• Tidak ada hasil yang ditemukan

KA MARKER DALAM BAHASA JEPANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KA MARKER DALAM BAHASA JEPANG"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

PEMARKAH KA DALAM BAHASA JEPANG DAN PADANANNYA

DALAM BAHASA INDONESIA

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh: Komara Mulya NPM. 180130140009

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Padjadjaran

(2)

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoretis 1.4.2 Kegunaan Praktis 1.5 Kerangka Teori

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Metode Penjaringan Data 1.6.2 Metode Analsis Data 1.6.3 Metode Penyajian Analisis

1.7 Sumber Data Penelitian

BAB II KERANGKA TEORI 2.1 Penelitian Terdahulu

2.2 Tataran Sintaksis

2.2.1 Kelas Kata

2.2.1.1 Pengertian dan Fungsi Partikel

2.2.1.2 Jenis Partikel dalam Bahasa Jepang

2.2.2 Kata

(3)

2.2.4 Kalimat

2.2.5 Struktur kalimat dalam Bahasa Jepang

2.3 Fungsi Sintaksis

2.4 Peran Semantis

2.5 Tataran Sematik

2.5.1 Pengertian Makna

2.5.2 Jenis Makna

2.5.3 Faktor yang Mengakibatkan Perubahan Makna

2.5.4 Relasi Makna

2.5.5 Fokus Makna

2.6 Pengungkap Kala, Aspek, dan Modus dalam Bahasa Jepang

2.6.1 Kala dalam Bahasa Jepang

2.6.2 Aspek dalam Bahasa Jepang

2.6.3 Modalitas dalam Bahasa Jepang

2.7 Perilaku Sintaksis Pemarkah Ka

2.7.1 Pemarkah Ka yang Berposisi di Akhir kalimat

2.7.1.1 V-ikoukei + dewanai/janai + KA

2.7.1.2 V-kamus + mono/mon + KA

2.7.1.3 koto + KA

2.7.1.4 dewanai/janai + KA

(4)

2.7.1.6 V-te + kudasaimasu/kudasaimasen/itadakemasu/itadakemasen + KA

2.7.1.7 ~nai + mono + KA

2.7.1.8 no dewanai + KA

2.7.1.9 ~sasete itadakemasen + KA

2.7.1.10 V-te mimasen + KA

2.7.2 Pemarkah Ka yang Berposisi di Tengah Kalimat

2.7.2.1 ~KA to omou to/to omottara

2.7.2.2 V + KA + V-nai+ KA + uchi ni

2.7.2.3 KA + no you na ~/KA + no you ni ~/ ~KA + no you da

2.7.2.4 dokoro + KA

2.7.2.5 bakari + KA

2.7.2.6 ~no sei + KA/~no tame + KA

2.7.2.7 ~ga hayai + KA

2.7.2.8 ~KA+to ieba/~KA+to iu to/~KA+to miru to/~KA+to mireba/~KA+ to(omou)mamonaku/~KA+to sureba

2.7.2.9 Frase + KA + Frase + KA/Frase + KA + Kt. Tanya + KA

2.7.2.10 V-nai + KA + to omou

2.7.2.11 Shiyou + KA + Surumai + KA

(5)

BAB III ANALISIS DATA: PEMARKAH KA DALAM BAHASA JEPANG DAN PADANANNYA DALAM BAHASA INDONESIA

3.1 Analisis Semantis Pemarkah Ka

3.1.1 Pemarkah Ka yang Berposisi di Akhir Kalimat 3.1.1.1 V-keinginan+ dewanai/janai + KA

3.1.1.2 V-kamus + mono/mon + KA

3.1.1.3 koto + KA

3.1.1.4 dewanai/janai + KA

3.1.1.5 darou + KA

3.1.1.6 V-te + kudasaimasu/kudasaimasen/itadakemasu/itadakemasen + KA

3.1.1.7 ~nai + mono + KA

3.1.1.8 no dewanai + KA

3.1.1.9 ~sasete itadakemasen + KA

3.1.1.10 V-te mimasen + KA

3.1.1.11 no KA

3.1.2 Pemarkah KA yang Berposisi di Tengah Kalimat 3.1.2.1 ~KA to omou to/to omottara

3.1.2.2 V + KA + V-nai+ KA + uchi ni

3.1.2.3 KA + no you na ~/KA + no you ni ~/ ~KA + no you da

(6)

3.1.2.5 bakari + KA

3.1.2.6 ~no sei + KA/~no tame + KA

3.1.2.8 ~ga hayai + KA

2.7.2.13 ~KA+to ieba/~KA+to iu to/~KA+to miru to/~KA+to mireba/~KA+ to(omou)mamonaku/~KA+to sureba

2.7.2.14 Frase + KA + Frase + KA/Frase + KA + Kt. Tanya + KA

2.7.2.15 V-nai + KA + to omou

2.7.2.16 Shiyou + KA + Surumai + KA

2.7.2.17 Klausa/Frase + KA, Klausa/Frase

2.7.2.18 ToKA + ToKA

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN 4.1 Simpulan

4.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA DAFTAR SUMBER DATA LAMPIRAN DATA

(7)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap bahasa memiliki karakteristik masing-masing yang berbeda sehingga hal tersebut

menjadikan suatu bahasa menjadi unik. Keunikan ini, di satu sisi menjadi daya tarik tersendiri,

tapi di sisi lain keunikan ini menjadikan permasalahan tersendiri karena keunikan tersebut

menjadi hal pembeda dengan bahasa ibu yang dimiliki seseorang. Akan tetapi, permasalahan

perbedaan dalam bahasa ini dapat kita pecahkan, bila kita dapat memahami bagaimana sistem

suatu bahasa, yang salah satunya adalah sistem gramatika. Salah satu subsistem yang ada dalam

sistem gramatika adalah subsistem sintaksis. Subsistem sintaksis membahas dan mengatur

tentang kata yang kemudian akan menjadi satuan-satuan yang lebih besar lagi, yaitu mulai dari

frase, klausa, kalimat, dan akhirnya menjadi suatu satuan yang paling besar yaitu wacana.

Dengan memahami satuan-satuan di atas, kita dimungkinkan akan memahami makna sebuah

kalimat dari suatu bahasa.

Berbicara tentang keunikan, bahasa Jepang pun memiliki salah satu keunikan, yaitu dalam

kepemilikan joshi atau partikel yang tak terdapat dalam bahasa lain, khususnya bahasa Indonesia.

Oleh karena itu, pemunculan joshi dalam bahasa Jepang menjadi kendala tersendiri dalam

menguasai bahasa Jepang. Bisa dikatakan bahwa bila tidak menguasai tentang joshi ini, maka

akan menimbulkan kesalahpahaman dalam memahami makna dan maksud suatu kalimat bahasa

Jepang, misalnya dalam penggunaan partikel wacana wa dan ga dalam bahasa Jepang. Wa

(8)

disampaikan oleh pembicara berada setelah partikel wa. Sementara itu, bila menggunakan

partikel ga, informasi yang digunakan berada di depan ga-nya. Bagi pemelajar bahasa Jepang,

hal ini menjadi kendala tersendiri. Dengan kondisi ini, pembicaraan dan pembahasan tentang

joshi masih sering menjadi topik penting bagi pemelajar, para peneliti, dan peminat linguistik

bahasa Jepang.

Hirai (1982:161 dalam Sudjianto 2004:181) mendefinisikan joshi sebagai kelas kata yang

termasuk fuzokugo (kata yang tidak bisa berdiri sendiri) yang dipakai setelah suatu kata yang

menunjukkan hubungan antar kata tersebut dengan kata lain, sehingga menambah kata tersebut

lebih jelas lagi. Di dalam bahasa Jepang, joshi ini memiliki banyak jenisnya, diantaranya:

shuujoshi (partikel akhir kalimat), fukujoshi (partikel tengah kalimat), setsuzokujoshi (partikel

sambung), heiritsujoshi (partikel untuk menderetkan kata) dan sebagainya. Melihat begitu

beragamnya jenis joshi/partikel ini, maka bahasa Jepang menempatkan joshi sebagai salah satu

kelas kata yang penting. Hal ini pun tak terlepas dari kedudukan sintaksis dan semantis dari joshi

ini yang sangat bervariatif.

Salah satu joshi yang cukup memiliki keberagaman dalam penggunaan, baik secara sintaksis

maupun secara semantis adalah joshi ka. Sebenarnya ka merupakan salah satu joshi yang

dipelajari di awal-awal pembelajaran bahasa Jepang bagi pembelajar pemula (bahasa Jepang

sangat dasar) sebagai pemarkah tanya. Kemudian, joshi ka muncul dengan makin bervariasi dari

segi struktur dan maknanya. Penelitian tentang joshi ka memang telah dilakukan oleh beberapa

peneliti, tetapi masih menyisakan banyak hal yang masih tidak tersentuh oleh peneliti

sebelumnya. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Takiura (2007) yang membahasa tentang

fungsi makna dan fungsi komunikasi partikel akhir kalimat yaitu Ka, Yo, dan Ne. Di sini Takiura

(9)

sedangkan secara kategori gramatikalnya tidak begitu banyak yang dibahas. Bahkan beberapa

buku referensi pun banyak yang membahas tentang joshi ka ini, tetapi hanya berfokus hanya

kepada penggunaan dan maknanya saja, sedangkan secara struktural atau perilaku sintaksis dan

perilaku semantisnya tidak begitu dimuncul.

Beberapa contoh sederhana tentang pemakaian joshi ka seperti terlihat di bawah ini.

1) シャルマさんは留学生ですか。(SFJI:9)

Sharuma san wa ryuugakusei desu ka.

Sharma sdr. Part. topik mhs asing cop. Part. Ka

‘Apakah Saudara Sharma mahasiswa asing?’

2) シャルマさんの先生はどなたですか。(SFJI:13)

Sharuma san no sensei wa donata desu ka.

Sharma sdr. Part. No guru Part. topik siapa cop. Part. Ka

‘Siapakah gurunya Saudara Sharma?’

3) 明日は新幹線で行きますか。(Joshi:14)

Ashita wa shinkansen de ikimasu ka.

besok Part.topik kereta shinkansen datif pergi Part.Ka

‘Apakah besok akan pergi dengan naik kereta Shinkansen?’

Dalam kalimat 1) dan 2) di atas, joshi ka muncul dalam kalimat berpredikat kata benda,

sehingga ka dilekatkan dengan kopula desu. dalam kalimat 1) dan 2), maka kita akan memahami

bahwa fungsi joshi ka adalah sebagai pemarkah tanya. Pada nomor 1), ka berfungsi sebagai

pemarkah tanya untuk kata ryuugakusei ‘mahasiswa asing’ dan merupakan kalimat tanya yang

berfungsi untuk mengkonfirmasi sebuah pengetahuan yang dimiliki oleh pembicara. Sementara

(10)

dare). Kalimat 2) merupakan kalimat tanya untuk menanyakan suatu hal. Selain itu, joshi ka pun

dapat dilekatkan bukan hanya dengan kata benda, tapi dapat dilekatkan dengan kalimat yang

berpredikat kata kerja seperti nomor 3), sehingga tidak diperlukan lagi kopula desu di akhir

kalimatnya. Dalam kalimat 3) pun, pembicara melakukan pertanyaan untuk mengkonfirmasi

kepada mitra bicaranya tentang cara kepergiannya. Hal mendasar ini penting untuk diketahui

karena akan menentukan variasi bentuk lainnya, misalnya dalam bentuk negatifnya. Dalam

kalimat berpredikat kata benda, maka bentuk negatifnya menjadi ~dewanai/~janai, sedangkan

bila berpredikat kata kerja akan menjadi ~masen/`~nai.

Dalam percakapan sehari-hari terkadang joshi ka dapat dilesapkan diganti dengan

pemakaian intonasi akhir yang menaik. Akan tetapi, tidak semua joshi ka dapat dilesapkan dan

diganti dengan intonasi, walaupun intonasi tersebut seperti bertanya. Pelesapan joshi ka akan

menjadikan suatu kalimat menjadi aneh dan akan menimbulkan pergeseran makna. Jelasnya,

kemunculan joshi ka ini sangat mutlak diperlukan dalam sebuah kalimat tertentu dan akan sangat

berpengaruh pada perbedaan makna sebuah kalimat.

Seperti telah dinyatakan di muka bahwa joshi ka memiliki beragam fungsinya, baik

secara sintaksis maupun semantis. Misalnya seperti contoh berikut.

4) その問題を考えるなら、この本を読んでみませんか。(Joshi:14) sono mondai o kangaeru nara, kono hon o yonde

itu masalah Part.objek memikirkan kalau, ini buku Part.objek membaca

mimasen ka.

tidak mencoba Part.Ka

‘Kalau memikirkan masalah ini, bagaimana kalau mencoba membaca buku ini!’

(11)

mado o akete kudasaimasen ka.

jendela Part.objek membuka tidak meminta Part.Ka

‘Maukah membukakan jendela!’

Dalam kalimat 4) dan 5), joshi ka muncul bersama verba negatif, berbentuk pertanyaan

negatif. Pada kalimat 4) joshi ka tidak lagi menunjukkan fungsi sebagai pemarkah tanya, tapi

berganti menjadi kalimat imperatif yang menunjukkan saran kepada orang lain untuk melakukan

sesuatu. Sementara itu, pada kalimat 5) joshi ka muncul bersama dengan kalimat perintah yang

ditandai dengan bentuk kudasai sebagai pemarkah perintah (imperatif) dalam bahasa Jepang,

kemudian dirubah dalam bentuk negatif. Dalam bentuk seperti ini, joshi ka dapat menunjukkan

makna permintaan yang tidak langsung. Dari kalimat 4) dan 5) ini, dapat ditarik sebuah simpulan

bahwa pemarkah ka dapat menunjukkan perilaku sintaksis dan semantik lain. Bandingkan pula

dengan kalimat berikut ini.

‘Kalau ingin dapat nilai bagus, bukankah lebih baik banyak belajar!’ 7) 息子から半年も連絡がない。一体何をしていることか。2級:95

Musuko kara hantoshi mo renraku ga nai. Anak lelaki dari setengah tahun sampai kontak Part tidak ada Ittai nani o shite iru koto ka. Gerangan apa Part.objek sedang melakukan nom. Semu Part.Ka

‘Tidak ada kontak dari anak lelaki saya sampai setengah tahun. Gerangan apa yang sedang dia lakukan?’

Dalam kalimat 6), bila melihat terjemahan di atas tentu kita akan merasakan bahwa

(12)

kita telusuri kalimat di atas, bukan tidak mungkin pembicara pun memiliki maksud lainnya, yaitu

bagaimana fungsi kemunculan akhiran negatif ~janai desu yang ditambahkan pemarkah ka.

Kalimat ini pun dapat menunjukkan sikap menegaskan dari pembicara, sedangkan dalam kalimat

7), merupakan kalimat retorik, yaitu pembicara seolah sedang berbicara kepada dirinya sendiri,

sehingga tidak perlu ada jawaban verbal dari mitra bicaranya atau mungkin menunjukkan sikap

marah atau bingung dari pembicara.

Dari beberapa contoh kalimat di atas, kita perlu menelaah kembali tentang kalimat tanya

yang sepertinya hanya menunjukkan sebuah pertanyaan untuk sekedar mengkonfirmasi atau

kalimat yang menggunakan kata tanya seperti siapa, apa, dan bagaimana atau bahkan hanya

berupa kalimat dengan intonasi tanya. Di sini sepertinya masih tersisa adanya kesamaran tentang

kalimat tanya dalam bahasa Jepang.

Di dalam referensi buku-buku sintaksis bahasa Indonesia pun, batasan mengenai kalimat

tanya hanyalah mencakup kepada fungsi sebagai hal yang menanyakan sesuatu dengan pola

intonasi bernada akhir naik dan penggunaan kata tanya sebagai penanda kalimat tanya seperti

apa, apakah, mengapa, siapa, dll (Ramlan, 1981:33-45). Sementara itu, Chaer (2008:46)

mendefinisikan kalimat tanya sebagai kalimat yang berisi pertanyaan, yang perlu diberi jawaban.

Dalam bukunya, Chaer pun banyak memberikan keterangan tentang penggunaan kata-kata tanya

dalam kalimat tanya, tetapi hanya sedikit memberikan keterangan bahwa kalimat tanya atau

interogatif dapat digunakan untuk keperluan lainnya, seperti: menegaskan, menyuruh, mengejek,

serta menawarkan barang dagangan.

Dalam contoh-contoh kalimat bahasa Jepang di atas, khususnya yang menggunakan

(13)

keperluan yang lebih banyak lagi. Untuk itu, perlu penelaahan yang lebih dalam tentang

pemarkah ka, sehingga dapat dipahami arah maknanya.

Bahasa Jepang merupakan bahasa yang memiliki perubahan secara gramatikal dalam

pembentukan kata, sedangkan bahasa Indonesia lebih bersifat leksikal dalam pembentukan

katanya. Salah satunya dalam pembentukan kala atau keaspekan dalam bahasa Jepang

mengalami perubahan bentuk kata kerja secara gramatikal, yaitu dari kata kerja bentuk kamus

yang berakhiran ~u menjadi ~ta dalam kala lampau dan menjadi ~te iru sebagai penanda

keaspekan ‘sedang’. Bentuk ~ta dan ~te iru pun masih dapat berubah ke dalam bentuk negatif

menjadi ~nakatta dan ~te inai atau ~te inakatta dalam bentuk negatif lampau. Pemahaman

terhadap perubahan bentuk gramatikal ini sangat penting untuk dipahami karena selain secara

makna berbeda, juga akan berpengaruh kepada pembentukan jenis kalimat, sehingga apakah

sebuah kalimat dapat berterima atau tidak, termasuk juga ketika dilekatkan dengan joshi ka.

Misalnya seperti contoh berikut ini. hujan, tidak turun Part.Ka. ramalan cuaca menurut siang dari hujan kala lampau ‘Bukankah sedang turun hujan? Menurut ramalan cuaca akan hujan dari siang’. 10)たぶん、雨がまだ降っているんじゃないか。

tabun, ame ga mada futte iru n janai ka mungkin, hujan Part.nom masih sedang turun bukan Part.Ka ‘Bukankah mungkin hujan masih turun?’

Kalimat no 8) dianggap sebagai kalimat yang tidak berterima setelah dilekatkan dengan

joshi ka, meskipun pada awalnya kalimat tersebut berterima, baik secara gramatikal maupun

(14)

ka menjadi tak berterima. Bandingkan dengan kalimat 9), meskipun memiliki bentuk yang sama

(~te inai ka sama dengan ~te masen ka) kalimat 9) dianggap berterima. Kedua kalimat tersebut

sama-sama mempertanyakan tentang sebuah kondisi yang belum diketahui dengan jelas oleh

pembicara. Akan tetapi, pada kalimat 8) hanya memprediksi saja, sedangkan kalimat 9)

memprediksi setelah adanya pengetahuan terlebih dahulu. Kalimat 8) dapat dibandingkan dengan

kalimat 10) yang dianggap lebih berterima dengan menggunakan frase ~n janai ka. Sementara

itu, dalam kalimat yang berpredikat kata seperti pada contoh kalimat 11) dan 12) di bawah ini

dapat berterima.

Dalam kalimat 11) kata ame ‘hujan’ dapat langsung dilekatkan dengan bentuk negatif

untuk kata benda, yaitu nom + janai atau dewanai, sehingga berubah ke dalam bentuk kalimat

tanya negatif-ingkar menjadi ~janai ka. Hal ini serupa dengan kalimat 8) yang mana bentuk

keaspekan positif ~te iru dapat langsung berubah ke dalam bentuk negatif menjadi ~te inai/~te

imasen dan bila dirubah ke dalam bentuk kalimat tanya negatif-ingkar menjadi ~te inai ka atau

~te imasen ka. Akan tetapi, pemakaiannya tidak serta merta dapat diterima seperti halnya dalam

bentuk negatif berpredikat kata benda. Sementara itu, kalimat 12) memiliki pola yang sama

dengan kalimat 10), yaitu dengan melekatkan ~n atau ~nan di depan bentuk negatifnya.

Permasalahan penggunaan joshi ka tidak hanya berhenti pada masalah struktur saja, tetapi

(15)

salah satu bahasa yang memiliki tingkat kerumitan makna yang cukup tinggi dalam penggunaan

kata atau pola kalimat. Artinya, dalam satu ungkapan dapat ditunjukkan oleh banyak kata atau

pola kalimatnya, termasuk juga dalam penggunaan kata atau pola kalimat yang menggunakan

joshi ka. Beberapa contoh pembentukan pola kalimat yang menggunakan joshi ka, yang memiliki

makna serupa, diantaranya: ~darou ka, ~no dewanai ka, ~ka mo shirenai, ~janai ka/~nan janai

ka, serta ~ka to omou. Pola kalimat ini memiliki fungsi makna yang serupa yaitu dapat

menunjukkan ketidakpastian/ketidakjelasan informasi dari pembicara. Hal ini menimbulkan

banyak pertanyaan, yaitu: bagaimana derajat kepastian/kejelasan informasi dari pola kalimat di

atas, apakah bisa saling dipertukarkan, apakah terdapat penanda-penanda kalimat lainnya yang

dapat memunculkan tingkat keberterimaan dan derajat kemungkinannya.

Secara struktur, pemunculan joshi ka tidak hanya berada di akhir suatu kalimat, tapi juga

dapat disisipkan di tengah kalimat. Kemunculan joshi ka di tengah kalimat sangat bervariatif

seperti halnya joshi ka yang berposisi di akhir kalimat. Bahkan tak jarang menimbulkan

pertanyaan apa fungsi dan makna kemunculan joshi ka di sana. Berikut beberapa contoh

penggunaan joshi ka yang berposisi di tengah kalimat.

13)飛行機は飛び上がるか上がらないうちに、見えなくなりました。(Joshi:15) hikouki wa tobiagaru ka agaranai uchi ni, mienakunarimashita.

pesawat Part. topik terbang Part.Ka tidak terbang selagi, menjadi tidak terlihat

‘Begitu pesawat lepas landas langsung hilang’.

14)空が暗くなったかと思ったら、大粒の雨が降ってきた。(Noken2:50)

sora ga kurakunatta ka to omottara,

langit Part.subjek menjadi gelap Part.Ka bahwa ketika berpikir,

(16)

butiran besar Part.no hujan Part.subjek turun

‘Begitu langit menjadi gelap langsung hujan besar turun’.

Dalam kalimat 13) dan 14), ka muncul di tengah kalimat. Dalam kalimat 13), ka muncul

diapit oleh dua kata kerja yang sama dalam bentuk positif dan negatif. Joshi ka seperti dalam

kalimat seperti ini, muncul bersama kata tugas ~uchi ni yang menunjukkan fungsi keaspekan

dalam bahasa Jepang. Akan tetapi, kedudukan dan fungsi ka cukup sulit untuk dipahamai

maknanya. Bila dilihat dari kalimat di atas dan diterjemahkan secara harfiah, maka akan muncul

penerjemahan yang sulit dipahami, yaitu

13)` ‘Selagi pesawat apakah terbang atau tidak terbang, menjadi tidak terlihat/hilang’.

Apakah dalam kalimat ini terdapat sikap pembicara yang masih ragu apakah pesawatnya sudah

terbang atau tidak, perlu penelaahan lebih dalam.

Demikian pula dengan kalimat 14), fungsi dan makna joshi ka-nya sulit untuk dipahami.

Bila diterjemahkan secara harfiah, yaitu.

14)`‘Ketika saya berpikir apakah langit sudah menjadi gelap, hujan besar turun’.

Dalam kalimat ini, terasa pembicara masih mengira-ngira kondisi di luar/langit. Hal ini pun perlu

telaah lebih lanjut tentang sikap pembicara di atas.

Sementara itu, Chaer (2009:214) mengatakan bahwa yang disebut fokus makna adalah

upaya untuk penonjolan, penegasan, pementingan, penekanan, atau pengkonsentrasian pada

salah satu unsur atau bagian kalimat yang salah satunya dapat diupayakan dengan bantuan

sebuah partikel. Dengan demikian, apakah kedudukan pemarkah atau joshi ka ini dapat

(17)

kalimat pada nomor 13) dan 14) di muka atau ada peran dan makna lain yang terkandung di

dalamnya. Menurut Hirai seperti yang dinyatakan di muka bahwa dengan pemunculan joshi,

maka sebuah kata akan lebih jelas artinya, sedangkan bagaimana kedudukan joshi seperti pada

kalimat 13) dan 14) di atas.

Melihat pemakaian ka seperti pada contoh kalimat di muka, maka dapat ditarik simpulan

sementara bahwa pemakaian joshi ka dalam sebuah kalimat cukup bervariatif. Oleh karena itu,

perlu dilakukan analisis berdasarkan distribusinya. Distribusi dapat diartikan sebagai sifat

segmen atau konstituen di dalam struktur kalimat, yang dalam hal ini adalah joshi ka dan

bagaimana konstituen yang melekat dengan joshi ka itu sendiri.

Istilah distribusi pertama kali dicetuskan oleh Leobard Bloomfield. Istilah ini dapat

dipakai dalam dua arti, yaitu: (1) distribusi diartikan sebagai sifat segmen atau konstituen di

dalam struktur tertentu. Masing-masing segmen dapat dianalisis menurut distribusinya dalam

sebuah kalimat atau dalam segmen yang lebih pendek, misalnya mana subjeknya dari predikat

yang mana, dan seterusnya. Analisis seperti ini adalah analisis menurut distribusi structural, (2)

distribusi dalam artian sitemis, yaitu menyangkut mungkin tidaknya salah satu konstituen

struktur diganti oleh unsur lain. Bila dua unsur dapat saling mengganti dalam satu struktur

tertentu, maka distrubusi kedua unsur tersebut adalah paralel. Sementara itu, bila dua unsur tidak

dapat saling mengganti dalam struktur tertentu, maka distribusi kedua unsur tersebut adalah

komplementer.

Dengan timbulnya beberapa pertanyaan penelitian di atas, maka penelitian tentang

(18)

tingkat pemahaman yang nyata bagi pengembangan ilmu linguistik bahasa Jepang maupun

bahasa Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasar latar belakang masalah di muka, maka dapat diambil beberapa rumusan

permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:

- Unsur-unsur apa saja yang dapat dimarkahi oleh ka dalam kalimat.

- Bagaimanakah distribusi pemarkah ka dalam kalimat.

- Bagaimana makna pemarkah ka.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

- Untuk merumuskan unsur-unsur apa saja yang dapat dimarkahi oleh pemarkah ka dalam

sebuah kalimat.

- Untuk menganalisa pemarkah ka berdasarkan distribusinya dalam kalimat.

- Untuk menjelaskan makna pemarkah ka.

(19)

1.4.1 Kegunaan Teoretis

Manfaat teoretis penelitian ini adalah dapat merumuskan dan menjelaskan secara

sintaksis pemarkah ka. Dengan analisis secara sintaksis ini, dapat diketahui unsur-unsur

apa saja yang dapat dimarkahi oleh ka. Selain itu, dengan menggunakan teori distribusi

diharapkan dapat mengetahui konstituen apa saja yang dapat diganti atau dilesapkan

dalam kalimat yang berpemarkah ka. Kemudian, setelah dilakukan analisis secara

semantis dapat diketahui makna-makna dari pemarkah ka, baik yang berposisi di ahkir

kalimat maupun di tengah kalimat.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pengayaan

dan acuan dalam pembelajaran bahasa Jepang di Indonesia serta dalam penerjemahan ,

baik dari bahasa Jepang ke bahasa Indonesia atau sebaliknya, khususnya dalam

pemakaian pemarkah ka. Selain itu, bagi peminat/pemelajar bahasa Jepang diharapkan

dapat menjadi bahan pembelajaran dalam memahami tentang pemarkah ka, sedangkan

bagi peneliti linguistik dapat menjadi bahan referensi dalam memahami ilmu linguistik

dunia.

1.5 Kerangka Teori

Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini digunakan beberapa referensi yang

dikemukan oleh beberapa ahli/pakar linguistik Indonesia maupun asing, sehingga dapat saling

(20)

teori yang berkembang selama ini, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa asing lainnya,

seperti: Chaer (2009 dan 2012), Kridalaksana (2002), Chomsky (1957 dan 1965), Ramlan

(1996), Suhardi (2013), Ida Bagus Putrayasa (2010). Dalam buku-buku ini dibahas tentang

beberapa teori dalam tataran sintaksis, misalnya tentang tentang frasa, klausa, serta kalimat.

Diharapkan dengan mengetahui teori-teori sintaksis di atas dapat memahami kedudukan

unsur-unsur/konstituen-konstituen dalm sebuah kalimat. Dalam bahasa Jepang digunakan karya

Teramura Hideo (Nihongo no Sintakusu to Imi jilid I dan II), Tsujimura (1996), Suzuki (1990),

Kokuritsu Kokugo Kenkyuujo (1951) mengenai Joshi dan Jodoushi, Keichiro (1986) tentang

Joshi, Nitta (2010). Diharapkan dengan membaca teori-teori tentang joshi dalam bahasa Jepang

dapat lebih memahai tentang peran joshi dalam sebuah kalimat.

Untuk teori semantik akan digunakan teori-teori seperti: J.D. Parera (2004), Mansoer Pateda

(2010), Chaer (2012), Djajasudarma (Semantik I dan II), Stephen Ullman (2007). Dengan

membaca referensi tentang semantik, diharapkan dapat memahami tentang makna dan jenis

makna, sehingga dapat pula mengetahui makna apa saja yang terkandung dalam pemarkah ka.

Selain itu, dalam semantik terdapat tentang teori relasi makna yang berfungsi untuk mengetahui

bagaimana hubungan makna antar satuan-satuan unsur dalam kalimat. Dengan memahami teori

ini diharapkan juga dapat memahami bagamiana hubungan makna pemarkah ka dengan

konstituen atau unsur lainnya dalam kalimat.

Sementara itu, teori modalitas diambil dari Hasan Alwi (1990) dan Modalitas dalam bahasa

Jepang karya Nitta Yoshio (1994), Nihongo Kizutsu Bunpou Kenkyuukai (2003), F.R. Palmer

(2001), Masaoka (1991). Pengambilan teori ini diharapkan dapat memberikan kejelasan tentang

(21)

pun tidak menutup kemungkinan memiliki kaitan dengan modalitas, misalnya salah satu

fungsinya adalah sebagai pemarkah tanya.

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Metode Penjaringan data

Penjaringan data yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu:

(1) mengumpulkan data yang diambil dari beberapa referensi dengan melakukan pencatatan

dalam kartu data. Data yang diambil adalah data-data kalimat baik yang berupa kalimat monolog

maupun yang berupa kalimat dialog. Data yang dikumpulkan adalah data-data yang

menggunakan joshi ka yang berposisi di akhir kalimat dan tengah kalimat. Untuk joshi yang

berposisi di akhir kalimat terbagi menjadi dua jenis yaitu sebagai pemarkah tanya atau yang

bukan sebagai pemarkah tanya, sedangkan yang berposisi di tengah kalimat pun ada yang

berfungsi sebagai pemarkah tanya dan bukan sebagai pemarkah tanya. Selain itu,

kalimat-kalimat yang memiliki kesamaan makna dengan kalimat-kalimat yang menggunakan joshi ka

dikumpilkan sebagai bahan pembanding,

(2) data yang telah dicatat, kemudian dipilih dan dipilah berdasarkan fungsi dan kedudukannya

dalam kalimat. Pemilihan dan pemilahan data didasarkan pada konstituen/kata yang dilekatkan

dengan pemarkah ka, misalnya yang diikuti oleh bentuk positif dan bentuk negatif. Kemudian,

pemilahan dilakukan dari segi makna yang sama, misalnya ~darouka dan ~janaika yang

memiliki makna perkiraan disandingkan agar dapat diketahui perbedaan strukturnya dan nuansa

(22)

1.6.2 Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Teknik Ganti/sanding yaitu teknik yang digunakan untuk mengganti kalimat yang telah

didapat dari sebuah sumber, kemudian diganti atau disandingkan dengan kalimat lain

yang memiliki pola kalimat yang bermakna serupa baik yang menggunakan joshi ka atau

dengan pola kalimat lainnya. Dengan teknik ini akan diketahui perbedaan maknanya.

Misalnya, seperti contoh berikut.

15)男女差別の問題について真剣に考えようではありませんか。

Danjo sabetsu no mondai ni tsuite shinken ni kangaeyou de wa arimasen ka.

Perbedaan gender Pos. masalah mengenai dengan serius mau memikirkan tidak Part.Ka ‘Mari kita memikirkan dengan serius mengenai masalah perbedaan gender!’

16)男女差別の問題について真剣に考えましょう。

Danjo sabetsu no mondai ni tsuite shinken ni kangaemashou. Perbedaan gender Pos. masalah mengenai dengan serius memikirkan btk. Ajakan ‘Mari kita memikirkan dengan serius mengenai masalah perbedaan gender!’

b. Teknik Lesap yaitu teknik penelitian yang berupa penghilangan atau pelesapan unsur

satuan lingual dari sebuah data. Dengan teknik ini diharapkan dapat diketahui tentang

keintian sebuah kalimat. Misalnya seperti contoh berikut.

17)彼はそのことについては、何も知らないかのような顔をしている。 Kare wa sono koto ni tsuitewa, nanimo shiranai ka no youna kao o shite iru.

dia Part.topik hal itu tentang, apapun tidak tahu Part.Ka Part. no seolah wajah melakukan

(23)

Joshi ka pada kalimat di atas dicoba untuk dilesapkan menjadi seperti kalimat di bawah

ini yang tanpa joshi ka dan secara otomatis partikel no pun tidak diperlukan lagi. Dengan

pelesapan ini akan diketahui kedudukan joshi ka apakah berterima atau tidak bila

dilesapkan.

18)彼はそのことについては、何も知らないような顔をしている。 Kare wa sono koto ni tsuite wa, nanimo shiranai you na kao o shite iru.

c. Teknik Ubah Ujud

Teknik ini digunakan untuk mengetahui bagaimana perbedaan makna joshi ka bila

dipindahposisikan letaknya. Dengan perpindahan ini apakah akan memiliki nuansa

makna yang sama atau tidak, atau bahkan kalimat tersebut menjadi tidak berterima.

Misalnya seperti contoh berikut, joshi ka pada kalimat 19) yang melekat pada kata tanya

naze ‘mengapa’ dipindahkan posisinya di akhir kalimat seperti pada kalimat 20).

19)なぜか なみだがあふれてきて、仕方がありませんでした。Joshi:15 Naze ka namida ga afurete kite, shikata ga arimasen deshita. mengapa Part.Ka air mata Part.nom meluap, cara Part.nom tidak ada (lampau)

‘Mengapa air matanya benar-benar meluap?’

20)なぜ なみだがあふれてきて、仕方がありませんでしたか。 Naze namida ga afurete kite, shikata ga arimasen deshita ka.

(24)

Penyajian hasil analisis data disajikan secara metode formal. Metode formal adalah

perumusan kaidah atau kaidah-kaidah dengan menggunakan tanda, dan lambang-lambang

(Sudaryanto, 1993:144 dalam Muhammad). Dengan metode ini diharapkan makna kaidah dan

hubungan antarkaidah dan kekhasannya kaidah dapat diketahui dan dipahami. Kemudian, data

tersebut diinterpretasikan.

1.7 Sumber Data Penelitian

Data penelitian ini berupa pemakaian pemarkah ka dalam berbagai jenis kalimat bahasa

Jepang. Agar data penelitian ini lebih bervariasi, sehingga ditemukan banyak penggunaan dalam

segala situasi, baik situasi semi formal, formal maupun nonformal. Untuk menjaga agar data

tersebut lebih mendalam secara makna, digunakan beberapa novel dari jaman lama sampai

modern. Untuk itu, data diambil dari beberapa referensi, diantaranya:

a. Buku pelajaran yang digunakan dalam pembelajaran bahasa Jepang di Indonesia.

b. Novel berbahasa Jepang.

c. Koran berbahasa Jepang

d. Komik berbahasa Jepang

e. Majalah berbahasa Jepang

(25)

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Penelitian Terdahulu

Seperti yang telah dikemukan di muka bahwa joshi/partikel dalam bahasa Jepang

merupakan kelas kata yang sangat penting dalam bahasa Jepang serta kedudukannya sangat

vital dalam sebuah kalimat. Oleh karena itu, pembahasan atau penelitian tentang joshi ini

menjadi sangat popular dan penting, tak terkecuali dengan pemarkah atau joshi ka. Beberapa

penelitian tentang joshi ka ini diantaranya adalah:

Yoshihashi Kenji dan Nishinaki Kuko dari Tokyo Kougyou Daigaku melakukan survei

secara kuantitatif tentang pemakaian joshi ka. Dalam penelitian ini dibahas tentang fungsi

joshi ka yang menyatakan penderetan atau penyusunan beberapa objek yang menunjukkan

arti pemilihan suatu hal atau suatu perbuatan. Dalam penelitian ini telah dihitung tentang

jumlah pemunculan kalimat yang menggunakan joshi ka dalam menyatakan makna

pemilihan.

Takiura Masako meneliti tentang fungsi makna dan fungsi komunikasi partikel akhir

kalimat Ka, Yo, dan Ne dilihat dari sisi modalitas dan kesantunan. Dalam penelitian ini

dibahas tentang perbandingan fungsi modalitas dan kesantunan dari ketiga partikel tersebut.

Karena hanya membandingkan ketiga partikel tersebut, maka contoh-contoh kalimat yang

muncul sangat sederhana dan tidak komplek, sehingga peranan joshi ka kurang dapat

(26)

Penelitian selanjutnya ialah yang ditulis oleh Teinatsushun yang meneliti tentang

pelesapan joshi ka dalam kalimat tanya yang mengandung joshi ka. Dalam penelitian ini

dibandingkan bagaimana kalimat yang memiliki pemarkah ka dengan yang tidak

menggunakan pemarkah ka. Dalam penelitian terdapat kalimat yang dapat dilesapkan

pemarkah ka, tapi juga terdapat kalimat yang tidak bisa dilesapkan pemarkah ka-nya.

Jelasnya partikel tersebut dihilangkan digantikan dengan intonasi tanya seperti halnya fungsi

pemarkah ka. Hasilnya terdapat perbedaan makna antara yang menggunakan ka dengan yang

tidak menggunakan pemarkah ka.

Selain itu, memang masih banyak buku-buku yang membahasa tentang joshi ka ini,

hanya saja dalam buku-buku tersebut hanya beberapa contoh pemakaian joshi ka yang

muncul dan bila dilihat dari segi cara penganalisaan bahasa, buku-buku tersebut belum

menganalisa secara dalam bagaimana hubungan joshi ka dengan konstituen lainnya.

Misalnya, bagaimana hubungan joshi ka dengan bentuk kala dan keaspekan dan bagaimana

makna yang ditimbulkannya. Selain itu, beberapa pola kalimat yang menggunakan joshi ka,

terutama yang berposisi di akhir kalimat banyak memiliki kesamaan makna, sehingga hal ini

perlu untuk dianalisa lebih dalam bagaimana perbandingan makna dari pola-pola kalimat

tersebut apakah bisa saling menggantikan atau tidak. Melihat hal tersebut, penulis

memandang perlu untuk terus meneliti tentang pemakaian joshi ka ini. Terlebih lagi, dalam

penelitian ini penulis mencoba untuk mencarikan bagaimana pengungkapan joshi ka ini ke

dalam bahasa Indonesia, sehingga diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan

(27)

2.2 Tataran Sintaksis 2.2.1 Kelas kata

Berbicara mengenai kategori gramatikal suatu bahasa kita tidak akan terlepas dari

kategori primer yakni kelas kata, dan kategori sekunder, yakni modus, kala, aspek, diatesis,

jumlah, dan kasus. Kelas kata (jenis kata) adalah golongan kata dalam suatu bahasa berdasarkan

kategori bentuk, fungsi, dan makna dalam sistem gramatikal (Widjono, 2007 : 131)

Ada berbagai teori yang dikemukakan para ahli bahasa mengenai kelas kata dalam

tatabahasa Indonesia, tetapi yang cukup berpengaruh di kalangan pengajar adalah kelas kata

yang dikemukakan oleh C.A. Mees (1957) dalam Kridalaksana (2007 : 18) yaitu :

1. Kata benda atau nomen substantivum

2. Kata keadaan atau nomen adjectivum

3. Kata ganti atau pronominal

4. Kata kerja atau verba

5. Kata bilangan atau numeri

6. Kata sandang atau articulus

7. Kata depan atau praepositio

8. Kata keterangan atau adverbium

9. Kata sambung atau conjunction

10.Kata seru atau conjunction

Menurut Widjono (2007 : 131) kelas kata bahasa Indonesia terbagi atas 13 yaitu : Verba,

Adjektiva, Nomina, Pronominal, Numeralia, Adverbia, Interogativa, Demontrativa, Artikula,

Preposisi, Konjungsi, Fatis, serta , Interjeksi. Kelas kata menjadi penting dalam sebuah

(28)

1. Melambangkan pikiran atau gagasan yang abstrak menjadi konkret

2. Membentuk bermacam-macam struktur kalimat

3. Memperjelas makna gagasan kalimat

Dalam bahasa Jepang kelas kata yang dikenal dengan istilah hinshi juga berbeda-beda.

Murata (2007 : 29) mengemukakan kelas kata bahasa Jepang terdiri dari 12 jenis yang salah

satunya adalah joshi atau partikel.

Sementara itu, Sekimasa (2008:241) menyatakan bahwa ada delapan jenis kelas kata dalam bahasa Jepang. Akan tetapi, Sekimasa tidak menyebutkan adanya joshi atau partikel sebagai

salah satu kelas kata, tapi memasukkan Setsuzokushi/Konjungsi sebagai salah satu kelas kata. Di

dalam setsuzokushi sendiri, istilah joshi masuk ke salah satu bagian sestuzokushi yaitu

setsuzoku-joshi/partikel sambung.

Selanjutnya, Suzuki Shigeyuki (1972:504) membagi kelas kata bahasa Jepang ke dalam 4

kelas yaitu:

1. Kelas kata utama, yaitu : kata benda, kata kerja, kata sifat, dan kata keterangan

2. Kelas kata yang melengkapi arti yang bersifat menjelaskan kalimat, yaitu: kata sambung

dan kata keterangan pelengkap

3. Kelas kata yang bersifat membantu, yaitu: posposisi dan akhiran

4. Kalimat dan kata, yaitu: interjeksi

Penentuan kriteria kelas kata seperti yang terlihat di muka sangat berbeda-beda. Hal ini

bergantung kepada kriteria apa yang digunakan untuk mementukan kriteria kelas katanya. Dalam

(29)

(Suhardi, 2013:119). Akan tetapi, persoalan terpenting adalah bukan hanya tentang kriteria

tersebut, tetapi bagaimana perilaku sintaksis dari kelas kata tersebut dalam kontruksi sintaksis

yang lebih besar, misalnya dalam frasa, klausa atau kalimat.

Dengan masuknya joshi/partikel ke dalam salah kelas kata, maka kedudukan partikel ini

akan sangat berpengaruh dan penting dalam sebuah kalimat, karena akan menentukan bagaimana

struktur dan makna sebuah kalimat, tak terkecuali dengan joshi ka.

2.2.1.1 Joshi dan Fungsinya

Partikel atau dalam bahasa Jepang disebut Joshi dapat didefinisikan sebagai salah satu

jenis kata yang tidak dapat berdiri sendiri dan menempel di belakang sebuah kata. Pada

dasarnya fungsi dari joshi adalah untuk membuat hubungan antara suatu bagian sebagai hal

atau peristiwa dan satuan bagian lain sebagai penjelas atau deskripsi. Tanpa memasukkan

partikel, maka akan menimbulkan interpretasi atau pemahaman yang salah. Uraian di atas

dapat menjelaskan bahwa peran dari partikel sangatlah penting.

Sementara itu, Hirai (1982:161 dalam Sudjianto, 2004:181) menyatakan bahwa joshi

adalah kelas kata yang termasuk Fuzokugo yang dipakai setelah suatu kata untuk

menunjukkan hubungan antara kata tersebut dengan kata lain serta untuk menambahkan arti

kata tersebut lebih jelas lagi. Selanjutnya, kelas kata joshi tidak mengalami perubahan

bentuknya. Joshi sama dengan jodoushi (kata kerja bantu) kedua-duanya termasuk fuzokugo,

namun kelas kata jodoushi dapat mengalami perubahan bentuk. Kelas kata lain yang dapat

disisipi oleh joshi adalah meishi (kata benda), doushi (kata kerja), i-keiyoushi (kata sifat i),

(30)

2.2.1.2 Jenis Joshi

Pengelompokkan joshi oleh beberapa pakar berbeda-beda. Hirai (1982:161 dalam

Sudjianto, 2004:181) membagi joshi ke dalam empat jenis, yaitu

a. Kakujoshi 格助詞

Kakujoshi pada umumnya dipakai setelah nomina untuk menunjukkan hubungan antara

nomina tersebut dengan kata lain. Yang termasuk ke dalam kakujoshi adalah Ga, No, O,

Ni, E, To, Yori, Kara, De, dan Ya.

b. Setsuzokujoshi 接続助詞

Setsuzokujoshi dipakai setelah yoogen (doushi/kata kerja, i-keiyoushi/kata sifat i, dan

na-keiyoushi/kata sifat na) atau setelah jodoushi untuk melanjutkan kata-kata yang ada

sebelumnya terhadap kata-kata yang ada pada bagian berikutnya, diantaranya: -ba, to,

keredo, -temo, -nagara, -tari, dan lain-lain.

c. Fukujoshi 副助詞

Fukujoshi dipakai setelah berbagai macam kata. Seperti adverbia, fukujoshi berkaitan erat

dengan bagian kata berikutnya. Joshi yang termasuk jenis ini adalah wa, mo, ka, koso,

sae, demo, shika, dan lain-lain.

d. Shuujoshi 終助詞

Shuujoshi pada umumnya dipakai setelah berbagai macam kata pada bagian akhir kalimat

untuk menyatakan suatu pertanyaan, larangan, seruan, rasa haru, dan sebagainya. Joshi

(31)

Sementara itu, Tanaka (1990:27) membagi joshi/partikel ke dalam enam

kelompok, yaitu menambahkan dua kelompok dari pembagian joshi menurut Hirai di

atas, yakni:

e. Kakarijoshi 係助詞

Partikel ini berfungsi untuk menerangkan kata tertentu sebagai penekanan dalam kalimat.

Partikel yang termasuk golongan ini adalah Wa, Mo, Koso, dan Shika.

f. Kantoujoshi 冠等助詞

Partikel ini berfungsi untuk memberikan penekanan pada suatu kata dan memisahkan

kata tersebut dengan kata lain dalam kalimat. Partikel yang termasuk golongan ini, yaitu:

Ne, Sa, Yo

Sedangkan, dalam buku referensi yang diterbitkan The National Research Institute, joshi

terbagi ke dalam 8 jenis, diantaranya: kakujoshi 格助詞, fukujoshi 副助詞, kakarijoshi

係助詞, setsuzokujoshi 接続助詞, heiritsujoshi 並立助詞, juntaijoshi 準体助詞,

shuujoshi 終助詞, toitoujoshi 問投助詞.

2.2.2 Frase

Frase adalah satuan linguistik yang secara potensial merupakan gabungan dua kata atau lebih

yang tidak mempunyai ciri-ciri klausa (Cook, 1971:91; Elson dan Pickett, 1969:73 dalam

Putrayasa, 2010:2). Sementara itu, Ramlan (1981:151) menyatakan bahwa frase ialah satuan

(32)

klausa. Yang dimaksud dengan batas fungsi di sini adalah fungsi subjek (S) dan fungsi

predikat (P). oleh sebab itu, frase tidak bersifat predikatif.

Berdasarkan kategorinya frase terbagi atas:

a. Frase nominal yaitu frase yang memiliki distribusi yang sama dengan kata nominal,

misalnya: baju baru, mahasiswa lama, yang akan pergi, dll. Frase nominal bisa terdiri

atas:

b. Frase Verbal ialah frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata verbal,

misalnya: dua orang mahasiswa sedang membaca

c. Frase Bilangan yaitu frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata bilangan,

misalnya: dua buah, tiga ekor

d. Frase Keterangan yaitu frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata

keterangan, misalnya: tadi malam, kemarin pagi

e. Frase Depan yaitu frase yang terdiri dari kata depan sebagai penanda, diikuti frase atau

kata sebagai aksinya, misalnya: di sebuah rumah, dengan sangat tenang, sejak tadi pagi.

Dilihat dari hubungan kedua unsurnya, frase terbagi atas:

- Frase endosentrik yaitu frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan unsurnya,

baik semuanya maupun salah satu unsurnya. Frase endosentrik dapat dibagi atas:

a. Frase endosentrik yang koordinatif yaitu frase yang unsur-unsurnya setara dan

dapat dihubungkan dengan kata penghubung seperti dan, atau, misalnya: suami

(33)

b. Frase endosentrik yang atributif yaitu terdiri dari unsur-unsur yang tidak setara,

sehingga tidak bisa dihubungkan dengan konjungsi seprti dan, atau, misalnya:

mala mini, sekolah Inpres

c. Frase endosentrik yang apositif yaitu frase yang berbeda dengan frase-frase

sebelumnya. Dalam frase ini sebuah kata merupakan penjelas dari kata

sebelumya, sehingga secara makna sama dan dapat saling menggantikan,

misalnya: Yogya, kota pelajar Indonesia, tanah airku.

- Frase Eksosentrik adalah frase yang tidak memiliki distrubusi yang sama dengan semua

unsurnya.

2.2.3 Klausa

Klausa merupakan frase yang mengandung satu unsur predikat (Cook, 1971 dalam

Suhardi, 2013:41). Ramlan (1981:89) mendefinisikan frase sebagai satuan gramatik yang terdiri

dari predikat (P), baik disertai unsur lain yang berfungsi sebagai subjek (S), objek (O), pelengkap

(O), keterangan (Ket) atau tidak. Klausa dapat dibedakan berdasarkan kategori dan tipe kategori

yang menjadi predikatnya, yaitu:

a. Klausa Nominal yaitu klausa yang predikatnya berkategori nomina, misalnya: kakeknya orang batak.

b. Klausa Verbal yaitu klausa yang predikatnya berkategori verba, dan dapat dibagi berdasarkan beberapa tipe verbanya, yaitu: Klausa verbal transitif, Klausa verbal

(34)

c. Klausa Ajektifal yaitu klausa yang predikatnya berkategori ajektifa, misalnya: Nenekku masih cantik.

d. Klausa Preposisional yaitu klausa yang predikatnya berkategori preposisi, misalnya: Nenek ke Jakarta.

e. Klausa Numeral yaitu klausa yang predikatnya berkategori numeralia, misalnya: Simpanannya lima juta.

Sementara itu, tipe klausa dapat dibedakan berdasarkan ada tidaknya unsur negatif pada

predikatnya yang terbagi atas klausa positif dan klausa negatif (Suhardi, 2013:44). Klausa

positif adalah klausa yang tidak memiliki kata negasi atau pengingkaran pada predikatnya,

sedangkan klausa negatif adalah klausa yang mengandung kata negasi atau pengingkaran pad

predikatnya. Dalam bahasa Indonesia contoh kata negasi, diantaranya: tidak, bukan, tak,

tiada, jangan, serta non. Sedangkan berdasarkan distribusinya, klausa dapat dikelompokkan

ke dalam dua golongan, yaitu:

- Klausa bebas adalah klausa yang telah mampu berdiri sendiri sebagai kalimat sempurna.

Artinya, klausa tersebut tidak bergantung atau tidak menjadi bagian yang terikat dari

kontruksi yang lebih besar.

- Klausa terikat adalah klausa yang tidak dapat berdiri sendiri sebagai kalimat sempurna.

Klausa ini biasanya bergantung atau merupakan bagian yang terikat dengan kontruksi

yang lebih besar.

(35)

Kalimat adalah suatu kumpulan atau rangkaian kata yang mengandung pengertian dan

menyatakan pikiran lengkap (Alijasbana, 1949). Sebuah kontruksi disebut kalimat jika kontruksi

tersebut memiliki intonasi final. Bila belum diberi intonasi final, maka susunan kata itu masih

berupa klausa.

Berdasarkan kategori klausanya, kalimat dibedakan atas:

a. Kalimat verbal yaitu kalimat yang predikatnya berupa verba/frase verbal.

b. Kalimat ajektifal yaitu kalimat yang predikatnya ajektifa/frase ajektifal.

c. Kalimat nominal yaitu kalimat yang predikatnya nomina/frase nominal.

d. Kalimat preposisional yaitu kalimat yang predikatnya berupa frase preposisional.

e. Kalimat numeral yaitu kalimat yang predikatnya berupa numeralia/frase numeral.

f. Kalimat adverbial yaitu kalimat yang predikatnya berupa adverbial/frase adverbial

Sementara itu, berdasarkan jumlah klausanya dibedakan atas:

a. Kalimat sederhana yaitu kalimat yang dibangun oleh sebuah klausa.

b. Kalimat bersisipan yaitu kalimat yang pada salah satu fungsinya disisipkan sebuah klausa

sebagai penjelasnya.

c. Kalimat majemuk rapatan yaitu kalimat majemuk yang terdiri dari dua klausa atau lebih

(36)

d. Kalimat majemuk setara yaitu kalimat yang terdiri dari dua klausa atau lebih dan

memiliki kedudukan yang setara.

e. Kalimat majemuk beertingkat yaitu kalimat yang terididari dua klausa atau lebih yang

kedudukannya tidak setara.

f. Kalimat majemuk kompleks yaitu kalimat yang tersiri dari dua atau lebi klausa yang

didalamnya terdapat hubungan setara dan bertingkat.

Selain itu, berdasarkan modusnya, kalimat terbagi atas:

a. Kalimat Berita (deklaratif)

Kalimat berita tidak bermarkah khusus bila dibandingkan dengan kalimat yang lain.

Bentuk ini digunakan pembicara untuk atau penulis untuk membuat pernyataan, sehingga

isinya merupakan berita bagi pendengar atau pembacanya. Dalam bentuk tulisan, jenis

kalimat ini diakhiri dengan titik dan intonasi datar/turun.

b. Kalimat Tanya (interogatif)

Alwi et al. (2000:357-362) menyatakan bahwa kalimat interogatif dihadiri oleh

pronominal penanya, seperti apa, siapa, kapan, dan bagaimana dengan atau tanpa partikel

–kah sebagai penegas. Dalam bentuk tulis, kalimat ini ditandai oleh tanda Tanya (?),

sedangkan dalam bentuk lisan digunakan intonasi naik. Bentuk ini berfungsi untuk

meminta jawaban ya atau tidak, serta meminta informasi mengenai sesuatu hal pada

lawan bicara.

(37)

Ramlan (2001:39-43) menyatakan bahwa kalimat suruh mengharapkan tanggapan yang

berupa tindakan dari orang yang diajak bicara. Sementara, Alwi et al. (2000:353-357)

menyatakan bahwa kalimat imperatif ditandai dengan intonasi nada rendah di akhir

kalimat, adanya pemakaian partikel penegas, penghalus, atau partikel yang mengandung

ajakan, harapan, atau permohonan, umumnya bersususnan inversi, serta pelaku tidak

selalu terungkap.

d. Kalimat Seruan (interjektif)

Kalimat interjektif atau ada juga yang menyatakan sebagai kalimat ekslamatif merupakan

kalimat yang digunakan untuk menyatakan perasaan kagum dan heran. Secara formal

kalimat ini ditandai dengan kata alangkah, betapa, atau bukan main pada kalimat

berpredikat ajektival.

2.2.5 Struktur Kalimat dalam Bahasa Jepang

Kalimat dalam bahasa Jepang dapat terbentuk dari sebuah bunsetsu (klausa), dua buah bunsetsu,

atau terdiri atas beberapa bunsetsu. Dalam penyusunan kalimat yang terdiri atas beberapa

bunsetsu, kalimat tersebut harus disusun secara benar berdasarkan pola struktur. Berbeda dengan

kalimat bahasa Indonesia yang bersifat pleksibel, bahasa Jepang lebih banyak memiliki

aturan-aturan gramatikalnya dalam penyusunan strukturnya, meskipun bisa juga saling berpindah

posisinya unsur-unsur kalimatnya. Hubungan antara bunsetsu dengan bunsetsu lainnya dapat

dibedakan ke dalam enam macam hubungan (Hirai Masao, 1982:145-146 dalam Sudjianto,

2004:182-187), diantaranya:

(38)

Hubungan dimana klausa yang merupakan subjek atau tema dijelaskan oleh klausa yang

menjadi predikat.

b. Hubungan ‘Yang Menerangkan-Yang Diterangkan’

Sebuah bunsetsu secara jelas menerangkan atau menetukan bunsetsu laiinya atau berikutnya.

Bunsetsu pertama disebut kata yang menerangkan (shuushokugo), sedangkan bunsetsu

berikutnya adalah kata yang diterangkan (hishuushokugo)

c. Hubungan Setara

Hubungan setara adalah hubungan dua buah bunsetsu atau lebih yang ada di dalam subjek,

predikat atau kata yang menerangkan dan lain-lain yang berderet secara setara.

Bunsetsu-bunsetsu tersebut dideretkan sebagai bagian-bagian yang memiliki derajat kepentingan yang

sama, tanpa ada pemikiran bahwa yang satu lebih penting dari yang lainnya. Meskipun

urutannya dirubah akan tetap memiliki kedudukan makna yang sama.

d. Hubungan Tambahan

Yang dimaksud dengan hubungan tambahan ini yaitu bahwa bunsetsu pertama menyatakan

makna utama, sedangkan bunsetsu berikutnya berafilisasi dengan bunsetsu sebelumnya dan

memberikan tambahan suatu makna. Bahasa Jepang sangat banyak memiliki pola kalimat

yang memiliki hubungan seperti ini, yaitu dengan banyaknya jodoushi (kata kerja bantu) atau

fukugodoushi (kata kerja majemuk) yang terbentuk secara gramatikal.

e. Hubungan Konjungtif

Hubungan konjungtif adalah hubungan yang mana makna suatu bunsetsu menjadi

sebab-sebab, persyaratan, atau alasan, kemudian berhubungan dengan bunsetsu atau dengan kalimat

secarakeseluruhan yang ada pada kalimat berikutnya.

(39)

Dikatakan dengan hubungan bebas karena tidak ada hubungan langsung dengan bunsetsu

lainnya dan merupakan hubungan longgar yang dipakai relative bebas. Umumnya bentuk ini

digunakan dalam kata-kata yang menyatakan panggilan, rasa haru, jawaban, atau saran.

Sementara itu, struktur kalimat dalam bahasa Jepang dapat dibentuk dengan pola S – V

(S-P) atau bila memiliki objek menjadi S – O – V (S-O-P). yang menjadi ciri khas dalam

kalimat bahasa Jepang adalah adanya kemunculan partikel untuk menyatakan fungsi

masing-masing kata, misalnya: partikel wa (partikel penanda tema), ga (penanda subjek atau nomina), o

(penanda objek). Akan tetapi, dalam percakapan sehari aturan struktur kalimat tersebut sering

diabaikan, bahkan terasa seperti tidak beraturan, terutama dalam ragam lisan.

2.3 Tataran Semantik

2.3.1 Makna

Berbicara tentang semantik, maka tidak akan lepas dari istilah makna, karena inti persoalan yang

dikaji dalam semantik adalah tentang makna. Beberapa pakar banyak yang menyatakan bahwa

makna sangat sulit didefinisikan. Akan tetapi, bila merujuk apa yang disampaikan oleh

Ferdinand de Saussure dalam konsep penanda dan petanda, sedikit banyak kita akan mengetahui

batasan makna, yaitu bahwa makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat

dalam pada sebuah tanda-linguistik (Chaer, 2012:287). Sementara itu, Djajasudarma (2009:7)

menyatakan tentang istilah makna adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu

sendiri (terutama kata-kata). Masih dalam Djajasudarma, Palmer (1976:30) menyatakan tentang

(40)

bahwa mengkaji atau memberikan makna suatu kata ialah memahami kajian kata tersebut yang

berkenaan dengan hubungan-hubungan makna yang membuat kata tersebut berbeda dari

kata-kata kain.

Untuk dapat menyampaikan dan memahami sebuah makna, terdapat empat tingkatan

yang harus dipahami (Parera, 2004:2-6), diantaranya:

- Arah Makna Linguistik adalah makna-makna leksikal maupun makna-makna structural

suatu bahasa. Pada arah makna linguistik, penutur harus dapat membedakan dan

menguasai makna-makna kata dan penggunaan kata, unsur-unsur bahasa seperti subjek,

objek, dll. Juga harus memahami tentang ciri-ciri kalimat, misalnya: kalimat Tanya,

perintah, berita, dll.

- Aras Makna Proposisi adalah arah yang mempersoalkan tentang apakah sebuah

kalimat/proposisi/ ujaran itu benar atau salah.

- Aras Makna Pragmatik adalah aras yang mempersoalkan tentang pemahaman akan tujuan

dan fungsi suatu tuturan.

- Aras Makna Kontekstual adalah aras yang mempersoalkan tentang konteks

keberlangsungan dari ujaran-ujaran

2.3.2 Jenis Makna

Bila melihat beberapa referensi tentang jenis makna, maka terdapat beberapa pendapat yang

berbeda mengenai jenis makna tersebut. Pateda (2010:96) membagi jenis makna menjadi 29

(41)

makna masuk ke dalam jenis yang lebih besar. Pembagian jenis ini tentunya berbeda-beda

bergantung kepada kriteria dan sudut pandang. Berikut adalah beberapa jenis makna yang telah

dipasangkan menjadi tujuh golongan (Chaer, 1995).

a. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal

Makna leksikal adalah makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata.

Dapat pula dikatakan bahwa makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan

referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera. Sedangkan, makna

gramatikal merupakan makna kebalikan dari makna leksikal, yaitu makna yang hadir

sebagai akibat dari proses gramatika seprti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses

komposisi. Makna gramatikal sering juga disebut dengan makna kontekstual atau makna

situasional.

b. Makna Referensial dan Nonreferensial

Perbedaan makna referensial dan nonreferensial berdasarkan ada tidaknya referen dari

kata-kata itu. Bila sebuah kata memiliki referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu

oleh kata itu, maka kata itu bermakna referensial. Sebaliknya, bila kata tersebut tidak

memiliki referen, maka kata itu disebut bermakna nonreferensial.

c. Makna Denotatif dan Konotatif

Makna denotatif adalah makna polos atau makna apa adanya. Jadi, makna denotatif

adalah makna yang tidak disertai dengan adanya hubungan dengan peristiwa atau hal

lain, makna ini sering disebut dengan makna sebenarnya. Sementara itu, makna konotatif

(42)

didengar atau dibaca. Artinya, bahwa sebuah kata dikatakan memiliki makna konotatif

bila kata tersebut memiliki nilai rasa, baik positif maupun negatif.

d. Makna Kata dan Makna Istilah

Pembedaan antara makna kata dan makna istilah didasarkan atas adanya ketepatan makna

kata itu dalam penggunaannya secara umum dari secara khusus. Berbeda dengan kata

yang masih bersifat umum, maka istilah memiliki makna yang tetap dan pasti.

e. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif

Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai

dengan referennya, dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apapun.makna

konseptual dapat dsamakan dengan makna referensial, makna leksikal, dan makna

denotatif. Sedangkan makna asosiatif adalah makna yang dimiliki oleh sebuah kata

berkenaan dengan hubungannya kata itu dengan keadaan di luar bahasa. Jelasnya, makna

ini sering digunakan masyarakat untuk menyatakan perlambangan untuk menyatakan

konsep lain. Makna-makna lain yang masuk ke dalam makna ini, diantaranya adalah

makna konotatif, makna stilistika, serta makna afektif, dan makna kolokatif.

f. Makna Idiomatikal dan Peribahasa

Makna idiomatikal adalah makna sebuah satuan bahasa (frase atau kalimat) yang

menyimpang dari makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya.

Berbeda dengan makna idiomatikal, makna peribahasa masih dapat diramalkan karena

adanya asosiasi atau tautan dengan antara makna leksikal dengan gramatikal pada

(43)

g. Makna Kias

Makna kias adalah semua bentuk bahasa yang (kata, frase, serta kalimat) yang tidak

merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti konseptual, serta arti denotatif) disebut

memiliki arti kiasan. Jadi, dalam makna ini, ujaran dengan makna diacu adanya

hubungan kiasan, perbandingan atau persamaan.

2.3.3 Faktor yang Mengakibatkan Perubahan Makna

Bahasa merupakan sesuatu yang terus mengalami perkembangan sebagai akibat semakin

berkembanya pola pikir manusia. Perkembangan ini berpengaruh kepada pemakaian kata atau

kalimat yang berwujud pengurangan atau penambahan. Dengan adanya pengurangan atau

penambahan kata, yang paling serius terpengaruh adalah adanya perubahan akan makna sebuah

kata atau kalimat.

Menurut Ullmann (1977:247) terdapat faktor-faktor yang memudahkan perubahan

makna, diantaranya:

1. Bahasa itu diturunkan secara turun-temurun dalam suatu cara yang tak berkesinambungan

dari generasi ke generasi. Dalam perjalannya bisa saja terjadi kesalahan mengartikan

sebuah makna kata dan bila tidak terjadi pengkoreksian, maka perubahan makna akan

terjadi pada generasi yang baru.

2. Kekaburan makna dapat menyebakan perubahan makna. Kekaburan makna dapat

disebabkan oleh sifat generik sebuah kata, banyaknya aspek dalam kata, kurangnya

(44)

3. Perubahan makna dapat disebabkan oleh hilangnya motivasi. Selama sebuah kata tetap

terikat erat pada akarnya dan pada anggota lain dari jenis yang sama, maka kata tersebut

akan tetap mengandung maknanya dalam batas-batas tertentu. Akan tetapi, bila tidak,

maka makna sebuah kata akan bergerak jauh tak terkendali dari makna aslinya.

4. Adanya polisemi (makna ganda) akan mengakibatkan perubahan makna.

5. Perubahan makna dapat diakibatkan oleh adanya konteks bermakna ambigu (ambiguous

contexs).

6. Struktur kosa kata merupakan faktor yang terpenting dalam perubahan makna. Dalam

sebuah bahasa, bunyi-bunyi dan gramatika merupakan sesuatu yang sifatnya terbatas,

sedangkan kosa kata terus mengalami perkembangan sesuai dengan pemikiran pemakai

bahasa. Perkembangan kosa kata ini tentunya akan menimbulkan kata-kata baru atau kata

lama bermakna baru

Masih menurut Ullmann (1972:198-210 dalam Pateda, 2010:163) terdapat beberapa

penyebab perubahan makna, yaitu.

a. Faktor kebahasaan. Perubahan makna karena faktor kebahasaan berhubungan dengan

fonologi, morfologi, dan sintaksis.

b. Faktor kesejarahan. Perubahan makna karena faktor kesejarahan berkaitan dengan adanya

perkembangan makna

c. Faktor sosial. Perubahan makna karena faktor sosial dihubungakn dengan perkembangan

(45)

d. Faktor psikologis. Perubahan makna karena faktor psikologis dapat dihungkan karena

adanya emosi dan adanya hubungan dengan kata-kata tabu yang menakutkan.

e. Pengaruh bahasa asing.

f. Kebutuhan akan kata baru.

Bila melihat faktor-faktor yang memudahkan atau menyebabkan terjadinya perubahan

makna di atas, maka perubahan tersebut dapat dilihat atau dikelompokkan menjadi

beberapa jenis perubahan makna (Chaer, 2002:141-145), diantaranya:

a. Makna meluas adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata atau leksem yang pada

awalnya hanya memiliki sebuah makna, tetapi karena berbagai faktor menjadi

memiliki makna-makna lainnya.

b. Makna menyempit adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata yang pada mulanya

memiliki makna yang cukup luas, kemudian berubah menjadi terbatas hanya pada

sebuah makna saja.

c. Makna perubahan total adalah berubahnya sama sekali makna sebuah kata dari makna

asalnya.

d. Makna penghalusan adalah adanya gejala yang menampilkan adanya makna yang

lebih sopan atau halus daripada yang akan digantikannya (ufemia).

e. Makna pengasaran adalah merupakan kebalikan dari penghalusan, yaitu usaha untuk

menggantikan kata yang maknanya halus atau bermakna biasa dengan kata yang

(46)

Dari faktor-faktor yang menyebabkan dan memudahkan perubahan makna seperti

yang dinyatakan di atas, perlu untuk mencoba menelusuri asal mula pemaknaan

pemarkah ka dalam bahasa Jepang. Beberapa contoh pemakaian pemarkah ka telah

diberikan di muka dan ternyata pemarkah ini memiliki perluasan makna. Pemarkah

ka memiliki fungsi mulai sebagai pemarkah tanya sampai kepada makna-makna

lainnya, seperti dalam pemarkah penghalusan dalam kalimat imperatif sampai

menjadi pemarkah yang di luar perkiraan, yaitu sebagai pemarkah negatif, misalnya

dalam bentuk ~mono ka ‘tidak ingin/tidak akan’, dan lain-lain. Dalam penelitin ini

diharapkan dapat diketahui sejauh mana pemarkah ka mengalami perubahan makna.

2.3.4 Relasi Makna

Relasi makna adalah hubungan yang tidak kontroversi atau tidak berlawanan, tetapi mengacu

pada hubungan apa yang terjadi antara unit-unit makna (Cruse, 2004 dalam Djajasudarma,

2013:111). Sementara itu, Chaer (2012:297) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan relasi

makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan

bahasa lainnya. Satuan bahasa tersebut dapat berupa kata, frase, ataupun kalimat; dan relasi

semantik itu dapat menyatakan kesamaan makna, pertentangan makna, ketercakupan makna,

kegandaan makna, atau bahkan kelebihan makna.

Relasi makna dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu relasi makna paradigmatik dan

relasi makna sintagmatik, serta relasi makna derivasional (Djajasudarma, 2013:112-144). Relasi

makna paradigmatik adalah hubungan makna ekpresi dari struktur tertentu. Relasi paradigmatik

(47)

Relasi makna paradigmatik dapat dilakukan dengan cara penyulihan/substitusi, persesuaian,

kesamaan, pertentangan.

Relasi makna sintagmatik terjadi antara unsur-unsur yang ada di dalam kalimat yang

sama, terutama kalimat-kalimat yang mempertahankan keeratan hubungan sintaksis. Interaksi

sintagmatik terjadi antara unsur yang merupakan bagian dari sintagma, atau kontruksi

gramatikal, seperti pada ajekyiva dan nomina yang memodifikasi verba dengan objek

langsungya, frasa verba dan subjeknya (Djajasudarma, 2013:142). Sehingga, dikatakan bahwa

yang menjadi focus potensial dari studi relasi makna sintagmatik adalah apakah atau kemana

pengembangan kombinasi tertentu untuk bermakna; apakah atau ke mana pengembangan

kombinasi yang normal atau abnormal.

Relasi makna derivasional berperan dalam penyusunan struktur kosakata suatu bahasa.

Istilah derivasional juga ditemukan dalam proses morfologis atau morfemis. Derivasi adalah

perubahan morfemis yang menghasilkan kata dengan identitas morfemis lainnya (Verhaar,

2010:143). Istilah derivasi ini sering disandingkan dengan istilah infeksi, yaitu perubahan

morfemis yang mempertahankan identitas leksikal dari kata yang bersangkutan. dari proses

morfemis ini menghasil kelas-kelas kata lainnya, misalnya kelas kata terbuka, kelas kata tertutup,

serta kata tugas.

Berkaitan dengan relasi/hubungan makna, terdapat empat prinsip untuk menyatakan

hubungan makna (Nida, 1975:15-20 dalam Pateda, 2010:240-247), yakni:

a. Prinsip Inklusi yaitu makna yang telah tercakup di dalamnya. Bila kita menyatakan

(48)

b. Prinsip Bersinggungan adalah makna yang hampir sama dengan kata bersinonim, hanya

saja pada makna bersinggungan tingkat kesamaan itu berbeda.

c. Prinsip Komplementer adalah makna yang ditandai oleh kontra, dan kadang-kadang

lawan kata. Umumnya terdapat tiga tipe hubungan makna yanh bersifat komplementasi,

yaitu: lawan kata, berbalik, dan serah terima.

d. Prinsip Tumpang Tindih adalah suatu keadaan yang memberikan informasi kebahasaan

dalam satu kata. Jelasnya, makna kata itu berlapis-lapis dilihat dari segi kebahasaannya.

Untuk itu, untuk menerangkannya digunakan bahasa pembanding bahasa yang serumpun.

2.4 Pengungkap Kala, Aspek, dan Modus dalam Bahasa Jepang

2.4.1 Kala dalam Bahasa Jepang

Di dalam bahasa yang ada terdapat perbedaan cara pengungkapan kala/tenses (dalam bahasa

Jepang disebut jisei atau tensu). Ada bahasa yang tidak memiliki pemerkahan secara morfologis,

seperti bahasa Indonesia, dan ada yang memiliki pemarkahan secara morfologis seperti bahasa

Jepang. Kala dapat didefinisikan sebagai informasi dalam kalimat yang menyatakan waktu

terjadinya perbuatan, kejadian, tindakan, atau pengalaman yang disebutkan dalam predikat

(Chaer, 2012:260). Kala menunjukkan apakah sesuatu kegiatan itu dilakukan di masa lalu,

sekarang, atau akan datang. Selain itu juga dapat menunjukkan apakah kegiatan itu sudah selesai,

sedang, atau akan, atau akan selesai dikerjakan, atau masih dikerjakan dalm suatu waktu tertentu.

Bahasa Jepang merupakan salah satu bahasa yang menggunakan proses morfemis dalam

(49)

lampau dan tidak lampau. Dalam bahasa Jepang untuk menunjukkan kala lampau digunakan

sufiks ~ta, sedangkan kala bukan lampau menggunakan sufik ~ru. Kala lampau menyatakan

suatu kegiatan yang telah dilakukan sebelum terjadinya peristiwa ujar.

Selain menunjukkan suatu peristiwa di masa lampau, sufiks ~ta pun memiliki makna

lainnya, yaitu.

a. Menunjukkan kondisi seseorang atau suatu benda/hal di masa lalu.

b. Menunjukkan keterwujudan dalam titik waktu pembicaraan,

c. Menunjukkan perasaan pembicara,

d. Menunjukkan keterwujudan dari sebuah harapan,

e. Menunjukkan sebuah konfirmasi atau ingatan kembali,

f. Menunjukkan perintah yang mendesak.

Sementara itu, kala bukan lampau adalah suatu kegiatan yang akan dilakukan atau sebuah

tuturan berlangsung sebelum sebuah kegiatan terjadi. Kala ini dapat dikelompokkan dalam dua

jenis, yaitu: kala sekarang/kini (genzai) atau kala mendatang/yang akan datang (mirai). Sufiks

~ru dapat menunjukkan beberapa makna, diantaranya:

a. Menunjukkan kebenaran dan ketetapan;

b. Menunjukkan kebiasaan atau pengulangan suatu kegiatan/peristiwa;

c. Menunjukkan kondisi seseorang atau suatu benda di masa sekarang akan akan datang;

Referensi

Dokumen terkait

PENGGUNAAN PARTIKEL “TO” DALAM KALIMAT BAHASA JEPANG NIHONGO NO BUNSHOU NI OKERU “TO” NO JOSHI NO SHIYOU..

Berdasarkan struktur kalimat dari beberapa data yang telah dianalisis, joshi yang termasuk ke dalam kakujoshi terletak sebelum kata kerja dan jika terletak diantara

Pada kata tanya dochira yang digunakan untuk menanyakan pilihan di antara dua. benda mempunyai padanan terjemahan di dalam BI adalah

Melalui uraian tersebut dapat dikemukakan bawa pertanyaan dengan menggunakan kata tanya siapa dimaksudkan untuk menanyakan siswa yang berkaitan dengan kehadiran atau kesanggupan

Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah karena sibuk, karena sibuk merupakan alasan, jadi kata tanya mengapa/ ngapo digunakan untuk menanyakan alasan.. Kalimat adalah

Pembentukan kalimat tanya secara formal ditandai oleh kehadiran kata tanya, seperti apa, siapa, mengapa, di mana, kapan, bagaimana dengan atau tanpa partikel –kah sebagai

Modus yang digunakan guru menggunakan kalimat tanya, kalimat tanya tidak hanya untuk menanyakan, tetapi juga untuk memerintah siswa supaya menjawab pertanyaan yang diberikan penutur

KESIMPULAN Pada penelitian ini, ditemukan sebanyak 5 lima buah fungsi kalimat tanya dengan penanda interogatif ka yang terdapat dalam iklan AC Japan yaitu bentuk pertanyaan biasa,