• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

8 2.1 Kajian Teori

2.1.1 Pembelajaran IPA

2.1.1.1 Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

Hendro dan Jenny (1992:3) secara singkat IPA adalah pengetahuan yang rasional dan objektif tentang alam semesta dengan segala isinya. IPA dapat dipandang sebagai suatu proses dan produk dari upaya manusia untuk memahami berbagai gejala alam. Hal ini diperkuat oleh H.W. Fowler (Trianto, 2010:136), IPA adalah pengetahuan yang sistematis dan dirumuskan, yang berhubungan dengan gejala-gejala kebendaan dan didasarkan terutama atas pengamatan dan deduksi. Adapun Wahyana (Trianto, 2010:136) mengatakan bahwa IPA adalah suatu kumpulan pengetahuan tersusun secara sistematik, dan dalam penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam. Perkembangannya tidak hanya ditandai oleh adanya kumpulan fakta, tetapi oleh adanya metode ilmiah dan sikap ilmiah.

Trianto (2010:136) menyimpulkan bahwa IPA adalah suatu kumpulan teori yang sistematis, penerapannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam, lahir dan berkembang melalui metode ilmiah seperti observasi dan eksperimen serta menuntut sikap ilmiah seperti rasa ingin tahu, terbuka, jujur, dan sebagainya. Jadi Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dapat didefinisikan sebagai kumpulan pengetahuan yang sistematis yang berhubungan dengan gejala alam. Hal ini sejalan dengan kurikulum KTSP (Depdiknas, 2006) bahwa Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan berupa fakta-fakta, konsep-konsep atau prisip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Dengan demikian hakikat IPA adalah ilmu pengetahuan alam yang mempelajari gejala-gelaja melalui serangkaian proses yang dikenal dengan proses ilmiah yang dibangun atas dasar sikap ilmiah dan hasilnya terwujud

(2)

sebagai produk ilmiah yang tersusun atas tiga komponen terpenting berupa konsep, prinsip, dan teori yang berlaku secara universal.

2.1.1.2 Fungsi dan Tujuan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

Secara khusus fungsi dan tujuan IPA berdasarkan kurikulum KTSP berbasis kompetensi dalam Depdiknas adalah sebagai berikut.

1. Menanamkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 2. Mengembangkan keterampilan, sikap dan nilai ilmiah.

3. Mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang melek sains dan teknologi.

4. Menguasai konsep sains untuk bekal hidup di masyarakat dan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.

Dari fungsi dan tujuan tersebut kiranya semakin jelas bahwa fungsi IPA semata-mata tidaklah pada dimensi pengetahuan (keilmuan), tetapi lebih dari itu, IPA lebih menekankan pada dimensis nilai ukhrawi, di mana dengan memperhatikan keteraturan di alam semesta akan semakin meningkatkan keyakinan akan adanya sebuah kekuatan yang mahadahsyat yang tidak dapat dibantah lagi, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Dengan dimensi ini IPA hakihatnya mentautkan antara aspek logika-materiil dengan aspek jiwa-spiritual, yang sementara ini dianggap cakrawala kosong, karena suatu anggapan antara IPA dan agama merupakan dua sisi yang berbeda dan tidak mungkin dipersatukan satu sama lain dalam satu bidang kajian. Padahal senyatanya terdapat benang merah ketertautan di antara keduanya. Hal ini dipertegas dalam kurikulum KTSP (Depdiknas, 2006) bahwa mata pelajaran IPA di SD/MI bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.

1. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaan-Nya. 2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang

bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positip dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan teknologi dan masyarakat.

4. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan.

5. Meningkatkan kesadaran untuk berperanserta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam.

(3)

6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.

7. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.

Berdasakan pendapat di atas, selain mengembangkan keterampilan berpikir dan sebagai bekal pengetahuan, IPA berfungsi menanamkan keyakinan terhadap kebesaran Tuhan.

2.1.1.3 Ruang Lingkup IPA

Ruang lingkup bahan kajian IPA untuk SD/MI menurut kurikulum KTSP (Depdiknas, 2006) meliputi aspek-aspek berikut.

1. Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan.

2. Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan gas.

3. Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya dan pesawat sederhana.

4. Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda langit lainnya.

Jadi, ruang lingkup dalam pembelajaran IPA untuk SD/MI mencakup semua yang berhubungan dengan alam beserta isi di dalamnya.

2.1.1.4 Hakikat Pembelajaran IPA

Pembelajaran IPA secara khusus sebagaimana tujuan pendidikan secara umum sebagaimana tercantum dalam taksonomi bloom bahwa: diharapkan dapat memberikan pengetahuan (kognitif), yang merupakan tujuan utama dari pembelajaran. Jenis pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan dasar dari prinsip dan konsep yang bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari. Pengetahuan secara garis besar tentang fakta yang ada di alam untuk memahami dan memperdalam lebih lanjut, dan melihat adanya keterangan serta keteraturannya. Di samping itu, pembelajaran IPA diharapkan pula memberikan keterampilan (psikomotorik), kemampuan sikap ilmiah (afektif), pemahaman, kebiasaan dan apresiasi.

Berdasarkan uraian tentang pembelajaran IPA, maka Trianto (2010:143) mengemukakan tentang hakikat dan tujuan pembelajaran IPA diharapkan dapat memberikan antara lain sebagai berikut.

(4)

a) Kesadaran akan keindahan dan keteraturan alam untuk meningkatkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

b) Pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang dasar dari prinsip dan konsep, fakta yang ada di alam. Hubungan saling ketergantungan, dan hubungan antara sains dan teknologi.

c) Keterampilan dan kemampuan untuk menangani peralatan, memecahkan masalah dan melakukan observasi.

d) Sikap ilmiah, antara lain skeptis, kritis, sensitif, obyektif, jujur terbuka, benar, dan dapat bekerja sama.

e) Kebiasaan mengembangkan kemampuan berpikir analisis induktif dan deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip sains untuk menjelaskan berbagai peristiwa alam.

f) Apresiatif terhadap sains dengan menikmati dan menyadari keindahan keteraturan perilaku alam serta penerapannya dalam teknologi.

Dengan demikian, semakin jelaslah bahwa proses belajar mengajar IPA lebih ditekankan pada pendekatan keterampilan proses, hingga siswa dapat menemukan fakta-fakta, membangun konsep-konsep, teori-teori dan sikap ilmiah siswa itu sendiri yang akhirnya dapat berpengaruh positif terhadap kualitas proses pendidikan maupun produk pendidikan.

Pembelajaran IPA dilakukan untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja, dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup. Oleh karena itu pembelajaran IPA di SD/MI menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah.

2.1.1.5 Pentingnya Pengajaran IPA di SD

Menurut Samatowa (2011:3) alasan yang menyebabkan IPA dimasukkan ke dalam kurikulum SD antara lain:

a. Bahwa IPA berfaedah bagi suatu bangsa, kiranya tidak perlu dipersoalkan panjang lebar. Kesejahteraan materil suatu bangsa banyak sekali tergantung kemampuan bangsa itu dalam bidang IPA, sebab IPA merupakan dasar teknologi, sering disebut-sebut sebagai tulang punggung pembangunan. Pengetahuan dasar untuk teknologi adalah IPA. b. Bila diajarkan IPA menurut cara yang tepat, maka IPA merupakan suatu

mata pelajaran yang memberikan kesempatan berpikir kritis. Contoh IPA diajarkan dengan mengikuti metode ”menemukan sendiri”. Dengan ini anak dihadapkan pada suatu masalah, umpamanya dapat dikemukakan masalah demikian ”Dapatkah tumbuhan hidup tanpa daun?”. Anak diminta untuk mencari dan menyelidiki hal ini.

(5)

c. Bila IPA diajarkan melalui percobaan-percobaan yang dilakukan sendiri oleh anak, maka IPA tidaklah merupakan mata pelajaran hafalan saja. d. Mata pelajaran ini mempunyai nilai-nilai pendidikan yaitu mempunyai

potensi yang dapat membentuk kepribadian anak secara keseluruhan. Berdasarkan penjelasan di atas, IPA begitu penting sehingga membuatnya dimasukkan ke dalam kurikulum SD. Selain melatih siswa berpikir kritis dan membentuk kepribadian anak, IPA juga merupakan tulang punggung dalam pembangunan. Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads Together) ini merupakan salah satu perwujudan pembelajaran yang mengetengahkan proses dalam diri siswa sehingga mampu tercipta kebermaknaan dalam proses belajar itu sendiri.

2.1.2 Keaktifan Belajar

2.1.2.1 Hakikat Keaktifan Belajar

Aktif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:12) berarti giat (bekerja atau berusaha), sedangkan keaktifan diartikan sebagai hal atau dimana siswa dapat aktif. Keaktifan siswa dalam belajar IPA tampak dalam kegiatan berbuat sesuatu untuk memahami materi pelajaran yang disajikan oleh guru. Jadi yang antarsiswa terjadi hubungan memberi dan menerima satu sama lain dalam proses pembelajaran.

Pada hakikatnya keaktifan belajar terjadi dan terdapat pada semua perbuatan belajar, tetapi kadarnya yang berbeda-beda tergantung pada jenis kegiatannya, materi yang dipelajari dan tujuan yang hendak dicapai (Hamalik,2003:16). Sedangkan menurut Dimyati dan Mudjiono (2009:114) mengemukakan keaktifan siswa dalam peristiwa pembelajaran mengambil beraneka bentuk kegiatan fisik yang dapat diamati. Setiap jenis aktivitas tersebut memiliki bobot yang berbeda tergantung pada tujuan mana yang akan dicapai dalam kegiatan belajar mengajar. Selain itu, Usman (2011:25) juga mengemukakan bahwa keaktifan meliputi interkasi guru dengan siswa dan siswa dengan siswa lainnya. Interaksi tersebut memiliki berbagai macam pola interaksi diantaranya:

(6)

1. Pola guru-siswa

Pada pola interaksi ini hanya terjadi komunikasi satu arah yaitu dari guru ke siswa.

2. Pola guru-siswa-guru

Pola interaksi ini sudah ada interaksi dari guru ke siswa. 3. Pola guru-siswa, siswa-guru, siswa-siswa

Pada pola interaksi ini sudah ada balikan dari guru, pada siswa pun sudah terjadi interaksi.

4. Pola melingkar

Pola interaksi seperti ini merupakan pola interaksi ideal dalam pelaksanaan pembelajaran.

Jadi dapat dikaji bahwa pola interaksi melingkar dalam kegiatan pembelajaran memungkinkan terjadinya komunikasi timbal balik antara guru dengan siswa secara menyeluruh sehingga memungkinkan terciptanya keaktifan siswa dalam proses pembelajaran.

2.1.2.2 Keaktifan dalam Pembelajaran IPA

Kurikulum KTSP (Depdiknas, 2006) mengemukakan pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan secara inquiri ilmiah (sciencific inquiry) untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup. Untuk mencapai hal tersebut, keaktifan siswa sangat diperlukan dalam proses pembelajaran, khususnya IPA. Hal ini sejalan dengan pendapat Richarson (Hendro dan Jenny, 1992:12) yang mengemukakan tentang keterlibatan siswa secara aktif dalam pembelajaran IPA melalui learning by doing. Siswa harus ikut berbuat sesuatu untuk memperoleh ilmu yang mereka cari. Richardson juga menambahkan bahwa guru IPA termasuk orang yang beruntung karena objek belajar IPA terdapat dimana-mana, dalam kelas, di luar kelas, di alam sekitar atau di mana saja, sehingga guru dengan mudah dapat mengajak siswa-siswanya untuk melakukan kegiatan mendapatkan ilmu dari tangan pertama yaitualam itu sendiri. Objek belajar yang mudah dijumpai dan berada di sekitar siswa tersebut sangat memungkinkan guru untuk menuntun keaktifan belajar siswa selama proses pembelajaran berlangsung.

Keaktifan siswa dalam pembelajaran IPA ditunjukkan melalui proses dan keterlibatan dari segi kognitif, afektif maupun psikomotorik yang dilaluinya. Hal

(7)

ini diperkuat oleh Natawijaya (Depdiknas, 2005) Belajar aktif adalah suatu sistem belajar mengajar yang menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental, intelektual dan emosional guna memperoleh hasil belajar berupa perpaduan antara aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Jadi, keaktifan belajar menekankan pada kegiatan yang melibatkan perpaduan berbagai aspek secara aktif yang dalam hal ini adalah kognitif, afektif dan psikomotorik. Dalam penelitian penggunaan pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads Together) ini keaktifan siswa dari segi intelektual lah yang menjadi sorotannya.

2.1.2.3 Pentingnya Keaktifan Belajar

Pada hakikatnya keaktifan belajar terjadi dan terdapat pada semua perbuatan belajar, tetapi kadarnya yang berbeda-beda tergantung pada jenis kegiatannya, materi yang dipelajari dan tujuan yang hendak dicapai (Hamalik, 2003). Pentingnya keaktifan belajar siswa yaitu untuk melatih siswa menyampaikan gagasan secara individu maupun berkelompok. Menurut Hakim (2013:1), mengemukakan pentinya keaktifan siswa dalam proses pembelajaran menyebabkan interaksi yang tinggi antara guru dengan siswa ataupun dengan siswa itu sendiri. Hal ini mengakibatkan suasana kelas menjadi menyenangkan, dimana masing-masing siswa dapat melibatkan kemampuannya semaksimal mungkin.

Melibatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran IPA sangat penting, karena dalam IPA banyak kegiatan pemecahan masalah yang menuntut kreativitas siswa aktif. Siswa sebagai subyek didik adalah yang merencanakan dan ia sendiri yang melaksanakan belajar. Untuk menarik keterlibatan siswa dalam pembelajaran guru harus membangun hubungan baik yaitu dengan menjalin rasa simpati dan saling pengertian.

2.1.2.4 Pengukuran Keaktifan

Keaktifan dalam proses belajar mengajar dapat diukur menggunakan observasi atau pengamatan. Untuk mengukur keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar, Sudjana (2012:84) mengemukakan:

Observasi atau pengamatan sebagai alat penilaian yang digunakan untuk mengukur tingkah laku individu ataupun proses terjadinya suatu kegiatan yang dapat diamati, baik dalam situasi yang sebenarnya maupun dalam

(8)

situasi buatan. Dengan kata lain observasi dapat mengukur atau menilai hasil dan proses belajar. Melalui pengamatan dapat diketahui bagaimana sikap dan perilaku siswa, kegiatan yang dilakukannya, tingkat partisipasi dalam suatu kegiatan, keaktifan bahkan hasil yang diperoleh dari kegiatannya.

Berdasarkan uraian diatas untuk mengukur keaktifan siswa dapat dilakukan dengan cara obervasi atau pengamatan. Dalam proses belajar mengajar, guru yang dalam hal ini bertindak sebagai pengamat, harus benar-benar memperhatikan setiap kegiatan yang dilakukan oleh siswa. Melalui kegiatan ini, guru akan dapat menilai keaktifan siswa dalam proses pembelajaran.

2.1.3 Belajar dan Hasil Belajar

2.1.3.1 Pengertian Belajar dan Hasil Belajar

Belajar menurut Slameto (2010:2) adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagian hasil pengamatannya sendiri dalam intreraksi dengan lingkungannya.

Berdasarkan pengertian secara psikologis, Slameto (2010:2) belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan-perubahan tersebut akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku. Gredler (Aunurrahman, 2010:38) belajar adalah proses orang memperoleh berbagai kecakapan ketrampilan, dan sikap. Kemampuan orang untuk belajar menjadi ciri penting yang membedakan jenisnya dari jenis-jenis mahluk yang lain.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan segala aspek dalam diri manusia yang tampak dalam perubahan tingkah laku seperti kebiasaan, pengetahuan, sikap, ketrampilan, dan daya pikir.

Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006:3) hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi siswa hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Dari sisi guru adalah bagaimana guru bisa menyampaikan pembelajaran dengan baik dan siswa bisa menerimanya.

(9)

Sedangkan menurut Suprijono (2009:7) hasil belajar adalah perubahan perilaku secara keseluruhan bukan hanya seluruh aspek potensi kemanusiaan saja.

Nana Sudjana (2005:3) Hasil belajar adalah proses pemberian nilai terhadap hasil-hasil belajar yang dicapai siswa dengan kriteria tertentu. Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya.

Horward Kingsley dalam Sudjana (2005:22) membagi tiga macam hasil belajar, yakni (a) ketrampilan dan kebiasaan, (b) pengetahuan dan pengertian, (c) sikap dan cita-cita. Masing-masing jenis hasil belajar dapat diisi dengan bahan yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Gagne dalam Nana Sudjana (2005:22) membagi lima kategori hasil belajar yakni, (a) informasi verbal, (b) ketrampilan intelektual, (c) strategi kognitif, (d) sikap, dan (e) ketrampilan motoris.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah pengusaan serangkaian pengetahuan atau ketrampilan yang diperoleh oleh siswa yang yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor yang berasal dari diri siswa maupun dari luar diri siswa yang diberikan oleh guru. Hal ini didukung oleh Slameto tentang faktor yang mempengaruhi hasil belajar seseorang. Menurut Slameto (2003:54), faktor yang mempengaruhi hasil belajar dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:

1) Faktor Intern yaitu faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar. Faktor intern terbagi ke dalam tiga faktor, yaitu:

a. Faktor jasmaniah, terdiri atas: faktor kesehatan dan faktor cacat tubuh.

b. Faktor psikologis, meliputi: inteligensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, kesiapan.

c. Faktor kelelahan, meliputi: kelelahan jasmani dan kelelahan rohani. 2) Faktor ekstern yaitu faktor yang ada diluar individu. Faktor ekstern

yang berpengaruh terhadap prestasi belajar dapat dikelompokkan menjadi 3 faktor yaitu:

a. Faktor keluarga, seperti: cara orang tua mendidik, relasi antar anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, latar belakang kebudayaan.

b. Faktor sekolah, meliputi: metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran di atas ukuran, keadaan gedung, metode belajar, tugas rumah.

(10)

c. Faktor masyarakat, diantaranya: kegiatan siswa dalam masyarakat teman bergaul, bentuk kehidupan masyarakat.

Jadi, dapat dapat diketahui bahwa hasil belajar seseorang dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Adapun yang termasuk dalam faktor intern meliputi faktor jasmaniah, psikologis dan kelelahan. Sedangkan yang termasuk faktor ekstern antara lain, faktor keluarga, sekolah, dan masyarakat. 2.1.3.2 Pentingnya Hasil Belajar dalam Proses Belajar Mengajar

Dimyati dan mudjiono (2009:200) mengemukakan pentingnya hasil belajar dalam proses belajar mengajar bahwa:

Hasil belajar merupakan proses untuk menentukan nilai belajar siswa melalui kegiatan penilaian dan/atau pengukuran hasil belajar. Dari pengertian ini, maka tujuan utamanya adalah untuk mengetahui tingkat keberhasilan yang dicapai oleh siswa setelah mengikuti suatu kegiatan pembelajaran. Dimana tingkat keberhasilan tersebut kemudian ditandai dengan skala nilai berupa huruf atau kata atau simbol.

Dari pengertian tersebut, hasil belajar merupakan hal yang dianggap penting sebab tujuan utamanya adalah untuk mengetahui tingkat keberhasilan yang dicapai oleh siswa setelah mengikuti suatu kegiatan pembelajaran. Pendapat ini diperkuat oleh Hamdani (2011:300) mengemukakan penilaian atau evaluasi adalah suatu aktivitas yang bermaksud menentukan nilai belajar (baik tidaknya, berhasil tidaknya, memadai tidaknya), belajar meliputi hasil belajar, proses belajar, dan mereka yang terlibat dalam belajar. Berdasarkan uraian diatas dapat dikaji bahwa setelah pembelajaran berlangsung guru mengadakan evaluasi untuk mengatahui tingkat keberhasilan siswa

2.1.3.3 Pengukuran Hasil Belajar

Pengukuran menurut Hamdani (2010:100) adalah suatu upaya atau akti5itas untuk mengetahui pembelajaran sebagaimana adanya, meliputi hasil belajar, proses belajar pembelajaran, mereka yang terlibat dalam belajar (siswa dan guru). Menurut Sudijono (1995:3) pengukuran diartikan sebagai kegiatan untuk mengukur sesuatu yang pada hakikatnya membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Jadi, pada dasarnya pengukuran merupakan suatu upaya mengukur sesuatu atau menilai. Tujuan pengukuran, sebagaimana dikemukakan

(11)

Sudijono (1995:4), terdiri atas tiga macam, yaitu (1) pengukuran yang dilakukan bukan untuk menguji sesuatu; (2) pengukuran untuk menguji sesuatu; (3) pengukuran yang dilakukan untuk menilai. Jadi, salah satu tujuan pngukuran adalah untuk menilai sesuatu yang dalam hal ini adalah hasil belajar.

Sejalan dengan hal di atas, Dimyati dan Mudjiono (2009:200) mengemukakan pengukuran hasil belajar bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan yang dicapai oleh siswa setelah mengikuti suatu kegiatan pembelajaran, dimana tingkat keberhasilan tersebut kemudian ditandai dengan skala nilai berupa huruf atau kata atau simbol. Jadi yang ingin dikaji dalam penilaian belajar sebetulnya adalah tingkat keberhasilan seseorang. Hal ini diperkuat oleh Sudjana (2005:2) menjelaskan tentang kegiatan penilaian yakni suatu tindakan atau kegiatan untuk melihat sejauh mana tujuan-tujuan instruksional telah dicapai atau dikuasai oleh siswa.

Pelajaran IPA menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered HeadsTogether) ini lebih tepat diukur menggunakan tes. Pengukuran hasil belajar dapat ditentukan dengan huruf A, B, C, D, atau E atau rentang nilai 0-10 atau 0-100. Hal ini diperkuat oleh pendapat Hamdani (2010:300) bahwa salah satu cara yang digunakan untuk mengukur yang telah dicapai siswa adalah dengan tes. Kondisi ini memudahkan guru dalam mengetahui hasil belajar siswa. Penguasaan materi oleh siswa melalui kerjasama dalam kelompok menunjukkan bahwa siswa mampu mencapai tujuan yang diharapkan.

2.1.4 Pengertian Model Pembelajaran

Menurut Istarani (2012), model pembelajaran adalah seluruh rangkaian penyajian materi ajar yang meliputi segala aspek sebelum, sedang dan sesudah pembelajaran yang dilakukan guru serta segala fasilitas yang terkait yang digunakan secara langsung atau tidak langsung dalam proses belajar mengajar. Dengan kata lain model pembelajaran merupakan rangkaian penyajian materi pembelajaran dari awal hingga akhir KBM. Joyce & Weil (Rusman:133) berpendapat bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka

(12)

panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain.

Rusman (2012:134) sebelum menentukan model pembelajaran yang akan digunakan dalam kegiatan pembelajaran, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan guru dalam memilihnya, yaitu:

1. Pertimbangan terhadap tujuan yang hendak dicapai. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan adalah:

a. Apakah tujuan pembelajaran yang ingin dicapai berkenaan dengan kompetensi akademik, kepribadian, sosial, dan kompetensi vokasional atau yang dulu diistilahkan dengan domain kognitif, afektif, atau psikomotorik?

b. Bagaimana kompleksitas tujuan pembelajaran yang ingin dicapai? c. Apakah untuk mencapai tujuan itu memerlukan keterampilan

akademik?

2. Pertimbangan yang berhubungan dengan bahan atau materi pembelajaran:

a. Apakah materi pelajaran itu berupa fakta, konsep, hukum atau teori tertentu?

b. Apakah untuk mempelajari materi pembelajaran itu memerlukan prasyarat atau tidak?

c. Apakah tersedia bahan atau sumber-sumber yang relevan untuk mempelajari materi itu?

3. Pertimbangan dari sudut peserta didik atau siswa

a. Apakah model pembelajaran sesuai dengan tingkat kematangan peserta didik?

b. Apakah model pembelajar itu sesuai dengan minat, bakat, dan kondisi peserta didik?

c. Apakah model pembelajaran itu sesuai dengan gaya belajar peserta didik?

4. Pertimbangan lainnya yang bersifat nonteknis

a. Apakah untuk mencapai tujuan hanya cukup dengan satu model saja?

b. Apakah model pembelajaran yang kita tetapkan dianggap satu-satunya model yang dapat digunakan?

c. Apakah model pembelajaran itu memiliki nilai efektivitas atau efisiensi?

Menurut Rusman (2012:136) model pembelajaran mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari para ahli tertentu. 2. Mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu.

3. Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar di kelas.

(13)

4. Memiliki bagian-bagian model yang dinamakan: urutan langkah-langkah pembelajaran (syntax), adanya prinsip-prinsip reaksi, sistem sosial, dan sistem pendukung.

5. Memiliki dampak sebagai akibat terapan model pembelajaran.

6. Membuat persiapan mengajar (desain instruksional) dengan pedoman model pembelajaran yang dipilihnya.

Dari kajian di atas, model pembelajaran merupakan suatu rancangan untuk menyusun perencanaan pembelajaran yang meliputi bahan dan materi dalam proses pembelajaran yang bertujuan untuk menunjang keberhasilan KBM. Dalam memilih model pembelajaran yang tepat hendaknya guru mempertimbangkan berbagai hal, meliputi tujuan yang hendak dicapai, materi ajar, karakteristik siswa serta pertimbangan lain yang bersifat nonteknis.

2.1.5 Model Pembelajaran Kooperatif

2.1.5.1 Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif

Menurut Sanjaya (2011:241) pembelajaran kooperatif merupakan kegiatan belajar siswa yang dilakukan dengan cara berkelompok. Model pembelajaran kelompok adalah rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Pendapat ini didukung oleh Jonhson & Jonhson (Isjoni, 2012:17) Cooperative learning adalah mengelompokkan siswa di dalam kelas ke dalam suatu kelompok kecil agar siswa dapat bekerja sama dengan kemampuan maksimal yang mereka miliki dan mempelajari satu sama lain dalam kelompok tersebut. Sedangkan menurut Isjoni (2012:12) pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya 4-6 orang dengan struktur kelompok heterogen. Jadi, dalam berkelompok siswa diharapkan dapat berinteraksi dan bekerja sama satu sama lain guna mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat dikaji pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang membagi siswa secara berkelompok heterogen dengan jumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompok, setiap siswa

(14)

anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam hal ini, pembelajaran dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran.

Belajar dengan model pembelajaran kooperatif ini dapat diterapkan untuk membentuk keaktifan siswa, berani mengemukakan pendapatnya, menghargai pendapat teman, dan saling memberikan pendapat. Selain itu dalam belajar biasanya siswa dihadapkan pada latihan soal-soal atau pemecahan masalah. Oleh sebab itu, pembelajaran kooperatif sangat baik untuk dilaksanakan karena siswa dapat bekerja sama, saling memberi dan menerima dalam mengatasi tugas yang dihadapinya. Belajar dengan model kooperatif ini tidak hanya unggul dalam membantu siswa memahami konsep yang sulit, tetapi juga sangat berguna untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, bekerja sama, dan membantu teman. Dalam pembelajaran kooperatif, siswa terlibat aktif pada proses pembelajaran sehingga memberikan dampak positif terhadap kualitas interaksi dan komunikasi yang berkualitas, dapat meningkatkan keaktifan siswa dan untuk meningkatkan hasil belajarnya.

2.1.5.2 Unsur-unsur Model Pembelajaran Kooperatif

Roger dan David Johnson (Suprijono, 2009:58) mengemukakan bahwa terdapat lima unsur dalam pembelajaran kooperatif, antara lain:

1. Positif interdependence (saling ketergantungan positif). 2. Personal responsibility (tanggung jawab perseorangan). 3. Face to face promotive interaction (interaksi promotif). 4. Interpersonal skill (komunikasi antaranggota).

5. Group processing (pemrosesan kelompok).

Unsur-unsur dalam pembelajaran kooperatif menurut Hamdani (2010:30) sebagai berikut .

1. Para siswa harus memiliki persepsi bahwa “tenggelam atau berenang sama”.

2. Para siswa harus memiliki tanggung jawab terhadap siswa atau peserta didik lain dalam kelompoknya, selain tanggung jawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari materi yang dihadapi.

3. Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan yang sama.

4. Para siswa membagi tugas dan berbagi tanggung jawab diantara para anggota kelompok.

(15)

5. Para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi kelompok.

6. Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh ketrampilan bekerja sama selama belajar.

7. Setiap siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.

Thompson (Isjoni, 2012:14) mengemukakan, pembelajaran kooperatif turut menambah unsur-unsur interaksi sosial pada pembelajaran. Pembelajaran kooperatif siswa belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil yang saling membantu satu sama lain. Kelas disusun dalam kelompok yang terdiri dari campuran kemampuan siswa, jenis kelamin, dan suku. Hal ini bermanfaat untuk melatih siswa menerima perbedaan dan bekerja dengan tman yang berbeda latar belakangnya.

Pembelajaran kooperatif yang diajarkan adalah ketrampilan-ketrampilan khusus agar dapat bekerja sama dengan baik di dalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar yang baik, siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk diajarkan. Selama kerja kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan.

Ketrampilan kooperatif ini berfungsi untuk melancarkan hubungan, kerja dan tugas. Peranan hubungan kerja dapat dibangun dengan mengembangkan komunikasi antar anggota kelompok, sedangkan peranan tugas dilakukan dengan membagi tugas antar anggota kelompok selama kegiatan. Masing-masing anggota kelompok sedapat mungkin berperan dan ikut andil bagian yang sama dalam anggota kelompoknya.

Menurut Rusman (2012:211) terdapat enam fase atau langkah utama dalam pembelajaran kooperatif. Keenam fase pembelajaran kooperatif dirangkum dalam tabel sebagai berikut.

(16)

Tabel 2

Langkah-Langkah Model Pembelajaran Kooperatif Menurut Rusman

Fase Tingkah Laku Guru

Fase 1

Menyampaiakan tujuan dan memotivasi siswa

Guru menyampaikan tujuan pelajaran yang akan dicapai pada kegiatan pelajaran dan menekankan pentingnya topik yang dipelajari dan memotivasi siswa belajar. Fase 2

Menyajikan informasi

Guru menyajikan informasi atau materi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau melalui bahan bacaan .

Fase 3

Mengorganisasikan siswa dalam kelompok-kelompok belajar

Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membimbing setiap kelompok agar melakukan transisi secara efektif dan efisien.

Fase 4

Membimbing kelompok bekerja dan belajar

Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakkan tugas mereka.

Fase 5 Evaluasi

Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.

Fase 6 Memberikan penghargaan

Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun belajar individu dan kelompok.

2.1.5.3 Pentingnya Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif memiliki peranan yang penting dalan proses KBM. Hal ini didukung oleh teori Vygotsky (Suprijono, 2009:55) yang meletakkan arti penting model pembelajaran kooperatif. Konstruktivisme sosial Vygotsky menekankan bahwa pengetahuan dibangun dan dikonstruksi secara mutual. Peserta didik berada dalam konteks sosiohistoris. Keterlibatan dengan orang lain membuka kesempatan bagi mereka mengevaluasi dan memperbaiki pemahaman. Jadi dengan bekerja kelompok akan lebih baik dalam pembentukan konsep pengetahuan. Pendapat ini juga diperkuat Lie (2012:56), model pembelajaran kooperatif didasarkan pada homo homini socius (menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial) temasuk dalam penemuan dan

(17)

mempelajari ilmu pengetahuan. Jadi dengan bekerja kelompok akan lebih baik dalam pembentukan konsep pengetahuan. Hal ini didukung oleh Hamdani (2010:31) yang mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif bermanfaat untuk melatih siswa menerima perbedaan cara bekerja dengan teman yang berbeda latar belakangnya.

2.1.5.4 Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Kooperatif

Menurut Sanjaya (2011:249) kelebihan dalam pembelajaran kooperatif antara lain adalah sebagai berikut.

1) Melalui pembelajaran kooperatif siswa tidak terlalu menggantungkan pada guru, akan tetapi dapat menambah kepercayaan kemampuan berpikir sendiri, menemukan informasi dari berbagai sumber, dan belajar dari siswa yang lain.

2) Dapat mengembangkan kemampuan mengungkapkan idea atau gagasan dengan kata secara verbal dan membandingkannya dengan ide-ide orang lain.

3) Membantu anak untuk respek pada orang lain dan menyadari akan segala keterbatasannya serta menrima segala perbedaan.

4) Dapat membantu memberdayakan setiap siswa untuk lebih bertanggung jawab dalam belajar.

5) Pembelajaran kooperatif ampuh untuk meningkatkan prestasi akademik sekkaligus kemampuan sosial, termasuk mengembangkan rasa harga diri, hubungan interpersonal yang positif dengan yang lain, mengembangkan ketrampilan me-manage waktu dan sikap positif terhadap sekolah.

6) Mengembangkan kemampuan siswa untuk menguji ide dan pemahaman sendiri, menerima umpan balik.

7) Meningkatkan kemampuan siswa menggunakan informasi dan kemampuan belajar abstrak menjadi riil.

8) Interaksi selama kooperatif berlangsung dapat meningkatkan motivasi dan memberikan rangsangan untuk berpikir.

Selain mempunyai kelebihan, pembelajaran kooperatif juga mempunyai kelemahan yang harus dihindari, yakni adanya anggota kelompok yang tidak aktif. Ini dapat terjadi jika hanya ada satu permasalahan saja. Kelemahan ini dapat dihindari dengan cara 1) Masing-masing anggota kelompok bertanggung jawab pada bagian-bagian tertentu dari permasalahan kelompok. 2) Masing-masing kelompok harus mempelajari materi secara keseluruhan. Hal ini karena hasil kelompok ditentukan oleh skor perkembangan masing-masing individu.

(18)

2.1.6 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT (Numbered Heads

Together)

2.1.6.1 Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT (Numbered

Heads Together)

Model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads Together) merupakan salah satu jenis dari metode dalam pembelajaran kooperatif. Metode ini dikembangkan oleh Spencer Kagan pada tahun 1992. Teknik ini memberikan kesempatan pada siswa untuk saling membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat. Selain itu, tehnik ini mendorong siswa untuk meningkatkan semangat kerjasama mereka (Lie, 2002:59). Numbered Heads Together adalah suatu model belajar dimana setiap siswa diberi nomor kemudian dibuat suatu kelompok, lalu secara acak guru memanggil nomor siswa (Ahmad Zuhdi F, 2010:64). Sedangkan menurut Trianto (2007:62) Numbered Heads Together atau penomoran berfikir bersama adalah merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan sebagai alternatif terhadap struktur tradisional.

Ibrahim (2005:67) mengemukakan tiga tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran kooperatif dengan tipe NHT (Numbered Heads Together) yaitu:

a) Hasil belajar akademik struktural bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik.

b) Pengakuan adanya keragaman, bertujuan agar siswa dapat menerima teman-temannya yang mempunyai berbagai latar belakang.

c) Pengembangan keterampilan sosial, bertujuan untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa. Keterampilan yang dimaksud adalah berbagai tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, mau menjelaskan ide tau gagasan, bekerja dalam kelompok dan sebagainya.

Model pembelajaran ini lebih mengedepankan kepada aktivitas siswa dalam mencari, mengolah dan melaporkan informasi dari berbagai sumber yang pada akhirnya dipresentasikan di depan kelas. Keterlibatan seluruh anggota kelompok dalam memecahkan soal yang ada memungkinkan NHT (Numbered Heads Together) dapat meningkatkan hasil belajar IPA yang disajikan.

(19)

2.1.6.2 Langkah-Langkah Umum

Langkah-langkah pembelajaran NHT (Numbered Heads Together) menurut Hamdani (2011:89) adalah sebagai berikut.

(1) Siswa dibagi dalam beberapa kelompok, setiap siswa dalam anggota kelompok mendapat nomor.

(2) Guru memberikan tugas dan tiap-tiap kelompok disuruh untuk mengerjakannya.

(3) Setiap kelompok mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan bahwa setiap anggota kelompok dapat mengerjakannya/ mengetahui jawabannya.

(4) Guru memanggil salah satu nomor siswa untuk melaporkan hasil kerja sama mereka dalam kelompok.

(5) Siswa lain diminta untuk memberi tanggapan terhadap apa yang disampaikan oleh siswa yang maju.

(6) Demikian untuk selanjutnya guru menunjuk nomor lain untuk maju. (7) Guru bersama siswa membuat kesimpulan.

Sedangkan langkah-langkah pembelajaran NHT menurut Suprijono (2009:92) adalah sebagai berikut.

Pembelajaran diawali dengan numbering. Selanjutnya guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil. Tiap siswa dalam kelompok diberi nomor. Guru mengajukan beberapa tugas atau pertanyaan. Guru memberi kesempatan pada tiap kelompok untuk memecahkan. Lalu tiap-tiap kelompok berdiskusi menyatukan pendapat. Langkah berikutnya adalah guru memanggil siswa yang memiliki nomor yang sama dari tiap kelompok. Mereka diberi kesempatan untuk menjawab pertanyaan dari guru secara bergantian. Berdasarkan jawaban para siswa tersebut guru mengembangkan diskusi lebih mendalam sehingga siswa mampu menemukan pengetahuan yang utuh.

Dari pendapat Hamdani dan Isjoni di atas, peneliti menyimpulkan langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads Together) sebagai berikut.

Langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads Together)

1. Pembentukan kelompok secara heterogen. 2. Membagikan nomor pada masing-masing siswa.

(20)

4. Siswa berdiskusi menyatukan pendapat dari tugas atau pertanyaan yang diberikan oleh guru.

5. Siswa yang sudah mampu mengajari siswa yang mengalami kesulitan dalam menjaab pertanyaan sehingga semua siswa menguasai jawaban.

6. Guru memanggil nomor siswa secara acak untuk melaporkan hasil diskusi. 7. Siswa lain bisa menyatakan persetujuan atau sanggahan terhadap jawaban

teman yang menjawab.

8. Guru dan siswa melakukan tanya jawab lebih lanjut dalam pembahasan jawaban pertanyaan.

9. Guru dan siswa mampu menarik simpulan untuk menemukan pengetahuan baru yang utuh.

2.1.6.3 Kelebihan dan Kelemahan

Kelebihan dan Kelemahan NHT (Numbered Heads Together) menurut Hamdani (2010:90)

Kelebihan model pembelajaran NHT (Numbered Heads Together) adalah : 1. Mampu menciptakan suasana belajar aktif dan menyenangkan.

2. Setiap siswa menjadi siap untuk maju.

3. Siswa dapat melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh. 4. Siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang kurang mampu.

Kekurangan model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads Together) adalah :

1. Kemungkinan nomor yang dipanggil akan dipanggil lagi oleh guru. 2. Tidak semua anggota kelompok dipanggil oleh guru.

Jadi pembelajaran kooperatif tipe NHT mempunyai kelebihan dan kelemahan. Kelemahan yang yang ada dalam pembelajaran ini dapat diminimalkan melalui kreativitas dan kecermatan guru dalam proses KBM.

2.2 Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif dalam PBM Sesuai

Standar Proses

Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang dikemas berdasar prosedur yang tepat dan sesuai. Sebelum kegiatan dilaksanakan langkah awal ialah membuat perencanaan berupa RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran).

(21)

Setiap guru pada satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan baka, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. RPP disusun untuk setiap KD yang dapat dilaksanakan dalam satu kali pertemuan atau lebih. Guru merancang penggalan RPP untuk setiap pertemuan yang disesuaikan dengan penjadwalan di satuan pendidikan, (Permendiknas No 41, 2007).

(1) Kegiatan Pendahuluan

Pendahuluan merupakan kegiatan awal dalam suatu pertemuan pembelajaran yang ditujukan untuk membangkitkan motivasi dan memfokuskan perhatian peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran (BSNP No 41, 2007). (2) Kegiatan Inti

Sesuai BSNP No 14 Tahun 2007 bahwa kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD (Kompetensi Dasar). Kegiatan pembelajaran dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan ini dilakukan secara sistematis dan sistemik melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. (3) Kegiatan Akhir

Penutup merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengakhiri aktivitas pembelajaran yang dapat dilakukan dalam bentuk rangkuman atau kesimpulan, penilaian dan refleksi, umpan balik, dan tindak lanjut (BSNP No 41, 2007). Pelaksanaan pembelajaran merupakan implementasi dari RRP. Pelaksanaan pembelajaran sesuai standar proses dapat disajikan sebagai berikut.

1. Kegiatan Pendahuluan

a) Menyiapkan siswa baik secara psikis dengan bertanya, ”Sudah siap hari ini?” dan menyiapkan fisik siswa dengan cara memeriksa sikap duduk

(22)

siswa dalam menerima pelajaran, memeriksa buku-buku pelajaran dan alat tulis yang diperlukan.

b) Mengajukan pertanyaan untuk mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari.

c) Untuk membangkitkan minat siswa guru mengajak siswa bernyayi bersama agar tercipta suasana yang menyenangkan.

d) Menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai setelah mempelajari materi.

e) Menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai dengan silabus.

f) Memberikan penjelasan tentang model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads Together).

g) Guru melakukan apersepsi guna menggali konsep dan pengetahuan yang telah dimiliki siswa tentang materi yang akan dipelajari.

2. Kegiatan Inti Eksplorasi

a) Guru menyajikan materi secara umum sebagai pengantar kepada siswa. b) Guru menunjukkan gambar-gambar yang berkaitan dengan materi yang

disampaikan.

c) Guru membagi siswa menjadi enam kelompok, lalu mebagikan nomor pada setiap siswa.

d) Setiap siswa mengenakan nomor yang telah dibagikan guru. e) Guru membagikan lembar kerja pada masing-masing kelompok. Elaborasi

a) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berdiskusi secara kelompok membahas lembar kerja untuk membangun dan menemukan pengetahuan baru.

b) Setiap siswa berusaha mengerjakan lembar kerja kelompok.

c) Siswa yang sudah mampu mengajari siswa yang kurang memahami jawaban.

(23)

d) Guru menunjuk nomor secara acak dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyampaikan jawaban di depan kelas berdasarkan pengetahuan baru yang mereka peroleh dari diskusi.

e) Guru memberikan kesempatan kepada siswa lain untuk menyanggah atau memberi penilaian terhadap jawaban temannya yang di depan.

f) Memberi kesempatan pada siswa yang di depan untuk mempertahankan atau mengubah jawaban.

g) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkompetisi secara sehat melalui gagasan dan argumentasi yang dimiliki melalui adu pendapat yang dimiliki.

Konfirmasi

a) Guru memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan misalnya ucapan ”Bagus sekali!” atau penghargaan lain, misalnya gambar bintang, bahkan hadiah bagi siswa yang berhasil menjawab dengan baik ataupun bagi siswa yang telah berani menyampaikan gagasan meskipun jawaban kurang tepat.

b) Guru memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi siswa berupa jawaban yang diberikan siswa.

c) Guru dan siswa membuat ringkasan tentang materi yang telah dipelajari. d) Guru memberi motivasi pada siswa yang belum berpartisipasi aktif dalam

kegiatan pembelajaran. 3. Kegiatan Penutup

a) Siswa membuat ringkasan tentang materi yang telah dipelajari bersama. b) Guru memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran. c) Guru memberikan soal evaluasi pada siswa.

d) Guru memberikan tindak lanjut berupa tugas untuk dikerjakan siswa di rumah dan akan dibahas atau dikumpulkan pada pertemuan berikutnya. e) Guru menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.

Langkah-langkah pembelajaran di atas telah menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads Together) yang nantinya

(24)

akan digunakan peneliti sebagai acuan dalam proses belajar mengajar. Dalam proses KBM, siswa berjalan secara aktif dalam menjawab dan menyampaikan idea tau gagasan. Kegiatan yang diciptakan guru ini merupakan salah satu upaya untuk menumbuhkan antusiasme siswa dalam mengikuti proses pembelajaran. Hal ini sejalan dengan tuntutan kurikulum KTSP 2006 bahwa pelaksanaan proses pembelajaran mengikuti standar kompetensi, yaitu berpusat pada siswa, mengembangkan keingintahuan dan imajinasi, memiliki sikap mandiri, bekerjasama dan kompetensi; menciptakan kondisi yang menyenangkan, mengembangkan beragam kemampuan dan pengalaman belajar; karakteristik mata pelajaran.

2.3 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

Beberapa penelitian yang telah dilakukan, membuktikan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads Together) dapat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Salah satu penelitian yang membuktikan hal tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Matias Eko Prihatiyanto (2010). Penelitian yang dilakukan oleh Matias Eko Prihatiyanto ini berjenis penelitian quasi eksperimen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat meningkatkan prestasi belajar IPA siswa kelas IV SD Negeri Sruweng 02 Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang semester II tahun pelajaran 2010/2011. Hal ini dibuktikan dengan hasil F hitung levene test sebesar 0,414 dengan probabilitas 0,525>0,05 nilai t adalah 2,398 dengan probabilitas signifikan 0,023<0,05. Selain itu, pada penelitian ini juga menunjukan siswa kelas IV SD yang diajar menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT lebih baik hasilnya dibandingkan siswa yang diajar menggunakan pembelajaran konvensional.

Penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Rima Chandra Novitasari (2011). Penelitian ini berjenis PTK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada peningkatan ketuntasan belajar siswa yakni dari 65,6% sebelum siklus, meningkat menjadi 71,8% pada siklus I dan 100% pada siklus II. Terjadi peningkatan rata-rata kelas dari 66,25 sebelum

(25)

tindakan meningkat menjadi 70,31 pada siklus satu dan 82,18% pada siklus II. Peningkatan skor minimal dari 40 pada sebelum siklus menjadi 50 pada siklus I dan menjadi 70 pada siklus II. Peningkatan skor maksimal dari 90 pada sebelum tindakan tetap pada siklus I sebesar 100 dan menjadi 100 pada siklus II. Hasil penelitian Rima Chandra Novitasari menunjukan bahwa penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Dengan kata lain penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads Together) dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Christiana Sumarti (2012). Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah terjadi peningkatan keaktifan dan hasil belajar siswa. Hal ini dibuktikan dengan peningkatan nilai pada tiap siklusnya. Pada siklus I nilai rata-rata hasil tes 71,1 dengan ketuntasan belajar 63 %, siklus II nilai rata-rata hasil tes 82,1 dengan ketuntasan belajar 89%. Untuk akti5itas siswa pada siklus satu 79 %, sedangkan siklus II 91%. Hal ini sudah diatas indikator keberhasilan yang diharapkan, sehingga tujuan penelitian telah tercapai.

Yuni Winarti (2012) juga telah melakukan penelitian dan diperoleh hasil bahwa penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa SD Negeri Banyumudal 2 Kabupaten Wonosobo semester II, tahun ajaran 2011/2012. Berdasarkan analisis data diperoleh peningkatan keaktifan dan hasil belajar siswa. Peningkatan hasil belajar yang dapat dilihat pada ketuntasan pada siklus I dan siklus II. Peneliti memberikan patokan KKM = 65. Pada siklus I, sebanyak 17 siswa atau 53,13% tuntas, dan sebanyak 15 siswa atau 46,87 % belum tuntas. Nilai rata-ratanya adalah 66,25, dengan nilai terendah 52, sedangkan nilai tertingginya adalah 88. Pada siklus II siswa yang mencapai KKM sebanyak 32 siswa atau 100%. Nilai rata-ratanya adalah 79,75, dengan nilai terendah 68 dan nilai tertinggi adalah 100. Dengan kata lain, peneliti telah berhasil menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads Together) untuk meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa.

(26)

Berdasarkan beberapa kajian penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa, pada dasarnya pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads Together) dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Persamaan beberapa penelitian di atas dengan penelitian ini adalah sama-sama menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads Together) untuk meningkatkan hasil belajar. Hanya saja pada penelitian ini, tidak hanya hasil belajar saja yang diharapkan dapat meningkat, melainkan juga keaktifan siswa. Hal ini dikarenakan pada proses pembelajaran tidak hanya hasil belajar saja yang hendak dicapai, namun juga keaktifan siswa pada saat mengikuti proses pembelajaran melalui pemberian nomor dan penunjukan siswa secara acak. Dengan adanya kegiatan tersebut diharapkan model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads Together) dapat meningkatkan keaktifan sekaligus hasil belajar siswa.

2.4 Kerangka Berpikir

NHT (Numbered Heads Together) merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif yang menghadirkan pembelajaran yang menarik dan menantang bagi siswa untuk menyelesaikan masalah dan menarik simpulan terhadap suatu materi. Pembelajaran ini membentuk siswa dalam beberapa kelompok, lalu membagi nomor kartu pada masing-masing siswa. Selanjutnya guru akan membagikan soal pada masing-masing kelompok. Guru memanggil siswa secara acak melalui nomor yang dikenakan masing-masing siswa. Siswa yang ditunjuk nomornya mempresentasikan jawaban kelompok di pepan kelas. Situasi ini mau tidak mau membuat semua siswa siap jika sewaktu-waktu nomornya dipanggil oleh guru. Di samping itu, pembelajaran menggunakan NHT ini melatih siswa untuk berpikir logis, cepat dan tepat serta sistematis dalam menjawab pertanyaan maupun sanggahan baik dari guru maupun teman. Dalam hal ini, keaktifan sangat dibutuhkan siswa dalam menjawab dan mengemukakan pendapat mereka. Pembelajaran akan berjalan dengan maksimal sebab pada pembelajaran ini, siswa lebih aktif bertanya maupun menjawab. Kondisi yang demikian memungkinkan meningkatnya keaktifan dan hasil belajar siswa.

(27)

2.5 Hipotesis Tindakan

Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir yang diuraikan, dapat diajukan hipotesis tindakan sebagai berikut.

1. Diduga penerapan model pemebelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads Together) dapat meningkatkan keaktifan siswa pada mata pelajaran IPA kelas 5 SD Negeri Penawangan 01, Kecamatan Pringapus, Kabupaten Semarang semester II tahun pelajaran 2012/2013.

2. Diduga dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads Together) dapat meningkatkan hasil belajar mata pelajaran IPA siswa pad kelas 5 SD Negeri Penawangan 01, Kecamatan Pringapus, Kabupaten Semarang semester II tahun pelajaran 2012/2013.

3. Diduga dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads Together) dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa mata pelajaran IPA siswa kelas 5 SD Negeri Penawangan 01, Kecamatan Pringapus, Kabupaten Semarang semester II tahun pelajaran 2012/2013.

Referensi

Dokumen terkait

Kesiapan belajar atau masa peka dapat juga disebut dengan istilah masa kritis yakni suatu masa perkembangan anak yang menunjukan sifat sangat kuat atau siap menerima

dalam metode Accelerated Learning yang meliputi; siswa dikondisikan untuk siap belajar, menuntut keaktifan siswa dalam membangun pemahamannya terhadap materi yang diberikan

Penerimaan diri adalah sikap yang mencerminkan perasaan senang sehubungan dengan kenyataan yang ada pada dirinya, sehingga sesorang dapat menerima dirinya dengan

keaktifan siswa dalam pembelajaran memiliki bentuk yang beraneka ragam, dari kegiatan fisik yang mudah diamati sampai kegiatan psikis yang sulit diamati. Kegiatan fisik

a) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran. b) Guru mengatur tempat duduk siswa. d) Materi pelajaran diberikan kepada siswa dalam bentuk teks yang telah dibagi-bagi

Dukungan suami yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dukungan psikologis yang diberikan suami terhadap isteri baik secara fisik maupun psikis dimana suami ada pada

Kegiatan Pendahuluan 1 Guru memberi salam greeting; 2 Guru memeriksa kehadiran siswa; 3 Guru menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses

Kegiatan Pendahuluan 1 Guru memberi salam greeting; 2 Guru memeriksa kehadiran siswa; 3 Guru menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses