• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV TANGGAPAN PETANI PADI DESA BATUREJO MENGHADAPI CEKAMAN IKLIM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV TANGGAPAN PETANI PADI DESA BATUREJO MENGHADAPI CEKAMAN IKLIM"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

TANGGAPAN PETANI PADI

DESA BATUREJO MENGHADAPI „CEKAMAN‟

IKLIM

Pengantar

Dampak ketidakpastian musim berpengaruh terhadap petani yang bergantung pada curah hujan atau tidak memiliki sumber air tetap untuk memulai musim tanam. Petani tidak memiliki patokan dalam menentukan msuim tanam ketika kekacauan musim dialami sehingga berdampak pada gagal panen khususnya pada musim tanam pertama. Informasi musim yang diberikan oleh Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Pati melalui Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) tidak digunakan petani karena didasarkan dibukanya pintu air Klambu Kanan yang mendapat pasokan dari Waduk Kedung Ombo. Sedangkan petani tidak bisa berharap dari pasokan air irigasi tersebut karena saluran irigasi yang rusak dan selalu tidak mendapatkan air karena banyaknya ”pencuri air”.

Bab ini menjelaskan bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim dengan menggeser waktu tanam (memajukan atau memundurkan) merupakan bentuk tanggapan petani menghindari puncak hujan. Upaya menggeser waktu tanam merupakan tindakan petani menghadapi perubahan iklim yang ditandai dengan kekacauan musim. Meskipun upaya adaptasi ini dibatasi oleh kondisi atau konteks yang berbeda, pembelajaran kelompok Tani Sido mamur Desa Baturejo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati bisa menjadi acuan dalam melihat bentuk adaptasi petani menghadapi ketidakpastian iklim atas dampak perubahan iklim.

(2)

Kondisi Agro Ekologi

Kelompok Tani Sido Makmur ini berada di Desa Baturejo yang memiliki luas hamparan sawah di desa ini kurang lebih 800 ha dari 1200 ha luas Desa Baturejo. Kondisi ini menunjang wilayah pertanian sawah yang mendukung sumber penghidupan masyarakat disekitarnya karena sebagai wilayah bekas rawa, daerah ini kaya air yang didapatkan baik dari rawa itu sendiri maupun sumber air yang berasal dari pegunungan Kendeng (Gambar 4.1).

Gambar 4.1. Sketsa Hamparan Kelompok Tani Sido Makmur Desa Baturejo.

Pembangunan Waduk Kedung Ombo pada tahun 1980, merubah pola pertanian rakyat yang memanfaatkan hujan untuk menanam padi dan palawija pada saat memasuki musim kemarau. Pengembangan pembangunan Waduk Kedung Ombo tersebut diikuti dengan pembangunan jaringan irigasi, yang memicu petani melakukan peningkatan pola pertaniannya menjadi lebih modern. Peningkatan produktifitas hasil pertanian pun menjadi lebih baik. Jika sebelum tahun 1980, pertanian padi hanya sekali dalam satu (1) tahun, setelah pembangunan jaringan sekunder dan normalisasi

(3)

sungai pembuang (Sungai Tus) tersebut petani desa Baturejo dapat melakukannya sampai dua (2) kali dalam setahun dan sekali untuk palawija.

Model pertanian saat ini dikembangkan oleh petani desa Baturejo adalah model pertanian yang menggunakan sistem irigasi alternatif dengan menggunakan mesin pompa. Model ini berkembang karena ancaman kegagalan pertanian padi pada musim tanam pertama adalah banjir sehingga sistem irigasi pompa merupakan pilihan untuk menghindari kegagalan panen karena banjir. Sumber air yang didapat dari irigasi pompa yang berasal sungai pembuang jaringan sekunder Klambu Kanan. Jaringan dibangun selain sebagai jaringan irigasi teknis juga dilengkapi dengan saluran pembuang. Saluran pembuang mememiliki tujuan untuk membuang genangan air dari lokasi/lahan pertanian menunju Sungai Juwana II atau seringi disebut sebagai sungai “tus” yang dinormalisasi pada tahun 1987 untuk memperlancar alur sungai untuk pembuangan genangan air ke laut setelah dipergunakan untuk mengairi lahan pertanian.

Dengan curah hujan yang sedikit pun terjadi akibat oleh endapan sungai (sedimentasi). Data curah hujan diperlihatkan pada grafik pola curah hujan, ditunjukkan bahwa perubahan pola musim hujan dan kemarau pada bulan Mei sampai September (Gambar 4.2).

Gambar 4.2. Grafik Curah Hujan di Wilayah Sukolio Pati Jawa Tengah 2005-2009, BMKG, 2009.

(4)

Proses sedimentasi tersebut dipicu oleh kerusakan daerah aliran sungai yang berada di wilayah pegunungan Kendeng Utara maupun Pegunungan Muria. Aliran air dari beberapa sumber mata air maupun lintasan air (run off) Pegunungan Kendeng Utara dialirkan melalui „siphon‟ (Gambar 4.3.) sebagai sumber pengairan areal wilayah pertanian Kecamatan Sukolilo yang kemudian masuk pada aliran Sungai Tus sebagai sungai Juwana II (JU II), begitu juga yang terjadi di wilayah Pegunungan Muria. Kerusakan wilayah tangkapan air yang berada di wilayah tersebut memicu sedimentasi pada sungai-sungai pembuang yang berada di wilayah kecamatan Sukolilo seperti JU I dan II.1

Gambar 4.3. Saluran “Siphon” Desa Baturejo

Kawasan lahan pertanian Desa Baturejo terbagi atas 3 (tiga) kawasan pertanian yang memiliki karakteristik pola tanam dengan kontur yang berbeda-beda. Pola tanam tersebut dipengaruhi oleh sumber air yang didapatkan dan struktur tanah untuk mengelola lahan pertaniannya. Dua (2) kawasan yang dibatasi oleh sungai atau Saluran Irigasi Gebang yang merupakan terusan dari Pintu Air

(5)

Klambu Kanan, sering disebut masyarakat setempat sebagai “tanah nggenengan” atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai tanah pekarangan. Kontur tanah yang lebih tinggi dibanding yang lain menyebabkan wilayah ini dipadati oleh masyarakat yang bertempat tinggal. Sedangkan wilayah disebelah barat Sungai Gebang. dan

Sungai Tus disebut sebagai tanah “ngrowo” atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai tanah rawa karena sejarah tanah tersebut merupakan tanah rawa yang memiliki kedalaman yang berbeda-beda. Tanah “ngrowo” ini terletak lebih rendah dibandingkan tanah nggenengan dan memiliki karakteristik yang berbeda karena dengan curah hujan yang sedikit kawasan ini akan cepat tergenang tetapi juga akan cepat hilang atau kering.

Pengelolaan lahan pertanian di wilayah “tanah nggenengan” yang berbatasan langsung dengan Desa Sukolilo, tidak terlalu sulit untuk mendapatkan air dalam mengelola lahan pertaniannya karena mendapatkan air dari beberapa sumber air yang terletak di wilayah pegunungan Kendeng2 sebelah timur Desa Baturejo dan Sukolilo

sehingga tidak terlalu memengaruhi pola tanamnya. Bahkan dalam model pengelolaan lahannya cukup ekstrim berbeda. Seperti beberapa petak lahan pertanian digunakan untuk mengelola perkebunan tebu tetapi disampingnya merupakan lahan pertanian padi dan pembuatan bata merah oleh warga Desa Sukolilo yang berbatasan langsung dengan Desa Baturejo. Sedangkan “tanah nggenengan” yang berada disekitar wilayah penduduk yang berbatasan dengan Sungai Tus juga hampir sama. Sumber air yang didapatkan selain dari sumber air yang berasal dari Pegunungan Kendeng juga dibantu oleh pompa air yang diambil dari “Sungai Tus” pada Musim Tanam I (MT I) dan Musim Tanam II (MT II) karena

2 Ketersediaan air sungai JU II didapat dari 5 (lima) sumber mata air berasal dari

pegunungan Kendeng yang memiliki pengaruh terhadap sungai “tus” seperti sumber Pucung, Sumber Dowayah, Sumber Tambang, Sumber Grobag dan Sumber Telo, tetapi hampir ratusan sumber mata air berpengaruh terhadap ketersediaan air bagi

(6)

untuk memenuhi kecukupan air dalam memulai dan mengelola lahan pertanian padi.

Pemanfaatan pompa air untuk mengairi lahan pertanian tersebut oleh petani sering disebut Sistem Irigasi Pompa. Irigasi pompa merupakan irigasi alternatif karena ketika lahan pertanian memerlukan air yang cukup banyak pada MT I yang jatuh sekitar bulan November-Desember setelah musim kemarau karena pada saat curah hujan belum mencukupi untuk pembahasan lahan dengan memulai persemaian benih padi maka pompa air baru digunakan.

Gambar 4.4. Peta Sungai Juwana, BPDAS Jratun Seluna, 2010

Berbeda dengan “tanah nggenengan”, “tanah ngrowo” merupakan lahan pertanian padi yang terhampar tidak hanya merupakan wilayah administrasi Desa Baturejo melainkan beberapa

(7)

desa yang lain seperti Desa Wotan dan Desa Jongso (Barat) serta Desa Gadudero (Utara).3

Kelompok Tani Sido Makmur merupakan salah satu kelompok Tani Desa Baturejo pada hamparan “tanah ngrowo”. Kelompok tani ini pernah memanfaatkan air “Sungai Tus” tersebut untuk memajukan pola tanam pada Musim Tanam I (MT I) pada bulan Agustus pertengahan atau akhir dengan bantuan pompa yang dikelola oleh pengurus kelompok tani dimana MT I seharusnya musim tanam pertama jatuh pada bulan Oktober pada MT I tahun 2004-2007. Ketika itu, mesin pompa air mampu membasahi lahan untuk mencukupi kebutuhan air baik untuk persemaian benih padi maupun dalam pengelolaan tanaman padi selama pertumbuhannya sebelum hujan rutin pada bulan November sebagai upaya memajukan pola tanam pada MT I seluas 156 ha pada lahan Kelompok Tani Sido Makmur Desa Baturejo. Tetapi sejak tahun 2007 sampai MT II tahun 2014, kelompok tani tersebut tidak memajukan secara ekstrim musim tanam dikarenakan terjadi pergantian pengurus dan kebutuhan bahan bakar solar yang tinggi sehingga mereka memanfaatkan hujan dengan masih dibantu juga oleh mesin pompa air dalam mengawali musim tanam mereka. Meskipun dalam memulai musim tanam mereka membutuhkan air untuk memulai musim tanam (persemaian) tetapi pola tanam tersebut dapat dipastikan memajukan musim tanam kebiasaan petani karena dalam mendapatkan air untuk memulai musim tanam mereka (penyiapan benih dan tanah pertanian sebelum musim tanam, kelompok tani tersebut membutuhkan air yang cukup banyak. Jika mengandalkan air hanya dari curah hujan, petani menunggu terlalu lama dan jika dalam memulai musim hujan mereka terlambat maka hasil pertanian menurun atau tidak sama sekali karena banjir sering terjadi pada puncak hujan di akhir bulan Januari

3 Luasnya hamparan mencapai 80% luas lahan pertanian di Kecamatan Sukolilo yang

mencapai 13.768 hektar dengan tambahan areal jagung kurang lebih 120 ha dan 60 ha kedelai, jika tergangngu sangat memengaruhi ketahanan pangan di Kabupaten Pati, disebutkan oleh Mundi P., Petugas Penyuluh Lapangan Desa Baturejo.

(8)

dan bulan Februari. Seperti yang terjadi pada bulan Januari-Pebruari tahun 2009, petani pada hamparan lahan tersebut mengalami banjir selama 3 kali karena curah hujan yang tinggi pada bulan Januari-Pebruari.

Desa yang berada di atas atau lebih tinggi hamparannya dibandingkan Desa Baturejo tidak memajukan musim tanam pertamanya karena kondisi lahan pertaniannya aman dari banjir. Selain itu, lahan pertanian bergantung pada sistem irigasi teknis dan sumber air yang mengalir sepanjang tahun dari pegunungan Kendeng Utara yang merupakan wilayah karst sehingga pola tanamnya dapat menggunakan model pola tanam yang dianjurkan oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan (DISTANAK) Kabupaten Pati, seperti Desa Wotan, Desa Kedung Winong, maupun Desa Baleadi di Kecamatan Sukolilo.

Model Hamparan

Petani Desa Baturejo yang memiliki dua (2) model hamparan dengan karakteristik yang berbeda yaitu “tanah nggenengan” dan “tanah ngrowo”, memiliki pola tanam yang berbeda pula. Pola tanam yang berada disebelah timur Saluran Irigasi Gebang (Zona I), memulai musim tanamnya bervariasi antara bulan Oktober-Desember pada MT I karena air dapat dipenuhi dari sumber air yang berasal dari Pegunungan Kendeng (karst) selain terhindar dari genangan air atau banjir. Tetapi lahan yang berada di antara Saluran irigasi Gebang dan Sungai Tus atau sungai Juwana II, masih menggunakan pompa sebagai alat penunjang petani dalam mengelola “tanah nggenengan”. Tujuan mesin pompa tersebut adalah sebagai alat penunjang dalam mengelola lahan pertanian karena kebutuhan air pada Zona II ini cukup tinggi. Awal musim tanam pertama diawali pembasahan dan pengelolaan lahan yang jatuh pada bulan Oktober, pompa digunakan untuk membasahi lahan dalam mengelola tanah pada awal musim tanam pertama yang jatuh pada bulan November.

(9)

Sedangkan pada zona III yaitu “tanah ngrowo”, hamparan lahan pertanian ini merupakan bekas tanah rawa. Model pengelolaan lahan pertanian pada zona III pada saat ini bersamaan dengan zona II karena dalam mengelola lahan pertanian, kebutuhan air diambil dari “Sungai Tus” yang mendapatkan air dari sisa buangan air penggunaan lahan irigasi yang menggunakan Saluran Irigasi Klambu Kanan dari Pintu Air Wilalung. Dua zona ini (II dan III) memiliki waktu yang bersamaan dalam memulai musim tanam, yaitu bulan November, dengan membasahi lahan pada bulan Oktober bersamaan dengan turunnya hujan dan air yang berasal dari pintu air Klambu Kanan telah sampai di Sungai Tus di wilayah tersebut (Gambar 4.5).

Gambar 4.5 Penampang melintang Desa Baturejo dan sekitarnya

Mesin pompa sangat membantu petani dalam menunjang musim tanam pertama mereka. Pompa digunakan setiap musim tanam I dan II, meskipun tidak secara terus menerus dioperasional-kan sesuai kebutuhan dan pola tanam yang digunadioperasional-kan oleh petani di wilayah tersebut. Pola tanam petani menggunakan model padi-padi-bero. Pada MT III dizona II dan III, petani tidak mengolah lahan pertaniannya karena tanah terlalu kering untuk ditanami dan jika ditanami hanya palawija yang memiliki umur pendek saja seperti semangka kwaci yang berumur 1,5 bulan dan hanya diambil bijinya saja.

(10)

Untuk memulai musim tanam pertama petani tidak terlalu menggantungkan curah hujan karena kebutuhan air untuk mengawali persemaian didapatkan dari Sungai Tus. Meskipun demikian curah hujan cukup sedikit membantu petani dalam penggunaan mesin pompa. Karena operasional mesin pompa cukup tinggi jika digunakan terus menerus. Dua (2) pertimbangan dalam memulai musim tanamnya didasarkan pada ketersediaan air dalam mengolah tanah, melakukan persemaian dan serangan hama tikus.

Lahan pertanian pada hamparan di Desa Baturejo memiliki kontur yang berbeda-beda. Hamparan pada Zona III yaitu “tanah ngrowo”, dahulu merupakan wilayah rawa-rawa. Alih fungsi rawa menjadi tanah pertanian dipicu oleh pembangunan Bendung Wilalung yang digunakan untuk membagi air untuk pengelolaan pertanian, tahun 1980. Serta normalisasi (pengerukan) “Sungai Tus” pada tahun 1987 akibat sedimentasi yang menyebabkan tergenangnya wilayah pertanian karena rawa mendapatkan suplai yang berlebihan karena limpasan air dari pintu air Klambu Kanan.

Kontur yang berbeda tersebut menyebabkan lahan pertanian yang terletak disekitar rawa lebih dalam dibandingkan wilayah yang memiliki kontur yang lebih tinggi, sehingga yang diperlukan dalam penanaman bibit padi yang tinggi atau berumur lebih lama. Dampak bibit padi yang terlalu tua menyebabkan hasil produksi padi tidak terlalu baik. Tetapi meskipun petani tahu dampak tersebut, petani tetap melakukannya karena lebih baik panen dengan hasil yang sedikit dari pada tidak sama sekali (Karno, dalam Nugroho, 2014).

Strategi Tanam Petani

Masa Tanam

Sebagian besar petani di Desa baturejo khusunya petani yang berada pada hamparan Kelompok Tani sido makmur melakukan tahpan pengelolaan benih padi sampai tanam dimana petani menghadapi masa penting dalam memulai tanam padi untuk

(11)

menghindari puncak hujan (Tanto Pursidi dan Kuraji, dalam Nugroho, 2014).

Berikut tahapan masa persiapan tanam sampai pada panen padi di lokasi peneltiian pada hamparan Kelompok Tani Sido Makmur Desa Baturejo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati, yaitu: 1. Persiapan benih

a) Benih yang dipakai petani Baturejo selain menggunakan benih panen sendiri4 juga memakai benih berlabel atau

membeli dari toko pertanian5

b) Benih direndam dalam ember.

c) Kebutuhan benih petani Baturejo mencapai 40 kg/kg. Kebutuhan tersebut merupakan keputusan petani sendiri, tidak sesuai anjuran pemerintah (25 kg/ha), meskipun pemerintah juga telah melakukan sosialisasi penghematan kebutuhan benih di lahan.6

d) Setelah di rendam selama 24 jam kemudian dikeringkan sinar matahari secara langsung selama 2 hari, agar pertumbuhan gabah menjadi kecambah lebih sempurna.

e) Setelah menjadi kecambah benih sudah siap untuk disemaikan.

4 Hasil panen sendiri yang dimaksud adalah petani Baturejo menyisihkan sebagian

hasil panen untuk di pergunakan sebagi benih musim tanam berikutnya, tapi biasanya petani membuat benih pada saat panen musim tanam ke 2, caranya dengan hasi panen yang di anggap bagus kemudian di buang butir hampanya melalui berbagai cara seperti menggunakan blower, manual berupa di tampi. Upaya tersebut dilakukan dengan tujuan agar benih yang akan di pakai memiliki kwaliatas baik( menthes)

5 Benih berlabel yang di maksud adalah benih yang mempunyai label yang di

produksi oleh perusahan benih sebagai contoh benih Ciherang, Ciboga, dan IR 64 dengan harga Rp. 5.500,-/kg.

(12)

2. Persiapan lahan persemaian

a) Lahan yang akan di pergunakan untuk pesemaian dilakukan pembajakan dan garu sampai berlumpur 2-3 hari sebelum benih di sebar.

b) Lahan untuk persemaian benih di sesuaikan dengan banyaknya benih yang akan disemai, sebagai contoh benih 5 kg di butuhkan lahan semai 2 x 10 m atau 4 x 10 m.

c) Pada saat sebar benih lahan harus tidak tegenang air, karena hal ini akan mengakibatkan benih tak dapat tumbuh sempurna, tetapi jika lahan kering akar benih tidak mampu tumbuh sempurna dan akibatnya benih akan mati .

3. Pemupukan benih

Pemupukan benih dilakukan setelah umur benih di pesemaian mencapai satu minggu, namun pemupukanya7

sebaiknya di sesuaikan dengan jadwal tanam, langkah ini dilakukan karena jika benih di tanam pada umur 15-20 hari sebaiknya dosis pupuk di kurangi hal ini di lakukan agar pada saat benih di tanam kandungan pupuk yang ada dalam benih tersebut sudah kurang sehingga tanaman tak mudah layu, tetapi jika benih di tanam pada umur 25-30 hari maka dosis pupuk sedikit ditambah yang bertujuan untuk memudahkan pencabutan benih itu sendiri. Pada lahan rawa biasanya umur benih sampai 36 hari atau 'selapan' pada MT 1 yang bertujuan agar tanaman lebih tinggi dari genangan pada saat itu.

4. Persiapan tanam

a) Sebelum tanam lahan dibajak 15 hari sebelum tanam jika MT I model pembajakan di lakukan dengan bajak luku, tapi jika MT II pembajakan dilakukan dengan 'blebeg' yang digerakan

(13)

menggunakan mesin traktor, alat yang di pakai memang ada perbedaan karena jika MT I kondisi tanah relatif keras dan kalau MT II kondisi tanah sudah berlumpur .

b) Setelah dibajak baru ketika waktu tanam sudah dekat lahan baru di garu dengan tenggang waktu 2-3 hari sebelum tanam. c) Jika lahan sudah digaru dan jadwal tanam yang di tentukan

sudah tiba tanam bisa dilakukan, seiring dengan banyaknya tenaga dari luar wilyah Desa Baturejo model tanam di lakukan dengan sistim borong kedokan, maksudnya petani tinggal bayar sesuai luas lahan yang di miliki kemudian sudah ada tenaga yanga siap mengerjakan

d) Biaya tanam model borongan per ha Rp 750.000

e) Jarak tanam pemborong ditentukan oleh permintaan pemilik lahan.

Penentuan Awal Musim Tanam

Dalam memulai musim tanam petani desa Baturejo memiliki 2 (dua) pedoman dalam menentukan dimulainya musim tanam. Penentuan tersebut didasarkan pada dibukanya pintu air Klambu Kanan dan datangnya hujan untuk mengawali musim tanam pertama. Kewenangan atas buka tutupnya Pintu Air Klambu Kanan dipegang oleh Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Propinsi Jawa Tengah yang kemudian memberikan Surat Edaran pada BUPATI atau Dinas Pertanian yang memiliki ketergantungan pada Sistem Irigasi Klambu Kanan.8 Pemberitahuan tersebut diteruskan pada Petugas Penyuluh

Lapangan di tingkat Kecamatan dan Desa untuk memberikan informasinya pada petani untuk mempersiapkan musim tanam pertamanya. Karena petani desa Baturejo mendapatkan air buangan

8 Pintu air Klambu Kanan tahun 2008 dibuka pada tanggal 1 Oktober 2008, sisa

limpahan air berada di Sungai Tus kurang lebih 5 hari sampai 2 minggu setelah dibukanya pintu air Klambu Kanan karena banyak terjadi kebocoran saluran irigasi

(14)

yang berada di Sungai Tus ketika air hujan tidak mencukupi untuk memulai musim tanamnya, petani menggunakan pompa air untuk mengambil air yang berada di Sungai Tus. Meskipun hujan sudah mulai turun, pompa air tetap digunakan karena luasnya lahan dan karakter tanah pasca musim kemarau menyebabkan kebutuhan air cukup tinggi.

Selain faktor dibukanya Pintu Air Klambu Kanan yang berasal dari Bendung Wilalung, penentuan kedua didasarkan pada puncak hujan pada bulan Januari dan Pebruari. Pada bulan tersebut curah hujan yang tinggi menyebabkan lahan pertanian tergenang (banjir) sehingga petani berusaha untuk memanen padi pada bulan Januari atau paling lambat awal Pebruari.

Penentuan musim tanam oleh petani di Desa Baturejo, menjadi penting karena dimulainya keputusan tanam berpengaruh terhadap risiko bencana yang terjadi pada puncak hujan karena informasi pembukaan jaringan irigasi bersamaan dengan pengumuman pemerintah atas dimulainya musim tanam.

“....nek nganggo pengumuman pemerintah sing disampeke lewat PPL...sawah kene kebanjiran kabeh...gak iso panen mas... jaringan irigasi gak ono banyune soale wis enthek di nggo sawah nduwurku disik, dadi gak tekan kene...dadi kali tus kui nak ono banyune, dipompa wae kanggo milike banyu nang sawah sak durunge musim tanam dimulai...dimajuke ben gak keneng banjir...lha nak nunggu saran pemerintah gak pernah panen soale keneng banjir”

(“...jika menggunakan pengumuman pemerintah yang disampaikan melalui PPL...sawah disini kena banjir semua..tidak bisa panen mas...jaringan irigasi sudah tidak ada airnya karena sudah dipakai sawah diatasnya, jadi tidak sampai....jadi Sungai Tus itu jika ada airnya dipompa saja unutk dialirkan ke sawah sebelum musim tanam dimulai...dimajukan biar tidak kena banjir...wah..jika menunggu saran pemerintah, tidak bisa panen karena kena banjir...”)(Tanto Pursudi)

Pemajuan awal musim tanam menjadi kunci petani untuk menghindari puncak hujan. Kepuusan memulai musim tanam

(15)

terse-but merupakan bentuk tanggapan petani unutk beradaptasi terhadap risiko iklim dan bencana yang sering petani hadapi setiap MT I.

Foto satelit di bawah ini (Gambar 4.6.) merupakan kejadian banjir awal tahun 2006 di sekitar wilayah Pegunungan Muria, Jawa Tengah bagian utara, yang merugikan petani karena gagal panen akibat banjir.

Gambar 4.6.Informasi Spasial Penginderaan Jauh-Kejadian Banjir Kabupaten Pati Jawa Tengah, Lembaga Penerbangan dan Antariksa

(LAPAN), 2006.

Petani Menggeser Waktu Tanam

Pembasahan lahan dilakukan dengan mesin pompa ketika “Sungai Tus” dirasa mencukupi untuk dipompa. Keputusan pembasahan lahan dengan menggunakan pompa ini dikarenakan kemampuan air yang tersedia di Pintu Air Saluran Klambu Kanan tidak mampu mencapai wilayah ini, sehingga jika terlambat karena menunggu jatah air maka petani tidak dapat mengolah lahan pertaniannya karena mengalami banjir.

(16)

Penentuan pengolahan dan semaian pertama, tidak tergantung pada pertemuan anggota kelompok tani, melainkan pengurus kelompok tani. Dalam memulai semaian pada MT I dan II, pengurus kelompok tani mulai menyebar semaian pertama kali kemudian diikuti oleh anggota kelompok lainnya. Kondisi ini disebabkan dan dipengaruhi oleh pengelolaan pompa dan serangan hama tikus. Pengelolaan pompa merupakan tanggung jawab pengurus kelompok tani. Biaya operasional pompa baik solar (BBM), oli dan perawatan mesin ditanggung oleh pengurus kelompok tani yang menjabat. Anggota kelompok tani akan membayar ketika hasil panen padi yaitu dengan seperdelapan (1/8) hasil panen petak sawah dengan menggunakan tali sebelum dijual ke tengkulak. Sehingga pengurus kelompok tani menanggung beban pembiayaan yang tinggi dan jika tidak berhasil maka pengurus kelompok mengalami kerugian yang cukup besar.

Selain itu, penentuan musim tanam yang diawali dengan persemaian diawali oleh pengurus kelompok tani. Ketakutan petani dalam mengawali persemaian pada musim tanam disebabkan karena hama tikus yang akan menyerang. Populasi tikus yang cukup besar di wilayah tersebut menyerang bahkan merusak persemaian jika petani memulai sendiri musim tanamnya kecuali secara bersama-sama karena banyaknya tikus tidak sebanding dengan hamparan yang luas jika dilakukan bersama-sama. Upaya yang dilakukan kelompok tani adalah dengan gropyokan tikus atau dengan setrum listrik sampai padi berumur dua puluh (20) hari. Tikus pada usia padi tersebut mengalami musim kawin dan kembali ke lubang persembunyiannya sehingga serangan pada tanaman padi relatif berkurang.

Kondisi lahan pertanian melandasi petani memilih jenis tanaman yang berumur pendek (3 bulan) karena merupakan lahan genangan atau bekas rawa.9 Jenis tanaman yang dipilih saat ini seperti

9 Sebelum jaringan irigasi dibangun pemerintah (1987) petani memilih tanaman

(17)

IR 64, Ciherang, Ciboga, dan Cigelis. Jenis tanaman Ciherang, Ciboga dan Cigelis banyak dipilih petani selaian memiliki produksi yang tinggi juga memiliki ketahanan terhadap serangan hama dan tahan terhadap kerebahan. Petani Desa Baturejo mengenal jenis tanaman (bibit) yang sesuai dengan kondisi lahan dari „boro‟ atau menjadi buruh tani di luar wilayah desa, kecamatan ataupun kabupaten, selain informasi dari penyuluh pertanian. Petani mendapatkan informasi di luar wilayah desanya disebabkan karena perbedaan musim panen wilayah yang lain, petani desa Baturejo mencari nafkah dengan menjadi buruh panen padi di wilayah lain sehingga mereka mengenal jenis padi yang baru. Jenis tanaman padi juga di ketahui petani melalui „penebas‟ (pedagang padi) yang membeli hasil panen petani atau tengkulak dengan memperkenalkan jenis padi baru yang memiliki keunggulan tertentu.10

Gambar 4.7. Lahan Pertanian Dekat Rawa, Adi Nugroho, 2014

Masa pemeliharaan sampai panen, petani tidak mengalami kesulitan. Pemahaman petani atas pestisida dalam menanggulangi hama padi selama pemeliharaan sangat mumpuni (paham) karena selaian itu wilayah tersebut sangat dipengaruhi oleh genangan air ketika musim hujan yang jatuh pada bulan Januari – Pebruari pada msuim tanam pertama.

10 Penebas memberikan informasi jenis padi berdasarkan pada hasil produksi gabah

yang dibeli dari petani sedangkan tengkulak memberikan informasi berdasarkan pada „rendemen‟ beras.

(18)

banyak formulator (peramu) pestisida dari berbagai perusahaan memberikan informasi dan melakukan uji coba dilapangan. Kondisi yang paling dihindari petani adalah banjir pada puncak hujan yang jatuh pada bulan Januari-Pebruari.

Sedangkan pada hamparan “tanah ngrowo”, MT II dimulai pada bulan April-Mei karena puncak hujan terjadi pada bulan Februari disertai dengan banjir atau genangan air yang relatif lama. Berbeda dengan tanah nggenengan, MT II bisa dimulai persemaian pada bulan Februari karena banjir11 tidak memengaruhi wilayah

tersebut. Kebiasaaan pada tanah ngrowo persiapan Musim Tanam II dilakukan pada bulan April dan memulai musim tanamnya pada bulan Mei sehingga bulan Juli dapat dipanen hasilnya. Peluang petani pada MT II ini sangat tinggi dibandingkan pada musim tanam pertama karena selain ketercukupan air dalam memulai musim tanam dan pengelolaanya sangat terbantu pada saat musim penghujan. Penentuan musim tanam kedua dilakukan di bulan April merupakan kebiasaan petani Desa Baturejo dalam mengelola lahan pertaniannya karena selain air yang masih cukup tinggi dan genangan air paska puncak hujan juga pada bulan Maret banyak petani dari daerah lain seperti hamparan pertanian Desa Talun termasuk wilayah Kecamatan Kayen sudah panen sehingga ditakutkan hama akan berpindah dengan cepat ke hamparan yang akan ditanami (Desa Baturejo) yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Sukolilo. Sehingga Organisme Penggangu Tanaman (OPT) berkembang sangat cepat pada hamparan tersebut. Selain itu, menurut penuturan Mujono, Santosa dan beberapa petani lainnya pada bulan tersebut sering terjadi kondisi “timbreng” (mendung tapi tidak turun hujan) sehingga OPT seperti wereng coklat, penggerek batang, hama putih palsu, dan

ulat grayak, berkembang sangat cepat. Kondisi ini dikarenakan beberapa petani yang terletak pada hamparan desa lainnya telah

11 Petani memanfaatkan kondisi banjir tersebut dengan mencari ikan dan keong,

(19)

panen sehingga hama tersebut berpindah dengan cepat, berbeda jika diberi jeda dalam memulai musim tanam kedua.

MT III sebagian kecil petani mengelola lahan pertaniannya dengan menanam tanaman palawija seperti semangka kwaci, blewah, waloh, tomat yang hanya membutuhkan sedikit air karena selain kebutuhan air yang relatif sedikit juga waktu yang sempit karena akan memasuki musim tanam III, sebagian besar petani mengistirahatkan lahannya (bero).

Musim Tanam (MT) Bulan Keterangan 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 MT 1 x X X X MT I (anjuran pemerintah) X x X X Pemajuan MT I (biasa) Pemajuan Musim Tanam (ekstrim) MT 2 X X X X Pemunduran MT II MT 3 = = = Isitrahat atau palawija Puncak Kemarau Puncak Hujan

Gambar 4.8. Kalender Musim Tanam Petani Desa Baturejo, Diadaptasi dari Ketua Kelompok Tani Sido Makmur (2004-2007, 2014) dan Bendahara Kelompok Tani Sido

Rukun, 2014.

Model tanam yang banyak dipakai oleh petani Desa Baturejo adalah Jajar Legowo tidak murni atau sering disebut „tandur paliran‟ karena petani memberikan sela antar tanaman padi bukan berdasar pada jarak tanam model jajar legowo selebar 20-30 cm, hanya untuk memberikan ruang atau jalan petani merawat tanaman.

Petani Desa Baturejo tidak bebas menentukan pola tanam karena tergantung pada kelompok tani dan pengurus pompa sehingga menunggu aliran air dari irigasi pompa dioperasionalkan. Sampai saat ini, belum ada inisiatif petani membuat sumur panthek karena air

(20)

dari sumur panthek tidak mencukupi lahan pertanian yang dimiliki (terlalu kecil dalam memenuhi kebutuhan air lahan pertanian padi). Selain itu, pengalaman petani membuat sumur panthek tidak keluar air. Jika pun keluar, kualitas air buruk karena berasa asin. Wilayah ini tidak memungkinkan untuk menanam selain padi karena merupakan wilayah rawa dimana ketika musim penghujan kondisi tanah menjadi „bacek‟ (kandungan air dalam tanah terlalu tinggi).

Keuntungan Petani Mengelola Risiko Iklim

Pemajuan musim tanam yang cukup ekstrim merupakan salah satu upaya petani untuk menghindari banjir pada bulan Januari sampai Maret (MT I) yang dilakukan mulai tahun 2004-2007 dan Kelompok Sido Rukun pada MT 1 tahun 2014. Menurut penuturan Tanto, mantan Ketua Kelompok Tani Sido Makmur, masalah utama untuk memajukan pola tanam adalah operasional pompa seperti solar, oli, suku cadang dan umur teknis mesin. Besar biaya yang dikeluarkan pada Kelompok Tani Sido Makmur yang beranggotakan 171 pada tahun 2004-2007 kurang lebih 100-200 juta untuk mengairi lahan 156 ha pada MT I, yang ditanggung oleh pengurus kelompok tani tersebut.

“...asal due modal akeh, majuke musim tanam ki gak masalah...pengurus kelompok tani biasane nggadeke sertifikat, BPKP motor ben enthuk silihan seko bank opo rentenir..ben iso tuku solar karo ndandani saluran sing wis rusak...”

(“...asal punya modal banyak, memajukan musim tanam tidak maslah....pengurus kelompok tani biasanya menggandikan sertifikat tanah, BPKP motor biar mendapat pinjaman dari bank atau rentenir...untuk membeli solar dan memperbaiki saluran irigasi yang sudah rusak...”) (Tanto Pusidi)

Beban operasional tersebut dibayar anggota kelompok tani dengan membagi seperdelapan (1/8) hasil panen padi pada pengurus kelompok tani yang sekaligus pengurus pompa air. Dampak yang

(21)

dirasakan oleh Kelompok Tani Sido Makmur Desa Baturejo adalah beban biaya operasional pompa menjadi tinggi karena petani mengandalkan air yang berasal dari JU II yang dipasok dari limpahan sungai pembuang irigasi Klambu Kanan. Selain itu hama tikus berkembang sangat cepat yang menurunkan hasil atau produk panen petani kurang lebih 5%. Meskipun dari serangan hama tikus yang menyerang ketika memajukan musim tanam pada bulan Agustus tetapi kelompok tani tersebut masih mendapatkan keuntungan karena harga jual gabah hasil panen pada bulan awal Januari relatif lebih tinggi (Rp. 2.700-3.000,-/kg Gabah Kering Panen, jika menggunakan pola tanam biasa hanya Rp. 2.000-2.300,-/kg GKP) selain itu aman dari banjir atau genangan banjir yang menyebabkan padi puso.12 Dengan harga yang tinggi petani merasa mendapatkan

keuntungan yang lebih besar baik dari sisi harga, tenaga maupun dari ancaman banjir pada bulan Januari-Pebruari, meskipun ancaman hama tikus sangat besar (kurang dari 5%).1314

Keterlibatan Perempuan

Pada pengelolaan lahan pertanian di Desa Baturejo, keterlibatan perempuan dapat dilihat dari model borongan dalam setiap pengelolaan tanaman padi. Buruh tani borongan relatif didominasi oleh perempuan khususnya dalam ndawut dan penanaman bibit padi pada lahan hamparan yang telah disiapkan, sedangkan penyiapan lahan untuk semai dilakukan oleh laki-laki. Semai sendiri dilakukan oleh kebanyakan kaum laki-laki. Tetapi setiap petani pemilik lahan memiliki perlakuan berbeda untuk

12 Puso dimaknai oleh petani bahwa terjadi kegagalan panen lebih dari 50%. 13 Hama tikus pada musim tanam pertama menyerang padi yang hampir masak

(mrapu) tetapi pada musim tanam kedua hama tikus pun menyerang semaian padi.

14 Upaya petani melawan hama tikus dengan sistem gropokan dan memasang jaringan

aliran listrik di sekeliling areal pertanian dengan menggunakan mesin disel sebagai sumber energi listrik, tetapi jika tikus menyerang semaian, petani membuat

(22)

melakukan semai. Terkadang hanya perempuan saja dalam melakukan persemaian tetapi juga dilakukan oleh keduanya.

Di lahan satu (1) hektar kebutuhan buruh tani dalam menanam bibit tanaman kurang lebih 40 orang, 30 diantaranya didominasi perempuan. Buruh tani borongan tersebut kebanyakan dipimpin oleh laki-laki untuk melakukan negoisasi dengan pemilik lahan yang akan ditanami. Dalam 1 bahu lahan pertanian untuk melakukan ndawut dan penanaman bibit padi pada lahan dihargai Rp. 630.000,-/bahu, yang dibagi kurang lebih 20-40 orang setiap rombongannya. Kebanyakan pemilik lahan lebih memilih model borongan karena dianggap lebih murah dibandingkan sistem harian. Buruh tani rombongan tersebut banyak berasal dari kabupaten Kudus, Grobogan dan atau wilayah desa maupun kecamatan yang lain. Kondisi ini dipengaruhi oleh musim tanam yang serentak atau bersama-sama untuk menghindari hama tikus.

Pengelolaan hamparan paska tanam seperti pemupukan, penyemprotan (jika ada penyakit tanaman) maupun pembersihan rumput dilakukan oleh pemilik lahan jika memiliki lahan yang relatif sempit tetapi jika lahannya luas lebih dari 1 kotak dilakukan oleh buruh tani harian. Seperti dalam pembersihan rumput, buruh tani yang digunakan lebih banyak perempuan15 tetapi pemupukan dan

penyemprotan dilakukan oleh buruh tani laki-laki atau pemilik lahan (laki-laki).

Peran perempuan pada tahap panen menjadi tersingkir, jika maih terlihat perempuan di belakang dhos (alat pemisah bulir padi dengan batang) itu pun hanya sebagai pengasak atau pencari sisa bulir

15 Buruh tani perempuan dalam sistem pertanian padi dihargai lebih rendah

dibandingkan laki-laki. Penghargaan tersebut oleh pemilik lahan berdasarkan pada tenaga yang dimiliki karena perempuan memiliki tenaga lebih kecil dibandingkan kaum laki-laki. Besaran upah yang diberikan oleh pemilik lahan berkisar Rp. 17.000,- per hari yang bekerja mulai pukul 06.00 WIB sampai 10.30 WIB. Berbeda dengan laki-laki, upah yang diterima mencapai Rp. 20.000,-per hari dengan beban kerja dan waktu yang sama dengan kaum perempuan, sedangkan makan, minum dan rokok

(23)

padi yang belum terpisahkan dari batangnya. Perempuan pengasak

tersebut mendapatkan gabahnya dari sisa dhos dan memisahkan dengan cara memukul batang padi sisa dhos tersebut dengan kayu. Posisi perempuan pada tahap pasca panen tersebut berada di belakang

pengedhos (orang yang menjalankan mesin dos). Tetapi berbeda jika hasil produksi rendah, buruh tani perempuan akan dioptimalkan dalam panen karena menurut pandangan pemilik lahan kaum perempuan lebih sabar dan teliti untuk memilih dan memilah hasil panen dibandingkan laki-laki. Meskipun demikian pemilik lahan tetap memberikan upah lebih rendah dibandingkan laki-laki.

Catatan Penutup

Pertanian padi rentan terhadap perubahan pola musim khususnya pada pertanian yang bergantung pada curah hujan atau tidak memiliki sumber air tetap seperti irigasi. Perubahan pola musim yang mendadak (cekaman) berpengaruh terhadap gagalnya produksi padi baik pada seluruh tahap produksi pertanian selain serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT).

Ketidakpastian musim atau ketidakteraturan curah hujan menyebabkan petani sulit menentukan keputusan tanamnya. Petani Desa Baturejo menggantungkan air Sungai Tus (JU II) untuk memulai musim tanam pertama agar dapat terhindar dari puncak hujan pada bulan januari sampai Maret. Penggunaan pompa air merupakan upaya petani memulai musim pertama lebih awal dibandingkan dengan informasi pemerintah yang selalu tidak tepat. Ketidaktepatan informasi tersebut dikarenakan pada akhir MT I, hamparan lahan pertanian kelompok Sido mamkur terjadi genangan air yang cukup tinggi sehingga menggagalkan hasil panen pertanian sawah mereka.

Upaya menggeser waktu tanam pada musim tanam pertama, membutuhkan kesepakatan bersama antara pengurus Kelompok Tani Sido Makmur untuk memastikan ketersediaan air yang cukup, kebutuhan bahan bakar, infrastruktur, dan antisipasi OPT. Selain modal keuangan yang mencukupi untuk menggeser waktu tanam,

(24)

Kelompok Tani Sido Makmur juga membutuhkan modal sosial dalam menghadapi ketidakpastian musim.

Gambar

Gambar 4.1. Sketsa Hamparan Kelompok Tani Sido Makmur Desa Baturejo.
Gambar 4.2. Grafik Curah Hujan di Wilayah Sukolio Pati Jawa Tengah 2005- 2005-2009, BMKG, 2009
Gambar 4.3. Saluran “Siphon” Desa Baturejo
Gambar 4.4. Peta Sungai Juwana, BPDAS Jratun Seluna, 2010
+5

Referensi

Dokumen terkait

Agar dapat melihat perbedaan manusia secara lebih teliti dalam proses identifikasi tersebut, antropologi forensik menciptakan indeks kefalometris, yang terdiri atas

Title bar merupakan batang judul dari program Visual Basic yang terletak pada bagian. paling atas dari jendela program yang berfungsi untuk menampilkan judul

Pendapatan yang diterima sekadar cukup untuk memenuhi keperluan semasa keluarga terutama keperluan asas, yang menyebabkan isi rumah tidak lagi mampu untuk membuat simpanan

Dalam skripsi ini akan dibahas suatu penggabungan konsep digrafdengan konsep himpunan fuzzy , yaitu operasi, sifat-sifat aljabar pada graf berarah fuzzy, komposisi dari

Jenis kesalahan tertinggi yang dialami oleh siswa adalah kesalahan dalam keterampilan berhitung yakni sebanyak 36 orang atau 21,18 persen, sedangkan siswa tidak

Fungsi partikel kasus dalam kalimat di atas, dan dalam kalimat-kalimat bahasa Jepang lainnya adalah memberikan peran semantis pada nomina yang dilekatinya..

Bogdan dan Taylor (1975) dalam Moleong (2003:3) mendefenisikan penelitian kualitatif sebagai berikut: “Metode Kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan

Diagnosis tergantung pada pemeriksaan dan biopsi dari massa nasofaring atau kelenjar getah bening servikal yang terlibat dan bukti radiologis erosi dasar tengkorak.. Scan tulang dan