1. Deskripsi
Menurut Santana (2007 : 191) deskripsi merupakan paparan pemikiran
teoritik melalui gambaran peristiwa yang dikenal masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari. Menurut Suryabrata (1985 : 19) deskripsi merupakan
suatu pencandraan mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian. Menurut
Nazir (2005 : 55) deskripsi yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara
sistematik sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan.
Menurut Moleong (2010 : 11) pada deskripsi data yang dikumpulkan adalah
berupa kata-kata, gambar, bukan angka-angka. Dari berbagai pendapat di atas
maka dapat disimpulkan bahwa deskripsi merupakan gambaran suatu
kejadian atau peristiwa secara faktual dan sistematis, sehingga dapat
dimengerti dan juga mempermudah untuk disimpulkan. Pada deskripsi ini
data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, bukan angka.
2. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
a. Masalah Matematika
Menurut Adji dan Maulana (2006 : 4) masalah matematika
merupakan suatu tantangan yang terdapat pada soal untuk diselesaikan,
tetapi jika kita tidak mau menerima sebagai tantangan berarti masalah
pada soal tersebut menjadi bukan masalah yang terselesaikan. Kata
terjadi berbagai tanggapan yang berbeda dalam menghadapi masalah
tertentu. Dalam hal ini terjadi perbedaan sikap terhadap suatu kejadian
atau kondisi tertentu. Dengan demikian akan terjadi perbedaan
penyikapan terhadap masalah tertentu, misalnya suatu pertanyaan
merupakan permasalahan bagi siswa tetapi mungkin bukan masalah
bagi guru, sebab siswa untuk menjawab pertanyaan tersebut
memerlukan proses yang rumit sedang bagi gurunya untuk menjawab
tersebut memerlukan proses penalaran yang rutin. Hal ini sesuai dengan
Shadiq (2004 : 10) bahwa masalah matematika merupakan pertanyaan
yang harus dijawab atau direspon. Namun tidak semua pertanyaan
otomatis akan menjadi masalah, akan tetapi suatu pertanyaan akan
menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukan adanya suatu
tantangan (challenge) yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur
rutin. Selanjutnya menurut Yaumi dan Ibrahim (2013 : 78) masalah
matematika merupakan suatu ketidaktahuan seseorang terhadap
permasalahan yang di hadapinya sehingga tidak tau bagaimana cara
menyelesaikannya sesuai dengan prosedur.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
masalah matematika merupakan suatu pertanyaan yang harus dijawab,
di atasi, dan diselesaikan, karena pada pertanyaan tersebut terdapat
sebuah tantangan yang mengakibatkan ketidaktahuan seseorangan
dalam menyelesaiakanya. Pada masalah matematika seseorang tidak
pada masalah matematika memerlukan suatu ketrampilan dan
kemampuan untuk memecahkannya. Pada pemecahan masalah juga
akan terjadi berbagai tanggapan juga dalam menghadapinya, karena
sesuatu akan menjadi masalah bagi anak belum tentu menjadi masalah
bagi orang dewasa.
b. Klasifikasi Masalah Matematika
Menurut Suherman dkk (2003 : 94) untuk memudahkan dalam
pemilihan soal, perlu dilakukan pembedaan antara soal rutin dan soal
tidak rutin. Soal rutin biasanya mencakup aplikasi suatu prosedur
matematika yang sama atau mirip dengan hal yang baru dipelajari.
Sedangkan pada masalah tidak rutin, untuk sampai pada prosedur
yang benar diperlukan pemikiran lebih mendalam. Berikut ini contoh
masalah rutin dan masalah non rutin sebagai berikut :
1) Contoh masalah non rutin
Seorang siswa diharuskan mengerjakan 6 dari 8 soal, tetapi nomor 1
sampai 4 wajib dikerjakan . Banyak pilihan yang dapat diambil oleh
siswa adalah
Jawab :
mengerjakan 6 dari 8 soal, tetapi nomor 1 sampai 4 wajib
dikerjakan
berarti tinggal memilih 2 soal lagi dari soal nomor 5 sampai 8
( )
2) Contoh masalah rutin
Tentukan nilai kombinasi dari 4C2
jawab :
( )
Menurut Adji dan Maulana (2006 : 7) masalah matematika dapat
dibedakan menjadi 4 yaitu antara lain :
1) Masalah translasi
Merupakan masalah kehidupan sehari-hari yang untuk
penyelesaikanya perlu adanya translasi (perpindahan) dari bentuk
verbal ke bentuk matematika. Dalam memindahkan bentuk verbal
(kata/kalimat) ke bentuk/model matematika membutuhkan
kemampuan penafsirkan atau menerjemahkan kata atau kalimat biasa
ke dalam simbol-simbol matematika yang selanjutnya dicari cara
penyelesaianya berdasarkan aturan yang berlaku. Dalam memidahkan
bentuk verbal ke model matematika ada yang bersifat sederhana dan
ada yang bersifat kompleks. Sederhana atau tidaknya tergantung dari
informasi (data) yang ada, konsep matematika yang ada, dan
Contoh :
Bila nilai kemungkinan hari esok akan turun hujan 0,45 berapakah
nilai kemungkinan bahwa cuaca akan menjadi cerah esok hari?
Kata kunci dalam soal tersebut adalah “kemungkinan hari esok akan turun hujan 0,45”. Kata “kemungkinan” diartikan sebagai peluang suatu kejadian”. Sehingga model matematika menjadi :
( ) ( )
2) Masalah aplikasi
Merupakan penerapan berbagai teori/konsep yang dipelajari
pada matematika. Sebagai guru perlu memberikan kesempatan pada
siswa untuk menyelesiakan masalah dengan menggunakan
macam-macam ketrampilan dan prosedur matematika. Dengan
menyelesaiakan masalah semacam itu siswa dapat menyadari
kegunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh :
Suatu kota kecil mempunyai satu mobil pemadam kebakaran dan satu
mobil ambulans untuk keadaan darurat. Peluang mobil kebakaran siap
yang diperlukan adalah dan peluang mobil ambulans siap pada
saat dipanggil adalah . Dalam kejadian kecelakaan karena
kebakaran gedung, hitung peluang mobil pemadam kebakaran dan
3) Masalah proses
Masalah proses biasanya untuk menyusun langkah-langkah
merumuskan pola dan stategi khususnya dalam menyelesaikan
masalah. Masalah semacam ini memberikan kesempatan siswa
sehingga dalam diri siswa terbentuk ketrampilan menyelesaikan
masalah sehingga dapat membantu siswa menjadi terbiasa menyeleksi
masalah dalam berbagai situasi. Dengan demikian siswa terbiasa
dengan strategi penyelesaian masalah khusus, misalnya menyusun
tabel, dan akan menggunakan waktu beberapa saat dalam menyelidiki
suatu permasalahan sehingga strategi tersebut dapat digunakan untuk
mengembangkan penyelesaian terhadap permasalahan yang dihadapi.
Contoh :
Dalam sebuah kantong terdapat 7 kelereng merah dan 3 kelereng biru .
Bila tiga buah kelereng diambil sekaligus maka peluang terambilnya
kelereng merah adalah
Permasalahan ini dituntut untuk mengetahui rumus yang
digunakan (dalam kasus tersebut adalah menggunakan aturan
peluang), untuk dapat menerapakannya harus mengetahui Banyak cara
mengambil 3 dari 7, Banyak cara mengambil 3 dari 10, Peluang
mengambil 3 kelereng merah sekaligus. Dengan demikian terlihatlah
4) Masalah teka-teki
Masalah teka-teki dimaksudkan untuk rekreasi dan kesenangan
serta sebagai alat yang bermanfaat untuk mencapai tujuan afektif
dalam pengajaran matematika. Masalah teka-teki dapat digunakan
untuk pengantar suatu pembelajaran, seperti untuk memusatkan
perhatian, untuk memberikan ganjaran (penguatan) atau mengisi
waktu kelas yang sedang tidak ada pelajaran (waktu luang). Masalah
teka-teki itu bervariasi sesuai dengan cabang matematika, seperti
logika, bilangan, kombinatorik, geometri. Dalam masalah teka-teki
biasanya tidak ada rumus atau cara khusus yang digunakan tetapi
apakah teka-teki tersebut masuk akal.
Contoh :
Dahulu kala, ada seorang putri raja yang cantik nan cerdas akan
dilamar oleh 2 pangeran dari negeri seberang. kedua pangeran ini
berwajah tampan, gagah, dan bermoral baik. Oleh karena bingung
memilih, Sang Putri meminta kedua pangeran memecahkan masalah
berikut.
Sang Putri berkata, “Saya memiliki 2 wadah berisi bola. Wadah I
berisi 3 bola merah dan 2 bola putih, wadah II berisi 3 bola hijau dan 5
bola biru. Dari masing – masing wadah diambil 2 bola sekaligus secara acak. Berapakah Peluang saya untuk mengambil 2 bola merah
Bagi pangeran yang paling cepat dan jawabannya benar, itulah jodoh
saya”, kata sang Putri. Coba selesaikan!
Dengan contoh-contoh permasalahan yang telah
dikemukakan, perlu kita bedakan antara “masalah” dan “soal latihan”. Apabila kita mengajarkan ketrampilan matematika, misalnya
menuliskan algoritma penjumlahan bilangan bulat dan pecahan
desimal, maka siswa berlatih algoritma dalam bentuk simbol.
Kegiatan semacam ini lebih baik dikatakan mengerjakan latihan soal.
Dalam kegiatan menyelesaikan masalah siswa tidak sekedar
mengerjakan algoritma, tetapi mereka menyusun strategi terlebih
dahulu sehingga masalah itu dapat diselesaikan.
Dari berbagai uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
pada soal masalah matematika harus dibedakan mana yang termasuk
masalah rutin dan mana yang termasuk masalah non rutin. Juga pada
masalah matematika adanya sebuah tantangan (challenge) untuk
diselesaikan. Oleh sebab itu, pada masalah matematika perlu adanya
translasi (perpindahan) dari bentuk verbal ke bentuk matematika. Juga
pada masalah matematika perlu adanya aplikasi dalam kehidupan
sehari-hari, karena masalah matematika yang berkaitan dengan
kehidupann sehari-hari akan melatih ketrampilan siswa dalam
menyelesaikanya. Juga pada masalah matematika perlu adanya proses,
karena dalam proses tersebut akan mengembangkan cara penyelesaian
teka-teki karena untuk mengatur pola pikir siswa dan juga sebagai
tantangan untuk diselesaikannya.
c. Pemecahan Masalah Matematika
Problem solving (bahasa inggris), terdiri dari dua kata : problem
dan solving. Kata problem merupakan kata benda (masalah), dan solving
merupakan kata kerja (pemecahan). Artinya kedua adalah “pemecahan masalah”. Oleh karena itu pemecahan masalah adalah mencari cara yang
tepat untuk mencari tujuan tertentu (Said dan Budimanjaya, 2015 : 120).
Hal ini sesuai dengan Solso (2007 : 37) Pemecahan masalah merupakan
suatu pemikiran yang terarah secara langsung untuk menemukan suatu
solusi atau jalan keluar untuk suatu masalah yang spesifik. Kita
menemukan banyak masalah dalam kehidupan sehari-hari kita, sehingga
kita akan membuat suatu cara untuk menanggapi, memilih, menguji
respons yang kita dapat untuk memecahkan suatu masalah.
Menurut Yaumi dan Ibrahim (2013 : 77) pemecahan masalah
(problem solving) adalah proses mental yang merupakan bagian dari
proses masalah yang lebih luas yang mencakup temuan dan pembentuk
masalah. Pemecahan masalah terjadi ketika suatu kondisi membutuhkan
perubahan dari kenyataan yang dihadapi menuju kondisi yang diinginkan.
Hal ini sesuai dengan Adji dan Maulana (2006 : 7) bahwa pemecahan
masalah merupakan proses penerimaan tantangan dan kerja keras untuk
Dari uraian di atas, maka pemecahan masalah adalah suatu usaha
yang dilakukan seseorang untuk mencari solusi dari berbagai
permasalahan yang dihadapinya agar mencapai tujuan tertentu atau cara
seseorang untuk mencari jalan keluar dalam menuju garis finish yang telah
ditentukan. Pada pemecahan masalah terjadi ketika suatu kondisi
membutuhkan perubahan dari kenyataan yang dihadapi menuju kondisi
yang diinginkan dengan usaha kerja keras.
Menurut Nasution (2000 : 170) Pemecahan masalah dipandang
sebagai proses dimana pelajar menemukan kombinasi aturan-aturan yang
telah dipelajarinya lebih dahulu yang digunakannya untuk memecahkan
masalah tidak sekedar menerapkan aturan-aturan yang diketahui, akan
tetapi juga menghasilkan pelajaran baru. Pada pemecahan masalah itu
langkah demi langkah dengan menggunakan aturan tertentu. Menurut
Susanto (2013 : 196) Proses merupakan faktor utama dalam pemecahan
masalah, pengertian proses dalam hal ini ialah ketika siswa belajar
matematika ada proses reinvention (menemukan kembali), artinya
prosedur, aturan yang harus dipelajari tidaklah disediakan dan diajarkan
oleh guru dan siswa siap menampungya, tetapi siswa harus berusaha
menemukannya. Dengan pemecahan masalah matematika ini siswa
melakukan kegiatan yang dapat mendorong berkembangannya pemahaman
dan penghayatan siswa terhadap prinsip, nilai, dan proses matematika.
Menurut Walgito (2010 : 199) dalam mencari pemecahan terhadap
seseorang kepada pemecahan masalah tersebut. Aturan ini akan
memberikan petunjuk untuk pemecahan masalah banyak aturan atau kaidah
dalam pemecahan masalah. Ada dua hal pokok aturan yaitu antara lain :
1) Algoritma merupakan suatu perangkat aturan, dan apabila aturan ini di
ikuti dengan benar maka akan ada jaminan adanya pemecahan masalah
terhadap masalahnya.
2) Horistik merupakan strategi yang biasanya didasarkan atas pengalaman
dalam menghadapi masalah, yang mengarah pada pemecahan
masalahnya tetapi tidak memberikan jaminan akan kesuksesan.
Hal ini sesuai dengan Adji dan Maulana (2006: 11) pada pemecahan
masalah non rutin itu harus diselesaikan dengan aturan/hukum tertentu yang
segera dapat digunakan untuk menemukan jawaban dari pertanyaan
tersebut. Jika pada pemecahan masalah tersebut tidak diselesaiakan dengan
aturan/hukum tertentu maka pemecahan masalah yang dilakukan tidak akan
menemukan jawaban.
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa, pemecahan
masalah itu menekankan untuk berfikir tentang cara memecahkan masalah
dan memproseskan informasi matematika. Dalam menghadapi masalah
matematika, khususnya soal cerita, siswa harus melakukan analisis dan
interpretasi informasi sebagai landasan untuk menentukan pilihan dan
keputusan. Dalam memecahkan masalah matematika, siswa harus
menggunakan ketrampilan komputasi/menghitung dalam berbagai situasi
baru yang berbeda.
d. Langkah-langkah pemecahan masalah
Menurut Adji dan Maulana (2006 : 25) kemampuan dalam
pemecahan masalah termasuk suatu ketrampilan, karena dalam pemecahan
masalah melibatkan segala aspek pengetahuan (ingatan, pemahaman,
penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi) dan sikap mau menerima
tantangan. Beberapa ketrampilan atau langkah-langkah untuk
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah antara lain :
1) Memahami Soal
Pada memahami soal, kita harus memahami dan mengidentifikasi
apa fakta atau informasi yang diberikan, apa yang ditanyakan, diminta
untuk dicari atau dibuktikan.
2) Memilih Pendekatan atau Strategi Pemecahan
Pada memilihan strategi pemecahan, misalkan menggambarkan
masalah dalam bentuk diagram, memilih dan menggunakan
pengetahuan aljabar yang diketahui dan konsep yang relevan untuk
membentuk model atau kalimat matematika.
3) Menyelesaikan Model
Pada menyelesaikan model, kita melakukan operasi hitung secara
benar dan menerapkan strategi, untuk mendapatkan solusi dari
4) Memeriksa Kembali
Memeriksa Kembali, yaitu kita harus memperkirakan dan
memeriksa kebenaran jawaban, masuk akalnya jawaban, dan apakah
memberikan pemecahan terhadap masalah semula.
Menurut Polya (1973) terdapat empat tahapan utama dalam proses
pemecahan masalah yaitu :
1) Memahami Masalah
Pada langkah ini, siswa harus dapat menentukan apa yang
diketahui, apa yang ditanyakan dalam masalah atau soal yang
diberikan. Hal ini harus dilakukan sebelum siswa menyusun rencana
penyelesaian dan melaksanakan rencana yang telah disusun. Jika salah
dalam mengenai apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dalam
soal maka akan mengalami kesulitan dalam menyusun rencana
penyelesaian.
2) Merancang Rencana
Setelah memahami soal yang diberikan, selanjutnya menyusun
rencana penyelesaian soal yang diberikan dengan mempertimbangkan
berbagai hal misalnya :
- Korelasi antara keterangan yang ada pada soal dengan unsur yang
ditanyakan
- Prosedur rutin atau rumus yang digunakan
3) Melaksanakan Rencana
Rencana yang telah tersusun selanjutnya dapat digunakan
untuk menyelesaikan soal dengan cara melaksanakan rencana yang
telah dibuat. Dalam melaksanakan rencana harus memeriksa setiap
langkah dan juga dapat dilihat bahwa langkah tersebut sudah benar
dan layak digunakan untuk penyelesaiannya.
4) Memeriksa Kembali
Hasil yang diperoleh dari melaksanakan rencana, kita dapat
memeriksa hasilnya, memeriksa argumen, dan dapat memperoleh
hasilnya dan juga dapat menggunakan hasilnya atau metodenya
untuk diterapkan pada masalah lain.
Menurut Shadiq (2004 : 11) untuk menyelesaikan masalah, ada
empat langkah penting yang harus dilakukan yaitu :
1) Memahami Masalahnya
Pada langkah ini, para siswa harus dapat menentukan dengan
jeli apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan, dan juga harus
mengetahui arah untuk pemecahan masalahnya.
2) Merencanakan Cara Penyelesaian
Untuk memecahkan masalah, harus memikirkan apa yang
harus dilakukan, dan bagaimana cara agar masalah tersebut
terselesaikan. Sehingga akan menemukan solusinya yang akan
3) Melaksanakan Rencana
Pada langkah ini, kita harus menggunakan strategi atau rencana
yang telah dibuatnya untuk menyelesaiakan permasalah tersebut.
4) Menafsirkan Hasilnya
Dalam menafsirkan hasil, harus menggunakan pengetahuan
untuk menentukan hasil yang diperoleh sesuai rencana yang telah
ditentukan.
Berdasarkan uraian langkah-langkah di atas menurut para ahli,
maka dapat disimpulkan, bahwa kemampuan pemecahan masalah
matematika itu dapat muncul ketika siswa menerapkan ketrampilan atau
langkah-langkah pemecahan masalah. Berikut ini langkah-langkah dengan
indikatornya yang akan digunakan untuk mengukur kemampuan
pemecahan masalah yaitu sesuai dengan langkah-langkah Polya (1973)
sebagai berikut:
Tabel 2.1 Indikator Kemampuan Pemecahan Masalah Berdaskan
Langkah-Langkah Menurut Polya
Langkah-Langkah Pemecahan Masalah
Menurut Polya
Indikator
Memahami Masalah Siswa dapat menentukan apa yang diketahui dari dalam masalah atau soal yang diberikan.
Siswa dapat menentukan apa yang ditanyakan dalam masalah atau soal yang diberikan.
yang dapat digunakan dalam masalah yang diberikan.
Melaksanakan Rencana Siswa dapat melaksanakan rencana yang telah dibuat sesuai dengan rumus yang telah ditentukan.
Siswa harus memeriksa setiap langkah dan juga dapat dilihat bahwa langkah tersebut sudah benar dan layak digunakan untuk penyelesaiannya. Memeriksa Kembali Siswa harus menanfsirkan hasil yang
diperoleh sesuai rencana yang ditentukan.
Siswa dapat memeriksa hasilnya yang telah dikerjakan.
3. Materi Aturan Pencacahan
Pada pembuatan soal pemecahan masalah berdasarkan pada silabus
pembelajaran di SMK N 1 BANYUMAS.
Kompetensi dasar :
3.17 Mendeskripsikan konsep peluang dan harapan suatu kejadian dan
menggunakannya dalam pemecahan masalah.
Indikator :
3.17.1 Menerapkan konsep peluang suatu kejadian dalam
pemecahan masalah.
3.17.2 Menerapkan konsep harapan suatu kejadian dalam
pemecahan masalah.
4.12 Mengidentifikasi, menyajikan model matematika dan menentukan
peluang dan harapan suatu kejadian dari masalah kontektual.
4.12.1 Mengidentifikasi peluang dan harapan suatu kejadian dari
masalah kontekstual.
4.12.2 Menyajikan model matematika dan menentukan peluang dan
harapan suatu kejadian dari masalah kontekstual.
4. Taksonomi SOLO (Structure Of The Observed Learning Outcome)
Menurut Gagne (Suyono dan Heriyanto, 2014 : 92) dalam
pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk diolah sehingga
menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Menurut Yusuf (2015 :
181) hasil belajar merupakan wujud pencapaian peserta didik, sekaligus
merupakan lambang keberhasilan pendidik dalam pembelajaran peserta
didik. Hal ini sesuai dengan pendapat Susanto (2013 : 5) hasil belajar
merupakan kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan
belajar. Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar
(outcome learning) merupakan hasil penilaian terhadap kemampuan siswa
setelah menjalani proses pembelajaran. Hasil belajar dapat diketahui dengan
melakukan penilaian tertentu yang menunjukan sejauh mana kriteria-kriteria
penilaian telah tercapai, dan hasil belajar tersebut berupa hasil belajar
kognitif. Penilaian ini dilakukan dengan memberikan tes.
Pada hasil belajar perlu adanya evaluasi, karena untuk membuat
pertimbangan terhadap suatu situasi, nilai atau ide, sehingga mampu memilih
satu pilihan yang baik sesuai dengan kriteria (Sudijono, 2011 : 52). Menurut
Slameco (1988 : 5) Evaluasi merupakan usaha untuk mengetahui sejauh
juga berfungsi untuk mengetahui kemajuan dan perkembangan serta
keberhasilan siswa setelah mengalami atau melakukan kegiatan belajar
selama jangka waktu tertentu (Purwanto, 2010 : 5). Oleh karena itu pada
hasil belajar perlu dilakukan evaluasi karena untuk mengetahui keberhasilan
siswa pada pembelajaran yang telah dilakukan.
Untuk mengevaluasi hasil belajar siswa maka dapat diukur menurut
taksonomi SOLO. Taksonomi yang dirancang oleh Biggs dan Collis (biggs,
collis 1982; biggs, 1995, 1999), yang menggambarkan bagaimana kinerja
siswa dapat tumbuh mulai dari kompleksitas sampai tingkat abstraksi, ketika
menguasai banyak informasi yang diterima, khususnya tugas yang dilakukan
disekolah. Taksonomi ini dikenal dengan taksonomi, taksonomi SOLO juga
membantu usaha menggambarkan tingkatan kompleksitas pemahaman siswa
tentang subjek (Sunaryo, 2012 : 95).
Menurut Biggs and Tang (1999 : 76) taksonomi SOLO merupakan
singkatan dari struktur hasil belajar yang diamati, taksonomi SOLO
memberikan cara sistematis yang menggambarkan bagaimana kinerja pelajar
tumbuh di kompleksitas ketika menguasai banyak tugas akademik.
Taksonomi SOLO juga merupakan alat yang berguna untuk memilih kata
kerja sesuai tingkat kompleksitas. Taksonomi SOLO juga untuk
mengevaluasi hasil belajar sehingga kita tahu apa tingkat individu siswa
benar-benar beroperasi.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
siswa terhadap suatu masalah berdasarkan pada kompleksitas pemahaman
atau kualitas jawaban siswa terhadap masalah yang diberikan. Taksonomi
SOLO juga dapat digunakan untuk mengevaluasi hasil pembelajaran,
sehingga tingkat kemampuan siswa dapat diidentifikasi.
Menurut Hattie (2004) taksonomi SOLO juga dapat menggambarkan
proses yang terlibat dalam bertanya dan menjawab pertanyaan pada skala
kesulitan yang meningkat atau kompleksitas. Hal ini juga diakui bahwa
taksonomi yang paling dikenal dalam pendidikan adalah taksonomi bloom.
Taksonomi yang mengacu pada jenis pemikiran atau pengolahan yang
diperlukan dalam menyelesaikan tugas-tugas atau menjawab pertanyaan;
yaitu, tahu, memahami, menerapkan, menganalisis, mensitesis, dan
mengevaluasi. Tetapi masih banyak kekurangan dari taksonomi bloom untuk
menerapkan keenam langkah-langkahnya. Oleh karena itu untuk melengkapi
kekurangan taksonomi bloom maka menggunakan taksonomi SOLO. Pada
dasarnya ketika menggunakan taksonomi SOLO maka semua
pertanyaan-pertanyan dapat diklasifikasikan kedalam tingkatan-tingkatan atau level pada
taksonomi SOLO. Dan juga untuk memaksimalkan koresponden antara
pertanyaan yang diajukan dan jawaban yang diharapkan. Hal tersebut sesuai
dengan Biggs and Tang (2009 : 4) bahwa taksonomi bloom berbeda dengan
taksonomi SOLO karena pada taksonomi bloom dapat menggambarkan hasil
belajar berdasarkan tingkatnya seperti memahami, mengidentifikasi,
menjelaskan, membahas. Sedangkan pada taksonomi SOLO menggambarkan
seperti, Prestructural, Unistructural, multistructural, Relational, abstrak
diperluas.
Taksonomi SOLO mengklasifikasikan kemampuan peserta didik
pada tingkat atau level sesuai kemampuan kognitif peserta didik dalam
menyelesaikan pertanyaan tersebut. Taksonomi ini terdiri dari lima tingkat
yang berbeda Menurut Sunaryo (2012 : 97) yaitu :
a. Prestructural
Pada level ini dikategorikan kemampuan siswa pada kapasitas
minimal yaitu dengan isyarat dan responnya masih mengalami
kebingungan. Juga tidak perlu merasa konsisten pada suatu permasalahan
yang diselesaikan.
b. Unistructural
Pada level ini dikategorikan kemampuan siswa pada kapasitas
rendah yaitu dengan isyarat dan satu fakta yang relevan. Juga tidak
merasa konsisten dalam mengambil kesimpulan itu lompat-lompatan
dalam menyelesaikannya.
c. Multistructural
Pada level ini dikategorikan kemampuan siswa pada kapasitas
sedang yaitu dengan isyarat dan data yang relevan terisolasi. Juga merasa
konsisten terus dapat menjangkau kesimpulan yang berbeda dengan data
d. Relation
Pada level ini dikategorikan kemampuan siswa pada kapasitas
tinggi yaitu dengan isyarat dan data yang relevan interelasi. Keputusan
yang inkonsisten yaitu tidak ada kebutuhan untuk keputusan yang
tertutup.
e. Extended abstrack
Pada level ini dikategorikan kemampuan siswa pada kapasitas
maksimum yaitu dengan isyarat dan data yang relevan interelasi dan
hipotetik. Kesimpulan yang dilakukan secara terbuka dan kualitas.
Taksonomi SOLO membagi tingkatan dari tingkat terendah hingga
tingkat tertinggi menurut Hooi Lian dan Wun Thiam Yew :
a. Tingkat (0) Pra-Structural
Bahwa pada level ini siswa tidak memahami inti dari pertanyaan
yang diberikan sehingga siswa mengalami kesulitan dalam
menjawabnya, oleh karena itu menjawab dengan pengetahuan yang
dimilikinya saja dan juga tidak ada upaya untuk menyelesaiakannya.
b. Tingkat (1) Uni-Structural
Bahwa pada level ini siswa mencoba menjawab pertanyaan dengan
cara memilih satu penggal atau beberapa informasi yng relevan. Respon
siswa pada level Unistructural dalam usaha menyusun struktur tertentu
hanya membuat satu hubungan sederhana. Sehingga hubungan yang
dibuat tersebut tidak memiliki logika yang jelas.
Bahwa pada level ini siswa sudah mampu menghubungkan
beberapa informasi, namun informasi-informasi yang dimiliki tidak
mampu menjawab inti dari masalah.
d. Tingkat (3) Relational
Bahwa pada level ini siswa mampu mengaitkan bagian-bagian
menjadi satu kesatuan, pemahaman peserta didik terhadap
informasi-informasi terintegrasi secara baik.
e. Tingkat (4) Extended Abstract
Bahwa pada level ini siswa dapat menggeneralisasikan struktur
kedalam situasi abstrak baru. Mungkin ini memberikan generalisasi ke
sebuah topik baru atau topik yang lebih luas. Siswa pada tingkat ini
berpikir secara konseptual dan dapat melakukan generalisasi (membentuk
gagasan atau simpulan umum).
Dari tingkatan atau level pada taksonomi SOLO menurut para ahli,
maka dapat disimpulkan bahwa level-level taksonomi SOLO antara lain :
a. Prestructural
Pada level ini dikategorikan kemampuan siswa pada kapasitas
minimal, siswa tidak memahami inti dari pertanyaan yang diberikan
sehingga siswa mengalami kesulitan dalam menjawabnya, oleh karena
itu menjawab dengan pengetahuan yang dimilikinya saja dan juga
tidak ada upaya untuk menyelesaiakannya. Dimana siswa
mengabaikan pernyataan atau informasi yang diberikan sehingga
b. Unistructural
Pada level ini dikategorikan kemampuan siswa pada kapasitas
rendah. Siswa mencoba menjawab pertanyaan dengan cara memilih
satu penggal atau beberapa informasi yang relevan. Respon peserta
didik pada level Unistructural dalam usaha menyusun struktur
tertentu hanya membuat satu hubungan sederhana. Sehingga
hubungan yang dibuat tersebut tidak memiliki logika yang jelas.
c. Multistructural
Pada level ini dikategorikan kemampuan siswa pada kapasitas
sedang, siswa sudah menggunakan informasi yang relevan untuk
memperoleh solusi tetapi tidak saling berkaitan. Bahwa siswa sudah
mampu menghubungkan beberapa informasi, namun
informasi-informasi yang dimiliki tidak mampu menjawab inti dari masalah.
d. Relation
Pada level ini dikategorikan kemampuan siswa pada kapasitas
tinggi, siswa dapat menggabungkan semua aspek dari informasi yang
diperoleh dengan saling mengaitkan menjadi sebuah struktur yang
koheren. Siswa mampu mengaitkan bagian-bagian menjadi satu
kesatuan, pemahaman peserta didik terhadap informasi-informasi
e. Abstrak diperluas
Pada level ini dikategorikan kemampuan siswa pada kapasitas
maksimum, dan siswa dapat berpikir secara konseptual melakukan
generalisasi (membentuk gagasan atau simpulan umum).
5. Keterkaitan kemampuan pemecahan masalah menurut taksonomi
SOLO
Dari langkah-langkah pemecahan masalah matematika menurut
Polya maka dapat diklasifikasikan menurut taksonomi SOLO dan dibagi
menjadi 5 level menurut taksonomi SOLO yaitu sebagai berikut :
a. Level prastructural :
Pada level ini siswa tidak dapat melakuan keempat langkah yang
diterapkan oleh Polya yaitu memahami masalah, merencanakan
penyelesaian, melaksanakan rencana, Memeriksa Kembali. Oleh karena
itu menjawab dengan pengetahuan yang dimilikinya saja dan juga tidak
ada upaya untuk menyelesaiakannya. Dimana siswa mengabaikan
pernyataan atau informasi yang diberikan sehingga siswa tidak
menuliskan informasi apapun terkait soal.
b. Level Unistructural
Pada level ini siswa hanya mampu memahami masalah pada
langkah-langkah diterapkan oleh Polya. Siswa mencoba menjawab
pertanyaan dengan cara memilih satu penggal atau beberapa informasi
c. Level Multistructural
Pada level ini siswa dapat memahami masalah, merencanakan
penyelesaian, pada langkah-langkah yang diterapkan oleh Polya. Siswa
sudah menggunakan informasi yang relevan untuk memperoleh solusi
tetapi tidak saling berkaitan. bahwa siswa sudah mampu
menghubungkan beberapa informasi, namun informasi-informasi yang
dimilikinya tidak mampu menjawab inti dari masalah yang diberikan.
d. Level Relation
Pada level ini siswa dapat memahami masalah, merencanakan
penyelesaian, melaksanakan rencana pada langkah-langkah yang
diterapkan oleh Polya. Siswa mampu mengaitkan bagian-bagian
menjadi satu kesatuan, Pemahaman siswa terhadap informasi-informasi
terintegrasi secara baik namun siswa belum dapat menyimpulkan dari
informasi yang didapat.
e. Level Extended Abstrack
Pada level ini siswa dapat memahami masalah, merencanakan
penyelesaian, melaksanakan rencana, Memeriksa Kembali pada
langkah-langkah yang diterapkan oleh Polya. Siswa pada tingkat ini
berpikir secara konseptual dan dapat melakukan generalisasi sehingga
siswa mencapai pada tingkat akhir dalam penyelesaiannya.
Berikut ini contoh penerapan langkah-langkah pemecahan
masalah matematika pada level-level menurut taksonomi SOLO antara
1. Dari suatu kelas yang memiliki 120 siswa, 60 siswa diantaranya
belajar matematika, 50 siswa belajar fisika, dan 20 siswa belajar
keduanya. Jika dari kelas itu dipilih secara acak, tentukan peluang
siswa yang sama sekali tidak belajar matematika maupun fisika.
a. Prastruktrual
Dari soal tersebut siswa tidak menjawab sesuai dengan
pertanyaan pada soal.
b. Unistruktural
Memahami masalah
Diketahui :
A= Peluang siswa belajar matematika
( )
B= Peluang siswa belajar fisika
( )
A dan B = Peluang siswa belajar matematika dan fisika
( )
Ditanyakan: peluang siswa yang tidak sama sekali tidak belajar
matematika maupun fisika?
c. Multistructual
Memahami masalah
Diketahui :
A= Peluang siswa belajar matematika
( )
( )
A dan B = Peluang siswa belajar matematika dan fisika
( )
Ditanyakan: peluang siswa yang tidak sama sekali tidak belajar
matematika maupun fisika?
Merencanakan penyelesaian
( ) ( ) ( ) ( )
(( )) ( )
d. Relation
Memahami masalah
Diketahui :
A= Peluang siswa belajar matematika
( )
B= Peluang siswa belajar fisika
( )
A dan B = Peluang siswa belajar matematika dan fisika
( )
Ditanyakan: peluang siswa yang tidak sama sekali tidak
belajar matematika maupun fisika?
Merencanakan penyelesaian
(( )) ( )
Melaksanakan rencana
( ) ( ) ( ) ( )
(( )) ( )
e. Abstraks diperluas
Memahami masalah
Diketahui :
A= Peluang siswa belajar matematika
( )
B = Peluang siswa belajar fisika
( )
A dan B = Peluang siswa belajar matematika dan fisika
( )
Ditanyakan: peluang siswa yang tidak sama sekali tidak
belajar matematika maupun fisika?
Merencanakan penyelesaian
(( )) ( )
Melaksanakan rencana
( ) ( ) ( ) ( )
(( )) ( )
Memeriksa kembali
( ) (( ))
B. Penelitian Relevan
Penelitian oleh Manibuy dkk (2014) tentang analisis kesalahan
siswa dalam menyelesaikan soal persamaan kuadrat berdasarkan
taksonomi SOLO pada kelas X Sma Negeri 1 Plus Di Kabupaten Nabire – Papua, menunjukan bahwa pada siswa berkemampuan matematika tinggi
(KMT) yang hanya mencapai level unistructural sampai relasional.
Sedangkan kesalahan yang dilakukan siswa berkemampuan matematika
sedang (KMS) yang hanya mencapai level unistructural sampai
multistructural. Demikian pula untuk siswa berkemampuan matematika
Penelitian oleh Sunardi (2013) tentang pengembangan taksonomi
SOLO mahasiswa dalam aljabar, menunjukan bahwa respon siswa dapat
dikategorikan ke dalam tujuh level. Level tersebut adalah prastructural,
unistructural, multistructural, semirelasional, relasional, abstrak dan
extended abstract. Adapun deskripsi respons mahasiswa tersebut adalah
pada level Prastructural, Mahasiswa tidak menggunakan satupun
informasi/ pernyataan yang diberikan untuk menyelesaikan masalah. pada
level Unistructural, Mahasiswa menggunakan satu informasi yang
diberikan, dan tidak dapat menyelesaikan tugas dengan benar. Pada level
Semirelasional, Mahasiswa dapat memahami soal yang harus diselesaikan
dengan baik, namun dia gagal menyelesaikan soal yang diberikan. Pada
level Relasional, Mahasiswa dapat merepresentasikan semua pernyataan
yang diberikan dan melakukan interkoneksitas antar pernyataan tersebut
sehingga diperoleh jawaban/pembuktian yang benar, dan diperoleh
identitas terpadu. Pada level Abstrak: Mahasiswa dapat menggunakan
semua pernyataan yang diberikan untuk menyelesaikan masalah, dia dapat
menjelaskan hubungan pernyataan-pernyataan yang diberikan tersebut
menjadi suatu argumen dalam menyelesaikan masalah. pada level
Extended Abstract, Mahasiswa dapat menggunakan pernyataan pernyataan
yang diberikan secara komprehensif, dan melakukan interkoneksitas antar
pernyataan tersebut sehingga diperoleh pembuktian pernyataan dengan
Penelitian di atas relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh
peneliti, karena di dalam penelitian tersebut mendeskripsikan bagaimana
kualitas respon siswa dalam menjawab suatu permasalahan berdasarkan
taksonomi SOLO. Pada taksonomi SOLO juga dapat membagi tingkatan
siswa ke dalam level-levelnya pada kemampuan siswa yang memiliki
kemampuan tinggi, sedang rendah. Pada taksonomi SOLO juga
mengkategorikan respon siswa dari yang terendah ke tingkat yang abstrak
diperluas. Oleh karena itu, sesuai dengan penelitian yang akan diteliti
yaitu Deskripsi kemampuan pemecahan masalah matematika menurut
taksonomi SOLO (Struktured Of The Observed Learning Outcome) siswa
kelas XI TKJ 2 SMK N 1 BANYUMAS.
C.Kerangka Pikir
Masalah matematika merupakan suatu pertanyaan yang
menunjukan adanya sebuah tantangan yang harus diselesaikan atau
dijawab. Pada masalah matematika diperlukan pemecahannya atau
mencari solusi bagaimana cara menyelesaikannya. Oleh karena itu, pada
masalah matematika diperlukan kemampuan pemecahan masalah
matematika. Pada kemampuan pemecahan masalah tersebut dapat
diketahui ketika siswa menerapkan langkah-langkah dalam pemecahan
masalah seperti memahami masalah, memilih strategi, menerapkan
strategi, dan memeriksa kembali. Pada penerapan langkah-langkah
pemecahan masalah diperlukan sebuah algoritma/aturan dan konsep. Pada
yang harus perhatikan, karena jika tidak memperhatikan hal tersebut maka
akan mempengaruhi hasil belajar kognitifnya. Hasil belajar kognitif
merupakan hasil penilaian terhadap kemampuan siswa setelah menjalani
proses pembelajaran. Untuk mengetahui hasil belajar kognitif pada
kemampuan pemecahan masalah matematika maka dapat diukur menurut
taksonomi SOLO.
Taksonomi SOLO merupakan alat evaluasi untuk mengukur
kualitas jawaban siswa terhadap suatu masalah berdasarkan pada
kompleksitas pemahaman atau kualitas jawaban siswa terhadap masalah
yang diberikan. Taksonomi SOLO juga dapat digunakan untuk
mengevaluasi hasil pembelajaran, sehingga tingkat kemampuan siswa
dapat diidentifikasi berdasarkan level-level pada taksonomi SOLO.
Level-level tersebut antara lain Level Prestructural, pada level ini
dikategorikan kemampuan siswa pada kapasitas minimal, siswa tidak
memahami inti dari pertanyaan yang diberikan sehingga siswa mengalami
kesulitan dalam menjawabnya, oleh karena itu menjawab dengan
pengetahuan yang dimilikinya saja dan juga tidak ada upaya untuk
menyelesaiakannya. Level Unistructural, pada level ini dikategorikan
kemampuan siswa pada kapasitas rendah. Siswa mencoba menjawab
pertanyaan dengan cara memilih satu penggal atau beberapa informasi yng
relevan. Multisructural, pada level ini dikategorikan kemampuan siswa
pada kapasitas sedang, siswa sudah menggunakan informasi yang relevan
mampu menghubungkan beberapa informasi, namun informasi-informasi
yang dimiliki tidak mampu menjawab inti dari masalah. Level Relation,
pada level ini dikategorikan kemampuan siswa pada kapasitas tinggi, siswa
dapat menggabungkan semua aspek dari informasi yang diperoleh dengan
saling mengaitkan menjadi sebuah struktur yang koheren. Siswa mampu
mengaitkan bagian-bagian menjadi satu kesatuan, Pemahaman peserta
didik terhadap informasi-informasi terintegrasi secara baik. Level Abstrack
diperluas pada level ini dikategorikan kemampuan siswa pada kapasitas
maksimum, bahwa siswa dapat menggeneralisasikan struktur kedalam
situasi abstrak baru. Mungkin ini memberikan generalisasi ke sebuah topik
baru atau topik yang lebih luas. Siswa pada tingkat ini berpikir secara
konseptual dan dapat melakukan generalisasi (membentuk gagasan atau