• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kekerasan seksual telah menjadi isu kesehatan masyarakat karena

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kekerasan seksual telah menjadi isu kesehatan masyarakat karena"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kekerasan seksual telah menjadi isu kesehatan masyarakat karena berbagai efek kesehatan yang diakibatkannya (Ogunfowokan & Fajemilehin, 2012). Berbagai bukti penelitian menyebutkan bahwa kekerasan seksual pada anak (KSA) berdampak negatif baik jangka pendek maupun jangka panjang terhadap kesehatan fisik dan emosi, kemampuan kognitif dan capaian pendidikan, serta perkembangan sosial dan perilaku (Lanning & Massey-Stokes, 2006; Wurtele & Kenny, 2010). Beberapa konsekuensi yang dialami oleh anak yang menjadi korban kekerasan seksual mencakup rendahnya kepercayaan diri, penarikan sosial, depresi, kecemasan, gejala stres pasca trauma, dan perilaku merusak diri seperti penyalahgunaan obat, dan percobaan bunuh diri (Johnson, 2004; Lanning & Massey-Stokes, 2006; Al-Fayez, Ohaeri, & Gado, 2012; Collin-Vezina, Daigneault, & Hebert, 2013). Selain kehamilan dan terpapar infeksi menular seksual, perilaku seksual yang berisiko sebagai dampak kekerasan seksual juga dapat menjadi hal serius (Johnson, 2004; Tubman, Montgomery, Gil, & Wagner, 2004; Carey, Walker, Rossow, Seedat, & Stein, 2008; Lin, Li, Fang, & Lin, 2011).

Berdasarkan studi meta analisis terhadap kasus KSA, prevalensi kasus di 65 negara menunjukkan 1 dari 5 perempuan dan 1 dari 12 laki-laki mengalami

(2)

kekerasan seksual sebelum umur 18 tahun (Wurtele & Kenny, 2010). Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan Haile, Kebeta, & Kassie (2013) bahwa kejadian KSA tidak hanya mengincar anak perempuan tetapi juga anak laki-laki. Selain itu, kejadian KSA umumnya terjadi ketika korban berusia di bawah 18 tahun (Reza, Breiding, Gulaid, Mercy, Blanton, Mthethwa, Bamrah, Dahlberg, & Anderson, 2009).

Menurut data Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) terjadi peningkatan kasus KSA di Indonesia pada tahun 2006 yaitu 426 kasus dibandingkan tahun 2005 yaitu 327 kasus (Kemenkes RI, 2009). Sedangkan data Pusdatin Kementerian Sosial periode Januari - Juni tahun 2008 menggambarkan sebanyak 12.726 anak Indonesia menjadi korban kekerasan seksual dan pelakunya merupakan orang terdekat dengan korban seperti orangtua kandung / tiri /angkat, paman, kakek, guru, dan tetangga (Kemenkes RI, 2009).

Berdasarkan laporan wartawan Malau di media Tribun (2013), Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat dalam semester I atau mulai Januari sampai akhir Juni 2013 terdapat 1032 kasus kekerasan anak yang terjadi di Indonesia. Sebanyak 535 kasus dari 1032 kasus merupakan kekerasan seksual. Secara rinci, kekerasan seksual yang terjadi berupa sodomi sebanyak 52 kasus, perkosaan sebanyak 280 kasus, pencabulan 182 kasus dan inses 21 kasus. Kasus ini paling banyak terjadi di lingkungan sosial yaitu 385 kasus, lingkungan keluarga 193 kasus, dan sekolah 121 kasus.

Data Forum Perlindungan Korban Kekerasan (FPKK) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menunjukkan bahwa korban kekerasan terhadap anak paling tinggi terjadi di kota Yogyakarta dengan 127 kasus pada tahun 2011 (Sujatmiko,

(3)

2013). LSM Rifka Annisa mencatat bahwa lembaga tersebut menangani 36 kasus selama tahun 2013 (e-mail Rifka Annisa, 23 Januari 2014). Sedangkan Yayasan Lembaga Perlindungan Anak (YLPA) DIY mencatat bahwa kasus KSA yang mereka tangani selama tahun 2012 hingga 2013 sebanyak 55 kasus dengan kasus terbanyak terjadi di Kota Yogya dan Kab Sleman (YLPA DIY, 2014). Jumlah kasus kekerasan seksual yang ditangani YLPA DIY ini merupakan kasus dengan jumlah paling tinggi dibandingkan kekerasan fisik dan psikis. Tercatat pada tahun 2012, kasus kekerasan fisik pada anak yang ditangani YLPA DIY berjumlah 14 kasus, kasus kekerasan psikis sebanyak 4 kasus sedangkan kekerasan seksual sejumlah 22 kasus. Pada tahun 2013, kasus kekerasan fisik pada anak yang ditangani YLPA DIY berjumlah 17 kasus, kekerasan psikis 7 kasus, sedangkan kasus kekerasan seksual mencapai 33 kasus (YLPA DIY, 2014).

Jumlah kasus tersebut berdasarkan pelaporan kepada petugas berwenang. Jumlah kasus sebenarnya tidak diketahui secara pasti karena kasus ini tidak selalu dilaporkan. Johnson (2004) berpendapat bahwa anak-anak berusia muda atau anak-anak cacat yang mengalami kekerasan seksual kemungkinan belum memiliki kemampuan komunikasi yang memadai untuk melaporkan kejadian atau menjelaskan kejadian secara detail.

Mengingat dampak KSA begitu membahayakan dan jumlah kejadiannya selalu bertambah maka beberapa strategi intervensi banyak ditawarkan melalui penelitian-penelitian. Cara yang paling efektif untuk menurunkan efek bahaya dari kekerasan adalah melalui prevensi dan deteksi dini untuk memulai proses penyembuhan (Lanning & Massey-Stokes, 2006; Skarbek, Hahn, & Parrish, 2009). Penelitian menunjukkan bahwa program multidimensi dan komprehensif

(4)

dapat efektif dalam pencegahan kekerasan seksual (Lanning & Massey-Stokes, 2006). Lembaga di Amerika yang menangani kasus-kasus KSA (The US Advisory Board on Child Abuse and Neglect) meyakini bahwa strategi prevensi harus berbasis lingkungan tempat tinggal dan berfokus pada anak (Lanning & Massey-Stokes, 2006).

Strategi prevensi primer telah banyak diteliti melalui program edukasi dan umumnya berbasis sekolah (Collin-Vezina, dkk, 2013). Pendekatan prevensi primer yang sering dilakukan yaitu program edukasi umum yang diberikan di sekolah (Collin-Vezina, dkk, 2013; Cecen-Erogul & Hasirci, 2013). Kebanyakan program edukasi umum ini juga mengintervensi lingkungan individu tetapi lebih jarang dilakukan dalam keluarga atau lingkungan sosial (Collin-Vezina, dkk, 2013). Program-program edukasi umum pada anak yang berpotensi menjadi korban kekerasan seksual terbukti efektif membangun pengetahuan anak mengenai kekerasan seksual, keterampilan preventif, dan sikap (Topping & Barron, 2009: Ogunfowokan & Fajemilehin, 2012; Murphy, Smith, & Xenos, 2012; Collin-Vezina, dkk, 2013). Program ini memiliki beberapa keuntungan seperti biaya rendah, mudah diimplementasikan secara luas, dan dapat menjangkau jumlah maksimum anak (Collin-Vezina, dkk, 2013).

Berbagai penelitian mengenai KSA menyimpulkan bahwa program prevensi terhadap KSA mampu meningkatkan pengetahuan dan sikap individu baik program-program yang ditujukan bagi anak maupun orangtua (Topping & Barron, 2009: Wurtele & Kenny, 2010; Ogunfowokan & Fajemilehin, 2012; Babatsikos, 2012; Collin-Vezina, dkk, 2013). Namun, program edukasi langsung pada anak ini juga dikritisasi karena hanya menempatkan tanggung jawab prevensi di tangan anak (Collin-Vezina, dkk, 2013). Dapat dikatakan bahwa

(5)

program prevensi langsung pada anak ini bukanlah satu-satunya jawaban untuk masalah sosial yang kompleks seperti kekerasan seksual (Wurtele & Kenny, 2010; Babatsikos, 2012; Collin-Vezina, dkk, 2013).

Di sisi lain, belum banyak komunitas yang mengembangkan mekanisme yang dapat menjamin tidak adanya anak muda mengalami kekerasan seksual (Wurtele & Kenny, 2010; Collin-Vezina, dkk, 2013). Maka, diperlukan pula program prevensi yang dilakukan pada komunitas dan lingkungan tempat tinggal anak (Wurtele & Kenny, 2010). Sistem kesehatan masyarakat umumnya merupakan partner penting dalam mencegah kekerasan seksual (Baverstok, Bartle, Boyd, & Finlay, 2008; Wurtele & Kenny, 2010). Pendekatan ini berasumsi bahwa kekerasan merupakan konsekuensi dari interaksi dinamis antara determinan-determinan pada empat level yaitu individu, relasi, komunitas, dan masyarakat. Program preventif akan efektif ketika dilakukan secara multidisiplin dan terus-menerus pada keempat level tersebut (Skarbek, dkk, 2009; Wurtele & Kenny, 2010).

Salah satu bagian dari masyarakat yang dapat dilibatkan dalam program prevensi dini kekerasan seksual pada anak adalah kader Posyandu di lingkungan tempat tinggal anak. Kader Posyandu merupakan salah satu wujud peran serta masyarakat dalam membantu upaya pelayanan kesehatan (Lopez, Tjokrosonto, & Paramastri, 2004). Peneliti memilih kader Posyandu karena masih jarang program prevensi dini terhadap KSA dilakukan di lingkungan masyarakat dan kader posyandu memiliki akses melakukan promosi kesehatan kepada masyarakat. Posyandu atau Pos Pelayanan Terpadu merupakan salah satu bentuk upaya kesehatan bersumber masyarakat yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam

(6)

menyelenggarakan pembangunan kesehatan, untuk memberdayakan masyarakat dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayangan kesehatan dasar (Kemenkes RI, 2013). Salah satu pelayanan kesehatan promotif dan preventif yang dapat dilakukan oleh puskesmas melalui kader posyandu pada kelompok dewasa adalah sosialisasi dan penyuluhan tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak serta akibat dari kejadian tersebut bagi keluarga dan masyarakat (Kemenkes RI, 2009). Program promosi kesehatan yang dilakukan untuk para kader Posyandu merupakan bentuk upaya prevensi primer terhadap kejadian yang tidak diinginkan di masyarakat termasuk kekerasan seksual pada anak. Bloom (1996) memaparkan bahwa cakupan prevensi primer di antaranya adalah aktivitas promotif, protektif, dan preventif. Aktivitas preventif adalah tindakan yang mencegah terjadinya peristiwa yang tidak diinginkan baik dengan menghilangkan agen lingkungan yang berbahaya maupun dengan memperkuat ketahanan masyarakat ataupun keduanya (Bloom, 1996). Unicef (2012) memaparkan bahwa layanan prevensi primer bertujuan untuk memperkuat kapasitas masyarakat secara menyeluruh dalam pengasuhan anak dan memastikan keselamatan mereka.

Kader Posyandu sebagai kader pelayan masyarakat perlu mendapatkan pembekalan agar dapat menjalankan tugasnya. Langkah-langkah edukasi dan upaya peningkatan kapasitas kader perlu dilakukan melalui pelatihan kader Posyandu agar dapat menjalankan tugasnya (Kemenkes RI, 2011). Begitu pun agar kader Posyandu dapat menjadi agen prevensi primer terhadap KSA. Pelatihan untuk kader sangat diperlukan karena dapat menyediakan modal awal bagi kader agar dapat menjadi agen prevensi primer terhadap KSA. Pelatihan

(7)

cukup efektif untuk meningkatkan motivasi, mengubah struktur kognitif, memodifikasi sikap serta menambah keterampilan berperilaku (Johnson & Johnson, 2001) selain itu juga menjadi hal yang sangat penting bagi individu karena menyediakan kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan (Hunt, 2003). Dapat dikatakan bahwa seseorang yang memiliki pengetahuan dan keterampilan akan lebih mudah dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang diemban (Lopez, dkk, 2004).

Setelah kader memperoleh pengetahuan terkait KSA, kemampuan kader sebagai agen prevensi primer terhadap KSA dibuktikan melalui aktivitas promosi kesehatan kepada masyarakat. Bentuk promosi kesehatan yang umum digunakan para kader Posyandu adalah penyuluhan. Penyuluhan adalah suatu kegiatan pendidikan melalui penyebaran informasi yang membuat orang sadar, tahu, dan mengerti, juga mau dan bisa melakukan anjuran dalam pesan penyuluhan tersebut (Kemenkes RI, 2011). Penyuluhan dapat dilakukan dengan berbagai metode dan media.

Metode yang umum digunakan dalam penyuluhan yaitu ceramah. Pada kegiatan penyuluhan dengan ceramah, penyampaian materi dilakukan secara lisan dan proses pembelajaran lebih banyak melibatkan indera pendengaran dimana peserta lebih banyak mendengar dan bersifat pasif (Kemenkes, 2011). Meskipun begitu, ceramah banyak digunakan kader Posyandu sebagai metode penyuluhan karena hemat biaya, tenaga, dan sarana serta tidak memerlukan banyak waktu (Lopez, dkk, 2004).

Pada kegiatan penyuluhan, media penyuluhan berperan penting. Media penyuluhan adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan, membantu

(8)

proses penyuluhan dan merangsang seseorang untuk belajar (Kemenkes, 2011). Ada berbagai jenis media yaitu media cetak seperti leaflet, booklet, dan poster; media elektronik seperti film; media berupa benda-benda untuk demontrasi; dan media simulasi seperti alat permainan (Kemenkes, 2011, Notoatmodjo, 2010). Leaflet adalah media berupa lembaran yang dilipat berisi pesan-pesan kesehatan baik berupa tulisan, gambar, atau keduanya (Notoatmodjo, 2010). Berbeda dengan ceramah yang banyak mengandalkan proses mendengar, pembelajaran dengan leaflet lebih banyak menekankan proses pembelajaran dengan membaca. Media leaflet terbukti dapat meningkatkan pengetahuan individu terkait objek yang dipaparkan dalam leaflet (Hoffman, Schiffers, Richardus, Raat, de Kok, Ballegooijen, & Korfage, 2013; Al-Thaqafy, Balkhy, Memish, Makhdom, Ibrahim, Al-Amri, & Al-Thaqafy, 2012). Selain itu penelitian Ashraff, Malawa, Dolan, & Khanduja (2006) menunjukkan bahwa pemberian informasi tertulis berupa leaflet dapat memperbaiki kemampuan pasien dalam mengingat kembali informasi yang diberikan dokter.

Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti merancang program yang bernama program “Kader Posyandu Peduli Anak”. Program ini adalah program pelatihan pencegahan KSA kepada kader posyandu dengan tujuan meningkatkan pengetahuan kader posyandu terkait prevensi KSA agar kader dapat menjadi agen prevensi primer terhadap KSA melalui aktivitas promosi kesehatan kepada masyarakat berupa penyampaian informasi terkait KSA melalui media ceramah dan leaflet dengan harapan tercipta kondisi lingkungan tempat tinggal anak yang kondusif bagi pencegahan kekerasan seksual.

(9)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah program “Kader Posyandu Peduli Anak” dapat meningkatkan pengetahuan kader Posyandu dan masyarakat dalam upaya mencegah KSA?

2. Bagaimana meningkatkan pengetahuan masyarakat terkait upaya pencegahan KSA melalui pemberdayaan kader Posyandu?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah:

1. Menguji pengaruh program “Kader Posyandu Peduli Anak” terhadap peningkatan pengetahuan kader Posyandu dan masyarakat dalam upaya mencegah KSA.

2. Memberdayakan potensi kader Posyandu untuk mengedukasi masyarakat terkait pencegahan KSA.

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. Menguji pengaruh pelatihan pencegahan KSA terhadap peningkatan pengetahuan kader Posyandu.

(10)

2. Membandingkan efektivitas promosi kesehatan yang dilakukan oleh kader Posyandu melalui pemberian ceramah dan leaflet terhadap peningkatan pengetahuan masyarakat tentang KSA.

D. Manfaat Penelitian

Secara teoritis diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat dan memperkaya penelitian-penelitian dalam bidang psikologi klinis dan kesehatan, khususnya terkait promosi kesehatan untuk prevensi KSA.

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi kader posyandu untuk mengaplikasikan pengetahuan yang didapat mengenai pencegahan KSA di lingkungan tempat tinggalnya. Selain aplikasi pengetahuan kepada masyarakat juga untuk mengedukasi masyarakat terkait KSA dan perlindungan terhadap anak dari ancaman kekerasan seksual.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian-penelitan promosi kesehatan yang melibatkan kader Posyandu di antaranya:

Penelitian Sugiharto, Doeljachman, & Wahyuni (2003) menunjukkan bahwa ada perbedaan pengetahuan dan sikap kader posyandu terhadap HIV/AIDS antara kelompok eksperimen (metode ceramah dan diskusi) dengan kelompok kontrol (metode ceramah).

(11)

Penelitian Lopez, dkk (2004) menunjukkan bahwa promosi kesehatan menggunakan video dapat lebih meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kader dibandingkan menggunakan folder.

Penelitian Wulansari (2013) dengan hasil penelitian yaitu metode collaborative learning memberikan peningkatan pengetahuan dan keterampilan yang lebih baik dibandingkan dengan metode konvensional ceramah tanya jawab.

Penelitian-penelitian bertema prevensi KSA di antaranya:

Penelitian yang dilakukan Lanning & Massey-Stokes (2006) menunjukan bahwa hanya 24% responden (177 sekolah) menggunakan program pencegahan kekerasan seksual berbasis murid. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa keterlibatan keluarga, pelatihan kepada staf sekolah dan program evaluasi sangat minimal.

Penelitian Ekawati, Dwipayanti, & Wulandari (2011) menunjukkan bahwa pelatihan KAKSA (Komunitas Anti Kekerasan Seksual Anak) dapat meningkatkan pengetahuan setinggi 11, 84%.

Penelitian Ogunfowokan & Fajemilehin (2012) menunjukkan bahwa ada peningkatan pengetahuan siswa pada posttest pertama dibanding pretest dan peningkatan ini bertahan pada posttest kedua. Namun, tidak ada perubahan sikap pada para siswa.

Penelitian-penelitan terkait prevensi KSA di lingkungan Universitas Gadjah Mada di antaranya:

(12)

Tesis Dian (2009) dengan pendekatan action research menunjukkan bahwa siswa SD dapat menerima dan memahami isi pesan kekerasan seksual anak melalui media buku cerita bergambar.

Disertasi Paramastri (2011) dengan hasil penelitian yaitu modifikasi transteoritikal dapat diterapkan pada komunitas KAKSA serta terjadi peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan penilaian program oleh KAKSA.

Berdasarkan uraian penelitian di atas dapat dilihat beberapa penelitian yang melibatkan kader posyandu dan penelitian bertema prevensi terhadap KSA, sebagai pembeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya maka dipilih penelitian mengenai program prevensi dini terhadap KSA yang dilakukan melalui program pelatihan kesehatan untuk kader posyandu dalam rangka meningkatkan pengetahuan kader dalam upaya pencegahan KSA di lingkungan tempat tinggal kader.

Referensi

Dokumen terkait

follow up, ada perbedaan pengetahuan KSA yang signifikan pada kader posyandu saat posttest dan follow up, promosi kesehatan yang dilakukan oleh kader posyandu

Diharapkan dapat memberikan informasi tambahan dan masukan- masukan terhadap kader posyandu yang ada di desa ledug terkait dengan hasil penelitian ini mengenai faktor apa

Kepuasan Kerja dengan Motivasi Kader dalam Pelaksanaan Posyandu Balita. di Desa Kembaran Kecamatan Kembaran

Mengetahui Pengetahuan dan sikap ibu pada anak retardasi mental sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan tentang pencegahan kekerasan seksual terhadap anak di

Penelitian ini diharapkan juga memberikan manfaat nyata kepada SLBN Surade yaitu untuk mengembangkan suatu program pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan

Hasil dari penelitian ini adalah pelatihan DDTK yang dilakukan selama tiga hari efektif meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan pada bidan yang mendapatkan intervensi

Pengaruh pelatihan berdasarkan kompetensi terhadap pengetahuan dan keterampilan kader gizi dalam pengelolaan posyandu (Khadir 2009) Untuk mengetahui pengaruh pelatihan

Pada bidang Pra-Bencana BPBD Provinsi Bengkulu dalam hal kegiatan atau program kerja yang terkait dengan pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan yang dimasukkan