• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan maupun evaluasi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan maupun evaluasi."

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Di dalam negara demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, maka kebebasan untuk memperoleh informasi publik menjadi instrumen untuk menciptakan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan maupun evaluasi.

Adanya partisipasi masyarakat diharapkan mampu memberikan pendapat, saran, kritikan terhadap pengambilan kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dapat aplikatif, tepat sasaran, dan memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat atau setidaknya mengurangi adanya penolakan terhadap kebijakan tersebut.

Dengan demikian Pemerintah dituntut untuk lebih bersikap terbuka dan tidak alergi terhadap permintaan informasi publik yang diajukan oleh masyarakat. Pemerintah perlu menyadari dan memahami bahwa keterbukaan informasi publik dapat mendorong terciptanya transparansi, efektivitas, dan efisiensi dalam penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Dwiyanto (2014:18) bahwa terdapat keterkaitan antara keterbukaan informasi publik dengan penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance). Adanya kemudahan akses dan pelayanan dalam keterbukaan informasi publik akan mampu menciptakan tata pemerintahan yang baik, yaitu penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas dari praktik KKN serta berorientasi pada kepentingan publik.

(2)

2 Menurut Zulkarnain, Sirajudin dan Widiarto (2006:1-2) terdapat alasan yang menjadi pertimbangan diperlukannya keterbukaan informasi publik dalam sebuah penyelenggaraan pemerintahan, yaitu:

1. Ketertutupan Pemerintah atas informasi publik berpotensi menyembunyikan penyelewengan dan juga memicu terjadinya penyelewengan baru yang apabila terjadi secara terus-menerus menimbulkan penyelewengan kekuasaan;

2. Menentukan efektivitas pembangunan karena akan tercipta komunikasi yang baik antara Pemerintah dan masyarakat melalui keterbukaan informasi publik.

Sementara itu menurut Sudibyo dalam Zulkarnain, Sirajudin dan Widiarto (2006:4) terdapat beberapa alasan mengapa diperlukan keterbukaan informasi, antara lain:

1. Informasi adalah bagian dari hak asasi manusia; 2. Informasi adalah hak konstitusional warga negara;

3. Keterbukaan informasi publik adalah bagian dari akuntabilitas pelaksanaan mandat negara;

4. Tanpa keterbukaan informasi, warga negara tidak bisa berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan;

5. Dengan ketertutupan birokrasi akan menjadi sumber korupsi, malpraktek birokrasi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM);

6. Keterbukaan informasi adalah kondisi yang sangat dibutuhkan untuk pemberantasan korupsi, perwujudan pemerintahan yang bersih dan transparan.

Pemerintah sebagai pemilik sekaligus pengelola informasi publik mempunyai kewajiban untuk membuka akses (unlimited acces) dan memberikan

(3)

3 kesempatan bagi masyarakat guna mendapat pelayanan dan memperoleh informasi publik atas penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu, Pemerintah dituntut untuk mampu mengelola dan memberikan pelayanan informasi publik yang baik untuk mendukung keterbukaan informasi publik.

Keterbukaan informasi publik secara legal formal dinyatakan secara tegas dalam amandemen kedua UUD 1945 yaitu Pasal 28 F, yang selengkapnya berbunyi:

“Pasal 28 F

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.“

Hak untuk memperoleh informasi publik yang telah diakui dalam UUD 1945 tersebut merupakan bentuk pengakuan dan jaminan oleh negara. Namun pengakuan dan jaminan dari konstitusi tersebut masih dalam tataran formal yang menimbulkan perbedaan penafsiran, bahkan tidak jarang menimbulkan permasalahan dalam implementasinya.

Salah satu ketimpangan antara legal formal dan implementasi tersebut tampak nyata apabila kebebasan memperoleh informasi publik dihadapkan dengan prinsip kerahasiaan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lain. Contohnya dalam KUHP Pasal 112 tentang rahasia karena kepentingan Negara, Pasal 124 tentang rahasia militer, Pasal 398 tentang rahasia pribadi. Juga pengaturan kerahasian dalam UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, UU Nomor 14 Tahun 2001 tentang

(4)

4 Paten. Peraturan perundang-undangan tersebut dijadikan dasar atau pertimbangan badan publik untuk menolak permintaan informasi publik oleh masyarakat.

Pada saat itu menurut Subagio dalam Masduki (Jurnal Penelitian IPTEK-KOM, Vol. 12. Nomor 1. Hlm.25. Juni 2010) bahwa mayoritas prinsip kerahasiaan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut masih bersifat sumir. Kewenangan siapa pejabat yang menentukan kerahasiaan dan bagaimana mekanisme menentukan kerahasiaan tidak diatur secara jelas dan tegas.

Kondisi tersebut menimbulkan dorongan dan tuntutan dari masyarakat kepada lembaga eksekutif dan legislatif agar menerbitkan peraturan perundang-undangan tentang kemudahan memperoleh informasi publik. Adanya peraturan perundang-undangan akan menjadi dasar hukum dan panduan bagi masyarakat dalam menggunakan haknya untuk memperoleh informasi publik secara mudah, cepat, sederhana, dan murah. Selain itu, dengan diundangkannya peraturan perundang-undangan tersebut, diharapkan mampu mensinkronkan materi antar peraturan perundang-undangan yang telah ada, sehingga dapat aplikatif dan tidak terjadi pertentangan satu sama lain.

Hingga pada akhirnya pada tanggal 30 April 2008 diundangkan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang berlaku efektif 2 (dua) tahun sejak tanggal pengundangan. Setelah itu beberapa peraturan turunannya diundangkan seperti PP Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP, Perki Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor

(5)

5 35 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Pelayanan Informasi dan Dokumentasi di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintahan Daerah.

Dalam penjelasannya, Masduki (Jurnal Penelitian IPTEK-KOM, Vol. 12. Nomor 1. Hlm. 17. Juni 2010) menegaskan bahwa lahirnya UU KIP tersebut menjadikan Indonesia menjadi bagian dari 75 lebih negara di dunia yang memiliki UU Keterbukaan Informasi (freedom of information) dan menjadi negara kedua di ASEAN yang memiliki UU KIP setelah Thailand. Adapun secara historis Swedia tercatat sebagai negara pertama yang memiliki UU KIP sejak Tahun 1766.

Kebebasan dan kemudahan dalam memperoleh informasi publik sebagaimana yang diatur dalam UU KIP seharusnya menjadi kondisi ideal yang menjadi harapan dan tujuan para pemangku kepentingandalam penyelengggaraan pemerintahan khususnya masyarakat. Namun kadang yang terjadi adalah kondisi sebaliknya yaitu jaminan memperoleh informasi publik yang merupakan hak masyarakat harus dihadapkan pada birokrasi yang “mbulet” atau permohonan informasi publik dikategorikan dalam pelanggaran kerahasiaan negara atau tindak pidana.

Bahkan ada banyak istilah atau stigma negatif di kalangan masyarakat terhadap pelayanan informasi publik pada Badan Publik, yaitu “kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah”, “uang rokok”, “dipingpong” atau ujung-ujungnya duit. Menurut Zulkarnain, Sirajudin dan Widiarto (2006:5) bahwa kalaupun adanya kemudahan untuk memperoleh informasi publik, itu karena “kewelasan hati” dari badan publik.

(6)

6 Pelayanan informasi publik pada badan publik seperti di atas seharusnya pada waktu sekarang tidak boleh terjadi lagi, mengingat pemberlakuan UU KIP sudah berlaku efektif selama kurang lebih 6 (enam) tahun sejak Tahun 2010. Dalam kurun waktu yang relatif cukup lama tersebut, badan publik seharusnya sudah memiliki kapasitas yang memadai untuk mewujudkan keterbukaan informasi publik melalui pengelolaan dan pelayanan informasi publik kepada masyarakat secara cepat, tepat, mudah, dan murah.

Bahwa UU KIP secara tegas dan jelas telah memberikan amanat kepada setiap badan publik untuk mengelola dan memberikan pelayanan informasi publik melalui pembentukan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Keberadaan PPID inilah yang mempunyai fungsi pengelolaan dan pelayanan informasi publik di setiap badan publik.

Amanat pembentukan PPID oleh UU KIP tersebut menjadi kewajiban bagi setiap badan publik yang perlu direspon oleh badan publik untuk membentuk PPID sebagaimana amanat dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a, UU KIP bahwa Untuk mewujudkan pelayanan cepat, tepat, dan sederhana setiap Badan Publik PPID. Adapun pengertian mengenai PPID terdapat dalam Pasal 1 UU KIP adalah pejabat yang bertanggung jawab di bidang penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan, dan/atau pelayanan informasi di badan publik.

Berdasarkan subtansi dalam UU KIP tersebut, tampak bahwa PPID merupakan pemangku kepentingan yang mempunyai peran penting dan sentral terhadap informasi publik.

(7)

7 Dikatakan mempunyai peran penting karena PPID mempunyai fungsi sebagai regulator dan implementator. Fungsi regulator terkait dengan kewenangan PPID untuk mengeluarkan kebijakan dalam rangka pengelolaan informasi publik, sedangkan fungsi implementator terkait dengan tugas dan tanggung jawab PPID sebagai pelaksana tugas pokok dan tanggung jawab dalam pengelolaan dan pelayanan informasi publik. Peran penting PPID tersebut dapat dikatakan bahwa PPID sebagai entry point atau pintu masuk terhadap kesempatan masyarakat dalam mengakses informasi yang dimiliki oleh badan publik.

Sementara itu, PPID dikatakan mempunyai peran sentral karena PPID mempunyai kedudukan yang lintas sektor dengan beberapa pemangku kepentingan dalam pengelolaan dan pelayanan informasi publik, meliputi ke segala arah baik ke samping, ke bawah, maupun ke atas sebagaimana dimaksud dalam Gambar 1 sebagai berikut:

Gambar 1

Kedudukan Lintas Sektor PPID Dalam KIP

PPID

Atasan PPID Pemohon Informasi Publik PPID Pembantu Komisi Informasi

(8)

8

Ke samping dalam artian PPID harus memiliki kemampuan dalam

menjalin komunikasi yang baik dengan pemohon informasi publik (masyarakat) dalam rangka pelayanan informasi publik dan juga kepada Komisi Informasi yang merupakan lembaga mandiri yang mempunyai tugas menetapkan kebijakan umum pengelolaan dan pelayanan informasi publik lingkup nasional termasuk melakukan monitoring dan penilaian pengelolaan informasi publik yang dilaksanakan oleh PPID dan penyelesaian sengketa informasi publik.

Ke bawah dalam artian PPID harus mampu berkonsolidasi dengan

PPID Pembantu yang berada di lingkungan badan publik dalam rangka mendukung pengelolaan dan pelayanan informasi publik.

Ke atas dalam artian PPID dalam menjalankan tugas pokok, tanggung

jawab dan wewenangnya melakukan konsultasi dengan Atasan PPID. Adapun Atasan PPID dalam Pemerintahan Daerah adalah Kepala Daerah.

Mengingat peran penting dan sentral PPID tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa keberhasilan dalam keterbukaan informasi publik sangat bergantung bagaimana kapasitas PPID dalam menjalankan tugas, tanggung jawab dan wewenangnya dalam pengelolaan dan pelayanan informasi publik. Sehingga apabila kapasitas PPID-nya kuat, akan berdampak baik terhadap keterbukaan informasi publik pada badan publik tersebut. Begitu pula sebaliknya apabila kapasitas PPID-nya lemah, dapat berdampak kurang atau tidak baik terhadap keterbukaan informasi publik.

Beberapa hasil penelitian terkait kapasitas PPID dalam pengelolaan informasi publik menunjukan penilaian yang masih rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Akbar (2011) dan Prabowo, dkk (2012) dalam Nupikso (Jurnal

(9)

9 Penelitian IPTEK-KOM. Volume 17. Nomor 2. Hlm. 126. Desember 2015). yang menyimpulkan bahwa pembentukan PPID selaku pelaksana UU KIP di tingkat Pemda tidak berjalan efektif.

Penelitian yang dilakukan oleh Badan Litbang Kementerian Komunikasi dan Informatika mengenai pengelolaan informasi publik pada Tahun 2011 dengan sampel SKPD Pemprov di 6 (enam) provinsi yaitu Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat dalam Istidjab K.W, dkk (2011:106) memberikan kesimpulan antara lain masih terdapat persoalan terkait kapasitas PPID yang dianggap sebagai organisasi baru, dimana fungsi dan wewenangnya menimbukan perdebatan. Selain itu, terdapat penilaian bahwa ada keengganan PPID untuk memberikan informasi publik, karena PPID masih bersifat dilayani bukan melayani.

Hasil penelitian tersebut di atas, tidak jauh berbeda dengan hasil evaluasi dan penilaian terhadap keterbukaan informasi publik dan prestasi PPID Kabupaten Purworejo oleh Komisi Informasi Jawa Tengah (KI Jateng) dalam kurun waktu 2013-2016 yang mengalami penurunan presatasi dari tahun ke tahun. Adapun gambaran hasil evaluasi dan penilaian tersebut adalah sebagai berikut:1 1. Tahun 2013

KI Jateng melakukan pemeringkatan transparansi 35 (tiga puluh lima) Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Tengah dengan hasil pemeringkatan Pemerintah Kabupaten Purworejo pada peringkat 9.

1

(10)

10 2. Tahun 2014

KI Jateng melakukan penilaian berkaitan Keterbukaan Informasi Publik oleh PPID pada seluruh kabupaten/kota di Jawa Tengah dengan hasil penilaian pada Pemkab Purworejo yaitu kategori Cukup Baik. Namun dalam menyajikan laporan atau informasi keuangan belum cukup terbuka, sehingga Pemkab Purworejo menduduki peringkat 20 (dua puluh) besar diantara 35 kabupaten/kota se-Jawa Tengah.

3. Tahun 2015

KI Jateng melakukan penilaian berkaitan Keterbukaan Informasi Publik oleh PPID pada 35 (tiga puluh lima) Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Tengah dengan hasil penilaian Pemerintah Kabupaten Purworejo tidak termasuk dalam 10 (sepuluh) kategori terbaik.

4. Tahun 2016

KI Jateng melakukan penilaian berkaitan dengan kualitas konten informasi publik dan keuangan pada seluruh kabupaten/kota di Jawa Tengah. Penilaian tersebut terbagi dalam 4 (empat) kategori yaitu Baik, Cukup Baik, Cukup, Kurang, Sangat Kurang. Dari hasil penilaian tersebut Pemerintah Kabupaten Purworejo memperoleh penilaian dengan kualitas Cukup.

Hasil penilaian dan pemeringkatan yang dilakukan oleh KI Jateng, memberikan gambaran bahwa:

1. Kapasitas PPID Kabupaten Purworejo belum mendukung keberhasilan dalam keterbukaan informasi publik. Apabila kapasitas PPID Kabupaten Purworejo kuat, maka akan berimplikasi pada keberhasilan keterbukaan informasi publik, begitu pula sebaliknya apabila kapasitas PPID Kabupaten Purworejo yang lemah, maka akan mengurangi keberhasilan keterbukaan informasi publik;

(11)

11 2. Adanya hambatan yang dihadapi baik secara sadar diketahui maupun tidak

diketahui yang mempengaruhi kapasitas PPID Kabupaten Purworejo. Hambatan tersebut dapat muncul dari internal PPID Kabupaten Purworejo sendiri maupun dari eksternal PPID Kabupaten Purworejo. Sehingga seharusnya hambatan yang terjadi dijadikan sebagai sebuah tantangan yang memunculkan keyakinan dan komitmen kuat bahwa hambatan dalam kapasitas PPID Kabupaten Purworejo dapat diatasi atau dicarikan solusi penyelesaiannya;

3. Adanya 2 (dua) kemungkinan upaya penyelesaian hambatan yaitu adanya dan tiadanya upaya yang ditempuh oleh PPID Kabupaten Purworejo. Kemungkinan

yang pertama, yaitu adanya upaya yang ditempuh artinya sudah terdapat upaya

yang ditempuh untuk mengatasi hambatan atau persoalan yang dihadapi dalam keterbukaan informasi publik. Namun upaya yang ditempuh tersebut belum mampu menjadi solusi penyelesaian. Bahkan kegagalan upaya yang telah dilakukan tidak dijadikan sebagai bahan evaluasi atau pembelajaran agar menjadi lebih baik lagi.

Adapun kemungkinan yang kedua, yaitu tiadanya upaya yang ditempuh artinya bahwa tidak adanya upaya yang ditempuh (status quo) untuk mengatasi hambatan atau persoalan yang dihadapi dalam keterbukaan informasi publik.

Berdasarkan uraian di atas bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang baik dapat ditempuh melalui keterbukaan informasi publik. Untuk mewujudkan keberhasilan keterbukaan informasi publik pada badan publik diperlukan adanya kapasitas PPID yang kuat untuk menjalankan peran yang penting dan sentralnya dalam pengelolaan dan pelayanan informasi publik.

(12)

12 Dengan kata lain bahwa bagaimana keberhasilan keterbukaan informasi publik, sangat dipengaruhi oleh penguatan kapasitas PPID. Penguatan kapasitas PPID merupakan salah satu faktor yang mendukung keberhasilan keterbukaan informasi publik. Sehingga apabila ingin berhasil dalam pelaksanaan keterbukaan informasi publik, maka upaya yang dapat ditempuh adalah penguatan kapasitas PPID.

1.2 Rumusan Permasalahan

Dalam rumusan permasalahan penelitian ini menjadi sebuah pertanyaan besar tentang “Bagaimana penguatan kapasitas Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Dalam Mendukung Keterbukaan Informasi Publik Pada Pemerintah Kabupaten Purworejo?”. Berdasar pertanyaan besar tersebut, perlu dikembangkan lagi atau didetailkan ke dalam beberapa pertanyaan penjelas untuk memberikan gambaran dan arah dalam penelitian tesis ini, yaitu:

1. Hambatan apa sajakah yang dihadapi dalam rangka penguatan kapasitas PPID Kabupaten Purworejo dalam mendukung keterbukaan informasi publik?

2. Upaya apa sajakah yang perlu ditempuh dalam rangka mengatasi hambatan penguatan kapasitas PPID Kabupaten Purworejo dalam mendukung keterbukaan informasi publik?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah:

1. memberikan dasar pengetahuan dan pemahaman yang benar, jelas dan lengkap mengenai kapasitas PPID Kabupaten Purworejo dalam mendukung keterbukaan informasi publik;

(13)

13 2. mengetahui hambatan dan upaya dalam penguatan kapasitas PPID Kabupaten

Purworejo guna mendukung keterbukaan informasi publik;

3. Menjadi bahan evaluasi dan penentuan arah kebijakan dalam penguatan PPID Kabupaten Purworejo guna mendukung keterbukaan informasi publik.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah:

1. manfaat secara khusus adalah memberikan pengetahuan, pemahaman, dan bahan evaluasi, serta tindak lanjut bagi penulis khususnya dan Pemerintah Kabupaten Purworejo dalam rangka penguatan kapasitas PPID Kabupaten Purworejo untuk menciptakan keterbukaan informasi publik;

2. manfaat secara umum adalah menjadi sumber referensi dalam tataran pengetahuan maupun tataran empiris praktis terkait penguatan kapasitas PPID Kabupaten Purworejo oleh berbagai pihak antara lain Pemerintah Daerah lainnya, kalangan akademisi, peneliti, ataupun masyarakat.

1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam tesis ini terdiri 8 (delapan) bab yang masing bab terdiri atas beberapa sub bab. Adapun penjelasan dari masing-masing bab adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam Bab I ini, diuraikan mengenai latar belakang penelitian penguatan kapasitas PPID Kabupaten Purworejo yang memiliki peran yang penting dan sentral dalam mendukung keterbukaan informasi publik. Oleh karena itu, untuk menjawab permasalahan penguatan kapasitas PPID Kabupaten Purworejo tersebut terbagi dalam 2 (dua) pertanyaan mendasar yaitu pertama, hambatan yang dihadapi dalam

(14)

14

penguatan kapasitas PPID Kabupaten Purworejo, dan kedua,, upaya yang perlu ditempuh dalam penguatan kapasitas PPID Kabupaten Purworejo guna mendukung keterbukaan informasi publik.

Selain itu, dalam Bab I, ini dijelaskan tujuan penelitian dan manfaat penelitian yang diharapkan oleh penulis yaitu dapat memberikan kontribusi yang berarti dan mampu dimanfaatkan oleh berbagai pihak yang terkait.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam Bab II ini, diuraikan mengenai konsep yang terkait dengan penguatan kapasitas PPID Kabupaten Purworejo. Dalam penjelasan mengenai konsep penguatan kapasitas ini, akan diuraikan pola-pola atau pernyataan yang menjelaskan suatu hubungan antar dua atau lebih fenomena yang terkait dengan penguatan kapasitas.

Setelah diperoleh hubungan antar dua atau lebih perspektif yang terkait dengan penguatan kapasitas, kemudian dibangun sebuah kerangka pemikiran yang menjadi frame atau panduan penulis dalam melakukan penelitian. BAB III METODE PENELITIAN

Dalam Bab III ini, diuraikan mengenai metode yang digunakan penulis dalam mencari, mengumpulkan dan mengklasifikasikan serta menganalisis data yang terkait dengan penguatan kapasitas PPID Kabupaten Purworejo.

Untuk lebih memperjelas dan memudahkan dalam menyusun metode penelitian, maka dalam Bab III terbagi dalam beberapa sub bab yang meliputi Jenis Penelitian, Lokasi Penelitian dan Jangka Waktu Penelitian, Sumber Data, Teknik Pengumpulan Data, dan Teknik Analisis Data.

(15)

15 BAB IV GAMBARAN KABUPATEN PURWOREJO

Dalam Bab IV ini, diuraikan mengenai gambaran Pemkab Purworejo dan PPID Kabupaten Purworejo. Gambaran Pemkab Purworejo terkait dengan kondisi wilayah, demografi, administrasi, visi dan misi Pemkab Purworejo. Sementara dalam gambaran profil PPID Kabupaten Purworejo adalah mengenai dasar hukum pembentukan, tugas dan tanggung jawab, dan wewenang PPID Kabupaten Purworejo, serta informasi yang dikelola oleh PPID Kabupaten Purworejo.

BAB V KETERSEDIAAN SUMBER DAYA YANG DIMILIKI PPID KABUPATEN PURWOREJO

Dalam Bab V ini, diuraikan mengenai kondisi ketersediaan sumber daya yang dimiliki oleh PPID Kabupaten Purworejo yang terbagi dalam 2 (dua) sub bab yaitu ketersediaan sumber daya manusia dan sarana dan prasarana, termasuk hambatan yang dihadapi dan upaya yang perlu ditempuh untuk menyediakan sumber daya yang memadai guna menguatkan kapasitas PPID Kabupaten Purworejo.

BAB VI DUKUNGAN KEBIJAKAN PEMKAB PURWOREJO TERHADAP KAPASITAS PPID KABUPATEN PURWOREJO Dalam Bab VI ini, akan diuraikan mengenai dukungan kebijakan Pemkab Purworejo terhadap kapasitas PPID Kabupaten Purworejo yang terbagi dalam 3 (dua) sub bab yaitu implementasi regulasi, implementasi program, dan ketersediaan anggaran dalam mendukung pengelolaan dan pelayanan informasi publik, termasuk hambatan yang dihadapi dan upaya yang perlu ditempuh untuk memperoleh dukungan kebijakan tersebut.

(16)

16 BAB VII TATA KERJA DALAM PELAKSANAAN TUGAS,

TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG PPID KABUPATEN PURWOREJO

Dalam Bab VII ini, akan diuraikan mengenai tata kerja dalam pelaksanaan tugas, tanggung jawab dan wewenang PPID Kabupaten Purworejo yang terbagi dalam 3 (tiga) sub bab yaitu struktur organisasi PPID Kabupaten Purworejo, kepemimpinan PPID Kabupaten Purworejo, dan ketersediaan SOP dalam pengelolaan dan pelayanan informasi publik, termasuk hambatan yang dihadapi dan upaya yang perlu ditempuh dalam menciptakan tata kerja yang memadai dalam pelaksanaan tugas, tanggung jawab dan wewenang PPID Kabupaten Purworejo.

BAB VIII PENUTUP

Dalam Bab VIII ini, penulis menyampaikan kesimpulan dari objek penelitian mengenai hambatan dan upaya yang perlu ditempuh dalam rangka penguatan kapasitas PPID untuk mendukung keterbukaan informasi publik. Berdasarkan kesimpulan tersebut penulis memberikan saran yang sekiranya dapat bermanfaat dalam rangka penguatan kapasitas PPID dalam mendukung keterbukaan informasi publik pada Pemerintah Kabupaten Purworejo.

Referensi

Dokumen terkait

Bangunan utilitas pada jaringan jalan di dalam kota dapat ditempatkan di dalam ruang manfaat jalan dengan ketentuan berada di atas tanah ditempatkan di luar jarak tertentu dari

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan pembahasan tentang materi membaca melalui metode SAS pada siswa kelas I MI Darussalam ketuntasan dari

International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XXXVIII-4/W19, 2011 ISPRS Hannover 2011 Workshop, 14-17 June 2011,

Cahaya Matahari akan tampak lebih merah daripada keadaan sekarang, karena dengan bertambahnya kerapatan, akan lebih banyak cahaya pada panjang gelombang biru yang dihamburkan ke

Pada tahun 2005 terjadi pemecahan dan penggabungan menjadi 3 (tiga) Kantor

Oleh karena banyaknya pelanggaran HAM terhadap kaum yang lemah atau rakyat yang dilakukan oleh pemerintah, seperti larangan berpolitik, larangan membangun dan

Bahwa,Upaya pengembangan kepariwisataan tidak mungkin dapat dilakukan tanpa campur tangan para stakeholder daerah, Melalui Dinas Kebudayaan dan PariwisataaKota

Apabila di kemudian hari, atas laporan penyelesaian pekerjaan yang telah dibuat mengakibatkan kerugian Negara maka saya bersedia untuk dituntut penggantian kerugian