• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Hal penting yang mesti dilakukan peneliti adalah melakukan tinjauan atas penelitian-penelitian terdahulu. Hal ini lazim disebut dengan istilah prior research.

Prior research penting dilakukan dengan alasan pertama, untuk menghindari

adanya duplikasi ilmiah, kedua, untuk membandingkan kekurangan ataupun kelebihan antara penelitian terdahulu dan penelitian yang akan dilakukan. Ketiga, untuk menggali informasi penelitian atas tema yang diteliti dari peneliti sebelumnya.85 Penelitian-penelitian itu antara lain sebagai berikut:

Penelitian dari Virginia Matheson, “Strategies of Survival: The Malay

Royal Line of Lingga-Riau”. Penelitian ini menggambarkan tentang peranan bugis

pada budaya Melayu yang tidak hanya dilestarikan dalam tulisan-tulisan Belanda.

85 Ahmad Ali Riyadi, Dekonstruksi Tradisi: Kuam Muda NU Merobek Tradisi (Yogyakarta: ArRuzz Media, 2007), 19–20.

20 Raja Ali Haji adalah seorang penulis yang produktif, karyanya yang paling terkenal adalah Tuhfat al-Nafis yang panjang tentang kedatangan orang-orang Bugis di daerah Riau dan pidato kebaktian mereka kepada para sultan Melayu. Presentasi acara-acara Tuhfafs di abad ke-19 berfokus hampir secara eksklusif pada administrasi yang mampu dan pengabdian agama dari Bugis Yamtuan Mudas dari Penyengat. Teks ini mencatat sedikit kegiatan para sultan Melayu di istana abad ke-19, terletak di dekat Daik di pulau Lingga. Hasil penelitian ini juga menguraikan sejarah adanya hubungan langsung Daik Lingga dengan Sang Nila Utama dari Siguntang Palembang, yang akhirnya bertumpu pada Sejarah Melayu

(Sulalatus-Salatin). Teks-teks yang berbeda seperti Tuhfat al-Nafis, Rakit Kulim dan KSM

harus mengacu pada Melakan dan tradisi pra-Melakan adalah indikasi kekuatan, daya tahan dan pengaruh Tradisi sejarah Melayu di daerah tersebut. Referensi untuk Sejarah Melayu meningkatkan harapan pembaca tentang penggunaan konvensi Sejarah Melayu selain dari keturunan, seperti tanggung jawab penguasa atas kesejahteraan rakyat dan kerajaannya, otoritas kerajaan dan kelangsungan kerajaan.86 Melalui jurnal ini maka penulis dapat mengetahui peranan suku Bugis terhadap Melayu di masa lampau.

Penelitian berikutnya adalah dari A.C. Milner, “Islam and Malay

Kingship”, Dalam tulisan ilmiah ini menunjukkan adanya unsur Islam dalam

kehidupan politik Melayu. Miller berpendapat bahwa meskipun kedatangan Islam pada abad ke-14 dan ke-15 tampaknya pada awalnya memiliki dampak yang kecil pada pengembangan pemerintahan Melayu, sejak saat itu dan seterusnya budaya politik Melayu terkait dengan perkembangan di tempat lain di dunia Muslim dan akhir perkembangannya mengancam fondasi ideologis negara Melayu. Bukti untuk mempelajari Islam dalam Ufe politik Melayu sulit untuk ditangani. Ini disebabkan karena dua jenis yaitu tulisan-tulisan pribumi Melayu dan kisah-kisah pengunjung ke dunia Melayu. Sudah diketahui dengan baik bahwa masalah yang serius dalam berurusan dengan tulisan-tulisan Melayu adalah menilai peran penulis. Dalam kasus-kasus di mana orang asing membahas Islam, orang harus bijaksana dalam menerima pendapat mereka. Ketika, pada awal abad ke-18, Alexander Hamilton menyebut orang-orang Johor "Mahomet sesat", atau pada tahun 1820-an, ketika John Anderson menggambarkan agama orang Melayu di Deli, Sumatra Timur, sebagai "Islamisme murni", itu adalah kemungkinan bahwa pernyataan semacam itu tidak didasarkan pada pemahaman Islam yang diinformasikan tetapi lebih mencerminkan ketidaktahuan pengamat.87 Melalui jurnal ini maka penulis dapat mengetahui adanya unsur-unsur Islam dalam politik Melayu.

Penelitian selanjutnya dari A.C Milner, “Malay Local History: An

Introduction”, Dalam jurnal ini menguraikan tentang sejarah Melayu, Milner

mengatakan bahwa orang Melayu memiliki budaya utama di Asia Tenggara dan diketahui telah diadopsi oleh berbagai bangsa asing di perbatasan Melayu. Istilah

86Virginia Matheson, “Strategies of Survival: The Malay Royal Line of Lingga-Riau,” Journal of Southeast Asian Studies 17, no. 1 (1986): 34.

87A. C. Milner, “Islam and Malay Kingship,” Journal of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland, no. 1 (1981): 1.

21 "Melayu" telah banyak dibicarakan oleh para sarjana sejak abad ke-15 dan ke-16 dan telah digunakan terutama dalam referensi untuk Melakan Melayu. Pada abad 17, bagaimanapun "Melayu" mulai digunakan seperti sekarang ini. Milner juga mengutip pendapat dari seorang penulis asal Portugis, Eredia, yang menjelaskan bahwa "di seluruh wilayah benua Ujantana (yang ia definisikan sebagai menutupi Semenanjung Malaya di bawah Junk Ceylon) bahasa Melayu digunakan, dan penduduk asli menggambarkan diri mereka sebagai 'Malayos'". Demikian pula, dalam pada abad 18, Valentijn mencatat bahwa "Melayu" diterapkan orang-orang dari tempat-tempat seperti Pahang, Johor, Lingga, Patani dan Sumatra Timur. Sebuah dokumen Cina pada saat yang sama menggunakan "Melayu" berkenaan dengan Brunei dan Sukadana di Kalimantan, sebagian ke negara-negara Semenanjung Kelantan, Trengganu dan Pahang. Pada abad ke-18 dan 19 tulisan-tulisan pribumi pasti menggunakan "Melayu". Teks Perak, Misa Melayu, mengacu pada adat istiadat Melayu Rajas (adat Raja Melayu) dan Melayu (bangsa Melayu) . Sejarah rumah Deli di Sumatera Timur menggunakan "negara Melayu" atau "pemukiman" (negeri Melayu) untuk merujuk ke berbagai kebijakan di Sumatera, Kalimantan dan Peninsula.88 Melalui jurnal ini maka penulis dapat mengetahui sejarah Melayu dan kebudayaan orang Melayu.

Penelitian berikutnya adalah dari David J. Banks, “Resurgent Islam and

Malay Rural Culture: Malay Novelists and the Invention of Culture”. Dalam karya

ilmiah ini, membahas tentang karakter dan isi dari empat novel yang menyajikan konstruksi kehidupan moral desa-desa Melayu yang menempatkan Islam, dalam bentuk karakter Muslim yang kuat dan saleh, dalam posisi sentral dalam tatanan sosial Melayu. Karena fiksi adalah media ekspresi kreatif, orang mungkin bertanya apakah novel ini sengaja dirancang untuk menumbuhkan kebangkitan Islam di Malaysia atau apakah mereka akan dijelaskan dengan cara lain. Keragaman perspektif politik David J. Banks menganggap bahwa tampaknya hal itu menjadi deskripsi konsepsi sosial, model normatif sadar masyarakat, umum di desa-desa Melayu pada saat kemerdekaan. Mereka disajikan kepada kelompok penguasa Malaysia sebagai peringatan dan prediksi, yang sebagian telah menjadi kenyataan di tahun-tahun berikutnya ketika Islam telah menjadi kekuatan utama dalam politik Melayu.89 Melalui jurnal ini maka penulis dapat mengetahui karakter kehidupan masyarakat Melayu yang menempatkan Islam sebagai ajaran yang kuat.

Penelitian lain lagi adalah dari Barbara Watson Andaya, “The Role of the

Anak Raja in Malay History: A Case Study from Eighteenth-Century Kedah”.

Dalam karya ilmiah mengungkapkan bagaimana peran Anak Raja dalam sejarah Melayu. Menurut Barbara Watson Andaya, istilah "anak raja" diterapkan pada umumnya untuk semua keturunan kerajaan yang diturunkan dalam garis laki-laki dari seorang Sultan. Mereka terdiri dari proporsi yang cukup besar dari setiap pengadilan Malay (melayu) karena kebiasaan mengambil gundik (istri kedua) di

88A. C. Milner, “Malay Local History: An Introduction,” Journal of Southeast Asian Studies 17, no. 1 (1986): 1.

89David J. Banks, “Resurgent Islam and Malay Rural Culture: Malay Novelists and the Invention of Culture,” American Ethnologist 17, no. 3 (1990): 541.

22 samping empat istri resmi yang diijinkan oleh Islam. Seorang pria selalu bisa mendapatkan bantuan beras, seperti kata pepatah Melayu. Selama garis laki-laki tidak terputus, tidak mungkin seorang pangeran bisa turun ke tingkat rakyat, atau rakyat biasa. Sistem sosial Melayu tidak mengandung sarana yang ada untuk mengendalikan ukuran garis keturunan kerajaan, yang tumbuh lebih besar dengan masing-masing generasi berikutnya.90 Melalui jurnal ini maka penulis dapat mengetahui peran anak raja dalam sejarah Melayu.

Berikut adalah Banks, James A. (ed.). Multicultural Education: Issues and

Perspectives.91 Dalam penelitian ini diuraikan bahwa karena keragaman terus meningkat di Amerika Serikat, kesenjangan etnis, budaya, kelas sosial, dan bahasa semakin lebar antara guru dan siswanya. Lanskap pendidikan yang berubah dengan cepat menghadirkan tantangan dan peluang unik untuk mengatasi keragaman secara kreatif dan konstruktif di sekolah. Pendidikan Multikultural membantu pendidik saat ini dan di masa depan untuk sepenuhnya memahami konsep-konsep budaya yang canggih; menjadi praktisi yang lebih efektif di berbagai ruang kelas; dan memandang ras, kelas, jenis kelamin, kelas sosial, dan keistimewaan sebagai konsep titik-temu. Dengan demikian, penulis semakin optimis bahwa pendidikan multikultural khususnya dalam masyarakat transisi sangat penting untuk mengurangi kesenjangan yang ada di dalam masyarakat.

Berikut dari James A. Banks92, Teaching Strategies for Ethnic Studies. Dalam karyanya ini Banks menyatakan strategi Mengajar untuk Studi Etnis menekankan bahwa tujuan utama dari kurikulum multikultural harus membantu siswa mengembangkan kemampuan untuk membuat keputusan reflektif sehingga mereka dapat, melalui tindakan yang bijaksana, mempengaruhi dunia pribadi, sosial, dan kemasyarakatan dan membantu membuat mereka lebih demokratis dan adil. Teks ini dirancang untuk membantu para guru membuat konsep, merancang, dan menerapkan kurikulum yang demokratis, bijaksana, dan adil yang menghormati dan mencerminkan pengalaman, harapan, dan impian semua orang Amerika. Ini menjelaskan pengetahuan, konsep, strategi, dan sumber daya yang dibutuhkan guru untuk menerapkan kurikulum demokratis dengan mengubah kurikulum arus utama dan memasukkan konten dan konsep tentang kelompok ras, etnis, dan budaya yang beragam. Disini penulis berpendapat bahwa agar pendidikan multikultural dapat lebih baik maka perlu dituangkan dalam kurikulum di sekolah-sekolah.

Selanjutnya dari HAR. Tilaar.93 Multikulturalisme: Tantangan-Tantangan

Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Dalam membangun

masyarakat Indonesia baru yang demokratis dan menghormati hak asasi manusia,

90Barbara Watson Andaya, “The Role of the Anak Raja in Malay History: A Case Study from Eighteenth-Century Kedah,” Journal of Southeast Asian Studies 7, no. 2 (1976): 162.

91 James Banks, Multicultural Education: Issues and Perspectives, edition (Boston-London: Allyn and Bacon Press, 1989).

92 James A Banks, Teaching Strategies for Ethnic Studies (Boston: Allyn and Bacon Inc, 1993).

93 H.A.R Tilaar, Multikulturalisme: Tantangan-Tantangan Global MAsa Depan Dalam Transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2004).

23 maka pedagogik yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia yang multikultural tidak lain daripada pedagogik kesetaraan. Dalam pedagogik kesetaraan, kita menghormati kesetaraan dari berbagai jenis budaya dalam masyarakat Indonesia, kesetaraan di dalam kehidupan bersama dalam mengurangi gap yang semakin menonjol antara yang kaya dan yang miskin, kesetaraan gender, dan kesetaraan dalam kesempatan memperoleh pendidikan. Dari penelitian ini juga Tilaar mengidentifikasi beberapa program prioritas pendidikan, antara lain: lembaga-lembaga pendidikan sebagai pusat kebudayaan, pendidikan kewargaan, kurikulum pendidikan multikultural, kebijakan perbukuan dan informasi, serta pendidikan guru. Melaui penelitian ini, penulis memperoleh semakin yakin betapa pendidikan multikultural memberi penghargaan pada setiap manusia tanpa dibatasi oleh perbedaan yang ada.

Berikutnya adalah dari Baharuddin bin H. Puteh dan Mohamad Nazli bin H.Omar, “Islam dan Kebudayaan Melayu di Era Globalisasi di Malaysia”. Dalam karya ilmiah ini dijelaskan bahwa sejarah telah menunjukkan bahwa dunia Melayu-Islam merupakan pusat peradaban, pusat perkembangan budaya dan pusat perdagangan yang penting. Kebudayaan Melayu-Islam sejak ratusan tahun telah memperlihatkan kemampuannya untuk berkembang pesat, antara lain meliputi bahasa, kesusasteraan, kesenian, pemikiran, dan norma hidup. memang tidak dapat dinafikan bahwa fenomena globalisasi memberikan pengaruh kepada kehidupan umat Melayu-Islam. Namun, pengaruhnya lebih cenderung kepada negatif berbanding positif. Cuma ia bergantung kepada umat berpegang kepada al-Qur'an dan al-Hadits. Pegangan yang kokoh dan utuh terhadap dua sumber perundangan ini mampu menyelamatkan umat manusia khususnya umat Islam daripada terjerumus ke dalam kemungkaran yang tidak dituntut dalam syariat Islam.94Melalui jurnal ini maka penulis dapat mengetahui bahwa dunia Melayu Islamtelah menjadi pusat peradaban dan perkembangan budaya.

Berikutnya dari Azian Tahir, Arba’iyah Mohd Noor &Mohd Khairul Azahari Abdul Rani, “Visual Sejarah Dalam Seni Cetak Bertemakan Negeri-Negeri

Melayu 1786-1890”. Dalam penelitian dan karya ilmiah ini dikatakan bahwa

Budaya menangkap peristiwa sejarah dan suasana melalui visual untuk waktu yang lama, ketika orang mulai mengenali bagaimana meninggalkan dampak pada permukaan apa pun. Hal ini berlanjut sampai ke beberapa peradaban yang besar yang menggunakan peninggalan visual sebagai media untuk menyampaikan informasi sehubungan dengan kekuasaan mereka serta aktivitas harian masyarakat pada zaman tersebut. Fokus utama dari penelitian ini adalah untuk melihat visual sejarah melalui seni cetak sebagai sebuah film dokumenter sejarah, terutama di Negara-negara Melayu. Sesungguhnya dengan menghayati sesuatu karya seni baik dalam konteks sosial, politik, ekonomi dan styling memungkinkan kita memahami tidak hanya seni malahan latarbelakang dibalik setiap visual yang dihasilkan. Negara-negara Melayu yang tidak ditinggalkan untuk menjadi tema utama dalam

94 Baharuddin bin H. Puteh dan Mohamad Nazli bin H.Omar. Islam dan Kebudayaan Melayu di Era Globalisasi di Malaysia. Jurnal Sosial Budaya Kolej Universiti Islam Melaka vol.10, No. 1 (2014)

24 produksi seni rupa sejak abad ke-15 telah menyimpan koleksi sejarah melalui visual tidak langsung. Ini jelas menunjukkan bahwa Negara-negara Melayu juga tidak kehilangan koleksi cetakan visual yang dapat dipelajari untuk mendapatkan informasi historis di balik setiap hasil visual. Alih-alih seni cetak adalah salah satu disiplin media yang paling efektif saat itu, dalam menyimpan informasi dan gambar dalam jumlah besar. Secara tidak langsung hal ini dapat memperlihatkan bagaimana perkembangan seni cetak di Negeri-negeri Melayu ini paralel dengan proses pendokumentasian informasi yang akhirnya menjadi rekor tercetak pada sejarah negara. Dalam konteks penelitian ini, waktu pengumpulan cetakan visual yang diteliti didasarkan pada era pemerintahan Inggris di negara-negara Melayu.95 Melalui jurnal ini maka penulis dapat mengetahui hubungan antara sejarah dan budaya.

Selanjutnya penelitian dari Hasbullah, “Dialektika Islam Dalam Budaya

Lokal: Potret Budaya Melayu Riau”. Dari hasil penelitian ini diungkapkan bahwa

kehadiran Islam di dunia Melayu merupakan babakan baru bagi kehidupan orang Melayu, karena sebelum datangnya Islam, orang Melayu hidup dalam dunia yang penuh mitos dan mistis. Islam hadir dengan membawa konsep-konsep dan nilai-nilai baru yang menggeser nilai-nilai-nilai-nilai yang berbau mistis ke arah pemikiran yang rasional. Islam juga mampu memecahkan persoalan-persoalan yang tak terpecahkan dalam keyakinan orang Melayu sebelumnya. Begitu dalamnya pengaruh Islam dalam kebudayaan Melayu sehingga banyak kalangan mengatakan bahwa Melayu identik dengan Islam. Hal ini disebabkan karena adanya pepatah adat yang menyebutkan "syarak mengata adat memakai", yang mengandung arti bahwa adat merupakan operasional dari nilai-nilai Islam. Di samping itu adat dalam kebudayaan Melayu bersumber dari Islam dan tidak boleh ada pertentangan adat dengan Islam, jika terdapat pertentangan maka adatlah yang harus mengalah. Hal ini diungkapkan dalam pepatah adat " adat bersendi syarak, syarak bersendi

kitabullah “.96Melalui jurnal ini maka penulis dapat mengetahui potret budaya Melayu dan hubungannya dengan Islam.

Penelitian berikutnya lagi dari Eriswan, “Islam dan Budaya Melayu: Dalam

Mewujudkan Isi Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang”. Eriswan

mengatakan bahwa Melayu adalah salah satu rumpun dalam kawasan peradaban Islam. Islam adalah identitas dari kepribadian orang Melayu, dan merupakan agama satu-satunya bagi sub kultur Melayu. Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang memiliki pola ilmiah sebagai pusat kajian Melayu, dengan pendekatan filosofis “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” yang merupakan implementasi

95 Azian Tahir, Arba’iyah Mohd Noor & Mohd Khairul Azahari Abdul Rani, “Visual Sejarah Dalam Seni Cetak Bertemakan Negeri-Negeri Melayu 1786-1890”.Journal of Social Sciences and Humanities Universiti Kebangsaan Malaysia Vol. 10, No. 2 029-040, ISSN:1823-884x (2015)

96 Hasbullah, Dialektika Islam Dalam Budaya Lokal: Potret Budaya Melayu Riau”, Jurnal: Sosial Budaya UIN Sultan Syarif Kasim Riau , vol.11, No. 2, (2014)

25 budaya Melayu-budaya Islam.97 Melalui jurnal ini maka penulis dapat mengetahui hubungan antara Islam sebagai agama dan Melayu sebagai budaya.

Berikutnya dari Abidin Nurdin, “Integrasi Agama dan Budaya: Kajian

Tentang Tradisi Maulod dalam Masyarakat Aceh”. Hasil penelitian ini

mengungkapkan bahwa Islam dan adat dalam masyarakat Aceh bagaikan zat dan sifat yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Agama dan budaya terintegrasi dalam pandangan hidup, sistem sosial, budaya, dan nilai-nilai Islam. Dari konteks budaya, tradisi maulod menjadi praktik keagamaan yang kental dengan integrasi nilai-nilai agama dan adat yang saling berkelit kelindang. Di samping itu dalam tradisi maulod di Aceh terjadi integrasi antara agama dan budaya. Islam mewarnai budaya secara begitu kental, sebagaimana juga ditemukan dalam hampir seluruh aspek kehidupan bagi masyarakat Aceh. Hal ini dapat dilihat dalam proses uroe

maulod, idang meulapeh, dzikee maulod, dakwah Islamiah. Bahkan perayaan

maulod tidak hanya sebatas satu bulan saja, namun dilaksanakan dalam tiga bulan yaitu, Rabiul Awal (maulod awai), Rabiul Akhir (maulod teungoh) dan pada bulan Jumadil Awal (maulod akhe).98Melalui jurnal ini maka penulis dapat mengetahui bahwa agama dan budaya terintegrasi dalam pandangan hidup, sistem sosial, budaya dan nilai-nilai Islam.

Kemudian jurnal penelitian dari Syahraini Tambak dan Desi Sukenti, “Implementasi Budaya Melayu Dalam Kurikulum Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah

di Riau”. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa budaya Melayu Riau dalam

kurikulum pendidikan Madrasah Ibtidaiyah di Provinsi Riau adalah 18,99% terakomodasi dan diimplementasikan dalam kurikulum. Implementasi budaya Melayu tersebut tersebar dalam kurikulum inti, ekstrakurikuler, muatan lokal, dan eksistensi pada kurikulum pendidikan Madrasah Ibtidaiyah di Provinsi Riau.99Melalui jurnal ini maka penulis dapat mengetahui implementasi budaya Melayu dalam kurikulum di sekolah.

Selain itu, Sumihara dalam jurnal penelitiannya “Pendidikan Islam Dengan

Nilai-Nilai Budaya”. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa nilai-nilai

pendidikan Islam harus ditanamkan sejak dini. Budaya Melayu mengandung nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, antara Islam dan budaya Melayu terdapat hubungan yang sangat erat. Dalam hal ini peranan budaya lokal (Melayu) memegang peranan penting dalam rangka menopang pendidikan agama Islam, karena didalamnya terdapat nilai-nilai yang sama.100Melalui jurnal ini maka penulis dapat mengetahui bahwa nilai-nilai budaya Melayu didalamnya mengandung nilai-nilai Islam.

97 Eriswan, Islam dan Budaya Melayu: Dalam Mewujudkan Visi Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang. Jurnal Ekspresi Seni, vol.14, No. 1 (2012)

98 Abidin Nurdin, Integrasi Agama dan Budaya: Kajian Tentang Tradisi Maulod dalam Masyarakat Aceh. Jurnal el Harakah Universitas Malikussaleh Aceh vol. 18 No.1 (2016)

99Syahraini Tambak, “Implementasi Budaya Melayu Dalam Kurikulum Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah di Riau.,” MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman 41, no. 2 (January 22, 2018).

26 Kemudian selanjutnya jurnal penelitian dari Miftahur Rohman, “Internalisasi Nilai-Nilai Kultural Berbasis Etno-Religi di MAN Yogyakarta III”. Penelitian ini menyimpulkan bahwa fenomena munculnya berbagai bentuk kekerasan atas nama agama, etnik dan budaya menunjukkan manusia telah gagal memahami heterogenitas, diversitas dan pluralitas yang menjadi ciri utama lembaga pendidikan Islam, termsuk madrasah. Merespon hal tersebut, MAN Yogyakarta III meyakini akan melahirkan pendidikan yang humanis dan inklusif.101Melalui jurnal ini maka penulis dapat mengetahui betapa pentingnya pluralisme agama.

Selanjutnya jurnal penelitian dari Mukhibat, “Meneguhkan Kembali

Budaya Pesantren Dalam Merajut Lokalitas, Nasionalitas dan Globalitas”.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa pesantren seharusnya bersikap arif dan hati-hati dalam menghadapi praktik purifikasi ekstrem dan gejala globalisasi. Usaha memurnikan Islam untuk berdialog secara kreatif dengan budaya lokal. Sementara dengan adanya budaya modern dan perkembangan global, sebagian pesantren menampakkan sikap ambiguitas dan ketidakjelasan arah serta tujuan dalam modernisasi pesantren. Pesantren kehilangan kemampuan mendefinisikan dan memosisikan dirinya di tengah realitas global, sehingga berada pada persimpangan jalan antara memer-tahankan tradisi dan mengadopsi perkembangan baru. Untuk itu, dengan melihat tradisi kultural pesantren yang melekat selama ini, pesantren harus mampu melakukan continuity and change untuk merekatkan nilai-nilai lokalitas, nasionalitas, dan globalitas. Dengan kata lain, masa depan pesantren ditentukan oleh model pendidikan yang menautkan antara nilai-nilai kultural pesantren, kebangsaan, dan isu-isu kemanusiaan global.102Melalui jurnal ini maka penulis dapat mengetahui bahwa budaya lokal dalam menangkal pengaruh budaya global.

Kemudian berikutnya adalah jurnal penelitian Wasito Raharjo Jati, LIPI, “Toleransi Beragama Dalam Pendidikan Multikulturalisme Siswa SMA Katolik

Sang Timur Ypgyakarta”. Penelitian ini menyimpulkan bahwaprinsip “rumah

bersama” menjadi contoh penting dalam menumbuhkan sikap toleransi di antara siswa. Siswa diperlakukan sebagai anggota keluargadekat dalam pergaulan dengan sivitas akademika lainnya. Prinsip “rumah bersama” ini seperti melting pot, tempat semua perbedaan ras, suku, agama, dan lainnya dilebur menjadi satu identitas tunggal sebagaisaudara laki-laki dan saudara perempuan. Religiusitas adalah instrumentasi penerapan nilai universalitasagama mengenai tenggang rasa, toleransi, maupun perdamaian untuk menjaga semangatmultikulturalisme dan memperkuat persaudaraan di antara para siswa.103Melalui jurnal ini maka penulis

101Rohman, “Internalisasi Nilai-Nilai Sosio-Kultural Etno-Religi di MAN Yogyakarta III,” 1.

102Mukhibat, “Meneguhkan Kembali Budaya Pesantren Dalam Merajut Lokalitas, Nasionalitas, dan Globalitas,” 1.

103Wasisto Raharjo Jati, “Toleransi Beragama Dalam Pendidikan Multikultural SMA Katolik Sang Timur Yogyakarta.,” Jurnal Cakrawala Pendidikan 1, no. 1 (February 5, 2014): 1.

27 dapat memahami perlunya media pemersatu untuk meningkatkan kebersamaan di