14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN
HIPOTESIS
2.1
Kajian Pustaka2.1.1 Pengertian Manajemen Pemasaran
Manajemen pemasaran menurut Kotler (2016:27) “Manajemen pemasaran adalah segala sesuatu yang perlu ada perencanaan terlebih dahulu agar segala sesuatu sesuai dengan yang diinginkan oleh konsumen yang kemudian akan menimbulkan suatu pemasaran.”
Sedangkan pemasaran sendiri menurut Kotler (2016:27) “ Pemasaran adalah proses sosial dimana individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan melalui penciptaan, penawaran, dan freering, dan bebas bertukar produk dan jasa dari nilai dengan lain.”
Definisi pemasaran menurut American Marketing Association dalam Kotler (2010:5) adalah “suatu fungsi organisasi dan serangkaian proses untuk menciptakan, mengkomunikasikan dan memberikan nilai pada pelanggan dengan cara yang menguntungkan organisasi dan pemangku kepentingannya”. Pemasaran, menurut Daryanto (2011 : 1) adalah “suatu proses sosial dan manajerial dimana individu dan kelompok mendapatkan kebutuhan dan keinginan mereka dengan menciptakan, menawarkan, dan bertukar sesuatu yang bernilai satu sama lain”.
Dari ketiga definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya pemasaran timbul bukan hanya karena kegiatan menjual barang atau
15
jasa melainkan juga untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen melalui cara mempengaruhi konsumen yang akan bersedia membeli barang atau jasa yang ditawarkan dengan melakukan penciptaan, penawaran dan pertukaran produk yang bernilai. Hal ini sangat penting bagi manajer pemasaran untuk mengetahui apa saja yang diinginkan konsumen tersebut. Sehingga perusahaan dapat mengembangkan, menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan produk secara lebih baik.
2.1.2 Pengertian Jasa
Produk yang berupa barang berwujud maupun tidak, pada prinsipnya mempunyai suatu tujuan yang sama. Produk diciptakan untuk memenuhi kebutuhan serta keinginan dari konsumen. Produk berupa barang tidak berwujud atau lebih dikenal dengan jasa, memiliki karakteristik yang berbeda dengan barang berwujud. Untuk lebih memahami, mengenal tentang jasa, perlu diketahui tentang jasa sebagai berikut :
Definisi Jasa menurut Cristopher Lovelock dalam bukunya Manajemen Pemasaran Jasa (2007:5) mengartikan jasa sebagai berikut :
”Jasa adalah tindakan atau kinerja yang ditawarkan suatu pihak kepada pihak lainnya. Walaupun prosesnya mungkin terkait dengan produk fisik, kinerjanya pada dasarnya tidak nyata dan biasanya tidak menghasilkan kepemilikan atas faktor-faktor produksi.”
Definisi jasa menurut Buchari Alma (2005;243) yang dikutip dari Williiam J. Stanton mengartikan jasa sebagai berikut :
“Services are those separately indentifiable, essentially intangible activities that provide want-satisfaction, and that are not necessarily tied to the
16
sale of a product or another service. To produce a service may or may not require the use of tangible goods. However, when such is required, there is no transfer of the title (permanent ownership) to these tangible goods.”
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, para ahli pemasaran menyatakan bahwa jasa pada dasarnya memiliki unsur-unsur penting yaitu: suatu yang tidak berwujud, yang dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan konsumen. Selain itu, dalam memproduksi jasa dapat menggunakan bantuan suatu produk fisik tetapi bisa juga tidak. Di samping itu juga tidak mengakibatkan peralihan hak suatu barang secara fisik atau nyata, jadi jika seseorang pembeli jasa memberikan jasa pada orang lain, maka tidak ada pemindahan hak milik secara fisik, terakhir dalam jasa terdapat interaksi antara penyedia jasa dengan konsumen pada waktu yang bersamaan.
2.1.2.1 Klasifikasi Jasa
Penawaran suatu perusahaan kepada pasar biasanya mencakup beberapa jenis jasa layanan. Komponen jasa layanan ini dapat merupakan bagian kecil ataupun bagian utama atau pokok dari keseluruhan penawaran tersebut.
Berdasarkan klasifikasi Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization____WTO), sesuai dengan GATS/WTO__Central Product Classification/MTN.GNS/W120 yang dikutip oleh Rambat Lupiyoadi dan A. Hamdani (2006 ; 7), ruang lingkup klasifikasi bisnis jasa meliputi:
17 2. Jasa Komunikasi
3. Jasa Konstruksi dan Jasa Teknik 4. Jasa Distribusi
5. Jasa Pendidikan
6. Jasa Lingkungan Hidup 7. Jasa Keuangan
8. Jasa Kesehatan dan Jasa Sosial
9. Jasa Kepariwisataan dan Jasa Perjalanan 10.Jasa rekreasi, Budaya dan Olahraga 11.Jasa Transportasi
12.Jasa Lain-lain.
Sedangkan Lovelock (2007:53) melakukan pengklasifikasian jasa dengan cara yang memungkinkan perusahaan dalam memahami perilaku konsumen dengan kebutuhannya. Klasifikasi jasa menurut Lovelock tersebut adalah sebagai berikut:
Berdasarkan sifat tindakan jasa (the nature of the service act) merupakan kelompok jasa yang sifat penyampaiannya dapat berhubungan dengan tubuh atau pikiran dari pihak penerima jasa, serta dapat juga berkaitan dengan benda atau kekayaan dan kepentingan lainnya bagi pihak penerima jasa.
Berdasarkan hubungan dengan pelanggan (relationship with customer), kelompok jasa yang jenis hubungannya dengan pelanggan dalam menyampaikan jasanya dilakukan secara
18
berkesinambungan atas dasar kebijaksanaan yang bersifat sesaat, dengan memperhatikan hubungan secara keanggotaan dan tidak ada hubungan secara formal.
Berdasarkan tingkat kustomisasi dan keputusan dalam penyampaian jasa (customization and judgement in service delivery), kelompok jasa yang ditinjau dari segi tinggi rendahnya keseragaman atau yang lebih terbiasa secara umum dari jasa yang disajikan menurut pandangan pihak penyedia jasa maupun pelanggan, dikaitkan dengan tinggi rendahnya peloyalitasan tanggapan, pendapat atau pertimbangan dari pihak pelanggan terhadap jasa yang disediakan.
Berdasarkan sifat permintaan dan penawaran jasa (nature of demand and supply for service), kelompok jasa yang ditinjau dari tingkat fluktuasi permintaan dikaitkan dengan kapasitas jasa yang disediakan atau kemampuannya untuk melayani permintaan pasar.
Berdasarkan metode penyampaian (method of service delivery), kelompok jasa yang ditinjau dari cara interaksi antara pelanggan dengan penyedia jasa, dikaitkan dengan banyaknya tempat yang disediakan oleh pihak penyedia jasa.
Berdasarkan kriteria pengklasifikasian diatas, maka jasa pendidikan tinggi termasuk klasifikasi jasa yang berdasarkan hubungan antara pelanggan dengan pihak penyedia jasa.
19 2.1.3 Pemasaran Experiensial
2.1.3.1 Pengertian Pemasaran eksperiensial
Perusahaan perlu menerapkan konsep pemasaran eksperiensial untuk mendekati, mendapatkan dan mempertahankan konsumennya agar menjadi pelanggan bagi perusahaan. Pemasaran eksperiensial menganggap features dan benefit merupakan pemberian dan hal yang lebih pentingnya adalah pengalaman (experiences). Memberikan pengalaman yang menyeluruh serta konsumen bersifat sangat rasional dan emosional. Rasa emosional konsumen tersebut harus dibangkitkan dan diberikan pengalaman berharga. Di sinilah pemasaran eksperiensial mencoba menghadirkan pengalaman-pengalaman yang unik, positif dan mengesankan bagi konsumen. Berikut pengertian pemasaran eksperiensial menurut para ahli :
“Experiential Marketing is customers want a product, communications and marketing campaigns that dazzle their senses, touch their heart, and stimulate their minds. They want product, communications, and campaigns that they can relate to and that they can incorporate into their life style”. ( Schmitt, 1999 : 22 )
“Pemasaran eksperiensial adalah memberikan pengalaman emosional yang unik, positif dan mengesankan kepada customer. Pemasaran eksperiensial menganggap kegiatan konsumsi itu merupakan suatu pengalaman yang menyeluruh serta konsumen bersifat sangat rasional dan emosional”. (Buchari Alma, 2007: 265)
Berdasarkan dari definisi pemasaran eksperiensial yang dikemukakan para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa pemasaran eksperiensial
20
merupakan cara pemasaran yang digunakan perusahaan untuk memberi sentuhan emosional sehingga konsumen memiliki suatu pengalaman yang mengesankan ketika, sedang bahkan setelah menggunakan produk dari perusahaan. Sebab dalam kenyataanya konsumen tidak hanya bersifat rasional melainkan juga bersifat emosional.
Pendapat Hermawan Kartajaya yang dikutip oleh Dyah Hasto Palupi di http://garnida.wordpress.com/category/uncategorized/ menyatakan bahwa pemikiran Schmitt tentang pemasaran eksperiensial itu sejalan dengan berkembangnya dunia pemasaran. Menurutnya ada lima tingkatan pemasaran : 1. Comodity maketing, yang tidak ada pembeda antara produk satu dan yang lainnya. Harga pun tidak bisa ditentukan sendiri karena sangat tergantung kepada suplai dan permintaan.
2. Goods marketing, yang sudah memperhatikan diferensiasi antar produk dan bisa menentukan harga sendiri.
3. Service marketing, yakni konsumen telah membeli produk/jasa dalam satu paket lain, apakah itu layanan sebelum atau sesudah penjualan. Konsumen sudah bisa mempertimbangkan tingkat kepuasan mereka.
4. Pemasaran eksperiensial, yakni tahapan pemasaran di lingkungan pasar yang sudah paham dengan service marketing. Tujuannya bukan hanya untuk memuaskan orang, tapi membuat mereka tertarik dan konsumen mempunyai memori yang mengesankan dan berumur panjang.
21
5. Transformation marketing. Pada tingkat ini bukan hanya menciptakan memori jangka panjang, tetapi juga bisa melakukan perubahan transformasi secara lebih permanent. (Hermawan Kartajaya ( http://garnida.wordpress.com/category/uncategorized) 2.2 Customer Experience
2.2.1 Pengertian Customer Experience
Model customer experience adalah suatu model dalam pemasaran yang mengikuti customer equity. Model ini dikembangkan oleh Bern Schmitt dalam bukunya Customer Experience Management, yang merupakan kelanjutan dari buku sebelumnya, yaitu Experiential Marketing. Definisi experience menurut Schmitt (Lonita dan Lia, 2008) pengalaman merupakan peristiwa-peristiwa pribadi yang terjadi dikarenakan adanya stimulus tertentu (misalnya yang diberikan oleh pihak pemasar sebelum dan sesudah pembelian barang atau jasa). Pengalaman atau experience melibatkan seluruh dalam setiap peristiwa kehidupan.
Dengan kata lain, pemasar menawarkan produk atau jasanya dengan merangsang unsur-unsur emosi konsumen yang menghasilkan berbagai pengalaman konsumen. Pengalaman atau experience pada umumnya bukan dihasilkan atas diri sendiri tapi bersifat membujuk pada atau secara psikologi pengalaman adalah sesuatu hal yang terjadi tanpa unsur kesengajaan.
Customer experience secara sederhana adalah suatu proses, strategi dan implementasi dari suatu perusahaan untuk mengelola pelanggan terhadap
22
pengalamannya dengan sebuah produk atau layanan. Pada dasarnya, customer experience berfokus pada konsep manajemen yang berorientasi pada kepuasan, Jadi, tidak bertumpu kepada produk akhir dari suatu produk atau pelayanan. Customer experience adalah memahami lifestyle konsumen dan melebarkan pandangan pemasar dari produk ke proses konsumsi.
Dengan kata lain, pemasar menawarkan produk atau jasanya dengan merangsang unsur-unsur emosi konsumen yang menghasilkan berbagai pengalaman konsumen. Pengalaman atau experience pada umumnya bukan dihasilkan atas diri sendiri tapi bersifat membujuk pada atau secara psikologi pengalaman adalah sesuatu hal yang terjadi tanpa unsur kesengajaan.
Customer experience secara sederhana adalah suatu proses, strategi dan implementasi dari suatu perusahaan untuk mengelola pelanggan terhadap pengalamannya dengan sebuah produk atau layanan. Pada dasarnya, customer experience berfokus pada konsep manajemen yang berorientasi pada kepuasan, Jadi, tidak bertumpu kepada produk akhir dari suatu produk atau pelayanan. Customer experience adalah memahami lifestyle konsumen dan melebarkan pandangan pemasar dari produk ke proses konsumsi.
2.2.2 Dimensi Customer Experience
Dimensi Ada 5 dimensi customer experience menurut Schmitt (dalam Lin, 2006:63) antara lain :
23 a. Sense
Adalah aspek-aspek yang berwujud dan dapat dirasakan dari suatu produk yang ditangkap oleh kelima indera manusia, meliputi pandangan, suara, bau, rasa, dan sentuhan. Semua pendekatan psikologi sense, beliefs, motivation, learning dan attitudes yang dapat mempengaruhi perilaku pembelian konsumen. Sense ini, bagi konsumen berfungsi untuk mendiferensiasikan suatu produk dari produk yang lain, untuk memotivasi pembeli untuk bertindak dan untumenentukan value pada produk atau jasa dalam benak pembeli. Indera manusia dapat digunakan selama fase pengalaman (pra pembelian, pembelian dan sesudah pembelian) dalam mengkonsumsi sebuah produk atau jasa. Perusahaan biasanya menerapkan unsur sense dengan menarik perhatian pelanggan melalui hal-hal yang mencolok, dinamis, dan meninggalkan kesan yang kuat. Tujuan sense menurut Schmitt dalam Lin, 2006:26) yaitu menyediakan kesenangan estetika melalui rangsangan terhadap kelima indera manusia.
b. Feel
Pemasaran feel merupakan strategi pendekatan perasaan (afeksi) dan implmentasi terhadap perusahaan dan merek melalui experience providers, dengan tujuan untuk mempengaruhi mood (suasana hati), perasaan dan emosi yang ditimbulkan oleh events (peristiwa-peristiwa yang terjadi), agent (orang yang melakukan
24
peristiwa, perusahaan dan situasi) dan object (suatu hal yang telah dilihat). Perasaan emosi yang muncul dari dalam hati secara positif dan perasaan gembira yang terjadi pada saat mengkonsumsi. Iklan yang bersifat feel good biasanya dapat dimanfaatkan untuk membuat hubungan dengan pelanggan, mengubungkan pengalaman emosional mereka dengan produk atau jasa, menantang pelanggan untuk bereaksi terhadap pesan feel campaign sering digunakan untuk membangun emosi pelanggan secara perlahan. Sebaliknya jika pelanggan merasa tidak senang terhadap produk tersebut dan beralih kepada produk lain. Jika sebuah strategi pemasaran dapat menciptakan perasaan yang baik secara konsisten bagi pelanggan, maka perusahaan dapat menciptakan loyalitas merek yang kuat dan bertahan lama.
c. Think
Merupakan pemikiran kreatif yang muncul di benak konsumen akan suatu merek/perusahaan atau pelanggan diajak untuk terlibat dalam pemikiran kreatif. Cara yang baik untuk membuat think campaign berhasil adalah melalui menciptakan sebuah kejutan yang dihadirkan baik dalam bentuk visual, verbal ataupun konseptual dan berusaha untuk memikat pelanggan serta memberikan sedikit provokasi.
25
Tujuan pemasaran think adalah untuk mendorong pelanggan terlibat dalam pemikiran seksama dan kreatif, dimana hasil yang didapat tanpa penilaian kembali perusahaan dan produk.
d. Act
Strategi marketing act dirancang untuk menciptakan pengalaman pelanggan yang sangat berharga bagi pelanggannya, berkaitan dengan secara fisik, pola perilaku dan gaya hidup jangka panjang serta pengalaman dengan orang lain.
Pesan-pesan yang memotivasi, menginspirasi dan bersifat spontan dapat menyebabkan pelanggan untuk berbuat hal-hal dengan cara yang berbeda, mencoba dengan cara yang baru merubah hidup mereka lebih baik.
e. Relate
Relates mempunyai pengaruh penting dalam memberikan pengalaman dan menjalin hubungan dengan pelanggannya. Relate merupakan upaya untuk menghubungkan dirinya dengan orang lain, dirinya dengan merek atau perusahaan, dan budaya. Tujuan dari pemasaran relate adalah menghubungkan diri pribadi seseorang kepada konteks social budaya didalam suatu merek kemudian akan menciptakan suatu identitas social kepada dirinya sendiri. Relates dapat diwujudkan melalui jalinan hubungan keluarga, nilai-nilai budaya, keanggotaan kelompok, komunitas merek, kategori sosial, pengaruh social.
26 2.3 Kualitas Pelayanan
Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses,lingkungan yang memenuhi melebihi harapan (Goetsh dan Davis, dalam Fandy Tjiptono, 2008 : 51). Menurut Gronos (dalam Atik Septi Winarsih dan Ratminto, 2008 ) pelayanan adalah suatu aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan konsumen /pelanggan. Menurut Freddy Rangkuti (2009), tingkat kualitas pelayanan tidak dapat dinilai berdasarkan sudut pandang perusahaan tetapi harus dipandang dari sudut pandang penilaian pelanggan. Karena itu, dalam merumuskan strategi dan program pelayanan, perusahaan harus berorientasi kepada kepentingan pelanggan dengan memperhatikan komponen kualitas pelayanan.
Menurut Tjiptono (2011 : 23). Kualitas jasa merupakan sesuatu yang dipersepsikan oleh pelanggan. Pelanggan akan menilai kualitas sebuah jasa yang dirasakan berdasarkan apa yang mereka deskripsikan dalam benak mereka. Pelanggan akan beralih ke penyedia jasa lain yang lebih mampu memahami kebutuhan spesifik pelanggan dan memberikan layanan yang lebih baik.
Kualitas yang rendah akan menimbulkan ketidakpuasan pada pelanggan, tidak hanya pelanggan yang makan di restoran tersebut tapi juga berdampak pada orang lain. Karena pelanggan yang kecewa akan bercerita
27
paling sedikit kepada 15 orang lainnya. Dampaknya, calon pelanggan akan menjatuhkan pilihannya kepada pesaing (Lupiyoadi dan Hamdani,2006).
Kualitas layanan mendorong pelanggan untuk komitmen ke-pada produk dan layanan suatu perusahaan sehingga berdampak kepada peningkatan market sharesuatu produk. Kualitas layanan sangat krusial dalam mempertahankan pelanggan dalam waktu yang lama. Perusahaan yang memiliki layanan yang superior akan dapat memaksimalkan performa keuangan perusahaan (Gilbert dkk, 2004).
Persepsi pelanggan terhadap kualitas layanan dapat diukur dan dievaluasi melalui dimensi-dimensi kualitas layanan seperti yang dinyatakan oleh Zeithaml, Parasuraman dan Berry (2009, 26) sebagai berikut:.
1. Tangibles (tampilan fisik), meliputi fasilitas fisik, penampilan karyawan, peralatan yang digunakan dan penyajian secara fisik. 2. Reliability (keterpercayaan), yaitu kemampuan memberikan
layanan yang dijanjikan yang dapat diandalkan dan tepat.
3. Responsiveness (daya tanggap), yaitu kesediaan atau kesiapan karyawan memberikan layanan dan membantu konsumen.
4. Assurance (jaminan), mencakup pengetahuan, kesopanan dan kemampuan karyawan untuk memperoleh kepercayaan pelanggan. Empathy (kepedulian), yaitu kepedulian dan perhatian perusahaan secara individual terhadap konsumen.
28 2.3.1 Dimensi Kualitas Layanan
Menurut Tjiptono (2008, p.30) Ada empat karakteristik jasa/layanan yang membedakannya dari barang yaitu: 1. Intangibility (tidak berwujud) Jasa berbeda dengan barang. Jika barang merupakan suatu objek, alat, atau benda, maka jasa adalah suatu perbuatan, kinerja, atau usaha. Konsep intangible pada jasa memiliki dua pengertian, yaitu:
1. Sesuatu yang tidak dapat disentuh dan tidak dapat dirasa
2. Sesuatu yang tidak dapat dengan mudah didefinisikan, diformulasikan, atau dipahami secara rohani.
3. Inseparability (tidak terpisah antara produksi dan konsumsi). Barang biasanya diproduksi, kemudian dijual lalu dikonsumsi. Sedangkan jasa, umumnya dijual terlebih dahulu, baru kemudian diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan.
4. Variability (outputnya tidak terstandar)
Kualitas yang rendah akan menimbulkan ketidakpuasan pada pelanggan, tidak hanya pelanggan yang makan di restoran tersebut tapi juga berdampak pada orang lain. Karena pelanggan yang kecewa akan bercerita paling sedikit kepada 15 orang lainnya. Dampaknya, calon pelanggan akan menjatuhkan pi-lihannya kepada pesaing (Lupiyoadi dan Hamdani,2006).
Kualitas layanan mendorong pelanggan untuk komitmen ke-pada produk dan layanan suatu perusahaan sehingga berdampak kepada peningkatan market share suatu produk. Kualitas layanan sangat krusial dalam
29
mempertahankan pelanggan dalam waktu yang lama. Perusahaan yang memiliki layanan yang superior akan dapat memaksimalkan performa keuangan perusahaan
(Gilbert dkk, 2004).
Persepsi pelanggan terhadap kualitas layanan dapat diukur dan dievaluasi melalui dimensi-dimensi kualitas layanan seperti yang dinyatakan oleh Zeithaml, Parasuraman dan Berry (2009, p.26) sebagai berikut:
1. Tangibles (tampilan fisik), meliputi fasilitas fisik, penampilan karyawan, peralatan yang digunakan dan penyajian secara fisik. 2. Reliability (keterpercayaan), yaitu kemampuan memberikan
layanan yang dijanjikan yang dapat diandalkan dan tepat.
3. Responsiveness (daya tanggap), yaitu kesediaan atau kesiapan karyawan memberikan layanan dan membantu konsumen.
4. Assurance (jaminan), mencakup pengetahuan, kesopanan dan kemampuan karyawan untuk memperoleh kepercayaan pelanggan. 5. Empathy (kepedulian), yaitu kepedulian dan perhatian perusahaan
secara individual terhadap konsumen.
2.4 Loyalitas
Menurut Griffin (2010) yang dimaksud dengan loyalitas adalah :
“loyality is defined as non random purchase axpressed over time by some deision making unif”.
30
Berdasarkan definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa loyalitas lebih mengacu pada wujud perilaku dari unit-unit pengambilan keputusan untuk melakukan pembelian secara terus menerus terhadap barang atau suatu jasa perusahaan yang dipilih.
2.4.1 Dimensi Dan Indikator Loyalitas
Terdapat empat macam dimensi loyalitas menurut Griffin, yaitu: 1. Makes regular repeat purchases: Rata-rata pembelian ulang, Membeli ulang produk atau jasa dengan banyak
Membeli jasa atau produk tambahan
2. Purchases across product and service lines: membeli produk dan pelayanan yang sama,
Membeli produk atau jasa pada perusahaan yang sama.
3. Refers others: memberi rekomendasi atau mempromosikan produk kepada orang lain.
Merekomendasikan penyedia jasa atau produk kepada orang lain Menyampaikan hal positif ke orang lain
4. Demonstrates immunity to the pull of the competition: menunjukkan kekebalan (akan produk yang dimaksud) dalam persaingan,
Mendemonstrasikan keunggulan produk Menguji jasa layanan atau produk yang lain
31
Menurut Kotler (2012 : 18) menyebutkan bahwa “customer loyalty adalah suatu pembelian ulang yang dilakukan oleh seorang pelanggan karena komitmen pada suatu merek atau perusahaan”. Sebenarnya ada banyak faktor yang mempengaruhi suatu konsumen untuk loyal, antara lain faktor harga/ tarif. Seseorang tentu akan memilih perusahaan atau merek yang menurutnya menyediakan alternatif harga/tarif paling murah diantara pilihan–pilihan yang ada. Selain itu juga faktor kebiasaan, seseorang yang telah terbiasa menggunakan suatu merek atau perusahaan tertentu maka kemungkinan untuk berpindah ke pilihan yang lain akan semakin kecil.
Pengertian tentang seorang pelanggan yang loyal menurut Griffin (2004 : 4) adalah:
Loyalty is defired non random purchase expressed over time by some decision summary unit.
Yang artinya loyalitas lebih ditunjukkan kepada suatu perilaku dengan pembelian rutin, didasarkan pada unit. Loyalitas adalah bukti konsumen yang selalu menjadi pelanggan, yang memiliki kekuatan dan sifat positif atas perusahaan itu. Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa masing – masing pelanggan mempunyai dasar loyalitas yang berbeda, hal ini tergantung dari objektivitas mereka masing–masing.
Loyalitas nasabah merupakan perilaku yang terkait dengan merek sebuah produk, termasuk kemungkinkan memperbarui kontrak di masa yang akan datang, berapa kemungkinan nasabah mengubah dukungannya terhadap
32
merek, berapa kemungkinan keinginan nasabah untuk meningkatkan citra positif suatu produk. Jika produk tidak mampu memuaskan nasabah, nasabah akan bereaksi dengan cara exit (nasabah menyatakan berhenti membeli merek atau produk) dan voice (nasabah menyatakan ketidakpuasan secara langsung pada perusahaan).
Menurut Subagyo (2010 : 13) berpendapat bahwa : “Loyalitas nasabah merupakan pembelian ulang sebuah merek secara konsisten oleh nasabah. Istilah loyalitas sudah sering diperdengarkan oleh pakar marketing maupun praktisi bisnis, loyalitas merupakan konsep yang tampak mudah dibicarakan dalam konteks sehari-hari, tetapi menjadi lebih sulit ketika dianalisis maknanya. Menurut Hasan (2008 : 81) dalam banyak literatur mengemukakan definisi loyalitas sebagai berikut :
1. Sebagai konsep generik, loyalitas merek menunjukkan kecenderungan konsumen untuk membeli sebuah merek tertentu dengan tingkat konsistensi yang tinggi.
2. Sebagai konsep perilaku, pembelian ulang kerap kali dihubungkan dengan loyalitas merek (brand loyalty). Perbedaannya, bila loyalitas merek mencerminkan komitmen psikologis terhadap merek tertentu, perilaku pembelian ulang menyangkut pembelian merek yang sama secara berulang.
3. Pembelian ulang merupakan hasil dominan perusahan (a) berhasil membuat produknya menjadi satu-satunya alternatif yang tersedia, (b)
33
yang terus-menerus melakukan promosi untuk memikat dan membujuk nasabah membeli kembali merek yang sama.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa loyalitas nasabah bagi perusahaan antara lain :
a. Mengurangi biaya pemasaran
Nasabah setia dapat mengurangi biaya pemasaran. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa biaya untuk mendapatkan nasabah baru enam kali lebih besar dibandingkan dengan biaya untuk mempertahankan nasabah yang ada. Biaya iklan dan bentuk-bentuk promosi lain dikeluarkan dalam jumlah besar, belum tentu dapat menarik nasabah baru, karena tidak gampang membentuk sikap positif terhadap merek.
b. Trade leverage
Loyalitas terhadap merek menyediakan trade leverage bagi perusahaan. Sebuah produk dengan merek yang memiliki nasabah serta akan menarik para distributor untuk memberikan ruang yang lebih besar dibandingkan dengan merek lain di toko yang sama. Merek yang memiliki citra kualitas tinggi, akan memaksa konsumen membeli secara berulang-ulang merek yang sama bahkan mengajak konsumen lain untuk membeli merek tersebut.
c. Menarik nasabah baru
Nasabah yang puas dengan merek yang dibelinya dapat memengaruhi konsumen lain. Nasabah yang tidak puas akan menyampaikan ketidakpuasannya kepada 8 hingga 10 orang. Sebaliknya, bila puas akan
34
menceritakan bahkan merekomendasikan kepada orang lain untuk memilih produk yang telah memberikan kepuasan.
d. Merespon ancaman pesaing
Loyalitas terhadap merek memungkinkan perusahaan memiliki waktu untuk merespon tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pesaing. Jika pesaing mengembangkan produk yang lebih superior, perusahaan memiliki kesempatan untuk membuat produk yang lebih baik dalam jangka waktu tertentu, karena bagi pesaing relatif sulit untuk memengaruhi nasabah-nasabah yang setia. Mereka butuh waktu yang relatif lama. Karena pentingnya loyalitas nasabah, maka loyalitas nasabah terhadap merek dianggap sebagai aset perusahaan dan berdampak besar terhadap pangsa pasar serta profitabilitas perusahaan. e. Nilai kumulatif bisnis berkelanjutan
Upaya mempertahankan (retensi) nasabah dan loyal pada produk perusahaan sepanjang customer lifetime value, dengan cara menyediakan produk yang konstan dibutuhkan secara teratur dengan harga per unit yang lebih rendah.
f. Word of mouth communication
Nasabah yang memiliki loyalitas terhadap produk akan bersedia bercerita hal-hal baik (positive word of mouth) tentang perusahaan dan produknya kepada orang lain, teman dan keluarga yang jauh persuasif daripada iklan.
35 2.4.2 Tingkatan Loyalitas Nasabah
Proses seorang nasabah menjadi nasabah yang loyal terhadap perusahaan terbentuk melalui beberapa tahapan. Menurut Niegel Hill dalam Sugiono (2010 : 152) loyalitas nasabah dapat dibagi menjadi enam tahapan yaitu : Suspect, prospect, customer, clients, advocates dan partners. Tahapan-tahapan tersebut dapat dijelaskan dibawah ini :
a. Suspect
Meliputi semua orang yang diyakini akan membeli (membutuhkan) barang/jasa, tetapi belum memiliki informasi tentang barang dan jasa perusahaan.
b. Prospect
Adalah orang-orang yang memiliki kebutuhan akan jasa tertentu, dan mempunyai kemampuan untuk membelinya. Pada tahap ini, meskipun mereka belum melakukan pembelian tetapi telah mengetahui keberadaan perusahaan dan jasa yang ditawarkan melalui rekomendasi pihak lain (word of mouth).
c. Customer
Pada tahap ini, nasabah sudah melakukan hubungan transaksi dengan perusahaan, tetapi tidak mempunyai perasaan positif terhadap perusahaan, loyalitas pada tahap ini belum terlihat.
36 d. Clients
Meliputi semua nasabah yang telah membeli barang/jasa yang dibutuhkan dan ditawarkan perusahaan secara teratur, hubungan ini berlangsung lama dan mereka telah memiliki sifat retention.
e. Advocates
Pada tahap ini, Clients secara aktif mendukung perusahaan dengan memberikan rekomendasai kepada orang lain agar mau membeli barang/jasa diperusahaan tersebut
f. Partners
Pada tahap ini telah terjadi hubungan yang kuat dan saling menguntungkan antara perusahaan dengan nasabah, pada tahap ini pula nasabah berani menolak produk/jasa dari perusahaan lain. 2.4.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Loyalitas Nasabah
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi loyalitas nasabah adalah sebagai berikut :
1. Tarif
Dalam dunia bisnis tarif/harga mempunyai banyak istilah. Sebagai contoh dalam dunia bisnis asuransi tarif disebut bunga, bisnis konsultan dan pialang disebut fee, bisnis indutri manufaktur disebut harga, sedangkan dalam bisnis angkutan dan perhotelan disebut tarif.
Menurut Siswanto, (2009 : 65) mengemukakan bahwa tarif adalah sejumlah uang yang ditentukan perusahaan sebagai imbalan barang atau jasa
37
yang mereka perdagangkan dan (sesuatu yang lain) yang diadakan perusahaan untuk memuaskan keinginan konsumen”.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas bahwa sesuatu yang lain itu dapat berupa kebanggaan memiliki produk yang telah tenar mereknya, jaminan mutu, perasaan aman karena memiliki produk itu, serta perasaan puas. Bagi para produsen untuk membangun ketenaran merek dibutuhkan upaya dan biaya promosi penjualan yang seringkali tidak sedikit jumlahnya. Untuk menciptakan mutu produk yang tinggi dibutuhkan upaya dan biaya riset untuk pengembangan produk.
Menurut menurut Lamb, dkk. (2006 : 268) bahwa: “Tarif merupakan sesuatu yang diserahkan dalam pertukaran untuk mendapatkan suatu barang maupun jasa”. Tarif atau harga adalah pertukaran barang dan jasa. Juga pengorbanan waktu karena menunggu untuk memperoleh barang dan jasa. Misalnya, banyak orang menunggu seharian di kantor tiket penerbangan Southwest. Bahkan kemudian, beberapa orang tidak memperoleh diskon tiket yang mereka harapkan sebelumnya. Harga juga mungkin meliputi “martabat yang hilang” bagi seseorang yang kehilangan pekerjaannya dan harus mengharapkan kemurahan hati orang lain untuk memperoleh makanan dan pakaian. Oleh karena penetapan harga mempengaruhi pendapatan total dan biaya total, maka keputusan dan strategi penetapan harga memegang peranan penting dalam setiap perusahaan. Sementara itu, dari sudut pandang konsumen, harga seringkali digunakan sebagai indikator nilai bilamana harga tersebut dihubungkan dengan manfaat yang dirasakan atas suatu barang atau jasa.
38
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada tingkat tarif tertentu, bila manfaat yang dirasakan konsumen meningkat, maka nilainya akan meningkat pula. Demikian pula sebaliknya, pada tingkat tarif tertentu, nilai suatu barang dan jasa akan meningkat seiring dengan meningkatnya manfaat yang dirasakan. Sering pula dalam penentuan nilai suatu barang dan jasa dalam memenuhi kebutuhannya dengan kemampuan barang atau jasa substitusi (sumber literatur). Gregorius, (2002 : 149) mengatakan bahwa : “Tarif dapat diartikan sebagai jumlah uang (satuan moneter) dan atau aspek lain (non-moneter) yang mengandung utilities/kegunaan tertentu yang diperlukan untuk mendapatkan suatu produk”. Berdasarkan pengertian tarif yang ditetapkan ini, maka konsumen akan mengambil keputusan apakah dia membeli barang tersebut atau tidak. Konsumen juga menetapkan berapa jumlah yang harus dibeli berdasarkan harga tersebut. Sudah barang tentu keputusan dari konsumen ini tidak hanya didasarkan kepada harga semata-mata, tetapi ada faktor-faktor yang menjadi pertimbangan, misalnya kualitas dari barang, kepercayaan terhadap merek dan sebagainya. Meskipun demikian masalah tarif tak boleh diabaikan oleh perusahaan.
2. Pelayanan
Salah satu cara agar penjualan jasa satu perusahaan lebih unggul dibandingkan para pesaingnya adalah dengan memberikan pelayanan yang berkualitas dan bermutu yang memenuhi tingkat kepentingan konsumen. Tingkat kepentingan konsumen terhadap jasa yang akan mereka terima dapat
39
dibentuk berdasarkan pengalaman dan saran yang mereka peroleh. Konsumen memilih pemberi jasa berdasarkan peringkat kepentingan. Dan setelah menikmati jasa tersebut mereka cenderung akan membandingkannya dengan yang mereka harapkan.
Menurut Soegito (2007 : 152) mengemukakan bahwa: “Pelayanan (service) adalah setiap kegiatan atau manfaat yang dapat diberikan suatu pihak kepada pihak lainnya yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak pula berakibat pemilikan sesuatu dan produksinya dapat atau tidak dapat dikaitkan dengan suatu produk fisik.” Sedangkan Barata (2006 : 23) mengemukakan bahwa : “Pelayanan adalah daya tarik yang besar bagi para pelanggan, sehingga korporat bisnis seringkali menggunakannya sebagai alat promosi untuk menarik minat pelanggan.”
Tingkat kualitas pelayanan tidak dapat dinilai berdasarkan sudut pandang perusahan tetapi harus dipandang dari sudut pandang pelanggan. Karena itu, dalam merumuskan strategi dan program pelayanan, perusahaan harus berorientasi pada kepentingan pelanggan dengan memperhatikan komponen kualitas pelanggan.
3. Promosi (promotion)
Promosi adalah bagian dari bauran pemasaran yang besar peranannya. Promosi merupakan kegiatan-kegiatan yang secara aktif dilakukan perusahaan untuk mendorong konsumen membeli produk yang ditawarkan. Promosi juga dikatakan sebagai proses berlanjut karena dapat menimbulkan rangkaian kegiatan perusahaan yang selanjutnya. Karena itu promosi dipandang sebagai
40
arus informasi atau persuasi satu arah yang dibuat untuk mengarahkan seseorang atau organisasi agar melakukan pertukaran dalam pemasaran. Kegiatan dalam promosi ini pada umumnya adalah periklanan, personal selling, promosi penjualan, pemasaran langsung, serta hubungan masyarakat dan publisitas.
4. Citra
Identitas dan citra perlu dibedakan. Identitas terdiri dari berbagai cara yang diarahkan perusahaan untuk mengidentifikasi dirinya atau memposisikan diri atau produknya. Citra adalah persepsi masyarakat terhadap perusahaan atau produknya (Kotler, 2012: 338). Citra dipengaruhi oleh banyak faktor yang di luar kontrol perusahaan. Fakta banyak citra memiliki kehidupan tersendiri diperlihatkan oleh masalah Nike dalam mempertahankan daya tariknya terhadap pasar anak muda yang berubah-ubah.
2.5 Kerangka Pemikiran
Perkembangan dunia jasa perbankan dewasa ini menuntut kemampuan lembaga perbankan untuk dapat merancang program pemasaran jasa yang mampu beradaptasi terhadap tuntutan konsumen pendidikan yang berubah dan untuk menghadapi kompetisi industri jasa perbankan yang semakin tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian Biedenbach & Marell (2010) (Gambar 2.6), customer experience mempunyai efek yang positif kepada semua dimensi
41
dari brand equity Aaker, yang artinya bahwa customer experience berbanding lurus dengan loyalitas terhadap merek. Sedangkan berdasarkan pendapat Zeithaml et.al (2009) yang mengatakan kualitas pelayanan mengandung Tangibles; tercermin pada fasilitas fisik, peralatan, personil dan bahan komunikasi; Reliability; kemampuan memenuhi pelayanan yang dijanjikan secara terpercaya, tepat; Responsiveness; kemauan untuk membantu pelanggan dan menyediakan pelayanan yang tepat, Assurance, pengetahuan dari para pegawai dan kemampuan mereka untuk menerima kepercayaan dan kerahasian; dan Emphaty; perhatian individual diberikan oleh perusahaan kepada para pelanggan.
Dengan pendapat di atas, maka definisi konseptual variabel tergantung Kualitas Pelayanan adalah karakteristik pelayanan publik yang terungkap dari tangible, reliability, responsiveness, assurance dan emphaty. Dari definisi konseptual tersebut, variabel kualitas pelayanan dijabarkan menjadi 5 dimensi sebagai berikut Dimensi tangible dijabarkan lagi menjadi indikator : aspek fisik, dimensi responsiveness menjadi aspek sumber daya manusia, dimensi reability menjadi indikator jasa inti, dimensi assurance menjadi indikator sistem penyampaian jasa, dan emphaty dijabarkan menjadi indikator tanggung jawab sosial.
Dalam orientasi pemasaran, tugas perbankan adalah untuk menentukan keperluan dan keinginan dari pasar sasaran dan untuk memuaskan mereka melalui perancangan, komunikasi, harga dan delivery dari program dan layanan yang cocok/tepat dan berdaya saing. Dan dalam
42
peningkatan loyalitas nasabah maka tugas pihak bank adalah memberikan komunikasi yang lengkap serta melakukan promosi yang baik demi peningkatan loyalitas nasabah, menciptakan identitas atau citra bank yang baik, memberikan jaminan yang sesuai dengan kebutuhan, peningkatan sumber daya manusia yang dalam hal ini adalah karyawan di bank serta peningkatan lingkungan sekitar. Selain hal tersebut, pihak bank perlu adanya peningkatan pada aspek fisik seperti gedung, fasilitas, dan fasilitas fisik lainnya. Peningkatan jasa inti, yaitu sistem perbankan pada perusahaan serta penyampaian jasa serta tanggung jawab instutusi terhadap nasabah.
Berikut adalah kerangka pemikiran dalam penelitian ini :
Gambar 2.1 Kerangka Penelitian
43
Berdasarkan pada kerangka pemikiran di atas maka dapat dibuat paradigma penelitian sebagai berikut :
Gambar 2.2 Paradigma Penelitian
Loyalitas Nasabah (Y) Customer Experience (X1) Sense Feel Think SDM Act Relate Service Quality (X2) Resepsionis Deskman Salesman Customer Relation Officer Communicator
44 2.6 Hubungan Antar Variabel
2.6.1 Hubungan Customer Experience dengan Loyalitas Nasabah
Ehret (2008) mengembangkan model yang menghubungkan antara customer experience, loyalitas, dan word of mouth. Customer experience yang baik akan menghasilkan loyalitas dan word of mouth, dimana loyalitas tetap menjaga konsumen, sedangkan word of mouth akan berguna dalam ekspansi dan akuisisi pelanggan baru. Dengan persaingan yang semakin kuat, customer experience merupakan jalan terbaik sebagai pembeda daripada harus bersaing di harga dan meluncurkan program pemasaran yang akan banyak memakan biaya.
Walaupun banyak studi yang mendapatkan relasi yang kuat antara kepuasan dengan loyalitas, ada banyak pula yang mendapatkan hasil yang sebaliknya dimana pelanggan yang puas tetapi malah switch kepada produk lain (Naumann et al., 2009). McEwen & Fleming (2003, dalam Naumann et al., 2009) menjelaskan bahwa kepuasan pelanggan bukan merupakan predictor yang benar benar mewakili loyalitas. Hal ini dilengkapi oleh Reichheld & Teal (1996, dalam Naumann et al., 2009) yang menyimpulkan bahwa antara 65% sampai 85% 16 Universitas Indonesia pelanggan yang beralih ke kompetitor merupakan pelanggan yang puas atau bahkan sangat puas. Naumann et al. (2009) memberikan beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan pada B2B diantaranya faktor internal pelanggan, faktor lingkungan industri dan persaingan, faktor perubahan organisasi pelanggan, faktor makroekonomi, dan faktor pengukuran loyalitasnya sendiri yang tidak benar-benar mewakili
45
loyalitas. Faktor-faktor tersebut disangkal sendiri oleh Naumann et al. (2009) pada kesimpulannya bahwa riset kepuasan pelanggan tidak bisa memprediksi loyalitas secara akurat. Berdasarkan hasil penelitian Biedenbach & Marell (2010) (Gambar 2.6), customer experience mempunyai efek yang positif kepada semua dimensi dari brand equity Aaker, yang artinya bahwa customer experience berbanding lurus dengan loyalitas terhadap merek.
2.6.2 Hubungan Customer Service dengan Loyalitas Nasabah
Keberhasilan yang besar yang diperoleh suatu perusahaan ialah mendapatkan pelanggan bukan penjualan itu sendiri. setiap produk dapat saja dijual satu kali kepada seorang pelanggan, akan tetapi sebuah perusahaan dikatakan berhasil apabila dapat meningkatkan jumlah pelangganya yang dapat membeli berulang kali (loyal).
2.7 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan pada kerangka pemikiran yang telah dikemukan maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian :
1. Penerapan customer experience nasabah Bank BJB cabang Cikarang.
2. Penerapan service quality nasabah Bank Bjb Cabang Cikarang. 3. Loyalitas nasabah pada Bank BJB cabang cikarang
4. customer experience berpengaruh terhadap loyalitas nasabah Bank BJB cabang Cikarang ?
5. service quality berpengaruh terhadap loyalitas nasabah Bank BJB cabang Cikarang.
46
6. customer experience dan service quality berpengaruh terhadap loyalitas nasabah Bank BJB cabang Cikarang.