• Tidak ada hasil yang ditemukan

perilaku seks bebas, dan penyakit HIV/AIDS, kini bertambah bahwa gay juga kebanyakan adalah seorang kriminal, oleh karena itu sebagai masyarakat yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "perilaku seks bebas, dan penyakit HIV/AIDS, kini bertambah bahwa gay juga kebanyakan adalah seorang kriminal, oleh karena itu sebagai masyarakat yang"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

KEBAHAGIAAN (HAPPINESS) PADA PRIA DEWASA AWAL YANG MENJADI SEORANG GAY

Leo Agustin

Fakultas Psikologi, Universitas Gunadarma

ABSTRAK

Setiap individu mampu menentukan pilihan hidupnya menurut apa yang dianggap sesuai dan terbaik baginya, termasuk keputusan seorang pria yang memilih menjadi gay. Gay adalah pria yang memiliki ketertarikan erotik, psikologis, emosional, dan sosial kepada pria. Risiko yang kerap ditemui oleh gay ketika berinteraksi dengan lingkungan adalah penolakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan pria dewasa awal menjadi gay, mengetahui gambaran kebahagiaan gay dewasa awal yang dilihat melalui keutamaan dan kekuatan, serta mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan adanya kebahagiaan. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam karena wawancara terebut lebih seperti percakapan sehari-hari, dan observasi non-partisipan karena peneliti tidak ikut ambil bagian dalam kehidupan subjek. Subjek dalam penelitian ini berjumlah dua orang, dengan karakteristik pria dewasa awal (22 tahun) dan yang telah menjadi gay selama minimal satu tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan pria dewasa awal menjadi seorang gay disebabkan oleh faktor lingkungan. Tingkat kebahagiaan tertinggi dialami oleh subjek pertama, lalu diikuti oleh subjek kedua. Subjek pertama bahagia karena karakteristik kekuatan menonjol pada kecerdikan dan orisinalitas, kebaikan dan kemurahan hati, apresiasi terhadap keindahan, sikap main-main dan rasa humor. Sementara itu, kekuatan yang menonjol pada subjek kedua adalah pertimbangan kritis, rajin dan tekun, serta integritas. Secara umum kedua subjek merasa bahagia menjadi gay dikarenakan memiliki penerimaan diri yang cukup tinggi, merasa memiliki kelebihan, menunjukkan optimisme yang tinggi, dan lebih terbuka terhadap orang lain. Faktor yang menyebabkan adanya kebahagiaan pada kedua subjek adalah faktor kehidupan sosial, religiusitas, dan kepribadian.

Kata Kunci: Kebahagiaan (happiness), gay, pria dewasa awal

PENDAHULUAN

Fenomena gay di Indonesia ibarat gunung es, apa yang tampak di permukaan hanyalah sebagian kecil daripada apa yang tersembunyi di dalam. Banyak aspek

yang belum terungkap dari fenomena gay. Masyarakat di Indonesia umumnya masih memandang keberadaan kaum gay sebagai sesuatu yang mengancam. Stereotype yang sebelumnya telah ada, bahwa gay identik dengan clubbing,

(2)

perilaku seks bebas, dan penyakit HIV/AIDS, kini bertambah bahwa gay juga kebanyakan adalah seorang kriminal, oleh karena itu sebagai masyarakat yang “normal” perlu menghindari kaum minoritas tersebut.

Beberapa tahun ini, topik mengenai gay mulai muncul ke permukaan. Gay dapat kita jumpai di berbagai tempat, di sekolah, kampus, mall, instansi pemerintah, cafe, rumah makan, toko buku, hingga di acara televisi. Beberapa masyarakat menyimpulkan bahwa gay identik dengan profesi dunia hiburan atau entertainment dan dunia seni seperti seni peran, dunia tarik suara, dance, dan dunia mode atau fashion. Padahal di dunia kerja seperti perbankan, logistik, transportasi, dan lain-lain, individu gay juga dapat ditemukan (Hapsari, 2006).

Secara budaya, masyarakat Indonesia telah mengenal

dan hidup bersama dengan kaum homoseksual. Menurut Sarwono (2002), homoseksualitas di Indonesia telah ada sejak dulu, misalnya di Ponorogo, Jawa Timur, dimana banyak remaja-remaja berparas tampan menjadi pasangan seksual para “warok”, dan mereka disebut “gemblakan”. Sejalan dengan Sarwono, Handoyo (2002) mengatakan bahwa “warok” adalah sebutan bagi laki-laki perkasa yang sakti dan mahir dalam ilmu kanuragan (bela diri) dan kadigjayan (kekebalan). Untuk menjaga dan mempertinggi ilmu yang telah dikuasai, pantang bagi “warok” untuk melakukan hubungan seksual dengan perempuan. Sebagai akibatnya, pemenuhan kebutuhan

biologis disalurkan kepada remaja-remaja laki-laki yang berfungsi sebagai pembantu yang disebut “gemblakan”. Semakin banyak “warok” memiliki “gemblakan”, semakin tinggi pula status dan harga dirinya di mata masyarakat.

Di Indonesia, sebenarnya kemunculan gay dimulai sekitar tahun 1920-an. Pada tahun itu, komunitas homoseksual mulai muncul di kota-kota besar Hindia Belanda. Menurut Asmani (2009) di Jakarta, pada tahun 1969 muncul organisasi gay pertama yaitu Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD). Lalu pada tanggal 1 Maret 1982, berdiri organisasi gay terbuka pertama di Indonesia dan Asia, Lambda Indonesia, yang bertempat di Solo. Dalam waktu singkat terbentuklah organisasi di Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, dan kota-kota lain. Pada rentang waktu tahun 1982-1984, terbit bulletin gay di Indonesia, G: Gaya Hidup Ceria. Akibat dari munculnya organisasi Lambda Indonesia, di tahun 1992 terjadi ledakan berdirinya organisasi-organisasi gay di Jakarta, Pekanbaru, Bandung, dan Denpasar, kemudian disusul oleh Malang dan Ujungpandang pada tahun 1993 (Asmani, 2009). Kini, sudah banyak terdapat perkumpulan komunitas gay yang bertujuan untuk memberi dukungan bagi sesama kaum homoseksual. Komunitas-komunitas itu diantaranya adalah Yayasan Pelangi Kasih (YKPN), Arus Pelangi, LPA Karya Bakti, Gay Sumatra (GATRA), Abiasa-Bogor,

GAYA PRIAngan-Bandung, Yayasan Gessang-Solo,

(3)

NUSANTARA-Surabaya, GAYA DEWATA-Bali, Ikatan Persaudaraan Orang-orang Sehati-Jakarta, dll (Asmani, 2009).

Menurut

www.manjam.com (dalam Asmani,

2009), sebuah situs jejaring sosial khusus gay, jumlah gay yang terdaftar dalam jejaring sosial tersebut di kota Jakarta saja sebanyak 3.000 orang. Sedangkan hasil survey YPKN (Yayasan Pelangi Kasih Nusantara) menunjukkan ada 4.000 hingga 5.000 penyuka sesama jenis di Jakarta. Menurut Triawan (dlam Asmani, 2009), pengurus LSM Arus Pelangi yang merupakan sebuah yayasan yang menaungi lesbian, gay, waria, dan transgender, setidaknya ada 5.000 gay serta lesbian yang hidup di Jakarta. Secara kalkulasi, penelitian yang dilakukan oleh pakar seksualitas, dr. Boyke Dian Nugraha, mencatat bahwa frekuensi kaum gay yang murni adalah satu dari 10 pria. Sedangkan Gaya Nusantara, sebuah komunitas khusus gay di Indonesia, memperkirakan 260.000 dari 6.000.000 penduduk Jawa Timur adalah gay. Oetomo (dalam Asmani, 2009) memperkirakan secara nasional jumlah gay mencapai sekitar 1% dari total penduduk Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kaum gay hidup di tengah-tengah kita, terlepas dari apakah mereka merasa diterima atau dikucilkan dari masyarakat.

Siapakah yang sebenarnya yang dapat digolongkan

sebagai pelaku gay atau homoseksual? Michael, (dalam Pratisthita, 2008) menetapkan tiga kriteria untuk mengidentifikasi apakah seseorang memiliki kecenderungan homoseksual atau

tidak, yaitu, identifikasi diri sebagai gay atau lesbian, ketertarikan seksual terhadap orang-orang yang memiliki kesamaan gender, dan keterlibatan seksual dengan satu orang atau lebih yang memiliki kesamaan gender dengan dirinya. Chesebro (dalam Handoyo, 2002) mengemukakan bahwa istilah gay lebih menekankan pada arti sosial dari hubungan sejenis

sebagaimana orang-orang homoseksual memahami

interaksi-interaksi mereka. Gay adalah individu pria yang memiliki ketertarikan erotik, psikologis, emosional, dan sosial kepada individu pria yang berjenis kelamin sama dengan dirinya (homoseksual) dan tidak memiliki ketertarikan pada pasangan yang berjenis kelamin berbeda.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Fransisca (2009), gay dewasa awal yang memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang baik adalah gay yang dapat menerima kekurangan dan kelebihan yang dimiliki. Penerimaan diri yang positif berdampak pada penyesuaian diri dengan baik dalam berinteraksi dalam hubungan sosial, sehingga individu mampu memenuhi kebutuhan intimacy. Terpenuhinya kebutuhan intimacy berkontribusi terhadap kesejahteraan psikologis yang dimiliki. Selain itu, pria gay dewasa awal mampu menetapkan tujuan hidup yang menunjang orientasi seksualnya dan pekerjaan yang dijalani serta menentukan bagaimana mengontrol hubungan dengan masyarakat yang menolak orientasi seksual mereka, juga menyadari konsekuensi akan tujuan hidupnya dan lebih fleksibel dalam

(4)

menetapkan tujuan hidupnya. Myers (dalam Tantri, 2006) menyebutkan empat karakteristik yang dimiliki oleh individu yang hidupnya bahagia, yaitu individu yang cenderung menyukai dirinya sendiri, memiliki kontrol pada hidupnya, menunjukkan optimisme yang tinggi, dan biasanya lebih terbuka terhadap orang lain.

Seligman (2005) menyatakan, individu yang mendapatkan kebahagiaan sejati adalah individu yang telah dapat mengidentifikasi dan melatih kekuatan (strength) dan keutamaan (virtue) yang dimiliki sebagai karakteristik positif, serta menggunakannya pada kehidupan sehari-hari. Terdapat enam nilai keutamaan yang tergambar dalam 24 karakteristik kekuatan yang dapat membantu individu merasakan kebahagiaan atau mempertahankan tingkat kebahagiaan yang dimilikinya. Enam nilai keutamaan menurut Seligman (2005) yaitu, keutamaan berkaitan dengan kebijakan dan pengetahuan, keberanian, kemanusiaan dan cinta, keadilan, kesederhanaan, dan transendensi.

Seligman (2005) menyatakan bahwa kebahagiaan merupakan konsep yang subjektif karena setiap individu memiliki tolok ukur kebahagiaan yang berbeda-beda, misalnya uang, prestasi, status pernikahan, dan sebagainya. Setiap individu juga memiliki faktor yang berbeda-beda sehingga dapat mendatangkan kebahagiaan untuk diri individu tersebut. Faktor-faktor itu antara lain kehidupan sosial, usia, kesehatan, emosi positif, pendidikan,

iklim, ras, jenis kelamin, serta agama atau tingkat religiusitas individu.

Memasuki masa dewasa awal, individu belajar menjalani pilihan hidupnya untuk meraih kebahagiaan melalui model, pengalaman, dan pengaruh lingkungan. Menurut Papalia dan Olds (2001), masa dewasa dibagi menjadi tiga, yaitu dewasa awal (early adulthood), dewasa madya (middle adulthood), dan dewasa akhir (late adulthood). Papalia (2001) menyatakan bahwa usia dewasa awal dimulai ketika individu menginjak usia 20-40 tahun.

Menurut Piaget (dalam Santrock, 2001), kapasitas kognitif dewasa awal tergolong pada tahap operasional formal. Pada tahap operasional formal, pola berpikir sudah jauh lebih fleksibel, sehingga individu mampu melihat suatu persoalan dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Pada tahap ini, individu dewasa awal mampu memecahkan masalah yang kompleks dengan kapasitas berpikir abstrak, logis, dan rasional. Dengan pola berpikir inilah individu dewasa awal mampu menentukan identitasnya yang ingin dibentuk dari diri individu itu sendiri. Pada pria, tantangan-tantangan yang datang sangat beragam. Tentunya tantangan-tantangan tersebut mengharuskan pria dewasa awal untuk membuat

keputusan-keputusan dimana keputusan-keputusan yang diambil akan berdampak pada kebahagiaan kehidupan mereka, termasuk keputusan menjadi seorang gay.

Tobing (2003) mengatakan, di Indonesia

(5)

kebanyakan kehidupan gay seringkali dianggap masyarakat sebagai perilaku menyimpang, oleh karena itu masyarakat sebagai “masyarakat baik-baik” cenderung menolak keberadan gay. Mereka menilai gay sebagai “komunitas tidak baik”, sebab menyimpang dari kelaziman etis dan sosial. Gay yang mengaku kepada teman-teman heteroseksual juga tidak jarang mendapat perlakuan seperti dihindari atau dijauhi, maka terjadi kesulitan antar pribadi, menutup diri dengan cara tidak berkomunikasi antar pribadi dengan orang lain, karena tidak seorangpun yang senang ditolak. Penolakan sosial juga bisa datang dari keluarga, yaitu bila orang tua tahu anaknya seorang gay, maka kemungkinan yang akan terjadi adalah orang tua akan menentang pilihan anaknya tersebut.

Dalam penelitian ini, peneliti tertarik meneliti tentang keutamaan dan kekuatan yang dimiliki gay dewasa awal. Dengan keutamaan dan kekuatan yang dimiliki tersebut akan menunjukkan kebahagiaan seorang pria dewasa awal yang menjadi seorang gay. Hal tersebut merupakan fenomena yang menarik, sehingga perlu diketahui hal-hal yang melatarbelakangi kebahagiaan pada pria dewasa awal yang menjadi seorang gay.

METODOLOGI PENELITIAN Sesuai dengan latar belakang masalah penelitian, maka peneliti menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengetahui bagaimana kebahagiaan pada pria dewasa awal

yang menjadi seorang gay. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang masalah-masalah manusia dan sosial.

Peneliti menginterpretasikan bagaimana subjek memperoleh makna dari lingkungan sekeliling, dan bagaimana makna tersebut mempengaruhi perilaku mereka. Penelitian dilakukan dalam latar yang alamiah (Heru Basuki, 2006). Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif karena peneliti ingin mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen) terhadap fenomena kebahagiaan pada gay dewasa awal. Selain itu, pendekatan kualitatif sangat cocok untuk mengkonstruksi masalah sosial seperti masalah yang peneliti angkat dan setting pada pendekatan kualitatif lebih alamiah.

Dalam penelitian ini, karakteristik subjek adalah dua orang pria dewasa awal yang masing-masing berusia 22 tahun dan telah mengidentifikasikan bahwa dirinya adalah seorang gay minimal satu tahun. Subjek pertama adalah seorang mahasiswa dan subjek kedua adalah seorang pegawai negeri sipil.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara dan observasi. Peneliti menggunakan wawancara mendalam karena wawancara tersebut lebih seperti percakapan sehari-hari dibandingkan dengan wawancara terstruktur, untuk menggali sebuah konsep kebahagiaan pada gay dewasa awal. Dalam penelitian kualitatif peneliti harus berinteraksi dengan subjek melalui wawancara mendalam agar mengerti fenomena

(6)

yang diteliti (Patton, 1990). Observasi yang digunakan dalam penelitian ini digunakan teknik observasi non-partisipan karena peneliti tidak berperan serta ikut ambil bagian dalam kehidupan orang yang diobservasi. Observasi non-partisipan adalah dimana peneliti berada diluar subjek yang diamati dan tidak ikut dalam kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan. Dengan demikian peneliti akan lebih leluasa mengamati kemunculan tingkah laku yang terjadi (Sukandarrumidi, 2004).

Peneliti mengggunakan tiga alat bantu pengumpulan data, pedoman wawancara, pedoman observasi, dan alat perekam (tape recorder).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan triangulasi data dengan membandingkan data hasil wawancara lebih dari satu subjek dengan significant others. Triangulasi pengamat dilakukan dengan cara bertanya kepada judgement exeprt untuk memberikan masukan terhadap hasil pengumpulan data. Triangulasi teori dilakukan untuk memastikan bahwa data yang dikumpulkan sudah memenuhi syarat dan dapat menjawab pertanyaan penelitian. Triangulasi metode dilakukan dengan cara menggunakan dua metode yaitu metode wawancara dan metode observasi (Patton, dalam Poerwandari, 1998).

Teknik analisis data yang digunakan peneliti adalah analisis data kualitatif berdasarkan

Poerwandari (2005). Pengorganisasian data dibuat setelah

peneliti medapat hasil wawancara lalu diubah ke dalam bentuk verbatim. Selanjutnya, peneliti mengelompokkan data dengan membubuhkan kode pada data yang diperoleh. Pengkodean dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistematiskan data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik. Langkah berikutnya adalah analisis kasus. Analisis yang pertama dilakukan adalah analisis terhadap masing-masing kasus. Analisis dilakukan melalui hasil wawancara yang diungkap responden. Tahap kedua adalah melakukan analisis antar kasus yang tujuannya untuk mengungkap persamaan dan perbedaan antara subjek serta menyimpulkannya. Setelah hasil analisis didapat, peneliti melakukan uji asumsi. Pada tahap ini, kategori yang telah didapat melalui analisis ditinjau kembali berdasarkan landasan teori yang dijabarkan pada bab sebelumnya. Sehingga data yang diperoleh dapat dicocokan apakah ada kesamaan antara landasan teori dengan data yang didapat.

HASIL PENELITIAN

Terdapat perbedaan alasan antara subjek pertama dan subjek kedua dalam memandang penyebab seorang individu menjadi gay. Subjek pertama merasakan ketertarikan kepada sesama pria sejak duduk di bangku kelas 3 SD. Perasaan tersebut berlanjut hingga ke jenjang SMP dan SMA ketika subjek pertama merasakan sensasi yang berbeda saat sahabat dekatnya dan sesama teman prianya mencium pipi dan merangkul subjek. Subjek pertama merasakan

(7)

kenyamanan saat jalan berdua dengan sahabat dekatnya. Sejak saat itulah perasaan subjek semakin kuat mengatakan bahwa subjek tertarik dengan pria dalam hal emosi. Subjek lalu menyimpulkan bahwa pada tahun 2009, ketika subjek sudah menjadi mahasiswa, subjek menerima dirinya sebagai gay karena terpengaruh oleh lingkungan subjek saat remaja. Pada subjek kedua, memilih menjadi seorang gay tanpa adanya suatu pengaruh dari lingkungan ataupun mengalami kekerasan seksual yang menyebabkan trauma. Perasaan menyukai pria datang secara tiba-tiba. Subjek kedua mengaku bahwa sejak duduk di bangku kelas 1 SMA sudah merasakan ketertarikan terhadap sesama pria, namun baru pada tahun 2005 subjek bersedia menerima dirinya menjadi seorang gay.

Berdasarkan pernyataan subjek pertama dan subjek kedua pada saat wawancara, maka dapat diketahui bahwa kebahagiaan menjadi seorang gay yang dimiliki subjek pertama dan kedua cukup baik. Dari enam keutamaan (virtue) dan 24 kekuatan (strength), kedua subjek memiliki semua keutamaan dengan keunikan kekuatan khas masing-masing. Kedua subjek setidaknya memiliki sembilan kekuatan yang sama. Hal ini sesuai dengan pendapat Peterson dan Seligman (2004), bahwa untuk menghayati keutamaan, tidak harus seluruh kekuatan tampil pada individu. Cukup dengan dua kekuatan atau lebih, seseorang sudah mampu menghayati keutamaan yang dimilikinya. Kekuatan yang

sama-sama dimiliki oleh kedua subjek antara lain, ketertarikan kepada dunia, kepahlawanan dan ketegaran, bermasyarakat, pengendalian diri, kerendahan hati dan kebersahajaan, sikap pemaaf, bersyukur, harapan, serta spiritualitas atau keyakinan.

Selain kesembilan kekuatan tersebut, subjek pertama memiliki kekuatan khas yang menonjol, yaitu kecerdikan atau orisinalitas. Subjek pertama cenderung senang menciptakan ide-ide baru, yaitu menyukai memadu padankan pakaian dan asesoris yang akan dikenakan dengan berbagai gaya. Selain itu, orang lain akan melihat subjek selalu gembira dan ceria setiap saat meskipun dalam keadaan sedang bersedih.

Berikutnya, kekuatan yang dimiliki subjek pertama adalah kebaikan dan kemurahan hati. Subjek pertama termasuk orang yang peka dan suka memberi bantuan baik dorongan moril maupun materil kepada temannya yang membutuhkan. Subjek sangat menyukai seni dan bangga akan keahlian bernyanyi, menggambar, dan bermain angklung. Yang terakhir adalah, sikap main-main dan rasa humor. Banyak teman-teman subjek yang senang berada di dekat subjek dikarenakan subjek mampu menciptakan suasana ceria dan membuat orang lain tertawa. Kekuatan-kekuatan khas subjek tersebut dapat dikaitkan dengan pendapat Bastaman (2008) yang mengatakan bahwa, hidup bahagia adalah kehidupan yang menyenangkan, penuh semangat, dan gairah hidup, serta jauh dari perasaan hampa dan cemas.

(8)

Sementara itu, pada subjek kedua terdapat tiga kekuatan yang khas, yaitu pertimbangan atau pemikiran kritis, rajin dan tekun, serta integritas atau ketulusan. Subjek kedua sangat berhati-hati dalam memilih dua pilihan. Subjek adalah orang yang rajin, terutama dalam urusan akademik. Ketika subjek berkuliah, IPK subjek termasuk tinggi di angkatannya. Subjek juga tipe orang yang menyukai keterusterangan, bila subjek tidak suka maka subjek akan mengatakannya. Subjek berusaha mengerjakan sesuatu dengan setulus hati. Hal ini sesuai dengan pendapat Bastaman (2008) yang mengatakan bahwa individu-individu yang bahagia memiliki kepribadian yang sehat, antara lain ditandai oleh tubuh yang sehat, otak cemerlang, akhlak luhur, sikap tegas, perasaan lembut, keyakinan yang mantap, dan luwes dalam pergaulan

Menurut Seligman (2005), emosi positif yang dirasakan individu dapat membantu individu tersebut untuk memaknai hidupnya. Emosi positif dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu emosi positif pada masa lalu, emosi positif pada saat ini,dan emosi positif pada masa depan. Kedua subjek telah mampu memahami ketiga emosi positif tersebut dan berusaha menerapkan dalam kehidupan sehari-harinya. Masing-masing subjek mampu menceritakan pengalaman mereka ketika mereka sadar bahwa mereka tertarik pada sesama pria, dan mampu mengubah konflik yang dialaminya menjadi penerimaan diri untuk menjalani kehidupan sebagai seorang gay pada saat ini.

Berdasarkan pernyataan kedua subjek, maka dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang menyebabkan kebahagiaan subjek seperti itu antara lain karena faktor kehidupan sosial, faktor religiusitas, dan faktor kepribadian. Pada faktor kehidupan sosial, subjek pertama lebih merasa bahagia karena memiliki lingkungan pergaulan yang luas, komunitas gay, terlibat dalam hubungan romantis dengan kekasihnya, dan terbuka kepada sahabatnya. Subjek kedua memiliki sahabat perempuan yang mengerti akan kondisi subjek dan subjek merasa lebih terbuka dengan pergaulan ketika subjek telah menceritakan orientasi seksualnya kepada sahabatnya.

Kedua subjek juga menyukai diri mereka sendiri. Keduaya mampu menerima kekurangan dan kelebihan dalam diri masing-masing serta mengatakan bahwa menjadi diri sendiri adalah hal yang menyenangkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Myers (dalam Tantri, 2006), bahwa individu yang bahagia cenderung menyukai dirinya sendiri. Jadi, pada umumnya individu yang bahagia adalah individu yang merasa memiliki kontrol pada hidupnya. Individu tersebut merasa memiliki kekuatan atau kelebihan sehingga biasanya individu tersebut.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan bahwa kedua subjek menjadi seorang gay disebabkan oleh faktor lingkungan. Tingkat kebahagiaan tertinggi

(9)

dialami oleh subjek pertama, lalu diikuti oleh subjek kedua. Subjek pertama bahagia karena karakteristik kekuatan menonjol pada kecerdikan dan orisinalitas, kebaikan dan kemurahan hati, apresiasi terhadap keindahan, sikap main-main dan rasa humor. Sementara itu, kekuatan yang menonjol pada subjek kedua adalah pertimbangan kritis, rajin dan tekun, serta integritas. Secara umum kedua

subjek merasa bahagia menjadi gay dikarenakan memiliki penerimaan diri yang cukup tinggi, merasa memiliki kelebihan, menunjukkan optimisme yang tinggi, dan lebih terbuka terhadap orang lain. Faktor yang menyebabkan adanya kebahagiaan pada kedua subjek adalah faktor kehidupan sosial, religiusitas, dan kepribadian.

SARAN

1. Untuk kedua subjek, diharapkan mampu memperjuangkan harapannya

kembali menjadi pria heteroseksual, dengan cara mengurangi secara bertahap kontak dengan gay-gay lain, keluar dari komunitas gay, dan mencoba menjalin hubungan percintaan dengan lawan jenis.

2. Untuk orang tua, sebaiknya lebih memahami faktor-faktor yang dapat mempengaruhi seseorang menjadi gay, seperti lingkungan pergaulan subjek serta memberikan pendidikan seks sejak remaja. Orang tua juga diharapkan

mampu memberikan penjelasan tentang

risiko-risiko bila seseorang menjadi gay.

3. Untuk peneliti yang ingin mengembangkan penelitian ini, diharapkan lebih memahami konsep kebahagiaan, yaitu tiga emosi

positif serta karakteristik positif dengan banyak membaca literatur tentang

psikologi positif, agar dapat menggali lebih dalam gambaran kebahagiaan dan faktor yang mempengaruhi kebahagiaan pada pria yang menjadi seorang gay.

DAFTAR PUSTAKA

(1) Asmani, J. M. (2009). Awas! Bahaya homoseks mengintai anak-anak kita. Jakarta: Pustaka Al Mawardi.

(2) Bastaman, H. D. (2008). Kebahagiaan dambaan psikologi dan tasawuf. Depok: Fordiba.

(3) Basuki, H. (2006). Penelitian kualitatif untuk ilmu-ilmu kemanusian dan budaya. Jakarta : Universitas Gunadarma.

(4) Handoyo, A. H. (2002). Aktivitas komunikasi dan pembentukan realitas sosial: suatu telaah tentang aktivitas komunikasi kelompok “gay” dalam mengonstruksikan

realitas sosial homoseksualitas. Disertasi

(10)

Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Indonesia. (5) Hapsari, T. P. (2006).

Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian produk pada komunitas gay di Jakarta. Tesis (tidak diterbitkan). Jakarta: Program Studi Magister Manajemen

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

(6) Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2001). Human development eight edition. New York: McGraw-Hill.

(7) Patton, M. Q. (1990). Qualitative evaluation and research methods 2nd edition. New York : SAGE Publications Inc.

(8) Poerwandari, E. K. (2005). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Depok : Lembaga Pengembangan Sarana dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Fakultas Psikologi

Universitas Indonesia.

(9) Pratisthita, N. L. (2008). Attachment styles pada gay dewasa muda. Skripsi (tidak diterbitkan). Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. (10) Santrock, J. W. (2001). Adolescence 8th edition. Boston: McGraw-Hill. (11) Sarwono, S. W. (2002). Psikologi remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. (12) Seligman, M. E. P. (2005).

Authentic happiness: Menciptakan kebahagiaan dengan psikologi positif. Alih Bahasa: Eva Yulia Nukman. Bandung: PT. Mizan Pustaka.

(13) Sukandarrumidi. (2004). Metodologi penelitian petunjuk praktis untuk peneliti pemula. Yogyakarta : Gadjah Mada Yogyakarta Press.

(14) Tantri, R. A. (2006). Gambaran kebahagiaan dan identifikasi kekuatan dan keutamaan dalam kehidupan musisi. Skripsi (tidak diterbitkan). Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

(15) Tobing, E. B. U. (2003). Eskalasi hubungan pasangan homoseksual (tahapan perkembangan komunikasi antar pribadi gay timur dan barat). Tesis (tidak diterbitkan). Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

The alumina-activated carbon composite as adsorbent composite are used according to the color concentration in the wastewater (calculation by experiment adsorption

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pe- ngaruh positif dan signifikan dengan tingkat pe - ngaruh tinggi antara Kepemimpinan terhadap Lingkungan Kerja sesuai

Hasil penelitian diperoleh ada dua faktor penyebab kurangnya partisipasi masyarakat dalam memelihara jalur evaluasi yaitu faktor partisipasi pada masyarakat

Kesimpulan penelitian ini adalah tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan pelaksanaan dokumentasi asuhan keperawatan di RSUD Labuang Baji

Penambahan glutation di dalam pengencer mampu menghasilkan semen beku dengan kualitas baik karena glutation berfungsi sebagai senyawa antioksidan yang mencegah terjadinya reaksi

Rekapitulasi Hasil Angket dan Wawancara Pandangan Guru Selama Kegiatan Inkuiri Ilmiah Berlangsung... Hasil Uji Prasyarat dan Uji Statistik D.1 Uji Prasyarat

Bahasa Pemrograman Borland Delphi mudah digunakan dibandingkan dengan bahasa pemrograman lainnya karena Borland Delphi awalnya dari Pascal yang mana banyak orang mengetahui

Pembuatan Aplikasi Pembacaan 10 Surat Terpendek Dalam Juz Amma Dengan Menggunakan Microsoft Visual Basic 6.0 merupakan sebuah aplikasi multimedia yang berisi 10 surat juz amma