• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM MASYARAKAT TRANSISI: Studi Interaksi Nilai Agama dan Budaya di Batam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM MASYARAKAT TRANSISI: Studi Interaksi Nilai Agama dan Budaya di Batam"

Copied!
301
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM

MASYARAKAT TRANSISI:

Studi Interaksi Nilai Agama dan Budaya di Batam

Disertasi

Diajukan Kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang

Pendidikan Agama Islam

Oleh :

Abd. Hafid

NIM. 31171200000039

Pembimbing

Prof. Dr. AzyumardiAzra, MA.

Prof. Dr. Suwito, MA.

ROGRAM DOKTOR PENGKAJIAN ISLAM

KONSENTRASI PENDIDIKAN ISLAM

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM

NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji atas Kemahapengetahuan-Nya, yang penulis

reguk melalui studi Strata 3 (S3) ini, dan bi-fad}l Alla>h, berkat karunia-Nya, berbagai kemudahan dalam menyelesaikan liku-liku penelitian disertasi ini, sehingga sampai pada akhirnya, penulis dapat menarasikan kata pengantar ini.

Penulis yakin atas rahmat dan petunjuk-Nya dapat sampai pada tahap akhir ini. Namun dari sejumlah rangkain proses yang sudah dilewati ada banyak pihak yang turut membantu, mendorong dan memotivasi, baik secara materi maupun moril. Oleh Sebab itu, penulis ingin menyampaikan perhargaan dan ucapan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah terlibat dalam penulisan Disertasi ini.

Terselesaikannya disertasi ini berkat bantuan dari sejumlah pihak, dan sebagai bentuk ekspresi terima kasih, disebutkan satu-persatu kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, MA, sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar,MA, sebagai Direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, sebagai promotor pertama yang telah membimbing, mengayomi, dan memberikan ide dan gagasan yang konstruktif dalam penyelesaian disertasi ini.

4. Prof. Dr. Suwito, MA, sebagai promotor kedua yang telah mendidik, membimbing, dan memberikan ide kreatif-imajinatif kepada penulis sehingga disertasi ini dapat diselesaikan.

5. Prof. Dr. H. Didin Saefuddin, MA sebagai Ketua Prodi Doktor Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Seluruh dosen, karyawan, dan pustakawan Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan pendidikan.

7. Kementerian Agama Republik Indonesia, Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Ditjen Pendis Kementerian Agama,yang telah memberikan beasiswa kepada penulis melalui Program Beasiswa 5000 Doktor, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan doktor (S3) ini dengan baik.

8. Ketua, seluruh dosen, pegawai, dan civitas akademika Sekolah Tinggi Ilmu Agama (STAI) Ibnu Sina Batam yang turut membantu selama proses pendidikan penulis di Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 9. Orang tua; ayah, H. Palaling Daeng Nambung (alm) dan Ibu Rabiah Daeng

Ngugi yang selalu mendukung dan berdoa kepada penulis agar senantiasa menuntut ilmu hingga akhir hayat.

10. Ayah mertua, Rameno Romadlon (Alm) dan Ibu Nikmatun, yang mendorong penulis untuk terus belajar dan mencintai ilmu.

(3)

ii 11. Saudara-saudara kandung saya serta saudara ipar yang sejak awal juga memberikan dorongan moril untuk tetap melanjutkan studi hingga tingkat doktoral.

12. Terkhusus, terucap lisan dan hati, kepada istri tercinta, Hefi Eliana, S.Tr beserta anak-anak yang kami sangat cintai, masing-masing Nurainun Amelyah, Sultan Rey El Haflie, Ratu Young De Haflie dan Happy Tsalsa De Haflie yang selalu membangkitkan semangat kepada penulis dalam berbagai situasi dan kondisi. Kepada anak-anakku- yang mereka yang secara simbolik membuat penulis terpecut untuk senantiasa menjadi teladan dan contoh bagi mereka dalam mencapai masa depan gemilang, yang pada akhirnya menjadi motivasi akseleratif bagi penulis untuk dapat menyelesaikan pendidikan doktor.

13. Seluruh keluarga besar yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan pendidikan baik secara moril maupun materil.

14. Seluruh teman-teman Program Doktor (S3) Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada umumnya dan Angkatan 2017 pada khususnya yang telah memberikan motivasi dan bantuan moril dan materil kepada penulis sehingga disertasi ini bisa diselesaikan.

Penulis menyadari disertasi ini memiliki kekurangan. Oleh karena itu, kritik, saran, dan masukan sangat diharapkan dari semua pihak demi kesempurnaannya. Semoga setiap bantuan yang telah diberikan dibalas Allah dengan kebaikan.

Jakarta, Agustus 2020

(4)

vi ABSTRAK

(5)

vii Disertasi ini dapat membuktikan bahwa pendidikan multikultural mampu membentuk sikap dan pemikiran siswa dan masyarakat untuk terbuka memahami dan menghargai perbedaan dan keberagaman. Semakin kuat pemahaman nilai-nilai agama dan budaya serta interaksi sosialnya di masyarakat, semakin tinggi kepekaannya dalam menciptakan kedamaian, toleransi dan mencegah terjadinya konflik sosial.

Penelitian ini mendukung dan memperkuat teori James A. Banks (1990) bahwa melalui pendidikan multikultural sejak dini diharapkan anak mampu menerima dan memahami perbedaan budaya yang berdampak pada perbedaan

usage (cara-cara), folkways (kebiasaan), mores (tata kelakukan), customs (adat

istiadat) seseorang. Sehingga sejak dini mampu menerima perbedaan, kritik, dan memiliki rasa empati, toleransi pada sesama tanpa memandang status, kelas sosial,golongan, gender, etnis, agama maupun kemampuan akademik. Penelitian ini juga mendukung pendapat John Dewey (1859), bahwa Peace Education ) adalah sebuah proses untuk mendapatkan pengetahuan, pengembangan sikap, dan tingkah laku untuk dapat hidup saling menghormati, toleran, penuh perdamaian, saling membantu, dan anti kekerasan. Penelitian ini mendukung pendapat Azyumardi Azra (2012), bahwa multikulturalisme bisa dipahami sebagai pengakuan, sebuah Negara atau masyarakat adalah beragam dan majemuk. Penelitian ini mendukung pendapat H.A.R Tilaar (2002), bahwa dalam pedagogik kesetaraan, kita menghormati kesetaraan dari berbagai jenis budaya dalam masyarakat Indonesia, kesetaraan di dalam kehidupan bersama dalam mengurangi gap yang semakin menonjol antara yang kaya dan yang miskin, kesetaraan gender, dan kesetaraan dalam kesempatan memperoleh pendidikan.

Proses pendidikan multikultural, interaksi nilai agama dan budaya dalam masyarakat transisi di Batam terjadi melalui tiga model pendidikan; Pertama, melalui model pendidikan formal di Batam diantaranya; ,SMP Islam Al Barkah, SMPIT Nurul Muhajirin, SMP 10, SMP 11, SMP 12, SMP 17, SMP 26, SMP 34, SMP 40. Kedua, melalui model pendidikan nonformal, antara lain Lembaga Adat Melayu (LAM) Batam, Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Batam, Organisasi Paguyuban Daerah yang di Batam. Ketiga, melalui pendidikan informal dan lingkungan masyarakat.

Sumber utama disertasi ini adalah hasil wawancara, observasi di obyek penelitian. Sedangkan sumber sekundernya adalah buku-buku, jurnal nasional dan internasional, majalah, dan website yang relevan dengan tema penelitian yang dilakukan. Penelitian ini menggunakan metode kualititatif, dengan pendekatan deskripstif eksploratif yang bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang pendidikan multikultural dalam masyarakat transisi, dan interaksi nilai agama dan budaya di Batam.

Kata Kunci: Pendidikan, Agama, Budaya, Multikulturalisme, Nilai

(6)

viii This dissertation can prove that multicultural education is able to shape the attitudes and thoughts of students and society to openly understand and appreciate differences and diversity. The stronger the understanding of religious and cultural values and social interactions in society, the higher the sensitivity in creating peace, tolerance and preventing social conflicts.

This study supports the theory of James A. Banks (1990) that through multicultural education from an early age it is expected that children will be able to accept and understand cultural differences that have an impact on differences in usage (ways), folkways (habits), mores (behavior), customs (customs). mores) someone. So that from an early age they are able to accept differences, criticism, and have a sense of empathy, tolerance for others regardless of status, social class, class, gender, ethnicity, religion or academic ability. This research also supports the opinion of John Dewey (1859), that Peace Education (peace education) is a process to gain knowledge, develop attitudes, and behavior to be able to live in mutual respect, tolerance, peace, mutual assistance, and non-violence. This research supports the opinion of Azyumardi Azra (2012), that multiculturalism can be understood as recognition, that a country or society is diverse and plural. This research supports the opinion of HAR Tilaar (2002), that in equality pedagogy, we respect equality of various types of culture in Indonesian society, equality in life together in reducing the increasingly prominent gap between rich and poor, gender equality, and equality in society. opportunity to get education.

The process of multicultural education, the interaction of religious and cultural values occurs through three educational models; First, through the formal education model, at SMP Islam Al Barkah Batam, SMPIT Nurul Muhajirin Batam, SMP 10 Batam, SMP 11 Batam, SMP 12, SMP 17 Batam, SMP 26 Batam, SMP 34 Batam, SMP 40 Batam Second, through the education model non-formal, including the Batam Malay Customary Institution (LAM), the Batam Religious Communication Forum (FKUB), the Regional Association Forum Organization in Batam, Social organizations engaged in religion and culture. Third, through informal education and the community environment.

The main sources of this dissertation are the results of interviews with informants and the results of observations on the research object. Meanwhile, secondary sources in this research are books, national and international journals, magazines, and websites that are relevant to the research theme being carried out. This study uses a qualitative method, with an exploratory descriptive approach which aims to obtain an overview of multicultural education in a transitional society, and the interaction of religious and cultural values in Batam.

Keywords: Education, Religion, Culture, Multiculturalism, Values

(7)

ix ةلاسرلا هذه تبثت ةروتكدلا طلا فقاوم ليكشت ىلع رداق تافاقثلا ددعتم ميلعتلا نأ اكفأوبلا ر مه .ةينلاع عونتلاو تافلاتخلاا ريدقتو مهفل عمتجملاو قلا ةينيدلا ميقلا جمد مت املك كلذلو عم ةيو ةفاقثلا و تلاعافتلا ةيعامتجلاا سحلا تداز .ةيعامتجلاا تاعازنلا عنمو حماستلاو ملاسلا قلخ يف (سكناب .أ سميجةيرظن ةساردلا هذه معدت 1990 هنأب ةلئاقلا ) ا لا للاخ نم عقوتملا نم ت ددعتم ميلع ركبم نس ذنم تافاقثلا ىلع نيرداق لافطلأا نوكي نأ لوبق يتلا ةيفاقثلا تافلاتخلاا مهفو ل يثأت اه ىلع ر مادختسلاا تافلاتخا ( usage و ) داعلا ( تا folkways و) ةيكولسلا دعاوقلا لاو ( ديلاقت customs ل ) صخش .ام و لاوبق ىلع نيرداق اوناك ةيادبلا يف تافلاتخلا و دقنلا لآا عم حماستلاوفطاعتلاب روعشلاو نيرخ ب رظنلا ضغ ع ن سنجلا ةيعامتجلاا ةقبطلا وأ عضولا ةي قرعلا ةي نيدلا ةي ةيميداكلأا ةردقلاو تو. أر اًضيأ معد ي وج ( يويد ن 1859 ) ( ملاسلا ميلعت نأب Peace Education كولسلاو فقاوملا ريوطتو ةفرعملا باستكلا ةيلمع وه ) ل وكت ي ن ةردقلا .فنعلالاو ةلدابتملا ةدعاسملاو ملاسلاو حماستلاو لدابتملا مارتحلاا يف شيعلا ىلع تو معد أ اضي يأر ارزأ يدرامويزأ ( 2012 ةيفاقثلا ةيددعتلا نأب لئاقلا ) فارتعا اهنأ ىلع اهمهف نكمي ب نأ ا وأ دلبلا عمتجمل .ددعتمو عونتم تو معد اضيأ يأر رلايت .ر .أ .ه ( 2002 ) نأب لئاقلا ان يف ةيوبرتلا ةاواسملا نيب ةاواسملا مرتحن ةايحلا يف ةاواسملاو يسينودنلإا عمتجملا يف ةفاقثلا عاونأ فلتخم ايوس ةوجفلا ليلقت يف ا يازتمل لأا نيب ةد ءاينغ تلا ىلع لوصحلل ةصرف يف ةاواسملاو نيسنجلا نيب ةاواسملاو ءارقفلاو ةيبر و . ت أر اًضيأ معد رون ي صلاخ ( ديجم 1996 يساسلأا موهفملا ىلإ دنتست ةيناسنإ ةبقاث ةرظن يميهاربلإا نيدلل نأب ) ب نأ لإا ناسن وي دل ىلع ةرطفلا نلأ اهل ةسدقملا فقاوملا يف اهنع ريبعتلا متي يتلاو ةسدقم ةعيبط عم ناسحلإاو لآا .نيرخ يفو تافاقثلا ددعتم ميلعتلا ةيلمع تثدح خ نم ًلاوأ ؛ةيميلعت جذامن ةثلاث للاخ نم ذومن للا يلعتلا ج م ةسردم يف يمسرلا ةكربلا ةطسوتملا ةيملاسلإاماتاب و ةطسوتملاماتابنيريجاهملا رون ةسردم لإا لاس ةيم و ةلماكتملا ماتاب ةسردم 10 ةطسوتملا ةسردمو ماتاب 11 ةطسوتملا ماتاب ةسردمو 12 ةطسوتملا ةسردمو ماتاب 17 ةطسوتملا ةسردمو ماتاب 26 ةطسوتملا ةسردمو ماتاب 34 ةطسوتملا ةسردمو ماتاب 40 ةطسوتملا ا دلت يتل و نييطارقميددجب نيطيشن نيطبضنم نيحماستم نيقداص نينيدتم اًبلاط م بح ي ينيدلا عونتلا قثلاو يفا مو بح لي نطو و.مه يف امب يمسرلا ريغ ميلعتلا جذومن للاخ نم اًيناث نمه ويلاملاةيفرعلا ةسسؤم اتابةي ( م LAM ) لاصتلا ماتاب ىدتنمو لا ينيدلانينيدتم ( FKUB ) اب يف عمتجملا تامظنمل ةيميلقلإا ةطبارلاو تامظنملاو مات .ةفاقثلاو نيدلا يف ةلماعلا ةيعامتجلاا و ارعلأا نيب نواعتلا ءانب ىلع رداق ميلعتلا اذه لااو ق نيب مارتح نايدلأا فلتخم نم ةيقرعلا تاعومجملا و تاعامجلاو قارعلأاو لئابقلا و . لا للاخ نم :اًثلاث ةيبرت ا لال يمسر ةئيبو .عمتجملا و عمتجملا يف لدابتملا نواعتلا فقوم زيزعت ىلع رداق ميلعتلا اذه . اظحلاملا جئاتنو نيربخملا عم تلاباقملا جئاتن يه ةلاسرلا هذهل ةيسيئرلا رداصملا ىلع ت ك نئا ةيوناثلا رداصملا هسفن تقولا يفو .ثحبلا ةمدختسملا يف اه و بتكلا يه لا يرود لاتا ةيملع طولا او ةين ةيلودل .هذيفنت يراجلا ثحبلا عوضومب ةلصلا تاذ ةينورتكللإا عقاوملاو تلاجملاو او مدختس ت دلا هذه ةسار ط ةقير ةيعون قيرط نع يف تافاقثلا ددعتم ميلعتلل ةروص ىلع لوصحلا ىلإ فدهي يفصو يفاشكتسا جهن م عمتج ماتاب يف ةيفاقثلاو ةينيدلا ميقلا لعافتو يلاقتنا ينعتو ، لا داعبأ بعلت فيك ةينيدلا ميق و قثلا ًرود ةيفا ليكشت يف ا اًعم عمتجملاو بلاطلا ةيصخش . ،ةيددعتلا ،ةفاقثلا ،نيدلا ،ةيبرتلا :ةيحاتفملا تاملكلا .ةميقلا

(8)

x Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini adalah ALA-LC ROMANIZATION tables sebagai berikut:

A. Konsonan b = ب t = ت th = ث j = ج h{ = ح kh = خ d = د dh = ذ r = ر z = ز s = س sh = ش s{ = ص d{ = ض t} = ط z{ = ظ ‘ = ع gh = غ f = ف q = ق k = ك l = ل m = م n = ن h = ه w = و y = ي B. Vokal Pendek : a = ´ ; i = ِ ; u = ِ Panjang : a< = ا ; i> = ي ; ū = و Diftong : ay = ي ا ; aw = او C. Konsonan rangkap karena Syaddah ditulis rangkap

ةددعتم

ةّدع ditulis ditulis

Muta‘addidah ‘Iddah D. Ta' Marbutah

1. Bila dimatikan ditulis h

ةمكح ditulis H{ikmah

ةلع ditulis ‘Illah

Catatan:

Ketentuan ini tidak diperlakukan terhadap kata-kata Arab yang sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti salat, zakat, dan sebagainya, kecuali bila dikehendaki lafal aslinya.

2. Bila diikuti dengan kata sandang “al” serta bacaan kedua itu terpisah, maka tertulis dengan h.

ءايلولأا ةمارك ditulis Kara>mah al-Awliya>’

DAFTAR ISI

Halaman Judul ………. i

Kata Pengantar ………. ii

(9)

xi

Lembar Persetujuan Pembimbing ……… v

Abstrak ………. vi

Pedoman Transliterasi Arab Latin ……….. ix

Daftar Isi ……….. xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Identifikasi, Perumusan Masalah dan Pembatasan Masalah ….. 18

1. Identifikasi Masalah ………. 18 2. Rumusan Masalah ……… ……… 19 3. Pembatasan Masalah ………. 19 a. Fokus Penelitian ………. 19 b. Lokasi Penelitian ……… 19 c. Waktu Penelitian ……… 19 C. Tujuan Penelitian ……….. 19

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian ……… 19

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ……….. 20

F. Metodologi Penelitian ………. 29

1. Jenis Penelitian ……… 29

2. Sumber Data ………. 3. Teknik Pengumpulan Data ……… 4. Teknik Analisa Data ………. 37 39 40 G. Sistematika Penulisan ………... 41

BAB II PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DAN INTERAKSI NILAI AGAMA DAN BUDAYA DALAM MASYARAKAT TRANSISI A. Pendidikan Multikultural Dalam Masyarakat Transisi 43 1. Konsep Pendidikan Multikultural ……….………... 45

2. Pengembangan Masyarakat Transisi Menuju Masyarakat Modern ……….. 52 B. Konsep Nilai Agama Dalam Pendidikan Islam ………

1. Konsep Nilai ……….. 2. Smber Nilai ……… 3. Fungsi Nilai ……… 4. Nilai-Nilai Keagamaan dalam Islam ……….

61 61 65 66 68

(10)

xii C. D. E. BAB III A. B. C. D.

Konsep Interaksi Nilai Agama dan Budaya ………. Konsep Pendidikan Pluralisme ………. ……… 1. Pendidikan Pluralisme Agama ………... 2. Pluralisme Agama Dalam Pandangan Islam ………. PendidikanNilai Budaya Berbasis Kearifan Lokal ……… 1. Nilai Budaya Sebagai Model Pendidikan Karakter ……… 2. Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Melayu ………….………….. POTRET KEHIDUPAN SOSIAL, BUDAYA, AGAMA DAN PENDIDIKAN DI BATAM

Asal Mula Nama Batam dan Orang Melayu di Batam ………… Gambaran Kehidupan Sosial Budaya dan Agama Batam ……… 1. 1. Keberagaman Masyarakat Batam ………. 2. 2. Batam Sebagai Bandar Dunia Madani ……….

Potret Sekolah Islam di Batam ……….. Melayu Dalam Konteks Nilai Budaya Lokal di Batam ………… 1. Adat Dalam Kebudayaan Melayu ……….. 2. Empat Kategori Adat Melayu ………. 3. Fungsi Adat ……….. 4. Niali-Nilai Adat Melayu ,……….

70 76 76 83 89 89 96 102 108 108 113 118 112 123 125 134 135 BAB IV PENDIDIKAN ISLAM DAN KEBUDAYAAN MELAYU DI

BATAM A.

B.

C.

Pendidikan Islam dan Persaudaraan Umat Beragama di Batam 1. Pancasila Sebagai Sumber Nilai Pendidikan ……… ….. 2. Budaya Toleransi dalam Keberagaman di Batam ……… Budaya Melayu di Era Globalisasi ……… 1. Melayu Dalam Multikultural di Batam ………. 2. Nilai Agama dan Budaya Dalam Kearifan Lokal Melayu di

Batam ……… a. Gurindam Duabelas

………

b. Pantun Melayu ……….. c. Adat Bersendikan Syara’, Syara’ Bersendikan Kitabullah .. d. Dimana Bumi Dipijak, Disitu Langit Dijunjung …………. e. Patah Tumbuh Hilang Berganti, Takkan Melayu Hilang di

Bumi ………...

Interaksi Nilai Agama dan Budaya Melaui Model Pendidikan di Batam ……….. 1. Peranan Pemerintah Dalam Melestarikan Nilai-nilai Kearifan

Lokal di Batam ……… 2. Model Pendidikan Dalam Interaksi Nilai Agama dan Budaya di

Batam ……… a. Interaksi Melalui Model Pendidikan Formal ……… b. Interaksi Melalui Model Pendidikan Nonformal …………..

139 139 145 151 151 155 157 171 163 172 174 174 176 177 179 190 181 188 192

(11)

xiii BAB. V

A.

c. Interaksi Melalui ModelPendidikan Informal ……….. 3. Peranan Lembaga Sosial Dalam Interaksi Nilai Agama dan

Budaya di Batam ……….. a. Peranan FKUB Dalam Penyelesaian Konflik Sosial di

Batam ………. b. Peranan Orgaisasi Paguyuban Dalam Menjalin Kerukunan

Antar Etnis di Batam ……….. MODEL PENDIDIKAN BERBASIS AGAMA DAN BUDAYA DI BATAM

Model Pendidikan Pluralisme Sebagai Media Interaksi Sosial di Batam ………. 1. Dialog Antar Umat Beragama ……….. 2. Prinsip Toleransi ……….. Pendidikan Multikultural Sebagai Model Pembelajaran di Batam ...

Peace Education dan Budaya Gotong Royong Sebagai Implemen-

tasi Model Pendidikan Multikultural di Batam ……… 1. Peace Education Sebagai Resolusi Konflik ……… 2. Budaya Gotong Royong Sebagai Media Pemersatu ………….. Humanisme Sebagai Implikasi Pendidikan Karakter Berbasis Nilai Agama dan Budaya di Batam

1. Humanisme Dan Implementasinya Dalam Pendidikan di Batam 2. Terwujudnya Masyarakat Berkarakter Humanis-Religius di

Batam ……… PENUTUP Kesimpulan ……….. Rekomendasi ………... Saran-Saran ………. 195 196 201 B. C. D. BAB VI A. B. C. 207 216 221 226 234 235 241 248 248 253 256 257 258 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN

(12)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Belakangan ini telah muncul fenomena global yang melanda dunia, yaitu adanya kekerasan dan tindakan teror atas nama agama. Seolah-olah agama adalah sumber konflik. Padahal pada awalnya semua Nabi yang diutus Tuhan adalah untuk menyampaikan agama sebagai rahmat sekaligus pembawa kabar gembira yang menawarkan kebajikan, kebenaran, dan kedamaian hidup bagi manusia. Agama juga merupakan kekuatan untuk membebaskan manusia dari kebodohan, ketertindasan, dan pertikaian yang menyengsarakan.1Kobylarek, Christian Zwingmann, berpendapat, bahwa agama dan budaya memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk budi pekerti dan perilaku seseorang.2 Thomas L Friedman,3

dalam teorinya the world is flat, mengindikasikan, bahwa budaya dan agama menjadi satu bahkan antara budaya dan agama diibaratkan dua kepingan mata uang yang menjadi satu. Demikian juga dengan Aleksander Kobylarek, yang menyatakan agama dan budaya berdiri sejajar dan sama-sama membentuk sikap individu.4

Menurut Michalinos Zembylas dan ZviBekerman, dalam Jurnalnya Peace

Education in the Present: dismantling and reconstructing some fundamental

theoretical premises,5dengan jelas menyatakan, bahwa agama tidak bisa

menyelesaikan konflik sosial, dan hanya budaya yang mampu melerai segala konflik dan praktik kekerasan serta gesekan-gesekan sosial lainnya yang terjadi di masyarakat. Dengan demikian, di satu sisi keragaman dapat menciptakan harmonisasi di dalam masyarakat, namun di sisi lain adanya konflik antar berbagai kelompok masyarakat dengan latar belakang suku, agama, ras dan antargolongan

1Komarudin Hidayat, Memaknai Jejak-Jejak Kehidupan (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009), 144.

2Christian Zwingman, Markus Wirtz, Claudia Muller, JurgenKorber, and Sebastian Murken, “Positive and Negative Religious coping In German Breast Cancer Patients”, Journal of Behavioral Medicine, 29, No. 6 (2013): 517-553.

3 Teori ini menyebutkan bahwa bumi telah menjadi begitu datar, tak lagi dibatasi oleh sekat-sekat geografis dan sistem lokal nasional. Interaksi antar manusia seakan begitu mudahnya, jarak seakan tidak lagi menjadi hambatan struktural yang menghambat. Lihat Thomas L Friedman, “the World is Flat” the Globalized World in Twenty-First Century (London: Penguin Books, 2006), 86.

4Aleksander Kobylarek, “Education and Culture Society”, international Scientific Journal, No. 2 (2014): 44.

5MichalinosZembylas&ZviBekerman“Peace education in the present: dismantling and reconstructing some fundamental theoretical premises”, Journal of Peace Education10 (2013): 543-556.

(13)

2 (SARA). Oleh karena itu, agar manusia terhindar dari kebodohan dan praktik kekerasan maka perlu pendidikan yang berkualitas dan merata. Salah satunya dengan pendidikan multikultural.

Pada hakikatnya sejarah pendidikan yang ada di muka bumi ini usianya sama dengan sejarah manusia itu sendiri. Eksistensi pendidikan lahir bersamaan dengan eksistensi manusia. Keduanya saling melengkapi, sehingga tak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Pendidikan tanpa manusia tak punya arti apa-apa, sedangkan manusia tanpa pendidikan tidak bisa berkembang secara sempurna.6

Secara umum, tujuan pendidikan adalah untuk membantu manusia menemukan hakikat kemanusiaannya. Atau dengan kata lain, pendidikan sebenarnya dapat mewujudkan manusia seutuhnya. Sebab pendidikan merupakan landasan pokok dalam mewujudkan sebuah perubahan. Hanya dengan pendidikanlah paradigma, sikap dan perilaku manusia dapat berubah menjadi lebih baik baik. Hal ini sejalan dengan pendapat John Locke7bahwa manusia sejak lahir merupakan sesuatu yang kosong dan dapat diisi dengan pengalaman-pengalaman yang diberikan melalui pendidikan dan akan terbentuk secara terus menerus.

Pendidikan tidak hanya sekedar upaya peralihan ilmu pengetahuan (transfer

of knowledge) semata, tetapi lebih dari itu tujuan pendidikan diharapkan agar

peserta didik mengetahui dan memahami eksistensi dan potensi yang dimilikinya. Sebab tujuan akhir dari pendidikan adalah proses humanisasi yang diawali dari sebuah asumsi bahwa manusia dalam sistem dan struktur sosial mengalami dehumanisasi akibat eksploitasi kelas, dominasi gender, maupun hegemoni budaya lain. Olehnya itu, pendidikan mempunyai peran untuk membangkitkan kesadaran kritis sebagai prasyarat upaya untuk pembebasan diri.

Menurut Jhon Dewey pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia.8Demikian juga dari Brubacher yang menyatakan pendidikan merupakan

perkembangan yang terorganisasi dan kelengkapan dari semua potensi manusiawi, moral, intelektual dan jasmani oleh dan untuk kerpribadian individualnya serta

6Samsul Ma’arif, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam (Penerbit Gaya Media Pratama, 2001), 85.

7 John Locke adalah seorang filosof Inggris yang terkenal dengan teorinya "tabularasa” yang menekankan pentingnya pendekatan empiris dan pentingnya eksperimen-eksperimen dalam mengembangkan pengetahuan. Ia juga berpandangan bahwa pada mulanya jiwa pada anak itu adalah bersifat laksana selembar kertas putih, kemudia sedikit demi sedikit terisi oleh pengalaman-pengalaman yang membentuk tingkah laku anak. Menurutnya pengalaman ada dua macam yaitu pengalaman luar yang diperoleh melalui panca indra dan pengalaman dalam yakni pengalaman mengenai keadaan dan kegiatan bathin yang kemudian menimbulkan refleks. LihatJames Gordon Clapp, Locke, John " In The Encyclopedia of Philosophy, vol. 3 (Cengage Gale, n.d.), 487.

8Dewey John, Democracy and Education, Fourth Edition ((New York : The Macmillan Company), 2015).

(14)

3 kegunaan masyarakatnya yang diarahkan demi menghimpun semua aktivitas tersebut bagi tujuan hidupnya.9

Dalam konteks Islam, pendidikan adalah upaya untuk membina manusia agar mampu memahami, menghayati, meyakini dan mengamalkan ajaran Islam sehari-hari sehingga menjadi Muslim yang beriman, bertakwa kepada Allah swt dan berakhlak mulia. Maka untuk mencapai tujuan tersebut dapat dilakukan dengan menerapkan tiga kerangka dasar ajaran Islam yang meliputi tiga konsep yakni akidah, syariah dan akhlak.10Akidah bertujuan agar manusia beriman, syariah agar manusia bertakwa kepada Allah Swt, dan akhlak agar manusia berbudi pekerti (berakhlak) mulia. Hal ini sejalan dengan Firman Allah QS. An-Nur ayat 55 berbunyi “…dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara

kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh-sungguh akan

menjadikan mereka berkuasa di muka bumi”.11

Peningkatan keimanan dan ketakwaan sangat penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa bahkan menjadi syarat pertama dan utama yang diwujudkan melalui pendidikan keagamaan melalui lembaga pendidikan.12 Beberapa lembaga pendidikan Islam seperti madrasah dan pondok pesantren merupakan wujud dari proses wajar perkembangan sistem pendidikan Nasional.13 Adapun lingkungan pesantren yang umumnya terdiri dari rumah kiyai, masjid yang digunakan untuk ibadah sekaligus pengajian kitab kuning, langgar atau surau yang terbuat dari kayu ataupun bambu berbentuk sebuah pondok dan digunakan oleh santri untuk beraktivitas seperti mandi, berwudhu dan mamasak.14Jika surau disebut sebagai suatu lembaga pendidikan Islam semacam pesantren, itu tidak lain karena memiliki karakteristik yang sama atau mirip dengan pesantren.15

Dengan demikian, maka lembaga pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam menanamkan nilai-nilai Islam di masyarakat. Menurut Carter V

9John Seiler Brubacher, Modern Philosophies of Education, By John S. Brubacher (New Delhi: Tata McGraw-Hill Company Ltd., n.d.).

10Ali Khalil Mustafa Ainain, “Qiyam Al Islamiyah Wa Al Tarbiyah,” Dar Al-Fikr al-‘Arabiy, 1985, 25.

11Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahan (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 2018).

12Hasbullah and Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan (Jakarta Indonesia), Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), 127.

13Nurcholish Majid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Paramadina, 1997), 3.

14Robert W Hefner, “Making Modern Muslims: The Politic of Islamic Education In Shoutheast Asia,” Honolulu, University of Hawai’i Press, 2009. Lihat juga Karel A Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern (Jakarta:LP3ES),15

15Azyumardi Azra and Idris Thaha, Surau, Pendidikan Islam Tradisional Dalam Transisi Dan Modernisasi (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerja sama Prenadamedia Group, 2017), xvii.

(15)

4 Good16dalam A Warm (Event Hot) Welcome for New Dictionary of Education dikatakan pendidikan adalah suatu proses perkembangan kecakapan manusia berupa sikap dan perilaku yang dianut dalam suatu masyarakat, dimana manusia dapat dipengaruhi oleh suatu lingkungan yang terorganisir seperti lembaga sekolah sehingga ia dapat mencapai tingkat kecakapan sosial serta mengembangkannya pada pribadi masing-masing. Sedangkan Freeman Butt dalam buku Cultural

History of Western Education disebutkan bahwa pendidikan adalah proses kegiatan

menerima dan memberikan pengetahuan sehingga kebudayaan dapat diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya.17

Kemudian Azyumardi Azra mempertegas dengan mengatakan, pendidikan adalah lebih dari sekedar pengajaran, jika pengajaran hanya berfokus pada proses transfer ilmu, akan tetapi dalam pendidikan terdapat pembentukan kesadaran dan kepribadian anak didik. Dengan demikian nilai-nilai keagamaan, kebudayaan dan suatu bangsa dapat diwariskan kepada generasi muda.18

Adapun pendidikan Islam digambarkan dalam Al Qur’an dengan istilah

tarbiyah dalam surat Al Isra’ ayat 24 “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang, dan ucapkanlah : “Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku

waktu kecil”.19 Abdurrahman an-Nahlawi menyatakan bahwa yang dimaksud

dengan tarbiyah dalam ayat di atas adalah memeliharan fitrah anak dan menumbuhkan seluruh bakatnya, serta mengarahkannya agar menjadi baik dan sempurna secara bertahap.20 Sedangkan Syekh Muhammad al Naquib al Attas tidak menerima penggunaan kata tarbiyah untuk menandai konsep pendidikan jika yang dimaksud pendidikan Islam adalah sesuatu yang khusus bagi manusia. Menurut pendapatnya, kata tarbiyah mengandung arti “menghasilkan, mengembangkan, membesarkan, atau menjadikan bertambah dalam pertumbuhan”.21

Agama (termasuk Islam) mengandung nilai universalitas yang berasaskan “kebenaran sempurna” dan “tidak memihak” agar penganut agama dapat dikelompokkan, baik secara simbolik maupun metafisik menjadi “umat terpilih”

16William W. Brickman, “A Warm (Even Hot) Welcome for New Dictionary of Education,” ed. Carter V. Good, The Phi Delta Kappan 55, no. 6 (1974): 424–25.

17R. Freeman Butts, “Chapter I: Historical and Philosophical Foundations of Education,” Review of Educational Research 22, no. 1 (February 1, 1952): 5–13.

18A. Azra, Pendidikan Islam: Tradisi Dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Logos Wacana Ilmu, 1999), 3

19Maulana Muhammad Ali et al., Al Qur’an Terjemah dan Tafsir (Darul Kutubil Islamiyah, 2015).

20Abdurrahman an-Nahlawi, “Ushul al Taarbiyah al Islamiyah Wa Asalibuha Fi al Bayt Wa al Madrasah Wa al Mujtama,” Daar al Fikr, Damaskus, 1979, 13.

21Syed Muhammad Naguib Al-Attas, Konsep pendidikan dalam Islam (terj) haidar Baqir dari The Concept of Education of Islam) (Mizan, Bandung, 1984), 64.

(16)

5 dan “penyerahan diri” (al-Isla>m).22

Pandangan eksoteris menganggap agama itu berbeda satu sama lainnya hanya didasarkan pada kesadaran kognitif manusia. Sedangkan dari tinjauan metafisik semua agama berada pada tingkat tertinggi dan terdapat titik temu berbagai agama wahyu (Abrahamic). Kebenaran paripurna yang menjadi inti dari semua agama didukung oleh al-Qur’an, begitu pula dengan pesan-pesan agama yang bersifat metafisik di dalamnya hanya dapat diperoleh dengan keyakinan. Hal ini dapat dijumpai dalam al-Qur’an pada istilah al-Din (ketundukan, kepatuhan, ketaatan) yang dalam al-Qur’an mengandung makna tidak hanya hukum agama tertentu, namun juga berkaitan dengan kebenaran-kebenaran spiritual paripurna yang tidak berubah-ubah. Oleh Nurcholis Madjid hal ini disebut “kebenaran Perennial” (kebenaran primordial manusia).23

Dalam kaitannya dengan keyakinan, setiap agama memiliki cara tersendiri untuk berhubungan dengan Tuhan.24 Esoteris dari agama ini perlu disosialisasikan dan direalisasikan, apalagi jika disembunyikan, sebab jika agama masih terikat dengan dimensi eksoterisnya, maka seorang penganut agama hanya akan berpegang teguh pada bagian luar agama bukan inti dari agama itu sendiri.25 Dengan demikian, ide pokok yang terkandung dalam esoteris-perenial dari penjelasan semua agama pada hakikatnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk menyembah satu Tuhan, namun dengan cara yang masing-masing berbeda.26

Sejatinya agama adalah berdasarkan praktik lingkungan dan dijadikan sebagai bagian dari lingkungan sosial.27Emile Durkheim melihat pembangunan masyarakat sebagai suatu yang damai, maju, bergerak, berkembang, saling interaksi dan solidaritas sosial.28 Menurut Ibn Khaldun, organisasi masyarakat menjadi suatu keharusan bagi manusia (ijtimâ’ daruryn li an-nawâ’ al-insân).Namun, pelaksanaan pendidikan yang melibatkan komunitas antar agama merupakan

22FrithjofSchuon, Understanding Islam, 8.

23 Lihat BudhyMunawarRachman, Membaca NurcholisMadjid: Islam dan Pluralisme(Jakarta: Democrazy Project, 2011), 62.

24FrithjofSchuon, Roots of The Human Condition (Paris: World Wisdom Book, 1990), 12.

25Sayyed Hossein Nasr, the Need for a Sacred Science (The United Kingdom: Curzon Press Ltd, 1993), 174.

26Bahwa ajaran-ajaran yang sama dengan tasawuf tidak saja dimiliki oleh Islam. Dalam Hindu ada istilah moksha atau satori yang berarti suatu keadaan berhubungan dengan Tuhan. Pada Kristen, dikenal istilah theosis yang berarti keadaan pengasingan penuh dari kemewahan duniawi dan membangun kesinambungan dengan Tuhan. Walaupun tujuan tertinggi setiap jalan atau metode berbagai praktik sufistik pada umumnya sama, yakni kesadaran suci untuk bersatu dengan Tuhan dan bernilai spiritual, namun sifat dan jenis praktik sufistik saling berbeda dalam berbagai tradisi agama. Lihat Habib al-Rahman, “The Impact of Mysticism on Socio-Economic Life”, The Dialogue, 5, No. 1 (2010): 40.

27E. Durkheim, “The Elementary Forms of Religious Life” dalam M. Lambek (ed.), A Reader in the Anthropology of Religion, (Malden: Blackwell Publishing, 2002), 34–49. Dilihat W. Watts Miller, “Durkheim’s Re-imagination of Australia: A Case Study of The Relation Between Theory and Facts”, Annee Sociologique, Vol. 62, (2), (2012): 34.

28Durkheim dalam L. Brom & Philip Selzinic, Dorothy Darroch, Sosiology(New York: Harper & Row Publisher, 1981), 399.

(17)

6 prioritas dan agenda utama bagi setiap pemerintahan dalam masyarakat plural saat ini. Akan tetapi usaha seperti ini biasanya penuh dengan ketegangan dan tantangan.29

Dalam konteks kota Batam, ketegangan dan tantangan ini telah berhasil dilalui melalui prinsip-prinsip masyarakat madani. Karakteristik masyarakat madani adalah free public sphere (ruang publik bebas), yaitu kegiatan masyarakat yang memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik. Mereka berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta mempublikasikan informasi kepada publik. Karakteristik lain dari masyarakat madani adalah demokratisasi, yaitu proses untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi sehingga mewujudkan masyarakat yang demokratis. Untuk menumbuhkan demokratisasi itu, dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat berupa kesadaran pribadi, kesetaraan, dan kemandirian serta kemampuan untuk berperilaku demokratis kepada ora ng lain. Masyarakat madani juga berkarakter toleran, pluralis, berkeadilan sosial, dan memiliki partisipasi sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari rekayasa, intimidasi, ataupun intervensi dari pihak lain, sehingga masyarakat madani memiliki kedewasaan dan kemandirian berpolitik yang bertanggung jawab. Masyarakat madani juga memberikan jaminan terhadap terciptanya keadilan dan keselarasan di tengah kehidupan bermasyarakat.30 Masyarakat madani merupakan impact dari fenomena modernitas yang ternyata dibarengi dengan munculnya fenomena kebangkitan agama-agama dunia, yang pada saat bersamaan juga tercium aroma primordialisme, sektarianisme, dan radikalisme.31

Fenomena perubahan sosial masyarakat di Batam terjadi pada setiap level kehidupan masyarakat, mulai dari tingkat mikro maupun makro. Perubahan ini terjadi seiring dengan semakin maju dan berkembangnya kota sebagai kota industri kemudian menjadi kota wisata. Menurut Piotr Sztompka perubahan di tingkat makro terjadi perubahan ekonomi, politik, dan kultur, di tingkat mikro terjadi perubahan interaksi dan perilaku individual.32 Pendapat lain adala bahwa fenomena perubahan sosial sebagai suatu perubahan dari gejala-gejala sosial yang ada di dalam masyarakat, diawali dari yang bersifat individual hingga yang lebih kompleks, gejala-gejala terganggunya keseimbangan kesatuan sosial meliputi struktur, fungsi, nilai, norma, pranata, dan semua aspek yang dihasilkan dari interaksi antar manusia, organisasi atau komunitas, termasuk perubahan dalam hal budaya, teknologi, cara mencari nafkah, migrasi, invensi (penerapan), pengenalan

29Charlene Tan, “Dialogical Education for Interreligious Engagement in a Plural Society”, International Handbooks of Religion and Education, Volume 4 (2010): 361.

30 Adam Fergusen, an Essay on Theory of Civil Society (Teddington: Echo Library, 2007), 6.

31 Bassam Tibi, “Islamic Humanism vs Islamism: Cross-Civilizational Bridging”, An Interdisciplinary Journal, 95, No. 3 (2012): 230-254.

32 Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, cet. V (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), 65.

(18)

7 ide baru, dan munculnya nilai-nilai sosial baru, untuk melengkapi atau pun menggantikan nilai sosial yang lama.33

Akibatnya adalah kota Batam dikunjungi oleh banyak perantau dari berbagai daerah yang kemudian menetap menjadi penduduk Batam. Masyarakat perantau (pendatang) ini mengalami perubahan sosial dari masyarakat tradisional menjadi modern. Di dalam Soerjono Soekanto Robert H. Lauer menyatakan bahwa perubahan sosial sebagai suatu konsep inklusif, yang merujuk kepada perubahan gejala sosial berbagai tingkat kehidupan manusia, dan mulai dari individual sampai global. Sedangkan Gillin John dan John Philip Gillin mengatakan bahwa perubahan-perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Pendapat lain juga dikemukakan oleh Maclver, perubahan-perubahan sosial dikatakannya sebagai perubahan-perubahan dalam hubungan sosial (Social relationships) atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial. 34

Nilai agama dalam masyarakat madani merupakan tanggung jawab sosial masing-masing individu untuk menjaga terciptanya masyarakat yang damai. Nilai menurut Zakiah Darajat, adalah suatu perangkat keyakinan atau perasaan yang diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak yang khusus kepada pola pemikiran dan perasaan, keterikatan maupun perilaku.35Oleh beberapa tokoh, nilai mengandung beberapa arti dan makna, diantaranya Gordon Allport seperti dikutip Rahmat Mulyana mengatakan bahwa nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya.36 Kupperman mengemukakan bahwa nilai adalah normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternatif.37 Adapun Clyde Kluckhohn, ia menganggap nilai sebagai konsepsi (tersirat atau tersurat yang sifatnya membedakan individu atau ciri-ciri kelompok) dari apa yang diinginkan, yang mempengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan dan tujuan akhir tindakan.38

Sedangkan John Dewey menyatakan “…..value is any objective of social

interest”. Maknanya adalah bahwa sesuatu bernilai apabila disukai dan dibenarkan

oleh sekelompok manusia (sosial). Dewey mengutamakan kesepakatan sosial (masyarakat, antar manusia, termasuk negara).39 Jack R Fraenkel menegaskan sejumlah rumusan tentang nilai, bahwa nilai atau value adalah idea atau konsep

33 Achmad Amrullah, Dakwah Sosial Dan Perubahan Sosial (Yogyakarta: Bidang Penerbitan PLP2M, 1985), 17.

34 Soerjono Soekanto and Budi Sulistyowati, Sosiologi Suatu Pengantar, edisi Revisi Rajawali Pers (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2017), 261.

35Zakiah Daradjat, Dasar-dasar Agama Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 260. 36Rahmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, 2011, 9.

37Joel Kupperman, Six Myths about the Good Life: Thinking About What Has Value (Hackett Publishing, 2008), 165.

38Clyde Kluckhohn and William Henderson Kelly, The Concept of Culture, 1944, 195.

(19)

8 yang bersifat abstrak tentang apa yang dipikirkan seseorang atau dianggap penting oleh seseorang yang biasanya mengacu pada estetika (keindahan) etika, logika, baik, efisien, bermutu serta benar dan adil.40Dalam konteks Islam, nilai pada

manusia (insani) yang kemudian melembaga dan mengikat anggota masyarakat pendukungnya.41 Nilai-nilai dasar (nilai Ilahi dan Insani) inilah yang kemudian menjadi landasan bagi perubahan.42

Menurut James Bank dan Roekach Milton, Nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan, dimana seseorang harus bertindak atau menghindari suatu tindakan mengenai sesuatu yang pantas atau tidak pantas untuk dikerjakan.43Di sisi lain, nilai merupakan hakikat suatu hal yang menyebabkan hal ini dikejar oleh manusia. Menurut Abdullah Darraz bahwa nilai-nilai agama Islam yang utama adalah nilai-nilai akhlak.44 Olehnya itu sangat jelas bahwa nilai-nilai Islam adalah nilai-nilai akhlak agama Islam yang berhubungan langsung dengan kewajiban seorang hamba kepada Tuhannya. Tujuannya tiada lain untuk keselamatan dan kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat.

Nurcholish Madjid menyatakan terdapat beberapa macam nilai-nilai agama mendasar yang harus ditanamkan pada seorang anak dan kegiatan menanamkan nilai-nilai pendidikan inilah yang sesungguhnya menjadi inti pendidikan agama.45 Nilai-nilai tersebut adalah iman, ihsan, takwa, ikhlas, tawakkal dan syukur. Sementara itu, di samping nilai agama Islam yang harus ditanamkan pada anak didik, juga tidak kalah pentingnya adalah menanamkan nilai-nilai budaya lokal pada anak didik. Nilai budaya lokal dalam pembahasan di sini adalah nilai budaya Melayu. Budaya Melayu merupakan budaya asli masyarakat Batam dan berpusat di pulau Penyengat Kota Tanjung Pinang Provinsi Kepulauan Riau. Budaya Melayu juga merupakan bagian dari kekayaan bangsa Indonesia.

Menurut Azyumardi Azra bahwa heterogenitas budaya akan membawa kita pada kekayaan budaya yang berguna bagi pengembangan pengetahuan. Indonesia punya potensi yang sangat kaya dengan kebudayaan, kemanusiaan. Bahkan homogenitas masyarakat dan agama tak menjamin sebuah bangsa-negara dapat hidup tanpa konflik. Dilihat dari jejak sejarah, hal itu terjadi pada dunia barat. Sedangkan Indonesia tak pernah memiliki konflik agama maupun suku bangsa yang terjadi secara berkepanjangan. Bahkan situasi seperti itu tercipta sejak nama Indonesia belum disematkan. Karena watak budaya Indonesia adalah watak budaya

40Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, 11.

41Abd Mujib Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: Bumi Aksara, 2015), 112.

42Drs M. Sastrapratedja, Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000 (Jakarta: PT. Grasindo, 1993), 25.

43James A. Banks and Milton Rokeach, Teaching Strategies For the Social Studies: Inquiry, Valuing, and Decision-Making (New York: Addison-Wesley Pub. Co., 1985).

44Muhammad Abdullah Darraz, Al-Nabâ’ al-‘Azîm Nazarîyah Jadîdah Fî al Qur’Ân (Qatar: Dâr al-Thaqâfah, 1985).

45Nurcholish Majid, Masyarakt Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam Dalam Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000), 8.

(20)

9 yang toleran, watak budaya akomodatif dan saling menerima. Bangsa Indonesia juga kaya dengan kearifan lokal yang membuat satu suku bangsa.46

Dalam konteks kota Batam, dimana masyarakat aslinya yang berbudaya Melayu merupakan budaya yang memiliki kearifan lokal yang dijunjung tinggi oleh masyarakat yang berbeda-beda latarbelakang suku, agama, budaya, ras dan etnik dengan tujuan agar tercipta harmonisasi sosial masyarakat. Oleh karena itu, budaya Melayuharus tetap eksis dan menonjol dalam kehidupan masyarakat Kota Batam. Untuk mencapai tujuan itu maka budaya Melayu dipelajari dan ditanamkan nilai-nilai Melayu tersebut kepada masyarakat luas.

Salah satu suku yang memiliki kebudayaan khas dan selalu menjadi daya tarik bagi orang diluarnya adalah suku Melayu. Suku Melayu merupakan kelompok suku bangsa dengan jumlah populasi nomor 8 terbanyak di Indonesia. Suku Melayu adalah sebuah kelompok etnis dari orang Austronesia terutama yang menghuni Semenanjung Malaya, Sumatera bagian timur, bagian selatan Thailand, pantai selatan Burma, pulau Singapura, Borneo pesisir termasuk Brunei Darussallam. Luasnya wilayah cakupan ini menjadikan suku Melayu merupakan suku yang tersebar di negara Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura dan Thailand.47

Budaya Melayu memiliki ciri khusus tersendiri, diantaranya adalah tentang kepercayaan dan agama. Suku Melayu merupakan suku yang memilih agama Islam sebagai kepercayaan yang dianutnya. Islam di alam Melayu telah hadir sejak abad ke 13 M. Kedatangan Islam pada saat itu telah mendatangkan perubahan yang sangat dinamis dalam kehidupan orang Melayu. Perubahan tersebut meliputi adat istiadat, kesenian, bahasa, intelektual, sastra, kepercayaan dan politik serta beberapa aspek kehidupan lainnya.48Ciri-ciri lainnya misalnya panggilan dalam keluarga, bahasa Melayu, adat istiadat, dan kesenian Melayu.

Menurut Koentjaraningrat, manusia dalam kehidupannya tidak akan pernah lepas berurusan dengan hasil-hasil budaya.49 Hal ini sejalan dengan UUD 1945

Pasal 32 ayat 1 bahwa “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”.50 Pengembangan nilai budaya dapat dilakukan pendidikan. Pendidikan merupakan sebuah sistem yang

46 Lihat Kompas Cyber Media, “Indonesia Negara Majemuk, Berkah atau musibah bagi Pengembangan Iptek?,” KOMPAS.com, August 23, 2017, https://sains.kompas.com/read/2017/08/23/172029423/indonesia-negara-majemuk-berkah-atau-musibah-bagi-pengembangan-iptek.

47Agil Antono, “Kebudayaan Suku Melayu yang Paling Fenomenal,” IlmuSeni.com, December 28, 2017, https://ilmuseni.com/seni-budaya/kebudayaan-suku-melayu.

48Antono.

49Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Pengantar Antropologi (Rineka Cipta, 2012), 131.

50Tim Grasindo, UUD 1945 Republik Indonesia. (Gramedia Widiasarana Indonesia, 2017).

(21)

10 berusaha mengembangkan dan mendidik segala aspek pribadi manusia dengan segala kemampuannya. Termasuk pengembangan segala segi kehidupan masyarakat dalam bidang sosial budaya, ekonomi, politik, serta bersedia menyelesaikan problem masyarakat masa kini dalam menghadapi tuntutan-tuntutan masa depan dan memelihara sejarah dan kebudayaannya.51

Adapun kebudayaan dalam konteks yang lebih luas, oleh Ralph Lintonbahwa kebudayaan adalah keseluruhan cara dari aktivitas hidup suatu masyarakat secara keseluruhan yang dianggapnya lebih tinggi dan lebih dibutuhkan. Lebih lanjut Linton mempertegas lagi dengan menyatakan “A culture

is the configuration of learned behavior and results of behavior whose component elements are shared and transmitted by the members of a particular society”. Atau

kebudayaan merupakan konfigurasi dari tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku yang unsur-unsurnya digunakan bersama-sama dan ditularkan oleh para warga masyarakat.52

Nilai budaya dalam arti yang lebih spesifik, merupakan nilai-nilai dasar fundamental yang merupakan sistem kepribadian dan sosio-budaya yang berfungsi mengendalikan nilai-nilai sosial untuk mencapai keteraturan atau untuk menghargai orang lain dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, yang berpengaruh pada nilai-nilai praktis. Jika dilihat dalam perkembangan budaya, nilai-nilai-nilai-nilai budaya adalah akar atau landasan dari nilai lainnya.53

Allport, Vernon dan Lindzei mengidentifikasi enam nilai dasar dalam kebudayaan yakni nilai teori, ekonomi, estetika, sosial, politik dan agama.54Nilai teori adalah hakekat penemuan kebenaran lewat berbagai metode ilmiah. Nilai ekonomi mencakup kegunaan dari berbagai benda dalam memenuhi kebutuhan manusia.Nilai estetika berhubungan dengan keindahan dan segi artsitik yang menyangkut antara lain bentuk, harmoni dan wujud kesenian yang memberi kenikmatan kepada manusia. Nilai sosial berorientasi kepada hubungan antar manusia dan penekanan segi kemanusiaan yang luhur. Nilai politik berpusat kepada kekuasaan dan pengaruh baik dalam kehidupan masyarakat maupun dunia politik. Sedangkan nilai agama merengkuh penghayatan yang bersifat mistik dan

transcendental dalam usaha manusia untuk mengerti dan memberi arti bagi

kehadirannya di muka bumi. Setiap kebudayaan mempunyai skala hirarki mengenai mana yang lebih penting dan yang kurang penting dari nilai-nilai tersebut dan mempunyai penilaian tersendiri dari tiap-tiap kategori.

51Omar Al Syaibani, Falsafah Pendidikan Islami (Perdana Publishing, 2008), 12. 52R. Linton, The Cultural Background of Personality, International Library of Sociology and Social Reconstruction, v. 1 (Routledge, 1947), 134.

53Sumihara, “Pendidikan Islam Dengan Nilai-Nilai Budaya,” Adabiyah XI, no. 3 (2011).

54Gordon Willard Allport and Philip Ewart Vernon, A Study of Values, a Scale for Measuring the Dominant Interests in Personality: Manual of Directions (Houghton Mifflin, 1931), 98.

(22)

11 Melayu sebagai sebuah budaya lokal, telah menjadi kebudayaan nusantara di Indonesia. Bahasa Indonesia yang diambil dari Bahasa Melayu, merupakan bukti bahwa budaya Melayu telah memberi nilai-nilai bagi kebudayaan nasional. Nilai-nilai luhur budaya Melayu ini diintegrasikan dengan Nilai-nilai-Nilai-nilai budaya lokal lainnya yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Bagi masyarakat kota Batam, nilai-nilai tersebut telah bersifat universal (artinya semua warga mmasyarakat harus menjunjung tinggi nilai-nilai budaya Melayu tersebut tanpa meninggalkan budaya asalnya sendiri). Dengan prinsip “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”, warga masyarakat Batam dapat mengaktualisasikan diri sebagai warga yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya Melayu. Nilai-nilai itu antara lain: religius, kegotong royongan (kebersamaan), persatuan dan kesatuan, saling menghormati, kesantunan, kesopanan, kedemokrasian (kemufakatan), keseimbangan, kejujuran, keadilan, keramah-tamahan dan keterbukaan (terbuka bagi semua suku bangsa).

Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan yang sifatnya universal dapat dikenali dalam tiga wujud yaitu: pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan sebagainya.

Kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari

manusia dan masyarakat. Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Dan nilai yang paling ideal adalah sistem nilai budaya.55Demikian juga Richard Kluckhohn, menyatakan dalam aspek kehidupan manusia sebahagian dapat dipelajari sebagai sebuah keputusan bersama dan sebahagian dipelajari secara bersama-sama.56

Dari uraian di atas dapat diketahui beberapa unsur yang membentuk budaya dan kearifan lokal yaitu Pertama manusia; Kedua, gagasan yang bernilai baik; Ketiga, kebenaran yang telah mentradisi; dan Keempat, diakui oleh masyarakat. Dengan menggunakan keempat unsur tersebut, maka dapat dipahami bahwa dalam budaya Melayu dan kearifan lokal nilai agama Islam tidak terpisahkan (integrated) satu sama lain. Gagasan yang bernilai baik kemudian menjadi kebenaran yang mentradisi dan diakui oleh masyarakat merupakan prinsip dasar dari semua agama khususnya agama Islam.

Teori integrasi sosial yang diperkenalkan Talcott Parson57merupakan

bagian dari paradigma fungsionalisme struktural. Paradigma ini mengandaikan bahwa pada dasarnya masyarakat berada dalam sebuah sistem sosial yang mengikat mereka dalam keseimbangan (ekuilibrium). Hal ini sejalan dengan pandangan George Ritzer yang memberi pandangan dasar integrasi sosial yaitu, pertama, pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan sosial dalam suatu sistem sosial

55Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (Gramedia Pustaka Utama, 2000), 32.

56W.L. Gould and M. Barkun, Social Science Literature: A Bibliography for International Law, Princeton Legacy Library (Princeton University Press, 2015).

57Talcott Parson, “Sociological Theory/Structural Functionalism - Wikibooks, Open Books for an Open World,” 1975, diakses melalui https://en.wikibooks.org/wiki/Sociological_Theory/Structural_Functionalism.

(23)

12 tertentu, dan kedua, menyatukan unsur-unsur tertentu dalam suatu masyarakat sehingga tercipta sebuah tertib sosial.58

Teori integrasi lainnya dari Bikhu C Parekh yang menyebutkan bahwa proses integrasi sosial dalam sebuah masyarakat hanya dapat tercipta bila terpenuhi tiga prasyarat utama. Pertama, adanya kesepakatan dari sebagian besar anggotanya terhadap nilai-nilai sosial tertentu yang bersifat fundamental dan krusial (moral

contract). Kedua, sebagian terhimpun dalam berbagai unit sosial, saling mengawasi

dalam aspek-aspek sosial yang potensial. Hal ini untuk menjaga terjadinya dominasi dan penguasaan dari kelompok mayoritas atas minoritas. Ketiga, terjadi saling ketergantungan di antara kelompok-kelompok sosial yang terhimpun di dalam suatu masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi dan sosial secara menyeluruh.59 Sedangkan Ralf Dahrendrod menegaskan bahwa konflik adalah fenomena sosial yang selalu hadir (inherent omni presence) dalam setiap masyarakat.60 Oleh karena itu Pierre Bourdieu menawarkan konsep habitus dan

field (ranah) untuk menganalisis kontestasi nilai dan norma dalam ruang sosial yang

luas.61

Dalam konteks integrasi nilai Islam dan budaya Melayu, masyarakat Melayu di Batam adalah salah satu kelompok etnik yang ada di daerah Provinsi Kepulauan Riau yang dalam menjalankan kehidupan sehari-hari dan hubungan sosial kemasyarakatan berpegang kepada ajaran agama Islam yaitu Al-Qur’an dan al-Hadits serta adat sebagi bagian dari budaya. Kedua sistem hukum tersebut merupakan hukum yang hidup (living law) dalam kehidupan dan perilaku masyarakat Melayu-Batam. Harmonisasi hubungan adat dan Islam diungkap dalam pepatah “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah, syarak mangata adat

memakai, ya kata syarak benar kata adat, adat tumbuh dari syarak, syarak tumbuh dari kitabullah”. Artinya semua aspek budaya dan norma sosial masyarakat Melayu

wajib merujuk kepada ajaran Islam dan dilarang bertikai apalagi menyalahinya. Sebaliknya, nilai budaya yang dianggap belum serasi dan belum sesuai dengan ajaran Islam haruslah diluruskan dan disesuaikan dengan Islam. Acuan ini menyebabkan Islam tidak dapat dipisahkan dari adat dalam kehidupan Orang Melayu.62

Melayu seperti di atas termasuk dalam kategori Melayu modern. Menurut William Hunt Melayu modern adalah orang muslim yang dalam kesehariannya berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Melayu, serta memakai adat resam

58George Ritzer, Classical Sociological Theory, The First Edition (America: McGraw-Hill, 1996).

59Bhikhu C. Parekh, Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (America: Harvard University Press, 2002), 84–87.

60Ralf Dahrendorf, Konflik dan Konflik Dalam Masyarakat Industri: Sebuah Analisa-Kritik (Jakarta: Rajawali, 1986).

61Pierre Bourdieu, “Exposure - Journal of Advanced Communication Vol.2 No.1 February 2012,” Journal of Advanced Communication Vol. 2, no. 1 (2012).

62Tenas Effendy, Pandangan Orang Melayu Terhadap Anak: Sumbangan Kebudayaan Melayu Menuju Idola Citra Anak Indonesia, Revisi (Bayu Indra Grafika, 2011).

(24)

13 Melayu secara sadar dan berkelanjutan.63 Melayu inilah yang diidentikkan dengan Islam. Yang dalam bahasa adat “siapa meninggalkan syarak, maka ia

meninggalkan Melayu, siapa memakai syarak, maka ia masuk Melayu”. Atau

dalam ungkapan lainnya “bila tanggal syarak, maka gugurlah melayu-nya”.64 Lebih jauh Tenas Effendy mengatakan bahwa Melayu dikatakan sebagai etnik karena memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut; pertama, secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan; kedua, mempunyai nilai-nilai yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya; ketiga, membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; keempat, menentukan ciri kelompoknya sendiri yang ditetapkan oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok-kelompok populasi lainnya.65

Titik temu antara Islam sebagai agama dengan Melayu sebagai budaya dapat dilihat bahwa pelaku budaya adalah manusia. Manusia sebagai pelaku dan pencipta budaya dan kearifan karena hakikat dari manusia itu sendiri dalam pandangan Al Qur’a atau Kitab, manusia terbangun dari jasad dan ruh. Manusia tanpa ruh hanyalah jasmaniah yang tak bernyawa. Jasmaniah manusia tersusun atas empat anasir yaitu angin66, air67, tanah68 dan api69.

Menurut Abd. Rahim Yunus, manusia memiliki keempat anasir tersebut. Misalnya sifat angin dan tanah yang membuat manusia pantang kalah, sifat air yang ditunjukkan manusia pantang kerendahan, dan sifat tanah ditunjukkan dengan sifat pantang kekurangan. Sifat-sifat itulah yang menjadikan manusia memiliki nafsu

lawwanahdan nafsu ammarah yang menjadikannya sebagai perusak dan

penghancur, bukan pencipta kebudayaan.70Manusia dikatakan sebagai pencipta kebudayaan jika ia terhindar pengaruh kegelapan nafsu lawwanah dan nafsu

ammarah. Manusia yang akal budinya disinari oleh sinar ruhyang melahirkan

budaya dan kerifan luhur sehingga menjadi panutan dalam masyarakatnya.

Dalam konteks budaya, Melayu memiliki nilai-nilai yang terintegrasi dengan nilai-nilai Islam. Nilai-nilai yang sangat Islami itulah yang dijabarkan dalam ketentuan-ketentuan adat, dijabarkan dalam ketentuan dan norma-norma sosial dan

63William Dudley Hunt, Encyclopedia of American Architecture (McGraw-Hill, 1980). Lihat juga dalam Zikri Darussamin, Integrasi Kewarisan Adat Melayu-Riau (Jurnal Sosial Budaya: Media Komunikasi Ilmu-ilmu Sosial Budaya vol.11 No.2) 2014

64Tenas Effendy, Tunjuk ajar Melayu: (Butir-butir Budaya Melayu Riau) (Pekanbaru: Dewan Kesenian Riau, 1994), 23.

65Effendy, 23.

66Lihat Surat Saad ayat 71-72 Al-Qur’an dan Terjemah (Kementerian Agama RI Cetakan Karya Agung Surabaya, 2015), 457.

67Lihat surat Al Furqaan ayat 54 Al-Qur’an Tajwid Warna, Terjemah Indonesia, 364.

68Lihat surat Saad ayat 71-72 Al-Qur’an Tajwid Warna, Terjemah Indonesia, 457. 69Lihat surat Al Baqarah ayat 24 Al-Qur’an Tajwid Warna, Terjemah Indonesia, 4. 70Abd. Rahim Yunus, “Nilai-Nilai Islam Dalam Budaya Dan Kearifan Lokal,” Journal Rihlah UIN Alauddin Makassar Vol. II, no. I (2015): 2.

(25)

14 menjadi acuan dalam kehidupan sehari-hari.71Budaya Melayu sarat dengan nilai-nilai Islam karena beberapa faktor. Pertama, dari segi asal-usulnya, budaya Melayu merupakan proses cipta rasa manusia (orang-orang Melayu) yang berpusat dari hati nurani yang jujur, ikhlas, amanah dan cerdas yang memancar di akal pikiran dan dilaksanakan dengan tindakan dan perbuatan. Kedua, dari segi makna, Melayu mempunyai budaya yang tangguh. Dikatakan Hang Tuah72 “tuah sakti hamba

negeri” Esa hilang dua terbilang, Patah tumbuh hilang berganti, Tak Melayu hilang di bumi. Maknanya adalah Melayu itu memiliki tuah, memiliki kemampuan,

jati diri, pengetahuan dan segala macam sehingga jadi orang yang bertuah.73

Olehnya itu, kota Batam sebagai sebuah kota multikultural mempunyai karakteristik masyarakat yang disebut diversitas. Interaksi sosial dalam konteks diversitas tidak dapat dipisahkan dari keragaman budaya, adat istiadat, bahasa dan agama.74Keanekaragaman yang dimiliki oleh kota Batam ini dapat mempererat integrasi sosial atau bahkan sebaliknya menyebabkan disintegrasi. Oleh sebab itu, lembaga pendidikan sebagai komunitas sosial berperan secara substansial dalam mengajarkan nilai-nilai budaya Melayu dalam keragaman budaya masyarakat. Dengan begitu maka toleransi beragama, harmonisasi sosial, kebersamaan dan kedamaian dapat tercapai.

Integrasi nilai budaya Melayu dengan nilai Islam melalui lembaga pendidikan khususnya di sekolah-sekolah Islam di kota Batam bertujuan untuk mendidik siswa agar tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki moral sosial dan menjadi pribadi toleran, inklusif, berteologi multikultural, serta menghargai perbedaan.

Hal ini sejalan dengan Levinson dalam jurnal berjudul Culture, Education

and Anthropology menyatakan bahwa proses pendidikan dapat ditafsirkan secara

luas sebagai metode unik kemanusiaan untuk memperoleh, mentransmisikan, dan menghasilkan pengetahuan untuk menafsirkan dan bertindak atas dunia. Dalam arti luas, pendidikan mendasari setiap kemampuan kelompok manusia untuk beradaptasi dengan lingkungan hidup.75Adapun dalan arti sempitnya, bahwa pendidikan di kota Batam harus menjadi dasar utama dalam setiap kelompok masayarakat yang memiliki latarbelakang yang berbeda-beda untuk senantiasa beradaptasi secara baik dan harmonis dalam kehidupan sosial sehari-hari. Levinson dalam memperkuat argumennya mengutip pendapat antara lain Bateson dan Geertz

71Tenas Effendy, Melayu Masyarakat Terbuka (Pulau Penyengat Inderasakti: Pusat Maklumat Kebudayaan Melayu, 2005), 3.

72Nunik Utami, Hang Tuah, Ksatria Melayu (Cerdas Interaktif, 2011) Hang Tuah merupakan seseorang pahlawan dan tokoh legendaris Melayu pada masa pemerintahan Kesultanan Malaka. Laksamana Hang Tuah lahir pada tahun 1444 di Malaka-Malaysia. Ia adalah seorang pelaut dengan pangkat laksamana dan juga petarung yang hebat di laut maupun di daratan. .

73Effendy, Melayu Masyarakat Terbuka, 5.

74Miftahur Rohman, “Internalisasi Nilai-Nilai Sosio-Kultural Etno-Religi di MAN Yogyakarta III” 12, no. 1 (2017): 32.

75Hervé Varenne, “Culture, Education, Anthropology,” Anthropology & Education Quarterly 39, no. 4 (2008): 356–68.

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa pokok masalah yang menjadi pokok kajian dalam penelitian adalah penerapan metode, perbedaan metode Tartila dan Iqro’. Penelitian ini menggunakan pendekatan

[r]

Tahapan pemetaan tutupan lahan Potensi simpanan karbon bawah tegakan dapat diperoleh dari beberapa data penyusun simpanan karbon gambut, diantaranya data luas lahan

Kerja atau projek yang diberi simbil 'S' tidak diberi mata nilaian tetapi kredit baginya dikira untuk penentuan kredit minimum bagi sesuatu semester dan bukan untuk

WPS is lacking support for allwoing fine grained specification of raster input, such as 2 banded 32 unsigned int raster in geotiff format. Summary

Peraturan Daerah, dan Peraturan Lainnya di Wilayah Kota Administrasi Jakarta Barat (Kawasan Kota Tua). Kota Administrasi Jakarta Selatan merupakan wilayah perkotaan

In this study, four supervised MLAs (naïve Bayes, k-nearest neighbour, random forest, and support vector machines) are compared in order to assess their performance for

Puji Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, dengan segala rahmat dan hidayah-Nya yang telah dikaruniakan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan