• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Hadiah dan Gratifikasi Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hukum Hadiah dan Gratifikasi Indonesia"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Hukum Hadiah dan Gratifikasi

Rabu, 5 Oktober 2011 - 07:00 WIB

Mengharap-harap hadiah dari konsumen merupakan kebiasaan buruk yang harus dihilangkan, karena Islam mengajarkan umatnya untuk selalu menjaga harga diri dan menjauhi dari mengharap apa yang ada di tangan orang lain

Pertanyaan :

Akhir-akhir ini masyarakat membicarakan uang yang diberikan kepada pegawai negri di luar gaji resmi, atau lebih sering disebut dengan grafitikasi. Dalam undang-undang negara pegawai yang menerima gartifikasi dinyatakan bersalah dan dikatagorikan menerima suap kecuali kalau dilaporkan kepada lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi ). Bagaimana pandangan Islam terhadap gratifikasi atau hadiah pegawai ini ?

Pengertian Hadiah Pegawai (Gratifikasi )

Hadiah Pegawai atau sering disebut dengan Gartifikasi adalah uang hadiah yang diberikan pada pegawai di luar gaji yang yang telah ditentukan.[1] Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Penjelasan Pasal 12 B ayat (1) gratifikasi adalah, pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Hukum Hadiah Pegawai (gratifikasi )

Hadiah Pegawai (gratifikasi ) hukumnya haram berdasarkan hadist Abu Humaid as-Sa’idi di bawah ini :

ِةّيِبْتل ْلا لنْبا لهَل للاَقلي ِد ْزَ ْلا ْنِم لللجَر َمّلَس َو ِهْيَلَع ل ّا ىّلَص ّيِبّنلا َلَمْعَتْسا َلاَق لهْنَع ل ّا َي ِضَر ّيِدِعاّسلا ٍدْيَملح يِبَأ ْنَع َل ْمَأ لهَل ىَدْهلي َرلظْنَيَف ِهّملأ ِتْيَب ْوَأ ِهيِبَأ ِتْيَب يِف َسَلَج ّلَهَف َلاَق يِل َيِدْهلأ اَذَه َو ْملكَل اَذَه َلاَق َمِدَق اّمَلَف ِةَقَدّصلا ىَلَع لة َرَقَب ْوَأ ٌءاَغلر لهَل ا لريِعَب َناَك ْنِإ ِهِتَبَقَر ىَلَع لهللِم ْحَي ِةَماَيِقْلا َم ْوَي ِهِب َءاَج ّلِإ الئْيَش لهْنِم ٌدَحَأ لذلخْأَي َل ِهِدَيِب يِسْفَن يِذّلا َو الث َلَث لت ْغّلَب ْلَه ّملهّللا لت ْغّلَب ْلَه ّملهّللا ِهْيَطْبِإ َةَرْفلع اَنْيَأَر ىّتَح ِهِدَيِب َعَفَر ّملث لرَعْيَت لةاَش ْوَأ ٌرا َولخ اَهَل

(2)

(berkata,): “Ya Allah bukan kah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan”, sebanyak tiga kali. “ [2]

Berkata Ibnu Abdul Barr [3] : “ Hadist di atas menunjukkan bahwa uang yang diambilnya tersebut adalah ghulul ( barang curian dari harta rampasan perang ) dan hukumnya haram, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala : ِةَماَيِقْلا َم ْوَي ّلَغ اَمِب ِتْأَي ْلللْغَي ْنَم َو

“Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu “ [4]

Di dalam kitab Syarhu as-Sunnah, Imam al-Baghawi menjelaskan bahwa hadist Abu Humaid as-Sa’idi di atas menunjukkan bahwa hadiah pegawai, pejabat, dan para hakim adalah haram. Hal itu karena pemberian kepada pegawai (zakat ) tersebut, dimaksudkan agar dia tidak terlalu

mempermasalahkan hal-hal yang mestinya menjadi kewajiban sang pemberi, dan bertujuan untuk mengurangi hak-hak orang-orang miskin. Adapun yang diberikan kepada para hakim, agar dia cenderungan kepadanya ketika dalam persidangan. “ [5]

Yang termasuk dalam larangan hadist di atas :

Pertama: Seorang pegawai perusahaan telekomunikasi yang bertugas memperbaiki saluran atau kabel telpun yang terputus atau mengalami gangguan. Dia tidak boleh menerima atau meminta upah tambahan dari kerjanya dari para pelanggan, karena sudah mendapatkan gaji bulanan dari perusahaannya. Jika ia menghambil atau meminta upah lagi hal itu bisa merusak kerjanya, karena dia akan cenderung untuk mendahulukan para pelanggan yang memberikan kepadanya uang lebih, dan membiarkan pelanggan yang memberikan kepadanya uang sedikit atau yang tidak memberikannya sama sekali.

Kedua: Seorang pegawai Departemen Agama yang ditugaskan untuk mengurusi penyewaan tempat tinggal atau asrama jama’ah haji selama di Makka dan Madinah. Dia tidak boleh menyewa tempat tinggal yang lebih murah, dengan tujuan akan mendapatkan uang discount dari penyewaan tersebut yang akan masuk ke kantong pribadinya, karena hal ini akan

merugikan jama’ah haji secara umum. Akibat ulah petugas tadi, jama’ah haji tersebut terpaksa tinggal di apartemen-apartemen yang tidak standar dan jauh dari Masjidil Haram.

Ketiga: Seorang pengurus masjid yang ditugaskan untuk membeli kambing kurban dalam jumlah yang banyak pada hari Raya Idul Adha, dia tidak boleh mengambil uang discount dari pembelian tersebut, kecuali harus melaporkan kepada pengurus secara transparan.

(3)

tambahan, apakah tambahan itu akan diambil lembaga untuk kepentingan umat atau diberikan kepada petugas tersebut sebagai tambahan gaji, maka yang menentukan adalah aturan dalam lembaga tersebut.

Kelima: Seorang pengurus sebuah arisan yang sudah mendapatkan gaji tetap dari peserta arisan, ketika membelikan sepeda motor untuk salah satu peserta yang mendapatkan undian, maka dia tidak boleh mengambil discount dari pembelian tersebut, dan harus dilaporkan kepada seluruh peserta.

Keenam: Seorang hakim tidak boleh menerima hadiah dari orang yang

masalahnya sedang dia tangani, karena hal itu akan mempengaruhi di dalam keputusan hukum.

Ketujuh: Seorang petugas pajak, tidak boleh menerima hadiah dari para pembayar pajak, karena hal itu akan menyebabkannya tidak disiplin di dalam menjalankan tugasnya, dan tidak terlalu ketat di dalam menghitung kewajiban pembayar, karena sudah mendapatkan hadiah darinya.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallahu ‘alai wassalam mengirim Muadz bin Jabal ke Yaman, kemudian pada pemerintahaan Abu Bakar , beliau mengirim Umar pada musim haji ke Mekkah. Ketika sedang di Arafah Umar bertemu dengan Muadz bin Jabal yang datang dari Yaman membawa budak-budak. Umar bertanya kepadanya: “Itu budak-budak milik siapa ? “ Muadz

menjawab : “ Sebagian milik Abu Bakar dan sebagian lagi milikku “. Umar berkata : “ Sebaiknya kamu serahkan semua budak itu kepada Abu Bakar, setelah itu jika beliau memberikan kepadamu, maka itu hakmu, tetapi jika beliau mengambilnya semuanya, maka itu adalah hak beliau ( sebagai

pemimpin ).” Muadz berkata : “ Kenapa saya hartus menyerahkan semuanya kepada Abu Bakar, saya tidak akan memberikan hadiah yang diberikan kepadaku.“

Kemudian Muadz pergi ke tempat tinggalnya. Pada pagi hari Muadz ketemu lagi dengan Umar dan mengatakan: “Wahai Umar tadi malam aku bermimpi mau masuk neraka, tiba-tiba kamu datang untuk menyelematkan diriku, makanya sekarang saya taat kepadamu. “ Kemudian Muadz pergi ke Abu Bakar dan berkata : “ Sebagian budak adalah milikmu dan sebagian lain adalah hadiah untukku, tapi saya serahkan kepadamu semuanya.” Kemudian Abu Bakar mengatakan : “ Adapun budak-budak yang dihadiahkan

kepadamu, saya kembalikan kepadamu.” [6]

Atsar di atas menunjukan bahwa jika seorang pegawai di dalam menjalankan tugasnya mendapatkan hadiah, hendaknya dilaporkan secara transparan kepada lembaga yang mengirimnya. Kemudian apakah lembaga tersebut akan mengijinkannya untuk mengambil hadiah itu atau memintanya untuk kepentingan lembaga, maka ini diserahkan kepada aturan dalam lembaga tersebut.

(4)

Hadiah pegawai (gratifikasi ) ini akan merusak tatanan negara secara keseluruhan dan akan mengganggu kerja pegawai, serta mencabut rasa amanah dari diri mereka. Dampak negatif tersebut bisa dirinci sebagai berikut :

1. Sang pegawai akan lebih cenderung dan lebih senang untuk melayani orang yang memberikan kepadanya hadiah. Sebaliknya dia malas untuk melayani orang-orang yang tidak memberikan kepadanya hadiah, padahal semua konsumen mempunyai hak yang sama, yaitu mendapatkan pelayanan dari pegawai tersebut secara adil dan proposional, karena pegawai tersebut sudah mendapatkan gaji secara rutin dari perusahaan yang mengirimnya. 2. Sang pegawai ketika mendapatkan hadiah dari salah seorang konsumen, mengakibatkan dia bekerja tidak profesional lagi. Dia merasa tidak mewakili perusahaan yang mengirimnya, tetapi merasa bahwa dia bekerja untuk dirinya sendiri.

3. Si pegawai ketika bekerja selalu dalam keadaan mengharap-harap hadiah dari konsumen. Hal ini merupakan kebiasaan buruk yang harus dihilangkan, karena Islam mengajarkan umatnya untuk selalu menjaga harga diri dan menjauhi dari mengharap apa yang ada di tangan orang lain.

Islam juga mengharamkan umatnya untuk meminta-minta kecuali dalam keadaan darurat. Pegawai yang meminta hadiah dari konsumen yang sebenarnya bukan haknya termasuk dalam katogori meminta-minta yang dilarang dalam Islam.

Sebagian ulama membolehkan untuk memberikan hadiah atau uang tambahan kepada pegawai bawahan yang miskin dan keadaannya sangat memprihatinkan, jika hal itu tidak mempengaruhi kerjanya dan tidak

berdampak kepada instansi atau lembaga yang mengutusnya, umpamanya dengan memberikan kepadanya sesuatu setelah selesai bekerja dan dia tidak lagi membutuhkan pegawai tersebut.

Maka, sebaiknya dipisahkan antara pemberian hadiah karena pekerjaan dengan pemberian hadiah karena faktor lain, seperti ingin membantunya karena dia miskin atau karena dia sedang sakit dan membutuhkan uang. Walaupun demikian, sebaiknya jika seseorang ingin membantunya

hendaknya memberikannya di waktu lain dan pada kesempatan yang berbeda, supaya menjadia lebih jelas bahwa dia memberikan hadiah itu semata-mata faktor kemanusiaan, bukan karena pekerjaannya. Itupun sebaiknya dihindari sebisa mungkin dan janganlah menjadi sebuah

kebiasaan, demi menjaga diri kita dari sesuatu yang diharamkan dalam Islam. Wallahu A’lam.

oleh: Dr. Ahmad Zain An Najah

(5)

http://www.hidayatullah.com/konsultasi/fikih-kontemporer/read/ 2011/10/05/5341/hukum-hadiah-dan-gratifikasi.html

Hukum Suap-Menyuap dan Gratifikasi dalam Syariat Islam

Posted on Oktober 12, 2011 by Ibnu Dzulkifli As-Samarindy

Kata suap-menyuap pada hari-hari ini ini begitu akrab di telinga dikarenakan seringnya media massa menukilnya, sampai-sampai kata suap-menyuap lebih sering digunakan melebihi makna yang sebenarnya , suap makna sebenarnya adalah memasukkan makanan dengan tangan ke dalam mulut (Kamus Besar bahasa Indonesia) Maka pada hari-hari ini, apabila seseorang mendengar kata suap , bukanlah yang tergambar di benaknya sesuatu yang terkait tangan, mulut dan makanan tapi yang langsung terbayang adalah korupsi, sidang dan KPK.

Suap sendiri dalam makna yang kedua ini tidak ditemukan di dalam kamus bahasa Indonesia, yang ditemukan adalah yang sepadan dengannya yaitu sogok yang diartikan sebagai : “dana yang sangat besar yang digunakan untuk menyogok para petugas” Sungguh pengertian yang kurang sempurna, karena apabila pengertiannya seperti ini maka tentunya dana-dana kecil tidak termasuk sebagai kategori sogok atau suap.

Adapun dalam bahasa arab, suap atau sogok dikenal dengan riswah, yang diartikan sebagai “Apa-apa yang diberikan agar ditunaikan kepentingannya atau apa-apa yang diberikan untuk membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar “(Mu’jamul Wasith) .

Dan dalam syariat islam, perkara suap-menyuap ini ini sangat ditentang dan diancam dengan ancaman yang mengerikan, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam , beliau bersabda :

يشترملاو يشارلا ىلع ل ةنعل

“Allah melaknat orang yang memberi suap, dan yang menerima suap” (HR. Ahmad dan selainnya dari Abdullah bin Amr’ Rhadiyallahu ‘anhuma , Dishohihkan Al-Albani dalam Shohihul Jami’ 5114 dan dalam kitab-kitab beliau lainnya)”

Maka hadits ini bagi orang-orang beriman akan membuat mereka akan menjauhi perbuatan ini, dan ditambah lagi para ulama mengatakan bahwa hadits-hadits yang semisal seperti ini, yaitu lafadz “Allah melaknat” menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah termasuk kategori dosa besar yang tidak akan diampuni kecuali dia bertaubat, adapun ketika dia mati dalam keadaan belum bertaubat maka di bawah kehendak Allah apakah akan mengadzabnya atau tidak. Akan tetapi manusia pengejar dunia akan selalu mendengar bisikan setan dan hawa nafsunya, mereka akan mencari seribu satu cara pembenaran agar seakan-akan perbuatan mereka itu dapat dibenarkan. Begitu juga dengan riswah ini, mereka mempunyai seribu satu alasan untuk membenarkan pemberian kepada mereka, diantara alasan mereka yang paling sering dinukil adalah :

 Ini adalah uang lelah, uang tips atau hadiah

 Tidak ada pihak yang dirugikan, semua pekerjaan telah diselesaikan sesuai aturan .

 Kami hanya diberi, kami tidak pernah meminta.

Maka pemberian inilah yang sekarang dikenal dengan istilah Gratifikasi , yaitu pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. (Wikipedia)

Maka sekarang kembali ke hukum syariatnya, benarkah pemberian kepada pagawai adalah sesuatu yang diperbolehkan untuk diterima ??

Telah datang hadits dari Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim :

َت ْدَعَق َلَفَأ :لهَل َلاَقَف . ْيِل َيِدْهلأ اَذـهو ْملكَل اَذـه ِا َل ْولس َراَي :َلاَقَف ِهِلَمَع ْنِم َغ َرَف َنْيِح للِماَعْلا لهَءا َجَف للِماَع َلَمْعَتْسِا َمّلَس َو ِهْيَلَع لا ىّلَص ِا َل ْولسَر ّنَأ ّيِدِعاّسلا ِدْيَملح ْيِبَأ لثْيِدَح َكّملأ َو َكْيِبَأ ِتْيَب ىِف ِلــِما َعْلا للاـَب اــَمَف ،لد ــْعَب اّمَأ :َلاــَق ّملث ،لهللْهَأ َوله اَمِب ِا ىَلَع ىَنْثَأ َو َدّهَشَتَف ِةَلّصلا َد ْعَب لةّي ِشَع َمّلَس َو ِهْيَلَع ِا ىّلَص ِا لل ْولس َر َماَق ّملث ؟ َل ْمَأ َكَل ىَدْهليَأ َت ْرَظَنَف

(6)

amal, kemudian ia datang lalu berkata, “Ini hasil untuk kamu dan ini aku berikan hadiah, mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya untuk menunggu apakah ia diberi hadiah atau tidak?. Demi Allah yang jiwa Muhamad di tangan-Nya tiada seorang yang menyembunyikan sesuatu (korupsi), melainkan ia akan menghadap di hari kiamat memikul di atas lehernya. Jika berupa onta bersuara, atau lembu yang menguak atau kambing yang mengembik, maka sungguh aku telah menyampaikan.” Abu Humaidi berkata, “kemudian Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam ., mengangkat kedua tangannya sehingga aku dapat melihat putih kedua ketiaknya ”.

Berkata Ibnu Utsaimin Rahimahullahu tentang hadits ini :

“Dan dari hadits ini kita mengetahui besarnya kejelekkan riswah, dan sesungguhnya hal tersebut termasuk dari perkara-perkara besar yang sampai menyebabkan nabiShalallahu ‘alaihi wassallam berdiri berkhutbah kepada manusia dan memperingatkan dari perbuatan ini. Karena sesungguhnya apabila riswah merajalela di sebuah kaum maka mereka akan binasa dan akan menjadikan setiap dari mereka tidak mengatakan kebenaran, tidak menghukumi dengan kebenaran dan tidak menegakkan keadilan kecuali jika diberi riswah, kita berlindung kepada Allah. Danriswah , terlaknat yang mengambilnya dan terlaknat pula yang memberi kecuali apabila dalam keadaan yang mengambil riswah menghalangi hak-hak manusia dan tidak akan memberikannya kecuali dengan riswah maka dalam keadaan seperti ini laknat jatuh terhadap yang mengambil dan tidak atas yang memberi karena sesungguhnya pemberi hanya menginginkan mengambil haknya, dan tidak ada jalan bagi dia untuk itu kecuali dengan membayar riswah maka yang seperti ini mendapatkan udzur. Sebagaimana ditemukan sekarang (kita berlindung kepada Allah) di sebagian pejabat di Negara-negara Islam yang tidak menunaikan hak-hak manusia kecuali dengan riswah ini (kita belindung kepada Allah) maka dia telah memakan harta dengan batil, dia telah menimpakan kepada dirinya sendiri dengan laknat. Kita memohon kepada Allah ampunan, dan wajib bagi orang-orang Allah telah mempercayakan kepadanya pekerjaan untuk melaksanakannya dengan keadilan dan menegakkannya dengan perkara-perkara yang wajib ditegakkan di dalamnya sesuai kemampuannya.( Syarah Riyadhus Sholihin , 1/187)

Berkata Ibnu Baaz Rahimahullahu :

“Dan hadits ini menunjukkan bahwa wajib atas pegawai di pekerjaaan apa saja untuk Negara untuk menunaikan apa-apa yang dipercayakan kepadanya dan tidak boleh bagi dia untuk menerima hadiah yang terkait dengan pekerjaaanya. Dan apabila dia mengambilnya maka dia harus menaruhnya di Baitul Mal , dan tidak boleh bagi dia untuk mengambil bagi dirinya sendiri berdasarkan hadits shohih ini karena sesungguhnya hal itu merupakan perantara kejelekkan dan pelanggaran amanat.” (Fatawa Ulama Baladil Haram Hal. 655)

Mungkin sebagian orang akan mengatakan, bahwa ini adalah fatwa ulama-ulama masa kini, maka kita butuh ucapan ulama-ulama terdahulu. Maka perhatikanlah ucapan para imam-imam kita terdahulu :

Imam Bukhori membuat bab di dalam shohihnya yang mencantumkan hadits ini : “Bab Hadiah untuk pegawai” dan di tempat lain beliau membuat bab : “Bab orang-orang yang tidak menerima hadiah dikarenakan sebab”

Imam Nawawi membuat bab dalam Shohih Muslim : “Bab haramnya hadiah untuk pegawai”

Maka sungguh benar Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam , seandainya saja kira-kira kita duduk di rumah apakah akan ada yang datang orang yang tidak dikenal memberi kita hadiah ??? seandainya kita tidak di posisi sedang memegang urusan atau proyek apakah kita akan diberi hadiah?? apakah apabila kita tidak sedang berada di loket-loket pelayanan masyarakat kita akan diberi hadiah sementara pegawai lain , pegawai biasa yang tidak memegang urusan tidak diberi hadiah ???

Umar bin Abdil aziz Rahimahullahu , beliau berkata ” Hadiah pada zaman NabiShalallahu ‘alaihi wassallam adalah hadiah, adapun hari ini hadiah (hakikatnya) adalah sogokan” (Syarh Ibnu Bathol 7/111)

Lajnah Da’imah Lilbuhuts Wal Ifta’ ditanya tentang 3 bentuk pemberian dalam pekerjaaan :

Pertama, Pemberian setelah ditunaikannya seluruh pekerjaan dengan baik, tanpa adanya penyia-nyiaan, penipuan, penambahan atau pengurangan dan tanpa mengutamakan seseorang dibanding yang lainnya

Kedua , Dengan diminta , baik secara jelas ataupun dengan isyarat.

Ketiga, Uang pemberian orang sebagai tambahan jam kerja yang sudah habis,. Misalnya jam kerja sudah habis, tapi masyarakat atau rekanan masih minta dilayani dan mereka siap membayar uang lembur kita.

Maka mereka menjawab :

Bentuk pertama adalah salah satu bentuk memakan harta manusia dengan cara yang batil Bentuk kedua termasuk dalam hadits

يشترملاو يشارلا ىلع ل ةنعل

“Allah melaknat orang yang memberi suap, dan yang menerima suap”

Bentuk ketiga tetap tidak boleh, karena kita berkerja pada pimpinan dan Negara, kalau memang mereka ingin kita berkerja lebih maka mereka harus meminta kepada pimpinan kita secara resmi agar kita berkerja lebih dan kemudian kita dibayar oleh Negara atau perusahaan bukan dari masyarakat atau rekanan.

(7)

Dan sebagai tambahan untuk penguat hati-hati yang masih ragu, sebuah hadits Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam tentang hadiah bagi para pegawai, beliauShalallahu ‘alaihi wassallam bersabda :

لولغ لامعلا اياده

“Hadiah untuk pegawai adalah khianat”

(HR. Ahmad dan Baihaqi dari Abu Humaidi Assa’idy Rhadiyallahu ‘anhu , di shohihkan Al-Albani dalam Shohihul Jami’ No. 7021)

Maka bagi orang-orang yang beriman, hendaknya taat dan tunduk dengan apa-apa yang telah diperintahkan oleh Allah dan RasulNya, jangan lagi mencari pembenaran-pembenaran untuk mengikuti hawa nafsunya.

Allah berfirman :

اًنيِبُم ًل لللض َللض ْدلقلف ُهللوُس لر لو ل َل ِصْعلي ْنلم لو ْمِه ِرْملأ ْنِم ُةلرليِخْلا ُمُهلل لنوُكلي ْنلأ اًرْملأ ُهُلوُسلر لو ُ َل ىلضلق الذِإ ٍةلنِم ْؤُم لل لو ٍنِم ْؤُمِل لنالك الم لو

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.”(QS. Al-Ahzab : 36)

Jumat, 15 Februari 2013 | 06:13 WIB

Oleh: Said Aqil Siradj

Negeri kita rupanya makin ”kesurupan”, terus dihujani persoalan penyalahgunaan wewenang.

Setelah soal korupsi yang terus gencar dan terdesentralisasi, kini muncul ke permukaan soal gratifikasi atau hadiah dalam bentuk layanan seks. Meski ini ”lagu lama”,

kemunculannya sontak membuat gemas masyarakat. Bukan rahasia lagi, tindakan korupsi bisa dilakukan dengan berbagai cara. Dalam beberapa penelitian terungkap, banyak kepala daerah menyelewengkan APBD untuk kepentingan pribadi. Selain uang, salah satu modus penyimpangan adalah membayar jasa pemuas seks untuk diberikan kepada oknum tertentu guna melancarkan proyek.

Fakta ini sesungguhnya menyingkap bukan saja diversifikasi korupsi, tetapi juga potret dinamika hukum kita. Di sinilah terdapat blessing in disguise karena terbuka momentum bagi KPK untuk menindaknya. Hal ini mengingat, dalam kasus-kasus seperti itu, selama ini yang lebih ditekankan adalah soal korupsinya, bukan gratifikasi seks yang selama ini tidak digolongkan dalam tindakan korupsi atau suap, kecuali uang yang digunakan dari APBD, misalnya.

Di negara lain, Singapura, misalnya, seseorang bisa didakwa karena menerima gratifikasi seks. Di Indonesia, hukum tersebut belum berlaku. Mestinya kita bisa memasukkan

gratifikasi seks dalam jeratan hukum. Bukankah itu suap yang diberikan dalam bentuk lain? Saat ini, KPK tengah membahas kemungkinan mengatur lebih detail gratifikasi seks ini dalam UU Tipikor. Sejauh ini, gratifikasi yang tercantum dalam UU Tipikor terbatas dalam bentuk mata uang rupiah.

Status hukum hadiah

Hadiah—menyitir pendapat Rawwas Qal’ahjie dalam Mu’jam Lughat al-Fuqaha’ (1996)— adalah pemberian yang diberikan secara cuma-cuma tanpa imbalan. Hukum asal

memberikan hadiah adalah sunah, berdasarkan hadis Nabi, ”Sebaik-baik sesuatu adalah hadiah. Jika ia masuk pintu (rumah seseorang), maka yang dia masuki pun pasti tertawa.”

Namun, kesunahan tersebut, menurut Syamsuddin al-Sarakhsi dalam kitabnya,

Al-Mabsuth (1993), berlaku jika terkait dengan hak yang tak ada kaitannya dengan salah satu pekerjaan untuk mengurus masyarakat. Jika orang itu diangkat untuk menjalankan urusan negara, seperti para hakim dan kepala daerah, dia harus menolak hadiah, khususnya dari orang yang sebelumnya tak pernah memberikan hadiah kepadanya. Sebab, cara itu bisa memengaruhi keputusan. Dalam kasus ini, status hukum hadiah itu adalah bentuk suap (risywah) dan harta haram (suht).

Pasalnya, hadiah yang diberikan kepada pejabat publik itu merupakan harta yang diberikan pihak yang berkepentingan (shahib al-mashlahah), bukan sebagai imbalan karena

urusannya terselesaikan, tetapi karena pejabat publik itulah orang yang secara langsung menyelesaikan urusannya, atau dengan bantuannya urusan tersebut terselesaikan. Apakah hadiah diberikan karena keinginan untuk menyelesaikan urusan tertentu, setelah urusan selesai, atau pada saatnya ketika dibutuhkan, pada konteks ini hadiah kepada pejabat publik tersebut statusnya sama dengan suap (risywah). Dengan kata lain, jika hadiah datang karena jabatan, hukumnya haram. Namun, jika hadiah datang bukan karena jabatan, hukumnya halal. Inilah yang dinyatakan baik oleh al-Sarakhsi maupun mayoritas ulama.

Lalu, bagaimana dengan gratifikasi yang diperoleh pejabat publik yang merupakan hadiah dan suap? Sebagaimana definisi yang ada, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, atau fasilitas lain. Gratifikasi dimaksud bisa saja diterima di dalam negeri ataupun di luar negeri, dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Contoh kasus yang bisa digolongkan gratifikasi adalah pembiayaan kunjungan kerja lembaga legislatif oleh eksekutif karena ini dapat memengaruhi legislasi dan

implementasinya, penyediaan biaya tambahan (fee) dari nilai proyek, hadiah pernikahan untuk keluarga pejabat dari pengusaha, dan pengurusan KTP/SIM/paspor yang dipercepat dengan uang tambahan.

Memang, status gratifikasi perlu dibedakan. Jika gratifikasi diberikan oleh pemberinya karena terkait dengan jabatan penerimanya, baik untuk menyelesaikan urusan pada saat itu maupun pada masa yang akan datang, status gratifikasi itu haram. Statusnya sama dengan suap. Namun, jika gratifikasi diberikan oleh pemberinya sama sekali tidak terkait dengan jabatan penerimanya tetapi karena hubungan kekerabatan atau pertemanan yang lazim saling memberi hadiah, gratifikasi seperti ini hukumnya halal.

(8)

dinyatakan dalam UU No 20 Tahun 2001. Menurut UU ini, setiap gratifikasi yang diperoleh pegawai negeri atau penyelenggara negara adalah suap, tetapi ketentuan yang sama tak berlaku jika penerima melaporkan gratifikasi itu ke KPK paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi diterima. Ketentuan UU ini tampaknya kalah tegas dibanding

pemikiran fikih sehingga dikhawatirkan justru terkesan melegalkan praktik suap dan hadiah yang diharamkan.

Dalam fikih terdapat metode yang dinamakan sadd al-dzari’ah, yaitu upaya preventif agar tak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Hukum Islam tidak hanya mengatur perilaku manusia yang sudah dilakukan, tetapi juga yang belum dilakukan. Hal ini selajur dengan salah satu tujuan hukum Islam, yakni mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan (mafsadah). Penekanannya pada ”akibat dari perbuatan” tanpa harus melihat motif dan niat si pelaku. Jika akibat atau dampak yang terjadi dari suatu perbuatan adalah sesuatu yang dilarang atau mafsadah, perbuatan itu jelas harus dicegah. Artinya, jika suatu perbuatan yang belum dilakukan diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah), dilaranglah hal-hal yang mengarahkan pada perbuatan itu.

Walhasil, kita perlu mendukung wacana pengaturan lebih detail terkait gratifikasi seks dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Bahkan, sudah seharusnya hukuman untuk kejahatan ini lebih berat dari gratifikasi uang atau barang. Alasannya, gratifikasi seks tak sekadar kejahatan biasa, tetapi juga menyangkut akhlak dan moralitas. Gratifikasi seks tak sekadar melanggar peraturan perundang-undangan, tetapi juga hukum keagamaan. Bila pelakunya pejabat, dia sudah tak layak lagi disebut pejabat dan pemimpin. Uang saja haram, apalagi menyangkut seks. Karena itu, jika nantinya aturan ini diterbitkan, perlu disertai penyebutan hukuman yang lebih berat. Tandasnya, perlu ada hukumannya sendiri karena tindakan itu sudah termasuk dalam kategori zina.

Said Aqil Siradj Ketua Umum PBNU

http://nasional.kompas.com/read/2013/02/15/06131937/Fikih.Gratifikasi

Kata suap-menyuap pada hari-hari ini ini begitu akrab di telinga dikarenakan seringnya media massa menukilnya, sampai-sampai kata suap-menyuap lebih sering digunakan melebihi makna yang sebenarnya , suap makna sebenarnya adalah memasukkan makanan dengan tangan ke dalam mulut (Kamus Besar bahasa Indonesia) Maka pada hari-hari ini, apabila seseorang mendengar kata suap , bukanlah yang tergambar di benaknya sesuatu yang terkait tangan, mulut dan makanan tapi yang langsung terbayang adalah korupsi, sidang dan KPK.

Suap sendiri dalam makna yang kedua ini tidak ditemukan di dalam kamus bahasa Indonesia, yang ditemukan adalah yang sepadan dengannya yaitu sogok yang diartikan sebagai : ”dana yang sangat besar yang digunakan untuk menyogok para petugas” Sungguh pengertian yang kurang sempurna, karena apabila pengertiannya seperti ini maka tentunya dana-dana kecil tidak termasuk sebagai kategori sogok atau suap.

Adapun dalam bahasa arab, suap atau sogok dikenal dengan riswah, yang diartikan sebagai “Apa-apa yang diberikan agar ditunaikan kepentingannya atau apa-apa yang diberikan untuk membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar “(Mu’jamul Wasith) .

Dan dalam syariat islam, perkara suap-menyuap ini ini sangat ditentang dan diancam dengan ancaman yang mengerikan, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam , beliau bersabda :

يشترملاو يشارلا ىلع ل ةنعل “Allah melaknat orang yang memberi suap, dan yang menerima suap” (HR. Ahmad dan selainnya dari Abdullah bin Amr’Rhadiyallahu ‘anhuma , Dishohihkan Al-Albani dalam Shohihul Jami’ 5114 dan dalam kitab-kitab beliau lainnya)”

Maka hadits ini bagi orang-orang beriman akan membuat mereka akan menjauhi perbuatan ini, dan ditambah lagi para ulama mengatakan bahwa hadits-hadits yang semisal seperti ini, yaitu lafadz “Allah melaknat” menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah termasuk kategori dosa besar yang tidak akan diampuni kecuali dia bertaubat, adapun ketika dia mati dalam keadaan belum bertaubat maka di bawah kehendak Allah apakah akan mengadzabnya atau tidak.

Akan tetapi manusia pengejar dunia akan selalu mendengar bisikan setan dan hawa nafsunya, mereka akan mencari seribu satu cara pembenaran agar seakan-akan perbuatan mereka itu dapat dibenarkan. Begitu juga dengan riswah ini, mereka mempunyai seribu satu alasan untuk membenarkan pemberian kepada mereka, diantara alasan mereka yang paling sering dinukil adalah :

 Ini adalah uang lelah, uang tips atau hadiah

 Tidak ada pihak yang dirugikan, semua pekerjaan telah diselesaikan sesuai aturan .  Kami hanya diberi, kami tidak pernah meminta.

Maka pemberian inilah yang sekarang dikenal dengan istilah Gratifikasi , yaitu pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. (Wikipedia)

Maka sekarang kembali ke hukum syariatnya, benarkah pemberian kepada pagawai adalah sesuatu yang diperbolehkan untuk diterima ??

Telah datang hadits dari Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim :

(9)

:ُهَل َلاَقَف .ْيِل َيِدْهُأ اَذُهو ْمُكَل اَذُه ِهللا َلْوُسَراَي :َلاَقَف

َكِمُأَو َكْيِبَأ ِتْيَب ىِف َتْدَعَق َلَفَأ

؟ َل ْمَأ َكَل ىَدْهُيَأ َتْرَظَنَف

َدْعَب ًةَيِشَع َمَلَسَو ِهْيَلَع ِهللا ىَلَص ِهللا ُلْوُسَر َماَق َمُث

اَمَأ :َلاَق َمُث ،ُهُلْهَأ َوُه اَمِب ِهللا ىَلَع ىَنْثَأَو َدَه َشَتَف ِةَلَصلا

ْنِم اَذُه :ُلْوُقَيَف اَنْيُِت

ْأَيَف ُهُلِمْعَتْسَن ِلِماَعْلا ُلاَب اَمَف ،ُدْعَب

َرَظَنَف ِهِم

ُأَو ِهْيِبَأ ِتْيَب ْيِف َدَعَق َلَفَأ ْيِل َيِدْهُأ اَذُهَو ْمُكِلَمَع

ُلُغَيَل ِهِدَيِب ٍدَمَحُم ُسْفَن ْيِذَلا َوَف ؟َل ْمَأ ُهَل ىَدْهُي ْلَه

ِهِقُنُع ىَلَع ُهُلِمْحَي ِةَماَيِقْلا َمْوَي ِهِب َءاَج َلِإ

ًأُْيَش اَهْنِم ْمُكُدَحَأ

ٌراْوُخ اَهِب َءاَج ًةَرَقَب ْتَناَك ْنِإَو ٌءاَغُر ُهَل ِهِب َءاَج اًرْيِعَب َناَك ْنِإ

َمُث :ٍدْيَمُح ْوُب

َأ َلاَقَف ُتْغَلَب ْدَقَف ُرَعْيَت اَهِب َءاَج ًةاَش ْتَناَك ْنِإَو

ُرُظْنَنَل اَنِإ ىَتَح ُهَدَي َمَلَسَو ِهْيَلَع ِهللا ىَلَص ِهللا ُلْوُسَر َعَفَر

ِهْيَطْبِإ ِةَرْفُع ىَلِإ

Abu Humaidi Assa’idy Rhadiyallahu ‘anhu . berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam . mengangkat seorang pegawai untuk menerima sedekah/zakat kemudian sesudah selesai, ia datang kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam . dan berkata, “Ini untukmu dan yang ini untuk hadiah yang diberikan orang padaku.” Maka Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam . bersabda kepadanya, “Mengapakah engaku tidak duduk saja di rumah ayah atau ibumu apakah di beri hadiah atau tidak (oleh orang)?” Kemudian sesudah shalat, Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam . berdiri, setelah tasyahud dan memuji Allah selayaknya, lalu bersabda. “Amma ba’du, mengapakah seorang pegawai yang diserahi amal, kemudian ia datang lalu berkata, “Ini hasil untuk kamu dan ini aku berikan hadiah, mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya untuk menunggu apakah ia diberi hadiah atau tidak?. Demi Allah yang jiwa Muhamad di tangan-Nya tiada seorang yang menyembunyikan sesuatu (korupsi), melainkan ia akan menghadap di hari kiamat memikul di atas lehernya. Jika berupa onta bersuara, atau lembu yang menguak atau kambing yang mengembik, maka sungguh aku telah menyampaikan.” Abu Humaidi berkata, “kemudian Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam ., mengangkat kedua tangannya sehingga aku dapat melihat putih kedua ketiaknya.”

Berkata Ibnu Utsaimin Rahimahullahu tentang hadits ini :

(10)

ampunan, dan wajib bagi orang-orang Allah telah mempercayakan kepadanya pekerjaan untuk melaksanakannya dengan keadilan dan menegakkannya dengan perkara-perkara yang wajib ditegakkan di dalamnya sesuai kemampuannya.( Syarah Riyadhus Sholihin , 1/187)

Berkata Ibnu Baaz Rahimahullahu :

“Dan hadits ini menunjukkan bahwa wajib atas pegawai di pekerjaaan apa saja untuk Negara untuk menunaikan apa-apa yang dipercayakan kepadanya dan tidak boleh bagi dia untuk menerima hadiah yang terkait dengan pekerjaaanya. Dan apabila dia mengambilnya maka dia harus menaruhnya di Baitul Mal , dan tidak boleh bagi dia untuk mengambil bagi dirinya sendiri berdasarkan hadits shohih ini karena sesungguhnya hal itu merupakan perantara kejelekkan dan pelanggaran amanat.” (Fatawa Ulama Baladil Haram Hal. 655)

Mungkin sebagian orang akan mengatakan, bahwa ini adalah fatwa ulama-ulama masa kini, maka kita butuh ucapan ulama-ulama terdahulu. Maka perhatikanlah ucapan para imam-imam kita terdahulu :

Imam Bukhori membuat bab di dalam shohihnya yang mencantumkan hadits ini : “Bab Hadiah untuk pegawai” dan di tempat lain beliau membuat bab : “Bab orang-orang yang tidak menerima hadiah dikarenakan sebab” Imam Nawawi membuat bab dalam Shohih Muslim : “Bab haramnya hadiah untuk pegawai”

Maka sungguh benar Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam , seandainya saja kira-kira kita duduk di rumah apakah akan ada yang datang orang yang tidak dikenal memberi kita hadiah ??? seandainya kita tidak di posisi sedang memegang urusan atau proyek apakah kita akan diberi hadiah?? apakah apabila kita tidak sedang berada di loket-loket pelayanan masyarakat kita akan diberi hadiah sementara pegawai lain , pegawai biasa yang tidak memegang urusan tidak diberi hadiah ???

Umar bin Abdil aziz Rahimahullahu , beliau berkata ” Hadiah pada zaman Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam adalah hadiah, adapun hari ini hadiah (hakikatnya) adalah sogokan” (Syarh Ibnu Bathol 7/111) Lajnah Da’imah Lilbuhuts Wal Ifta’ ditanya tentang 3 bentuk pemberian dalam pekerjaaan :

Pertama, Pemberian setelah ditunaikannya seluruh pekerjaan dengan baik, tanpa adanya penyia-nyiaan, penipuan, penambahan atau pengurangan dan tanpa mengutamakan seseorang dibanding yang lainnya

Kedua , Dengan diminta , baik secara jelas ataupun dengan isyarat.

Ketiga, Uang pemberian orang sebagai tambahan jam kerja yang sudah habis,. Misalnya jam kerja sudah habis, tapi masyarakat atau rekanan masih minta dilayani dan mereka siap membayar uang lembur kita.

Maka mereka menjawab :

Bentuk pertama adalah salah satu bentuk memakan harta manusia dengan cara yang batil Bentuk kedua termasuk dalam hadits

يشترملاو يشارلا ىلع ل ةنعل “Allah melaknat orang yang memberi suap, dan yang menerima suap”

Bentuk ketiga tetap tidak boleh, karena kita berkerja pada pimpinan dan Negara, kalau memang mereka ingin kita berkerja lebih maka mereka harus meminta kepada pimpinan kita secara resmi agar kita berkerja lebih dan kemudian kita dibayar oleh Negara atau perusahaan bukan dari masyarakat atau rekanan.

(Sumber Fatwa No. 9374 dengan ringkasan dan perubahan)

Dan sebagai tambahan untuk penguat hati-hati yang masih ragu, sebuah hadits Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam tentang hadiah bagi para pegawai, beliau Shalallahu ‘alaihi wassallam bersabda :

لولغ لامعلا اياده

“Hadiah untuk pegawai adalah khianat”

(HR. Ahmad dan Baihaqi dari Abu Humaidi Assa’idy Rhadiyallahu ‘anhu , di shohihkan Al-Albani dalam Shohihul Jami’ No. 7021)

Maka bagi orang-orang yang beriman, hendaknya taat dan tunduk dengan apa-apa yang telah diperintahkan oleh Allah dan RasulNya, jangan lagi mencari pembenaran-pembenaran untuk mengikuti hawa nafsunya. Allah berfirman :

اًنيِبُم ًل لللض َللض ْدلقلف ُهللوُسلر لو ل َل ِصْعلي ْنلم لو ْمِه ِرْملأ ْنِم ُةلرليِخْلا ُمُهلل لنوُكلي ْنلأ اًرْملأ ُهُلوُسلر لو ُ َل ىلضلق الذِإ ٍةلنِم ْؤُم لل لو ٍنِم ْؤُمِل لنالك الم لو

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.”(QS. Al-Ahzab : 36)

Wallahu a’lam

Ibnu Dzulkifli As-Samarindy

http://www.darussalaf.or.id/fiqih/hukum-suap-menyuap-dan-gratifikasi-dalam-syariat-islam/

(11)

Tadi pagi saat sahur, saya menikmati tayangan bincang-bincang tentang bisnis syariah di TV One yang hadir setiap jam 4 pagi, dipandu Syakir Sula dengan nara sumber tetap Syafii Antonio. Beliau pakar ekonomi syariah yang sudah sangat kondang, tapi beliau lebih suka disebut akademisi. Ada yang menarik dari tayangan padi tadi yang topiknya tentang “HADIAH” dalam pandangan Islam. Saling memberi hadiah dalam Islam sangat dianjurkan karena dapat mempererat tali silaturahmi. Tapi, hadiah yang seperti apa dulu?

Menurut Pak Syafii Antonio, hadiah dalam Islam dibagi menjadi 3 macam :

1. Hadiah dari seseorang yang posisinya “di bawah” kepada orang yang posisinya “di atas”, semisal hadiah dari bawahan kepada atasan, dari seorang yang memiliki kepentinganbisnis kepadan orang yang punya kewenangan mengambil keputusan atas bisnis tersebut. Hadiah semacam ini yang tidak diperbolehkan.

2. Hadiah dari seseorang kepada orang lain yang setara, misalnya antar teman, kerabat, keluarga, tetangga. Hadiah semacam ini boleh dan dianjurkan sepanjang saling memberi manfaat dan mempererat persahabatan/persaudaraan.

3. Hadiah dari seseorang yang posisinya “di atas” kepada orang yang posisinya “di bawah”, dimana si pemberi tak memiliki kepentingan terhadap yang diberi dan tak ada pamrih untuk mendapatkan balasan. Seperti

hadiah dari majikan kepada pekerjanya, hadiah dari pejabat kepada bawahannya, hadiah dari orangkaya kepada kaum fakir, dll. Inilah bentuk hadiah yang sangat dianjurkan.

Pak Syafii Antonio mengisahkan tentang seorang petugas pemungut zakat pada masa Rasulullah. Saya rasa sebagian besar sudah banyak yang mendengar kisah ini. Ceritanya ada seorang pemungut zakat yang dia memang bekerja untuk Baitul Maal dan digaji oleh negara untuk profesinya itu. Seperti kita tahu, dalam negara Islam zakat seperti halnya pajak. Suatu kali, sepulang dari memungut zakat, si petugas ini datang kepada

Rasulullah dan melaporkan hasilnya. Ia menyerahkan hasil zakat dari kaum Muslim yang didatanginya. “Ini pembayaran zakat mereka, lalu yang ini adalah untuk saya karena ini pemberian dari wajib zakat kepada saya pribadi”. Mendengar hal itu Rasulullah lalu memerintahkan agar ia

(12)

Nah, sedemikian ketatnya Rasulullah Muhammad SAW menjaga agar abdi negara yang telah diberikan gaji dan fasilitas oleh negara, tidak lagi

menerima pemberian apapun dari masyarakat. Tak peduli apakah pemberian itu menyebabkan kerugian negara atau tidak. Tak peduli

apakah si penerima hadiah memberikan janji-janji yang akan menguntungkan si pemberi hadiah atau tidak. Begitu hati-hatinya Rasulullah, sampai hadiah yang dilaporkan pun tetap harus dikembalikan

atau diberikan ke Baitul Maal untuk menjadi hak negara yang akan didistribusikan kepada kaum yang berhak. Anda yang ingin membaca lebih

banyak soal ini dan kupasannya dari sudut pandang Islam secara lebih mendalam, tadi saya menemukan BLOG INI, yang mungkin bisa memberikan penjelasan lebih detil ketimbang tulisan saya sebagai orang

awam.

Yang menarik bagi saya, dalam kasus ini Rasulullah spontan seketika itu juga melarang penerimaan hadiah itu, tanpa perlu mempertanyakan

apakah ada kecurangan dalam penghitungan zakat si wajib zakat ataukah si penerima menjanjikan kemudahan bagi si pemberi hadiah. Ini

karena pada dasarnya hadiah yang diterima terkait dengan posisi si penerima, sudah dapat dikategorikan sebagai GULUL dalam Islam, yaitu gratifikasi dalam istilah kita. Dalam bahasa Pak Syafii Antonio : mereka yang punya (kewenangan) tanda tangan, punya pengaruh, punya keputusan, maka haram hukumnya menerima hadiah dari pihak lain yang mana jika saja ia tak duduk di posisi itu niscaya hadiah itu tak akan

diberikan padanya.

Kenapa saya katakan menarik? Karena belakangan banyak yang berdalih “apakah ada kerugian negara?” dalam suatu kasus dakwaan penerimaan gratifikasi. “Bukankah belum terjadi kerugian negara karena uangnya belum sampai?” Atau dalih lain : “Bukankah Pak XYZ tidak menjanjikan apa-apa kepada si Fulan?”. Bahkan terkadang seolah berlepas tangan : “itu kan karena si Fulan makelar, dia sudah biasa memberikan hadiah kepada siapa saja. Ada banyak orang yang menerima hadiah dari si Fulan” dan banyak lagi alasan pembenar.

Jika menyimak penjelasan Pak Syafii Antonio pagi tadi, tidak peduli apakah ada pihak yang dirugikan atau pihak yang diuntungkan, atau dalam pemberian hadiah tersebut tidak ada pihak yang dirugikan dan diuntungkan, tetap saja menerima hadiah dalam kaitan dengan

(13)

diperbolehkan menerima hadiah dan itu tergolong gulul atau gratifikasi.

foto : www.al-khilafah.com

Dalam kisah si pemungut zakat yang membuat Rasulullah marah itu, si pemberi hadiah memberikannya begitu saja tanpa meminta kemudahan untuk pemungutan zakatnya. Sebaliknya si penerima hadiah juga tak melakukan penyimpangan dalam menghitung zakat si muzakki (wajib zakat) yang memungkin si muzakki diuntungkan. Si penerima zakat juga tak menjanjikan apapun dan sama sekali tak ada kerugian negara (baitul maal). Tapi tetap saja Rasulullah marah dan melarang petugas pemungut zakat itu menerima hadiah yang tidak mungkin akan dia dapatkan

seandainya dia tak ditugaskan oleh negara menjadi pemungut zakat. Sebab dampaknya bisa jadi tak terjadi saat itu, tapi di kemudian hari si penerima hadiah akan bersikap lebih lunak pada pemberi hadiah.

Dalam contoh kasus misalnya saya sebagai seorang yang berprofesi

sebagai bagian HRD di Perusahaan, lalu saya menerima hadiah dari calon karyawan yang akan mengikuti seleksi penerimaan. Terlepas apakah saya menjanjikan dia akan saya luluskan atau tidak, apakah saya akan

memberikan kelonggaran padanya atau tidak, maka menerima hadiah dari calon karyawan itu haram hukumnya bagi saya. Beberapa tahun lalu, ada salah satu peserta seleksi yang sudah lolos seleksi dan tinggal tahap akhir. Lalu peserta ini menanyakan nomor HP saya yang saya tolak untuk

menyebutkan dengan alasan silakan saja dia menghubungi nomor kantor untuk menanyakan perihal pengumuman hasil akhir seleksi, jangan ke HP saya pribadi. Ternyata saya salah duga, dia katakan bahwa dia akan ke ATM untuk membeli pulsa untuk saya. Tak terkira amarah saya waktu itu, tapi saya usahakan untuk menahan, dengan menjawab : “Maaf HP saya pasca bayar dan sudah dibayar Perusahaan”. Dia pun pergi dengan

menahan malu. Pada tahap berikutnya, saya sengaja tak meloloskan orang itu, meski mungkin dia cukup punya peluang untuk lolos. Kenapa?! Ya, karena mentalitasnya saya nilai sudah tidak baik. Lagi pula ia tak punya cukup rasa percaya diri untuk berkompetisi secara fair. Jadi bagaimana mungkin saya yakin orang seperti itu bagus kualitasnya?

(14)

“diskriminasi” pada vendor-vendor itu, Mbak Ita mengelak. Tapi tak dipungkiri bahwa ia akan lebih mudah menolong vendor yang pemurah kalau kelengkapan tagihan kurang, ia akan segera menelpon. Sebaliknya kalau vendor yang pelit, tetap dilayaninya tapi jika kelengkapan kurang ia akan memberitahu jika si vendor sudah datang lagi. Bukankah mau tak mau perilaku terbiasa menerima hadiah ini lama-lama bisa membentuk sikap mentalnya?

Ketika kemudian dipindahkan ke bagian Personalia dan bertugas untuk memverifikasi pengajuan kredit karyawan baik ke koperasi perusahaan maupun ke bank yang bekerja sama dengan perusahaan, perilaku Mbak Ita tak berubah. Ia tetap enjoy menerima “tanda terima kasih” dari

karyawan yang sudah dia uruskan kreditnya. Meski ia tak pernah meminta dan tetap melayani mereka yang tak memberinya hadiah, namun tak bisa dipungkiri bahwa ada perbedaan sikap dalam melayani dan memudahkan urusan, yang semestinya sudah menjadi tugasnya.

Jadi, sekali lagi, kembali ke hukum syariah Islam, maka menerima hadiah terkait dengan posisi/ jabatan/ profesi/ kewenangan seseorang, maka itu tergolong gulul atau gratifikasi dan HARAM hukumnya. Tak perlu

lagi diperdebatkan apakah ada pihak yang diuntungkan atau dirugikan, adakah kerugian negara atau tidak, apakah si penerima menjanjikan

sesuatu atau tidak, apakah si pemberi menyampaikan

harapan/keinginannya atau tidak, gulul tetaplah gulul dan tidak bisa disebut hadiah silaturahmi belaka

http://filsafat.kompasiana.com/2013/07/16/hadiah-dan-gratifikasi-dalam-hukum-syariah-islam-577356.html

JAKARTA - Revisi peraturan pemerintah (PP) tentang biaya pencatatan nikah segera selesai. Kemarin digelar koordinasi lintas kementerian. Selanjutnya tinggal pertemuan final dan membawanya untuk ditandatangani Presiden Susilo BambangYudhoyono (SBY).

Rapat finalisasi revisi PP ini berlangsung di kantor Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Kemenkokesra). Selain dari Kemenkokesra, rapat ini dihadiri unsur Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag Abdul Djamil mengatakan, penetapan biaya nikah yang baru ini mendesak untuk dilakukan. Dia menyampaikan draf terbaru usulan revisi PP biaya nikah itu. Skema pembiayaan diatur dalam tiga jenis.

Pertama, untuk masyarakat miskin, biaya pencatatan nikah digratiskan. Kedua, tarif untuk

pencatatan nikah di jam kerja dan di kantor urusan agama (KUA) ditetapkan sebesar Rp 50 ribu. Dan yang ketiga, pencatatan nikah di luar kantor dan jam kerja dipatok sebesar Rp600 ribu. ’’Mudah-mudahan ini sudah final, tidak berubah lagi. Jadi tak ada tarif tunggal,’’ katanya.

(15)

Jamil mengatakan, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemenag baru saja melakukan penelitian tentang kecenderungan aktivitas pernikahan di masyarakat. Dia menuturkan bahwa 97 persen masyarakat yang diteliti mengatakan ingin melakukan pencatatan nikah di luar kantor dan jam kerja KUA.

Selain itu, Jamil mengatakan dalam PP biaya pencatatan nikah yang berlaku saat ini, pencatatan nikah di luar kantor dan jam kerja juga diperbolehkan. Dia menegaskan yang dilarang itu adalah praktik gratifikasinya. ’’Untuk itu diatur dalam revisi PP ini,” paparnya.

Jika nanti setelah PP baru keluar masih ada penghulu yang menerima gratifikasi, akan ditindak tegas oleh aparat penegak hukum. Selain itu dalam praktik gratifikasi, pemberi hadiah atau biaya tambahan pencatatan nikah juga bisa ikut diseret. Jamil meminta ke depan masyarakat ikut mengawasi, jangan sampai ada penghulu yang nakal dengan meminta uang pencatatan nikah di luar ketentuan.

Jamil menegaskan, uang tarif pencatatan nikah di luar kantor dan jam kerja yang Rp600 ribu itu tidak masuk kantor penghulu. Tetapi disetor ke negara melalui skema penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Dari seluruh PNBP pencatatan nikah yang terkumpul, 80 persennya akan dikembalikan lagi ke Kemenag untuk dibagikan ke masing-masing KUA. Nah, uang bagi-bagi itu bisa dipakai untuk

membayar ongkos transportasi penghulu.

Sebelum revisi PP ini keluar, biaya pencatatan nikah tetap seperti aturan semula, yakni hanya Rp30 ribu per pencatatan. Sedangkan aktivitas pencatatan nikah di luar kantor dan jam kerja tetap

diperbolehkan, karena ada aturannya. Persyaratan menggelar pencatatan nikah di luar kantor dan jam kerja itu harus mendapat persetujuan antara penghulu dan pihak mempelai. (jpnn/p6/c1/ary)

Skema Biaya Nikah

- Masyarakat miskin, biaya pencatatan nikah digratiskan.

- Pencatatan nikah di jam kerja dan di kantor urusan agama (KUA) dikenai biaya Rp50 ribu. - Pencatatan nikah di luar kantor dan jam kerja dipatok sebesar Rp600 ribu

http://www.radarlampung.co.id/read/berita-utama/66728-ini-dia-tarif-nikah-resmi

Para penghulu di Jawa Timur membuat gerakan menolak menikahkan pasangan pengantin pada hari libur, Sabtu dan Minggu, yang kemudian berujung menimbulkan kegelisahan di kalangan keluarga yang hendak menikahkan putra/putrinya.

Gerakan itu tak sepenuhnya mendapat dukungan. Sebagian di antara mereka tidak mengindahkan larangan itu dengan alasan menikahkan pasangan pengantin merupakan kewajiban.

Sementara penghulu yang bertahan dengan pendirian menolak menikahkan pada hari libur, mengusung alasan menghindari gratifikasi, yang belakangan ini banyak dialamatkan kepada mereka.

Para penghulu belakangan ini kembali mendapat ujian. Citranya pun mengalami degradasi. Stigma penghulu menerima gratifikasi menguat.

Sebelumnya penghulu dihadapkan dengan kasus kelangkaan buku nikah dan terakhir rencana aksi tidak melayani pernikahan di luar jam kantor atau di hari libur pada Sabtu dan Minggu.

Kasus ini ternyata "menyenggol" suasana kerukunan intern umat beragama, khususnya di kalangan umat Islam, yang sejak lama dibangun Kementerian Agama (Kemenag), untuk dapat melaksanakan kehidupan dalam suasana harmoni, penuh toleransi dan damai.

Realitas di tengah masyarakat, penghulu berada pada kedudukan tinggi. Sebab, mereka itu adalah panutan warga dalam bermasyarakat.

(16)

Kalaupun hanya menjalankan tugas pencatatan, namun keluarga pengantin menuntut lebih seperti menyampaikan khutbah nikah, siraman rohani dan memandu seluruh jalannya pernikahan. Dengan cara itu, suasana pernikahan pun terasa sakral.

Terasa agung bagi kedua keluarga pengantin. Padahal, tugas pokok penghulu --baik ketika menikahkan di kantor urusan agama (KUA) maupun di keduaman/gedung-- adalah mencatat pernikahan.

Realitas lain yang dihadapi penghulu adalah tantangan geografis Indonesia. Banyak di antara penghulu menikahkan pasangan pengantin di luar jam kerja. Sulitnya transportasi, ketiadaan dukungan dana dan sarana.

Hal ini oleh berbagai pihak sudah diketahui. Belum lagi tuntutan keluarga pengantin yang meminta menikahkan pada hari, jam dan waktu yang sudah ditentukan.

Realitas dan klenik

Mengenai waktu menikah itu, Menteri Agama Suryadharma Ali sempat berkomentar, dalam kasus tertentu, nikah kadang berbau "klenik". Nikah dimaknai sebagai suasana magis.

Ada keluarga harus menikahkan pada bulan, hari dan jam yang sudah ditentukan. "Bahkan sampai detiknya pun harus diperhatikan dan diikuti, harus sesuai dengan petunjuk Primbon," ujar Suryadharma Ali.

Karena demikian pentingnya pernikahan itu, sehingga ada keluarga menempatkan posisi tinggi. Sebagai konsekuensinya, keluarga bersangkutan merasa malu jika tidak memberikan "imbalan" sebagai pengganti ongkos lelah penghulu "yang bersusah payah" hadir dan menikahkan putra/putrinya itu.

Beranjak dari persoalan pemberian "imbalan" itulah, belakangan mencuat kembali persoalan penghulu menerima gratifikasi.

Gratifikasi, atau dalam bahasa awam dimaknai sebagai menerima hadiah, dianggap menyalahi aturan.

Pasalnya, penghulu sudah menerima gaji sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Tentunya menerima imbalan sangat bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku.

Karena itu, Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Johan Budi mengungkapkan, penghulu bisa dikatakan menerima gratifikasi jika dia mengambil ongkos biaya nikah lebih dari yang ditetapkan peraturan pemerintah.

Bisa digolongkan korupsi jika tidak dilaporkan si penghulu paling lambat 30 hari setelah diterima adanya laporan.

Seperti diberitakan, Kepala KUA Kecamatan Kediri Kota sekaligus Petugas Pencatat Nikah (P2N), Romli, ditahan oleh Kejaksaan Negeri Kota Kediri, Jatim.

Dia diduga terlibat pungli atas biaya pencatatan nikah di luar ketentuan yang ada selama kurun waktu setahun pada 2012.

Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Kota Kediri Sundaya mengatakan, dugaan keterlibatan tersangka berupa penerimaan uang sebesar Rp50.000 dari setiap pernikahan di luar KUA, serta Rp10.000 tambahan karena jabatannya sebagai Kepala KUA.

(17)

dititipkan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kediri hingga selama 20 hari sambil menunggu jadwal persidangan kasusnya di pengadilan Tipikor di Surabaya.

Reaksi atas penahanan Romli, para penghulu melalui Forum Komunikasi Kepala Kantor Urusan Agama (FKK KUA) se-Jatim menyatakan, tidak akan melayani akad nikah di luar Balai Nikah.

FKK KUA ini protes dengan ditangkapnya Romli dengan dugaan kasus menerima gratifikasi. Romly ditahan karena diduga menerima kelebihan biaya nikah sebesar Rp10 ribu tiap prosesi pernikahan.

Terkait dengan itu, Menteri Agama Suryadharma Ali meminta para petugas KUA, petugas pencatat nikah (P2N) dan pembantu petugas pencatat nikah (P3) se-Jatim, dan seluruh Indonesia tidak mogok.

Mereka diminta tetap melayani calon pengantin yang ingin menikah di balai nikah, maupun di tempat yang dikehendaki seperti di masjid, rumah dan hotel.

Gratifikasi dan solusi

SDA, sapaan akrab Menteri Agama yang juga Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu mempertanyakan kriteria gratifikasi, apakah ucapan terima kasih yang sudah mentradisi, masuk dalam kategori sebagai gratifikasi? Karena yang namanya gratifikasi itu adalah seseorang yang memberikan sesuatu kepada pejabat karena orang itu urusannya dipersulit oleh pejabat tersebut.

Dalam persoalan pernikahan ini ada tradisi yang berlaku sejak lama yakni, biasanya yang hajat biasa mengucapkan terima kasih kepada petugas yang menikahkan memberikan kue, makanan, nasi ketan, atau ada yang memberikan amplop.

"Kalau tradisi seperti itu dianggap sebagai gratifikasi, kemudian yang bersangkutan harus berurusan dengan hukum. Sebab itu, petugas KUA khususnya di Jatim mengambil kebijakan untuk menikahkan pasangan calon pengantin di Balai Nikah, Kantor KUA, dan dilakukan pada jam kerja KUA," papar Suryadharma.

Langkah KUA se-Jatim ini memang bukan solusi yang terbaik karena umumnya mereka yang mau nikah memilih hari libur, Sabtu dan Minggu.

Selain itu, pasangan calon pengantin juga memilih tempatnya sendiri untuk berlangsung pernikahannya, baik di rumah, masjid atau hotel.

"Karenanya saya menilai sulit untuk mengatakan langkah KUA se-Jatim salah," kata Suryadharma Ali.

Dari aspek sosial kultural, ternyata anjuran nikah di KUA dari para petinggi di Kementerian Agama tidak mendapat apresiasi dari masyarakat.

Bahkan realitas yang ada justru penolakan, karena masyarakat di berbagai daerah sudah lama

menempatkan penghulu dan KUA sebagai "garda" terdepan dari Kemenag dalam berbagai urusan yang menyangkut syariat Islam.

Adanya protes beberapa warga di KUA Kecamatan Juntinyuat, Indramayu, Jawa Barat, terkait diberlakukannya moratorium bedolan nikah dan pernikahan harus dilakukan di salah satu institusi Kemenag itu merupakan suatu bentuk kemustahilan yang dapat dilakukan.

(18)

Warga menolak bedolan nikah seperti yang diberlakukan Kepala KUA setempat, Nurudin dan penghulunya Muhammad Aminuddin. Pemberlakuan hanya berlangsung tak lebih dua pekan, setelah itu sekitar

beberapa warga memadati halaman kantor KUA setempat. Mereka memprotes atas diberlakukannya moratorium itu.

Kejadian ini merupakan salah satu peristiwa menarik setelah Kemenag melalui Sekjennya Bahrul Hayat mengimbau umat Islam yang hendak menikahkan putra-puterinya atau anggota keluarganya, agar melakukan di KUA setempat.

Lantas apa solusinya. Inspektur Jenderal Kemenag M Yasin pernah mengusulkan agar menghapus seluruh biaya administrasi yang dibebankan kepada calon pengantin di KUA.

Langkah itu merupakan respon langsung atas keluhan masyarakat terkait pungutan liar oleh penghulu.

"Ini baru usulan yang kita usulkan ke pak menteri, disampaikan ke pak presiden dan harus didanai oleh APBN sehingga kalau bisa nikah itu gratis, yang Rp30 ribu itu harusnya tidak ada saja," kata mantan Ketua KPK itu.

Menurut Yasin, negara seharusnya yang membiayai para penghulu dalam sebuah pernikahan.

Dengan cara itu, masyarakat tidak diwajibkan membayar dalam jumlah tertentu. Toh, negara hanya menerima pemasukan Rp60 miliar per tahun dari biaya administrasi KUA sebesar Rp30 ribu per pasangan.

"Saya kira itu akan mendapat simpati dari masyarakat, daripada kita dituduh korup karena lebih dari Rp30 ribu dianggap suap," tandasnya.

Besaran uang jasa atau gratifikasi yang diberikan masyarakat kepada penghulu juga mendapatkan perhatian. Yasin mengusulkan, uang gratifikasi diberikan batasan dalam jumlah tertentu.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk merancang dan membangun sistem informasi belajar mengajar secara online antara guru, siswa dan orang tua sehingga dapat

Strategi untuk perusanaan-perusahaan yang berusaha bergerak ke arah globalisasi dapat dikelompok berdasarkan pada tingkat kompleksitas disetiap pasar asing yang

Selain dituntut memberikan umpan balik yang bersifat positif dan negatif dengan menyampaikan bukti-bukti perilaku yang didapatkan dari hasil assessment centre, para

Mohammad Nidzam Abdul Kadir telah menyatakan di dalam 40 Ciri Ajaran Sesat, bentuk penyelewengan dalam pengajaran ajaran tasawuf boleh dilihat dari

Masalah sensitivitas indra penciuman dan perasa. Umumnya, orang tua segera menyadari kalau mereka mengalami kemunduran kemampuan melihat atau mendengar. Namun, seringkali

Diantaranya, guru tidak menyampaikan standar kopetensi dan kopetensi dasar materi yang akan disampaikan, perbedaan sumber belajar yang digunakan guru berbeda dengan siswa

PENGARUH PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PT DJARUM TERHADAP REPUTASI PERUSAHAAN.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

online , adanya mekanisme pendaftaran benda jaminan, harus ditulis secara detail spesifikasi dan ciri dari obyek yang dijadikan jaminan Fidusia guna memenuhi asas spesialitas