BAB II PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DAN INTERAKSI
B. Konsep Nilai Agama Dalam Pendidikan Islam
2. Model Pendidikan Dalam Interaksi Nilai Agama dan Budaya di
2. Model Pendidikan Dalam Interaksi Nilai Agama dan Budaya di Batam Dalam UUD 1945 amandemen kedua bab XA pasal 28E disebutkan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.211 Kemudian di dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab XIII Pasal 49 disebutkan pemerintah pusat maupun daerah berkewajiban untuk menyisihkan 20 persen dari anggarannya yang akan digunakan sebagai dana penyelenggaraan pendidikan nasional.
Salah satu aspek penting yang berpengaruh besar terhadap keberadaan suatu kebudayaan adalah pendidikan.212 Pendidikan dipahami sebagai proses transfer nilai (values), pengetahuan (knowledge) dan ketrampilan (skill) kepada generasi muda agar mampu hidup lebih baik.213 Dalam pengertian ini, pendidikan bisa berlangsung secara formal di sekolah, keluarga (informal) maupun masyarakat (non-formal). Dalam perspektif kebudayaan, praktek pendidikan terjadi di dalam interaksi antara manusia dalam suatu masyarakat yang berbudaya. Tidak ada pendidikan yang terjadi di arena yang hampa. Berdasarkan pandangan tersebut, kebudayaan mempunyai keterkaitan dengan pendidikan. Dalam hal ini menurut Tilaar apabila kebudayaan dipahami berdasarkan rumusan Tylor di mana kebudayaan mempunyai tiga unsur penting yaitu kebudayaan sebagai suatu tata kelola kehidupan (order), kebudayaan sebagai suatu proses dan kebudayaan yang mempunyai suatu visi tertentu (goals), maka pendidikan dalam rumusan tersebut adalah sebenarnya proses pembudayaan.214 Oleh karena itu antara pendidikan dan
211 Lihat UUD, UUD 1945 Amandemen Ke-I, II, III Dan IV.
212Juanda, “Peranan Pendidikan Formal Dalam Proses Pembudayaan,” Jurnal Lentera Pendidikan vol 13, no. 1 (2010): 1–2.
213Qadri Azizy, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial (Semarang: Aneka Ilmu, 2002), 19.
214H.A.R Tilaar, Pendidikan Kebudayaan Dan Masyarakat Madani Indonesia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 7.
175 kebudayaan mempunyai hubungan yang sangat erat dan berbicara pada tataran yang sama, yaitu nilai-nilai.215
Mengacu pada pandangan di atas, keberadaan dan kelangsungan sistem kepercayaan dan kebudayaan Melayu sangat dipengaruhi oleh pendidikan dulu hingga sekarang. Melalui pendidikan formal, anak-anak etnis Melayu bersentuhan dengan nilai-nilai baru yang didapatinya dari sekolah. Dari sekolah pula, mereka bersentuhan dengan nilai-nilai agama khususnya Islam formal sebagai nilai baru akibat regulasi Negara yang mewajibkan pengajaran agama formal di sekolah. Selain sekolah, arus modernisasi turut menjadi salah satu faktor penting terjadinya dinamika sosial budaya Melayu. Nilai-nilai modernitas (baru) telah masuk dalam memori kolektif orang Melayu melalui kemajuan teknologi seperti televisi, radio ataupun internet. Masyarakat Melayu tempatan yang tidak lagi menerapkan sistem proteksi, cenderung membuka diri bagi masuknya pengaruh luar. Masuknya pengaruh nilai-nilai dari luar mendorong terjadinya proses akulturasi kebudayaan. Konsekuensi dari bertemunya nilai-nilai kebudayaan yang berbeda, paling tidak ada tiga kemungkinan yang terjadi. Pertama, sistem nilai lama dimenangkan dari sistem nilai baru; kedua, sistem nilai baru mengalahkan sistem nilai lama; ketiga, terjadinya kompromi.216 Untuk mewujudkan semua ini dibutuhkan keterlibatan atau peranan lembaga-lembaga pendidikan, baik pendidikan formal, nonformal maupun informal.
a. Interaksi Melalui Model Pendidikan Formal
Pada dasarnya pendidikan memiliki dua tujuan, yaitu membimbing para peserta didik atau pembelajar untuk menjadi cerdas sekaligus memiliki perilaku berbudi.217 Kesuma, melihat bahwa pendidikan karakter merupakan pengembangan kemampuan pada peserta didik untuk berperilaku baik yang ditandai dengan perbaikan berbagai kemampuan yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang berketuhanan (tunduk patuh pada konsep ketuhanan),serta mengemban amanat sebagai pemimpin di dunia.218 Kemampuan yang perlu dikembangkan pada peserta didik tersebut adalah kemampuan menjadi dirinya sendiri, kemampuan untuk hidup secara harmonis dengan manusia dan makhluk lainnya, walaupun berbeda suku, agama, ras dan golongan, serta kemampuan untuk menjadikan dunia ini sebagai wahana bagi kemakmuran dan kesejahteraan bersama tanpa membeda-bedakan.
Hakikat pendidikan adalah proses bimbingan peserta didik agar terjadi perubahan perilaku, perubahan sikap, dan pemeliharaan budaya, yang akhirnya
215Young Pai, Cultural Foundations of Education (Kansas: University of Missouri, n.d.), 3 dalam H.A.R Tilaar. Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 5 ; Tilaar, Pendidikan Kebudayaan Dan Masyarakat Madani Indonesia.
216Damami, Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa (Yogyakarta: LESFI, 2002), 9.
217T.Lickona, Education for Character: Mendidik untuk Membentuk Karakter(Jakarta: Bumi Aksara, 2013), 7.
218 Kesuma, dkk., Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan Praktik di Sekolah (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), 7.
176 akan mewujudkan satu komunitas yang beradab.219 Diyakini bahwa implementasi pendidikan sangat dipengaruhi oleh lingkungan pendidikan yang selanjutnya dalam membentuk kepribadian peserta didik harus dimulai dari: Pertama, pemahaman agama yang dalam; Kedua, pengetahuan dan mampu mengimplementasikan budaya dengan baik. Maka jika dua hal ini dilakukan, bukan tidak mungkin apa yang disebut dengan peserta didik yang berkarakter serta berwawasan pluralis akan terbentuk dengan sendirinya.
Pendidikan merupakan gejala kebudayaan, hanya dapat dilakukan oleh makhluk yang berbudaya dan yang menghasilkan nilai kebudayaan adalah manusia. Anggota keluarga, pelajar, mahasiswa bahkan masyarakat luas telah menganut budaya, dan budaya yang dianut diwariskan dari generasi ke generasi melalui proses pembelajaran dalam dunia pendidikan baik formal maupun nonformal. Kebudayaan diwariskan dari generasi ke generasi dengan cara belajar. Dengan begitu maka demoralisasi dikalangan masyarakat dapat diatasi. Sebagaimana dikemukakan Azyumardi Azra sebelumnya bahwa demoralisasi disebabkan oleh proses pembelajaran yang cenderung mengajarkan pendidikan moral dan budi pekerti sebatas tekstual semata, di samping itu juga kurangnya mempersiapkan peserta didik untuk menyikapi kehidupan yang kontradiktif yang terjadi di lingkungan sekitar.220
Dalam konteks kehidupan masyarakat di Kota Batam yang sarat dengan perubahan dan benturan nilai, pendidikan Islam memiliki peran penting dalam mengaktualisasikan nilai-nilai keIslaman dalam kehidupan masyarakat. Pendidikan Islam dalam aktualisasi penyelenggaraanya pada lembaga pendidikan jenjang dasar hingga menengah perlu mensinkronkan dengan realitas perkembangan kehidupan sehingga output pendidikan tidak mengalami distorsi nilai. Pendidikan Islam sebagai bagian dari Islam menjadikan landasan pada dasar-dasar ajaran Islam yang
rahmatan lil’ālamin. Dasar-dasar pembentukan dan pengembangan pendidikan
agama Islam yang pertama dan utama adalah al-Qur’an dan al-hadits, selanjutnya nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang tidak bertentang an dengan ajaran-ajaran al-Qur’an dan sunnah atas prinsip mendatangkan kemanfaatan dan menjauhkan kemudharatan bagi manusia. Dengan dasar ini pendidikan Islam dapat diletakkan di dalam kerangka sosiologis, selain menjadi sarana transmisi pewarisan kekayaaan sosial budaya yang positif bagi kehidupan manusia.221
Dalam kaitan dengan peranan lembaga sekolah dalam integrasi nilai agama dan budaya, maka pendidikan nilai memegang peranan yang sangat penting. Pendidikan nilai merupakan proses bimbingan melalui suri tauladan pendidikan yang berorientasikan pada penanaman nilai-nilai kehidupan yang di dalamnya mencakup nilai-nilai agama, budaya, etika dan estetika menuju pembentukan peserta didik yang memiliki kecerdasan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
219 A.Z. Aushop, Islamic Character Building: Membangun Insan Kamil, Cendekia Berakhlak Qurani (Bandung: Grafindo Media Pratama, 2014), 7.
220Zubaedi, Pendidikan berbasis masyarakat, v.
221Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Logos Wacana Ilmu, 1999), 9.
177 kepribadian yang utuh, berakhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat dan negara.222
Sedangkan Mardiatmadja yang dikutip Mulyana menyatakan pendidikan nilai sebagai bantuan kepada peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya. Pendidikan nilai tidak hanya merupakan program khusus yang diajarkan melalui sejumlah mata pelajaran, tetapi mencakup pula keseluruhan proses pendidikan. Dalam hal ini, yang menanamkan nilai kepada peserta didik bukan saja guru pendidikan nilai dan moral serta bukan saja pada saat mengajarkannya, melainkan kapan dan dimanapun, nilai harus menjadi bagian integral dalam kehidupan.223 Integrasi menurut Sanusi adalah suatu kesatuan yang utuh, tidak terpecah belah dan bercerai berai. Integrasi meliputi kebutuhan atau kelengkapan anggota-anggota yang membentuk suatu kesatuan dengan jalinan hubungan yang erat, harmonis dan mesra antara anggota kesatuan itu.224 Sedangkan yang dimaksud dengan integrasi pendidikan nilai adalah proses memadukan nilai-nilai tetentu terhadap sebuah konsep lain sehingga menjadi suatu kesatuan yang koheren dan tidak bisa dipisahkan atau proses pembauran hingga menjadi satu kesatuan yang utuh dan bulat.225
Sekolah merupakan lembaga formal yang menjadi peletak dasar pendidikan untuk jenjang di atasnya (perguruan tinggi). Pendidikan di sekolah merupakan bagian sistem pendidikan nasional yang memiliki peranan yang amat penting dalam meningkatkan sumber daya manusia. Melalui pendidikan di sekolah diharapkan akan menghasilkan manusia Indonesia yang berkualitas.226 Peranan sekolah sangat besar dalam menginterasikan nilai-nilai kearifan lokal Melayu dengan nilai-nilai Islam. Nilai-nilai budaya Melayu yang terintegrasi dengan nilai-nilai Islam, diharapkan dapat berjalan dengan baik di setiap lembaga sekolah di Kota Batam. Kearifan lokal Melayu merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus menerus dijadikan pegangan hidup bagi orang Melayu di Kota Batam. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.
Proses integrasi nilai-nilai Islam dengan nilai budaya Melayu dalam pembelajaran di sekolah dilakukan untuk semua mata pelajaran. Dalam mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal Melayu dalam pembelajaran di sekolah tentunya guru harus menyesuaikan dengan tingkat perkembangan anak di sekolah, atau disesuaikan dengan materi/mata pelajaran yang disampaikan serta metode yang digunakan. Guru di sekolah harus mempunyai pemahaman terhadap budaya dan kearifan lokal Melayu. Misalnya nilai-nilai budaya Gurindam Duabelas yang
222E. Sumantri, Pendidikan Nilai Kontemporer (Bandung: Program Studi PU UPI, 2007), 134.
223R. Mulyana, Mengartikulasi Pendidikan Nilai (Bandung: Alfabeta, 2004), 119. 224S. Sanusi, Integrasi Umat Islam (Bandung: Iqomatuddin, 1987), 11.
225S. Sauri, “Integrasi Imtak Dan Imtek Dalam Pembelajaran,” Makalah: Tidak Diterbitkan, n.d.
226Suharjo, Mengenal Pendidikan Sekolah Dasar (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat JEnderal PEndidikan Tinggi dan Direktorat Ketenagaan, 2006), 1.
178 terintegrasi dengan nilai-nilai Islam dapat melahirkan nilai karakter yang kemanusiaan.
Karakter adalah pengembangan dari soft skill dalam bidang pendidikan yang cakupannya cukup luas yang telah dikemukakan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang sampai saat ini telah dihimpun sebanyak 27 butir seperti berikut ini :(1)Kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan , perubahan dan tantangan, (2)Sikap dan perilaku dalam pergaulan, (3)Kesadaran terhadap situasi, (4)Merintis dan mengelola perubahan, (5) Bekerja sama dengan pihak lain, (6) Menyampaikan pesan dan mendengar pendapat orang lain, (7) Ketaat asasan pada tujuan bersama, (8) Percaya atas kemampuan diri, (9) Keberanian mengambil tindakan, (10) Mengelola konflik dan menyelesaikan perbedaan pendapat, (11) Bertanggung jawab terhadap tindakan pribadi, (12) Berpikir kritis,rasional,dan objektif, (13) Ketaatan mengatur waktu dan melaksanakan tugas, (14)Semangat dan gairah untuk berbuat,(15) Merasakan apa yang dirasakan orang lain, (16) rasa kemanusiaan, (17) Mempengaruhi,membujuk orang lain, (18) Kesiagaan bertindak setiap ada peluang, (19) Gagasan dan penemuan baru yang autentik, (20) Tulus,jujur, (21) Kepemimpinan, (22) Disukai orang lain, (23) Menyelesaikan masalah,(24) Mengambil resiko yang diperhitungkan,(25) Kepekaan social,(26) Berpikir strategis, berjangka panjang,(27) Dapat dipercaya.227
Integrasi nilai budaya Melayu dan nilai agama Islam yang terjadi dalam pendidikan di sekolah melahirkan karakter anak didik yang juga menjadi karakter bangsa antara lain: religius, jujur, toleransi disiplin, kerja keras, demokratis dan cinta tanah air. Bahkan menurut Supinah dan Parmi mendeskripsikan nilai karakter bangsa untuk sekolah dasar adalah sebagai berikut228:
a. Religius, adalah sikap dan perilaku patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
b. Jujur, adalah perilaku yang menunjukkan dirinya sebagai orang yang dapat dipercaya, konsisten terhadap ucapan dan tindakan sesuai dengan hati nurani. c. Toleransi, adalah sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan, baik
perbedaan agama, suku, ras, sikap atau pendapat dirinya dengan orang lain. d. Disiplin, adalah tindakan yang menunjukkan adanya kepatuhan, ketertiban
terhadap ketentuan dan peraturan yang berlaku.
e. Kerjakeras, adalah perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam menghadapi dan menga tasi berbagai hambatan belajar, tugas atau yang lainnya dengan sungguh-sungguh dan menyerah.
f. Kreatif, adalah kemampuan olah pikir, olah rasa dan pola tindak yang dapat menghasilkan sesuatu yang baru dan inovatif.
g. Mandiri, adalah sikap dan perilaku dalam bertindak yang tidak tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan suatu masalah atau tugas.
227Y Sayang, Pembentukan Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Dan Pengabdian Bernuansa Spiritual (Surabaya: Paramita, 2012), 32.
228Supinah and Parmi, Pengembangan PEndidikan Budaya Dan Karakter Bangsa Melalui Pembelajaran Matematika Di SD (Jakarta: Kemendiknas, 2011), 57.
179 h. Demokratis, adalah cara berpikir, bersikap dan bertindak dengan menempatkan
hak dan kewajiban yang sama antara dirinya dengan orang lain.
i. Rasa ingin tahu, adalah sikap dan tindakan yang menunjukkan upaya untuk mengetahui lebih dalam tentang sesuatu hal yang dilihat, didengar, dan dipelajari.
j. Semangat kebangsaan, adalah cara berpikir, bertindak dan cara pandang yang lebih mendahulukan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan kelompok.
k. Cinta tanah air, adalah cara berpikir, bersikap dan bertindak yang menunjukkan rasa kesetiaan yang tinggi terhadap bangsa dan negara.
l. Menghargai prestasi, adalah sikap dan perilaku yang mendorong dirinya untuk secara ikhlas mengakui keberhasilan orang lain atau dirinya.
m. Bersahabat/komunikatif, adalah tindakan yang mencerminkan atau memperlihatkan rasa senang dalam berbicara, bekerja atau bergaul bersama dengan orang lain.
n. Cinta damai, adalah sikap perilaku, perkataan atau perbuatan yang membuat orang lain merasa senang, tentram dan damai.
o. Gemar membaca, adalah sikap atau kebiasaan meluangkan waktu untuk membaca buku-buku yang bermanfaat dalam hidupnya, baik untuk kepentingan sendiri atau orang lain.
p. Peduli lingkungan, adalah sikap perlaku dan tindakan untuk menjaga, melestarikan dan memperbaiki lingkungan hidup.
q. Peduli sosial, adalah sikap dan tindakan yang selalu memperhatikan kepentingan orang lain dalam hidup dan kehidupan.
r. Tanggung jawab, adalah sikap dan perilaku seseorang yang ditunjukkan dalam melaksanakan tugas sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku.
Nilai-nilai kemanusiaan merupakan nilai dari hasil pengintegrasian antara nilai budaya dan nilai agama. Menurut Jumsai, bahwa nilai-nilai kemanusiaan (Human Values) terdiri dari lima pilar yaitu Kebenaran, Kebajikan, Kedamaian, Kasih Sayang dan Tanpa Kekerasan. Lima nilai kemanusiaan ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Jika satu nilai hilang maka semua nilai yang lain juga akan hilang.229
Untuk mencegah lahirnya krisis mentalitas anak didik, maka lembaga pendidikan mempunyai tanggungjawab dalam membangun dan menanamkan nilai karakter kemanusiaan. Menurut Azyumardi Azra,230 ada beberapa masalah pokok yang menjadi akar krisis mentalitas dan moral di lingkungan pendidikan:
Pertama, arah pendidikan telah kehilangan objektivitasnya. Selama ini,
lembaga pendidikan seolah bukan lagi merupakan tempat peserta didik melatih diri untuk berbuat berdasarkan budi pekerti luhur, moral, dan akhlak mulia.
229Jumsai, Model Pembelajaran Nilai-Nilai Kemanusiaan Terpadu: Pendekatan Yang Efektif Untuk Mengembangkan Nilai-Nilai Pada Peserta Didik (Jakarta: Yayasan Pendidikan Sathya Sai Indonesia, 2008), 67.
230 Azyumardi Azra, “Akhlak Mulia, Budi Pekerti Luhur dan Pendidikan”,Republika, 19 Mei 2016.
180
Kedua, proses pendewasaan diri tidak berlangsung baik di lembaga
pendidikan yang bertugas mempersiapkan mereka meningkatkan kemampuan merespons dan memecahkan masalah dirinya sendiri maupun orang lain secara bertanggung jawab. Pemecahan masalah secara tidak bertanggung jawab, seperti melalui tawuran dan kekerasan, merupakan indikator tidak terjadinya proses pendewasaan melalui sekolah.
Ketiga, proses pendidikan di sekolah sangat membelenggu peserta didik
dan juga para guru.Hal ini disebabkan oleh formalisme sekolah dan beban kurikulum yang sangat berat (overloaded). Akibatnya, hampir tidak tersisa ruang bagi para peserta didik untuk mengembangkan imajinasi dan kreativitas kognisi, afeksi, dan psikomotoriknya. Lebih parah lagi, interaksi sosial di sekolah hampir kehilangan human dan personal touch-nya yang hampir serba “mekanistis” dan “robotis”.
Keempat, beban kurikulum berat yang hampir sepenuhnya diorientasikan
pada pengembangan ranah kognitif. Berbagai materi disampaikan melalui pola
delivery system. Sementara itu, ranah afeksi dan psikomotorik hampir tidak
mendapat perhatian untuk pengembangan sebaik-baiknya. Padahal, pengembangan kedua ranah ini sangat penting dalam pembentukan akhlak, moral, budi pekerti atau watak dan karakter yang baik.
Kelima, kalaupun ada materi yang dapat menumbuhkan rasa afeksi, seperti
mata pelajaran agama, umumnya disampaikan dalam bentuk verbalisme yang juga disertai dengan rote-memorizing (hafalan).Akibatnya, mata pelajaran agama cenderung tidak untuk diinternalisasikan dan dipraktikkan.
Keenam, pada saat yang sama, para peserta didik dihadapkan pada
kontradiksi nilai (contradictory set of values). Di satu pihak, mereka diajar bertingkah laku baik, tapi pada saat yang sama, banyak orang di lingkungan sekolah justru tidak melakukannya, termasuk kadang-kadang di sekolah sendiri.
Ketujuh, para peserta didik sulit mencari contoh teladan baik (uswah hasanah/living moral exemplary) di lingkungannya.
Adapun krisis moral lainnya yang nyata telah terjadi ialah; perilaku korup yang semakin mengkhawatirkan, intoleran yang telah mentradisi di tengah-tengah masyarakat. Demoralisasi ini bisa jadi disebabkan oleh proses pembelajaran yang cenderung mengajarkan pendidikan moral dan budi pekerti sebatas tekstual semata sebagaimana dikatakan oleh Azyumardi Azra dan kurang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menyikapi kehidupan yang kontradiktif tersebut yang terjadi di lingkungan sekitar mereka.231 Padahal guru seharusnya mempersiapkan peserta didik agar dapat mengenali dan merespons beragam dan kompleksitas situasi "kehidupan nyata" yang bisa jadi melalui praktisi reflektif mengejar praksis dengan alat filsafat pendidikan dengan menggabungkan teori dalam praktik dan praktik
231Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2011), V.
181 dalam teori. Inilah sebenarnya salah satu bentuk dari pendidikan pluralisme sebagai salah satu implementasi dari integrasi nilai agama dan budaya.232
Hal yang sama dalam pendidikan perguruan tinggi sebagai sebuah sarana pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM) memiliki peranan penting dalam mengintegrasikan nilai-nilai iman dan taqwa (IMTAQ) sebagai bentuk dari nilai agama dan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), saling menghormati dan menghargai satu sama lain, saling tolong menolong, dan lain sebagainya sebagai bentuk dari nilai budaya. Pada sisi lain, proses pembinaan iman dan taqwa (IMTAQ) ialah transformasi nilai-nilai keagamaan (iman, taqwa, kebajikan, akhlak dan sebagainya) dalam rangka terbinanya manusia beragama. Sementara itu proses pembinaan IPTEK adalah pengembangan potensi ke arah terbinanya kemampuan manusia sebagai manusia pembangunan yaitu manusia yang mampu mengolah kekayaan lingkungan dengan kemampuan ilmu dan teknologi untuk mendapatkan manfaat kesejahteraan bagi umat manusia.
Proses pembudayaan adalah proses mentransformasi nilai-nilai budaya yang menyangkut nilai etis, estetis dan nilai budaya, serta wawasan kebangsaan dalam rangka terbinanya manusia berbudaya.233 Sementara itu melalui pendidikan di perguruan tinggi pula strategi integrasi nilai-nilai agama dan budaya dapat direalisasikan. Pendidikan di perguruan tinggi memiliki tiga fungsi yaitu transfer of
values, transfer of knowledge dan transfer of skill. Dengan transfer of value,
pendidikan bertujuan agar manusia memiliki keseimbangan antara kemampuan kognitif dan psikomotor di satu pihak, dan afektif di pihak lain. Hal ini dapat diartikan bahwa pendidikan lebih khusus pendidikan di perguruan tinggi menghasilkan manusia yang berkepribadian, tetap menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang luhur, serta mempunyai wawasan dan sikap kebangsaan dan menjaga serta memupuk jati dirinya. Hal ini sejalan dengan jiwa pendidikan sebagaimana termaktub dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 bahwa jiwa pembangunan kualitas SDM melalui dunia pendidikan adalah membangun manusia Indonesia yang berkualitas “yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan yang menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab”.234
Perguruan tinggi memiliki tanggung jawab moral dalam menciptakan manusia yang beragama dan berbudaya. Demikian juga perguruan tinggi khususnya di Kota Batam harus mampu melahirkan manusia yang bukan hanya cerdas tapi menjunjung tinggi nilai-nilai budaya Melayu. Hal ini dapat dicapai dengan adanya pendidikan agama di perguruan tinggi. Khusus pelajaran agama Islam, pelaksanaan pelajaran agama Islam di perguruan tinggi dimulai sejak tahun 1966.235 Tujuan
232 David A. Granger and Jane Fowler Morse, “Pluralism and Praxis: Philosophy of Education for Teachers”, Counterpoints, 352, Regenerating the Philosophy of Education: what happened to soul? (2011): 157-171.
233Hasballah M. Saad. et.al, “Integrasi Agama Dan Budaya Dalam Pendidikan Di NAD (Menyikapi UU No. 11 Tahun 2006),” Tim Peneliti UIN Ar-Raniry, 2007, 21.
234Lihat Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendikan Nasional. 235Muzayyim Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), 197.
182 pendidikan Islam diperguruan tinggi adalah memberikan landasan pengembangan kepribadian kepada mahasiswa agar menjadi kaum intelektual yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berfikir filosofis, bersikap rasional dan dinamis, berpandangan luas, ikut serta dalam kerjasama antar umat beragama dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan ilmu dan teknologi serta seni untuk kepentingan nasional.236 Dengan kata lain, tujuan akhir dari pendidikan agama Islam di perguruan tinggi adalah terciptanya manusia yang sempurna (insan kamil), yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelegensia namun juga memiliki kecerdasan spiritual dalam rangka mewujudkan kehidupan individu dan sosial yang lebih baik. Dengan demikian integrasi nilai agama dan budaya dapat melahirkan manusia/mahasiswa yang berakhlak baik kepada Tuhan, sesama manusia maupun alam.
b. Interaksi Melalui Model Pendidikan Nonformal
Pada dasarnya masyarakat memiliki energi sendiri yakni energi sosial.237 Atau sering juga disebut modal sosial238 yang perlu dipertahankan. Oleh Fukuyama menyatakan modal sosial sangat penting dalam memfungsikan dan memperkuat kehidupan.239 Dalam konteks adat Melayu di Kota Batam, penerapan modal sosial