• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR GAYA HIDUP DALAM HUBUNGANNYA DENGAN RISIKO KEGEMUKAN ORANG DEWASA DI PROVINSI SULAWESI UTARA, DKI JAKARTA, DAN GORONTALO WARDINA HUMAYRAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FAKTOR GAYA HIDUP DALAM HUBUNGANNYA DENGAN RISIKO KEGEMUKAN ORANG DEWASA DI PROVINSI SULAWESI UTARA, DKI JAKARTA, DAN GORONTALO WARDINA HUMAYRAH"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

WARDINA HUMAYRAH

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

(2)

FAKTOR GAYA HIDUP DALAM HUBUNGANNYA DENGAN

RISIKO KEGEMUKAN ORANG DEWASA DI PROVINSI

SULAWESI UTARA, DKI JAKARTA, DAN GORONTALO

WARDINA HUMAYRAH

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

(3)

ABSTRACT

WARDINA HUMAYRAH. Relationship between Lifestyle and Risk Factors of Adult Obesity in Sulawesi Utara, DKI Jakarta, and Gorontalo. Supervised by HARDINSYAH, YAYAT HERYATNO, and NURFI AFRIANSYAH.

The prevalence of obesity has increased rapidly in developing countries across all population groups especially on adult. Life styles modification take important role for that. The result of Basic Health National Survey (Riskesdas) 2007 on adult in Indonesia showed that the prevalence of obesity on adult in Sulawesi Utara (33.2%), DKI Jakarta (26.9%), and Gorontalo (26.3%) was the highest in Indonesia. This study is purposing to analyse relathionships between lifestyle and obesity risk factors in Sulawesi Utara, DKI Jakarta, and Gorontalo. Design of the study is cross sectional according to Riskesdas 2007 design. Obesity clasiffication is determined by Body Mass Index (BMI) which is obesity (overweight and obese) is defined as BMI ≥25.00 and non-obesity is defined as BMI <25.00. Logistic regression analyses are carried out to determine the odds ratio of obesity across the whole characteristics. Result show that female, city area, revenue expenditure quintil 3 to 5, marriage, age ≥ 20 y can be enhance obesity risk factors on adults in three provinces. Beside that, less of physical activities as bad lifestyle can increase obesity risk factor undirectly. This implies that physical activities promotion is necessary to do at an early age for preventing obesity.

(4)

RINGKASAN

WARDINA HUMAYRAH. Faktor Gaya Hidup dalam Hubungannya dengan Risiko Kegemukan Orang Dewasa di Provinsi Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan Gorontalo (dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS, Yayat Heryatno, SP, MPS., dan Nurfi Afriansyah, SKM, MScPH)

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis gaya hidup dan pengaruhnya terhadap kegemukan orang dewasa di provinsi DKI Jakarta, Sulawesi Utara, dan Gorontalo. Tujuan khusus penelitian ini antara lain: (1) mengetahui karakteristik demografi dan sosio-ekonomi, perilaku konsumsi, aktivitas fisik, dan kondisi mental emosional orang dewasa; (2) mengetahui profil kegemukan orang dewasa; (3) menganalisis hubungan karakteristik demografi dan sosio-ekonomi, perilaku konsumsi, aktivitas fisik, dan kondisi mental emosional terhadap kegemukan orang dewasa; dan (4) mengetahui faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap risiko kegemukan orang dewasa.

Desain penelitian ini secara keseluruhan mengacu pada desain Riskesdas 2007 yang menggunakan desain cross sectional study. Pengumpulan data survei Riskesdas dilakukan awal Agustus 2007 hingga Januari 2008. Pengolahan, analisis dan interpretasi data dilakukan pada bulan Mei-Juni 2009 di Kampus IPB Darmaga Bogor, Jawa Barat. Pemilihan wilayah penelitian dilakukan secara purposive yaitu sampel yang berasal dari provinsi Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan Gorontalo karena merupakan 3 provinsi dengan prevalensi kegemukan tertinggi di Indonesia berdasarkan hasil survei Riskesdas tahun 2007. Kriteria inklusi sampel pada penelitian ini memperhatikan adalah orang dewasa terdiri dari jenis kelamin pria dan wanita yang dikategorikan berusia 15 tahun ke atas sesuai ketentuan Riskesdas tahun 2007. Setelah proses editing dan cleaning pada penelitian ini data jumlah sampel akhir menjadi 11 411 jiwa pada provinsi DKI Jakarta, 9 646 jiwa pada provinsi Sulawesi Utara, dan 6 922 jiwa pada provinsi Gorontalo. Jenis data yang dianalisis adalah data sekunder hasil kuesioner individu mewakili: jenis kelamin, umur, tinggi badan, berat badan, status perkawinan, wilayah tinggal, pendidikan, pekerjaan, pengeluaran per kapita, dan besar keluarga perilaku aktivitas fisik berat, perilaku konsumsi (kebiasaan merokok, minum alkohol, konsumsi sayur dan buah, konsumsi makanan manis, berlemak, dan jeroan), dan gangguan mental emosional. Data yang diperoleh dan terkumpul kemudian dianalisis menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2003 dan SPSS 13.0 for Windows. Analisis yang dilakukan berupa analisis univariat, bivariat, dan multivariat.

Prevalensi kegemukan tertinggi berdasarkan karakteristik demografi terdapat pada sampel berumur 45-54 tahun (DKI Jakarta dan Gorontalo) dan berumur 35-44 tahun (Sulawesi Utara); serta berstatus menikah, perempuan, berjumlah anggota keluarga 3-4 orang di ketiga provinsi. Prevalensi kegemukan tertinggi berdasarkan keadaan sosial-ekonomi di ketiga provinsi terjadi di perkotaan, berpengeluaran rumah tangga pada kuintil 5, berpendidikan rendah di DKI Jakarta dan berpendidikan tinggi di Sulawesi Utara dan Gorontalo serta bekerja sebagai ibu rumah tangga (DKI Jakarta dan Gorontalo) dan pegawai (Sulawesi Utara). Kemudian, prevalensi kegemukan tertinggi terjadi pada sampel mantan perokok (DKI Jakarta dan Sulawesi Utara) dan bukan perokok (Gorontalo); tidak minum alkohol, sering mengonsumsi makanan berlemak, dan tidak terbiasa beraktivitas fisik berat di ketiga provinsi; sering (Sulawesi Utara dan Gorontalo) dan jarang mengonsumsi jeroan (DKI Jakarta); terganggu mental emosional (DKI Jakarta) dan tidak terganggu mental emosional (Sulawesi Utara dan Gorontalo).

(5)

Berdasarkan uji kemaknaan korelasi Spearman, umur (+),pendidikan (+), pekerjaan (+), pengeluaran rumah tangga (+), besar keluarga (-), dan kebiasaan merokok (-) berhubungan nyata (p<0.05) dengan kegemukan di ketiga provinsi. Kebiasaan konsumsi makanan manis (-) berhubungan nyata dengan kegemukan di Sulawesi Utara dan tidak berhubungan nyata di DKI Jakarta dan Gorontalo. Kebiasaan makanan berlemak (+) berhubungan nyata di Sulawesi Utara dan tidak berhubungan nyata di DKI Jakarta dan Gorontalo. Kemudian kebiasaan konsumsi jeroan berhubungan nyata di DKI Jakarta (hubungan negatif) dan di Sulawesi Utara (hubungan positif) namun tidak berhubungan nyata di Gorontalo. Berdasarkan uji kemaknaan chi-square, jenis kelamin (OR=1.714), status kawin (OR=3.786), wilayah (OR=1.760), konsumsi sayuran dan buah (OR=1.164), minum minuman beralkohol (OR=0.852), aktivitas fisik berat (OR=1.469) berhubungan nyata (p<0.05) dengan kejadian kegemukan sampel di Sulawesi Utara. Kemudian di Gorontalo jenis kelamin (OR=1.591), status kawin (OR=4.311), wilayah (OR=1.758), minum minuman beralkohol (OR=0.523), aktivitas fisik berat (OR=1.124) berhubungan nyata (p<0.05) dengan kegemukan sampel. Berbeda dengan DKI Jakarta, jenis kelamin (OR=2.129), status kawin (4.163), konsumsi sayuran dan buah (OR=0.820), minuman beralkohol (OR=0.703), aktivitas fisik berat (OR=1.576) dan kondisi mental emosional (OR=1.261) berhubungan nyata (p<0.05) namun faktor wilayah tidak dapat dibandingkan.

Faktor-faktor kegemukan yang paling berisiko di ketiga provinsi berbeda pada masing-masing. Faktor pemicu risiko kegemukan di Sulawesi Utara antara lain: perempuan, pendidikan SD dan SLTP dan pendidikan SLTA dan Perguruan Tinggi, tidak terbiasa beraktivitas fisik berat, wilayah perkotaan, pengeluaran rumah tangga (kuintil 3 s.d. 5), status menikah, umur 20-39 tahun, umur 40-59 tahun, dan umur 60 tahun ke atas. Faktor pemicu risiko kegemukan di DKI Jakarta antara lain: perempuan, mental emosional terganggu, konsumsi makanan berlemak sering, pengeluaran rumah tangga (kuintil 3 s.d. 5), status menikah, umur 20-39 tahun, umur 40-59 tahun, dan umur 60 tahun ke atas, dan mantan perokok. Kemudian faktor pemicu risiko kegemukan di Gorontalo adalah perempuan, pendidikan SD dan SLTP, pendidikan SLTA dan Perguruan Tinggi, tidak terbiasa beraktivitas fisik berat, wilayah perkotaan, pengeluaran rumah tangga (kuintil 3 s.d. 5), status menikah, umur 20-39 tahun, umur 40-59 tahun, dan umur 60 tahun ke atas.

Dibutuhkan penelitian lanjut secara spesifik mengenai jenis, kuantitas, dan frekuensi konsumsi minuman beralkohol, rokok, makanan manis, makanan berlemak, dan jeroan terhadap kegemukan. Perempuan dan seseorang yang sudah menikah, berusia 40 tahun ke atas dan tinggal di perkotaan diharapkan lebih waspada terhadap kegemukan. Upaya peningkatan pengetahuan dan kesadaran gizi perlu dipromosikan guna mencegah kegemukan. Sebaiknya membiasakan gaya hidup sehat yang dimulai sejak dini. Kurangi stress dan konsumsi makanan berlemak, perbanyak konsumsi sayuran dan buah, serta lakukan aktivitas fisik berat/olahraga secara rutin. Anjuran WHO tahun 2005 untuk tindakan preventif kegemukan pada orang dewasa adalah melakukan aktivitas fisik berat/olahraga rutin minimal 60 menit minimal 5 kali dalam seminggu. Dan aktivitas fisik yang praktis dilakukan antara lain: bersepeda menuju kantor (sedang tren), naik-turun tangga tanpa lift, jalan kaki beberapa kilo pada saat berangkat atau pulang kantor, dan sebagainya. Sedangkan konsumsi sayuran dan buah yang dapat mencegah kegemukan dan dianjurkan Depkes (2007) Menurut Depkes, cukup konsumsi sayur dan buah lebih dari 5 porsi/hari selama 7 hari dalam seminggu atau menurut Almatsier (2005) konsumsi serat per hari yang baik adalah 25 gram/hari.

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : FAKTOR GAYA HIDUP DALAM HUBUNGANNYA DENGAN RISIKO KEGEMUKAN ORANG DEWASA DI PROVINSI SULAWESI UTARA, DKI JAKARTA, DAN GORONTALO Nama : Wardina Humayrah

NRP : I14051692

Pembimbing I

Prof.Dr.Ir. Hardinsyah, MS) NIP. 1959 0807 198303 1 001

Pembimbing II Pembimbing III

(Yayat Heryatno, SP, MPS) (Nurfi Afriansyah, SKM, MScPH) NIP. 1959 0807 198303 1 001 NIP. 1964 0424 1989 031002

Menyetujui,

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

(Dr. Evy Damayanthi, MS) NIP.1962 1204 198903 2 002

(7)

PRAKATA

Bismillahirahmanirahim.

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas nikmat sehat dan karunia-Nya yang telah diberikan sehingga skripsi yang berjudul “Faktor Gaya Hidup dalam Hubungannya dengan Risiko Kegemukan Orang Dewasa di Provinsi Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan Gorontalo” dapat terselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan atas semua keikhlasan bantuan yang diberikan kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS., Yayat Heryatno, SP, MPS, dan Nurfi Afriansyah, SKM, MScPH selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan, arahan, dan solusi untuk setiap permasalahan dalam proses penyusunan skripsi ini.

2. dr. Yekti Hartati Effendi selaku dosen pemandu seminar dan Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M. Si. sebagai dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran membangun untuk skripsi ini.

3. Balitbangkes Depkes RI, yang telah memberikan izin penggunaan data Riskesdas.

4. Ayahanda dan Ibunda tercinta, Adik-adikku (Thoriqurrizqi dan Yasmin Nabila), serta keluarga besar yang selalu memberikan kasih sayang, do’a, dan perhatian kepada penulis.

5. Elya, Farida, Agnita, Mita, Mba Listiana dan Mba Nur atas segala motivasi dan dukungan serta kerjasama yang diberikan kepada penulis.

6. Sahabat dan teman-teman GMSK (40, 41), GM (42, 43, 44); teman-teman kostan Bateng 23, Sina dan teman-teman kontrakannya, teman-teman kepanitiaan/organisasi HIMAGIZI, BKG, dan EMULSI, serta teman-teman FEMA.

7. Guru, sahabat dan teman-teman alumni SDN 11 Petang Jakarta, alumni SLTP 252 Jakarta, alumni SMAN 71 Jakarta, teman-teman facebook saya di seluruh Indonesia atas dukungan, semangat, serta keceriaan yang diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu, namun tidak dapat disebutkan satu-persatu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, September 2009

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Wardina Humayrah yang akrab dipanggil Dina/Wardina ini dilahirkan pada tanggal 18 Februari 1987 di Jakarta dari pasangan Hikmatullah dan Siti Paryati. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan formal pertama penulis adalah Tingkat Kanak-kanak (TK) Al-Iman Bekasi kemudian dilanjutkan ke SDN 11 Petang Jakarta lalu ke SLTPN 252 Jakarta kemudian ke SMAN 71 Jakarta. Penulis kemudian mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan berhasil masuk perguruan tinggi IPB pada tahun 2005 dan diterima di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), IPB.

Selama kuliah penulis aktif di keorganisasian antara lain: anggota tim formatur Kelembagaan FEMA (2006), Himpunan Mahasiswa Gizi Pertanian (HIMAGITA) periode 2006/2007, Himpunan Mahasiswa Gizi (HIMAGIZI) periode 2007-2008, Badan Konsultasi Gizi (BKG) IPB periode 2007-2008, tim Marketing majalah Pangan dan Gizi EMULSI periode 2007-2008, dan International

Association of Student in Agricultural and Related Sciences Indonesia (IAAS

Indonesia-IPB) periode 2007-2009. Penulis juga pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa bidang kewirausahaan, menjadi finalis Lomba Presenter Berita dalam Journalistic Fair, IPB dan Liputan 6 SCTV, serta finalis Lomba

Business Plan BGTC ke-3 (Third Banking Goes to Campus, IPB). Selain itu

penulis pernah aktif menjadi sukarelawan dari Yayasan Lebah Indonesia sebagai penyuluh masyarakat dalam program pelatihan pembuatan bakso jamur, Cisarua, Bogor.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ………... i

DAFTAR TABEL ………... iii

DAFTAR LAMPIRAN... v PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 2 Kegunaan... 3 TINJAUAN PUSTAKA ... 4 Kegemukan ... 4 Orang Dewasa ... 4

Penilaian Status Gizi ... 5

Faktor-faktor Risiko Kegemukan ... 7

Faktor Demografi ... 7

Faktor Sosial-Ekonomi ... 8

Faktor Gaya Hidup ... 9

Faktor Mental Emosional ... 15

KERANGKA PEMIKIRAN... 16

METODE... 18

Disain, Waktu, dan Tempat... 18

Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh... 18

Jenis dan Cara Pengambilan Data... 19

Pengolahan dan Analisis Data ... 19

Definisi Operasional... 23

HASIL DAN PEMBAHASAN... 25

Gambaran Umum Lokasi... 25

Karakteristik Sampel... 29

Kondisi Demografi ... 29

Keadaan Sosial-Ekonomi ... 31

Gaya Hidup ... 33

Kondisi Mental Emosional ... 36

Profil Kegemukan... 37

Profil Kegemukan berdasarkan Kondisi Demografi ... 37

Profil Kegemukan berdasarkan Keadaan Sosial-Ekonomi ... 39

Profil Kegemukan berdasarkan Gaya Hidup ... 40

Profil Kegemukan berdasarkan Kondisi Mental Emosional ... 44

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kegemukan... 45

Faktor Demografi yang Berhubungan dengan Kegemukan... 45

Faktor Sosial-Ekonomi yang Berhubungan dengan Kegemukan... 47

Faktor Gaya Hidup yang Berhubungan dengan Kegemukan... 48

Faktor Mental Emosional yang Berhubungan dengan Kegemukan.... 53

(10)

Faktor-faktor yang mempengaruhi Risiko Kegemukan... 53

Faktor yang mempengaruhi risiko kegemukan di Sulawesi Utara... 56

Faktor yang mempengaruhi risiko kegemukan di DKI Jakarta... 60

Faktor yang mempengaruhi risiko kegemukan di Gorontalo... 62

KESIMPULAN DAN SARAN... 66

Kesimpulan... 66

Saran... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 69

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Batas ambang Indeks Massa Tubuh untuk Laki-laki dan Perempuan

Dewasa di Indonesia……….…. 6

2. Batas ambang Indeks Massa Tubuh untuk Laki-laki dan Perempuan Dewasa di Asia... 6 3. Risiko kematian dini akibat penyakit Degeneratif menurut

IMT………. 6

4. Pengategorian variabel ... 19 5. Gambaran sampel berdasarkan karakteristik demografi di Provinsi

Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan Gorontalo... 29 6. Gambaran sampel berdasarkan kondisi sosial-ekonomi di Provinsi

Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan Gorontalo... 31 7. Gambaran sampel berdasarkan kebiasaan merokok di Provinsi

Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan

Gorontalo...

33

8. Gambaran sampel berdasarkan kebiasaan minum minuman beralkohol di Provinsi Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan Gorontalo ...

33

9. Gambaran sampel berdasarkan kecukupan konsumsi sayuran dan buah di Provinsi , Sulawesi Utara, DKI Jakartadan Gorontalo ...

34

10. Gambaran sampel berdasarkan kebiasaan makanan berlemak di Provinsi Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan Gorontalo...

34

11. Gambaran sampel berdasarkan kebiasaan makanan manis di Provinsi Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan Gorontalo...

34

12. Gambaran sampel berdasarkan kebiasaan konsumsi jeroan di Provinsi DKI Jakarta, Sulawesi Utara, dan Gorontalo...

35

13. Gambaran sampel berdasarkan kebiasaan aktivitas fisik di Provinsi Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan Gorontalo... 35 14. Gambaran sampel berdasarkan kondisi mental emosional di Provinsi

Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan Gorontalo... 36 15. Profil kegemukan berdasarkan kondisi demografi di provinsi Sulawesi

Utara, DKI Jakarta, dan Gorontalo... 38 16. Profil kegemukan berdasarkan kedaan sosial-ekonomi di provinsi

Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan Gorontalo... 40 17. Profil kegemukan berdasarkan kebiasaan merokok di Provinsi

Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan Gorontalo... 41 18. Profil kegemukan berdasarkan kebiasaan minum minuman beralkohol

di Provinsi Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan Gorontalo...

41

19. Profil kegemukan berdasarkan kecukupan konsumsi sayuran dan buah di Provinsi Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan Gorontalo...

42

20. Profil kegemukan berdasarkan kebiasaan konsumsi makanan berlemak di Provinsi DKI Jakarta, Sulawesi Utara, dan Gorontalo...

(12)

21. Profil kegemukan berdasarkan kebiasaan konsumsi makanan manis di Provinsi Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan Gorontalo... 43 22. Profil kegemukan berdasarkan kebiasaan konsumsi jeroan di Provinsi

DKI Jakarta, Sulawesi Utara, dan

Gorontalo... 43

23. Profil kegemukan berdasarkan kebiasaan melakukan aktivitas fisik di Provinsi Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan Gorontalo ...

44

24. Profil kegemukan berdasarkan kondisi mental emosional di Provinsi Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan Gorontalo... 44 25. Hubungan jenis kelamin dengan kegemukan sampel... 45 26. Hubungan status perkawinan dengan kegemukan sampel ... 46 27. Hubungan wilayah tempat tinggal dengan kegemukan

sampel... 47 28. Hubungan kebiasaan minum minuman beralkohol dengan

kegemukan sampel... 50 29. Hubungan kecukupan konsumsi sayuran dan buah dengan

kegemukan sampel... 51 30. Hubungan kebiasaan melakukan aktivitas fisik berat dengan

kegemukan sampel………...……… 52 31. Hubungan kondisi mental emosional dengan kegemukan

sampel………... 53 32. Faktor-faktor yang paling memengaruhi risiko kegemukan di provinsi

Sulawesi Utara... 56 33. Faktor-faktor yang paling memengaruhi risiko kegemukan di provinsi

DKI Jakarta... 60 34. Faktor-faktor yang paling memengaruhi risiko kegemukan di provinsi

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Hasil Uji Spearman... 74 2. Hasil Uji Chi-Square (X) dengan Odds Ratio (OR)... 78 3. Hasil Binary Regresi Logistik (Backward Wald Method)……… 90

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kegemukan (obesity) dapat menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di dunia, yang makin meningkat di negara berkembang. Review yang dilakukan Low, Chin & Deurenberg-Yap (2009) memperlihatkan bahwa kisaran prevalensi kegemukan di negara-negara maju dan negara-negara berkembang relatif sama. Di negara-negara maju, prevalensi kegemukan berkisar dari prevalensi terendah (2.4%) di Korea Selatan hingga prevalensi tertinggi (32.2%) di AS, sedangkan prevalensi kegemukan di negara-negara berkembang berkisar dari prevalensi terendah (2.4%) di Indonesia sampai prevalensi tertinggi (35.6%) di Saudi Arabia. Namun, bila dilihat menurut kelompok umur, prevalensi kegemukan tertinggi di negara-negara berkembang terdapat pada kelompok umur yang lebih muda (40-50 tahun) dibandingkan dengan negara-negara maju (50-60 tahun). Hal ini dapat menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di negara-negara berkembang, yang berpendapatan rata-rata menengah dan rendah (Low, Chin & Deurenberg-Yap 2009).

Kegemukan dapat menimbulkan berbagai konsekuensi kesehatan, sosial, dan ekonomi. Review yang dilakukan Swinburn et al (2004) menunjukkan, kejadian kegemukan berhubungan dengan peningkatan risiko diabetes tipe-2, tekanan darah dan risiko hipertensi, kadar kolesterol-total dan kolesterol-LDL, risiko penyakit jantung koroner dan stroke, risiko penyakit kantung empedu dan insidens gejala klinis batu empedu, risiko kanker tertentu, dan risiko gout. Dari segi sosial, kegemukan akan berdampak terhadap perasaan rendah diri, kelambanan bergerak, kurang fashionable, dan malu bergaul. Adapun dari segi ekonomi, kegemukan berisiko mengurangi produktivitas kerja, hari produktif, usia produktif, dan meningkatkan pengeluaran kesehatan (Hardinsyah 2007).

Kegemukan disebabkan oleh faktor yang kompleks meliputi faktor genetik dan lingkungan. Menurut Kopelman (2002), faktor lingkungan termasuk konsumsi pangan, sosial-budaya, aktivitas fisik atau olahraga, dan metabolik. Selanjutnya, perkembangan faktor lingkungan lain, seperti sosial-ekonomi dan teknologi, berperan penting dalam menggeser gaya hidup yang semula sehat menjadi tidak sehat, yang dapat memicu kejadian kegemukan.

Pada faktor lingkungan sebagai penyebab kegemukan, konsumsi pangan (sayuran & buah, makanan berlemak) dan aktivitas fisik memainkan peran yang sangat penting. Survei Sosial-Ekonomi Nasional (Susenas) 1993-2002

(15)

memperlihatkan bahwa konsumsi sayuran, buah dan pangan berserat tinggi lainnya di Indonesia masih rendah (BPS 2002). Itu didukung dengan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 yang menunjukkan bahwa sebagian besar (93.6%) penduduk Indonesia berumur > 10 tahun ke atas kurang makan sayuran dan buah (Balitbangkes Depkes 2008). Peningkatan kejadian kegemukan juga dipengaruhi secara signifikan oleh peningkatan kecenderungan konsumsi fast

food berlemak tinggi (Asche 2005). Hal tersebut diperberat dengan tingginya

penduduk Indonesia yang kurang beraktivitas fisik. Riskesdas 2007 melaporkan, hampir separuh (48.2%) penduduk Indonesia kurang melakukan aktivitas fisik (Balitbangkes Depkes 2008). Asupan makanan berenergi tinggi tanpa diimbangi dengan cukup aktivitas fisik akan meningkatkan simpanan energi berupa lemak pada jaringan adiposa dalam tubuh (Wahlqvis 1997).

Penelitian besar yang dilakukan di Indonesia memperlihatkan bahwa masalah kegemukan pada orang dewasa sudah harus mendapat perhatian yang serius. Riskesdas 2007 melaporkan, sekitar 10.3% orang dewasa usia 15 tahun ke atas mengalami kegemukan, dengan prevalensi tertinggi di DKI Jakarta, Sulawesi Utara, dan Gorontalo (Balitbangkes Depkes 2008). Namun, dalam laporan ini belum dianalisis faktor gaya hidup apa saja yang berhubungan dengan risiko kegemukan pada orang dewasa di ketiga provinsi itu.

Tujuan

Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan gaya hidup dengan kegemukan orang dewasa di provinsi DKI Jakarta, Sulawesi Utara, dan Gorontalo. Adapun secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui profil kegemukan orang dewasa menurut karakteristik demografi dan sosial-ekonomi, perilaku konsumsi, aktivitas fisik, dan kondisi mental emosional.

2. Menganalisis hubungan karakteristik demografi dan sosial-ekonomi, perilaku konsumsi, aktivitas fisik, dan kondisi mental emosional dengan risiko kegemukan.

3. Mengetahui faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap risiko kegemukan.

(16)

Kegunaan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan manfaat bagi berbagai pihak, antara lain:

1. Bagi peneliti, dapat mengaplikasikan teori yang telah dipelajari serta meningkatkan wawasan dan keterampilan pengolahan dan analisis data dan menuangkan dalam bentuk karya ilmiah.

2. Bagi pemerintah (Departemen Kesehatan dan Instansi terkait), dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan yang efektif dan efisien untuk tindakan preventif dan kuratif kegemukan pada perempuan dan laki-laki dewasa sehingga dapat menekan biaya penanggulangan masalah kesehatan.

3. Bagi masyarakat umum, dapat memberikan pemahaman mengenai besar masalah kegemukan dan pentingnya gaya hidup sehat, terutama aktivitas fisik bagi peningkatan kesehatan.

4. Bagi peneliti lain, dapat memberikan informasi mengenai prevalensi dan penyebab kegemukan untuk pengembangan penelitian selanjutnya.

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Kegemukan

Kegemukan (obesity) didefinisikan sebagai kelebihan adipositas tubuh. Demi alasan praktis, berat badan digunakan sebagai pengganti untuk adipositas, yang tidak mudah diukur dalam pemeriksaan rutin. Hingga tahun 1970-an, kegemukan didefinisikan berdasarkan rujukan berat badan ideal, yang berasal dari tabel asuransi yang disusun oleh industri asuransi jiwa. Orang yang berat badannya pada kisaran ideal memiliki risiko rendah untuk mati dini. Dalam tahun 1980-an, pendekatan berat badan ideal diganti dengan Indeks Massa Tubuh (IMT), dan cut-off yang biasa digunakan untuk kelebihan berat (IMT 25-30) dan kegemukan (IMT >30) bagi laki-laki dan perempuan diadopsi untuk mendefinisikan kegemukan pada orang dewasa. Namun, diakui bahwa hubungan IMT dengan risiko kematian dan kesakitan adalah sesuatu yang terus-menerus dan dapat bervariasi dalam kelompok etnis berbeda. Beberapa negara dan wilayah sudah mengadopsi cut-offnya sendiri untuk penilaian risiko kegemukan dengan menggunakan IMT; misalnya, cut-off 23 pada negara-negara Asia (Caballero 2007).

Krausse (2000) menyatakan, kelebihan berat (overweight) dan obesitas (obesity) berbeda makna. Kelebihan berat merupakan keadaan di mana berat seseorang melebihi standar tinggi badannya, sedangkan obesitas adalah kondisi kelebihan lemak tubuh. Orang yang gemuk (obese) sudah pasti kelebihan berat, tetapi orang yang kelebihan berat belum tentu termasuk gemuk.

Menurut Ziegler dan Filler (1996), kegemukan pada dasarnya merupakan suatu kondisi ketidakseimbangan gizi antara zat gizi yang disimpan dalam bentuk lemak tubuh dengan zat gizi yang digunakan untuk menghasilkan energi dan metabolisme tubuh. Selain konsumsi zat gizi, kegemukan juga berkaitan dengan pengeluaran energi tubuh yang dapat dipengaruhi oleh kondisi genetik seseorang, jenis kelamin, umur, obat-obatan, iklim, tempat tinggal, dan stres.

Orang Dewasa

Istilah dewasa (adult) berasal dari bahasa latin yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna. Secara psikologis orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya.

Masa dewasa dibagi menjadi 3 fase, yaitu masa dewasa dini, masa dewasa madya, dan masa dewasa lanjut. Masa dewasa dini dimulai pada umur

(18)

18 tahun hingga 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif. Masa dewasa madya dimulai pada umur 40 hingga 60 tahun, yakni saat menurunnya kemampuan fisik dan psikologis yang jelas nampak pada setiap orang. Kemudian masa dewasa lanjut dimulai pada umur 60 tahun ke atas hingga kematian, di mana kemampuan fisik dan psikologis cepat menurun (Hurlock E 1980). Namun, kategori orang dewasa menurut World Health Organization (WHO) adalah orang yang berumur 15 tahun ke atas. Fungsi hormonal tubuh secara fisiologis berawal pada umur 15 tahun menuju fungsi kedewasaan sehingga pada umur ini seseorang rentan terhadap kejadian kegemukan (WHO 2005).

Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi pada kejadian kegemukan dapat menggunakan metode antropometri. Menurut Supariasa et al. (2001), antropometri sangat umum digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi. Gangguan ini biasanya terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh.

Berdasarkan berat badan dan tinggi badan dapat dihitung Indeks Massa Tubuh (IMT) yang akan memperlihatkan status gizi seseorang. Menurut Riyadi (1995), karena sering ditemukan hubungan yang erat antara IMT dengan lemak tubuh, maka IMT dapat digunakan untuk menduga risiko kegemukan. Hal ini berarti IMT dapat juga digunakan untuk menilai risiko kesehatan yang berhubungan dengan gizi lebih, dan mungkin dapat digunakan sebagai pedoman terapi. Berikut adalah rumus IMT:

2 ) ( ) ( m Badan Tinggi Kg Badan Berat IMT

Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk pada ketentuan WHO yang membedakan batas ambang untuk laki-laki dan perempuan dewasa. Batas ambang IMT normal untuk laki-laki adalah 20.1-25.0 dan untuk perempuan adalah 18.7-23.8. Batas ambang IMT di Indonesia dimodifikasi lagi berdasarkan pengalaman klinis dan hasil penelitian di beberapa negara berkembang (Depkes 1998).

(19)

Tabel 1 Batas Ambang IMT untuk Laki-laki dan Perempuan Dewasa di Indonesia

Kategori IMT

Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17.0 Kekurangan berat badan tingkat ringan 17.0-18.4

Normal 18.5-24.9

Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan (kegemukan) 25.0-27.0 Kelebihan berat badan tingkat ringan (obesitas) >27.0 Sumber: Departemen Kesehatan (1998)

Kemudian karena terdapat penemuan terbaru mengenai perbedaan persen lemak dan bobot tubuh orang Asia dengan orang Eropa, maka muncullah pengklasifikasian batas ambang IMT terbaru untuk orang Asia. Batas ambang IMT terbaru untuk laki-laki dan perempuan dewasa berdasarkan WHO 2000 yang cocok untuk klasifikasi masyarakat Asia, yaitu:

Tabel 2 Batas Ambang IMT untuk Laki-laki dan Perempuan Dewasa di Asia Kategori IMT (kg/m2) Risiko Penyakit

Kurus (Underweight) < 18.5 Rendah

Normal (ideal) 18.5-22.9 Rata-rata

Overweight: ≥ 23

At risk 23.0-24.9 Meningkat

Obese I 25.0-29.9 Sedang

Obese II 30 Berbahaya

Sumber: World Health Organization (2000) dalam Rimbawan dan Siagian A (2004)

Beberapa ahli mengklasifikasikan gemuk jika IMT > 25.0 dan obesitas jika IMT > 30 (Gibson 1990). Menurut Riyadi (2003), kenaikan berat badan yang melebihi batas ambang berhubungan dengan risiko kematian dini. Klasifikasi untuk menduga risiko kematian menurut IMT terdapat dalam tabel berikut:

Tabel 3 Risiko Kematian Dini Akibat Penyakit Degeneratif menurut IMT

IMT Risiko Kematian

20-25 sangat rendah 25-30 rendah 30-35 sedang 35-40 tinggi > 40 sangat tinggi Sumber: Riyadi (2003)

Setiap energi yang diserap tubuh yang melampaui batas kebutuhan akan disimpan sebagai lemak sehingga pada dasarnya kegemukan dan obesitas merupakan penimbunan lemak yang berlebihan di dalam jaringan lemak tubuh. Komposisi lemak tubuh perempuan dan laki-laki berbeda. Perbedaan itu terdapat

(20)

pada jumlah lemak tubuh, struktur jaringan, dan bentuk tubuh. Simpanan lemak tubuh terdapat dalam dua bentuk, yaitu lemak esensial (sum-sum tulang belakang, susunan syaraf pusat, kelenjar susu dan organ untuk fungsi fisiologis lainnya) dan cadangan lemak tubuh (Krausse 2000).

Faktor-Faktor Risiko Kegemukan

Kegemukan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang bersifat kompleks. Menurut Wahlqvis (1997), konsumsi makanan dan pengeluaran energi dapat memengaruhi kegemukan secara langsung, sedangkan umur, jenis kelamin, keturunan, stres, keadaan sosial-ekonomi, gaya hidup, iklim, obat-obatan merupakan faktor-faktor yang memengaruhi kegemukan secara tidak langsung. Faktor-faktor risiko kegemukan antara lain faktor demografi, sosial-ekonomi, gaya hidup, dan kondisi mental emosional.

Faktor Demografi

Umur. Faktor umur penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan umur akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil pengukuran tinggi badan dan berat badan yang akurat menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat (Supariasa et al. 2001). Kejadian kegemukan cenderung meningkat pada umur dewasa dan mencapai puncaknya pada umur 45 tahun untuk laki-laki dan 74 tahun untuk perempuan; penurunan kejadian kegemukan pada laki-laki di umur 45 tahun kemungkinan disebabkan karena tingginya angka kematian pada laki-laki kelompok umur tersebut (Guthrie dan Picciano 1995). Menurut penelitian Wahlqvist (1997), seseorang yang berumur lanjut cenderung mengalami penurunan berat badan. Hasil penelitian longitudinal di Swedia menunjukkan, berat badan pada laki-laki dan perempuan turun pada umur 70 dan 81 tahun dengan rata-rata penurunan 7 kg pada laki-laki dan 6 kg pada perempuan. Adapun di Amerika menunjukkan terjadinya penurunan berat badan rata-rata sebesar 4 kg pada laki-laki umur 45-65 tahun.

Jenis Kelamin. Jenis kelamin merupakan faktor internal yang menentukan kebutuhan gizi sehingga terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan status gizi (Apriadji 1986). Perempuan lebih rentan mengalami peningkatan simpanan lemak. Umumnya perempuan mempunyai jumlah lemak lebih besar dibandingkan dengan laki-laki, yaitu rata-rata 26.9% dari total berat badan perempuan. Sementara jumlah lemak pada laki-laki rata-rata 14.7%. Kelebihan lemak perempuan tersebut terutama terlihat pada bagian perut, dada,

(21)

dan anggota tubuh badan bagian atas, yaitu lengan atas, dan paha (Gibson 1990). Penelitian lain menunjukkan bahwa perempuan cenderung mengonsumsi sumber karbohidrat yang banyak pada masa pubertas, sedangkan laki-laki cenderung mengonsumsi makanan kaya protein. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa laki-laki secara signifikan lebih berkemungkinan kelebihan berat atau obesitas dibandingkan dengan perempuan. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan santai dalam penggunaan waktu senggang pada laki-laki lebih besar dibandingkan dengan perempuan (WHO 2000; Proper et al. 2006).

Perkawinan. Kegemukan berhubungan dengan status perkawinan walaupun nilai peluangnya kecil. Seseorang yang menikah sudah tidak terlalu mementingkan penampilan fisik karena sudah menemukan pasangan hidup dibandingkan dengan seseorang yang belum menikah. Koreman et al. (1999) mengklasifikasikan hubungan antara kegemukan dengan perkawinan melalui 2 mekanisme, yaitu seleksi perkawinan dan kausalitas perkawinan. Menurut Sobal

et al. (1992), perkawinan menyebabkan peningkatan berat badan karena

terjadinya perubahan gaya hidup ke arah yang cenderung sedentary, pengalokasian kegiatan aktivitas fisik serta kelahiran anak. Penelitian ini juga menemukan bahwa terdapat hubungan antara kegemukan dan status perkawinan pada laki-laki dewasa di mana laki-laki yang sudah menikah lebih gemuk dan mengalami obesitas.

Besar Keluarga. Besar keluarga berhubungan dengan jumlah makanan yang harus disediakan. Makin sedikit jumlah anggota keluarga, semakin mudah terpenuhi kebutuhan makanan seluruh anggota keluarga. Sebaliknya, apabila jumlah anggota keluarga banyak dan pendapatan terbatas, maka makanan yang tersedia tidak mencukupi. Besar keluarga akan memengaruhi konsumsi gizi di dalam suatu keluarga dan akan memengaruhi pula pada kesehatan anak-anak dan ibu. Pendapatan rumah tangga dan belanja pangan akan menurun sejalan dengan meningkatnya jumlah anggota keluarga. (Prihartini 1996; Sanjur 1982). Faktor Sosial-Ekonomi

Kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya suatu keluarga, suatu kelompok masyarakat, atau suatu bangsa, mempunyai pengaruh yang kuat dan kekal terhadap apa, kapan, dan bagaimana penduduk makan. Kebudayaan masyarakat dan kebiasaan pangan yang mengikutinya berkembang sekitar arti pangan dan penggunaan yang cocok. Pola kebudayaan ini memengaruhi orang

(22)

dalam memilih pangan, jenis pangan yang harus diproduksi, pengolahan, penyaluran, penyiapan, dan penyajian (Baliwati et al 2004).

Penelitian kecil yang dilaporkan Susilowati S (1992) mengenai hubungan faktor psiko-sosial-ekonomi dengan tingkat konsumsi energi penderita obesitas di perumahan Meruya, Jakarta Barat, menyatakan bahwa pada responden laki-laki tidak terdapat hubungan nyata antara pendapatan, pengeluaran pangan, pendidikan, pekerjaan, aktivitas olahraga dan faktor psikologis dengan tingkat konsumsi energi. Namun, berhubungan nyata pada frekuensi makan, dan kebiasaan makan camilan. Sementara itu terdapat hubungan nyata pada responden perempuan antara pengetahuan gizi, aktivitas olahraga, frekuensi makan, dan kebiasaan makan camilan dengan tingkat konsumsi energi. Namun, tidak berhubungan nyata pada pendapatan, pengeluaran pangan, pendidikan, pekerjaan, dan faktor psikologis. PPH konsumsi berlebih pada golongan pangan hewani dengan kelebihan 18,4 dan 18,9 % pada laki-laki dan perempuan.

Wilayah. Menurut Undang-undang (UU) No. 24 tahun 1992 pasal 1, wilayah didefinisikan sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Penentuan suatu desa atau kelurahan digolongkan perkotaan atau perdesaan dilakukan pada Sensus Penduduk 2000. Klasifikasi didasarkan pada skor yang dihitung dari kepadatan penduduk, persentase rumah tangga yang bekerja di bidang pertanian, dan tersedianya fasilitas kota seperti sekolah, pasar, rumah sakit, jalan aspal, dan listrik (BPS 2002).

Desa adalah satuan wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat, termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah dan langsung di bawah camat, serta berhak menyelenggarakan rumah tangga sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia. Ciri utama desa adalah kepala desanya dipilih oleh masyarakat setempat (BPS 2002).

Definisi perkotaan menurut Daldjoeni (2003) adalah suatu tempat dengan (1) kepadatan penduduknya lebih dibandingkan dengan kondisi pada umumnya; (2) pencaharian utama penduduknya bukan merupakan aktivitas ekonomi primer/ pertanian; dan (3) tempatnya merupakan pusat budaya, administrasi atau pusat kegiatan ekonomi wilayah sekitarnya.

(23)

Pendidikan. Tingkat pendidikan belum pasti berpengaruh secara signifikan terhadap kegemukan. Belum tentu orang yang berpendidikan tinggi tidak mengalami kegemukan. Kejadian kegemukan lebih sering terjadi pada orang yang bependidikan tinggi. Terdapat faktor yang lebih dominan dalam penentuan kejadian kegemukan pada seseorang (Thomas 2003). Menurut Apriadji (1986), seseorang tamat SD belum tentu kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan dengan orang lain yang pendidikannya lebih tinggi. Namun, faktor pendidikan dapat menentukan mudah tidaknya seseorang dalam menyerap dan memahami pengetahuan gizi.

Pekerjaan. Pekerjaan seseorang memengaruhi tingkat aktivitas fisik seseorang. Pekerjaan atau profesi yang lebih menuntut penggunaan aktivitas fisik, misalnya tukang bangunan, tukang becak, dan sebagainya, tidak memacu seseorang untuk berpeluang kegemukan. Sebaliknya pada pekerjaan atau profesi yang banyak menuntut optimalisasi mental atau bekerja di belakang meja akan memacu kegemukan pada seseorang. Menurut Muchtadi D (2005), aktivitas kerja kantor yang hanya berputar-putar dari satu rapat ke rapat lainnya sepanjang hari kerja mengakibatkan minimnya keluaran energi sehingga dapat meningkatkan kejadian kegemukan pada seseorang.

Pengeluaran rumah tangga. Pengeluaran rumah tangga merupakan penggunaan pendapatan per kepala rumah tangga yang meliputi pengeluaran pangan dan nonpangan. Tingkat pendapatan yang berbeda akan menyebabkan alokasi pengeluaran yang berbeda. Pada golongan berpendapatan rendah, proporsi pengeluaran untuk pangan lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran lainnya, sedangkan pada golongan berpendapatan tinggi persentase pengeluaran pangannya lebih kecil dibandingkan dengan pengeluaran lainnya (Putri 2004).

Faktor Gaya Hidup

Gaya hidup merupakan kebiasaan hidup seseorang yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan di kehidupan masyarakat sehari-hari. Dari sudut pandang antropologi, gaya hidup merupakan hasil penyaringan dari serentetan interaksi sosial, budaya dan keadaan. Gaya hidup sedentary adalah gaya hidup di mana unsur gerak fisik sangat minimal, sedangkan beban kerja mental sangat maksimal (Kodyat 1994). Gaya hidup seperti ini dapat berpengaruh terhadap kejadian kegemukan karena minimnya aktivitas fisik. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan penelitian yang menghasilkan beberapa data cross-sectional

(24)

yang menunjukkan adanya hubungan negatif antara IMT dan aktivitas fisik (Rising et al., 1994; Schulz dan Schoeler, 1994), yang menunjukkan bahwa orang gemuk mempunyai aktivitas kurang dibandingkan dengan orang-orang yang ramping.

Perilaku Konsumsi. Faktor makanan memegang peranan penting terhadap gaya hidup di Indonesia, terutama di daerah perkotaan. Pengetahuan gizi dan kesehatan yang minim akan berakibat pada perilaku konsumsi yang tidak sehat. Hal ini juga yang dapat membentuk gaya hidup sehat dan tidak sehat di masyarakat.

Merokok. Merokok bertanggung jawab terhadap mekanisme peningkatan berat tubuh, distribusi lemak tubuh, dan resistensi insulin. Chiolero et al. (2008) menyatakan bahwa merokok dapat meningkatkan resistensi insulin dan berhubungan dengan akumulasi lemak pusat. Hal ini berarti perokok akan cenderung mudah gemuk atau memiliki risiko diabetes. Penelitian lain yang dilakukan oleh Canoy et al. (2005) terhadap 828 orang dewasa berumur 45-79 tahun di Norfolk, Inggris, menunjukkan bahwa merokok memengaruhi pola distribusi lemak. Selain itu, penelitian terbaru oleh Sharkie F et al. (2007) yang dilakukan 2 universitas terkemuka yang dilakukan pada tikus di University of New South Wales dan University of Melbourne, Australia, menunjukkan bahwa rokok malah mengurangi massa otot yang sesungguhnya dibutuhkan oleh tubuh sehingga tubuh terlihat kecil. Sebagian tikus-tikus tersebut diberi asap dari 4 batang rokok tiap hari selama seminggu, sebagian lainnya bebas asap rokok. Hasilnya, tikus yang bebas rokok makannya berkurang 23 persen, namun massa lemak mereka tidak berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa kehilangan otot dapat memberikan efek terlihat kurus pada tubuh seakan-akan terjadi penurunan berat badan namun sebenarnya lemak tubuh masih tersimpan. Lemak berlebihan yang tetap menempel di tubuh itu berbahaya dan berdampak negatif bagi kesehatan. Lemak tertumpuk di sekitar hati, lambung, dan perut.

Konsumsi minuman beralkohol. Menurut Suter et al. (1992) dan Tremblay

et al. (1995) mengonsumsi minuman beralkohol berlebihan akan menambah

kalori pada diet dan mengurangi pengeluaran lemak dari tubuh. Selain itu, kebiasaan mengonsumsi minuman beralkohol juga dapat meningkatkan kadar kolesterol darah sehingga disarankan untuk tidak mengonsumsinya secara berlebihan (Ammiruddin R 2007). Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Breslow dan Smothers peneliti dari Institutes of Health's National Institute on Alcohol

(25)

Abuse and Alcoholism (NIAAA), Amerika Serikat, pada tahun 2005 menemukan bahwa pria dan wanita yang mengonsumsi minuman beralkohol dalam kuantitas sedikit dan teratur (1 kali per hari dalam 3-7 hari per minggu) memiliki IMT terendah, sedangkan mereka yang meminum minuman beralkohol dalam kuantitas banyak dan tidak teratur memiliki IMT tertinggi. Hal ini berarti IMT seseorang yang terbiasa mengonsumsi minuman beralkohol diduga berhubungan dengan seberapa banyak dan seberapa sering mereka meminumnya. Menurut Breslow (2005), pengaruh mengonsumsi minuman beralkohol terhadap IMT seseorang didasari atas dua faktor, yaitu jumlah konsumsi minuman sehari dan frekuensi konsumsi minuman sehari.

Konsumsi sayuran dan buah. Menurut Muchtadi D (2001), sayuran merupakan menu yang hampir selalu tersedia dalam hidangan sehari-hari masyarakat Indonesia, baik dalam keadaan mentah (sebagai lalapan segar) atau setelah diolah menjadi berbagai macam bentuk masakan. Akan tetapi perubahan pola konsumsi pangan di Indonesia telah menyebabkan berkurangnya konsumsi sayuran dan buah-buahan hampir di semua provinsi di Indonesia. Data Depkes tahun 1995 menunjukkan bahwa pola konsumsi pangan berupa sayuran dan buah-buahan di hampir semua provinsi di Indonesia sangat rendah. Padahal sayuran dan buah-buahan, selain berfungsi sebagai sumber vitamin dan mineral, juga dapat berguna sebagai sumber serat makanan dan sumber antioksidan, sehingga promosi untuk lebih meningkatkan konsumsi bahan pangan tersebut perlu lebih digalakkan. Menurut Nalle C (2005), sayuran dan buah merupakan sumber serat yang tinggi yang dapat mencegah kegemukan. Kekurangan serat dapat menyebabkan berbagai gangguan penyakit, seperti penyakit jantung koroner (penyempitan arteri akibat penumpukan lemak), diabetes, kegemukan, dan aterosklerosis. Serat yang berasal dari sayuran dan buah dapat menurunkan kadar kolesterol total darah sebanyak 10-20% (khususnya kolesterol LDL). Selain itu, serat larut air dapat mengikat substansi lemak dan mencegah penyerapannya dalam usus, sehingga secara efektif dapat menurunkan kandungan kolesterol darah.

Konsumsi makanan berlemak. Makanan berlemak memiliki energy

density yang tinggi, namun tidak mengenyangkan. Selain itu makanan berlemak

memiliki rasa gurih (umami flavor) sehingga dapat meningkatkan selera makan dan akan terjadi konsumsi berlebihan (Hidayati et al. 2006). Menurut Atkinson (2005), makanan berlemak mengandung dua kali lebih banyak kalori

(26)

dibandingkan dengan protein dan akan memberikan sumbangan energi yang lebih besar. Penelitian lain oleh Castillo et al. (2007) menyatakan bahwa konsumsi makanan yang digoreng berhubungan positif dengan kegemukan.

Konsumsi makanan manis. Makanan manis biasanya identik dengan kandungan gula tinggi. Gula merupakan karbohidrat sederhana yang mengandung Indeks Glikemik tinggi. Makanan dengan Indeks Glikemik tinggi mudah memacu peningkatan gula darah sehingga menimbulkan rasa lapar dalam waktu cepat (Rimbawan dan Siagian 2004).

Konsumsi jeroan. Jeroan adalah organ-organ selain otot dan tulang hewan ternak yang masih dapat dikonsumsi. Di berbagai daerah di Indonesia, hampir semua bagian jeroan dimasak untuk makanan manusia, sebut saja ayam. Jeroan ayam banyak yang bisa diambil manfaatnya, seperti hati, ampela, usus. Jeroan (usus, hati, babat, lidah, jantung, otak, dan paru) banyak mengandung asam lemak jenuh (saturated fatty acid/SFA). Jeroan mengandung kolesterol 4-15 kali lebih tinggi dibandingkan dengan daging (Wikipedia 2009). Jeroan memiliki kandungan kalori dan kolesterol yang tinggi sehingga tidak baik untuk kesehatan dan penyakit jantung koroner (PJK). Makanan berkalori tinggi, seperti jeroan dan sebagainya, dapat merangsang seseorang untuk mengonsumsi kalori dalam jumlah lebih dan lebih banyak lagi sehingga dapat memacu kegemukan.

Kegiatan waktu luang. Pengertian waktu luang diasosiasikan sebagai waktu di mana seseorang tidak melakukan sesuatu atau saat orang bermalas-malasan, saat orang melakukan sesuatu seenaknya tanpa tergesa-gesa dan tidak perlu serius. Berdasarkan istilah, arti waktu luang dapat dilihat dari 3 dimensi, yaitu waktu, cara pengisian, dan fungsi. Berdasarkan dimensi waktu, waktu luang dapat dilihat sebagai waktu yang tidak digunakan untuk bekerja; mencari nafkah, melaksanakan kewajiban, dan mempertahankan hidup. Kemudian dari segi cara pengisian, waktu luang adalah waktu yang dapat diisi dengan kegiatan pilihan sendiri atau waktu yang digunakan dan dimanfaatkan sesuka hati. Dan dari sisi fungsi, waktu luang adalah waktu yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana mengembangkan potensi, meningkatkan mutu pribadi, kegiatan terapeutik bagi yang mengalami kondisi emosi terganggu, sebagai selingan dan hiburan, sarana rekreasi, sebagai kompensasi terhadap pekerjaan yang kurang menyenangkan, atau sebagai kegiatan untuk menghindari sesuatu (Sukadji 2000).

(27)

Menurut Catursari (1990) dalam Sukadji (2000), jika ditinjau menurut kegiatan formal dan non-formal, waktu luang adalah waktu di luar jam kerja atau sekolah, di luar kewajiban-kewajiban yang diberikan oleh keluarga dan masyarakat, kegiatan makan, tidur atau istirahat dan pemenuhan kebutuhan fisiologis lainnya. Kegiatan waktu luang dapat berupa rekreasi, berkebun, berkumpul dengan keluarga, dan sebagainya.

Menurut fungsinya kegiatan waktu luang dapat dibagi menjadi 4 jenis. Pertama, kegiatan relaksasi aktif, misalnya berkebun, membetulkan alat rumah tangga, memperbaiki sepeda motor. Kegiatan tersebut karena sifatnya produktif, cenderung meningkatkan keterampilan dan harga diri. Kedua, relaksasi pasif, contohnya menonton televisi, mendengarkan musik, dan membaca tulisan ringan. Namun, terlalu banyak kegiatan relaksasi pasif, bisa membuat kehilangan waktu untuk kegiatan yang lebih produktif. Ketiga, kegiatan rekreasi yang bisa Anda pilih antara lain: beristirahat, berolah raga, menggeluti hobi, membaca buku, hingga menjadi pendukung dari suatu tim sepakbola. Keempat, kegiatan pengembangan diri antara lain: mengikuti kursus musik, kelompok teater, kursus bahasa asing, melukis, mengarang, membuat sajak, memasak, menata musik, membuat patung. Kegiatan ini selain meningkatkan keterampilan, juga menimbulkan rasa sukses telah membuat sesuatu (Sukadji 2000).

Aktivitas Fisik. Aktivitas fisik merupakan salah satu bentuk penggunaan energi dalam tubuh. Oleh karena itu, berkurangnya aktivitas fisik akibat dari kehidupan yang makin modern dengan kemajuan teknologi mutakhir akan menimbulkan kegemukan (Thomas P 2003). Menurut Hartoyo H. et al. (1984), seseorang banyak beraktivitas fisik, mempunyai daya kerja (working capacity) yang tinggi. Bila aktivitas fisik dikurangi di bawah aktivitas fisik yang sudah biasa dilakukan, maka daya kerja juga akan menurun. Kegiatan fisik akan memacu berbagai sistem tubuh untuk bekerja sama dalam suatu kesatuan. Oleh karena itu melakukan kegiatan fisik dapat menyelaraskan fungsi tubuh menjadi lebih optimal. Sehingga dapat menurunkan risiko timbulnya penyakit degeneratif.

Kemudian Williamso (2005) dan Rissanen et al. (1991) menyatakan bahwa rendahnya aktivitas fisik merupakan faktor yang paling bertanggung jawab terhadap terjadinya obesitas. Sebagai contoh, obesitas tidak terjadi pada para atlet yang aktif, sedangkan para atlet yang berhenti melakukan latihan olah raga lebih sering mengalami kenaikan berat badan dan kegemukan.

(28)

Faktor Mental Emosional

Menurut Maramis A (2002), gangguan mental juga dapat dikategorikan ke dalam penyakit mental, penyakit jiwa, atau gangguan jiwa. Gangguan mental merupakan gangguan mengenai satu atau lebih fungsi mental. Gangguan mental adalah gangguan otak yang ditandai oleh terganggunya emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi (penangkapan panca indera). Gangguan mental ini menimbulkan stres dan penderitaan bagi penderita dan keluarganya. Gangguan mental dapat menyerang setiap orang, tanpa mengenal umur, ras, agama, dan status sosial-ekonomi. Gangguan mental bukan disebabkan oleh kelemahan pribadi.

Stres. Penelitian baru-baru ini mengenai hubungan stres oleh Lee et al. (2005) terhadap 101 perempuan yang mengalami kegemukan di Korea menunjukkan bahwa stres berhubungan dengan lemak pusat (visceral fat). Terdapat hubungan antara stres dan PJK. Stres positif berhubungan dengan peningkatan level cytokine seperti interleukin (meningkat dengan peningkatan lemak pusat) sebagai mediator PJK.

Depresi. Rice P (1992) menyatakan bahwa depresi adalah gangguan

mood, kondisi emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental

(berpikir, berperasaan dan berperilaku) seseorang. Gangguan mood dan gangguan kondisi emosional secara kompleks disebut juga gangguan mental emosional. Pada umumnya mood yang secara dominan muncul adalah perasaan tidak berdaya dan kehilangan harapan. Depresi ditandai dengan perasaan sedih yang psikopatologis, kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi yang menuju kepada meningkatnya keadaan mudah lelah yang sangat nyata sesudah bekerja sedikit saja, dan berkurangnya aktivitas. Menurut Henry dan Stephens (1997), depresi merupakan reaksi manusia secara fisik dan mental terhadap berbagai jenis stres. Semua peristiwa yang menimbulkan usaha-usaha perubahan pada diri manusia yang bersangkutan, baik peristiwa yang menyusahkan maupun menyenangkan, semua dianggap sebagai stres.

(29)

KERANGKA PEMIKIRAN

Orang dewasa ≥15 tahun seiring dengan bertambahnya umur rentan menjadi gemuk. Kerja hormon menurun seiring dengan bertambahnya umur, yang dapat mengakibatkan ketidakseimbangan metabolisme tubuh, terutama metabolisme lemak tubuh. Selain itu gaya hidup orang dewasa mengarah ke gaya hidup yang konsumsi makanan berenergi tinggi dan kurang aktivitas fisik (Muchtadi 2005). Kegemukan pada orang dewasa dapat dilihat berdasarkan karakteristiknya yang meliputi umur, jenis kelamin, besar keluarga, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, dan pengeluaran per kapita. Karakteristik akan mempengaruhi perilaku konsumsi, kebiasaan melakukan aktivitas fisik, dan kondisi mental emosional. Ketiga faktor yang dipengaruhi tersebut berhubungan langsung dengan asupan (intake) zat gizi sampel serta secara tidak langsung akan berhubungan dengan kegemukan pada sampel.

Perilaku konsumsi dalam penelitian ini mencakup konsumsi sayuran dan buah, konsumsi makanan berlemak, konsumsi jeroan, konsumsi makanan manis, konsumsi minuman beralkohol, dan merokok dapat berhubungan terhadap kegemukan. Kebiasaan melakukan aktivitas fisik dalam penelitian ini adalah aktivitas fisik berat. Aktivitas fisik berat dapat membantu pembakaran lemak dan melancarkan metabolisme tubuh. Gaya hidup kurang gerak (sedentary lifestyle) pada orang dewasa akan mempengaruhi peningkatan simpanan lemak tubuh yang ber-output kepada kegemukan.

Peran dan tanggung jawab orang dewasa akan meningkat seiring dengan bertambahnya umur (Hurlock E 1980). Hal tersebut dapat berpengaruh positif atau negatif terhadap kondisi mental emosional orang dewasa. Efek negatif terhadap kondisi mental emosional dapat mengakibatkan terganggunya kondisi mental emosional, sehingga muncul kecemasan, stres dan depresi, yang dapat mempengaruhi kejadian kegemukan pada seseorang.

(30)

Gambar Kerangka pemikiran hubungan faktor gaya hidup dengan kegemuka pada orang dewasa di Provinsi Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan

Gorontalo.

Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti diteliti Karakteristik Sampel :  Umur  Jenis Kelamin  Besar keluarga  Perkawinan  Pendidikan  Pekerjaan  Pengeluaran Perkapita Kegemukan Perilaku Konsumsi: 1. Minum Alkohol 2. Merokok

3. Konsumsi Buah dan Sayur 4. Konsumsi makanan manis 5. Konsumsi makanan berlemak 6. Konsumsi jeroan Intik Zat Gizi Mental Emosional Aktivitas Fisik

(31)

METODE

Desain, Tempat, dan Waktu

Penelitian ini menggunakan data dasar hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI). Oleh karena itu, desain penelitian ini secara keseluruhan mengacu pada desain Riskesdas yang menggunakan desain cross

sectional study. Wilayah penelitian ini terdiri dari 3 provinsi yaitu Sulawesi Utara,

DKI Jakarta, dan Gorontalo. Tiga provinsi ini dipilih secara purposive karena memiliki prevalensi kegemukan tertinggi di Indonesia berdasarkan hasil survei Riset Kesehatan Dasar tahun 2007. Pengumpulan data survei Riskesdas dilakukan awal Agustus 2007 hingga Januari 2008. Pengolahan, analisis dan interpretasi data dilakukan pada bulan Mei-Juni 2009 di Kampus IPB Darmaga Bogor, Jawa Barat.

Jumlah dan Cara Pengambilan Sampel

Jumlah keseluruhan sampel dihitung dari jumlah kuesioner individu Riskesdas 2007 yaitu 30.150 jiwa. Keseluruhan sampel tersebut terdiri dari 3 wilayah pengumpulan yaitu provinsi Sulawesi Utara (10 436 jiwa), DKI Jakarta (12 316 jiwa), dan Gorontalo (7 398 jiwa). Setelah proses editing dan cleaning data jumlah sampel akhir data keseluruhan adalah 9 646 jiwa untuk provinsi Sulawesi Utara, 27 979 jiwa yang terdiri dari 11 411 jiwa untuk provinsi DKI Jakarta, dan 6 922 jiwa untuk provinsi Gorontalo. Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI (Puslitbangkes RI), koreksi sampel asli dapat ditolerir maksimal sebesar 10%.

Pengambilan data Riskesdas dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia meliputi 438 kabupaten dan kota di 33 provinsi di mana pada setiap kabupaten/kota yang masuk dalam kerangka sampel diambil sejumlah blok sensus (BS) yang proporsional terhadap jumlah rumah tangga di kabupaten/kota tersebut (probability proportional to size). Blok sensus Riskesdas 2007 berbasis pada Susenas 2007 yang dilakukan BPS, penarikan sampel rumah tangga yang dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling) menjadi 16 rumah tangga pada setiap blok sensus. Seluruh anggota rumah tangga dari setiap rumah tangga yang terpilih dari kedua proses penarikan sampel diambil sebagai sampel individu.

(32)

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data yang dianalisis adalah data sekunder Riskesdas 2007. Penelitian ini menggunakan beberapa data yang memungkinkan dalam analisis mengenai kejadian kegemukan di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data individu anggota rumah tangga dewasa yang dikumpulkan dengan wawancara kepada anggota rumah tangga dan menggunakan bantuan kuesioner. Data yang digunakan meliputi: jenis kelamin, umur, antropometri (tinggi badan dan berat badan), status perkawinan, wilayah tempat tinggal, pendidikan, pekerjaan, pengeluaran rumah tangga, besar keluarga, kebiasaan aktivitas fisik berat, perilaku konsumsi (kebiasaan merokok, minum alkohol, konsumsi sayuran dan buah, konsumsi makanan manis, berlemak, jeroan, dan kondisi mental emosional.

Pengumpulan data antropometri sampel dilakukan dengan pengukuran sampel secara langsung. Berat badan sampel diukur dengan timbangan digital yang memiliki presisi 0.1 kg sedangkan tinggi badan diukur dengan microtoise yang memiliki presisi 0.1 cm. Timbangan digital yang digunakan selalu dikalibrasi sebelum digunakan dan baterai yang digunakan segera diganti jika habis sehingga didapat keakuratan yang optimal.

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh dan terkumpul kemudian dianalisis menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2003 dan SPSS 13.0 for Windows. Tahap pengolahan data yang pertama adalah editing dan cleaning data yang sudah ada kemudian dipilih berdasarkan variabel yang akan diteliti. Pengategorian dirujuk sesuai laporan hasil Riskesdas tahun 2007. Uraian variabel-variabel yang digunakan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4 Pengategorian variabel

No. Kode

Kuesioner Variabel Kategori Skala

1 u1, u2a Indeks Massa Tubuh (IMT) Ordinal 2 b4k4 Jenis kelamin 1= Laki-laki

2= Perempuan Nominal 3 b4k5 Umur 1= 15-24 tahun 2= 25-34 tahun 3= 35-44 tahun 4= 45-54 tahun 5= 55-64 tahun 6= 65-74 tahun 7= ≥ 75 tahun Ordinal

4 b4k6 Status perkawinan 1= belum menikah

(33)

No. Kode

Kuesioner Variabel Kategori Skala

5 b4k7 Pendidikan 1= Tidak sekolah 2= Tamat SD 3= Tamat SLTP 4= Tamat SLTA 5= Tamat PT Ordinal 6 b1r5 Wilayah 1= perkotaan 2= perdesaan Nominal 7 b4k8 Pekerjaan 1= Tidak kerja 2= Ibu Rumah Tangga 3= Sekolah 4= Pegawai 5= Wiraswasta 6= Petani/Nelayan/Buruh 7= Lainnya Ordinal

8 jartssn Jumlah Anggota Keluarga (ART)

1= 1-2 orang 2= 3-4 orang 3= 5-6 orang 4= >6 orang Ordinal 9 d11 Kebiasaan merokok

1= Ya, setiap hari 2= Ya, kadang-kadang 3= Tidak, sebelumnya pernah

4= Tidak sama sekali

Nominal

10 d18 Kebiasaan minum alkohol 1= Minum

2= Tidak minum Nominal 11 d23 Kebiasaan melakukan aktivitas

fisik berat

1= Ya

2= Tidak Nominal 12 d31 s.d d34 Kecukupan konsumsi sayur dan

buah

1= Kurang

2= Cukup Nominal 13 d35a Kebiasaan konsumsi makanan

manis

1= jarang

2= sering Ordinal 14 d35c Kebiasaan konsumsi makanan

berlemak

1= jarang

2= sering Ordinal 15 d35d Kebiasaan konsumsi jeroan dan

sejenisnya

1= jarang

2= sering Ordinal

16 Neko_kpi Pengeluaran rumah tangga

1= kuintil 1 2= kuintil 2 3= kuintil 3 4= kuintil 4 5= kuintil 5 Ordinal

17 f01 s.d. f20 Kondisi mental emosional 1= Terganggu

2= Tidak terganggu Nominal

Kategori data penelitian ini terdiri dari variabel dependen (kejadian kegemukan) dan variabel independen (karateristik demografi, keadaan sosial-ekonomi, perilaku konsumsi, kebiasaan melakukan aktivitas fisik, dan kondisi mental emosional). Selanjutnya, data diolah dengan tiga pendekatan analisis yaitu : analisis univariat, bivariat, dan multivariat.

Analisis Univariat

Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan setiap variabel baik variabel dependen dan independen dengan gambaran distribusi frekuensinya bentuk statistik deskriptif dalam bentuk jumlah dan persentase karena sebagian besar data berupa data kategorik. Status gizi penduduk yang

(34)

mengalami kegemukan di Indonesia dengan usia dewasa 15 tahun ke atas ditentukan dengan perhitungan Indeks Massa Tubuh (IMT) menurut Depkes tahun 1998. Sampel dikatakan gemuk apabila memiliki IMT ≥ 25 yang terdiri dari kategori BB lebih dan obese sedangkan dikatakan tidak gemuk apabila sampel memiliki IMT < 25 yang terdiri dari kategori normal dan kurus. Gambaran distribusi sampel dibagi menjadi karakteristik demografi, keadaan sosial-ekonomi, gaya hidup (perilaku konsumsi, aktivitas fisik), dan kondisi mental emosional.

Analisis Bivariat

Analisis bivariat selanjutnya digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel, yaitu variabel dependen dengan salah satu independen. Uji kemaknaan variabel nominal jenis tabel 2x2 menggunakan Chi-square dan nilai

Odds Ratio (OR) dengan dependen variabel berupa kategori gemuk dan tidak

gemuk (kategorik). Uji kemaknaan dengan variabel yang skala ordinal diolah dengan Korelasi Spearman dengan dependen variabel Indeks Massa Tubuh (IMT) sampel. Kriteria tingkat kemaknaan statistik yang dianjurkan adalah p<0.05 disesuaikan umum digunakan pada studi gizi dan kesehatan masyarakat. Jenis variabel yang dianalisis berjenis kategorik, baik variabel dependen atau independen.

Analisis Multivariat

Selain kedua analisis tersebut digunakan pula analisis multivariat. Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui nilai faktor risiko atau Odds Ratio (OR) variabel independen terhadap variabel dependen. Seluruh variabel independen dianalisis bersama-sama untuk mengetahui variabel independen mana yang paling berpengaruh terhadap variabel dependen. Analisis ini menggunakan model binary logistic regression dengan metode backward wald. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

n n n n x x x x x x x x

e

e

x

    

...... 3 3 2 2 1 1 0 3 3 2 2 1 1 0

1

)

(

Keterangan:

л (x) = Peluang terjadinya gemuk (0 = tidak gemuk, 1 = gemuk)

e = eksponensial β0 - β1 = koefisien regresi

(35)

x2 = umur [0= 15-19 tahun atau 40 tahun ke atas, 1= 20-39 tahun] = umur [0= 15-39 tahun atau 60 tahun ke atas, 1= 40-59 tahun] = umur [0= 15-59 tahun, 1= 60 tahun ke atas]

x3 = perkawinan [0= belum menikah, 1= menikah]

x4 = besar keluarga [0= > 4 ART, 1= ≤ 4 ART] x5 = wilayah tinggal [0= perdesaan, 1= perkotaan]

x6 = pendidikan [0= tidak sekolah atau tamat SLTA & PT , 1= tamat SD dan SLTP]

= pendidikan [0= tidak tamat SLTA, 1 = tamat SLTA & PT] x7 = pekerjaan [0= bekerja, 1= tidak bekerja]

x8 = pengeluaran rumah tangga [0= kuintil 1 s.d. 2, 1= kuintil 3 s.d. 5] x9 = kebiasaan minum alkohol [0= tidak minum, 1= minum]

x10 = kebiasaan merokok [0= bukan perokok, 1= perokok]

= kebiasaan merokok [0= bukan perokok, 1= mantan perokok] x11 = kecukupan konsumsi sayur dan buah [0=cukup, 1=kurang] x12 = kebiasaan konsumsi makanan manis [0= jarang, 1= sering] x13 = kebiasaan konsumsi makanan berlemak [0= jarang, 1= sering] x14 = kebiasaan konsumsi jeroan dan sejenisnya [0= jarang, 1=sering] x15 = kebiasaan melakukan aktivitas fisik berat [0= ya, 1= tidak] x16 = kondisi mental emosional [0= tidak terganggu, 1= terganggu]

(36)

Definisi Operasional

Kegemukan adalah keadaan gemuk yang ditandai oleh adanya penimbunan lemak yang berlebihan tercermin pada berat badan yang berlebih dari normal, penggolongan kegemukan sampel didasarkan pada Indeks Massa Tubuh (IMT) menurut Depkes tahun 1998 di mana sampel gemuk memiliki IMT ≥ 25.00 dan tidak gemuk memiliki IMT< 25.00. Risiko Kegemukan adalah peluang seseorang untuk berisiko menjadi gemuk. Faktor yang mempengaruhi risiko kegemukan adalah faktor-faktor yang dapat

meningkatkan atau pun menurunkan risiko kegemukan pada sampel. Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah alat ukur atau indikator status gizi yang

diukur berdasarkan berat badan dan tinggi badan sampel.

Demografi adalah karakteristik sampel meliputi jenis kelamin, umur, perkawinan, dan besar keluarga.

Sosial-ekonomi adalah keadaan sampel yang dinilai berdasarkan pendidikan, pekerjaan, pengeluaran rumah tangga, dan wilayah tempat tinggal sampel yang dapat berpengaruh terhadap gaya hidup seseorang. Pendidikan adalah jenjang pendidikan tertinggi yang pernah ditempuh sampel

yang dikategorikan menjadi tidak pernah sekolah; tidak tamat SD; tamat SD; tamat SLTA; dan tamat Perguruan Tinggi.

Wilayah adalah wilayah tempat tinggal sampel yang digolongkan menjadi wilayah perkotaan dan perdesaan di setiap provinsi.

Pekerjaan adalah jenis aktivitas yang mendatangkan penghasilan utama yang dikategorikan menjadi tidak bekerja; sekolah; ibu rumah tangga; pegawai (TNI/Polri, PNS, pegawai BUMN/swasta); wiraswasta (wiraswasta/pedagang/pelayanan jasa); petani/nelayan/buruh; dan lainnya.

Pengeluaran adalah pengeluaran rumah tangga yang terdiri dari pengeluaran pangan dan non pangan dalam rumah tangga digolongkan menjadi beberapa tingkatan berupa 5 kuintil ditetapkan secara nasional oleh Badan Pusat Statistik Nasional, semakin besar kuintil maka semakin

besar pengeluaran rumah tangga rumah tangga sampel. Kuintil 1 Rp. 160 000,00; kuintil 2 Rp. 219 000, 00; kuintil 3 Rp. 272 000,00;

kuintil 3 Rp. 344 000,00; dan kuitil 5 Rp. 555 000,00.

Gaya hidup adalah kebiasaan hidup seseorang yang terdiri dari perilaku konsumsi dan kebiasaan beraktivitas fisik.

Gambar

Tabel 2 Batas Ambang IMT untuk Laki-laki dan Perempuan Dewasa di Asia
Gambar   Kerangka pemikiran hubungan faktor gaya hidup dengan kegemuka  pada orang dewasa di Provinsi Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan
Tabel 4 Pengategorian variabel
Tabel 5 Gambaran sampel berdasarkan kondisi demografi di Provinsi   Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan Gorontalo
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hingga saat ini, Kelas Inspirasi telah diselenggarakan oleh ribuan relawan di 119 kota di Indonesia dan menjadi salah satu pilar gerakan Indonesia Mengajar yaitu keterlibatan

Tujuan dari Kelas Inspirasi ini ada dua, yaitu menjadi wahana bagi sekolah dan siswa untuk belajar dari para profesional, serta agar para profesional, khususnya kelas

1) Mengevaluasi kinerja portofolio investasi PT Taspen (Persero) yang memberikan nilai tambah ekonomis. 2) Merumuskan skala prioritas penempatan dana investasi PT Taspen

Berdasarkan hasil dan pembahasan tersebut maka diperoleh simpulan sebagai berikut: (1) Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi jeruk siam di Kecamatan Bangorejo

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan pakan komplit berupa silase limbah tanaman jagung dan sorghum sebagai pakan hijauan

Gina Patriasih. Pengaruh Penguasaan Konsep Suku Banyak Terhadap Kemampuan Menyelesaikan Matriks Sistem Persamaan Linear dengan Menggunakan Kaidah Cramer. Kemampuan

Sedemikian penting peran ibu dalam menentukan masa depan masyarakat dan negaranya, sampai kaum perempuan (ibu) tersebut diibaratkan tiang negara. Kasih sayang seorang ibu

Tujuan penelitian ini untuk menguji pengaruh keceerdasan emosiol, kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual terhadap tingkat pemahaman akuntansi, dengan