• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KASUS TENTANG KEBERMAKNAAN HIDUP REMAJA YANG ORANGTUANYA BERCERAI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "STUDI KASUS TENTANG KEBERMAKNAAN HIDUP REMAJA YANG ORANGTUANYA BERCERAI"

Copied!
268
0
0

Teks penuh

(1)

i

STUDI KASUS

TENTANG KEBERMAKNAAN HIDUP

REMAJA YANG ORANGTUANYA BERCERAI

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi

Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Disusun oleh :

DEVIANA CITRA DEWI WIDYAWATI NIM : 021114034

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

ii

STUDI KASUS

TENTANG KEBERMAKNAAN HIDUP

REMAJA YANG ORANGTUANYA BERCERAI

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi

Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Disusun oleh :

DEVIANA CITRA DEWI WIDYAWATI NIM : 021114034

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)

iii

(4)
(5)
(6)

vi

Motto dan Persembahan

“NON SCHOLAE SED VITAE DISCIMUS ”.

Aku belajar bukan untuk sekolah tetapi untuk hidup

“Ia Membuat Segala Sesuatu Indah Pada Waktunya”.

(Pengkotbah, 3 : 11)

“Tuhan tak pernah meninggalkan kita, cinta-Nya tanpa batas dalam suka dan

duka, bersyukurlah dalam segala hal ”.

Skripsi ini kupersembahkan untuk :

Orangtuaku tercinta, papa Bagus Widyanarko dan mama Anna Gunarti, S.B., serta adikku Lithania S.C.W. yang sudah terus memotivasi dan mendukungku dengan cinta dan doa sehingga aku bisa menyelesaikan kuliah ini dengan baik.

SD Kanisius Baciro “Joannes Bosco” Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan dan kepercayaan kepadaku untuk membimbing seluruh siswa-siswi selama Tahun Ajaran 2008/2009 serta mendukungku selama pengerjaan skripsi.

Almamaterku Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sebagai tempatku menimba ilmu.

Yang tersayang eyangku, FX. Willy Hariyanto (alm) yang telah memberiku dukungan, doa, semangat, kesempatan untuk menimba ilmu setinggi-tingginya, pengertian dan cinta yang teramat dalam, sehingga aku mampu menemukan makna hidup yang patut di syukuri dan mampu bertahan serta setia menekuni penulisan skripsi ini.

(7)

vii

ABSTRAK

STUDI KASUS

TENTANG KEBERMAKNAAN HIDUP

REMAJA YANG ORANGTUANYA BERCERAI

Deviana Citra Dewi W, 2009

Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran mengenai bagai-mana remaja yang orangtuanya bercerai memaknai hidupnya. Responden penelitian ini adalah Mamat, Gogok, Lala, dan Titi (nama samaran). Mamat adalah seorang mahasiswa salah satu PTS di Yogyakarta. Gogok dan Lala adalah pelajar salah satu SMA di Yogyakarta, sedangkan Titi adalah pramuniaga salah satu toko di Yogyakarta

Jenis penelitian yang digunakan untuk menjawab semua permasalahan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Metode pengumpulan data yang dipakai adalah observasi tingkah laku non verbal dan wawancara mendalam. Informasi yang dikumpulkan berasal dari laporan keempat responden, dari laporan guru Bimbingan dan Konseling, dari orangtua responden dan teman-temannya.

Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: dari keempat responden, satu responden kurang mampu memaknai hidupnya (pandangan negatif yang ditunjukkan pada dirinya sendiri, dunia dan pengalamannya serta masa depannya, sehingga bersikap menyerah dan hanyut dalam pergaulan yang kurang baik) dan tiga responden yang lain mampu memaknai hidupnya (adanya pandangan positif, sehingga tidak bersikap menyerah dan mereka tunjukkan melalui tujuan hidup serta sikap yang positif). Responden Mamat, Lala dan Titi lebih menunjukkan kekuatan ketahanan diri dalam mengatasi keterbatasannya, yaitu berpandangan positif terhadap dirinya, pengalaman hidupnya dan masa depannya. Mamat lebih memilih kegiatan untuk membantu ibunya mengerjakan pekerjaan rumah. Lala memilih untuk membantu ibunya berjualan kue keliling, sedangkan Titi lebih memilih mengisi waktunya dengan bekerja, mengikuti Karang Taruna, membantu group band temannya dan berjualan aqua. Responden Gogok yang kurang mampu memaknai hidupnya lebih memilih untuk menunjukkan hidupnya yang tidak berguna, karena hasratnya tidak terpenuhi. Gogok lebih banyak berpandangan negatif terhadap dirinya, dunianya dan masa depannya. Gogok lebih memilih untuk bersikap menyerah dan membiarkan dirinya hanyut dalam pergaulan yang kurang baik (seperti minum minuman keras, mengonsumsi obat-obatan terlarang, mengonsumsi ganja, tawuran dan pergi dari rumah).

(8)

viii

ABSTRACT

THE CASE STUDY

OF THE MEANING OF LIFE

FOR TEENAGERS WITH DIVORCED PARENTS

Deviana Citra Dewi W, 2009

The aim of this research was to get a description on how teenagers with divorced parents give meaning to their lifes. The respondents of this research were Mamat, Gogok, Lala and Titi (pseudonym). Mamat was a university student of a private university in Yogyakarta. Gogok and Lala were students of a high school in Yogyakarta, and Titi was a shop assistant in a shop in Yogyakarta.

The method that was used to answer the problems formulations in this research was case study. The method of collecting data was observation on non verbal behavior and comprehensive interview. The information was collected from the respondent’s report, the guidance and conseling’s reports, their parents and friends respond.

The results of the research shows that the meaning of life for teenagers with divorced parents was: The research showed one among the four (4) respondents was less able to meaning his life (the negative thinking showed on himself, his world, his experiences and his future, therefore he has no willingness to survive and drift to bad relationship). Mamat, Lala, and Titi showed more self perseverance in overcoming their limitation (there is positive thinking, therefore the are not surrender and they show it through their goals of life and has positive attitude). They have positive attitude on themselves, their past experience and their future. Mamat choose to help his mother doing housework chores. Lala choose to help her mother selling snack door to door, and Titi choose to work, join the “karang taruna”, help her friend’s group band, and sell aqua mineral water. Respondent Gogok, the one who was less able to choose to develop negative thinking on him self, his life, and also his future. Gogok choose to give up on his life and let himself drawned in bad relationship (drunk, drugs counsumers, mariyuana counsumers, fight, and escape from home)

(9)

ix

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Deviana Citra Dewi Widyawati

Nomor Mahasiswa : 021114034

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

STUDI KASUS TENTANG KEBERMAKNAAN HIDUP REMAJA YANG ORANGTUANYA BERCERAI

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 26 Juni 2009

Yang menyatakan

(10)

x

KATA PENGANTAR

Pengalaman penuh makna yang penulis temukan dalam penelitian dan penulisan skripsi ini merupakan anugerah yang indah dari kasih Tuhan. Anugerah yang tidak henti-hentinya penulis syukuri dan kagumi. Anugerah yang indah ini juga tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, baik berupa materi, dukungan, masukan, kritikan dan doa. Segala bantuan tersebut membuat penulisan skripsi ini menjadi semakin baik. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Drs. T. Sarkim, M.Ed., Ph.D., selaku Dekan FKIP Universitas Santa Dharma Yogyakarta, yang telah berkenan mengesahkan skripsi ini.

2. Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si., selaku Kaprodi Bimbingan dan Konseling yang memberikan kesempatan dan memberikan dukungan penuh kepada penulis. 3. Drs. T.A. Prapancha Hary, M.Si., selaku Pembimbing I dalam penulisan

skripsi yang telah memberikan bimbingan,dukungan, dorongan dan ide-ide yang menarik sehingga penulis tetap bersemangat menyelesaikan skripsi ini. 4. Para Dosen Penguji, yang telah dengan setia dan sabar meluangkan waktunya

untuk membaca, meneliti dan bertanya mengenai apa yang telah di tulis oleh penulis, sehingga terwujud skripsi yang lebih baik dan lebih bermutu.

(11)

xi

6. Sr. Serafine, OP., selaku Kepala Sekolah SDKB “JOANNES BOSCO” Yogyakarta, yang telah memberi dukungan dan kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsinya, sehingga dapat terwujud dengan baik.

7. Romo Albertus Hartana, SJ., yang telah memberikan kepercayaannya, dukungan, dorongan semangat, berkat dan doanya kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan studinya dengan baik.

8. Romo Robertus Rubyatmoko, Pr., yang telah memberikan kepercayaannya, dukungan, dorongan semangat, saran dan kritik, ide-ide yang menarik, serta berkat dan doanya kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan studinya dengan baik.

9. Romo dan Para Frater SCJ di Yogyakarta, yang telah memberikan dukungan, doa, dan bantuannya untuk mencarikan buku serta membaca, memberi saran pada skripsi penulis, sehingga skripsi tersebut dapat terselesaikan dengan baik. 10.Suster Veronica, OSU., sahabatku yang baik, telah memberikan kepercayaan, semangat, dukungan dan doanya, serta waktunya untuk penulis dalam melewati suka dan duka menghadapi hidup.

11.Para Bapak/Ibu guru dan karyawan SDKB “Joannes Bosco” dan teman-teman TKK BKS YPK DIY, yang selalu mengingatkan penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi dengan baik.

(12)

xii

sahabat yang setia yang senantiasa menanyakan, mendukung, menghibur dan memberikan semangat kepada penulis sehingga penulis merasa bermakna. 13.Papa, Mama dan adik tercinta yang di dalam kasih dan pengertiannya telah

membawa penulis pada makna terdalam hidup panggilan dan memberikan kekuatan penulis untuk bertahan dengan setia menekuni penulisan skripsi ini. 14.Keluarga FX. Willy Hariyanto, Prawiro Subroto dan Teguh Cokro Mulyono

yang selalu dengan setia memberi dukungan dan doanya sehingga penulis mampu menyelesaikan studinya dengan baik.

15.Mamat, Gogok, Lala, Titi (nama samaran) yang telah bersedia menjadi subyek penelitian yang terbuka membagikan pengalamannya kepada penulis sehingga penelitian dapat berjalan dengan baik.

16.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas segala dukungan, perhatian dan bantuannya (Spesial untuk Ibu A. Setyandari, S.Pd., Psi., M.A. yang sudah membantu meluangkan waktunya dan memberi kemudahan pada penulis untuk segera melanjutkan ke ujian pendadaran).

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan, namun begitu penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi dunia bimbingan dan konseling dan bagi siapa saja yang menaruh minat untuk memberikan bantuan dan pelayanan terhadap para remaja yang orangtuanya bercerai.

Yogyakarta, 26 Juni 2009 Penulis,

(13)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ……… ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….. iii

HALAMAN PENGESAHAN ……….. iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……….. v

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ……… vi

ABSTRAK ………. vii

ABSTRACT ………. viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ………. ix

KATA PENGANTAR ……… x

DAFTAR ISI ……….. xiii

BAB I. PENDAHULUAN ……….. 1

A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Rumusan Masalah ………. 5

C. Tujuan Penelitian ………. 6

D. Manfaat Penelitian ……… 6

E. Definisi Operasional ………. 7

BAB II. KAJIAN TEORI ………. 9

A. Teori Makna Hidup ……….. 9

B. Remaja ………. 18

C. Orangtua ……….. 27

(14)

xiv

E. Perceraian ……… 29

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ……… 34

A. Metodolodi Penelitian ……….. 34

B. Subjek Penelitian ……… 36

C. Metode dan Alat Pengumpulan Data ……….. 37

D. Langkah-langkah/Tahap Penelitian ………. 38

E. Sumber Data/Responden ……….…………. 40

F. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ……….. 40

G. Teknik Analisis/Pengolahan Data ……… 42

BAB IV. INFORMASI TENTANG RESPONDEN, LAPORAN HASIL OBSERVASI DAN WAWANCARA SERTA PEMBAHASAN 43

A. Hasil Observasi Partisipasi …… ………. 43

B. Hasil Observasi Nonverbal ………... 43

C. Hasil Wawancara ……….. 46

D. Pembahasan ………. 56

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ………. 90

A. Kesimpulan ……….. 90

B. Saran-saran ……….. 98

DAFTAR PUSTAKA ………. 104

LAMPIRAN-LAMPIRAN ………. 106 Lampiran 1: Langkah-langkah Penelitian

(15)
(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setelah saya melaksanakan PLBK (Praktek Lapangan Bimbingan dan Konseling) di sekolah dan di komunitas, penulis mengamati dan menemukan bahwa ada beberapa remaja yang orangtuanya bercerai. Beberapa remaja yang orangtuanya bercerai lebih menunjukkan sikap: agresif (sering marah, menjadi kasar, dan menunjukkan tindakan agresif lainnya). Mereka juga terkadang menjadi pendiam (tidak lagi ceria, tidak suka bergaul), suka melamun, sulit berkonsentrasi dan tidak berminat pada tugas sekolah.

Kasus perceraian sering dianggap sebagai suatu peristiwa tersendiri yang menegangkan dalam kehidupan keluarga. Perceraian merupakan sebuah pilihan yang dibuat oleh para orang dewasa untuk menyelesaikan suatu perkawinan yang sudah tidak berjalan sebagaimana mestinya (MacGregor, 2004: 101). Perceraian akan terasa menyakitkan, menekan, dan menyedihkan. Proses perceraian akan melibatkan perasaan-perasaan marah dan duka akan pertikaian di masa lampau, kehilangan di saaat kini, sekaligus ketakutan akan masa mendatang.

(17)

perceraian di Indonesia dapat dilihat dari berita-berita tentang perceraian di kalangan para selebritis belakangan ini. Hal ini didukung oleh majalah Tempo (2002) yang memberitakan bahwa dalam lima tahun terakhir, sejak tahun 1997 angka perceraian di Jakarta meningkat rata-rata 4% setahun, di kota Surabaya meningkat 11% setahun, dan di Yogyakarta, 2 tahun ini angka perceraian melonjak 20% per tahun. Kompas (2008) juga memberitakan bahwa berdasarkan data Pengadilan Agama Bantul, kasus perceraian tahun 2007 mencapai 677 kasus, padahal tahun 2006 baru 577 kasus dan tahun 2008 sampai dengan bulan Mei sudah ada 336 kasus perceraian. Perceraian merupakan salah satu jalan terbaik bagi suami dan isteri untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Namun apapun alasannya, perceraian dapat menimbulkan akibat buruk pada anak.

(18)

dan sepertinya tidak seorangpun memahami tekanan yang mereka rasakan. Hal inilah yang membuat mereka sering merasa berbeda dengan teman sebayanya (Cole, 2004).

Perceraian dalam keluarga manapun merupakan peralihan besar dan penyesuaian utama bagi anak. Anak akan mengalami reaksi emosi dan perilaku karena “kehilangan” satu orangtua. Kebanyakan mereka yang orangtuanya bercerai akan mengembangkan reaksi yang besar (seperti: ledakan amarah, tangisan, penarikan diri dan perilaku buruk mereka) terhadap perpisahan orangtuanya. Reaksi yang mereka tunjukkan merupakan hal yang umum terjadi, karena anak membutuhkan waktu untuk menerima situasi ini, disaat mereka merasa sedih karena kehilangan satu orangtua serta kehidupan keluarga normal (Cole, 2004:1, 21).

Remaja yang orangtuanya bercerai akan mudah merasa depresif dan merasa menderita, karena mereka ikut merasakan sakit hati. Sakit hati ini muncul dikarenakan beban emosional akibat perpisahan orangtuanya meninggalkan luka di batin, perasaan maupun pikirannya. Akibatnya selama belajar, mereka tidak dapat berkonsentrasi, mudah lupa dan prestasi belajarnya menurun drastis. Selain itu, ungkapan perasaan dan penolakan mereka terhadap perceraian orangtuanya, dapat berupa kenakalan, antara lain: penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan terlarang, membolos, bergabung dengan geng-geng, merokok dan melarikan diri dari rumah

(19)

menimbulkan keputusasaan dan penderitaan. Menurut Frankl (Schultz, 1991: 156) situasi-situasi yang sangat buruk, yang menimbulkan keputusasaan dan tampaknya tidak ada harapan, dapat dilihat sebagai situasi-situasi yang memberikan kita kesempatan sangat besar untuk menemukan arti. Frankl juga mengatakan bahwa kehidupan manusia, meskipun dalam keadaan gawat, dapat bercirikan arti dan maksud. Frankl menambahkan bahwa kehidupan manusia dapat mengandung arti, sampai momen kehidupannya yang terakhir (Schultz, 1991: 157).

(20)

Perceraian orangtua, dapat membuat remaja terluka, marah, terabaikan dan merasa tidak dicintai. Pengalaman ini akan terus menetap di hatinya sampai remaja yang bersangkutan menjadi dewasa, bahkan perasaan berbeda dari teman-teman sebayanya memungkinkannya untuk tidak lagi mampu melihat adanya makna dalam hidupnya. Namun tidak bisa dipungkiri juga bahwa kehidupan manusia terkadang baru memiliki makna yang nyata setelah individu yang bersangkutan dihadapkan pada situasi yang penuh dengan penderitaan. Dengan keadaan yang demikian, beberapa remaja yang orangtuanya bercerai mengalami krisis (baik krisis kepercayaan, krisis diri, krisis prestasi, dll). Remaja ini membutuhkan orang-orang untuk memberi dukungan atau hanya sebagai teman yang bersedia mendengarkan mereka. Permasalahan ini berkaitan dengan kebermaknaan hidup, yaitu bagaimana remaja yang orangtuanya bercerai menemukan kebermaknaan hidupnya dalam kehidupan ini.

Fokus penelitian ini adalah bagaimana proses remaja yang orangtuanya bercerai memaknai hidupnya Studi kasus ini diharapkan dapat lebih memperdalam pengetahuan akan kebermaknaan hidup remaja yang orang-tuanya bercerai.

B. Rumusan Masalah

(21)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi proses remaja yang orangtuanya bercerai memaknai hidupnya.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan manfaat, antara lain:

1. Manfaat Teoritis

Memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan bimbingan dan konseling, khususnya menyangkut keber-maknaan hidup remaja yang orangtuanya bercerai.

2. Manfaat Praktis a) Bagi orangtua

Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan tentang pentingnya pemenuhan makna hidup bagi anak-anak dengan memper-hatikan segala kebutuhan, baik kebutuhan fisik maupun psikologisnya. b) Bagi masyarakat

(22)

c) Bagi konselor

Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dalam memahami kondisi psikologis para remaja yang orangtuanya bercerai.

d) Bagi penulis

1) Penelitian ini bermanfaat bagi penulis untuk mengenal kepribadian dan memahami kondisi psikologis para remaja yang orangtuanya bercerai (berpisah).

2) Penelitian ini bermanfaat sebagai bekal bagi penulis di masa mendatang dalam mendampingi para remaja, baik yang orang-tuanya bercerai maupun yang tidak bercerai.

3) Penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya keterampilan penulis dalam memberikan layanan konseling, dengan memasukkan unsur-unsur penemuan akan makna hidup pada konseli yang dilayani.

E. Definisi Operasional

Definisi operasional variabel yang terdapat dalam fokus permasalahan tersebut adalah:

(23)

terpenuhi akan memberikan perasaan berharga dan berarti, dan hal ini terealisasi lewat nilai kreatif, nilai pengalaman, dan nilai bersikap dalam kehidupannya.

2. Remaja adalah pemuda-pemudi yang berada pada masa perkembangan yang disebut masa “adolescence” (masa remaja, masa menuju kedewasaan).

3. Orangtua (ayah dan ibu) adalah tokoh yang menjadi teladan atau panutan pertama yang akan ditiru dan sebagai peletak dasar hati nurani bagi anak-anak mereka, serta sebagai pembina perkembangan anak-anak supaya menjadi pribadi yang dewasa.

4. Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 5. Perceraian adalah berakhirnya hubungan antara dua orang yang pernah

(24)

9

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Teori Makna Hidup

Teori yang digunakan sebagai dasar penelitian ini adalah teori makna hidup Viktor Frankl. Menurut Frankl (Bastaman, 2007: 43) hasrat yang paling mendasar dari setiap manusia yaitu hasrat untuk hidup bermakna. Apabila hasrat itu dapat dipenuhi, kehidupan akan dirasakan berguna, berharga dan berarti (meaningful). Sebaliknya, apabila tidak terpenuhi akan menyebabkan kehidupan dirasakan tak bermakna (meaningless).

(25)

Logoterapi (Bastaman, 2007: 45) adalah makna hidup (the meaning of

life) dan kehendak untuk hidup bermakna (the will to meaning). Bahkan

kebahagiaan (happiness) yang didambakan setiap manusia merupakan hasil samping (by produce) atau ganjaran (reward) atas keberhasilan meraih hidup yang bermakna (the meaningful life). Logoterapi juga mengakui bahwa setiap manusia mampu menentukan dan mengubah “nasibnya” sendiri. Manusia adalah “the self determine being”, yaitu makhluk yang mampu menentukan hidupnya menurut apa yang dianggapnya baik, baik menurut masyarakat maupun dirinya sendiri.

1. Landasan Filosofis Logoterapi

Setiap aliran dalam psikologi memiliki landasan filsafat kemanu-siaan yang mendasari seluruh ajaran, teori dan penerapannya. Dalam hal ini logoterapi pun memiliki filsafat manusia yang merangkum dan melandasi asas-asas, ajaran dan tujuan logoterapi, yaitu “the freedom of will, the will to meaning, dan the meaning of life” (Bastaman, 2007: 41).

a) The Freedom of Will (Kebebasan Berkehendak)

(26)

kebebasan untuk mengubah kondisi hidupnya guna meraih kehidupan yang lebih berkualitas. Kebebasan itu sendiri harus disertai rasa tanggungjawab (responsibility) agar tidak berkembang menjadi kesewenang-wenangan (Bastaman, 2007: 41-42).

b) The Will to Meaning (Hasrat untuk Hidup Bermakna)

Salah satu keinginan manusia adalah dirinya menjadi orang yang bermartabat dan berguna bagi dirinya, keluarga, lingkungan kerja, masyarakat sekitar, serta berharga di mata Tuhan. Setiap orang pasti menginginkan bagi dirinya suatu cita-cita dan tujuan hidup yang penting dan jelas yang akan diperjuangkan dengan penuh semangat, sebuah tujuan hidup yang menjadi arahan segala kegiatannya. Keinginan tersebut menggambarkan hasrat yang paling mendasar dari setiap manusia yaitu hasrat untuk hidup bermakna. Apabila hasrat ini dapat dipenuhi, kehidupan akan dirasakan berguna, berharga dan berarti (meaningful). Sebaliknya, apabila hasrat tersebut tidak terpenuhi akan menyebabkan kehidupan dirasakan tidak bermakna (meaningless).

(27)

(being somebody) dengan kehidupan yang sarat dengan kegiatan yang bermakna pula (Bastaman, 2007: 42-43).

c) The Meaning of Life (Makna Hidup)

Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi setiap orang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life). Apabila makna hidup berhasil dipenuhi oleh setiap orang, maka

setiap orang tersebut akan merasakan kehidupan yang berarti dan pada akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia (happiness). Makna hidup ada dalam kehidupan itu sendiri dan dapat ditemukan dalam setiap keadaan yang menyenangkan maupun keadaan yang tidak menyenangkan, keadaan bahagia maupun penderitaan (Bastaman, 2007: 45-46).

2. Asas-asas Logoterapi

Ada 3 (tiga) asas utama logoterapi (Bastaman, 2007: 37-39), sebagai berikut:

(28)

ditemukan dan dipenuhi. Setiap orang yang berhasil menemukan dan mengembangkan makna hidupnya akan merasakan kebahagiaan, sekaligus terhindar dari keputusasaan.

b) Kedua, setiap manusia memiliki kebebasan yang hampir tak terbatas. Kebebasan tersebut dapat digunakan untuk menemukan sendiri makna hidupnya. Makna hidup dan sumber-sumbernya dapat ditemukan dalam kehidupan itu sendiri (khususnya pada pekerjaan dan karya baru yang dilakukan, dalam keyakinan terhadap harapan dan kebenaran, dalam penghayatan atas keindahan, iman dan cinta kasih). Selain itu, sikap tepat yang kita ambil atas penderitaan yang tidak dapat diubah lagi juga merupakan sumber makna hidup. Setiap manusia pada dasarnya masih tetap memiliki harapan dan kebebasan, sekalipun hanya dalam pikiran, perasaan, cita-cita dan angan-angan semata.

(29)

hidup yang bermakna melalui karya, penghayatan, keyakinan dan harapan serta sikap tepat atas peristiwa tragis yang tidak terelakkan. 3. Sumber-sumber Makna Hidup

Dalam kehidupan ini terdapat 3 (tiga) bidang kegiatan yang secara potensial mengandung nilai-nilai yang memungkinkan setiap orang menemukan makna hidup di dalamnya, apabila nilai-nilai itu diterapkan dan dipenuhi. Menurut Frankl (Bastaman, 2007: 46) ketiga nilai (value) ini adalah creative values, experiential values, dan attitudinal values.

a) Creative values (nilai-nilai kreatif) diwujudkan dalam aktivitas yang kreatif dan produktif (Schultz, 1991: 155). Biasanya hal ini berkenaan dengan kegiatan berkarya, bekerja, mencipta serta melaksanakan tugas dan kewajiban sebaik-baiknya dengan penuh tanggungjawab (Bastaman, 2007: 47). Menurut Frankl (Bastaman, 2007: 47) pekerjaan hanyalah merupakan sarana yang memberikan kesempatan untuk menemukan dan mengembangkan makna hidup. Makna hidup tidak terletak pada pekerjaan, tetapi lebih bergantung pada pribadi yang bersangkutan, hal ini dapat dilihat dari sikap positif dan mencintai pekerjaan, serta cara bekerja yang mencerminkan keterlibatan pribadi pada pekerjaannya.

(30)

keindahan, keimanan dan keagamaan, serta cinta kasih. Menghayati dan meyakini suatu nilai dapat menjadikan hidup seseorang berarti. Cinta kasih juga dapat menjadikan seseorang menghayati perasaan berarti dalam hidupnya (Bastaman, 2007: 48).

c) Attitudinal values (nilai-nilai bersikap) dapat diwujudkan berupa sikap menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran dan keberanian, segala bentuk penderitaan yang kita hadapi. Sikap menerima dengan penuh ikhlas dan tabah segala penderitaan yang kita hadapi dapat mengubah pandangan kita. Pandangan yang semula diwarnai penderitaan menjadi pandangan yang mampu melihat makna dan hikmah dari penderitaan itu. Penderitaan dapat memberikan makna dan guna, apabila kita dapat mengubah sikap terhadap penderitaan itu menjadi lebih baik lagi. Hal ini berarti bahwa dalam keadaan bagaimanapun (sakit, nista, dosa, bahkan mati) arti hidup masih tetap dapat ditemukan, asalkan kita dapat mengambil sikap yang tepat dalam menghadapinya (Bastaman, 2007: 49).

4. Eksistensi Manusia yang Sehat

(31)

dilakukannya. Dimensi spiritual adalah sumber dari potensi, sifat, kemampuan dan kualitas khas insani (human qualities), seperti hasrat untuk hidup bermakna, kreativitas, hati nurani, rasa keindahan, keimanan, religiusitas, intuisi, rasa humor dan kekuatan untuk bangkit dari segala kematangan dan kendala hidup. Dimensi spiritual ini adalah sumber dari kebajikan, keluhuran dan kemuliaan manusia.

5. Penghayatan Hidup tanpa Makna dan Hidup Bermakna

Ketidakberhasilan menemukan dan memenuhi makna hidup biasanya menimbulkan penghayatan hidup tanpa makna (meaningless), hampa, gersang, merasa tak memiliki tujuan hidup, merasa hidupnya tak berarti, bosan dan apatis. Kebosanan adalah ketidakmampuan seseorang untuk membangkitkan minat, sedangkan apatis merupakan ketidakmampuan untuk mengambil prakarsa. Penghayatan-penghayatan seperti digambarkan di atas mungkin saja tidak terungkap secara nyata, tetapi menjelma dalam berbagai upaya kompensasi dan kehendak yang berlebihan untuk berkuasa (the will to power), bersenang-senang mencari kenikmatan (the will to pleasure) termasuk kenikmatan seksual (the will to sex), bekerja (the will to work) dan mengumpulkan uang (the will to

money). Dalam perilaku dan kehendak yang berlebihan itu biasanya

(32)

neuroris noogenik, karakter totaliter, dan karakter konformis (Bastaman, 2007: 80-21).

Mereka yang menghayati hidup bermakna menunjuk-kan corak kehidupan penuh dengan semangat dan gairah hidup serta jauh dari perasaan hampa dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Tujuan hidup, baik tujuan jangka pendek maupun jangka panjang, jelas bagi mereka. Dengan demikian, kegiatan-kegiatan merekapun menjadi lebih terarah serta mereka sendiri dapat merasakan kemajuan-kemajuan yang telah mereka capai. Kalaupun mereka pada suatu saat berada dalam situasi yang tak menyenangkan atau mereka sendiri mengalami penderitaan, mereka akan menghadapinya dengan sikap tabah serta sadar bahwa senantiasa ada hikmah yang “tersembunyi” di balik penderitaannya itu. Mereka benar-benar menghargai hidup dan kehidupan, karena mereka menyadari bahwa hidup dan kehidupan itu senantiasa menawarkan makna yang harus mereka penuhi. Bagi mereka kemampuan untuk menentukan tujuan-tujuan pribadi dan menemukan makna hidup merupakan hal yang sangat berharga dan tinggi nilainya serta merupakan tantangan untuk memenuhinya secara bertanggungjawab. Mereka mampu untuk mencintai dan menerima cinta kasih orang lain serta menyadari bahwa cinta kasih merupakan salah satu hal yang menjadikan hidup ini bermakna (Bastaman, 2007: 85-87).

(33)

oleh kehidupanlah penghayatan hidup bermakna tercapai dengan kepuasan dan kebahagiaan sebagai ganjarannya.

Kebahagiaan

Hidup bermakna

Terpenuhi

Hasrat hidup

bermakna

Tak terpenuhi

Hidup tak bermakna

Neurosis noogenik

Otoriter, konformis

B. Remaja

1. Definisi Remaja

Menurut Hurlock (Ali dan Asrori, 2004: 9) istilah remaja, yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa Latin adolesceie yang artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai

kematangan”. Istilah adolescence sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik.

(34)

terjadi berkisar dari perkembangan fungsi seksual, proses berpikir abstrak sampai pada kemandirian.

Masa remaja dianggap sebagai masa topan-badai dan stres (storm and stress), karena mereka telah memiliki keinginan bebas untuk

menentukan nasib diri sendiri. Kalau terarah dengan baik, maka ia akan menjadi seorang individu yang memiliki rasa tanggungjawab. Tetapi kalau tidak terbimbing, maka bisa menjadi seorang yang tak memiliki masa depan dengan baik. Usia remaja antara 12 sampai usia 23 tahun.

Penggolongan remaja menurut Thornburg (Dariyo, 2004: 14) terbagi 3 (tiga) tahap, yaitu: (a) remaja awal (usia 13-14 tahun), (b) remaja tengah (usia 15-17 tahun), (c) remaja akhir (usia 18-21 tahun). Masa remaja awal umumnya individu telah memasuki pendidikan di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Masa remaja tengah, individu sudah duduk di sekolah menengah atas (SMA). Mereka yang tergolong remaja akhir umumnya sudah memasuki dunia perguruan tinggi atau lulus SMA dan mungkin sudah bekerja.

2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Perkembangan Remaja

(35)

mempengaruhi perkembangan individu (bersifat dichotomi), yakni: (1) endogen dan (2) eksogen dan (3) interaksi antara endogen dan eksogen.

a) Faktor endogen (nature). Dalam pandangan ini dinyatakan bahwa

perubahan-perubahan fisik maupun psikis dipengaruhi oleh faktor internal yang bersifat herediter yaitu yang diturunkan oleh orangtuanya, misalnya: postur tubuh (tinggi badan), bakat-minat, kecerdasan, kepribadian dan sebagainya. Perlu diketahui bahwa kondisi fisik, psikis atau mental yang sehat, normal dan baik menjadi predisposisi bagi perkembangan berikutnya. Hal itu menjadi modal bagi individu agar mampu mengembangkan kompetensi kognitif, afektif maupun kepribadian dalam proses penyesuaian diri (adjustment) di lingkungan hidupnya.

b) Faktor eksogen (nurture). Pandangan faktor eksogen menyatakan

(36)

dengan kehangatan kasih sayang dan perhatian akan memungkinkan anak untuk mengembangkan rasa percaya (basic trust) kepada lingkungannya. Sebaliknya, mereka yang tak memperoleh kasih sayang dengan baik, cenderung menjadi anak yang sulit mempercayai lingkungannya. Dengan demikian, rasanya akan sulit untuk mengembangkan potensi kognitif maupun kemampuan yang lain.

c) Interaksi antara endogen dan eksogen. Dalam kenyataannya,

masing-masing faktor tersebut tak dapat dipisahkan. Kedua faktor itu saling berpengaruh sehingga terjadi interaksi antara faktor internal maupun eksternal yang kemudian membentuk dan mempengaruhi perkembangan individu. Para ahli perkembangan sekarang (Berk, Gunarsa dan Gunarsa, Papalia, Olds dan Feldman, dan Santrock) menyakini bahwa kedua faktor internal (endogen) maupun eksternal (eksogen) tersebut mempunyai peran yang sama besarnya bagi perkembangan dan pertumbuhan individu.

Skema Interaksi Endogen-Eksogen dalam Perkembangan Individu

Endogen-internal Eksogen-eksternal

(37)

3. Ciri-ciri Masa Remaja

Masa remaja seringkali dikenal dengan masa mencari jati diri, oleh Erickson (Ali dan Asrori, 2004: 16) disebut dengan identitas ego (ego identity). Hal ini terjadi karena masa remaja merupakan peralihan antara

masa kehidupan anak-anak dan masa kehidupan orang dewasa. Ditinjau dari segi fisiknya mereka sudah bukan anak-anak lagi melainkan sudah seperti orang dewasa, tetapi jiwa mereka diperlakukan sebagai orang dewasa, ternyata belum dapat menunjukkan sikap dewasa.

Oleh karena itu, ada sejumlah sikap yang sering ditunjukkan oleh remaja yaitu sebagai berikut: (Ali dan Asrori, 2004: 16-18)

a) Kegelisahan

Sesuai dengan fase perkembangannya, remaja mempunyai banyak idealisme, angan-angan atau keinginan yang hendak diwujudkan di masa depan. Namun sesungguhnya remaja belum memiliki banyak kemampuan yang memadai untuk mewujudkan semua itu. Seringkali angan-angan dan keinginannya jauh lebih besar dibandingkan kemampuannya. Tarik-menarik antara angan-angan yang tinggi dengan kemampuannya yang masih belum memadai mengakibatkan mereka diliputi oleh perasaan gelisah.

b) Pertentangan

(38)

sering mengalami kebingungan karena sering terjadi pertentangan pendapat antara mereka dengan orangtua. Pertentangan yang sering terjadi itu menimbulkan keinginan remaja untuk melepaskan diri dari orangtua, kemudian ditentangnya sendiri karena di dalam diri remaja ada keinginan untuk memperoleh rasa aman.

c) Mengkhayal

Biasanya keinginan untuk menjelajah dan berpetualang pada masa remaja tidak semuanya tersalurkan, hal ini dikarenakan hambatan dari segi keuangan atau biaya. Keinginan untuk menjelajah lingkungan sekitar yang luas akan membutuhkan biaya yang banyak, padahal kebanyakan remaja hanya memperoleh uang dari pemberian orangtuanya. Akibatnya, mereka lalu mengkhayal, mencari kepuasan, bahkan menyalurkan khayalannya melalui dunia fantasi. Khayalan ini kadang-kadang menghasilkan sesuatu yang bersifat konstruktif, misalnya tumbuh ide-ide tertentu yang dapat direalisasikan.

d) Aktivitas berkelompok

(39)

kegiatan secara berkelompok sehingga berbagai kendala dapat diatasi bersama-sama.

e) Keinginan mencoba segala sesuatu

Pada umumnya remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi (high curiosity) karena didorong oleh rasa ingin tahu yang tinggi, remaja cenderung ingin berpetualang, menjelajah segala sesuatu dan mencoba segala sesuatu yang belum pernah dialaminya. Selain itu didorong juga oleh keinginan seperti orang dewasa menyebabkan remaja ingin mencoba melakukan apa yang sering dilakukan oleh orang dewasa. Bagi remaja yang sangat penting adalah mendapatkan bimbingan agar rasa ingin tahunya yang tinggi dapat terarah kepada kegiatan-kegiatan yang positif, kreatif dan produktif.

4. Tugas-tugas Perkembangan Remaja

Tugas-tugas perkembangan remaja, menurut Havighurst (Dariyo, 2004: 78-79) ada beberapa, yaitu sebagai berikut:

(40)

b. Belajar bersosialisasi sebagai seorang laki-laki maupun perempuan. Dalam hal ini, remaja diharapkan dapat bergaul dan menjalin hubungan dengan individu lain yang berbeda jenis kelamin, yang didasarkan atas saling menghargai dan menghormati antara satu dengan yang lainnya tanpa menimbulkan dampak yang negatif. Pergaulan dengan lawan jenis ini sebagai sesuatu hal yang amat penting karena dianggap sebagai upaya untuk mempersiapkan diri guna memasuki kehidupan pernikahan nanti/kelak.

c. Memeroleh kebebasan secara emosional dari orangtua dan orang dewasa lain. Ketika sudah menginjak remaja, individu memiliki hubungan pergaulan yang lebih luas, dibandingkan dengan masa anak-anak sebelumnya yaitu selain dari teman-teman, tetangga, teman sekolah tetapi juga dari orang dewasa lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa individu remaja tidak lagi bergantung pada orangtua. Bahkan mereka menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bergaul bersama dengan teman-temannya (peer group) dibandingkan kehidupan remaja dengan keluarganya.

(41)

masa dimana remaja berusaha untuk mencari bekal pengetahuan dan keterampilan/keahlian guna mewujudkan cita-citanya, agar menjadi seorang ahli yang profesional di bidangnya. Warga negara yang bertanggungjawab ditandai dengan kepemilikan taraf keahlian dan profesi yang dapat disumbangkan oleh seorang individu untuk mengembangkan dan memajukan seluruh warga masyarakat. Hal itu wajar dan dimaksudkan agar remaja dipersiapkan dan mempersiapkan diri secara matang dengan sebaik-baiknya.

e. Memperoleh kemandirian dan kepastian secara ekonomis. Tujuan utama individu melakukan persiapan diri dengan menguasai ilmu dan keahlian tersebut adalah untuk dapat bekerja sesuai dengan bidang keahlian dan memperoleh penghasilan yang layak sehingga dapat menghidupi diri sendiri maupun keluarganya nanti. Sebab keinginan terbesar seorang individu (remaja) adalah menjadi orang yang mandiri dan tak bergantung dari orangtua secara psikis maupun ekonomis (keuangan). Hal ini yang seringkali membuat remaja mengambil keputusan dengan cara bekerja paruh waktu, di sela-sela jam belajarnya (part time), misalnya: menjaga toko, memberi les privat untuk pelajaran SD/SMP dan sebagainya.

(42)

(kiai, pendeta, pastur) maupun lembaga sosial lainnya dapat mengambil peran untuk menciptakan generasi muda yang berkualitas, yaitu suatu generasi yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan atau keahlian tinggi, memiliki kepribadian yang berbudi luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika dan agama serta dapat berbakti dan menjunjung tinggi nama bangsa

C. Orangtua

Peranan tokoh ayah dan tokoh ibu (sebagai orangtua) sangatlah penting. Selain membina suasana keluarga yang harmonis dan rukun, orangtua juga berperan sebagai pembina perkembangan anak supaya menjadi pribadi yang dewasa (Manurung, 1995: 88). Orangtua (ayah dan ibu) menjadi teladan atau panutan pertama yang akan ditiru dan sebagai peletak dasar hati nurani bagi anak-anak mereka.

(43)

D. Pernikahan

1. Pengertian Pernikahan

Pernikahan (marriage) merupakan ikatan kudus (suci/sakral) antara pasangan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah menginjak atau telah memiliki umur cukup dewasa. Pernikahan dianggap sebagai ikatan kudus (holly relationship), karena hubungan pasangan antara seorang laki-laki dan seorang wanita telah diakui secara sah dalam hukum agama (Dariyo, 2003: 154).

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 (dalam Walgito, 2004: 11-13), yang dimaksud dengan pernikahan adalah “ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan lahir adalah ikatan yang nampak, ikatan formal yang sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada. Ikatan batin adalah ikatan yang tidak nampak secara langsung. Ikatan ini merupakan ikatan psikologis antara suami-isteri. Ikatan ini harus ada antara suami-isteri, mereka harus saling mencintai satu dengan yang lain sehingga tidak ada paksaan dalam perkawinan.

2. Tujuan Pernikahan

(44)

melengkapi, supaya masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya sehingga tercapailah kesejahteraan spiritual dan material. Dengan saling membantu dan melengkapi antara suami-isteri, diharapkan dapat tercipta persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban yang memungkinkan berkembangnya kepribadian masing-masing suami-isteri demi tercapainya tujuan pernikahan yang bahagia dan sejahtera.

Tanpa adanya kesatuan tujuan di dalam keluarga dan tanpa adanya kesadaran bahwa tujuan itu harus dicapai bersama-sama, maka dapat dibayangkan bahwa keluarga itu akan mudah mengalami hambatan-hambatan yang akhirnya akan dapat menuju keretakan keluarga, yang dapat berakibat lebih jauh. Tujuan pernikahan merupakan titik tuju bersama yang akan diusahakan untuk dapat dicapai secara bersama-sama.

Di samping tujuan perkawinan itu adalah membentuk keluarga yang bahagia, tetapi juga bersifat kekal. Hal ini berarti bahwa dalam perkawinan perlu diinsafi sekali menikah untuk seterusnya, berlangsung untuk seumur hidup dan untuk selama-lamanya.

E. Perceraian

1. Pengertian Perceraian

(45)

hubungan antara dua orang yang pernah hidup bersama sebagai pasangan suami isteri.

2. Faktor-faktor Penyebab Perceraian

Menurut Dariyo (2003: 165-167) beberapa faktor yang menyebab-kan terjadinya perceraian suami-isteri, diantaranya adalah sebagai berikut: a) Masalah keperawanan (virginity)

Isteri yang dinikahi seorang suami ternyata sebelumnya sudah tidak perawan lagi. Hal ini berlaku untuk suatu daerah atau wilayah yang menjunjung tinggi nilai sosial-budaya bahwa keperawanan merupakan faktor penting dalam pernikahan.

b) Ketidaksetiaan salah satu pasangan hidup

Salah satu pasangan hidup (suami atau isteri) ternyata menyeleweng atau selingkuh dengan pasangan lain. Keberadaan orang ketiga (perempuan lain atau lelaki lain) memang akan mengganggu kehidupan pernikahan.

c) Tekanan kebutuhan ekonomi keluarga

(46)

keluarga. Untuk menyelesaikan masalah itu, kemungkinan seorang isteri menuntut cerai dari suaminya.

d) Tidak mempunyai keturunan

Kemungkinan karena tidak mempunyai keturunan walaupun menjalin hubungan pernikahan bertahun-tahun dan berupaya kemana-mana untuk mengusahakannya, namun tetap saja gagal. Guna menye-lesaikan masalah itu, mereka sepakat mengakhiri pernikahan itu dengan bercerai dan masing-masing menentukan nasib sendiri.

e) Salah satu pasangan hidup meninggal dunia

Setelah meninggal dunia dari salah satu pasangan hidup, secara otomatis keduanya bercerai. Apakah kematian tersebut disebabkan oleh faktor sengaja (bunuh diri) ataupun tidak sengaja (kecelakaan, sakit, mati karena bencana alam) tetap mempengaruhi terjadinya perpisahan (perceraian) suami-isteri.

f) Perbedaan prinsip, ideologi atau agama

Setelah pasangan memasuki jenjang pernikahan dan kemudian memiliki keturunan, mereka baru menyadari adanya perbedaan-perbedaan (perbedaan-perbedaan prinsip, agama atau keyakinan). Masalah mulai timbul ketika perbedaan-perbedaan itu tidak dapat diselesaikan dengan baik sehingga perceraianlah jalan terakhir bagi mereka.

3. Dampak Perceraian pada Anak

(47)

mengemukakan bahwa anak-anak yang orangtuanya bercerai sering hidup menderita, khususnya dalam hal keuangan serta secara emosional kehilangan rasa aman. Menurut Bumpass dan Rindfuss (dalam Ihromi, 2004: 161) menunjukkan bahwa dari beberapa studi diketahui bahwa anak-anak dari orangtua yang bercerai cenderung mengalami pencapaian tingkat pendidikan dan kondisi ekonomi yang rendah serta mengalami ketidakstabilan dalam perkawinan mereka sendiri.

Selain itu, menurut hasil penelitian Tobin-Richards, dkk (dalam Dariyo, 2004: 24) dikatakan bahwa remaja yang orangtuanya sudah bercerai cenderung akan mudah merasa depresif daripada remaja yang orangtuanya tidak bercerai (rukun bersatu). Remaja yang orangtuanya bercerai akan menderita karena mereka ikut merasakan sakit hati, sebab beban emosional akibat perpisahan antara kedua orangtuanya melekat di dalam hati, perasaan maupun pikirannya. Akibatnya selama belajar, mereka tidak dapat berkonsentrasi, mudah lupa dan prestasi belajarnya menurun drastis. Cole (2004: 20) juga mengatakan bahwa remaja yang tidak mampu menerima perceraian orangtuanya, biasanya mengungkapkan perasaan dan penolakannya dengan berbagai bentuk kenakalan, antara lain: penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan, membolos, bergabung dengan geng-geng, merokok, dan melarikan diri dari rumah.

(48)

anak berada dalam asuhan dan perawatan ibu. Selain itu, anak-anak yang orangtuanya bercerai merasa malu dengan perceraian tersebut. Mereka menjadi inferior terhadap anak-anak lain. Terkadang tidak jarang mereka berbohong dengan mengatakan bahwa orangtua mereka tidak bercerai atau bahkan menghindari pertanyaan-pertanyaan tentang perceraian orangtua mereka.

(49)

34

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metodologi Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini diawali dengan adanya fakta di lapangan atau adanya suatu fenomena yang ditemukan oleh peneliti. Fakta yang ditemukan oleh peneliti adalah meningkatnya jumlah remaja yang orangtuanya bercerai dalam masyarakat kita. Perceraian yang terjadi pada kedua orangtua mengakibatkan perhatian dan kasih sayang yang diberikan orangtua terhadap anaknya menjadi berkurang. Hal itu membuat remaja terluka, marah, terabaikan, dan merasa tidak dicintai. Pengalaman ini akan terus menetap di hatinya sampai yang bersangkutan menjadi dewasa, bahkan perasaan berbeda dari teman-teman sebayanya memungkinkan dirinya untuk tidak lagi mampu melihat adanya makna dalam hidupnya.

(50)

bercerai. Dengan demikian penelitian yang paling tepat untuk menjelaskan fakta yang ada adalah dengan penelitian kualitatif, tujuannya agar dapat mengetahui sesuatu yang tersembunyi di balik fakta dan mendapat penjelasan secara terperinci.

Menurut Moleong (2007: 8-13), penelitian kualitatif ini memiliki beberapa karakteristik, antara lain:

1. Latar alamiah, maksudnya adalah latar belakang penelitian tidak dibuat-buat tetapi berdasarkan kenyataan yang ada sebagai keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya.

2. Manusia sebagai alat (instrumen) kunci, karena jika menggunakan alat yang bukan manusia serta terlebih dahulu dipersiapkan seperti halnya penelitian kuantitatif, maka sangat tidak mungkin untuk mengadakan penyesuaian dengan kenyataan-kenyataan yang ada di lapangan.

3. Metode kualitatif, metode ini dipergunakan karena adanya beberapa pertimbangan, yaitu: akan lebih mudah mengadakan penyesuaian jika ada kenyataan ganda; menyajikan secara langsung hakekat hubungan antara peneliti dengan responden; metode ini dapat memberikan pemahaman lebih tentang pola-pola nilai yang dihadapi, dalam hal ini makna perilaku responden.

(51)

kenyataan ganda dari data yang dikumpulkan; hubungan peneliti dengan responden menjadi lebih eksplisit, dapat dikenal, dan dapat diandalkan; dan dapat mempertajam hubungan-hubungan.

5. Deskriptif, maksudnya adalah data yang dikumpulkan berupa kata-kata dan bukan angka-angka, dengan demikian laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. 6. Lebih mementingkan proses daripada hasil. Hal ini disebabkan oleh

hubungan bagian-bagian yang diteliti akan jauh lebih jelas bila diamati dalam proses.

7. Desain bersifat sementara, desain akan terus-menerus disusun sesuai dengan kenyataan di lapangan. Alasannya adalah tidak bisa dibayangkan sebelumnya, mengenai kenyataan-kenyataan ganda yang ada dilapangan; tidak bisa diketahui sebelumnya, hal-hal yang mungkin akan berubah, tergantung interaksi antara peneliti dengan kenyataan. Desain penelitian dibuat secara sistematis dan berdasarkan teori Victor Frankl. desain penelitian dijabarkan pada langkah-langkah penelitian (adapun lembaran langkah-langkah penelitian dapat dilihat pada lampiran).

B. Subjek Penelitian

(52)

dilihat dari aspek: rentang usia masa remaja yang telah ditentukan, perbedaan jenis kelamin, dan latar belakang orangtua yang bercerai.

Empat orang responden terdiri dari dua perempuan dan dua laki-laki. Dasar pemilihan subjek penelitian, dengan jenis kelamin yang berbeda bertujuan untuk melihat sejauh mana perbedaan mereka dalam menyikapi dan memaknai hidupnya, walaupun dengan latar belakang keluarga yang sama.

Dua responden berasal dari tingkat pendidikan menengah atas (SMA), satu responden berasal dari tingkat mahasiswa, dan satu responden lagi berasal dari tingkat pendidikan SMA, yang sudah bekerja menjadi salah satu karyawan toko. Pemilihan responden dengan latar belakang pendidikan dan pekerjaan hanya sebuah kebetulan saja, karena faktor utama yang mendasari adalah rentang usia subjek peneliti, yang telah ditentukan oleh penulis (rentang usia remaja).

Penulis menemukan subjek penelitian, yaitu Gogok, Mamat dan Lala dari referal guru bimbingan dan konseling di sekolah masing-masing responden. Titi adalah satu-satunya dari keempat responden yang bekerja, dan penulis menemukan responden ketika mereka bekerja bersama.

C. Metode dan Alat Pengumpulan Data

(53)

Diselenggarakannya wawancara mendalam memungkinkan para responden membahas secara mendalam sebuah subjek (Basuki, 2006: 173). Lebih lanjut menurut Basuki (2006, 173), tujuan wawancara mendalam ini adalah mengumpulkan informasi yang kompleks, yang sebagian besar berisi pendapat, sikap dan pengalaman pribadi (adapun lembaran pedoman wawancara dapat dilihat pada lampiran).

Tentu saja observasi terhadap perilaku non verbal (adapun lembaran pedoman observasi perilaku non verbal dapat dilihat pada lampiran) juga menjadi salah satu alat untuk memperkaya data yang dibutuhkan, dengan demikian akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari responden dan perilaku yang diamati secara menyeluruh. Di samping menggunakan teknik wawancara mendalam dan observasi terhadap perilaku non verbal, peneliti juga mengadakan observasi partisipasi. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai responden yang diteliti.

D. Langkah-langkah/ Tahap Penelitian

Langkah-langkah atau tahap-tahap penelitian kualitatif yang peneliti rencanakan terdiri atas 4 (empat), tahap yaitu: tahap pra-lapangan, tahap kegiatan lapangan, tahap analisis intensif, dan tahap penulisan laporan (Moleong, 2007: 127-154).

1. Tahap Pra Lapangan

(54)

a. Menyusun rancangan penelitian, yaitu dengan mengajukan proposal penelitian, seperti yang disusun peneliti saat ini.

b. Memilih lapangan penelitian dan mulai penelitian setelah proposal penelitian disetujui.

c. Mengurus perijinan, dalam hal ini peneliti meminta kesediaan subjek untuk dijadikan subjek penelitian dan hasilnya akan dijadikan bahan penulisan skripsi.

d. Memilih dan memanfaatkan informan, yaitu orang yang dapat memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian (dapat mewawancarai orangtua subjek atau orang-orang yang kenal dekat dengan subjek).

e. Menyiapkan perlengkapan penelitian (mempersiapkan alat seperti tape untuk merekam pembicaraan yang akan diadakan, notebook, untuk mencatat hal-hal yang sekitarnya tidak dapat direkam oleh alat perekam, misalnya bahasa non verbal responden). Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah jalannya wawancara.

Satu lagi yang tidak dapat ditinggalkan yaitu etika penelitian antara peneliti dengan responden (misalnya jika nama tidak ingin disebut, maka memakai nama samaran).

2. Tahap Kegiatan Lapangan

(55)

3. Tahap Analisis Intensif

Tahap ini akan dimulai setelah data terkumpul. Tahap ini meliputi, kegiatan membaca, menelaah dan mempelajari data yang terkumpul. Tahap analisis intensif ini dapat dilihat dalam pokok bahasan teknik analisis data.

4. Tahap Penulisan Laporan

Tahap ini dilakukan setelah semua data tersusun dan diolah dengan baik. Setelah itu baru dapat ditarik kesimpulan yang tepat apakah data yang sudah dianalisis tadi menjawab permasalahan/fokus penelitian atau tidak.

E. Sumber Data/Responden

Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian kualitatif maka sumber data yang dipakai oleh peneliti adalah kata-kata dan tindakan. Kata-kata dan tindakan yang mencerminkan makna hidup pada diri seseorang adalah kata-kata dan tindakan yang positif yang mereka tunjukkan dalam kehidupannya. Pencatatan sumber data melalui wawancara dan pengamatan berperan serta.

F. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

(56)

keabsahannya agar memperoleh derajat kepercayaan (credibility) yang tinggi, yaitu dengan:

1. Perpanjangan Keikutsertaan

Keikutsertaan peneliti sangat menentukan dalam pengumpulan data, dan tidak hanya dilakukan dalam waktu singkat, tetapi memerlukan perpanjangan keikutsertaan peneliti pada latar peneliti. Tujuannya adalah membina hubungan antar pribadi antara peneliti dengan responden, dengan demikian diperoleh kepercayaan yang mendalam dari responden.

2. Ketekunan Pengamatan

Ketekunan pengamatan dimaksudkan untuk menemukan ciri-ciri atau unsur-unsur yang sangat relevan dan kemudian memfokuskan diri pada hal-hal tersebut secara lebih rinci. Dengan demikian perlu diadakan pengamatan lebih rinci dan teliti secara berkesinambungan terhadap faktor tersebut ditelaah sehingga pada akhirnya akan nampak pada tahap awal pemeriksaan, salah satu atau keseluruhan faktor dapat dipahami dengan cara biasa.

3. Triangulasi

(57)

G. Teknik Analisis/Pengolahan Data

Teknik analisis yang dipakai pada penelitian yang dilakukan adalah teknik analisis data kualitatif. Menurut Miles dan Huberman (Sumaryono, 2001: 21), teknik analisis data kualitatif adalah data yang muncul dari penelitian kualitatif berwujud kata-kata bukan rangkaian angka. Data itu dikumpulkan dengan menggunakan wawancara secara mendalam. Setelah data dikumpulkan maka langkah selanjutnya adalah melakukan analisis data, yang terbagi dalam 3 (tiga) tahap, yaitu:

1. Reduksi data, diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan tertulis di lapangan.

2. Penyajian data adalah sekumpulan informasi yang tersusun dan memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan.

(58)

43

BAB IV

INFORMASI TENTANG RESPONDEN,

LAPORAN HASIL OBSERVASI DAN WAWANCARA

SERTA PEMBAHASAN

Dalam bab ini disajikan informasi mengenai responden yang diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara mendalam, observasi partisipasi dan observasi tingkah laku non verbal yang tidak terstruktur. Laporan hasil wawancara dan observasi disajikan dalam bentuk catatan lapangan (Faisal, 1990: 109-118).

A. Hasil Observasi Partisipasi

Dari keempat responden yang menjadi subyek penelitian, salah satunya adalah seorang penjaga toko yang bekerja di salah satu toko di Yogyakarta, yaitu Titi. Ia bekerja bukan karena keinginannya tetapi karena tuntutan ekonomi keluarga. Satu responden lagi adalah mahasiswa salah satu PTS di Yogyakarta. Dua responden lainnya adalah siswa-siswi tingkat SMU. Data dan informasi yang diperoleh berasal dari hasil observasi partisipasi (data hasil observasi partisipasi dapat dilihat pada lampiran).

B. Hasil Observasi Nonverbal

(59)

lebih mudah terlihat dan ditemukan pada saat wawancara berlangsung. Dari keempat responden yang menjadi subyek penelitian, mereka lebih banyak menunjukkan perilaku nonverbal, seperti: senyuman kecut, sorot mata menerawang dan terdiam).

Mimik/ekspresi wajah yang sering muncul pada diri responden adalah sebagai berikut (data hasil observasi nonverbal tercakup di dalam hasil wawancara):

Nama Perilaku Nonverbal Interpretasi Penulis

Mamat 1. Sorot mata menerawang dan terdiam

2. Tersenyum malu

1. Mengingat kembali tentang sosok ayah dan ibunya (merenung), perasaan sedih yang meliputi responden karena mengenang perceraian orangtuanya.

2. Sikap menerima pujian dari penulis mengenai pemikirannya

Gogok 1. Tersenyum simpul

2. Tersenyum kecut

1. Sikap menerima pujian dari penulis

(60)

3. Sorot mata tajam

sikapnya kurang tepat dalam menyikapi kejadian yang menimpanya.

3. Menyatakan sikap bahwa

responden pernah bertanya, kecewa dan marah pada Tuhan.

Lala 1. Mata sedih

2. Senyum manis

3. Bersikap malu-malu

1. Menyesuaikan ungkapan perasaan responden yang sedih mengenai ibunya.

2. Ungkapan perasaan responden bahwa ia akan memberikan yang terbaik mengenai dirinya.

3. Ungkapan persetujuan responden, karena dirinya belum bisa melaksanakan kewajibannya dengan tepat.

(61)

2. Pandangan mata menerawang

3. Cengar-cengir

pada ibunya, ungkapan

penerimaan pada peneliti/penulis, dan ungkapan rasa senang karena responden pernah mengenal penulis.

2. Ungkapan putus asa dan sedih ketika perceraian orangtuanya terjadi.

3. Ungkapan persetujuan bahwa responden tidak taat beribadah.

C. Hasil Wawancara

Hasil wawancara dari keempat responden adalah sebagai berikut: 1.Responden Mamat

Catatan Lapangan I

Tanggal : 13 Januari 2009 Waktu : 09.19 – 11.00 WIB Lokasi/Tempat : Kapel USD

(62)

Penulisan Catatan : 13 Januari 2009

Mamat adalah salah satu remaja yang orangtuanya bercerai. Mamat adalah mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Yogyakarta. Perceraian orangtuanya terjadi saat Mamat berumur 8 tahun. Pada waktu itu Mamat menginjak Kelas III SD.

Mamat ingin kedua orangtuanya tidak bercerai dan dia juga ingin sekali dapat pergi bersama kedua orangtuanya. Mamat ingin kedua orangtuanya mengetahui bagaimana perasaannya saat mereka memilih untuk bercerai, dan kerugiannya untuk Mamat sebagai anak. Mamat mengatakan bahwa “apapun yang terjadi dalam hidup saya, semua itu tetap berarti”. “Saya percaya bahwa saya diciptakan dan dilahirkan atas rencana Tuhan”. “Saya menyadari bahwa saya masih memiliki adik dan saya berharap suatu saat nanti dia tidak seperti saya dulu”. “Saya percaya apapun yang terjadi pada keluarga saya, Tuhan pasti memberikan yang terbaik bagi kami”. “Saya masih ingin berusaha untuk membahagiakan orangtua dan semua orang yang dekat dengan saya”. “Saya sadar bahwa hidupku bukan hanya untuk disia-siakan”. “Saya ingin membuktikan pada orang lain bahwa keluarga saya masih dapat dipandang lebih baik walaupun keluarga saya bercerai, keluarga saya jelek atau tidak normal”. “mungkin perceraian ini merupakan keputusan mereka berdua dan mungkin keputusan yang diambil adalah jalan yang terbaik bagi mereka”.

(63)

kedua orangtua saya dan diri saya sendiri menjadi lebih baik dibandingkan saat mereka masih bersama-sama”. “Saya bersikap baik pada keluarga dan masyarakat di sekitar saya karena mereka selalu memberikan dukungan pada saya”. “Kehidupan itu bagi saya tidak selamanya dalam kondisi yang sama seperti apa yang kita harapkan, tetapi harapan itu dapat terjadi atau dapat dicapai apabila kita berusaha untuk menanggapi suatu masalah itu tidak hanya dengan emosional (marah)”. “Permasalahan itu dapat terselesaikan apabila dibicarakan berdua dan dengan keadaan baik, tidak perlu memakai emosi yang berlebihan”. “Menurut saya, semua yang terjadi pada kehidupan itu tergantung pada diri kita sendiri dalam menyikapi kehidupan itu, entah itu salah ayah ataupun ibu. Saya berusaha untuk berpikiran positif,”.

(64)

berarti, setidaknya saya bisa memberikan semangat pada mama untuk menghidupi saya dan saya merasa bahwa diri saya berarti untuk diri saya pribadi dan keluarga”. “Saya percaya bahwa saya diciptakan dan dilahirkan atas rencana Tuhan”. “Saya percaya apapun yang terjadi pada keluarga saya, Tuhan pasti memberikan yang terbaik bagi kami”. “Saya masih ingin berusaha untuk membahagiakan mama dan ayah”. “Tujuan hidup saya adalah membahagiakan semua yang dekat dengan saya”. “Saya sadar hidup saya bukan hanya untuk disia-siakan”. “Saya ingin membukti-kan pada orang lain bahwa keluarga saya masih dapat dipandang lebih baik, walaupun keluarga saya cerai, keluarga saya jelek atau tidak normal”.

2.Responden Gogok

Catatan Lapangan

Tanggal : 15 Januari 2009 Waktu : 13.00 – 16.41 WIB Lokasi/Tempat : Rumah Penulis Informan : Gogok

Penulisan Catatan : 15 Januari 2009

(65)

merupakan salah satu remaja dimana orangtuanya bercerai. Kedua orangtua Gogok bercerai ketika Gogok duduk di bangku Kelas III SMP dan menjelang EBTANAS.

Gogok tidak menginginkan adanya perceraian. Gogok ingin sekali dilahirkan di keluarga yang utuh, yang dapat memberikan rasa senang, perhatian yang lebih dan orangtua yang masih dapat bersatu. Gogok ingin menyatukan kedua orangtuanya kembali. Gogok ingin bersikap terbuka pada kedua orangtuanya.

Gogok meyakini bahwa setelah kedua orangtuanya bercerai, mereka sudah tidak mau mengurusinya lagi dan sudah tidak mau peduli.. “Buat apa saya harus berpikir panjang, sedangkan kedua orangtua saya sudah tidak peduli lagi. “Pikiranku menjadi buyar dan sudah tidak mempunyai masa depan. Saya tidak mau berpikiran apapun tentang kehidupan”.

(66)

lega dan tidak terbebani saat saya melampiaskan kekesalan saya pada hal yang negatif”.

Dengan berjalannya waktu dan sampai saat ini, Gogok mulai berpikir dan menyadari bahwa ternyata kedua orangtuanya masih peduli dengan dirinya. Ia dapat melihat itu semua dari sikap kedua orangtuanya yang masih sering menanyakan kabarnya. Gogok menambahkan bahwa dirinya yang sekarang sedang berproses dari hidupnya yang tidak baik menjadi lebih baik dan berarti.

Gogok mengatakan bahwa ia mulai berpikiran seperti itu setelah ia pindah sekolah. Saat ia pindah sekolah, ia merasa bahwa hidupnya mulai menemukan arti hidup sendiri. motivasi hidupnya saat ini adalah ia ingin hidup bahagia, tidak seperti hidup yang sekarang yang penuh dengan tekanan. Iapun ingin mencapai cita-citanya. Tidak hanya itu, Gogok pun mengungkapkan bahwa dirinya ingin memperjuangkan hidupnya agar ia dapat hidup bahagia dengan berusaha dan dapat meraih masa depan yang lebih baik.

3.Responden Lala

Catatan Lapangan

Tanggal : 07 Februari 2009 Waktu : 17.00 – 20.00 WIB

(67)

Penulisan Catatan : 07 Februari 2009

Lala adalah seorang anak perempuan yang lahir dan besar di kota Yogyakarta. Saat ini Lala berusia 17 tahun dan bersekolah di salah satu SMA di Yogyakarta. Lala adalah gadis yang baik. Untuk seorang gadis ia mempunyai tinggi badan yang cukup tinggi, kulitnya yang hitam manis menjadi ciri khas dirinya. Lala merupakan salah satu remaja, dimana orangtuanya bercerai. Kedua orangtuanya bercerai saat dirinya berusia 1,5 tahun. Sejak saat itu ia tinggal bersama ibu dan kakak laki-lakinya di sebuah kos-kosan yang ada di kawasan perkampungan di kota Yogyakarta. Maklum, ibu diberi kepercayaan untuk menjaga sebuah kos-kosan.

(68)

“Saya ingin segera lulus, mencari kerja dan membahagiakan ibu. Kehidupan saya tidak enak, karena saya dilahirkan dalam keluarga yang berantakan dan tidak punya apa-apa. Saya pun sudah terbiasa hidup dengan keluarga yang berantakan dan tidak punya apa-apa. Saya tahu bahwa hidup ini membutuhkan perjuangan dan usaha. Keadaan ekonomi keluarga kami kekurangan, jadi mau tidak mau saya juga harus berusaha agar biaya kebutuhan hidup kami dapat terpenuhi dan apa yang saya inginkan dapat terpenuhi dan apa yang saya inginkan dapat tercapai. Dalam perjalanan hidup saya, saya berusaha untuk menerima kenyataan hidup saya dan berusaha menjalani hidup saya dengan baik. Saya berpikiran bahwa mungkin kedua orangtua saya membuat kesalahan sehingga mereka tidak bisa mempertahankan keutuhan keluarga. Awalnya saya pernah menyesal dengan kejadian yang menimpa orangtua saya dan kehidupan saya susah serta keadaan keluarga yang berantakan, tetapi semakin lama saya menyadari mengapa saya harus terus menyesali kejadian yang menimpa hidup saya. Setelah lulus SMP, saya mulai sadar dan berusaha untuk menerima kenyataan hidup.

(69)

4. Responden Titi Catatan Lapangan

Tanggal : 01 Maret 2009 Waktu : 07.00 - 09.00 WIB

Lokasi/Tempat : Rumah Responden (Purworejo) Informan : Titi

Penulisan Catatan : 01 Maret 2009

Titi adalah seorang remaja yang baru saja lulus SMA dan sudah harus bekerja. Titi bekerja di sebuah toko tas di Yogyakarta, ia bekerja karena keadaan ekonomi keluarganya. Sebenarnya Titi ingin sekali melanjutkan sekolahnya ke Perguruan Tinggi, tetapi tidak ada biayanya. Titi juga merupakan salah satu remaja yang kedua orangtuanya bercerai. Kedua orangtuanya bercerai ketika ia masih kecil. Titi adalah puteri pertama dari 2 (dua) bersaudara.

Titi ingin sekali sekolah, tetapi sang ibu sudah tidak sanggup lagi membiayainya. Titi menginginkan keluarga yang utuh walaupun keadaan ekonominya serba pas-pasan. Titi ingin dapat bercakap-cakap bersama ayahnya. Titi mengakui bahwa ia pernah merasakan kehidupannya itu sudah tidak berharga dan tidak berguna lagi. Titi sempat merasakan bahwa tidak ada kebahagiaan untuk hidupnya. Titi sempat menyesal dengan keadaan hidupnya.

(70)

pada ibu. Apabila apa yang saya lakukan adalah hal yang baik untuk ibu, berarti hal tersebut juga baik untuk saya”. “Saya berpandangan bahwa ayah meninggalkan ibu pasti disertai dengan alasan tertentu. Saya mengambil hikmah dari pengalaman saya. Saya masih dapat mensyukuri dan merasa senang karena ibu saya memberikan kebebasan pada saya untuk memilih jalan hidup saya sendiri”

“Saya tidak ingin perceraian orangtua saya juga menimpa kehidupan saya, apalagi saat saya sudah mempunyai anak. Saya tidak ingin orangtua saya bersedih lagi dengan kejadian perceraian dan saya juga tidak ingin merepotkan mereka. Saya tidak ingin hidup saya seperti orangtua saya dan saya masih mempunyai pengharapan yang lebih besar dari kedua orangtua saya. Saya yakin bahwa setiap manusia bisa mengubah nasibnya sendiri, asalkan kita mau berusaha untuk menggapai harapan kita. Saya ingin mengubah nasib saya agar lebih baik dari keadaan yang sekarang saya alami dan saya sanggup untuk memperjuangkannya, karena dalam hidup saya, ibu dan kebahagiaan saya adalah hal yang paling penting di dalam hidup saya. Saya sadar ayah saya sudah menjadi orang yang sukses, tetapi saya berpikiran dan berusaha untuk bisa menjadi dewasa, tidak berharap pada sosok ayah. Saya percaya bahwa seperti apapun keadaan orangtua saya, mereka pasti mencintai saya”.

(71)

Terkadang saya membantu group band teman, berjualan aqua dan hasinya digunakan untuk membeli buku, serta sisanya untuk membeli baju.

C. Pembahasan

(72)

sesuatu yang sia-sia, melainkan sesuatu yang mengandung arti (Koeswara, 1992: 66-68, 88).

Kebermaknaan hidup dapat diwujudkan dalam sebuah keinginan untuk menjadi orang yang berguna bagi orang lain maupun diri sendiri (Allport, 2003). Kebermaknaan hiduplah yang membuat individu dapat bertahan dalam penderitaan hidupnya. Dengan adanya kebermaknaan hidup, individu diajak untuk terus berjuang dalam penderitaan hidupnya.

Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran mengenai sejauhmana remaja yang orangtuanya bercerai dapat memaknai hidupnya. Gambaran mengenai sejauhmana remaja yang orangtuanya bercerai dapat memaknai hidupnya, dapat dilihat dengan mendasarkan pada konsep dasar atau landasan filosofis logoterapi, yang terealisasi melalui nilai kreativitas, nilai eksperiensial dan nilai bersikap.

1. Konsep Dasar atau Landasan Filosofis Logoterapi

Gambaran mengenai sejauhmana remaja yang orangtuanya bercerai dapat memaknai hidupnya, dapat dilihat dengan mendasarkan pada konsep dasar atau landasan filosofis logoterapi, yaitu: kebebasan berkehendak (the freedom of will), hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning), dan makna hidup (the meaning of life) (Bastaman, 2007: 41)

a) Kebebasan Berkehendak (The freedom of will)

(73)

Referensi

Dokumen terkait

Pengolahan data secara terkomputerisasi juga mampu membantu dalam mengontrol penyetokan barang, mengontrol kadaluarsa barang, mengetahui barang apa yang paling

menentukan substrat yang terbaik untuk produksi xilanase dan menentukan waktu fermentasi optimum berdasarkan aktivitas, nilai aktivitas xilanase dinyatakan dalam satuan unit

Jatinangor, 3 Juli 2011 a.n Dekan. Pembantu Dekan

Kota Semarang sebagai salah satu kota yang memiliki struktur perekonomian yang kuat karena ditunjang dengan sektor industri dan perdagangan, selalu berusaha mengoptimalkan

Aluminum Chlorida (PAC) dari Limbah Aluminium Foil untuk Menurunkan Kekeruhan Air Sungai Je’neb erang ”, ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu, walaupun

Penelitian ini dilakukan dengan mengeksplorasi persepsi dan membandingkan antara persepsi perusahaan smartphone Samsung dan pengguna smartphone Samsung mengenai strategi

Dengan demikian dibutuhkan suatu sistem pertahanan didalam server itu sendiri yang bisa menganalisa langsung apakah setiap paket yang masuk tersebut adalah yang diharapkan

• ANAK TUNADAKSA ADALAH ANAK YANG MENGALAMI KELAINAN ATAU KECACATAN PADA SISTEM OTOT, TULANG, DAN PERSENDIAN KARENA KECELAKAAN, KONGENITAL, DAN ATAU KERUSAKAN OTAK YANG