• Tidak ada hasil yang ditemukan

RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE DEWASA INI SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE DEWASA INI SKRIPSI"

Copied!
219
0
0

Teks penuh

(1)

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Imaculada Gouveia Leite 021124039

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN

KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

Dengan penuh syukur dan cinta yang mendalam kupersembahkan skripsi ini kepada: Manuel Soares, Ayahanda tercinta sang pendidik hidup dalam melayani Elisa Soares (almarhumah), Ibunda tercinta sang peneguh harapan hidup Grandpa, Maun Enço, adik-adik tercinta di Lar de Estudantes St. Inácio de Loyola

(5)

v

untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku

untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta,

untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang”

(Luk 4: 18 -19)

“Janganlah memberi dari kelebihanmu,

(6)
(7)

vii

Gereja Timor Leste akan masyarakat Timor Leste yang mengimani Allah sebagai penyelamat, namun di era pascareferendum mengalami degradasi kehidupan spiritual. Ini ditandai dengan hilangnya nilai-nilai luhur dan tradisi Gereja yang sejak dulu dijunjung dan dipuja-puja oleh sebagian besar masyarakat yang mayoritas beriman Katolik. Tradisi-tradisi seperti devosi kepada Bunda (Na’i Feto) Maria di antaranya doa Rosario (Reza Terço) bersama, ziarah ke gua-gua (grutas) Maria sebagai penghormatan kepada Bunda Maria, devosi kepada Hati Kudus Yesus (DevoÇão do Sagrado CoraÇão de Jesus), kini telah hilang tertelan oleh budaya-budaya yang datang dari barat sebagai akibat dari referendum dan pascareferendum di Timor Leste dalam menentukan nasib bangsanya sendiri.

Permasalahan pokok dalam skripsi ini adalah menguraikan masalah-masalah yang dihadapi Gereja Timor Leste di era pascareferendum, yaitu masalah kaum muda, masalah pendidikan, masalah politik, bahaya sekularisme dan materialisme, serta masalah penghayatan hidup beriman umat. Dalam realita seperti inilah Gereja Timor Leste ditantang untuk mencari alternatif pewartaan baru yakni re-evangelisasi yang merupakan salah satu jalan dalam mewujudkan Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor Leste serta menanggapi berbagai tantangan yang dihadapinya.

(8)

viii

awareness of East Timor Church which the people of God believe that the Lord is their savior, however the post-referendum era has degraded in spiritual life. It can be indicated by the decreasing values in life and the Church tradition which has been respected and loved by all the Catholics in the past. The traditions which are respected, such as: devotion toward Holly Mother (Na’i Feto) Merry, Merry in the blessed Rosary (Reza Terço), devotional visit to sacred caves (Grutas) as a respect to a Holly Mother Merry, the devotional toward the Sacred Heart of Jesus Christ (Devação do Sagrado Coração de Jesus). Those traditions have lost by the western culture as the effect from the referendum and the post-referendum in East Timor in establishing their own destiny.

The main problem of this thesis is to explain all the conflicts which have been faced by East Timor Church in the post-referendum era, among them are: the youth problems, educational problems, political problems, the danger condition of secularism and materialism, also the comprehending problem spirituality of the faith of the people. It is in this reality, the Church in East Timor has been challenged to find out the alternative ways to re-evangelization which become one of the paths to perceive problems.

(9)

ix

jika tidak ditopang. Kami tak dapat hidup, jika tidak diberi Roh Kehidupan. Maka sudah sepantasnya penulis menghaturkan segala puji syukur kepada Allah Sang Sumber Kebijaksanaan dan Cinta, atas berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE DEWASA INI. Skripsi ini disusun sebagai salah satu prasyarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, tuntunan, dukungan dan perhatian, serta bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa syukur dan terimakasih yang sebesar-besarnya dan sedalam-dalamnya kepada:

1. Segenap Staf Dosen dan Karyawan/wati Program Studi Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Jurusan Ilmu Pendidikan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, yang telah mendidik, menuntun, dan membimbing penulis selama studi sampai terselesaikannya skripsi ini.

2. Drs. FX. Heryatno Wono Wulung, SJ., M.Ed., sebagai dosen pembimbing utama yang telah bersedia meluangkan waktu, penuh kesabaran, setia dan teliti dalam membimbing dan mengoreksi seluruh skripsi ini.

3. Dra. J. Sri Murtini, M.Si., sebagai penguji II sekaligus dosen wali yang telah memberikan dukungan, bimbingan, dan kesetiaan mendampingi penulis dalam menyelesaikan studi di kampus ini.

4. Bpk. YH. Bintang Nusantara, SFK., selaku penguji III yang telah memberikan saran, perhatian, motivasi, ide-ide dan kritikan demi kemajuan penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.

(10)

x

(almarhum), Apá Julião da Costa (almarhum), Apá Julião (almarhum), Amá Joana Maia (almarhumah), Amá Lourdes (almarhumah), Maun no Mana Aguida Aman, seluruh keluarga tercinta, yang dengan setia mengiringi perjalanan hidup dan studi penulis dengan doa, harapan, pengorbanan, dan cinta yang begitu besar sehingga penulis memperoleh kekuatan dan keteguhan dalam menjalani hidup dan studi hingga terselesaikannya skripsi ini.

7. Maun Enço (Fr. Lourenço de Jesus Soares, Pr) kakak sekaligus sahabat yang telah mengajari dan mendidik penulis dalam mencari dan menemukan makna hidup yang sesungguhnya, memberikan dorongan, serta setia memberikan semangat untuk terus berjuang dalam menapaki perjalanan hidup penulis.

8. Adik-adik yang tercinta di Lar de Estudantes Santo Ináçio de Loyola-Rumbia, Dili, Timor Leste yang dengan setia mengiringi studi penulis dengan doa, dan cinta. Kasih dan cinta selalu.

9. Romo J. Setyakarjana, SJ., bapak Bambang, dan bapak Haryanto selaku staf perpustakaan IPPAK yang dengan setia melayani dan menyediakan buku-buku referensi bagi penulis. Terimakasih juga atas komputernya.

10.Seluruh staf perpustakaan Kolsani yang dengan ramah dan setia melayani dan menyediakan buku-buku referensi bagi penulis. Terimakasih atas kemurahan hati.

11.Rekan-rekan angkatan 2002/2003, yang telah memberi dinamika hidup dan semangat dalam menjalin dan merajut tali persaudaraan dan kekeluargaan. Terimakasih atas persahabatan yang indah ini.

(11)

xi

dengan ketulusan hati telah memberikan bantuan dan dorongan hingga terselesaikannya skripsi ini.

Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu penulis mengharapkan saran maupun kritik yang membangun guna semakin sempurnanya penulisan ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.

Yogyakarta, 12 Maret 2007 Penulis

(12)

xii

Dalam skripsi ini singkatan Kitab Suci mengikuti daftar singkatan dalam Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik Departemen Agama Katolik Republik Indonesia dalam rangka PELITA. Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru: Dengan Pengantar dan Catatan (Ende: Arnoldus, 1985/1986).

B. Daftar Singkatan Dokumen Gereja

CA : Centesimus Annus

CT : Catechesi Tradendae

EA : Ecclesia in Asia

EN : Evangelii Nuntiandi

GE : Gravissimum Educationis

GS : Gaudium et Spes

LG : Lumen Gentium

PT : Pacem in Terris

RM : Redemptoris Missio

SRS : Sollicitudo Rei Socialis

C. Daftar Singkatan Lain

ABRI :Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

(13)

xiii Asgor : Aspal Goreng

Br. : Bruder

CB : Carolus Boromeus CM : Carmelite Missionaries

CMM : Congregatio Fratrum Beatae Mariae Virginis Mater Misericordiae

dll : dan lain-lain Dr. : Doktor Dra. : Doktoranda Drs. : Doktorandus dll. : dan lain-lain dsb. : dan sebagainya

FDCC : Figlia Della Carita Canossiana

FDTL : Força Defesa da Timór Leste

FRETELIN: Frente Revolucionária de Timor Leste Independênte

HIMKA : Himpunan Mahasiswa Kateketik IQ : Intelligence Quotient

ISMAIK : Instituto Secular Maun Alin iha Kristo

(14)

xiv M.Ed : Master of Education

MFA : Movimentos das Forças Armadas

Mgr. : Monsignur

M.Pd : Magister Pendidikan M.Si : Magister Sosiologi

OCD : Ordinis Carmeliarum Discalcaetorum

OFM : Ordo Fratrum Minorum

OMI : OblatMariaImaculata

OP : Ordo Pewarta

OSF : Ordo Santo Fransiskus OSU : Ordo Santa Ursula

PBB : Perserikatan Bangsa-bangsa Pe. : Padre (Pastor)

PM : Perdana Menteri Pr : Presbiterorum / Projo PRR : Putri Reina Rosari Puskat : Pusat Kateketik R.I : Republik Indonesia

RVM : Religius of the Virgin Mary

(15)

xv SDB : Serikat Don Bosco SJ : Serikat Jesus

SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SM : Sebelum Masehi

SMK : Sekolah Menengah Kejuruan SMU : Sekolah Menengah Umum SSpS : Servatum Spiritus Sancti

STM : Sekolah Teknik Menengah SPP : Sekolah Penyuluhan Pertanian SVD : Serikat Sabda Allah

UDT : União Democrática de Timór

UU : Undang-undang

(16)

xvi

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... iv

MOTTO... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi

ABSTRAK... vii

ABSTRACT... viii

KATA PENGANTAR... ix

DAFTAR SINGKATAN... xii

DAFTAR ISI... xvi

BAB I: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG... 01

B. RUMUSAN PERMASALAHAN... 08

C. TUJUAN PENULISAN... 09

D. MANFAAT PENULISAN... 10

E. METODE PENULISAN... 11

(17)

xvii

A. Gambaran Umum Gereja Timor Leste... 15

1. Sejarah Perkembangan Gereja Timor Leste... 18

a. Fase Pra-evangelisasi... 18

b. Fase Pewartaan Awal: Masa Emas... 19

c. Fase Menyiangi dengan Cucuran Air Mata dan Darah... 23

d. Fase Pembaharuan Karya Misi di Timor Leste... 26

e. Situasi Gereja Timor Leste Tahun 1900 – 1945... 28

f. Situasi Gereja Timor Leste Tahun 1946 – 1983... 29

g. Situasi Gereja Timor Leste Tahun 1984 – 1996... 38

h. Menanti Fajar Merekah... 44

1). Masa Pertumbuhan Melonjak... 44

2). Pemekaran Diosis Baucau... 46

2. Gambaran Gereja Timor Leste di Era Pascareferendum... 50

B. Permasalahan atau Tantangan yang Dihadapi Gereja Timor Leste di Era Pascareferendum... 51

1. Masalah Kaum Muda... 53

2. Masalah Pendidikan... 57

3. Masalah Politik... 60

4. Bahaya Materialisme dan Sekularisme... ... 63

(18)

xviii

5. Penghayatan Hidup Beriman Umat... 75

BAB III: MODEL-MODEL GEREJA TIMOR LESTE DAN GEREJA YANG DICITA-CITAKAN GEREJA TIMOR LESTE... 81

A. Model-model Gereja ... . 82

1. Model-model Gereja menurut Pandangan Avery Dulles... 82

a. Gereja sebagai Institusi... 82

b. Gereja sebagai Persekutuan Mistik... 86

c. Gereja sebagai Sakramen Keselamatan... 89

d. Gereja sebagai Pewarta... 92

e. Gereja sebagai Pelayan... 95

2. Model-model Gereja Timor Leste ... 98

a. Gereja Kaum Miskin ... 98

b. Gereja sebagai Pejuang Keadilan dan Perdamaian... 102

c. Gereja sebagai Pelopor Rekonsiliasi... 105

B. Gereja yang Dicita-citakan Gereja Timor Leste ... 109

1. Gereja Fungsional: dalam Kristus, demi Kristus... 113

2. Gereja Terpusat pada Yesus Kristus ... 115

3. Gereja Secara Hakiki Terarah ke Dunia... 118

(19)

xix

BAB IV: RE-EVANGELISASI SEBAGAI SALAH SATU JALAN

MEWUJUDKAN GEREJA YANG DICITA-CITAKAN GEREJA

TIMOR LESTE DAN USAHA MENANGGAPI TANTANGAN YANG

DIHADAPI OLEH GEREJA TIMOR LESTE DEWASA INI…… 131

A. Beberapa Definisi Evangelisasi... 132

B. Beberapa Pandangan mengenai Re-evangelisasi... 135

C. Unsur-unsur Pokok Re-evangelisasi... 142

1. Subyek Re-evangelisasi... 142

2. Tujuan Re-evangelisasi... 143

3. Tantangan-tantangan terhadap Re-evangelisasi... 144

4. Syarat-syarat Re-evangelisasi... 144

5. Upaya-upaya Re-evangelisasi... 145

D. Makna Re-evangelisasi bagi Gereja Timor Leste... 146

E. Re-evangelisasi sebagai Salah Satu Jalan dalam Mewujudkan Gereja yang Dicita-citakan Gereja Timor Leste... 150

F. Re-evangelisasi sebagai Usaha Menanggapi Tantangan yang Dihadapi Gereja Timor Leste Dewasa Ini... 153

(20)

xx

2). Identitas Kaum Muda... 158

b). Pembinaan dan Pembina yang Diinginkan Kaum Muda... 160

1). Pembinaan sebagai Pelayan... 162

2). Pembinaan sebagai Pendampingan... 162

2. Pendidikan... 164

3. Politik... 169

4. Bahaya Sekularisme dan Materialisme... 172

5. Penghayatan Hidup Beriman Umat... 173

G. Katekese sebagai Bagian Integral dari Re-evangelisasi... 175

H. Contoh Persiapan Katekese... 176

BAB V: PENUTUP A. KESIMPULAN... 191

B. SARAN... 193

(21)

I. LATAR BELAKANG

Bangsa Timor Leste saat ini sedang dalam masa yang ruwet. Masalah demi masalah datang silih berganti. Tidak ada yang menyangkal bahwa dunia saat ini berada dalam proses globalisasi. Hal inipun terjadi di negara Timor Leste. Segala macam segi kehidupan (model pakaian, kecanggihan sarana telekomunikasi, perdagangan, dan pendidikan) serta dampak-dampaknya mengglobal dan dirasakan oleh banyak orang. Ironisnya, bersamaan dengan proses ini terjadi pula degradasi kehidupan spiritual orang-orang yang telah mengimani Allah sebagai penyelamat, seperti hilangnya nilai-nilai dan tradisi-tradisi Gereja yang sejak dulu dijunjung tinggi dan dipuja-puja oleh sebagian besar masyarakat yang mayoritas beriman Katolik. Tradisi-tradisi seperti devosi kepada Bunda Maria di antaranya Doa Rosario (Reza TerÇo) bersama, ziarah ke gua-gua (grutas) Maria sebagai penghormatan kepada Bunda (Na’i Feto/Inan) Maria, devosi kepada Hati Kudus Yesus (DevoÇão do Sagrado CoraÇão de Jesus), kini telah hilang tertelan oleh budaya-budaya yang datang dari luar (barat) sebagai akibat dari referendum dan pascareferendum di Timor Leste dalam menentukan nasib bangsanya sendiri.

(22)

bendanya, sehingga dengan situasi seperti itu, memaksa semua masyarakat untuk terus bekerja tanpa kenal lelah, sehingga waktu untuk aktifitas religius (Misa, Ibadat Sabda) kurang diperhatikan.

Menghadapi situasi yang serba ruwet seperti terjadinya gap dalam tubuh tentara Timor Leste; para remaja yang sudah “bersahabat” dengan narkoba;

free-sex yang merupakan warisan new age pascareferendum Timor Leste; kaum muda yang sebagian besar sudah enggan mengambil bagian dalam kegiatan hidup menggereja (fenomen ini berdasarkan pengamatan penulis terhadap sebagian besar mahasiswa Timor Leste yang sedang kuliah di berbagai Perguruan Tinggi di Yogyakarta), pasutri yang mulai enggan menyerahkan anak-anaknya dibaptis di Gereja. Gereja dipanggil dan ditantang untuk menjawab berbagai fenomen ini. Gereja yang mempunyai tugas utama adalah mewartakan Kabar Gembira kepada semua bangsa (umat) dituntut untuk mengambil sikap dan berusaha untuk mencari sebuah alternatif dalam menjawab tantangan-tantangan ini. Fenomena di atas dapat dilihat dan didengar dari berbagai media seperti radio, televisi, dan surat kabar (Kompas), Majalah (Hidup, dan Basis) yang belakangan ini menjadi berita yang hangat dibicarakan.

(23)

ketidakadilan, penindasan, jurang antara yang kaya dan yang miskin, dan sebagainya.

Perubahan yang negatif ini berdampak bagi masyarakat luas, baik instansi pemerintahan maupun Gereja. Masyarakat Timor Leste yang dulu sering menaruh kepercayaan penuh terhadap pemerintah, kini mereka mulai merasa kehilangan kepercayaan, karena pengalaman-pengalaman pahit yang pernah mereka alami, sedangkan terhadap Gereja, sebelum referendum, masyarakat sangat percaya pada Gereja yaitu kepada para kaum rohaniwan/wati untuk menyelamatkan mereka. Justru sesudah referendum, banyak masyarakat yang menganggap dirinya bukan lagi warga Gereja.

Masyarakat Timor Leste yang pada zaman dulu mengagung-agungkan tradisi, sangat tertarik kepada kebenaran-kebenaran spekulatif (hidup bahagia bersama Allah) atau tujuan-tujuan akhir hidup, kini tertelan oleh perkembangan kebudayaan yang baru: sekularisme, konsumerisme, dan hedonisme. Seolah-olah kebudayaan baru ini “menyulap” pola pikir, pola hidup masyarakat setempat. Maka tidak heran bila hal-hal yang bercorak rohani/iman dengan segala macam tradisi dan kepercayaan akan hidup di akhir zaman sulit diterima oleh mereka.

(24)

nasional Timor Leste (Kompas, edisi 29 April 2006: 9), ditambah lagi beberapa fenomen yang telah disebutkan di atas, tentu Gereja dalam menjalankan tugas misionernya menghadapi berbagai tantangan. Di samping itu, para petugas pastoralnya pun kurang memiliki pengetahuan (berpendidikan/profesional) yang cukup dalam hal berpastoral atau dapat dikatakan bahwa tenaga pastoral yang disediakan oleh Gereja Timor Leste kurang memadai. Meskipun saat ini banyak para misionaris dari berbagai ordo/tarekat seperti tarekat SVD (Serikat Sabda Allah), OFM (Ordo Fratrum Minorum), OMI (Oblat Maria Imaculata), OSU (Ordo Santa Ursula), PRR (tarekat Putri Reina Rosari), CM (kongregasi

Carmelite Missionaries), FDCC (tarekat Kanossian, Figlia Della Carita Canossiana/Filha da Carita Canossiana), SSpS (Congregatio Servatum Spiritus Sancti – Suster-suster Abdi Roh Kudus), RVM (Religius of The Virgin Mary), CB (kongregasi Suster-suster Cintakasih St. Carolus Boromeus), CMM (Congregatio Fratrum Beatae Mariae Virginis Mater Misericordiae), yang menjalankan misinya di negara Timor Leste, namun ada juga kendala bagi para misionaris, yaitu “bahasa” (lingua) setempat yang kurang dipahami dan dikuasai oleh para misionaris (missionarias).

(25)

membuka peluang bagi kehidupan menggereja secara baru, terlebih dalam hal ini penghayatan iman Gereja dari yang lama menuju yang baru. Dan keempat, agama bukan hanya menjadi sesuatu hal yang bersifat tradisi/adat kebiasaan yang diperoleh umat dari Gereja, tetapi agama diharapkan menjadi milik umat.

Sejak Konsili Vatikan II, Gereja semakin sadar bahwa dunia dengan segala persoalannya dan harapannya merupakan tempat di mana Allah hadir dan bersabda kepada manusia. Dari sebab itu, persoalan-persoalan sosial, ekonomi, politik yang dihadapi dunia seluruhnya, di satu sisi merupakan tanggungjawab dunia itu sendiri, di sisi lain merupakan tanggungjawab Gereja. Dalam Gaudium et Spes art. 1 dikatakan bahwa: “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga.”

Hal ini berarti Gereja menyadari bahwa seluruh persoalan/pergulatan manusia beserta segala keprihatinannya termasuk inti perutusan Gereja yang tidak dapat diabaikan.

Paus Paulus VI dalam ensiklik Evangelii Nuntiandi art. 14 mengatakan bahwa:

(26)

sekarang ini. Mewartakan Injil sesungguhnya merupakan rahmat dan panggilan yang khas bagi Gereja, merupakan identitasnya yang terdalam. Gereja ada untuk mewartakan Injil, yakni untuk berkotbah dan mengajar, menjadi saluran kurnia rahmat, untuk mendamaikan para pendosa dengan Allah dan untuk mengabadikan kurban Kristus di dalam Misa, yang merupakan kenangan akan kematian dan kebangkitan-Nya yang mulia.

Artinya, Gereja dalam menjalankan tugas perutusannya tidak terlepas dari apa yang sudah dilaksanakan oleh para rasul seperti Santo Paulus. Gereja menyadari bahwa “mewartakan Injil adalah tugas utama dan mulia, bahkan merupakan ciri khas dari eksistensi Gereja”. Gereja ada untuk mewartakan Kerajaan Allah selayaknya Yesus Kristus sebagai Penginjil pertama dan terbesar. Gereja hadir untuk mengambil bagian dalam keprihatinan Yesus Kristus, yakni Kerajaan Allah itu sendiri, maksudnya adalah bahwa semua orang bisa mengalami keselamatan.

Melihat perkembangan iman dari masyarakat Timor Leste yang mulai pudar di era pascareferendum, Gereja tidak hanya bertitik tolak dari gambaran Gereja yang telah diwariskan dari jaman dulu seperti Gereja sebagai institusi (Dulles, 1987: 32), Gereja sebagai Ibu dan Guru (Lourdes, 2001: 53), tetapi Gereja Timor Leste mau tidak mau harus mencari suatu alternatif baru dalam menjawab berbagai fenomen yang menjadi keprihatinan tersendiri bagi perkembangan Gereja di Timor Leste. Gereja Timor Leste dituntut untuk mencari suatu bentuk evangelisai yang baru (re-evangelisasi) guna melanjutkan tugas perutusannya sebagai pewarta Kabar Gembira, sehingga masyarakat (povo) Timor Leste pada akhirnya bisa mengalami Kerajaan Allah. Hal ini

(27)

nya, dan mencari model-model Gereja yang dicita-citakannya (Afra Siauwarjaya, 1987: 11) dalam menjawab situasi Gereja saat ini. Dalam usaha menjawab tantangan-tantangan ini, Gereja Timor Leste harus mengusahakan suatu bentuk evangelisasi yang baru (re-evangelisasi) baik metodenya, caranya dan semangatnya, supaya pewartaan Injil tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan umat setempat.

Seruan Paus Yohanes Paulus II yang pertama kali tentang evangelisasi baru di hadapan para Uskup di Amerika Latin di Port-au-Prince, Haiti, pada tanggal 09 Maret 1983 (Suharyo, 1993: 14), secara serius ditanggapi oleh seluruh Gereja di berbagai belahan dunia. Di antaranya di Indonesia, Amerika Utara dan Eropa (re-evangelisasi), termasuk Gereja di Timor Leste dengan didirikannya Komisi Re-evangelisasi pada tahun 2005, yang saat ini dibawahi oleh Pe. Domingos da Silva Soares, Pr yang merangkap sebagai Vigario Episcopal Re-evangelizaÇãoDiocese Dili, Timor Leste.

(28)

Berdasarkan deskripsi di atas maka penulis memilih judul skripsi: RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE DEWASA

INI.

Penulis berharap tulisan ini dapat membantu kita semua dalam mengerti dan memahami gambaran umum Gereja Timor Leste yang sesungguhnya dan mengetahui Gereja yang dicita-citakan oleh Gereja di Timor Leste. Mengetahui tantangan-tantangan apa saja yang dihadapi Gereja Timor Leste dalam mencari dan menemukan suatu pola evangelisasi yang baru. Dan pada akhirnya mampu menemukan re-evangelisasi sebagai salah satu jalan dalam rangka mewujudkan Gereja yang dicita-citakan oleh Gereja Timor Leste, serta dapat menjawab tantangan yang dihadapi oleh Gereja Timor Leste dewasa ini.

II. RUMUSAN PERMASALAHAN

Bertitiktolak dari deskripsi latar belakang di atas, permasalahan yang muncul dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Gambaran umum Gereja Timor Leste dan permasalahan-permasalahan apa saja yang dihadapi oleh Gereja Timor Leste dewasa ini?

2. Model-model Gereja seperti apakah yang ada di Gereja Timor Leste dan Gereja seperti apakah yang hendak dibangun atau dicita-citakan Gereja Timor Leste di era pascareferendum?

(29)

III. TUJUAN PENULISAN

Karya tulis ini berkisar di antara masalah dan keprihatinan yang dihadapi oleh Gereja pada dewasa ini, khususnya Gereja-gereja di Timor Leste akibat kondisi bangsa Timor Leste yang saat ini dalam masa yang ruwet karena berbagai masalah setelah referendum. Dengan situasi seperti ini Gereja Timor Leste berusaha untuk mencari dan menemukan suatu bentuk evangelisasi baru (re-evangelisasi) dalam menjalankan tugasnya sebagai pewarta Kerajaan Allah.

Maka karya tulis ini bertujuan:

1. Memberi wawasan baru bagi penulis dan pembaca mengenai gambaran umum Gereja Timor Leste dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi Gereja Timor Leste dewasa ini.

2. Memberi gambaran mengenai model-model Gereja di Timor Leste dan Gereja yang hendak dibangun atau dicita-citakan Gereja Timor Leste di era pascareferendum.

3. Sebagai upaya untuk menggali lebih mendalam tentang re-evangelisasi sebagai salah satu jalan dalam rangka mewujudkan Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor Leste dewasa ini serta menanggapi berbagai tantangan yang dihadapi Gereja Timor Leste dalam menghadapi situasi umat Kristiani yang mulai pudar imannya.

(30)

Katolik Jurusan Ilmu Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

IV. MANFAAT PENULISAN

Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat:

1. Menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis dan pembaca mengenai gambaran umum Gereja Timor Leste dan Gereja yang dicita-citakan Gereja di Timor Leste serta peranannya dalam rangka menghadapi masalah-masalah atau tantangan-tantangan Gereja Timor Leste dewasa ini.

2. Dengan mengetahui gambaran, tantangan-tantangan yang dihadapi Gereja di Timor Leste dewasa ini, penulis dapat memperkembangkan diri untuk membantu mewujudkan Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor Leste, melalui evangelisasi baru (=re-evangelisasi) dalam menghadapi situasi umat di Timor Leste yang saat ini mulai pudar imannya.

(31)

V. METODE PENULISAN

Dalam skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif-analitis dan metode interpretatif, yaitu menggambarkan dan menafsirkan keadaan aktual mengenai situasi konkret Gereja Timor Leste saat ini setelah referendum, serta tantangan-tantangan yang dihadapinya guna mencari suatu bentuk evangelisasi yang baru (re-evangelisasi) dalam rangka mewartakan Injil bagi semua umat yang saat ini mulai pudar imannya.

Dengan pembahasan dan pemaparan isi secara mendalam diharapkan membantu kita semua memahami gambaran umum Gereja Timor Leste dan mengetahui Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor Leste, serta permasalahan-permasalahan atau tantangan yang dihadapinya. Dengan melihat dan mengetahui permasalahan-permasalahan yang ada, penulis mencoba menawarkan re-evangelisasi sebagai salah satu jalan untuk mewujudkan Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor Leste, dan re-evangelisasi digunakan Gereja Timor Leste untuk menjawab tantangan yang dihadapinya. Maka untuk memperoleh data yang aktual, penulis mengadakan dan mengembangkan kajian pustaka yang mendukung.

VI. SISTEMATIKA PENULISAN

(32)

Bab I berupa pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II membahas tentang gambaran umum Gereja Timor Leste dan permasalahan yang dihadapi oleh Gereja Timor Leste dewasa ini, yang akan dibagi dalam dua bagian di antaranya; sejarah perkembangan Gereja Katolik di Timor Leste, dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi Gereja Timor Leste di era pascareferendum.

Bab III membicarakan model Gereja Timor Leste dan model-model Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor Leste, yang akan dibagi dalam dua bagian yaitu bagian pertama adalah model-model Gereja yang terdiri dari dua sub bagian, di antaranya; model-model Gereja menurut Avery Dulles, dan model-model Gereja di Timor Leste berdasarkan interpretasi penulis dengan menganalisa dari sejarah perkembangan Gereja Timor Leste. Bagian kedua adalah Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor Leste berdasarkan pemikiran Afra Siauwarjaya.

(33)

usaha menanggapi tantangan yang dihadapi Gereja Timor Leste dewasa ini, katekese sebagai bagian integral dari re-evangelisasi, dan contoh persiapan katekese.

(34)

BAB II

GAMBARAN UMUM GEREJA TIMOR LESTE DAN

PERMASALAHAN ATAU TANTANGAN YANG DIHADAPI OLEH

GEREJA TIMOR LESTE DEWASA INI

Dalam bab II ini penulis akan memaparkan secara panjang lebar tentang gambaran umum Gereja Timor Leste yang mana pada bab I hanya dibicarakan secara singkat. Pada bab II ini penulis akan membagi pembahasan ini menjadi dua bagian. Bagian pertama akan memaparkan secara detail tentang gambaran umum Gereja Timor Leste yang terdiri dari dua sub bagian yakni; sejarah perkembangan Gereja Timor Leste dan gambaran Gereja Timor Leste di era pascareferendum. Sub bagian pertama, yakni sejarah perkembangan Gereja Timor Leste akan dibagi dalam delapan sub-sub bagian, di antaranya; fase pra-evangelisasi, fase pewartaan awal: masa emas, fase menyiangi dengan cucuran air mata dan darah, fase pembaharuan karya misi di Timor Leste, situasi Gereja Timor Leste tahun 1900 – 1945, situasi Gereja Timor Leste tahun 1946 – 1983, situasi Gereja Timor Leste tahun 1983 – 1996, dan menanti fajar merekah. Sub bagian kedua adalah situasi Gereja Timor Leste di era pascareferendum. Bagian kedua akan membicarakan tentang permasalahan atau tantangan yang dihadapi oleh Gereja Timor Leste di era pascareferendum, yang terdiri dari; masalah kaum muda, masalah pendidikan, masalah politik, bahaya sekularisme dan materialisme, serta masalah penghayatan hidup beriman umat.

(35)

(pascareferendum) merupakan tema yang akan penulis paparkan di bab II ini. Yang terpenting dalam bab II ini, yakni penulis ingin mengajak pembaca untuk mengetahui lebih jauh gambaran umum Gereja Timor Leste terutama tentang sejarah perkembangan Gereja Timor Leste dari awal abad XIV hingga pascareferendum, dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh Gereja Timor Leste dewasa ini, sehingga pada bab berikutnya (bab III) kita akan mengetahui model-model Gereja menurut pandangan Avery Dulles ahli dan model-model Gereja di Timor Leste. Dengan mengetahui gambaran umum Gereja Timor Leste dan permasalahan-permasalahan yang dihadapinya, serta model-model Gereja menurut pandangan Avery Dulles dan model-model-model-model Gereja di Timor Leste, kita akan memperoleh gambaran dan menentukan Gereja seperti apakah yang dicita-citakan oleh Gereja Timor Leste dewasa ini.

Berikut ini akan dikaji lebih mendalam tentang gambaran umum Gereja Timor Leste dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh Gereja Timor Leste, yang menjadi tema pokok dari bab ini.

A. Gambaran Umum Gereja Timor Leste

(36)

Gereja Katolik pada dasarnya adalah jaringan komunitas-komunitas yang disatukan oleh pengalaman akan Allah yang ditafsirkan lewat peristiwa Yesus dari Nazareth baik dalam situasi historis, maupun dalam dimensi simbolik doktrinernya (Putranto, 2002: 8). Pengalaman dasar ini disambut, diolah, dan ditafsirkan oleh generasi yang satu sesudah generasi yang lain dalam konteks perjalanan menyejarah, maka dari itu Gereja pada dasarnya juga boleh diistilahkan sebagai ”tradisi iman yang hidup”, dari umat yang bergulat dengan peristiwa Yesus dan mencari maknanya bagi hidupnya.

Gereja Timor Leste sebagai Gereja lokal yang merupakan pengejawantahan dari Gereja semesta dalam perjalanan sejarahnya, selalu berusaha untuk tampil sebagai pejuang yang ditandai dengan gugurnya beberapa martir (seperti Pe. Dewanto, SJ, Pe. Karim, SJ) demi mempertahankan keadilan dan kebenaran bagi rakyat kecil. Hal ini sesuai dengan anjuran apostolik Paus Paulus VI, Evangelii Nuntiandi (Mewartakan Injil) art. 78 dikatakan bahwa: ”Setiap pewarta Injil diharapkan menghormati kebenaran,...pewarta Injil hendaklah seorang pribadi, yang bahkan dengan menyangkal diri dan menderita senantiasa mencari kebenaran, yang harus disalurkannya kepada sesama.”

(37)

dalam misi Yesus. Gereja Timor Leste menyadari bahwa dalam tugas perutusannya, ia harus – mau atau tidak, mengalami hal yang serupa seperti Kristus yang berkorban demi keadilan dan kebenaran.

Gereja Timor Leste juga tampil sebagai pelopor rekonsiliasi (perdamaian). Hal ini ditandai dengan hadirnya sosok Dom Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB sebagai penyambung lidah dari yang tak bisa bersuara akibat ”tekanan” dan terbelenggu oleh situasi politik, sosial, ekonomi, dan lain-lain. Sosok Dom Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB hadir sebagai voice of the voiseless (suara dari kaum tak bersuara) yang menginginkan ketenangan, dan kedamaian batin. Ini memberi isyarat bahwa Gereja adalah pengalaman pembebasan dari situasi terpecah, terpisah dan terbelenggu menuju situasi pengutuhan, penyatuan, dan kemerdekaan. Dari situasi seperti ketidakadilan, ketidakpedulian, kekerasan, diskriminasi, prasangka-prasangka sosial, beralih ke keadilan, solidaritas, dialog, antikekerasan, persaudaraan, dan ketulusan (Putranto, 2002: 16).

(38)

1. Sejarah Perkembangan Gereja Timor Leste

a. Fase Pra-evangelisasi

Karya misi di pulau Timor dimulai pada abad XIV dan XVI berbarengan dengan kedatangan para armada Portugis. Pada tahun 1511, Timor ditemukan oleh António de Abreu dengan armada

Companhia Leão dos Mares (Gabungan Singa Laut).

Frei António Taveiro, OP merupakan misionaris pertama yang melakukan karya di Timor (1512). Kemudian dilanjutkan oleh Frei António da Cruz, OP (1561). Pendekatan yang digunakan oleh kedua misionaris ini sangat simpatik, sehingga banyak orang tertarik dan akhirnya dibaptis. Tunas-tunas iman Katolik mulai tumbuh sampai tahun 1556. Ketika itu, raja dari Mena (Oecusse) bersama sekitar 5000 orang dibaptis. Kemudian disusul oleh raja Luca (Viqueque) dan Fatumean (Suai). Peristiwa ini dimanfaatkan oleh para penguasa kolonial untuk ikut menanamkan pengaruhnya (Gusmão, 1997: 67).

(39)

b. Fase Pewartaan Awal: Masa Emas

Dengan bula Pro Excelenti Praeminentia, pada tanggal 04 Februari 1558, Paus Paulus IV mendirikan diosis Malaka, pulau Timor termasuk bawahan yuridisnya. Paus mengangkat seorang Dominikan, Frei Jorge de Santa Luzia, OP menjadi uskupnya. Dan untuk memperkuat karya misi di Timor dan Solor, maka pada tahun 1562, uskup Malaka mengutus Frei António da Cruz, OP (selaku superior), Frei Simão das Chagas, OP, dan Br. FranÇisco Aleixo, OP dan seorang yang tidak disebutkan namanya (Gusmão, 1997: 67)

Sejak kedatangan mereka dan berkat kerja sama serta sikap keberanian iman mereka, dimulailah suatu periode yang mulia dan pantas dipuji. Karya misioner mereka berhasil dengan sangat gemilang. Larantuka dan Solor menjadi pusat penyebaran agama Katolik dan berhasil menarik banyak orang penduduk asli yang berasal dari berbagai pulau, di antaranya dari pulau Timor (Lourdes, 2001: 1).

(40)

penguasa Portugis, namun karya misi semakin meluas karena para misionaris tidak lagi melibatkan diri pada hal-hal duniawi melainkan hanya pada karya mewartakan Injil. Darah para misionaris dan sakit hatinya umat telah menyuburkan karya pewartaan keselamatan di kawasan itu (Neonbasu, 2006: 10)

Pada tahun 1581, terjadi pemberontakan oleh penduduk asli Timor terhadap orang-orang Portugis di Solor dan Timor. Pada tahun 1598 situasi mulai berubah. Orang-orang Portugis mendapat serangan dari VOC Belanda. Akibat serangan tersebut banyak orang Katolik menjadi martir dan semua bangunan gereja dimusnahkan. Pada tahun 1636, Solor ditinggalkan oleh orang-orang Portugis. Pada tahun 1641 Malaka jatuh ke tangan Belanda. Uskup Larantuka terpaksa pindah ke Kupang di pulau Timor. Namun penempatan Uskup Malaka di Kupang tidak bertahan lama. Pada tahun 1682 pemerintahan Portugis pindah ke Lifau yang merupakan ibu kota pertama di Ambeno (Teixeira, 1962: 16).

(41)

tugas-tugas duniawi, sehingga mereka dapat memusatkan seluruh perhatian mereka pada kegiatan pewartaan.

Pada tahun 1734 bulan Oktober, Portugis memerintahkan untuk membangun sebuah gedung seminari di Oecusse untuk mendidik penduduk setempat demi karya misi. Pada tahun 1741 didirikan lagi sebuah seminari di Manatuto. Tahun 1770-an, karya misi di Timor Leste terbagi menjadi dua. Pertama, kelompok utara meliputi Oecusse, Batugedé, Maubara, Dili, Lacló, Manatuto, Laleia, dan Baucau. Kedua, kelompok selatan meliputi Suai, Bubususo, Barique, Viqueque, Luca, dan Lospalos.

Tanggal 19 Februari 1749, seorang misionaris Timor Frei Gerardo de Santo José diangkat menjadi Uskup. Uskup ini datang ke Timor. Ia menetap di Lifau (ibu kota pertama di Ambeno) dan mendirikan sebuah katedral. Tahun 1762, Uskup Gerardo wafat di Lifau (Neonbasu, 2006: 11).

(42)

Pada tahun 1874, diosis Malaka yang juga membawahi Timor diambil alih oleh diosis Goa. Portugis yang terdesak di berbagai tempat akhirnya memusatkan kekuasaannya di Timor. Lifau dijadikan pangkalan mereka (1556 – 1769). Upaya Belanda untuk menguasai Timor terus digalakkan, walaupun mereka terus mengalami kegagalan. Pada akhirnya Portugis dan Belanda mengadakan tawar-menawar lewat perundingan damai.

Belanda dan Portugis melakukan perundingan tahun 1851 dan sepakat untuk melakukan pertukaran wilayah. Pihak Portugis menyerahkan Solor dan Flores ke Belanda. Sebaliknya Belanda menyerahkan Maubara ke Portugis dan tambahan uang sebesar 80.000 florins.

(43)

Supaya karya misi di Timor tidak terus berlarut dalam status ketidakpastian, maka tahun 1874, Paus Pius IX mengadakan kesepakatan dengan raja Portugal yakni Dom Luis I untuk membaharui karya misioner di Timor. Melalui bula Universiis Orbis Eclesiis (15 Juni 1874), Sri Paus menetapkan status yuridis diosis Macau untuk mengambil alih wilayah Timor, selain menangani pula wilayah kepulauan Hainan dan Heung-Shan. Serentak dengan itu, Paus mengangkat Frei Dr. Manuel Bernardo de Sousa Enes sebagai uskup Macau (Gusmão, 1997: 68).

c. Fase Menyiangi dengan Cucuran Air Mata dan Darah

Karya misi di Nusantara, di samping tidak disukai oleh Belanda, juga mendapat tantangan dari umat Islam. Kaum Muslim masuk wilayah Nusantara sekitar abad XII (1292). Beberapa Raja dan Sultan menganut sekaligus menjadi pemimpin agama Islam. Mereka juga memiliki kepentingan untuk melindungi hegemoninya (Gusmão, 1997: 69).

Misi Katolik pada mulanya dan seterusnya menyebar di Maluku (1511 – 1666), Timor (1512 – 1556), Solor – Flores (1512 – 1560), Bali (1535 – 1536), Sulawesi (1563 – 1668), dan Jawa (1569 – 1599).

(44)

tersebut Frei António Pestana dan Frei Simão das Montanhas dibunuh. Pada tahun 1590, Frei FranÇisco Calossa (dari Goa) dibunuh atas persekongkolan Islam dengan beberapa orang pribumi. Hal demikian menimpa juga Frei João Tavares dan dua (2) orang calon misionaris lainnya, dibantai di Lamakera (Lamaqueiros). Misisonaris yang lolos dari malapetaka tersebut di antaranya Frei Diego da AssunÇão dan Frei Lucas Belchior de Antas. Mereka kembali ke Malaka dengan membawa berita duka. Selain pertumpahan darah, Gereja juga menderita kehancuran fisik.

Pemanfaatan (eksploitasi) masyarakat untuk kepentingan para penguasa Portugis, rupanya menjadi biang keladi perpecahan antara Gereja dan penguasa Portugis. Banyak penduduk pribumi menderita akibat kekejaman dan ketamakan para penguasa untuk memaksakan kerja rodi. Para penguasa ingin menguras tenaga dan harta kaum pribumi sebanyak mungkin. Di samping itu, banyak kaum pribumi tergusur dari “tanah pusaka” yang dihuninya terun-temurun. Dengan hal ini, maka tidak mengherankan jika terjadi pemberontakan dari kaum pribumi. Pemberontakan yang paling dramatis dilancarkan oleh raja Manufahi, Dom Bonaventura, yang dikenal dengan sebutan guerra de Manufahi atau

funu-Manufahi ini berlangsung dari tahun 1911 hingga 1913. Penguasa Portugis secara beringas memadamkan pemberontakan tersebut. Sejak itu nampaknya pemberontakan kaum pribumi mulai memudar.

(45)

tindakan penguasa kolonial yang menindas hak-hak azasi rakyat kecil yang miskin dan lemah. Hal ini menyebabkan keretakan antara Gereja dengan penguasa. Keretakan ini dimulai antara uskup Dom Manuel dengan Gubernur FranÇisco de Mello de Castro. Sang uskup dianggap terlalu “lantang” dan menantang kekuasaan penguasa. Ketika terjadi suksesi (pergantian) kepemimpinan dari Gubernur FranÇisco de Mello de Castro ke Gubernur baru António Albuquerque, perbedaan itu makin tajam. Akhirnya di tahun 1722 Frei Manuel Rodrigues dan Frei Manuel Vieira dihukum mati di tiang gantungan. Keduanya dituding sebagai dalang dari pemberontakan. Sejalan dengan itu, beberapa gedung gereja juga dihancurkan, misalnya di Aileu.

Tahun 1731, Padre Manuel de Pilar (Dili) dan Padre Bartolomeu Perreira (Batugedé) mendukung pemberontakan rakyat melawan Gubernur António Albuquerque. Dukungan para misionaris ini menghasilkan pula pemberontakan di Manatuto (1787).

Sebagai balasannya, penguasa Portugis menangkap Padre FranÇisco da Cunha, Vikaris Jendral di Timor. Selanjutnya semua karya misi di Timor dibekukan sama sekali. Sepanjang tahun 1788 – 1819, karya misi di Timor sudah kehabisan nafas.

(46)

Semenjak tahun 1811, di Timor hanya ada tiga (3) misionaris (bukan orang Portugis), yaitu Frei Mestre di Manatuto, Frei Tomas dan Frei Gregorio Barreto di Dili. Dan pada tahun 1820, seorang Dominikan dikirim ke Dili yaitu Padre ViÇente Vieira, OP. Namun ia tidak banyak berbuat di Timor.

Kehidupan iman Gereja nampaknya diguncang oleh prahara yang menimpanya, tapi toh iman tetap hidup di dalam sanubari kaum miskin dan tertindas. Dan Gereja dikenang sebagai simbol yang ikut menanggung duka derita, senasib sepenanggungan dengan penderitaaan kaum lemah dan tertindas itu.

d. Fase Pembaharuan Karya Misi di Timor Leste

Pada tahun 1874, atas persetujuan Paus di Roma, Timor menjadi bagian dari yuridiksi Keuskupan Macau. Uskup Macau sangat menaruh perhatian pada karya misi di pulau Timor. Maka, pada tahun berikutnya yaitu tahun 1875, Pastor António Joaquim de Medeiros ditugaskan untuk melakukan kunjungan ke tempat-tempat kegiatan misi di pulau Timor.

(47)

Pastor António Joaquim de Medeiros menyusun kebijaksanaan pastoral pada awal kegiatan misinya itu sebagai berikut. Pastor FranÇisco Xavier de Melo ditempatkan di Oecusse dan menjalankan tugas-tugas di Noemuti. Pastor José António ditugaskan di Batugedé, salah satu daerah yang sekarang terletak di perbatasan Timor Leste dengan Nusa Tenggara Timur (Indonesia). Sedangkan yang bertugas di Dili adalah Pastor Carlos Pereira. Di Manatuto ditempatkan Pastor Manuel Maris, yang wilayah kerjanya meliputi kerajaan-kerajaan Laclo, Laleia, Vemasse, dan Cairui.

Pastor Sebastião Maria menempati wilayah kerja yang paling luas dan sukar, yaitu Lacluta, Dilor, Bariki, Viqueque, Luka, Babilitu, Dolik, Alas, dan Babususu. Pada tahun 1878 ia bekerja keras guna meningkatkan mutu hidup manusia Timor dengan mendirikan sekolah-sekolah dan membuat pendidikan menjadi suatu landasan bagi karya evangelisasi yang akan dilaksanakannya. Ia membangun gedung-gedung sekolah sesuai dengan kebutuhan saat itu dan kemampuan misionaris untuk menanganinya (Lourdes, 2001: 5).

(48)

raja (liurai oan sira) dan anak-anak para pemuka masyarakat yang diharapkan menjadi pemimpin-pemimpin rakyat pulau Timor.

e. Situasi Gereja Timor Leste Tahun 1900-1945

Pada tahun 1900 pulau Timor dibagi menjadi dua vikariat. Bagian utara berpusat di Lahane di bawah tanggungjawab para imam-imam Projo. Sedangkan bagian selatan diserahkan kepada imam-imam Jesuit yang waktu itu menjalankan karya misinya di pulau Timor.

Karya misi di pulau Timor berjalan terus. Pada tahun 1920 Pastor José da Costa Nunes diangkat menjadi Uskup Macau dan Timor. Sejak pengangkatannya, kegiatan misi di pulau Timor mulai masuk pada fase yang baru, khususnya usaha intensifikasi pewartaan Injil. Gereja setelah tahun 1910 mengalami hambatan akibat perubahan politik di Portugal saat itu. Monarki digulingkan oleh gerakan republik, Portugal menjadi negara republik.

(49)

Tepat pada 4 September 1940 diumumkan Bula Solemnibus Conventionibus dari Paus Pius XII tentang berdirinya Dioses Dili, atas persetujuan Vatikan dan Pemerintah Portugal. Pastor Jaime GarÇia Goulart diangkat sebagai Administrator Apostolik pertama pada tanggal 18 Januari 1941. Kemudian, 12 Oktober 1945, ia menjadi Uskup Dioses Dili (Neonbasu, 2006: 11)

f. Situasi Gereja Timor Leste Tahun 1946 – 1983

(50)

Kawasan Afrika melakukan pemberontakan (dengan inspirasi dari Konferensi Asia-Afrika Bandung, 1955) terhadap kekuasaan Portugal. Gerakan mereka relatif berhasil karena mendapat dukungan dari negara tetangganya yang menjadikan wilayahnya sebagai basis perlawanan terhadap Portugal.

Para perwira dan serdadu yang berperang di belahan Afrika sudah memustahilkan adanya kemenangan Portugal. Namun kekerasan hati diktator António de Oliveira Salazar dan Perdana Menteri Marcelo Caitano tidak bergeming. Bahkan sebaliknya para perwira yang dianggap membangkang langsung dipecat, misalnya, Wakil Kepala Staf Militer Jenderal António Spinola (sebelumnya adalah Gubernur Jenderal di Guine Bissau) dan temannya Jendral Françisco da Costa Gomes dipecat, segera setelah mengedarkan buku Portugal e o Futuro (Portugal dan Masa Depan).

Namun kedua perwira yang sangat populer ini diam-diam membentuk gerakan rahasia (clandestina). Perlahan-lahan, akhirnya mereka berhasil membentuk gerakan militer MFA (Movimentos das Forças Armadas). Merekalah yang meletuskan Revolução dos Cravos

(51)

meletusnya Revolusi Bunga merupakan titik awal bagi terciptanya kebebasan berpolitik di semua wilayah Portugal dan wilayah jajahannya.

(52)

penculikan dan penghancuran menjadi cerita sehari-hari. Timor Loro-Sa’e menjadi ‘neraka dunia’ bagi penduduknya. Maka proyek dekolonisasi yang menjadi gagasan penguasa baru di Portugal itu berantakan. Kegagalan ini merupakan catatan hitam dalam lembaran sejarah supremasi Portugal selama ini (Rocha, 1987: 13).

Pada tanggal 07 Desember 1975, Indonesia mengambil alih kekuasaan atas wilayah Timor, ternyata kisah sedih itu tidak berlalu. Brutalitas dan eksploitasi wilayah yang dilakukan atas nama keamanan dan ketektraman harus meminta banyak tumbal. Air mata dan darah terus membasahi tanah Timor. Sejak itu, lembaran-lembaran sejarah diisi dengan ratap tangis dan kertak gigi, dendam dan kebencian (Aditjondro, 1994a: 65).

Gereja sebagai bagian dari masyarakat Timor Leste memang ikut merasa dalam nafas kecemasan, ketakutan, dan kehancuran yang mulai menghadang. Dalam hal ini Gereja tidak hanya mengalami kehancuran fisik melainkan juga kehancuran hati. Nada-nada penderitaan itu diungkapkan baik secara halus maupun keras dalam membela kemanusiaan dan keadilan, khususnya bagi kaum miskin yang dipinggirkan.

(53)

sekitar 7-13 Desember 1975, gedung Seminari Dare yang dihuni oleh para calon pastor dibom. Kerusakan fasilitasnya diperkirakan mencapai 75%.

Setelah tahun 1975, Gereja mengalami penderitaan karena tindakan desakralisasi terhadap simbol-simbol religius, misalnya, patung Bunda Maria di Comoro, Januari 1987; Seminari Lahane, 27 Februari 1987; Bobonaro, 15 September 1991; pencemaran Tabernakel di Kapela Lolotoi, 23 Oktober 1991 maupun upaya memojokkan hirarki dan petugas pastoral lainnya. Salah satu yang menimbulkan deformasi terhadap rasa religius rakyat ketika terjadi pencemaran simbol religius yang dilakukan oleh dua orang oknum ABRI di Remixio (Juni 1995) dan isu Sanusi di Maliana (September 1995). Kedua peristiwa ini merupakan puncak yang menghasilkan ledakan kemarahan penduduk Timor Leste yang menimbulkan tragedi September 1995. Kerusakan simbol religius itu didiamkan bertahun-tahun dan mendapat kesempatan untuk dicetuskan dalam ‘pembalasan dendam’. Uskup Belo yang kemudian menangani masalah itu menyatakan perasaan duka yang mendalam dari korban tanpa dosa dari pihak Islam. Uskup menganggap bahwa ‘balas dendam’ tersebut tidak kristiani dan tidak manusiawi. Beliau turun sendiri ke jalanan untuk ‘memadamkan kerusuhan tersebut (Gusmão, 1997: 78).

(54)

semuanya dari nol mutlak. Pendek kata, Gereja jatuh dalam kemiskinan bersama umatnya yang juga diterpa oleh kesulitan dan tantangan yang sama.

(55)

tercerai berai. Pelayanan dan kehidupan Gereja seakan-akan berhenti tanpa harapan akan masa depan. Barangkali tidak berlebihan jika banyak orang merasakan kekosongan Gereja sebagai pertanda berakhirnya zaman (Gusmão, 1997: 78).

Dom José Joaquim Ribeiro yang menjabat sebagai Uskup kala itu sudah mengingatkan tanggung jawab moral dan politik kepada para pemimpin rakyat Timor Leste dan juga Portugal. Tanggung jawab itu diungkapkannya dengan menulis sebuah surat pastoral. Sang Uskup bersama segenap dewan imam sehati seperasaan dalam mendorong kesadaran umatnya akan tanggung jawab pada pilihan bebas. Melalui Sang Uskup Dom José Joaquim Ribeiro, Gereja ingin mengungkapkan sikap dan pendiriannya sebagaimana dikutip oleh Gusmão (1997: 80) dengan mengatakan bahwa:

Gereja tidak mempunyai partai; hanya memiliki Injil untuk diwartakan kepada semua orang dan pada semua tempat serta terbuka kepada kemajemukan pilihan, manusiawi dan kristiani dan secara sah dari anggota-anggotanya. Politik Gereja adalah menggugah kesadaran anggota-anggotanya akan kebenaran pembebasan yang mendesak dari pesan Injil Kristus dan (menghayati) hidup dalam kepenuhan, dari hari ke hari, (mengikuti) hukum Allah, Sabda Bahagia dan ideal dari hidup Kristus dan Kristus yang tersalib. Dengan cara inilah Gereja menunjukkan jalan kepada promosi dan jalan pembebasan....yang harus dibuka meskipun menghadapi keterbatasan dan kelemahan manusiawi (cartapastoral, edição 25 Janeiro 1975, p. 5).

(56)

suatu iklim yang kondusif bagi pilihan bebas rakyat tanpa manipulasi dan distorsi ideologis atau bisa disebut sebagai komunisme (Tomodok, 1994: 172). Namun, Dom José pada titik tertentu mencapai batas manusiawinya untuk menanggung duka dan kecemasan hatinya. Maka, ia akhirnya mengundurkan diri dan menyepi dalam doa di Portugal demi Timor Oriental yang dicintainya, karena tidak sanggup melihat penderitaan umatnya! “The most crucial change occurred when Ribeiro, totally distraught by the killings in Dili, requested retirement in 1977” (Taylor, 1990: 153).

Yang kemudian menggantikan Uskup Ribeiro adalah Mgr. Martinho da Costa Lopes. Dom Martinho masih atau tetap mengikuti garis kebijakan pendahulunya untuk memperjuangkan penyelesaian secara terhormat bagi tanah kelahirannya.

Sejak awal Dom Martinho pesimis mengenai penentuan nasib sendiri. Alasannya, secara mental rakyat belum siap dan tidak bisa secara sadar menentukan pilihannya. Hal ini terlihat dalam pernyataannya yang dikutip oleh Tomodok (1994: 62) dengan mengatakan bahwa:

Kemerdekaan melalui perjuangan seperti di Angola, Mozambique dan Guine Bissau itu adalah kekerasan...itu bukan yang saya maksudkan dan saya inginkan. Rakyat menginginkan perjuangan tanpa kekerasan. Jadi nampaknya ingin menganut cara Mahatma Gandhi di India. Tapi di sini belum ada pelopornya...kemerdekaan yang saya inginkan adalah kemerdekaan yang baik dengan dasar

Liberdade na Ordum Justiça e Paz, aman, jujur, dan tenteram. Hal ini dikemukakannya, mengingat bahwa:

(57)

menjadikannya negara sosialis komunis ala Kuba atau Polandia. Dan apa yang terjadi di Portugal niscaya mempengaruhi Timor Oriental (Tomodok, 1994: 172-173).

Para politisi tidak menghiraukan desakan moral dari pihak Gereja (baik Uskup Ribeiro dan Uskup Martinho). Namun mereka lebih mengecerkan dagangan ideologinya dengan promosi ‘pembebasan’ melalui segala cara. Ketiga partai politik (UDT, APODETI, FRETELIN) saling menggertak dan menerkam penuh nafsu. Secara politis praktis, Gereja gagal mempengaruhi situasi politik Timor Leste (Gusmão, 1997: 81).

Walaupun demikian, sesudah ABRI memasuki wilayah Timor Leste, pihak Gereja masih memiliki harapan untuk mencapai solusi yang memadai di bidang kemanusiaan. Namun agaknya impian dan harapan Uskup Martinho mulai memudar ketika beliau masih menyaksikan umatnya tetap terpenjara dalam kehidupan dan membisikkan nada-nada keluhan atas ketidakramahan nasibnya dalam malam-malam panjang yang menakutkan. Dom Martinho sebagaimana dikutip oleh Gusmão (1997: 82) mengisahkan bahwa:

Ketika saya berkeliling dari kota ke kota di daerah-daerah pedalaman, saya menemui hanya para janda dan anak-anak yatim. Kampung mereka diliputi ketakutan yang mencekam. Dari pintu ke pintu mereka keluar untuk menyambut saya dengan tangisan dan cucuran air mata...kecemasan sejarah di Timor saat ini ratusan manusia menjadi korban demi pembangunan.

(58)

ini tentu tidak menyenangkan bagi pihak pemerintah, khususnya ABRI. Para Uskup Indonesia (MAWI) berusaha menjembatani Uskup Martinho dengan pemerintah/ABRI. Dengan demikian Uskup Martinho diundang dalam sidang tahunan dan kemudian bertemu dengan presiden Soeharto (19 Sepember 1981). Bulan Mei 1983, Dom Martinho secara mendadak dipanggil kembali ke Vatikan. Sejak itu, beliau tidak pernah kembali lagi ke Timor Leste sampai terdengar kabar dari Portugal bahwa sang Uskup telah menghembuskan nafasnya yang terakhir (11 Februari 1983). Boleh dikatakan bahwa Dom Martinho (imam pribumi pertama) merupakan legenda yang tetap hidup di hati banyak umat Katolik. Maka kabar duka itu ditanggapi dengan tangisan pilu kaum miskin di tanah kelahirannya (Gusmão, 1997: 82).

g. Situasi Gereja Timor Leste Tahun 1983 – 1996

Paus Yohanes Paulus II mengangkat Pe. Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB (15 April 1988) untuk memangku jabatan sebagai Uskup Dili. Uskup Belo menerima tahbisan dari Dubes Vatikan untuk Indonesia, Mgr. Françesco Canalini dengan gelar Tituler Lorium. Namun sebelumnya, sang Uskup telah menjalankan tugasnya sebagai Administrator Apostolik sejak ia menggantikan Dom Martinho (12 Mei 1983).

(59)

(Carlos Filipe ditahbiskan menjadi imam di Portugal oleh Dom José Policarpo, Uskup Pembantu Patriark Lisabon, tanggal 26 Juli 1980), ia sudah diorbitkan ke tangga teratas hirarki Gereja. Dalam menjalankan tugasnya sebagai Uskup pada waktu itu, ia menghadapi banyak tantangan. Pertama, Dom Carlos “kalah” dalam pemahaman konteks pastoral maupun pengalaman. Bahkan ketika itu, Belo kalah pamor dengan Mgr. Martinho dalam hal keberaniannya. Banyak orang yang meragukan keberanian anak muda yang terkesan innocent dan saleh ini. Kedua, sementara itu, ia dihadapkan pada kompleksitas permasalahan Timor Leste yang tidak ada juntrungannya. Situasi Timor Leste memang kelihatan semrawut dan tanpa visi yang jelas. Ketiga, bagaimana ia mampu menyatukan kembali mereka yang tercerai-berai dan tercabik dalam arena politik, ideologi, ekonomi, sosial, dan budaya? Keempat, ia juga dihadapkan pada tuntutan agar menggabungkan diosis Dili dengan KWI (MAWI). Sebab dalam anggapan kebanyakan orang, penggabungan ini bisa mengintegrasikan Gereja ke dalam wilayah Indonesia. Sebab selama ini Gereja Timor Leste sebagai Gereja oposisi lokal yang menjadi kekuatan dalam politik Indonesia di Timor Leste.

(60)

Tantangan demi tantangan, penolakan, kesusahan dan keresahan hati, doa dan karya telah membawa anak muda ini kepada kematangan. Ketika menghadapi tragedi Craras (Viqueque) sang Uskup mengalami suatu iluminatio; suatu perubahan sikap moral untuk tampil secara berani dan tabah dalam membela kaum miskin yang tak bersuara. Craras dikenangnya sebagai aldeias das mulheres (kampung para janda) telah mengubah Uskup Belo yang pada awalnya dianggap sekedar seorang pembina rohani yang saleh dan pemalu itu menjadi sosok yang berwajah lain, suatu perubahan jatidiri yang memukau banyak orang (Gusmão, 1997: 83).

Pada tahun 1989, dunia terhentak dengan Mgr. Belo mengirimkan suratnya kepada Sekjen PBB, Javier Peres de Cuelar untuk meminta referendum bocor. Dengan keberanian sang Uskup ini, reaksipun datang seperti badai menerpa. Para pendukung kemerdekaan Timor Leste tentu bersorak kemana-mana memuji keberanian Uskup muda ini. Namun sebaliknya pendukung integrasi kalang kabut mengkritik Mgr. Belo. Ia dicap tidak nasionalis, berkepala dua, tidak loyal, bahkan dianggap bloon. Namun Uskup Belo menanggapinya dengan menjawab: “waktu itu saya merasa bahwa keadaan di sini (Timor Leste) makin memburuk. Suatu saat kita harus mengambil sikap keras bila cara lunak tidak dihiraukan.” (Gusmão, 1997: 84).

(61)

melihat hal itu sebagai kekejaman (barbaridades) yang tidak berperikemanusiaan. Dalam situasi ini, posisi Gereja dipojokkan. Tidak hanya kerusuhan itu berawal dari Gereja, melainkan juga karena sang Uskup sendiri dituding sebagai tokoh penting (dalang) di balik gerakan ini. Hal ini membuat hati sang Uskup remuk redam. Peristiwa yang mirip terjadi di Garina (Liquiça) yang juga menjadi sorotan internasional. Kedua peristiwa ini ‘menyeret’ Uskup Belo bersama para imamnya untuk secara aktif dan kritis membela umat mereka di bumi Timor Loro Sa’e.

September tahun 1995, ketika terjadi kerusuhan agama di Maliana, Dili, dan Viqueque, sekali lagi Uskup Belo menghadapi problem yang kian memanas. Di sini justru Uskup mendapat protes yang meluas dari kalangan Islam, termasuk demonstrasi besar-besaran anti Belo menyusul pernyataan untuk menjadikan Timor Leste sebagai daerah khusus Katolik. Seorang pemuka Islam secara terang-terangan mengatakan bahwa Uskup Belo merupakan duri dalam daging yang harus disingkirkan. Apalagi waktu itu pun muncul issue dan berita bahwa Uskup Belo dinominasikan sebagai calon pemenang Hadiah Nobel Perdamaian. Berita ini segera ditanggapi bahwa hadiah Nobel merupakan bagian dari “Konspirasi anti Islam dan R.I.”!

(62)

Walaupun jalan untuk itu sangat panjang dan melelahkan serta penuh derita....” (Hidup, edisi 5 Maret 1995: 13). Solidaritas seperti itu merupakan refleksi dari pengalaman panjang menghadapi gejolak dunia, khususnya perhatian Paus terhadap masalah Timor Leste. Setelah mendapat laporan dari Dom Martinho dan Uskup Belo sendiri, Paus mengaku meluangkan waktu untuk mendoakan Timor Leste. Dalam kunjungannya ke Taçi Tolu, Dili (12 Oktober 1989), pada saat Misa Agung, dalam kotbahnya beliau antara lain mengatakan:

Sudah bertahun-tahun lamanya hingga sekarang kalian mengalami kehancuran serta kematian akibat suatu konflik; kalian telah mengetahui apa artinya menjadi korban kebencian dan pertempuran. Banyak orang yang tidak bersalah telah meninggal. Sementara yang lain menjadi mangsa dari tindakan pembalasan dendam. Sudah terlampau lama kalian menderita karena kurangnya stabilitas yang membuat masa depan kalian tidak pasti. (Spektrum, edisi 1990: 66).

Dari kotbah Paus tersebut dapat dikatakan bahwa pernyataan Paus sungguh merupakan suatu perhatian yang mendalam akan masalah yang sedang terjadi di Timor Leste.

(63)

mematangkan dalam dirinya suatu ‘spiritualitas kependekaran’ (Gusmão, 1997: 85).

Melihat kiprahnya itu, maka pada tanggal 10 Desember 1995 ia memperoleh John Humprey Award di Montreal, Canada. Penghargaan ini setiap tahun diberikan oleh komisi PBB untuk perjuangan HAM dan Demokrasi. Sekjen PBB, Buotros Buotros Ghali mengatakan bahwa Uskup Belo telah tampil sebagai ‘advocat’ perdamaian dan pejuang hak azasi manusia di Timor Leste.

Dari Itali, Uskup Belo menerima Oscar Romero Award atas sikap kenabiannya yang berusaha mempertanggungjawabkan pilihan religiositasnya dalam rangka membela kaum miskin dan pinggiran. Penghargaan ini sekaligus merupakan penegasan bahwa sikap dan tindakan Uskup Belo terdukung oleh suatu spiritualitas kenabian.

(64)

Uskup Belo diyakini sebagai penyambung lidah bagi umatnya “...yang menjerit ke surga demi keadilan” (Kel 3: 15).

Sejak menerima Nobel, Uskup Belo menjadi tokoh dunia melalui suatu penobatan agung di balai kota Oslo (termasuk juga diterima sebagai tamu agung di Aachen dan Helmut Kohl di Bonn). Meskipun di Indonesia Uskup Belo merasa diri sebagai “anak tiri dari Republik ini” (Gusmão, 1997: 86).

h. Menanti Fajar Merekah

1). Masa Pertumbuhan Melonjak (1975-1985-1995)

Lonjakkan sampai tahun 1995 (baca statistik) dapat dikatakan membawa masa depan yang menggembirakan. Dari jumlah penduduk sebanyak 860.488 jiwa, 85,07 % beragama Katolik. Sementara calon Baptis (katekumen) mencapai 25.993 orang (3,02 %). Perkembangan pertama dalam segi kuantitas memang memberikan janji pada masa depan yang penuh kecerahan. Perkembangan kedua menyangkut dengan fenomen pluri-religius (Gusmão, 1997: 86).

(65)

Ketiga, zona barat dengan wilayahnya Maliana, Bobonaro, Balibo, Oecussi, Suai, Fohorem, yang dipimpin oleh Pe. Françisco Tavares. Zona keempat yang berada di Dili menjangkau Becora, Balide, Motael, Comoro, Vila Verde, Dare, dan Liquiça. Wilayah ini dikoordinir oleh Pe. José Alvaro N.S.M. Monteiro.

Para pastor yang melayani umat sebanyak 89 orang yang terdiri dari 36 dari Projo; 9 Yesuit; 19 Salesian; 14 SVD; 4 Fransiskan; 6 Claretian, dan 1 Carmelit. Juga 32 biarawan. Sedangkan biarawati yang berkarya di Timor Leste berasal dari Salesian (FMM: 21), SCMM (8); Canossian (FdCC: 52); CIJ (30); SSpS (15); KYM dari Pematang Siantar (5); Ursulin (OSU:9); Hermas Carmelitas (Hcarm: 34); PRR (28); Carolus Borromeus (CB: 6); FCJM dari Sumatera (9); Maryknoll Sisters (4); Dominicanes del Rosario (OP: 4); Fransiskanes Pringsewu/Lampung (Fr Pr: 12); OSF (3), Ordinis Carmeliarum Discalcaetorum (OCD: 11), dan Instituto Secular Maun Alin iha Cristo (ISMAIK: 17). Selain dari calon pastor/biarawan dari Timor Leste, maka Keuskupan Dili memiliki lebih dari 50 calon Projo (Malang, Kupang, dan Flores) serta hampir 100 orang seminaris di Balide, Dili.

(66)

1 STM dan 1 SPP. Pendidikan Tinggi yang dikelola oleh Keuskupan adalah IPI yang berafiliasi dengan Malang menampung 305 mahasiswa. Di bidang kesehatan terdapat 10 poliklinik dan 1 Rumah Sakit Katolik di Suai (Gusmão, 1997: 88).

2). Pemekaran Diosis Baucau

Melihat perkembangan yang makin membengkak ini, maka sejak Desember 1996, Vatikan membuka lagi sebuah diosis baru di Baucau. Diosis ini dipimpin oleh Mgr. Basilio do Nasçimento, Pr. Ia menerima tahbisan dari Paus Yohanes Paulus II di Basilika Santo Petrus, tanggal 6 Januari 1997. Jelas bahwa tahun 1996 merupakan lembaran baru yang memuat berbagai harapan dalam koridor Gereja Katolik di Timor Leste.

(67)

Gereja sendiri menganggap bahwa hal ini merupakan ‘tahun rahmat Tuhan sudah datang’. Mengutip Yohanes Pembaptis, Uskup Belo mengungkapkan kegembiraan spiritualnya yang mendalam, “Ia harus makin besar, Aku makin kecil” (Yoh. 3: 30).

Keuskupan Baucau membawahi paroki-paroki wilayah Timur: Manatuto, Soibada, Baucau, Laga, Venilale, Ossu, Viqueque, Watulari, dan Lospalos. Imam-imam yang berkarya di sana berasal dari Salesian, SVD, Ordo Carmel, dan Projo sendiri. Biarawatinya meliputi: Canossiana, OSU, FMA, ADM, FCJM, SCMM, SSpS, CIJ, KYM, dan Frater Projo. Kekuatan tenaga pastoral ini didukung oleh banyak katekis, zeladores, dan beberapa kelompok kategorial (Gusmão, 1997: 90). Dari Baucau Gereja menantikan merekahnya fajar pengharapan (Loro Sae).

Penduduk Menurut Agama per Kabupaten

Diperinci per Kabupaten Tahun 1980

No Kabupaten Islam Katolik Kristen Hindu Budha Lain-lain Jumlah

01 Covalima 83 23.112 15 0 0 2.435 25.645

02 Bobonaro 170 56.664 170 5 1 4.970 61.980

03 Manufahi 289 23.919 504 2 1 2.073 26.788

04 Ainaro 151 41.739 35 2 0 2.283 44.210

05 Viqueque 103 34.174 1.274 14 0 19.010 54.625

06 Lautem 447 21.740 2.458 78 0 13.376 38.099

07 Baucau 145 57.678 228 1 1 16.774 74.827

08 Manatuto 114 17.310 153 6 0 6.859 24.442

(68)

10 Dili 1.820 51.472 4.495 205 25 8.572 67.039

Sumber: Kantor Statistik Propinsi Timor-Timur (Hasil Sensus Penduduk 1980)

Tempat/Rumah Ibadah Sejak Tahun 1982 – 1994

Katolik Protestan Islam Hindu Budha

No Tahun

Gereja Kapela Gereja R.Ibadah Masjid Mushola Pura vihara

01 1982 25 24 12 60 6 18 1 1

Sumber: Timor-Timur dalam Angka Tahun 1994

Penduduk Menurut Agama di Timor-Timur Diperinci per Kabupaten Tahun 1990

No Kabupaten Islam Katolik Kristen Hindu Budha Lain-lain Jumlah

(69)

07 Manatuto 517 30.693 221 99 5 0 31.805

JUMLAH 27.086 676.402 20.660 3.961 341 18.607 747.557

% 3,62 90,48 2,76 0,53 0,12 2,49 100.00

Sumber: Kantor Statistik Propinsi Timor-Timur (Hasil Sensus Penduduk 1990)

Penduduk Menurut Agama per Kabupaten Tahun 1994

No. Kabupaten Katolik Kristen

Protestan

Islam Hindu Budha Lain-lain Jumlah

01 Covalima 48.265 279 859 765 - 106 50.366

(70)

2. Gambaran Gereja Timor Leste di Era Pascareferendum

Luas wilayah Timor Leste 15.007 km² terdiri dari Pulau Atauro, Jaco, Oecusse-Ambeno, dan sebagian Pulau Timor dengan jumlah penduduk 800.000 jiwa di antaranya beragama Katolik Roma 90 %, Islam 4 %, Protestan 3 %, Hindu 0,5 %, dan lain-lain (Buddha, agama asli) 2,5 %. Di Timor Leste tercatat 17 ordo/kongregasi berkarya. Terdiri dari lima ordo/kongregasi imam dan biarawan, dan 12 ordo/kongregasi biarawati. Seluruhnya sekitar 150 orang. Sebanyak dua pertiganya adalah biarawati (Neonbasu, 2006: 9).

Karya misi di Timor Leste mengalami kemajuan sangat pesat sesudah 1950. Mgr. Jaime GarÇia Goulart melayani pada tahun 1940-1958, kemudian Mgr José Joaquim Ribeiro pada tahun 1958-1976. Penggantinya, Mgr Martinho da Costa Lopez (1977-1983), Mgr Carlos Filipe Ximenes Belo (1983-2000), dan kini Mgr Alberto Ricardo da Silva sebagai Uskup Dili dan Mgr Basilio do NasÇimento sebagai Uskup Baucau.

(71)

Gereja Katolik telah menjadi saksi kebenaran, terlebih dalam masa-masa sulit. Misalnya, ketika relasi dengan pihak pemerintah yang mulai longgar pada tahun 1970-an dan saat menghadapi masa pilihan untuk berdiri sendiri terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Gereja Katolik tiada hentinya tampil ke depan umum menjadi saksi kebenaran. Ketika terjadi kerusuhan di Dili 1991 yang menelan banyak korban akibat tindakan brutal militer Indonesia, Gereja Katolik hadir memberikan bantuan yang terkadang diartikan secara salah oleh militer Indonesia dan pemerintahan sipil (Neonbasu, 2006: 11).

B. Permasalahan atau Tantangan yang Dihadapi Gereja Timor Leste di Era

Pascareferendum

(72)

Dalam dunia pendidikan, Gereja Timor Leste dan penguasa pemerintah Timor Leste (PM Mari’e Alkatiri) saling mengadu pendapat mengenai pendidikan Agama yang tidak dituangkan dalam kurikulum pendidikan. Namun, pada akhirnya terjadi kesepakatan setelah Gereja yang dipimpin oleh Pe. Domingos da Silva Soares, Pr melakukan aksi “demo” menentang pemerintahan Mari’e Alkatiri, yang berlangsung dari 18 April hingga 07 Mei 2005 (Hidup, edisi 29 Mei 2005: 30-31).

Dalam dunia politik, bangsa Timor Leste dalam perjalanan sejarahnya tidak terlepas dari politik. Sejak penjajahan Portugis, semasa bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga referendum, penyelesaian masalah Timor Leste selalu bernuansa politik. Dalam kasus pemecatan 600 personil Tentara Nasional Timor Leste (FDTL = ForÇa Defesa da Timor Leste), solusinya juga bernuansa politik, walaupun pokok permasalahannya adalah adanya unsur diskriminasi dan rasialisme yang terkandung di dalamnya (Kompas, edisi 29 April 2006: 9).

(73)

leluhur yang diwariskan turun-temurun), sehingga masyarakat Timor Leste harus memulainya lagi dari bawah.

Di antara begitu banyak permasalahan yang ada di atas, penulis membatasi permasalahan ini menjadi lima (5) yakni; masalah kaum muda, masalah pendidikan, masalah politik, bahaya sekularisme dan materialisme, dan masalah penghayatan hidup beriman umat. Kelima masalah ini menurut penulis bersifat krusial. Berikut akan diulas mengenai kelima masalah tersebut.

1. Masalah Kaum Muda

Dalam Conferençia Naçional dos Bispos do Brazil (CNBB) sebagaimana dikutip oleh Gusmão, antara lain dikatakan: “A juventude é a idade do broto, do desabrochar, da ruptura e da independençia. a

juventude é sonhador, impaçiente e imediatista. identifica-se, geralmente,

com o novo, com a mudança-força de transformação na sociedade.”

(Gusmão, 1997: 202)

(74)

Dari segi atau dimensi religius, kaum muda selalu memberikan pengharapan untuk menuju milenium ketiga. Hal ini ditekankan oleh Paus Yohanes II dengan mengatakan: “Queridos Jovens, que sois os discipulos de Jesus do Terçeiro Milenio: que os caminhos da vossa juventude se

cruzem com Cristo, o verdadeiro heroi, humilde e sabio, o profeta da

verdade do amor; o companheiro e o amigo dos jovens.” (Gusmão, 2003: 202)

Artinya, pada kaum muda,..., kita bisa mengenal setiap insan, yang dengan sadar atau tidak, mendekati Kristus penyelamat manusia dan mengajukan pertanyaan moral. Bagi Sri Paus, kaum muda memang selalu memberikan pengharapan untuk menyeberangi milenium ketiga. Sebab kaum muda merupakan foto model klasik untuk manusia yang mencari kebenaran. Kaum muda merupakan makhluk yang selalu “bertanya dan mempertanyakan” segala sesuatu. Di dalam dirinya ada suatu kerinduan untuk menemukan jawaban tentang dirinya, lingkungan hidupnya dan di atas segalanya itu adalah Tuhannya.

Jika dipandang dari sudut realitas dunia, kaum muda memiliki daya tarik (concupisciençia) untuk melangkah ke masa depan. Sedangkan dari sudut pandang religiositas, kaum muda menampilkan atau menunjukkan daya tahan dalam kerinduannya atau harapannya untuk mencari dan menemukan kebenaran dan kemerdekaan sejatinya.

Referensi

Dokumen terkait

Dimata dunia Timor Leste merupakan negara yang relatif baru di dunia internasional. Oleh karena itu, peran perdagangannya juga masih terbatas. Untuk kondisi saat ini,

Penggunaan ekspatriat oleh perusahaan multinasional di Timor Leste benar-benar tidak bisa dihindari seperti yang dikatakan oleh Edstrom bahwa para ekspatriat dikirim ke

Konstitusi tersebut dilaksanakan oleh lembaga-lembaga negara permanen yang telah ditetapkan oleh konstitusi tersebut di kedua negara yang berbeda yaitu, Indonesia dan

daerah dimulai pada tahun 2003 oleh pemerintahan konstitusional Timor Leste yang pertama dari partai Fretilin yang dipimpin oleh Dr. Mari Alkatri sebagai perdana menteri

Pengaruh motivasi penggunaan SMS oleh konsumen mudah di Timor-Leste dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa elemen dari item yang lebih membentuk atau berkontribusi.

Penulisan hukum / Skripsi dengan judul ”Penerapan Asas Non Refoulement dalam Konvensi Jenewa 1951 Berkaitan dengan Pengungsi Timor Leste di Indonesia (Pasca Referendum 1999)”

Oleh sebab itu Amnesty International menyerukan kepada Dewan Keamanan PBB, sesuai dengan resolusi-resolusi Dewan sebelumnya yang menuntut peradilan bagi kejahatan di

Dalam jangka panjang, apa yang diharapkan oleh Timor Leste terhadap ASEAN adalah stabilitas ekonomi, politik dan juga keamanan dalam negeri yang berikutnya akan