• Tidak ada hasil yang ditemukan

Volume VIII, No.2, Oktober 2020

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Volume VIII, No.2, Oktober 2020"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Sains dan Aplikasi Oktober 2020 eISSN 2656 – 8446

94

Efektivitas Pemberdayaan Kader Kesehatan terhadap Eliminasi

Stigma bagi Penderita Tuberkulosis Paru pada Masyarakat di

Kecamatan Kuta Baro Kabupaten Aceh Besar

Imam Maliki1*, Edhitta Deviana2, Donny Hendra3

1

Akademi Keperawatan Muhammadiyah Bireuen, Jl. Banda Aceh – Medan Desa Geulanggang Teungoh Kec. Kota Juang Kab. Bireuen

2

Akademi Keperawatan Abulyatama Aceh, Lampoh Keude Kec. Kuta Baro Kab. Aceh Besar

3

STIKes Payung Negeri Peukan Baru, Jl. Tamtama No. 6 Labuh Baru Timur Peukan Baru, Riau.

Emaial : imam.maliki@gmail.com

ABSTRACT

Provincial data on 2019 showed that there were 3,485 tuberculosis cases found in Aceh Besar. The Kuta Baro district listed as the most prevalence one compared to the other regions. Tuberculosis, in fact, remains stigmatized as contagious disease. Most of tuberculosis sufferers are isolated from community live. Health cadres involvement is most likely effective to eliminate those negative perspective. This research was aim to identify the effectiveness of health cadres on their role to eradicate negative stigma towards tuberculosis sufferers. The intervention applied in this research was series of empowerment program for the health cadres in the community where the study took place. The study design was a quasi experiment without control group. Population involved in the study was all community in Kuta Baro district, Aceh Besar. Data was collected by adopting Explanatory Modul Interview catalogue survey. Results revealed that health cadres empowerment program was effective to change community’s stigma towards tuberculosis sufferers (p = 0.0001) as well as their attitude on tuberculosis ( p = 0.0001). Finally, it can be concluded from the study that there is a need for collaboration between health professionals and community cadres to improve knowledge on tuberculosis through continuous health promotion program.

Keywords: Empowerment, Health Cadres, Stigma, Tuberculosis

PENDAHULUAN

Tuberculosis adalah penyakit menular melalui udara, yang disebabkan oleh infeksi bakteri, yang disebut Mycobacterium tuberculosis (MTB). Tuberculosis paling sering ditemukan di paru-paru (70%) yang dikenal sebagai Tuberculosis Paru (TB Paru) atau di bagian lain dari tubuh (30%) yang disebut Tuberculosis extra-paru. TB Paru menular dari orang ke orang melalui droplet nuklei yang berasal dari orang-orang dengan TB paru yang dikeluarkan melalui pernapasan selama aksi ekspirasi seperti batuk, bersin atau menyanyi dan terhirup oleh kontak rentan (Brewer, et.al., 2014).

Salah satu target dari The Sustainable Development Goals (SDGs) untuk tahun 2030 yang diadopsi dari PBB pada tahun 2015 adalah mengakhiri epidemi TB Paru

(2)

95 global. Strategi World Health Organization (WHO) untuk eliminasi TB adalah mengurangi angka kematian akibat TB sebanyak 90% dan mengurangi tingkat kejadian TB Paru sebanyak 80% pada tahun 2030 (WHO, 2015).

Data dari WHO pada tahun 2015 menunjukkan bahwa ada sekitar 10,4 juta kasus baru (insiden) TB Paru di seluruh dunia. Kasus baru tersebut tersebar sebanyak 5,9 juta (56%) pada laki-laki dewasa, 3,5 juta (34%) pada perempuan dewasa dan 1,0 juta (10%) pada anak-anak. Orang yang hidup dengan HIV menyumbang 1,2 juta (11%) dari semua kasus TB Paru baru (WHO, 2015).

Enam negara menyumbang 60% dari kasus baru TB Paru, yaitu India, Indonesia, Cina, Nigeria, Pakistan dan Afrika Selatan. Di seluruh dunia, tingkat penurunan kejadian TB Paru tetap hanya pada 1,5% dari tahun 2014 ke 2015. Hal ini membutuhkan percepatan penurunan tahunan 4% - 5% pada tahun 2020 guna mencapai tonggak pertama dari strategi eliminasi TB Paru. Pada tahun 2015 juga diperkirakan ada 480.000 kasus baru Multidrug-resistant TB Paru (MDR-TB) dan ditambah dengan 100.000 orang yang resisten terhadap Rifampisin TB Paru (RR-TB) yang juga baru memenuhi syarat untuk pengobatan MDR-TB. India, Cina dan Rusia menyumbang 45% dari total 580.000 kasus tersebut (WHO, 2015).

Diperkirakan ada 1,4 juta kematian akibat TB Paru pada tahun 2015, dan ditambah 0,4 juta kematian akibat penyakit TB Paru di antara orang yang hidup dengan HIV. Meskipun jumlah kematian TB Paru turun 22% antara tahun 2000 dan 2015, TB Paru tetap salah satu dari 10 penyebab kematian di seluruh dunia pada tahun 2015 (WHO, 2015).

Jumlah pasien TB Paru di Indonesia merupakan peringkat empat terbanyak di dunia setelah China, India, dan Afrika Selatan. Prevalensi TB Paru di Indonesia pada 2013 adalah 297 kasus per 100.000 penduduk dengan kasus baru setiap tahun mencapai 460.000 kasus. Total kasus hingga tahun 2013 mencapai sekitar 800.000 - 900.000 kasus. Pada tahun 2015 terdapat 330.729 kasus baru TB Paru, 11 orang diantaranya dengan HIV (WHO, 2015).

Kasus baru TB Paru BTA positif di Provinsi Aceh pada tahun 2019 sebanyak 4.023 kasus. Hal ini menurun bila dibandingkan kasus baru BTA positif yang ditemukan tahun 2018 sebesar 4.062 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di Kota Lhokseumawe sebanyak 420 kasus, di ikuti Kabupaten Pidie sebanyak 406 kasus. Kabupaten Aceh Besar, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tamiang dan Kota Banda Aceh. Kasus baru BTA positif di lima kabupaten/kota tersebut menyumbang 34 % dari jumlah seluruh kasus baru di Aceh, di ikuti enam belas kabupaten/kota lainnya yang menyumbang 45 % dari seluruh kasus baru BTA positif. Kasus baru BTA positif pada anak usia 0 - 14 tahun di Aceh berjumlah 70 kasus atau hanya 1,18 % dari seluruh kasus TB Paru. Penyumbang terbanyak berasal dari Kabupaten Aceh Timur sebanyak 18 kasus, di ikuti Kabupaten Aceh Besar dan Bener Meriah masing-masing 8 kasus. Terdapat 8 kabupaten/kota yang tidak ada kasus TB Paru pada kelompok umur 0 - 14 tahun. Adapun dua belas kabupaten/kota lainnya menyumbang antara 1 sampai 6 penderita (Anonimous, 2016a).

Penderita TB Paru di Kabupaten Aceh Besar pada tahun 2019 sebanyak 318 BTA positif dan 3.485 klinis. Kecamatan Kuta Baro merupakan salah satu kecamatan dengan kasus TB terbanyak, yaitu 13 kasus BTA positif dan 236 klinis dari 23

(3)

96

Penanganan TB Paru oleh tenaga kesehatan mengacu pada International Standards for Tuberculosis Care (ISTC) yaitu semua praktisi kesehatan, publik dan swasta, harus berusaha untuk mencapai pengelolaan pasien yang menderita, atau yang diduga menderita tuberkulosis. Hal ini bermakna bahwa dalam pemberantasan TB Paru, peran praktisi kesehatan sangat dibutuhkan. Stigma di masyarakat terkait TB Paru selalu negatif. Ketakutan akan penularan, kurangnya pengetahuan dan kemampuan melindungi diri dari penularan TB Paru membuat penanganan penderita TB Paru menjadi tidak efektif (Hopewell, P. C., 2006).

Pernyataan di atas sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Hopewell, P. C., 2006). dengan judul “a qualitative study of patients and health workers perception and management of tuberculosis in Ethiopia and Norway”. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggali secara kualitatif persepsi pasien TB Paru dan petugas kesehatan dalam mengatasi dan mengobati gejala TB Paru dalam situasi endemik maupun tidak endemik dengan menggunakan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Short-course). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam penanganan dan pengobatan TB Paru, masyarakat masih meyakini stigma negatif terhadap pasien TB Paru. Pendekatan budaya diperlukan oleh petugas kesehatan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penanganan dan pengobatan TB Paru. Petugas kesehatan juga masih memiliki persepsi yang kurang baik terhadap pasien TB Paru dan takut tertular penyakit tersebut. Kondisi ini menyebabkan komunikasi antara petugas kesehatan dan pasien TB Paru menjadi tidak efektif dan tidak terapeutik.

Penelitian lainnya terkait dengan stigma terhadap penderita TB Paru pernah dilakukan oleh Padmanabhan & Poornima (2016) yang berjudul a study to assess the stigma related to tuberculosis among directly observed treatment short-course (DOTS) providers and patients on DOTS therapy attending DOTS centres ofMandya City, Karnataka, India. Penelitian ini dilakukan pada semua pasien TB Paru yang menerima terapi DOTS di Pusat DOTS di Mandya Institute of Medical Sciences (MIMS), Puskesmas Guthalu dan Kyathamgere. Data dikumpulkan melalui wawancara menggunakan Eplanatory Modul Interview Catalogue (EMIC) Stigma Scale. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 21 orang (34,43%) dari 61 pasien DOTS mengalami stigma dan 40 (65,57%) tidak mengalami stigmatisasi. Sebanyak 10 orang (47,62%) perempuan dan 11 orang (27,5%) laki-laki mengalami stigma. Selanjutnya juga diketahui bahwa sebanyak 43 orang pasien (70,49%) lebih memilih menyembunyikan penyakit TB Paru yang dialaminya dari orang lain. Sebanyak 27 orang pasien (44,26%) memutuskan untuk tidak bekerja dan menjauh dari kelompok sosial serta 26 orang pasien (42,62%) merasa bahwa orang lain memperlakukan mereka dengan cara yang kurang hormat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas pemberdayaan kader kesehatan terhadap eliminasi stigma terhadap penderita tuberkulosis paru pada masyarakat di Kecamatan Kuta Baro Kabupaten Aceh Besar.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan desain quasi experement one group pre-test and post-test. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga yang tidak menderita TB Paru di Kecamatan Kuta Baro Kabupaten Aceh Besar. Sampel dipilih dengan teknik cluster random sampling dan diperoleh jumlah total sampel adalah 391 keluarga

(4)

97 yang terdistribusi di Desa Cot Yang (174 keluarga), Desa Lamtring (91 keluarga) dan Desa Puuk (126 keluarga). Instrumen pengumpulan data terdiri dari Explanatory Model Interview Catalogue (EMIC) Stigma Scale dan Social Distance Scale (SDS). Hasil pengumpulan data di analisa dengan menggunakan uji Wilcoxon Rank Sum Test.

HASIL PENELITIAN

Demografi responden meliputi data umur, pendidikan, pekerjaan dan pengahasilan keluarga. Data demografi responden dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini:

Tabel 1 Data Demografi Responden (n=80)

No Demografi Frekwensi (f) Persentase (%) Umur 1 Dewasa Awal 49 61,3 2 Dewasa Pertangahan 27 33,8 3 Dewasa Akhir 4 5,0 Tingkat Pendidikan 1 SMA 31 38,8 2 SMP 42 52,5 3 SD 7 8,8 Pekerjaan 1 Petani 53 66,3 2 Tidak Tetap 1 1,3 3 Wirausaha 26 32,5 Penghasilan 1 Tinggi 11 13,8 2 Menengah 42 52,5 3 Rendah 27 33,8

Berdasarkan tabel 1 di atas, maka diketahui bahwa dari 80 responden, 49 orang (61,3%) berumur dewasa awal (20 – 35 tahun), dengan tingkat pendidikan terbanyak adalah tamat SMP yaitu 42 orang (52,5%), pekerjaan terbanyak adalah sebagai petani, yaitu 53 orang (66,3%) dan tingkat penghasilan terbanyak adalah penghasilan menengah sebanyak 42 orang (52,5%).

Persepsi masyarakat terhadap stigma pada penderita TB Paru diukur dengan menggunakan Explanatory Model Interview Catalogue (EMIC) Stigma Scale. Hasil pengukuran dikategorikan positif dan negatif serta dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Distribusi Frekwensi Persepsi Masyarakat Terhadap Stigma Pada Penderita TB Paru Di Kec. Kuta Baro Kab. Aceh Besar Tahun 2019 (n = 80)

No Persepsi Pre Test Post Test

F % f %

1 Positif 18 22,5 52 65,0

2 Negatif 62 77,5 28 35,0

(5)

98

Tabel 2 menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap stigma pada penderita TB Paru pada pengukuran pre test sebahagian besar adalah negatif, yaitu 62 orang (77,5%). Sedangkan pada pengukuran post test, persepsi masyarakat terhadap stigma pada penderita TB Paru sebahagian besar adalah positif, yaitu sebanyak 52 orang (65,0%).

Sikap masyarakat terhadap stigma pada penderita TB Paru diukur dengan menggunakan Social Distance Scale (SDS). Hasil pengukuran dikategorikan positif apabila skor < 9 dan negatif apabila skor ≥ 9. Hasil pengkategorian sikap masyarakat terhadap stigma negatif pada penderita TB dapat dilihat pada tabel 3. di bawah ini:

Tabel 3. Distribusi Frekwensi Sikap Masyarakat Terhadap Stigma Pada Penderita TB Paru Di Kec. Kuta Baro Kab. Aceh Besar Tahun 2019 (n = 80)

No Sikap Pre Test Post Test

f % f %

1 Positif 28 35,0 45 56,2

2 Negatif 52 65,0 35 43,8

Jumlah 80 100,0 80 100,0

Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa sikap masyarakat terhadap stigma pada penderita TB Paru pada pengukuran pre test sebahagian besar adalah negatif, yaitu 52 orang (65,0%). Sedangkan pada pengukuran post test, sikap masyarakat terhadap stigma pada penderita TB Paru sebahagian besar adalah positif, yaitu sebanyak 45 orang (56,2%).

Efektifitas pemberdayaan kader kesehatan terhadap persepsi masyarakat tentang stigma pada penderita TB Paru dianalisis dengan menggunakan uji Wilcoxon Signed Rank Test dan hasilnya dapat dilihat berikut ini:

Tabel 4. Efektivitas Pemberdayaan Kader Kesehatan Terhadap Persepsi Masyarakat Tentang Stigma Pada Penderita TB Paru Di Kec. Kuta Baro

Kab. Aceh Besar Tahun 2019 (n = 80)

N Mean

Rank Sum of Ranks P Value

Post Test EMIC – Pre Test EMIC Negative Ranks 0 a ,00 ,00 0,0001 Positive Ranks 34 b 17,50 595,00 Ties 46c Total 80

Tabel 4 menunjukkan nilai positive rank sebesar 34. Hal ini menjelaskan bahwa setelah dilakukan pemberdayaan kader kesehatan, ada perubahan persepsi masyarakat tentang stigma pada penderita TB Paru dari persepsi negatif menjadi positif sebanyak 34 orang. Perbedaan nilai rata-rata persepsi masyarakat antara sebelum dan sesudah kegiatan eliminasi stigma terhadap penderita TB Paru adalah 17,5. Hasil uji hipotesis menunjukkan nilai P sebesar 0,0001 < 0,05 yang bermakna pemberdayaan kader efektif terhadap perubahan persepsi masyarakat tentang stigma pada penderita TB Paru.

(6)

99 Efektifitas pemberdayaan kader kesehatan terhadap sikap masyarakat tentang stigma pada penderita TB Paru dianalisis dengan menggunakan uji Wilcoxon Signed Rank Test dan hasilnya dapat dilihat berikut ini:

Tabel 5. Efektivitas Pemberdayaan Kader Kesehatan Terhadap Sikap Masyarakat Tentang Stigma Pada Penderita TB Paru Di Kec. Kuta Baro

Kab. Aceh Besar Tahun 2019 (n = 80)

N Mean

Rank Sum of Ranks P Value

Post Test SDS- Pre Test SDS Negative Ranks 0 a ,00 ,00 0,0001 Positive Ranks 17b 9,00 153,00 Ties 63c Total 80

Tabel 5 menunjukkan nilai positive rank sebesar 17. Hal ini menjelaskan bahwa setelah dilakukan pemberdayaan kader kesehatan, ada perubahan sikap masyarakat tentang stigma pada penderita TB Paru dari sikap negatif menjadi positif sebanyak 17 orang. Perbedaan nilai rata-rata sikap masyarakat antara sebelum dan sesudah kegiatan eliminasi stigma terhadap penderita TB Paru adalah 9,0. Hasil uji hipotesis menunjukkan nilai P sebesar 0,0001 < 0,05 yang bermakna pemberdayaan kader efektif terhadap perubahan sikap masyarakat tentang stigma pada penderita TB Paru.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian yang digambarkan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap stigma pada penderita TB Paru pada pengukuran pre test sebahagian besar adalah negatif, yaitu sebanyak 77,5%. Sedangkan pada pengukuran post test, persepsi masyarakat terhadap stigma pada penderita TB Paru sebahagian besar adalah positif, yaitu sebanyak 65,0%. Selanjutnya Tabel 4 menunjukkan bahwa setelah dilakukan pemberdayaan kader kesehatan, ada perubahan persepsi masyarakat tentang stigma pada penderita TB Paru dari persepsi negatif menjadi positif sebanyak 34 orang. Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa pemberdayaan kader efektif terhadap perubahan persepsi masyarakat tentang stigma pada penderita TB Paru (P=0,0001).

Hasil penelitian yang dijelaskan di atas menunjukkan bahwa pemberdayaan masyarakat melalui kader kesehatan mampu meningkatkan pemahaman masyarakat tentang penyakit dan pencegahannya. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Bhattacharyya (2014) yaitu pemberdayaan masyarakat atau communit development (CD) intinya adalah bagaimana kelompok atau komunitas berusaha untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam pemeliharan kesehatan dan pencegahan penyakit melalui upaya-upaya promotif dan preventif secara mandiri.

Pemberdayaan masyarakat adalah upaya atau proses untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat dalam mengenali, mengatasi, memelihara, melindungi, dan meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan melalui kader kesehatan bertujuan

(7)

100

untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan (Anonimous, 2015).

Persepsi negatif responden terhadap dalam bentuk stigma terhadap penderita TB Paru sebelum dilakukan pendidikan kesehatan oleh kader terjadi karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang cara penularan penyakit TB Paru. Hal ini seperti hasil studi literatur yang dilakukan oleh Courtwright dan Turner (2010) menunjukkan bahwa sejumlah penelitian telah meneliti penyebab stigma TB Paru. Meskipun ada variasi geografis dan budaya dalam penjelasan mengapa TB Paru menstigmatisasi, sebagian besar penulis mengidentifikasi dugaan penularan TB Paru sebagai penyebab utama stigmatisasi. Kurangnya pengetahuan mengenai rute penularan menyebabkan stigma TB Paru.

Persepsi negatif masyarakat yang membentuk stigmatisasi terhadap penderita TB Paru juga di pengaruhi oleh faktor keluarga. Keluarga cenderung menyembunyikan dan bahkan mengisolasi penderita TB Paru agar tidak diketahui oleh masyarakat. Hal ini akan membentuk persepsi negatif masyarakat yang berujung pada stigmatisasi terhadap penderita TB Paru. Pernyataan ini seperti yang dikemukakan oleh Courtwright dan Turner (2010), yaitu penyebab stigmatisasi TB Paru oleh masyarakat merupakan akibat dari isolasi yang dilakukan terhadap penderita TB paru oleh keluarga. Keluarga cenderung menyembunyikan dan tidak menginformasikan tentang penyakit TB Paru yang dialami oleh anggota keluarga kepada orang lain karena perasaan malu.

Penelitian yang dilakukan oleh Wartonah dengan judul Stigma Dan Diskriminasi Klien Tuberkulosis memberikan hasil bahwa keyakinan penderita TB Paru adalah penyebab utama diskriminasi diri. Penderita TB Paru secara umum mengisolasi diri mereka sendiri dari keluarga dan teman-teman, dan khususnya dari anak-anak, karena ketakutan untuk menularkan penyakit (Wartonah, 2015).

Penelitian yang dilakukan Wartonah juga menunjukkan bahwa penderita TB Paru mengisolasi diri mereka sendiri dari keluarga dan teman, lebih dikarenakan untuk menghindari menularkan penyakit TB kepada keluarga dan teman mereka. Diskriminasi diri ini terjadi terutama selama menjalani awal-awal pengobatan. Hal ini berarti klien dengan TB takut akan mengalami diskriminasi langsung. Alasan lain klien TB mengisolasi diri mereka sendiri dari teman-temannya adalah untuk menghindari gossip dan kemungkinan diskriminasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Goffman (2002) bahwa stigma juga dideskripsikan sebagai suatu suatu label yang menghubungkan seseorang pada suatu bentuk karakteristik yang tidak diinginkan yang membentuk stereotype, dalam hal ini stereotype yang ada di masyarakat Kec. Kuta Baro Kab. Aceh Besar tentang penyakit TB Paru sebelumnya adalah penyakit orang miskin (low-caste disease).

Penderita TB Paru juga menyembunyikan fakta bahwa mereka menderita TB dari anggota masyarakat sekitar mereka tinggal. Dalam penelitian ini, sebelum dilakukan pendidikan kesehatan tentang TB paru oleh kader kesehatan yang ada di desa masih ditemukan bahwa ada sebahagian anggota masyarakat yang melakukan diskriminasi terhadap penderita TB Paru sekalipun penderita TB Paru tersebut menolak mendapatkan perlakuan diskriminasi. Hal ini terjadi bukan lagi karena stereotype yang ada, tetapi lebih kepada persepsi akan takut tertular penyakit TB Paru.

Penelitian yang dilakukan oleh Cremers, dkk (2015) menunjukkan bahwa persepsi negatif masyarakat tentang penularan TB Paru adalah karena penyakit

(8)

101 keturunan, berbagi cangkir atau piring, berada satu ruang dengan penderita TB Paru dan karena kutukan.

Persepsi masyarakat di 3 (tiga) desa dalam wilayah Kec. Kuta Baro Kab. Aceh Besar berubah menjadi positif terhadap penyakit TB Paru terjadi setelah kader kesehatan melakukan kegiatan eliminasi stigma selama 5 (lima) sesi pendidikan kesehatan. Hal ini membuktikan bahwa pendidikan kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penyakit TB Paru dan penularannya melalui kader kesehatan sangat membantu mengirangi stigmatisasi masyarakat terhadap penderita TB Paru.

Pernyataan tentang hasil penelitian di atas sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hidayati (2015) yang menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan meningkatkan rerata pengetahuan dari 18,93 menjadi 26,00 (p 0,000). Disimpulkan bahwa pendidikan dan pencegahan penyakit TB Paru dapat meningkatkan pengetahuan dan menurunkan stigma terhadap penderita TB Paru. Lebih lanjut penelitian Rizana (2016) menyatakan bahwa rata-rata pengetahuan responden pada kelompok intervensi pada sebelum dilakukan pendidikan kesehatan (pretest) adalah 6,62 dan setelah dilakukan pendidikan kesehatan (posttest) meningkat menjadi 8,52. Hasil uji hipotesis juga menyatakan bahwa terdapat pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan pada kelompok intervensi tentang TB Paru (P=0,0001).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan kader melalui kegiatan pendidikan kesehatan terbukti efektif meningkatkan persepsi masyarakat tentang stigma pada penderita TB Paru dari persepsi negatif menjadi positif.

Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa sikap masyarakat terhadap stigma pada penderita TB Paru pada pengukuran pre test 65,0% adalah negatif, dan pada pengukuran post test 56,2% positif. Kemudian pada Tabel 5 diketahui bahwa setelah dilakukan pemberdayaan kader kesehatan, ada perubahan sikap masyarakat tentang stigma pada penderita TB Paru dari sikap negatif menjadi positif sebanyak 17 orang. Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa pemberdayaan kader efektif terhadap perubahan sikap masyarakat tentang stigma pada penderita TB Paru (P=0,0001).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan yang dilakukan oleh kader terbukti mampu meningkatkan sikap masyarakat menjadi lebih positif terhadap stigma pada penderita TB Paru. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh (Anonimous, 2015b), yaitu pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan.

Penelitian yang dilakukan oleh Balogun, dkk (2015) dengan judul Trained

community volunteers improve tuberculosis knowledge and attitudes among adults in a periurban community in southwest Nigeria, menunjukkan bahwa intervensi melalui

pendidikan kesehatan secara signifikan meningkatkan skor sikap rata-rata terhadap TB Paru sampai 7,0 ± 1,8 (P <0,001). Penggunaan relawan komunitas terlatih untuk berbagi informasi tentang TB meningkatkan sikap masyarakat menjadi lebih positif terhadap stigma TB Paru. Pemberdayaan masyarakat secara terus menerus harus didorong untuk mempromosikan pencegahan dan perawatan TB

Sommerland, et al (2017) dalam penelitiannya menyatakan bahwa intervensi pembentukan pengetahuan dan perubahan sikap yang dilakukan oleh relawan melalui

(9)

102

kegiatan pendidikan kesehatan yang ditujukan pada masyarakat umum, penderita TB Paru dan keluarga terbukti efektif dalam mengurangi stigma terhadap penderita TB Paru. Kunjungan rumah dan kelompok pendukung juga efektif dalam mengurangi stigma pada penderita TB Paru.

Sikap negatif terhadap stigma pada penderita TB Paru dapat mempemgaruhi perilaku penderita TB dalam mencari pengobatan. Penderita TB Paru yang mengalami stigma akan berusaha untuk menutupi penyakitnya dan malas untuk berobat karena takut terhadap stigma masyarakat. Hal ini seperti yang ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan oleh Dhingra dan Khan (2010) dengan judul A sociological study on

stigma among TB patients in Delhi. Penelitian tesebut memberikan hasil bahwa

konsekuensi stigma dapat mempengaruhi perilaku mencari perawatan (health seeking

behavior), karena penderita TB Paru memilih untuk tidak mengungkapkan status TB

mereka kepada keluarga atau teman karena takut dihindari secara sosial (stigmatisasi) (Dhingra, V. K., & Khan, S.,2010).

Balogun, dkk (2015) juga menyatakan bahwa sikap yang keliru tentang penyebab, tanda, dan/atau pengobatan untuk TB berpotensi untuk menciptakan fondasi peningkatan stigmatisasi pasien TB dan kemudian, menurunkan tingkat deteksi kasus TB. Kondisi ini dapat diatasi dengan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap TB Paru. Pada penelitian yang dilakukan terbukti bahwa peran relawan TB Paru mampu meningkatkan sikap yang positif terhadap stigma pada penderita TB Paru dan juga perbaikan dalam sikap terkait dengan disposisi yang lebih positif terhadap perilaku pencarian kesehatan yang tepat jika terjadi penularan TB Paru.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan kader melalui kegiatan pendidikan kesehatan terbukti efektif meningkatkan sikap masyarakat tentang stigma pada penderita TB Paru dari sikap negatif menjadi positif.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang tealh diuraikan pada bab sebelumnya, maka hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Persepsi masyarakat terhadap stigma pada penderita TB Paru pada pengukuran pre test sebahagian besar adalah negatif (77,5%). Sedangkan pada pengukuran post test, persepsi masyarakat terhadap stigma pada penderita TB Paru sebahagian besar adalah positif (65,0%).

2. Pemberdayaan kader kesehatan memberikan perubahan pada persepsi masyarakat tentang stigma terhadap penderita TB Paru dari persepsi negatif menjadi positif. Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa pemberdayaan kader kesehatan efektif terhadap perubahan persepsi masyarakat tentang stigma pada penderita TB Paru (P=0,0001).

3. Sikap masyarakat terhadap stigma pada penderita TB Paru pada pengukuran pre test adalah negatif (65,0%) dan pada pengukuran post test menjadi positif (56,2%). 4. Pemberdayaan kader kesehatan memberikan perubahan sikap masyarakat terhadap stigma pada penderita TB Paru dari sikap negatif menjadi positif. Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa pemberdayaan kader kesehatan efektif terhadap perubahan sikap masyarakat tentang stigma pada penderita TB Paru (P=0,0001).

(10)

103 DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 2016a. World Health Organization. The global plan to stop TB:

transforming the fight towards elimination of tuberculosis. World Health

Organization

Anonimous, 2016b. Dinas Kesehatan Aceh Besar. Profil kesehatan Kabupaten Aceh Besar tahun 2015. www.dinkes.acehbesar.go.id.

Anonimous, 2015. Kemenkes, R. I. Rencana strategis kementerian kesehatan

2015-2019,

Anonimous, 2015b. Kemenkes, R. I. Rencana strategis kementerian kesehatan

2015-2019,

Balogun, M., Sekoni, A., Meloni, S. T., Odukoya, O., Onajole, A., Longe-Peters, O., ... & Kanki, P. J. (2015). Trained community volunteers improve tuberculosis knowledge and attitudes among adults in a periurban community in southwest Nigeria. The American journal of tropical medicine and hygiene, 92(3), 625-632.

Bhattacharyya, J. (2014) The Orizing community development. Community

Development, 34(2), 5-34

Brewer, T. F., & Heymann, S. J., 2014. To control and beyond: moving towards eliminating the global tuberculosis threat. Journal of epidemiology and

community health, 58(10), 822-825.

Courtwright, A., & Turner, A. N. (2010). Tuberculosis and stigmatization: pathways and interventions. Public health reports, 125(4_suppl), 34-42.

Cremers, A. L., de Laat, M. M., Kapata, N., Gerrets, R., Klipstein-Grobusch, K., & Grobusch, M. P. (2015). Assessing the consequences of stigma for tuberculosis patients in urban Zambia. PloS one, 10(3), e0119861.

Dhingra, V. K., & Khan, S. (2010). A sociological study on stigma among TB patients in Delhi.

Goffman (2002). Stigma of mental illness: changing minds, changing behaviour. British Journal Of Psychiatry.

Hidayati, E. (2015). Pengetahuan dan Stigma Masyarakat terhadap TBC Setelah Diberikan Pendidikan Kesehatan Pencegahan dan Penularan. Jurnal

Keperawatan Soedirman, 10(2), 76-82.

Hopewell, P. C., Pai, M., Maher, D., Uplekar, M., & Raviglione, M. C., 2006. International standards for tuberculosis care. The Lancet infectious

diseases, 6(11), 710-725.

Padmanabhan, N., & Poornima, S., 2016. A study to assess the stigma related to tuberculosis among directly observed treatment short-course (DOTS) providers and patients on DOTS therapy attending DOTS centres of

(11)

104

Mandya. International Journal Of Community Medicine And Public

Health, 3(10), 2817-2824,

Rizana, N., & Teuku Tahlil, M. (2016). Pengetahuan, Sikap Dan Perilaku Keluarga Dalam Pencegahan Penularan Tuberkulosis Paru. Jurnal Ilmu

Keperawatan, 4(2).

Sommerland, N., Wouters, E., Mitchell, E. M. H., Ngicho, M., Redwood, L., Masquillier, C., ... & Van Rie, A. (2017). Evidence-based interventions to reduce tuberculosis stigma: a systematic review. The International Journal of

Tuberculosis and Lung Disease, 21(11), S81-S86.

Wartonah (2015). Stigma dan diskriminasi klien tuberkulosis. Jurnal

Keperawatan, 1(2), 103-111.

World Health Organization. 2015. The global plan to stop TB: transforming the fight

Gambar

Tabel 2. Distribusi Frekwensi Persepsi Masyarakat Terhadap Stigma Pada  Penderita TB Paru Di Kec

Referensi

Dokumen terkait

Persamaan Master adalah sebuah persamaan diferensial fenomenologis orde pertama yang penyelesaiannya memberikan evolusi waktu dari (fungsi) peluang suatu sistem

Abstrak: Penelitian mengidentifikasi hubungan pola asuh orang tua dengan perilaku seksual pada remaja di SMAN 1 Sanden.. Metode penelitian survey analitik dengan

Angkutan kota Rahayu Medan Ceria trayek 104 merupakan trayek yang mempunyai armada atau unit yang paling banyak di Rahayu Medan Ceria,hampir mencapai 160 unit.selain trayek

Pengaruh dosis inokulum dan lama fermentasi dengan kapang Lentinus edodes terhadap perubahan bahan kering, protein kasar dan retensi nitrogen kulit buah

a) Pelanggaran yang sering dilakukan oleh Wajib Pajak Pertambahan Nilai adalah keterlambatan dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa pada masa pajak, hal ini berdampak

Hasil uji iritasi pada kulit kelinci albino galur New Zealand menunjukkan bahwa sediaan gel antijerawat dengan kombinasi gelling agent Hidroksi Propil Metil Selulosa

Kuda lumping adalah tarian tradisional jawa yang menampilkan.. sekelompok prajurit tengah

yang tumbuh setelah inkubasi suhu 36±1 o C selama 24-48 jam kemudian diamati dengan ciri koloni membentuk warna transluen dan bintik hitam pada sentral koloni.. Koloni