• Tidak ada hasil yang ditemukan

BISNIS DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BISNIS DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BISNIS DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL

S. Daud Nub uf*

Abstrak

Dinamika perubahan lingkungan sebagai tekanan dari kekuatan internal dan eksternal perusahaan memicu para pelaku bisnis untuk tidak semata-mata berorientasi pada profit bagi kepentingan Stakeholder tetapi juga kepentingan Stakeholders. Fenomena ini jugayang turut memicu munculnya wacana tentang tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Sosial Responsibility (CSR). Konsep CSR menekankan bahwa tanggungjawab perusahaan tidak- hanya berorientasi pada profit tetapi juga bertanggung jawab terhadap lingkugan alam dan masyarakat.

pelaku bisnis saat ini harus menjadikan tanggung jawab sosial sebagai bagian dari strategi perusahaan secara komperehensif dan berkelanjutan karena memberikan manfaat yang lebih besar bagi perusahaan sebagai investasi jangka panjang, maupun bagi masyarakat dalam mensolusi masalah-masalah sosial. Tanggung jawab sosial dunia bisnis berupa menyisihkan sebagian keuntungan untuk perbaikan lingkungan alam dan masyarakat bukan dilaksanakan secara terpaksa melainkan merupakan suatu kesadaran bahwa lingkungan dan manusia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.

Kata kunci : Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Pendahuluan

Dunia bisnis mempunyai peran yang sangat penting mulai dari jaman pra sejarah, abad pertengahan, era merkantilisme, fisiokrat, klasik dan modern. Pada jaman modern ini dapat dikatakan bahwa dunia bisnis telah menjadi institusi paling berkuasa di planit ini. Merujuk berbagai sumber, seperti bukunya David C. Korten, When Corporation Rule the world dan Anderson cavanagh dalam the top 200 : The rise of global power yang dikutip oleh Edi Suharto (2010) disimpulkan bahwa dunia bisnis kini telah menjelma menjadi institusi paling berkuasa dimuka bumi selama setengah abad terakhir ini.

Dari 100 besar penguasa ekonomi dunia, 51 diantaranya adalah korporasi dan 49 nya adalah negara. Mengutip laporan the united nation conference on trade and development (UNCTAD) the world investment (2002) ditemukan bahwa sekitar 65 ribu korporasi transnasional bersama 850 ribu affiliasi asingnya menguasai 10% total gross domestic bruto (GDP) dan 33% ekspor dunia.

(2)

melebihi gabungan GDP 180 negara miskin dan berkembang. Namun demikian, kemajuan perusahan transnasional tersebut ternyata tidak sejalan dengan perbaikan kesejahteraan masyarakat dunia. Hingga awal milenium ini, diantara 5,4 miliar populasi dunia terdapat sekitar 1,3 miliar manusia yang hidup di bawah 1 dolar AS perhari (Edi suharto, 2010).

Kekuasaan pelaku bisnis yang begitu besar tersebut tentu mengandung resiko yang tidak kecil karena sepak terjang mereka terutama perusahaan-perusahaan yang telah meraksasa akan memberikan dampak yang nyata terhadap kualitas masyarakat dan lingkungan alam di dunia ini. Dunia bisnis tidak lagi tepat jika memandang bahwa tugas utama dunia bisnis adalah mencari keuntungan semata. Kemanusiaan adalah aspek yang tidak bisa ditinggalkan, karena hal ini telah menjadi dorongan dan tuntutan umat manusia.

Tanggung jawab perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) atau sering dipertukarkan dengan frasa lain, seperti corporate sustainability,

corporate accountability corporate citizenship, corporate stewardship, corporate philantropy, sudah selayaknya menjadi antitesa dari fenomena paradaksal kejayaan dunia bisnis yang cukup ironis dan meresahkan sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan merupakan investasi cerdas perusahaan. Investasi yang suatu saat nanti akan memenangkan persaingan pasar yang ketat di era globalisasi.

Berdasarkan pengamatan terhadap praktek CRS selama ini tidak semua perusahan mampu menjalankan CSR secara otentik sesuai dengan filosofi dan konsep CSR yang sejati. Tidak sedikit perusahaan yang terjebak dalam bias-bias CSR berikut ini :

 Kamuflase. Perusahaan melakukan CSR tidak didasari oleh komitmen, melainkan hanya sekedar menutupi praktik bisnis yang memunculkan “ethical questions” Mcdonald’s corporation di AS dan pabrik sepatu Nike di Asia dan Afrika pernah tersandung kasus yang berkaitan dengan “unnecessary cruetly to animals“ third word nation are exploited in producing these goods” dan mempraktekkan anak di bawah umur (Wikipedia, 2008).

(3)

Elkington (1998) dalam bukunya Canibals With Forks : The Triple Bottom Line In 21st Centure Bussiness, mengelompokkan perusahaan yang peduli dan tidak peduli terhadap CSR berdasarkan analogi serangga : Perusahan kategori pertama laksana “ulat” , yang memiliki model bisnis rakus dan tidak peduli pada lingkungan sekelilingnya. Kategori kedua adalah perusahaan yang mirip “belalang” yaitu model bisnis yang juga ekploitatif dan degeneratif. Kategori kedua, ini mungkin saja sudah mulai mempraktekkan CSR tetapi tidak dilakukan dengan sepenuh hati. Kategori ketiga adalah “kupu-kupu”. Korporasi seperti ini punya komitmen kuat menjalankan CSR. Bagi perusahaan ini CSR adalah investasi, bukan basa-basi. Kategori terakhir adalah “lebah” perusahaan seperti ini punya sifat regeneratif atau menumbuhkan. Perusahaan ideal ini menerapkan etika bisnis dan menjalankan good CSR.

Belum banyak pelaku bisnis yang menempatkan CSR sebagai sesuatu yang strategis dalam bisnis perusahaan. Masih banyak yang menganggap sebagai liabilitas dari pada asset yang akan menjadi daya dukung keunggulan dalam bersaing. Philip Kotler dan Nancy Lee (2005) mengatakan bahwa CSR seharusnya berada pada koridor strategi perusahaan yang diadakan untuk meraih bottom-line business goal, diantaranya mendongkrak penjualan dan segmen pasar; membangun positioning merek; menarik, memotivasi dan membangun loyalitas pegawai mengurangi biaya operasional, sampai dengan membuat image korporat di pasar modal.Survey atas 850 CEO diseluruh Eropa,Kanada melaporkan bahwa banyak CEO international menganggap CSR sebagai kendaraan untuk meningkatkan penjualan. Para CEO Amerika menempatkan perekrutan retensi pekerja sebagai sasaran bisnis yang paling penting dalam kerangka CSR (Hill dan Knowlton, 2002). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa CSR sudah menjadi nyawa dari perusahan.

Evolusi CSR

CSR yang kini marak diimplementasikan banyak perusahaan, mengalami evolusi dan metamorfosis dalam rentang waktu yang cukup panjang. Konsep ini tidak lahir begitu saja. Ada beberapa tahapan sebelum gemanya lebih terasa. Hanya, sejauh ini tidak ada jejak baku yang disepakati secara bulat tentang tahap perkembangan itu. Namun secara garis besar berdasar beberapa literatur, tahap-tahap perkembangannya dapat didiskripsikan.

(4)

belaka. Mereka memandang bahwa sumbangan kepada masyarakat cukup diberikan dalam bentuk penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui produknya, dan pembayaran pajak kepada negara. Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat tak sekadar menuntut perusahaan untuk menyediakan barang dan jasa yang diperlukannya, melainkan juga menuntut untuk bertanggung jawab secara sosial. Karena, selain terdapat ketimpangan ekonomi antara pelaku usaha dengan masyarakat di sekitarnya, kegiatan operasional perusahaan umumnya juga memberikan ampak negatif, misalnay ekploitasi sumber daya dan rusaknya lingkungan di sekitar operasi perusahaan.

Itulah yang kemudian melatarbelakangi munculnya konsep CSR yang paling primitif : kedermawanan yang bersifat karitatif. Gema CSR semakin terasa pada tahun 1960-an saat di mana secara global, masyarakat dunia telah pulih dari Perang Dunia II, dan mulai menapaki jalan menuju kesejahteraan. Pada waktu itu, persoalan-persoalan mulai mendapatkan perhatian lebih luas dari berbagai kalangan. Persoalan ini telah mendorong berkembangnya beragam aktivitas yang terkait dengan pengentasan kemiskinan dan keterbelakangan dengan mendorong berkembangnya sektor produktif dari masyarakat.

Gema CSR pada dekade itu juga diramaikan oleh terbitnya buku legendaris yang berjudul “Silent Spring”. Di dalam buku ini untuk pertama kalinya persoalan lingkungan diwacanakan dalam tataran global. Penulis buku itu, Rachel Carson, yang merupakan seorang ibu rumah tanggal biasa, mengingatkan kepada masyarakat dunia tangga biasa, mengingatkan kepada masyarakat dunia bahwa betapa mematikannya pestisida bagi lingkungan dan kehidupan. Melalui karyanya itu sepertinya ia ingin menyadarkan bahwa tingkahlaku korporasi mesti dicermati sebelum berdampak menuju kehancuran. Sejak itu, perhatian terhadap permasalahan lingkungan semakin berkembang dan mendapat perhatian yang kian luas.

(5)

Pada dasawarsa 1970-an, terbitlah “The Limits to Growth”. Buku yang hingga kini terus diperbarui itu merupakan hasil pemikiran para cendekiawan dunia yang tergabung dalam Club of Rome. Buku ini mengingatkan kepada masyarakat dunia bahwa bumi yang kita pijak ini mempunyai keterbatasan daya dukung. Sementara disisi lain, manusia bertambah secara eksponensial. Karenanya, eksploitasi alam mesti dilakukan secara berkelanjutan.

Sejalan dengan bergulirnya wacana tentang kepedulian lingkungan, kegiatan kedermawanan perusahaan terus berkembang dalam kemasan philanthory serta Community Development (CD). Pada dasawarsa ini, terjadi perpindahan penekanan dari fasilitasi dan dukungan pada sektor-sektor sosial. Latar belakang perpindahan ini adalah kesadaran bahwa peningkatan produktivitas hanya akan dapat terjadi manakala variabel-variabel yang menahan orang miskin tetap miskin, misalnya pendidikan dan kesehatan dapat dibantu dari luar. Berbagai program populis kemudian banyak dilakukan seperti penyediaan sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, air bersih dan banyak lagi kegiatan sejenisnya.

Di era 1980-an makin banyak perusahaan yang menggeser konsep filantropisnya kearah Community Development. Intinya kegiatan kedermawanan yang sebelumnya kental dengan pola kedermawanan ala Robbin Hood makin berkembang kearah pemberdayaan masyarakat semisal pengembangan kerja sama, memberikan keterampilan, pembukaan akses pasar, hubungan inti-plasma, dan sebagainya.

Dasawarsa 1990-an adalah dasawarsa yang diwarnai dengan beragam pendekatan seperti pendekatan integraal, pendekatan stakeholder maupun pendekatan civil society. Beragam pendekatan tersebut telah mempengaruhi praktek CD. CD. menjadi suatu aktivitas yang lintas sektor karena mencakup baik aktivitas produktif maupun sosial dan juga lintas pelaku. Sebagai konsekuensi berkembangnya keterlibatan berbagai pihak.

Pada tataran global, tahun 1992 diselenggarakan KTT Bumi (Earth Summit). KTT yang diadakan di Rio de Jenairo, Brazil ini menegaskan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang didasarkan atas perlindungan lingkungan hidup, pembangunan ekonomi dan sosial sebagai hal yang mesti dilakukan.

(6)

memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people) dan ikut aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet).

Gaung CSR kian bergema setelah diselenggarakannya World Summit on Sustainable Development (WSSD) tahun 2002 di Johannesburg Afrika Selatan. Sejak saat inilah, definisi CSR mulai berkembang.

Definisi CSR

Yang menarik,sebagai sebuah konsep yang makin populer, CSR ternyata belum memiliki definisi yang tunggal. The Word Business Council for Sustainable Development (WBCSD) misalnya, lembaga internasional yang berdiri tahun 1995 dan berangotakan lebih dari 120 multinasional company yang berasal lebih dari 30 negara itu, dalam publikasinya Making Good Business Sense mendefinisikan CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan, sebagai “Continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the local community and society and their families as well as of the local community and society at large. “Dalam bahasa bebas kurang lebih maksudnya adalah, komitmen dunia usaha untuk terus menerus bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, berssamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya sekaligus juga peningkatan kualitas komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas. (Wibisono, 2000).

Versi lain mengenai devinisi CSR dilontarkan oleh World Bank. Lembaga keuangan global ini memandang CSR sebagai “the commitment of business to contribute to sustainable economic development working with amployees and their representatives the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are both good for business and good for development.” (Wikisono, 2000).

Ricky W. Griffin dan Michael W. Pustay (2005) menyatakan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan adalah kumpulan kewajiban organisasi untuk melindungi dan memajukan masyarakat dimana organisasi berada.

Edi Suharto (2010) menyatakan bahwa CSR adalah operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial, melainkan pula untuk pembangunan sosial ekonomi kawasan secara halistik, melembaga, dan berkelanjutan.

(7)

international bussiness forum” yang menyusun lima pilar pertama, upaya perusahaan untuk menggalang dukungan SDM, baik internal (karyawan) maupun eksternal (masyarakat sekitar) istilahnya building human capital. Kedua, memberdayakan ekonomi komunitas (stregthening economies), ketiga, menjaga harmonisasi dengan masyarakat sekitar agar tidak terjadi konflik (assesing social cahession), keempat, mengimplementasikan tata kelola yang baik (encaeraging good corporate), kelima, memperhatikan kelestarian lingkungan (protecting the environment).

Berdasarkan pendapat diatas, ternyata CSR. Tidak hanya dipraktekkan pada eksternal organisasi tetapi juga pada internal perusahaan seperti yang dikemukakan oleh Gurvy Cavey(Wibisono, 2000) bahwa CSR dipraktekkan dalam tiga area : Pertama, ditempat kerja mencakup : kesehatan dan keselamatan kerja, pengembangan knowledge dan skill karyawan, peningkatan kesejahteraan dan bahkan mungkin kepemilikan saham. Kedua, dikomunitas berupa charity, philantropy maupun community development. Ketiga, terhadap lingkungan berupa proses produksi yang ramah lingkungan, pelestarian lingkungan hidup.

Tipologi Perusahan dan Cara pandangnya Dalam menerapkan CS R

Menurut suharto (2010) secara garis besar, tipilogi perusahan dalam merespon CSR dapat dikategorikan kedalam empat jenis perusahan yakni ; Perusahan nakal, perusahan licik, perusahan baik dan perusahan maju. Dua tipe perusahan yang disebut pertama responnya cenderung negatif yakni melawan atau menyembunyikan. Seiring dengan meningkatnya kesadaran pihak internal perusahan dan tekanan pihak eksternal tipe perusahan baik dan perusahan maju merespon CSR. Perusahan nakal cenderung tidak melakukan apa-apa atau hanya melakukan CSR yang sifatnya karikatif sedangkan perusahan maju melakukan CSR berdasarkan kaidah kaidah community development dan bahkan dengan menerapkan prinsip prinsip investasi sosial.

(8)

maju tentu program CSR dilaksanakan sebagai suatu kesadaran akan pentingnya, masyarakat, lingkungan dan ekonomi.

Walaupun masih terdapat permasalahan-permasalahan yang memandang CSR sebagai upaya memperoleh keuntungan semata atau yang bersifat karikatif, kesadaran tentang pentingnya CSR terus menjadi tren seiring dengan semakin maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial.

Konkretnya, pengusaha-pengusaha Amerika Serikat sudah semakin keras dengan produk furniture yang datang dari Indonesia. Pasalnya, produk furniture diharuskan menerapkan ecolabeling, suatu tanda bukti bahwa kayunya diambil secara bijaksana dengan memperhatikan lingkungan, misalnya, tidak menebang kayu seenaknya tanpa upaya peremajaan.

Bank-bank di Eropa juga telah menurunkan regulasi dalam masalah pinjaman yang hanya diberikan kepada perusahaan yang mengimplementasikan CSR dengan baik. Sebagai contoh, mereka hanya memberikan pinjaman pada perusahaan-perusahaan perkebunan di Asia yang memberikan jaminan bahwa ketika membuka lahan perkebunan mereka tidak melakukannya dengan cara membakar hutan.

Tren global lainnya adalah di bidang pasal modal. Beberapa bursa sudah menerapkan indeks yang memasukkan mengimplementasikan CSR. New York Stock Exchange umpamanya, sekarang memiliki Dow Jones Sustainability Index (DJSI) bagi saham-saham perusahaan yang di kategorikan memiliki nilai CSR yang baik. DJSI mulai dipraktekkan sejak tahun 1999. Begitu pula London Stock Exchange yang memiliki Socially Responsible Investment (SRI) Index dan Financial Times Stock Exchange (FTSE) yang mempunyai FTSE4Good sejak 2001. Belakangan, inisiatif ini mulai diikuti oleh otoritas bursa saham di Asia, seperti di Hangseng Stock Exhange dan

Singapore Stock Exchange. Konsekuensi dari adanya indeks-indeks tersebut memacu investor global untuk menanamkan investasinya hanya di perusahaan-perusahaan yang sudah masuk dalam indeks tersebut.

Selain market driven, driven lain yang sanggup memaksa perusahaan untuk mempraktekkan CSR adalah adanya penghargaan-penghargaan (reward) yang diberikan oleh segenap institusi atau lembaga. Misalnya CSR Award baik yang regional maupun global, Padma (Pandu Daya Masyarakat Award yang di gelar oleh Depsos).

(9)

ini diyakini akan menjadi sumber keunggulan kompetitif yang sangat powerfull bagi perusahaan.

Implementasi CSR itu merupakan langkah-langkah pilihan sendiri, sebagai kebijakan perusahaan, bukan karena dipaksa oleh aturan dan tekanan masyarakat. Perusahaan telah melepaskan motif-motif ke PR-an saat mempraktikkan CSR. Istilahnya karenanya, beyond PR, beyond profit, beyond compliance. Ini karena dalam kegiatan CSR itu ada nuansa mengedukasi dan berkomunikasi dengan masyarakat, nuansa kebersamaan dan nuansa kenabian. Jadi semata-mata tulus karena niat berbuat baik saja.

Bahwa kemudian efeknya positif ke arah pembentukan citra, melampaui standar regulasi yang berlaku, mendongkrak nilai saham, atau memenangi kompetisi dan memperoleh penghargaan, itu sudah seharusnya. Tapi itu awalnya murni karena korporasi berniat untuk berbuat baik.

Selanjutnya bila diamati secara cermat sebagaimana yang diungkap oleh D.grayson dan A. Hodges dalam bukunya everybody’s business tekanan untuk melaksanakan CSR kini semakin kuat. Menurut mereka setidaknya ada 2000 lebih perusahaan di dunia yang senantiasa melaporkan secara Rutin dampak aktivitas perusahaan yang masuk fortune 500 yang mendesain departemen sendiri dibawah seorang manajer yang didedikasikan secara khusus untuk mengelola CSR secara terorganisasi (Swa, Desember 2005).

Model Tanggung Jawab Sosial

Menurut Sukanto (2000) ada empat model pola TSP di Indonesia

1. Keterlibatan Langsung Perusahaan menjalankan program TSP secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan secara langsung kepada masyarakat tanpa peraturan.

2. Melalui Yayasan Atau Organisasi Sosial Lain

Perusahaan mendirikan yayasan sendiri di bawah perusahaan atau groupnya. Model ini merupakan adapsi model yang lazim diterapkan di perusahaan-perusahaan asing.

3. Bermitra Dengan Pihak Lain

Perusahaan melakukan CSR melalui kerjasama dengan lembaga sosial atau organisasi pemerintah, universitas, media masa baik dalam mengelola dana maupun kegiatan sosialnya.

4. Mendukung atau bergabung dalam konsasium

(10)

Implementasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Di Indonesia

Penerapan CSR di Indonesia semakin meningkat baik dari kuantitas maupun kualitas, selain keragaman kegiatan dan pengelolaannya semakin bervariasi di lihat dari kontribusi finansial, jumlahnya semakin besar. Penelitian Piral pada tahun 2001 menunjukkan bahwa dana CSR di Indonesia mencapai lebih dari 115 miliard rupiah yang di belanjakan untuk 279 kegiatan sosial yang terekam oleh media masa. Dilihat dari angka komulatif tersebut perkembangan CSR di Indonesia cukup memberikan angka rata-rata perusahaan yang menyumbangkan dana untuk kegiatan CSR adalah sekitar 413 juta perkegiatan. (Saidi dan Abidin, 2004). Saat ini sudah banyak perusahaan yang menerapkan program-program tanggung jawab sosial. Mulai dari perusahaan yang terpaksa menjalankan program tanggung jawab sosialnya karena peraturan yang ada, sampai perusahaan-perusahaan yang benar-benar serius dalam menjalankan program tanggung jawab sosial mereka. Berdasarkan konsep triple Bottom line (John Elkinton, 1997) atau tiga faktor utama operasi dalam kaitannya dengan lingkungan dan manusia (people, planit, prafit), program tanggung jawab sosial penting untuk diterapkan oleh perusahaan karena keuntungan perusahaan tergantung pada masyarakat dan lingkungan.

Perusahaan tidak bisa begitu dengan mengabaikan peranan stakeholder dan shareholder dengan hanya mengejar profit semata, jika perusahaan mengabaikan keseimbangan triple bottom line maka akan terjadi gangguan pada lingkungan sekitar perusahaan dan manusia yang dapat menimbulkan reaksi seperti demo masyarakat sekitar atau kerusakan lingkungan sekitar akibat aktivitas yang mengabaikan keseimbangan tersebut. Jadi ada atau tidaknya sebuah peraturan yang mewajibkan sebuah perusahaan yang menjalankan program tanggung jawab sosial atau tidak sebenarnya tidak akan terlalu membawa perubahan karena jika perusahaan tidak menjaga keseimbangan antara people, profit dan planit maka cepat atau lambat pasti akan timbul reaksi dari pihak yang dirugikan kepada perusahaan tersebut.

Banyak cara bisa dilakukan perusahaan untuk menerapkan tanggung jawab sosial dan tetap menjaga keseimbangan Triple Bottom Line. Beberapa contoh perusahaan yang telah menerapkan program-program tanggung jawab sosial antara lain :

(11)

pada kemitraan dan pemberdayaan masyarakat. Contohnya, menyadari ketergantungan masyarakat Kutai Timur (lokasi perusahaan beroperasi) terhadap sektor tambang batu bara cukup tinggi, KPG memprakarsai program untuk kemandirian ekonomi lokal berbasis agri bisnis. Selain itu perusahan juga melaksanakan program pelestarian alam; yakni pembibitan dan pelestarian tanaman lokal. Dalam program ini puluhan ribu bibit pohon lokal di tanam di daerah setempat untuk melestarikan tanaman lokal ( Suharto, 2010).

PT Unilever melalui Yayasan Unilever Peduli sejak tahun 2000 perusahaan menjalin kerjasama dengan Universitas Gajahmada Yogyakarta, untuk mengembangkan suatu program dengan mengajak petani lokal memproduksi kedelai hitam berkualitas. Kedelai hitam sendiri merupakan suatu bahan baku dari produk unilever yaitu kecap bangau. Perusahaan juga secara sinergis merangkul petani dalam kemitraan bersama UGM yang memberikan manfaat bagi semua pihak. Dengan kemitraan tersebut, petani kedelai hitam memperoleh pasar yang pasti sebab unilever memberi akses dalam pemilihan seluruh hasil panen dengan harga, kualitas dan kuantitas yang telah disetujui sebelum bibit ditanam(majalah bisnis dan CSR, 2008)

(12)

CSR sebagi bagian dari perencanaan strategis perusahaan. Mereka tidak melihat kenyataan di lapangan bahwa perusahaan yang menjadikan program tanggung jawab sosial sebagai bagian dari perencanaan strategis perusahaan mempunyai corporate image yang lebih tinggi sehingga dapat berdampak pada loyalitas yang tinggi baik pada masyarakat yang telah di untungkan oleh perusahaan tersebut juga bagi konsumen yang sering mengandalkan corporate image dalam mengomsumsi apa yang mereka beli. Michael Porter, Clayton Christensen, dan Rosabet Moss Kanter mengemukakan bahwa hanya dengan menjadikan program tanggung jawab sosial sebagai bagian dari strategi perusahaan, program-program tanggung jawab sosial tersebut bisa abadi karna strategi perusahaan terkait erat dengan program-program tanggung jawab sosial. Perusahaan tidak akan menghilangkan program-program tanggung jawab tersebut meski dilanda krisis, kecuali ingin merubah strateginya secara mendasar sementara pada kasus-kasus program tanggung jawab sosial pada umumnya, begitu perusahaan dilanda krisis, program-progran tanggung jawab sosial akan di potong terlebih dahulu(Suharto,2010).

Demi kepentingan yang lebih strategis implementasi tanggung jawab sosial tidak hanya dilakukan oleh pelaku bisnis dan kemitraannya dengan pemerintah dan masyarakat tetapi setiap perusahaan harus mampu untuk memaksimalkan potensinya untuk mengimplementasikan tanggung jawab sosialnya secara berkelanjutan. Dari sisi pemerintah, perlu nya kebijakan-kebijakan nyata kepada pelaku bisnis yang telah melaksanakan program-program tanggung jawab sosial misalnya dalam bentuk keringanan pajak, dukungan birokrasi yang tidak berbelit-belit saat program CSR yang dilaksanakan . dari sisi mayarakat juga perlu peran yang lebih pro aktif dan pasrtisipatif baik dalam penyusunan program maupun pelaksanaannya .

(13)

panjang tercipta kondisi ekonomi yang lebih baik. Bagi masyarakat manfaatnya adalah : (1) tersedianya layanan-layanan sosial publik yang selama ini sulit di peroleh. (2) berkembangnya usaha masyarakat,(3) meningkatnya kualitas pendidikan (4) meningkatnya kelestarian lingkungan (5) terciptanya lapangan kerja (6) meningkatnya mutu kesehatan (7) meningkatnya kapasitas masyarakat untuk bekerja sama (8) terciptanya jejaring yang di butuhkan oleh kelompok-kelompok masyarakat untuk meningkatkan kondisi kehidupan. (9) meningkatkan kedekatan sosial pada masyarakat.

Penutup

(14)

DAFTAR RUJUKAN

Suharto, Edi, 2010, CSR & COMDEV : Investasi Perusahaan di Era Globalisasi, Alphabeta, Bandung

Wikipedia, 2008, Corporate Social Responsibility, http://en.wikipedia.org/wiki/corporate-social-responsibility

Elkington, Jhon. 1998 Canibals With Forks : The Triple Botton Sine In Zist Centry Business, Gabriala Islan, BC : New Society Publishers

Kotler, P. & Nancy Lee. 2005. Corporate Responsibility : Doing The Most Good For You Cause. Jhon Willey & Sons Me

Ricky W Griffin & Michael W. Pustay. 2005. International Business. New Jersey : Upper Sadl River.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwasanya Pemahaman konsep matematis peserta didik lebih baik memakai model pembelajaran ADDIE dikarnakan model ini mampu memberikan kesempatan

Penerbitan izin usaha pertambangan operasi produksi khusus untuk pengolahan dan pemurnian dalam rangka penanaman modal dalam negeri yang komoditas tambangnya

Sebelum mengantarkan pasien secepatnya ke rumah sakit, jangan sekali-kali sembarang memindahkan pasien, jika ingin memindahkan pasien, tetapkan dulu bagian leher pasien,

Keterampilan non-teknis yang mampu diterima di era Industri 4.0 setidaknya harus mengandung unsur Knowledge Work yang memiliki peran mediasi produktivitas pekerja

masyarakat masih menganggap bahwa problematika visual merupakan masalah yang tidak perlu dipikirkan dengan kening berkerut,...” permasalahan inilah yang membuat

Bahasa tersebut digubah dengan gaya sastra yang tinggi, dengan cirinya adalah irama atau metrumnya, setiap segmen terdiri atas empat atau lima suku kata, berbeda dengan puisi

Selain PT Garuda Indonesia, PT Dirgantara Indonesia Bandung yang memiliki bisnis yang hampir sama dengan PT GMF AeroAsia yaitu berhubungan dengan pesawat terbang