atau pengetahuan atau komponen kognitif; (2) suatu komponen yang

afektif atau emosional; (3) adanya suatu evaluasi; dan (4) suatu kecenderungan untuk

merespon (konatif)”.

Pengertian konsep diri yang dikemukakan oleh Calhoun dan Acocella

(1990), yaitu bahwa konsep diri adalah pandangan pribadi yang dimiliki

seseorang tentang dirinya sendiri. Potret mental ini memiliki 3 dimensi yaitu (1)

pengetahuan individu tentang dirinya sendiri, (2) pengharapan individu terhadap

dirinya sendiri, dan (3) penilaian individu tentang dirinya sendiri.

Konsep Fitts tentang konsep diri yang digunakan sebagai patokan pengertian

konsep diri dalam penelitian ini, mengatakan bahwa : konsep diri merupakan aspek

penting dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan kerangka

acuan (frame of reference) dalam ia berinteraksi degan lingkungannya. Konsep diri adalah yang dilihat, dihayati, dan dialami seorang individu. Konsep diri mempunyai

pengaruh yang kuat terhadap tingkah laku seseorang. Mengetahui konsep diri seorang

akan lebih memudahkan untuk meramalkan dan memahami tingkah lakunya. Individu

dalam mempersepsikan dirinya, berreaksi terhadap dirinya, memberikan arti dan

penilaian serta membentuk abstraksi pada dirinya, menunjukkan pada suatu

(39)

dalam kehidupannya. Jadi, diri yang dilihat, dihayati, dan dialami seseorang itu

disebut konsep diri.

2.3.2 Pembentukan Konsep Diri

Perkembangan konsep diri merupakan suatu proses yang terus berlanjut

di sepanjang kehidupan manusia. Symonds (dalam Agustiani, 2006) menyatakan

bahwa persepsi tentang diri tidak langsung muncul pada saat individu dilahirkan,

melainkan berkembang secara bertahap seiring dengan munculnya kemampuan

perseptif. Selama periode awal kehidupan, perkembangan konsep diri individu

sepenuhnya didasari oleh persepsi mengenai diri sendiri. Lalu seiring dengan

bertambahnya usia, pandangan mengenai diri sendiri ini mulai dipengaruhi oleh

nilai-nilai yang diperoleh dari interaksi dengan orang lain (Taylor dalam

Agustiani, 2006).

Mead (dalam Calhoun & Acocella, 1995) menjelaskan bahwa konsep

diri berkembang dalam dua tahap: pertama, melalui internalisasi sikap orang

lain terhadap kita; kedua melalui internalisasi norma masyarakat. Dengan kata

lain, konsep diri merupakan hasil belajar melalui hubungan individu dengan orang

lain. Hal ini sejalan dengan istilah “looking glass self” yang dikemukakan oleh Cooley (dalam Calhoun & Acocella, 1995), yaitu ketika individu memandang

dirinya berdasarkan interpretasi dari pandangan orang lain terhadap dirinya.

2.3.3 Dimensi-dimensi Konsep Diri

Calhoun dan Acocella menjelaskan bahwa konsep diri terdiri atas tiga dimensi

(40)

1. Pengetahuan terhadap diri sendiri yaitu seperti usia, jenis kelamin,

kebangsaan, suku, pekerjaan dan lain-lain, yang kemudian menjadi

daftar julukan yang menempatkan seseorang ke dalam kelompok sosial,

kelompok umur, kelompok suku bangsa maupun kelompok-kelompok

tertentu lainnya.

2. Pengharapan mengenai diri sendiri yaitu pandangan tentang

kemungkinan yang diinginkan terjadi pada diri seseorang di masa

depan. Pengharapan ini merupakan diri ideal

3. Penilaian tentang diri sendiri yaitu penilaian antara pengharapan

mengenai diri seseorang dengan standar dirinya yang akan

menghasilkan rasa harga diri yang dapat berarti seberapa besar seseorang

menyukai dirinya sendiri.

Fitts (1971) menganggap bahwa diri adalah sebagai suatu obyek sekaligus

juga sebagai suatu proses, yang melakukan fungsi persepsi, pengamatan, serta

penilaian. Keseluruhan kesadaran mengenai diri yang diobservasi, dialami serta

dinilai ini adalah konsep diri. Berdasarkan pendapatnya Fitts membagi konsep diri ke

dalam 2 (dua) dimensi pokok, yaitu :

1. Dimensi internal yang terdiri dari :

a. Diri sebagai obyek/identitas (identity self)

b. Diri sebagai perilaku (behavior self)

(41)

2. Dimensi eksternal yang terdiri dari :

a. Diri fisik (physical self)

b. Diri moral-etik (moral-ethical self)

c. Diri personal (personal self)

d. Diri keluarga (family self)

e. Diri sosial (social self)

Kesemua dimensi diri dan bagian-bagiannya secara dinamis menurut Fitts

adalah berinteraksi dan berfungsi secara menyeluruh menjadi konsep diri. Untuk

lebih memahami maksud dari kedua dimensi konsep diri ini, berikut dijelaskan satu

persatu.

Dimensi internal atau yang disebut juga kerangka acuan internal (internal frame of reference) adalah bila seorang individu melakukan penilaian terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia batinnya sendiri atau dunia dalam dirinya sendiri

terhadap identitas dirinya, perilaku dirinya, dan penerimaan dirinya. Kerangka acuan

internal atau yang disebut juga dimensi internal ini oleh Fitts dibedakan atas 3 (tiga)

bentuk, yaitu :

1. Diri Identitas (Identity Self)

Identitas diri ini merupakan aspek konsep diri yang paling mendasar.

Konsep ini mengacu pada pertanyaan “siapakah saya?”, dimana didalamnya

tercakup label-label dan simbol-simbol yang diberikan pada diri oleh individu

yang bersangkutan untuk menggambarkan dirinya dan membangun

(42)

bertambahnya usia dan interaksi individu dengan lingkungannya, akan

semakin banyak pengetahuan individu akan dirinya sendiri sehingga individu

tersebut akan dapat melengkapi keterangan dirinya dengan hal-hal yang lebih

kompleks, seperti: “saya Isyanti”, “saya seorang ibu dari tiga orang anak”,

“saya bekerja sebagai seorang pegawai negeri”, dan sebagainya. Selanjutnya

setiap elemen dari identitas diri akan memengaruhi cara individu

mempersepsikan dunia fenomenalnya, mengobservasinya, dan menilai dirinya

sendiri sebagaimana ia berfungsi.

Pada kenyataannya, identitas diri berkaitan erat dengan diri sebagai

perilaku. Identitas diri sangat memengaruhi tingkah laku seorang individu,

dan sebaliknya identitas diri juga dipengaruhi oleh diri sebagai perilaku. Sejak

kecil, individu cenderung untuk menilai atau memberikan label pada orang

lain maupun pada dirinya sendiri berdasarkan tingkah laku atau apa yang

dilakukan seseorang. Dengan kata lain, untuk dapat menjadi sesuatu

seringkali seseorang harus melakukan sesuatu, dan dengan melakukan

sesuatu, seringkali individu harus menjadi sesuatu.

2. Diri Perilaku (Behavioral Self)

Diri perilaku merupakan persepsi seorang individu tentang tingkah

lakunya. Diri perilaku berisikan segala kesadaran mengenai “apa yang

dilakukan oleh diri”. Selain itu, bagian ini sangat erat kaitannya dengan diri

sebagai identitas. Diri yang adekuat akan menunjukkan adanya keserasian

(43)

menerima baik dirinya, baik diri sebagai identitas maupun diri sebagai

perilaku. Kaitan keduanya dapat dilihat pada diri sebagai penilai.

3. Diri Pengamat/Penilai (Judging Self)

Diri penilai ini berfungsi sebagai pengamat, penentu standar serta

pengevaluasi. Kedudukannya adalah sebagai perantara (mediator) antara diri

identitas dengan diri perilaku.

Manusia cenderung untuk senantiasa memberikan penilaian terhadap apa yang

dipersepsikannya. Oleh karena itu label-label yang dikenakan kepada dirinya

bukanlah semata-mata menggambarkan dirinya, tetapi dibalik itu juga sarat dengan

nilai-nilai. Selanjutnya, penilaian inilah yang kemudian lebih berperan dalam

menentukan tindakan yang akan ditampilkannya.

Diri penilai menentukan kepuasan seseorang individu akan dirinya atau

seberapa jauh ia dapat menerima dirinya sendiri. Kepuasan diri yang rendah akan

menimbulkan harga diri (self esteem) yang miskin dan akan mengembangkan ketidakpercayaan yang mendasar kepada dirinya, sehingga menjadi senantiasa penuh

kewaspadaan. Sebaliknya, bagi individu yang memiliki kepuasan diri yang tinggi,

kesadaran dirinya akan lebih realistis, sehingga lebih memungkinkan individu yang

bersangkutan untuk melupakan keadaan dirinya dan lebih memfokuskan energi serta

perhatiannya ke luar diri, yang pada akhirnya dapat berfungsi secara lebih konstruktif.

(44)

utama dari persepsi diri, melainkan juga merupakan komponen utama pembentukan

harga diri.

Penghargaan diri pada dasarnya didapat dari 2 (dua) sumber utama, yaitu (1)

dari diri sendiri dan (2) dari orang lain. Penghargaan diperoleh bila individu berhasil

mencapai tujuan-tujuan dan nilai-nilai tertentu. Tujuan, nilai, dan standar ini dapat

berasal dari internal, eksternal, maupun keduanya.

Umumnya, nilai-nilai dan tujuan-tujuan pada mulanya dimasukkan oleh orang

lain. Penghargaan hanya akan didapat melalui pemenuhan tuntutan dan harapan dari

orang lain. Namun, pada saat diri sebagai pelaku telah berhubungan dengan tingkah

laku aktualisasi diri, maka penghargaan juga dapat berasal dari diri individu itu

sendiri. Oleh karea itu, walaupun harga diri (self esteem) merupakan hal yang mendasar untuk aktualisasi diri, aktualisasi diri juga penting untuk harga diri.

Penjelasan mengenai ketiga bagian dari dimensi internal, memperlihatkan

bahwa masing-masing bagian mempunyai fungsi yang berbeda namun ketiganya

saling melengkapi, berinteraksi, dan membentuk suatu diri (self) dalam konsep diri

(self concept) secara utuh dan menyeluruh.

Dimensi kedua dari konsep diri adalah apa yang disebut Fitts (1971) dengan

dimensi eksternal. Pada dimensi eksternal individu menilai dirinya melalui hubungan

dan aktifitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta hal-hal lain yang berasal dari

dunia luar diri individu. Sebenarnya, dimensi eksternal merupakan suatu bagian yang

sangat luas, misalnya diri individu yang berkaitan dengan belajar. Namun yang

(45)

semua orang. Bagian-bagian dimensi eksteral ini dibedakan Fitts atas 5 (lima) bentuk,

yaitu:

a. Diri Fisik (Physical Self)

Diri fisik menyakut persepsi seorang individu terhadap keadaan dirinya

secara fisik. Dalam hal ini, terlihat persepsi seorang individu mengenai

kesehatan dirinya, penampilan dirinya (cantik, jelek, menarik) dan keadaan

tubuhnya (tinggi, pendek, gemuk, dan kurus).

b. Diri Moral-Etik (Moral-Ethical Self)

Diri moral merupakan persepsi seseorang individu terhadap dirinya

sendiri, yang dilihat dari standar pertimbangan nilai-moral dan etika. Hal ini

menyangkut persepsi seorang individu mengenai hubungannya dengan Tuhan,

kepuasan seorang individu akan kehidupan agamanya, dan nilai-nilai moral

yang dipegang seorang individu, yang meliputi batasan baik dan buruk.

c. Diri Pribadi (Personal Self)

Diri pribadi merupakan perasaan atau persepsi seorang individu terhadap

keadaan pribadinya. Hal ini tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau

hubungannya dengan individu lain, tetapi dipengaruhi oleh sejauh mana

seorang individu merasa puas terhadap pribadinya atau sejauh mana seorang

individu merasa dirinya sebagai pribadi yang tepat.

d. Diri Keluarga (Family Self)

Diri keluarga menunjukkan pada perasaan dan harga diri seorang individu

(46)

seberapa jauh seorang individu merasa adekuat terhadap dirinya sendiri

sebagai anggota keluarga dan terhadap peran maupun fungsi yang

dijalankannya selaku anggota dari suatu keluarga.

e. Diri Sosial (Social Self)

Diri sosial merupakan penilaian seorang individu terhadap interaksi

dirinya dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya.

Pembentukan penilaian individu terhadap bagian-bagian dirinya dalam

dimensi eksternal ini, sangat dipengaruhi oleh penilaian dan interaksinya dengan

orang lain. Seorang individu tidak dapat begitu saja menilai bahwa ia memiliki diri

fisik yang baik, tanpa adanya reaksi dari individu lain yang menunjukkan bahwa

secara fisik ia memang baik dan menarik. Demikian pula halnya, seorang individu

tidak dapat mengatakan bahwa ia memiliki diri pribadi yang baik, tanpa adanya

tanggapan atau reaksi dari individu lain di sekitarnya yang menunjukkan bahwa ia

memang memiliki pribadi yang baik.

Interaksi yang terjadi di dalam bagian-bagain dan antar bagian pada dimensi

internal, eksternal, ataupun keduanya, berkaitan erat dengan integrasi serta efektifitas

keberfungsian diri secara keseluruhan sebagai suatu keutuhan dalam konsep diri.

Seorang individu yang terintegrasi dengan baik, akan menunjukkan derajat

konsistensi interaksi yang tinggi, baik di dalam bagian-bagian dari dirinya sendiri

Gambar

Gambar 2.1  Bagan Pengaruh Needs dan Values dalam Persepsi, Atribusi, dan Penyesuaian Diri
Gambar 2.2 Bagan Kontinum dari Proses Penyesuaian Diri
Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Untuk dimensi kebiasaan petani mempekerja- kan buruh diluar desa sebelum tahun 2000, kecen- derungannya Desa Babakan memperlihatkan kadang mempekerjakan buruh dari luar desa dan

Puji syukur kehadiran Allah SWT yang telah memberikan rakhmat serta hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan tugas akhir yang berjudul “ ASUHAN

Sedangkan Depdiknas (1994) merumuskan supervisi sebagai berikut: “Pembinaan yang diberikan kepada seluruh staf sekolah agar mereka dapat meningkatkan kemampuan

Melakukan bimbingan dan fasilitasi bagi lembaga untuk mendapatkan pemahaman mengenai ketentuan kondisi peralatan pembelajaran yang seharusnya dipenuhi, serta membantu

Pada tahun 2015 Kecamatan Medan Baru dihuni oleh 40.519 jiwa antara lain : Pertama Kelurahan Padang Bulan jumlah penduduk 9.310 jiwa yang terdiri dari jumlah laki-laki sebanyak

45 legalitas lembaga Melakukan bimbingan dan fasilitasi bagi lembaga untuk mendapatkan pemahaman mengenai dokumen legalitas yang harus dimiliki oleh lembaga, berikut

sebagaimana diungkapkan Deddy Mulyana merupakan suatu metode pengumpulan data yang bersifat luwes, susunan pertanyaannya dan susunan kata- kata dalam setiap pertanyaan

Untuk menjaga kestabilan tersebut maka penekan benda kerja ketika dalam proses pemotongan tidak menekan benda kerja di-atas landasan benda kerja tetapi tepat menekan pada