Strategi String of Pearls Republik Rakyat Cina di Kawasan Timur Tengah dan Asia-Pasifik Latar Belakang
Pertumbuhan ekonomi RRC berdampak terhadap peningkatan konsumsi energi selama beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2009, total konsumsi energi RRC mencapai 2,15 toe. Bauran energi dari total konsumsi relatif tidak berubah selama 30 tahun terakhir: Batubara (30%), minyak bumi (18%) dan gas alam (4%). Menurut laporan pertumbuhan energi RRC tahun 2011, konsumsi batubara dapat dipenuhi oleh domestik, sedangkan minyak bumi dan gas alam bergantung terhadap impor.1 Kondisi ini dapat dilihat pada tabel 1 dan tabel 2
Tabel 1 Data Minyak RRC2
2007 2008 2009
Produksi (kb/d) 3637,6 3819.2 3800.2
Konsumsi (kb/d) 7609.3 7801.9 8045.8
Impor (kb/d) 3872,7 3982,6 4245,7
Persentase Ketergantungan Impor
50,9% 51,0% 52,8%
Tabel 2 Data Gas Alam RRC3
2007 2008 2009
Produksi (mcm/y) 69,240 80,299 85,269
Konsumsi (mcm/y) 70,523 81,294 89,520
Impor (mcm/y) 1,420 1,350 4,420
Persentase Ketergantungan Impor
2,0% 1,7% 4,9%
Terkait konsumsi minyak bumi, RRC memiliki ketergantungan tinggi pada kawasan Timur Tengah, dimana lebih dari 50% dari total impornya berasal dari kawasan ini, diikuti oleh Afrika (24%). Lebih khusus lagi, impor minyak tersebut berasal dari Arab Saudi (20%), Angola (12%), Iran (11%), Oman (7%) Russia (7%) Sudan (5%) dan Irak (5%).4 Terkait konsumsi gas alam, RRC memiliki ketergantungan pada kawasan Asia Pasifik (59%) dan Timur Tengah (20%). Lebih khusus lagi, impor gas alam (Liquid Natural Gas) tersebut berasal dari Australia (30%), Qatar (19%), Indonesia (16%) dan Malaysia (13%).5
Momentum pertumbuhan ekonomi yang positif selama beberapa tahun belakangan dan faktor ketergantungan energi terhadap kawasan Timur Tengah mendorong RRC melakukan berbagai upaya mendapatkan akses terhadap sumber
1 International Energy Agency. 2012. Oil & Gas Security: Emergency Response of IEA Countries. hal 4
2 Op. Cit. International Energy Agency. hal 2 3 Ibid
energi di seluruh dunia. Setidaknya ada tiga langkah yang dilakukan RRC;6 Pertama, memperluas impor minyak hingga ke negara - negara Afrika, Rusia, Asia Tengah dan Amerika Selatan. Kedua, meningkatkan kekuatan armada militernya di Laut Cina Selatan untuk melindungi cadangan energi yang diperkirakan mencapai 7 miliar barrel cadangan minyak dan 900 triliun kubik kaki gas alam.7
Langkah terakhir adalah mengamankan jalur transportasi kapal Tanker yang membawa minyak dari Afrika dan Timur Tengah ke negaranya. Jalur transportasi ini melewati Laut Cina Selatan yang terhubung dengan jalur-jalur perdagangan dan transportasi energi utama dunia. Lebih dari setengah jumlah total perdagangan dunia per tahun melewati Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Makassar yang bermuara di daratan China. Jumlah minyak bumi yang melewati Selat Malaka untuk terus ke Laut Cina Selatan adalah 6 kali lebih banyak dari yang melewati Terusan Suez dan 17 kali lebih banyak dari yang melewati Terusan Panama. RRC sendiri mengimpor sebagian besar dari total konsumsi minyak mentahnya melalui jalur ini.8
Strategi RRC ini disebut sebagai strategi string of pearls, menggambarkan
sea lines dan communication lines yang dipersiapkan RRC,memanjang dari Hong Kong ke Pelabuhan Sudan. Jalur perhubungan ini melewati perairan strategis mulai dari Laut Cina Selatan, Selat Malaka, Samudera Hindia sampai ke Teluk Persia serta mencakup wilayah kepentingan strategis kekuatan laut RRC di beberapa negara seperti Thailand, Myanmar, Pakistan danBangladesh. RRC ingin menciptakan ‘rangkaian mutiara’ berupa titik – titik tempat berlabuhnya kapal – kapal perdagangan dan kapal Tanker dari dan ke daratan Cina, serta tempat pangkalan militer RRC untuk mengamankan kapal – kapal tadi secara terus-menerus. Setiap “mutiara” dari rangkaian ini menempati posisi sentral dalam pengaruh geopolitik atau kehadiran militer RRC9.
Gambar 1 Strategi String of Pearls
6 Harri, Lai Hongyi. 2007. “China’s Oil Diplomacy: Is It a Global Security Threat?”. Third World Quarterly, Vol. 28, No. 3, Hal. 519-537
7 Buszynski, Leszek dan Sazlan, Iskandar. 2007. “Maritime Claims and Energy Cooperation in the South China Sea”. Contemporary Southeast Asia: A Journal of International and Strategic Affairs,
Vol. 29, No. 1, Hal. 25-38
8 Sukmawan, Denny Indra. 2013. Ancaman Kerjasama Militer Amerika Serikat dan Filipina Terhadap Strategi String of Pearls Republik Rakyat Cina di Laut Cina Selatan. Universitas Padjadjaran. hal 61
Permasalahan
Secara umum, hubungan antara RRC dengan Amerika Serikat lebih didominasi oleh psywar dan kerjasama dibandingkan konflik. Kedua negara sering berbeda pendapat dalam beberapa kasus seperti: perbedaan posisi keduanya pada isu Taiwan, Korea Utara dan Suriah, penentangan RRC atas invasi Amerika Serikat ke Irak dan Libya, posisi RRC dalam krisis nuklir Iran dan pertentangan kepentingan kedua negara dalam isu-isu ekonomi seperti mata uang. Secara khusus, RRC khawatir dengan aliansi kerjasama militer yang dibentuk Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan untuk mendukung kemerdekaan Taiwan.10 RRC juga khawatir dengan upaya Amerika Serikat untuk mengintervensi konflik teritorial di Laut Cina Selatan dengan meningkatkan kerjasama dengan Singapura, Australia, Filipina dan Vietnam.
Sedangkan Amerika Serikat mengangap bahwa peningkatan kapabilitas militer RRC sebagai salah satu perhatian utama. Pada tahun 2000, Amerika Serikat mengesahkan National Defense Authorization Act (NDAA) yang menugaskan Departemen Pertahanan untuk memberikan laporan tahunan mengenai kondisi dan perkembangan militer RRC selama 20 tahun kedepan. Selanjutnya, pada tahun 2007, Departemen Pertahanan melaporkan bahwa kemajuan persenjataan nuklir dan misil RRC sebagai initial threat yang ditandai dengan pernyataan resmi tentang adanya ancaman RRC.11
Strategi string of pearls merupakan strategi yang terkait dengan isu strategis pencapaian kepentingan nasional bagi para pengambil kebijakan di RRC. Pehrson (2006:4) menjelaskan ketiga isu strategis ini sebagai kelangsungan hidup rezim, stabilitas domestik dan integritas teritorial. Penjelasan ini kurang lebih sama dengan apa yang tercantum dalam Buku Putih Pertahanan RRC Tahun 2008,
10 Zhang, Ming dan Montaperto, Ronald N. 1999. A Thief of Another Kind: The United States, China and Japan. United Kingdom: Macmillan. hal 61
bahwa vital interest RRC adalah melindungi negara dari ancaman luar, mencegah separatisme dan upaya Taiwan mendeklarasikan kemerdekaan secara de jure dan menjaga stabilitas domestik. Untuk melindungi vital interest tersebut, RRC kemudian meningkatkan kapabilitas ekonomi, politik dan militernya secara total melalui strategi string of pearls.
Hipotesis
Republik Rakyat Cina melakukan upaya balancing di kawasan Timur Tengah dan Asia-Pasifik dan buck-passing terhadap beberapa negara di dua kawasan tersebut melalui strategi string of pearls untuk menghadapi perang sumber daya strategis dengan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.
Penilaian
Tabel 3 Strategi RRC di Kawasan Timur Tengah dan Asia Pasifik Strateg
i Kawasan Kebijakan Peluang Ancaman
String
masih lemah di kawasan
Asia
Analisis
Penulis menggunakan teori realisme ofensif untuk menjelaskan strategi Republik Rakyat Cina (RRC) dalam perang sumber daya strategis di kawasan Timur Tengah dan Asia-Pasifik. Penjelasan teori realisme ofensif terfokus pada perilaku great powers dan tujuan mereka untuk menjadi sebuah hegemon. Selanjutnya, untuk mencapai hegemon, setidaknya negara harus memenuhi empat hal;15 pertama, great powers harus membangun militer yang paling kuat di wilayah mereka sendiri. Khususnya, mereka harus bisa mendominasi kekuatan darat terlebih dahulu sebab kekuatan darat merupakan instrumen yang paling penting dalam menaklukan dan mempertahankan sebuah wilayah, kemudian kekuatan laut dan udara. Kedua, suatu negara harus mampu menguatkan perekonomian mereka sebab ekonomi merupakan prasyarat paling penting dalam membangun kekuatan militer. Ketiga, suatu negara harus membangun kekuatan nuklir yang besar dibanding negara yang lain. Keempat adalah suatu negara harus menjadi hegemon regional di kawasannya.
Menurut teori realisme ofensif, ada dua strategi dasar yang selalu dilakuan oleh negara, yaitu balancing dan buck-passing. Balancing dilakukan dengan melakukan pengawasan atas agresor yang mungkin muncul melalui internal balancing dan external balancing. Internal balancing dapat dilakukan dengan memperkuat militer, meningkatkan perekonomian dan membangun nuklir. Sedangkan external balancing termasuk didalamnya adalah keanggotaan dalam institusi internasional dan kerjasama bilateral dengan negara lain. Buckpassing
merupakan alternatif utama dari balancing. Suatu negara melakukan penghindaran atas terjadinya perang dengan jalan menjadikan negara lain tameng terhadap agresor.16
Strategi balancing merupakan strategi yang terlihat agresif karena great powers terlibat langsung mengancam agresor yang ingin mengganggunya dalam sistem internasional. Hal ini terlihat dalam kasus RRC, dengan pandangan bahwa negara agresor adalah Amerika Serikat. RRC sebagai great powers dan hegemon potensial akan cenderung menggunakan strategi yang tergolong ofensif. Oleh karena itu RRC lebih memilih strategi balancing yang realisasinya terlihat di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara untuk menghadapi Amerika Serikat. Sebaliknya, di kawasan Timur Tengah, Asia Tengah dan Asia Selatan, RRC lebih memilih strategi buck-passing.
Secara umum, strategi string of pearls bisa dipahami sebagai kombinasi strategi internal balancing dan external balancing. Sifat dari strategi internal balancing dalam strategi string of pearls terlihat melalui peningkatan power RRC yang indikatornya adalah pertumbuhan ekonomi dan modernisasi militer. Sedangkan sifat dari strategi external balancing dalam strategi string of pearls
terlihat melalui upaya – upaya diplomatik yang dilakukan RRC melalui institusi
15 Mearsheimer, John J. 2001. The Tragedy of Great Power Politics. New York: W. W. Norton. hal 119-124
multilateral dan kerjasama bilateral dengan negara – negara di kawasan Timur Tengah dan Asia-Pasifik.
Penulis akan menganalisa strategi string of pearls di tiap kawasan melalui pemodelan sebagai berikut:
Gambar 2 Pemodelan Strategi RRC di Timur Tengah
Republik Rakyat Cina
External Balancing Saudi Arabia
Qatar
I ran
Suriah China Peaceful
Development Buck-passing
Perubahan Orientasi Kebijakan Luar Negeri Amerika
Serikat
Sentimen Negatif Terhadap Amerika
Serikat
I ntensitas Konflik Tinggi
Kerenggangan Hubungan Diplomatik
Amerika Serikat Penurunan Ketergantungan
Energi Amerika Serikat di Timur
Tengah
Tujuan perang sumber daya strategis di kawasan Timur Tengah adalah sumber energi yaitu minyak bumi dan gas alam. Strategi yang dilakukan RRC adalah melakukan external balancing dengan meningkatkan diplomasi energi dan kerjasama ekonomi dengan beberapa negara seperti Arab Saudi dan Qatar. Upaya ini dilakukan seiring dengan beberapa faktor, yaitu; perubahan orientasi kebijakan luar negeri Amerika Serikat ke Asia-Pasifik, sentimen negatif negara-negara Arab seperti Arab Saudi dan Qatar kepada Amerika Serikat karena mendukung Arab Spring, penurunan ketergantungan energi Amerika Serikat di Timur Tengah karena revolusi shale gas dan kebijakan luar negeri RRC yang berlandaskan
peaceful development. Persepsi peaceful development bahwa pertumbuhan ekonomi dan modernisasi militer RRC tidak perlu dianggap negara-negara lain sebagai ancaman, secara tidak langsung berpengaruh terhadap keterbukaan negara-negara Timur Tengah untuk melakukan kerjasama dengan RRC.17
Strategi lain yang dilakukan RRC adalah buck-passing. Strategi ini dilakukan terhadap dua negara yang memiliki sentimen negatif terhadap Amerika Serikat, yaitu Suriah dan Iran. Bentuk dari buck-passing ini adalah dukungan RRC kepada rezim pemerintahan Bashar Al-Assad di Suriah dan Iran pada saat rezim pemerintahan Ahmadinejad. Upaya buck-passing ini dilakukan untuk mengurangi pengaruh Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah.
Peluang RRC untuk meningkatkan pengaruh di kawasan tersebut cukup besar, mengingat Amerika Serikat memutuskan untuk fokus di kawasan Asia-Pasifik. Selain itu, RRC sudah menjalin hubungan mesra dengan dua negara yang menjadi “musuh” Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah yaitu Iran dan Suriah, ditambah peningkatan hubungan bilateral RRC dengan beberapa sekutu tradisional Amerika Serikat, yaitu Arab Saudi dan Qatar. Secara tidak langsung,
peningkatan pengaruh RRC di Timur Tengah berdampak positif terhadap penguasaan RRC atas sumber-sumber energi di Timur Tengah.
Gambar 3 Pemodelan Strategi RRC di Asia Selatan
Republik Rakyat Cina
External Balancing
Banglades h
Pakistan
Srilanka China P eaceful
Development
Ketergantungan P embangunan Negara-negara Berkembang di Asia
Selatan Terhadap I nvestasi Asing
P engamanan J alur Transportasi Minyak
Samudera Hindia
Sentimen Negatif Negara-negara Asia
Selatan terhadap I ndia sebagai Great Pow ers di kaw asan
Strategi balancing yang dilakukan RRC di kawasan Asia Selatan merupakan bentuk dari energy security tools yang mengacu kepada energy security tools
Amerika Serikat, kemudian menjadi salah satu alasan Amerika Serikat mampu menjadi hegemon. Jika RRC bisa merealisasikan pembangunan fasilitas – fasilitas di tempat-tempat yang telah disebutkan pada tabel 3, maka RRC mampu mengontrol pengambilan minyak mentah di Timur Tengah dan Afrika sampai pengirimannya ke Daratan China. Strategi string of pearls di negara – negara tersebut merupakan counter RRC terhadap pengaruh Amerika Serikat di jalur sutera. Asumsi ini didasarkan penjelasan Hendrajit dalam Sukmawan (2013) bahwa string of pearls merupakan counter strategy dari RRC terhadap Amerika Serikat untuk menguasai jalur sutera.18
Jalur sutera bisa dibagi kedalam tiga jalur yaitu; via jalur utara melalui Kyrgystan, Kazakhstan, Uzbekistan, Turkmenistan, Iran, Iraq, Suriah, Turki sampai ke Eropa; via jalur selatan melewati India, Pakistan, Afghanistan, Iran, Iraq, Suriah, Mesir, Maroko sampai ke Eropa; dan via jalur alternatif melalui Laut Cina Selatan, Selat Malaka, Samudera Hindia, Laut Merah dan Laut Mediterania.19 Jika dianalisis lebih lanjut. Di jalur sutera utara yang pusatnya di Asia Tengah, RRC memiliki pengaruh lebih besar daripada Amerika Serikat melalui Shanghai Cooperation Organisation (SCO). Hal ini dijelaskan Walberg (2011) bahwa SCO merupakan satu-satunya organisasi internasional besar yang tidak ada Amerika Serikat maupun sekutu dekat Amerika Serikat sebagai anggotanya. Di jalur sutera selatan yang pusatnya di Timur Tengah, Amerika Serikat masih memiliki pengaruh yang lebih besar daripada RRC, walaupun di masa depan ada kecenderungan pengaruh RRC meningkat lebih besar. Hal ini dudukung fakta bahwa Amerika Serikat memiliki banyak sekutu dan basis militer seperti di Afghanistan, Iraq, Kuwait dan Qatar.
Perebutan pengaruh antara kedua great powers terlihat di jalur sutera tambahan yang terpusat di Samudera Hindia. Melalui strategi string of pearls, RRC aktif melakukan diplomasi bilateral dengan negara – negara di sekitar Samudera Hindia seperti Myanmar, Bangladesh, Srilanka, Pakistan dan Iran. Perilaku RRC ini logis, sesuai pernyataan Alfred Mahan bahwa “whoever controls the Indian Oceandominates Asia... in the 21st cntury the destiny of the world will be decided on itswaves”.20
Gambar 4 Pemodelan Strategi RRC di Asia Timur dan Asia Tenggara
Republik Rakyat Cina
Gambar 4 dapat menjelaskan bahwa RRC menggunakan strategi internal balancing, external balancing dan buck-passing di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara. Alasan penggunaan ketiga strategi ini karena kawasan Asia Timur dan Tenggara lebih dinamis, maksudnya aktor yang lebih banyak; Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, Korea Utara, Australia, dan negara-negara ASEAN. Kepentingan RRC pada kawasan ini lebih kompleks; kedaulatan wilayah di Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur, pasar untuk produk RRC di Asia Tenggara, jalur perdagangan dan pelayaran di Selat Malaka dan ketiga Alur Laut Kepulauan Indonesia.
Mearsheimer (2001) menjelaskan bahwa strategi internal balancing dapat dilakukan dengan peningkatan anggaran pertahanan dan pengerahan militer ke suatu wilayah.21 Penulis menganggap perilaku agresif RRC di Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur sebagai bentuk strategi internal balancing karena upaya – upaya peningkatan kapabilitas militer RRC dan pengerahan kekuatan militer ke dua perairan tersebut ditujukan untuk melindungi kepentingan nasional RRC. Dari perspektif geopolitik RRC, Laut Cina Selatan merupakan “near seas” bersama Laut Kuning dan Laut Cina Timur yang masuk dalam kategori vital interest. Selain itu, jika dikaji secara strategis Laut Cina Selatan merupakan titik temu sasaran geopolitik Amerika Serikat dan RRC yang sebenarnya, yaitu Samudera Hindia. Hal ini dijelaskan oleh Bakrie dalam Sukmawan (2013) bahwa jika RRC
20 Pranoto, M Arief. 2013. “Konflik Laut Cina Selatan: Cermin Pergeseran Geopolitik Global”.
dan Amerika Serikat ingin meningkatkan pengaruhnya di Samudera Hindia, maka harus berkompetisi terlebih dahulu di Laut Cina Selatan.22
Dari penjelasan tentang komparasi strategi RRC di kawasan Timur Tengah dan Asia-Pasifik, strategi string of pearls cermin dari upaya balancing dan buck-passing -seperti istilah dalam teori realisme ofensif- yang sedang dilakukan RRC dengan tujuan menjadi hegemon di kawasan Asia-Pasifik. Melalui strategi string of pearls, RRC mencoba meningkatkan pengaruhnya di Samudera Hindia. Posisi Laut Cina Selatan menjadi penting dalam strategi string of pearls karena merupakan titik temu bagi upaya RRC menguasai Samudera Hindia dan mengimbangi Amerika Serikat di Samudera Pasifik.
Tujuan RRC untuk menjadi hegemon di kawasan Asia-Pasifik dapat dipahami mengingat: kepentingan RRC lebih banyak di kawasan Asia-Pasifik daripada kawasan Timur Tengah, ancaman terhadap kepentingan nasional RRC lebih nyata di kawasan Asia-Pasifik, terlebih lagi Amerika Serikat berinisiatif melakukan Pivot Asia.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Dalam konteks strategi string of pearls, RRC melakukan upaya balancing
karena alasan – alasan berikut; pertama, dalam posisi hegemon potensial upaya yang dilakukan RRC logis dan rasional; kedua, di kawasan Asia-Pasifik, RRC dikelilingi oleh mayoritas negara – negara yang lebih dekat kepada Amerika Serikat sehingga lebih sulit untuk melakukan buck-passing, akan lebih mudah melakukan external balancing. Selanjutnya, dari perspektif RRC setidaknya ada dua kemungkinan di masa depan, yaitu; pertama, akan terus melakukan upaya
balancing melalui string of pearls di kawasan Timur Tengah dan Asia-Pasifik; kedua, lebih intensif melakukan strategi buck-passing terhadap Amerika Serikat dengan negara – negara lain di kawasan Asia-Pasifik, tidak hanya terpaku di Myanmar dan Korea Utara.
Sebenarnya baik di kawasan Timur Tengah dan Asia-Pasifik, posisi RRC dalam perebutan sumber daya strategis jauh lebih menguntungkan, hanya saja potensi ancaman lebih besar di kawasan Asia-Pasifik. Di kawasan Timur Tengah posisi RRC kedepannya menguntungkan karena Amerika Serikat perlahan – lahan mundur dari kawasan tersebut. Idealnya, RRC terus melakukan upaya diplomatik (external balancing) terhadap sekutu-sekutu tradisional Amerika Serikat di sekitar Teluk. Jika dapat dilakukan maka keamanan energi RRC dari aspek ketersediaan dan akses dipastikan dapat terpenuhi dari Timur Tengah.
Di kawasan Asia-Pasifik, posisi RRC di beberapa sub-kawasan juga lebih menguntungkan. Di sub-kawasan Asia Selatan, program pembangunan infrastruktur di beberapa negara hendaknya dilanjutkan untuk mengamankan pengaruh RRC atas kawasan dan mengamankan akses transportasi energi dari Timur Tengah. Di sub-kawasan Asia Tengah, fungsi dan peran SCO sebagai organisasi regional perlu ditingkatkan untuk mencegah kehadiran pengaruh Amerika Serikat di kawasan tersebut, dapat diprediksi bahwa Asia Tengah merupakan lumbung energi RRC di masa mendatang. Sedangakan di sub-kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, upaya internal balancing yang dilakukan RRC dapat berpengaruh terhadap instabilitas kawasan, hendaknya upaya-upaya
external balancing dalam bentuk kerjama bilateral dan peningkatan hubungan diplomatik lebih dilakukan.
Buszynski, Leszek dan Sazlan, Iskandar. 2007. “Maritime Claims and Energy Cooperation in the South China Sea”. Contemporary Southeast Asia: A Journal of International and Strategic Affairs, Vol. 29, No. 1
Harri, Lai Hongyi. 2007. “China’s Oil Diplomacy: Is It a Global Security Threat?”. Third World Quarterly, Vol. 28, No. 3
International Energy Agency. 2012. Oil & Gas Security: Emergency Response of IEA Countries
Mearsheimer, John J. 2001. The Tragedy of Great Power Politics. New York: W. W. Norton
Pehrson, Christopher. 2006. String of Pearls: meeting the challenge of china’s
rising power across the asian littoral, dalam
www.strategicstudiesinstitute.army.mil/pdffiles/pub721.pdf. Diakses 17 Oktober 2014
Pranoto, M Arief. 2013. “Konflik Laut Cina Selatan: Cermin Pergeseran Geopolitik Global”. The Global Review Quarterly, Vol. 2, Januari 2013
Pranoto, M Arief dan Hendrajit. 2013. “Membaca Langkah Strategis AS; Geser Medan Tempur Dari Timur Tengah Ke Asia Tenggara”. The GlobalReview Quarterly, Vol. 2, Januari 2013
U.S Secretary of Defense. 2007. Annual Report to Congress: Military Power of
The People’s Republic of China 2007, dalam
www.defense.gov/pubs/pdfs/070523-china-military-power-final.pdf. Diakses 17 Oktober 2014
Sukmawan, Denny Indra. 2013. Ancaman Kerjasama Militer Amerika Serikat dan Filipina Terhadap Strategi String of Pearls Republik Rakyat Cina di Laut Cina Selatan. Universitas Padjadjaran