• Tidak ada hasil yang ditemukan

LaporanAwal Recomndasi PMB ITB REV2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "LaporanAwal Recomndasi PMB ITB REV2"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

2 SEPTEMBER 2009

Disiapkan Oleh:

Satuan Tugas Survey Awal Bencana Gempa Jawa Barat

Pusat Mitigasi Bencana

Institut Teknologi Bandung

LPPM

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

(2)

LAPORAN KAJIAN DAN SURVEY AWAL

PASCA GEMPABUMI TASIK JAWA BARAT

2 SEPTEMBER 2009

Tim Penyusun:

Dr. Ir. I Wayan Sengara

Dr. Ir. F.X. Toha

Dr. Ir. Made Suarjana

Dr. Ir. Ridolva

Dr. Ir. Dyah Kusumastuti

Dr. Imam Sadisun

Dr. Afnimar

Km. Abuhuroyroh, ST

LPPM

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

(3)

DAFTAR ISI

KAJIAN AWAL GEMPABUMI ... ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. 2.1.TECTONIC SETTING DAN SEJARAH KEGEMPAAN JAWA BARAT .. ERROR!BOOKMARK NOT DEFINED. 2.1.1. Tektonik Setting Wilayah Pulau Jawa dan Sejarah Kegempaan ...Error! Bookmark not defined. 2.1.2. Sejarah Kegempaan Pulau Jawa ... Error! Bookmark not defined. 2.1.3. Zonasi Gempa Jawa Barat ... Error! Bookmark not defined. 2.1.4. Atenuasi dan Zonasi Gempa Tasikmalaya 2 September 2009 .. Error! Bookmark not defined. SURVEY REKONESANS ... 12

3.1.UMUM ... ERROR!BOOKMARK NOT DEFINED. 3.2.PERMASALAHAN GEOTEKNIK ... ERROR!BOOKMARK NOT DEFINED. 3.2.1. Rekahan Tanah ... Error! Bookmark not defined. 3.2.2. Kelongsoran Lereng dan Potensi Kelongsoran Susulan ... 16

3.2.3. Semburan Lumpur Dingin ... 19

3.3.KERUSAKAN BANGUNAN ... 21

3.3.KERUSAKAN BANGUNAN ... 21

3.4.KONDISI DAN KERUSAKAN INFRASTRUKTUR ... 26

3.4.1. Jalan dan Jembatan ... 26

3.4.2. Lifelines (Fasilitas penunjang vital kehidupan) ... 26

(4)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada tanggal 2 September 2009, pukul 07:55:01 (UTC) atau pukul 14:55:01 (WIB) waktu setempat, telah terjadi gempabumi besar dengan moment magnitude Mw = 7.0 dengan kedalaman 49.9 km pada posisi 7.777°S, 107.326°E (Sumber : USGS). Gempabumi ini mengakibatkan kerusakan berbagai prasarana dan sarana fisik serta sekitar 74 orang korban jiwa manusia di Propinsi Jawa Barat..

Kerusakan bangunan secara umum yang teramati di daerah survey (Kabupaten Tasikmalaya dan Pangalengan) bervariasi dari kerusakan ringan, keruskan parah, sampai runtuh. Bangunan-bangunan sekolah, kantor pemerintah, rumah sakit/puskesmas, dan perumahan juga banyak yang mengalami kerusakan parah. Prasarana jalan, jembatan, tanggul, instalasi listrik dan telepon diidentifikasi masih dalam kondisi baik dan beberapa hanya mengalami kerusakan ringan.

Gambar 1.1. Epicenter Gempa Tasik 2 September 2009

(5)

dalam rangka pemulihan (recovery), fase pembangunan kembali (rekonstruksi), serta pada jangka panjangnya fase pencegahan (prevention), mitigasi (mitigation) dan kesiapan (preparedness).

1.2. Tujuan Kajian dan Survey Awal

Hasil yang diharapkan dari kajian dan survey awal gempabumi dan keluaran-keluarannya adalah sebagai berikut:

a. Melakukan kajian singkat dan survey awal (investigasi lapangan pasca bencana) untuk mengkaji pengaruh dari besaran gempa yang terjadi serta mengidentifikasi kerusakan bangunan-bangunan dan sarana prasarana akibat gempa. Bangunan-bangunan kritis menjadi prioritas dalam survey awal ini yakni seperti bangunan-bangunan fasilias kesehatan (Puskesmas), sekolah, tempat ibadah (masjid), dan bangunan/sarana umum lainnya. Selain itu, juga untuk melakukan survey kerusakan bangunan rumah penduduk. Pada umumnya setelah pasca bencana gempa, ruangan-ruangan tempat ibadah dan juga sekolah tidak digunakan, umumnya sekolah akan diliburkan beberapa hari. Pada saat aktivitas sekolah (kegiatan belajar mengajar) dimulai kembali, aktivitas tersebut diadakan di tempat-tempat yang dianggap aman.

b. Melakukan kaji cepat kelayakan bangunan pasca bencana gempa (rapid assessment) untuk meyakinkan para pihak terkait. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengelompokan bangunan-bangunan menjadi 3 (tiga) kelompok yakni:

o Aman: Bangunan yang bisa digunakan langsung (layak huni).

o Pemakaian Terbatas: Bangunan yang masih bisa digunakan (layak huni) setelah dilakukan perbaikan non-struktural.

o Tidak Aman: Bangunan yang tidak bisa digunakan kembali/tidak layak huni (rusak berat/rubuh) atau bangunan yang masih bisa digunakan setelah dilakukan perbaikan struktural.

c. Hasil dari investigasi lapangan dan kajian ini diharapkan akan dapat memberikan rekomendasi-rekomendasi teknis untuk rehabilitasi dan rekonstruksi daerah-daerah di bencana yang mengalami kerusakan.

1.3. Lingkup Survey Awal

Survey Awal (investigasi lapangan) tersebut dilakukan melalui kegiatan pengumpulan data dan kajian sebagai berikut:

1.

Kajian gempabumi, yaitu memberikan analisis gempa bumi yang terjadi dengan pengumpulan data-data :

o Kondisi geologi

o Kondisi Kegempaan (seismisitas dan mekanisme fokus) o Kondisi geoteknik lokal dan liquefaction

(6)

2.

Melakukan kaji cepat kelayakan bangunan pasca bencana gempa (rapid assessment) untuk meyakinkan para pihak terkait. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengelompokan bangunan-bangunan menjadi 3 (tiga) kelompok yakni:

(a) Aman: Bangunan yang bisa digunakan langsung. (diberi sticker warna HIJAU)

(b) - Pemakaian Terbatas: Bangunan yang masih bisa digunakan setelah dilakukan perbaikan non-struktural. (diberi sticker warna KUNING Type-1 )

- Pemakaian Terbatas: Bangunan yang masih bisa digunakan setelah dilakukan perbaikan struktural. (diberi sticker warna KUNING Type-2 )

(c) Tidak Aman: Bangunan yang tidak bisa digunakan kembali (rusak berat/rubuh) atau bangunan yang masih bisa digunakan setelah dilakukan perbaikan struktural. (diberi sticker warna warna MERAH)

3.

Hasil dari investigasi lapangan dan kajian ini diharapkan akan dapat memberikan rekomendasi-rekomendasi teknis untuk rehabilitasi dan rekonstruksi daerah-daerah di Kabupaten Tasikmalaya yang mengalami kerusakan.

(7)

KAJIAN AWAL GEMPABUMI

2.1. Tectonic Setting dan Sejarah Kegempaan Jawa Barat

2.1.1. Tektonik Setting Wilayah Pulau Jawa dan Sejarah Kegempaan

Kepulauan Indonesia merupakan tempat pertemuan empat lempeng tektonik yaitu :Lempeng Eurasia, Indian-Australian, Pacific dan lempeng Philippine. Interaksi dari lempeng-lempeng ini berpengaruh pada kondisi seismo-tektonik wilayah Indonesia. Jalur penunjaman Lempeng Indian-Australian bergerak ke arah utara relatif terhadap lempeng Eurasia, sementara Lempeng Pasific bergerak ke arah barat relatif terhadap lempeng Indian-Australian dan Eurasia. Beberapa mekanisme subduksi dan mekanisme patahan permukaan terjadi di wilayah Indonesia.

Sunda Arc adalah salah satu zone gempa yang paling aktif di Indonesia, yang terbentang

sekitar 5600 km antara Kepulauan Andaman di barat laut dan Band Arc di Timur. Pulau

itu terbentuk dari pertemuan dan subduksi Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia

dan Lempeng Pasifik. Arah pergerakan lempeng antara Asia Tenggara dan lempeng

Indo-Australia diperkirakan sekitar utara-selatan dengan kecepatan pergerakan adalah

sekitar 7.7 cm/tahun (DeMets et.al, 1990). Berdasarkan perkiraan arah pergerakan

lempeng dan fakta geologis, pergerakan relatifnya adalah normal terhadap busur di

Pulau Jawa dan memiliki sudut miring di dekat Sumatera dimana komponen pergerakan

paralel terhadap busur diakomodasi sepanjang sistem strike-slip fault Sumatera (Fitch,

1972).

Selat Sunda merupakan daerah transisi dari segmen lajur benturan normal di Jawa ke

zona benturan miring di Sumatera. Daerah ini sangat terbebani oleh perubahan pola

sesar mendatar yang lebih cepat ke arah Andaman, ke gerak normal di Jawa. Oleh

karena itu daerah ini berkecenderungan bentangan dan perluasan Selat Sunda, lebih

didominasi oleh suatu deformasi lokal seperti diantaranya gerak

graben

dan sejumlah

patahan normal. Lajur kemiringan gempa mencapai 350 km dan kesenjangan terjadi

pada kedalaman 200 km (Kertapati, 1987,

Gambar 2.1

). Maksimum magnitude gempa

(Mmax) dari aktifitas penunjaman di Selat Sunda mencapai 7.9, pada kedalaman 80 km

(Vera Schlindwein, 2003).

Di daerah Jawa Barat dan di daerah Jawa Timur penunjaman Lempengan Samudera

Hindia- Australia relatif tegak lurus terhadap Lempengan Eurasia dengan kecepatan

lebih rendah daripada dibagian Sumatera yaitu hanya sekitar 60 mm/tahun dan 49

mm/tahun (Katili, 1973), mengakibatkan di Jawa lebih berkembang pola sesar-sesar

normal dan naik sejajar busur pulau. Maksimum magnitudo gempa dalam sistem

penunjaman di daerah ini mencapai 8,0 dengan perioda ulang sekitar 181 tahun (Haresh

& Boen, 1996).

(8)

akibat tegasan tensional yang dihasilkan oleh penukikan lempeng kerak samudera. Di

daerah tersebut berkembang gerakan vertikal. Gerakan pengangkatan ini berupa naiknya

daratan yang dinyatakan dengan adanya undak-undak pantai, terangkatnya

terumbu-terumbu koral sebagai manifestasi dari pengangkatan Kuarter (

Quarter Uplift

). Juga

ada beberapa gempabumi besar dari mekanisme yang disebabkan oleh sobekan

lempeng kerakbumi yang dikenal sebagai

hinge

faulting

(Isacks drr., 1969 dan

Kanamori 1971).

Lajur kegempaan menerus sampai 700 km dan kesenjangan gempabumi terjadi pada

kedalaman 300 km dan 500 km (Kertapati, 1987).

Gambar 2.1. Model penampang hiposentrum gempa, terlihat mulai dari penampang model Surabaya terus ke timur (Bali), mulai muncul hunjaman balik dari aktivitas gempa akibat

kegiatan sesar busur belakang (Kertapati, 1987).

Hunjaman lempeng kerakbumi di daerah Nusa Tenggara Barat - Timur dimulai sejak 3

juta tahun lalu (Bowin, 1980). Karakteristik lajur hunjaman di daerah ini lebih menukik

(Vera Schlindwein, 2003) dengan frekuensi kejadian gempabumi dangkal semakin

berkurang (Cardwell dan Isack, 1978) dan umur hunjaman Lempengan Samudera

Hindia

Australia relatif lebih muda apabila diperbandingkan dengan segmen disebelah

Barat.

(9)

kerakbumi yang mudah melentur (Fitch, T.J. & Molnar, P., 1970; Silver, D. Reed &

McCaffrey, 1983). Dan gempabumi yang terjadi di daerah ini cenderung menunjukan

dari suatu mekanisme sesar naik (McCaffrey, unpublished data, 1983).

Gambar 2.2: Tatanan Tektonik Indonesia dengan arah dan kecepatan gerak lempeng Samudera Indo-Australia dan Samudera Pasifik (Engkon K Kertapati ,

modifikasi dari beberapa sumber)

(10)

2.1.2. Sejarah Kegempaan Pulau Jawa

Rekaman gempa-gempa besar yang pernah terjadi dilaporkan berasal dari zona sumber

subduksi di sepanjang Pulau Jawa. Gempa besar ini antara lain Gempabumi Banten, 27

Febuari 1903, Mw = 8.1.

Pemetaan gempa-gempa merusak untuk Sumatra, Jawa, dan Nusa Tenggara ditunjukkan seperti pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 : Hubungan Struktur seismogenik dengan historik gempa merusak wilayah Sumatra, Jawa dan Nuas Tenggara

Gambar 2.5. Gempa Di Sekitar Jawa Barat (Sumber: USGS)

(11)

daripada dibagian Sumatera yaitu hanya sekitar 60 mm/tahun dan 49 mm/tahun (Katili, 1973) Gambar 2.4 memperlihatkan ringkasan kejadian gempa-gempa besar di Pulau Jawa, dan Gambar 2.5 menunjukkan kegempaan di sekitar Jawa Barat. Dari data-data ini kegempaan di Pulau Jawa dipengaruhi dari aktivitas zona subduksi (benioff dan megathrust) dan zona patahan dangkal pulau jawa antara lain : Cimandiri fault, Lembang Fault dan Opak Fault.

2.1.3. Zonasi Gempa Jawa Barat

Perlu diuraikan disini bahwa berdasarkan zonasi kegempaan Indonesia (SNI-1726, 2002), di sepanjang pantai Pulau Jawa diklasifikasikan sebagai zona 4 sampai 5 dengan PBA (Peak Baserock Acceleration) berkisar 0.2 sampai 0.3g untuk periode ulang 500 tahun atau 10 % kemungkinannya terlewati dalam kurun waktu 50 tahun, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6. Peta Wilayah gempabumi Indonesia (SNI 1726-2002)

Mengacu kepada Peta Wilayah Gempabumi Indonesia SNI 1726-2002 tersebut, secara umum nilai percepatan gempa di batuan dasar di Jawa Barat dipengaruhi oleh sumber gempa subduksi Megathrust dan Benioff, serta patahan-patahan dangkal di daerah Jawa Barat. Kejadian gempabumi 2 September 2009 bersumber dari Subduksi Megathrust Segmen Jawa Barat.

2.1.4. Atenuasi dan Zonasi Gempa Tasik 2 September 2009

(12)

Gambar 2.7

. Hypocenter Gempa Tasik 2 September 2009

(13)

Atenuasi dari Penjalaran Gelombang Seismik Secara Deterministik

Untuk memperkirakan besarnya nilai percepatan gempa puncak di batuan dasar (peak baserock acceleration, PBA) di Jawa Barat, suatu analisis atenuasi dari gelombang gempa perlu dilakukan dimana fungsi attenuasi tersebut memiliki kecocokan dengan kondisi kegempaan sumber gempa Tasik. Gempa ini termasuk type dari sumber gempa subduksi megathrust interface, Oleh karena itu, fungsi-fungsi atenuasi yang merepresentasikan sumber gempa yang mirip perlu digunakan.

Suatu fungsi atenuasi mengkorelasikan intensitas gempa dengan perpindahan tanah local (I), magnitude (M) and jarak (R) dari suatu sumber gempa di dalam suatu areal sumber gempa. Beberapa fungsi atenuasi gempa telah dipublikasikan oleh beberapa peneliti dengan menggunakan pencatatan gempa-gempa yang pernah terjadi. Fungsi ini secara spesifik memberikan hubungan antara parameter-parameter gempa seperti sumber gempa dan kondisi-kondisi geologi local. Secara umum, suatu fungsi atenuasi tergantung dari faktor-faktor berikut ini:

 Type mekanisme sumber gempa  Jarak epicenter

 Kondisi kerak bumi di mana gelombang gempa menjalar  Kondisi geologi lokal di sekitar areal sumber gempa

Rumus atenuasi yang diturunkan dari data gempa suatu areal tertentu, belum tentu bisa diaplikasikan untuk areal yang lain meskipun keduanya terletak pada suatu setting tektonik yang sama.

Untuk gempa Jawa Barat 2 September 2009, berhubung dengan tidak adanya fungsi atenuasi yang diturunkan dari sumber gempa di daerah ini, maka fungsi atenuasi yang dipertimbangkan mewakili kondisi tektonik sumber gempa Tasik digunakan dalam analisis ini adalah fungsi attenuasi Young’s Interface (1997) dan Crouse (1991) untuk merepresentasikan mekanisme sumber gempa subduksi Tasik tersebut.

R = Jarak terdekat dari lokasi rupture dalam Km

H = Kedalaman Dalam Km

Zt = variable ( 0 jika gempa interface, dan 1 untuk gempa intraslab )

(14)

Gambar 2.9 Distribusi besarnya getaran gempa di batuan dasar (PBA) akibat gempa Jawa Barat 2 September 2009

Besarnya percepatan/getaran gempa di permukaan tanah akan sangat tergantung dari kondisi geologi dan geoteknik lokal yang dapat mengamplifikasi getaran gempa dari batuan dasar ke permukaan tanah. Lapisan tanah keras akan mengamplifikasi getaran gempa di batuan dasar relatif kecil. Sedangkan pada kawasan dengan klasifikasi tanah lunak akan ada amplifikasi getaran gempa dari batuan batuan dasar ke permukaan tanah yang tinggi, dan akan makin tinggi amplifikasi yang terjadi pada getaran gempa dengan percepatan yang rendah. Pada kawasan dengan klasifikasi tanah lunak, Suatu tingkat percepatan yang rendah di bawah 0.05g dapat mengampifikasi getaran gempa dari batuan dasar ke permukaan tanah sampai 3-4 kali. Kawasan Jakarta Utara dan kawasan Cekungan Bandung misalnya tergolong dalam klasifikasi Lunak, oleh karena pada kawasan ini diperkirakan terjadi amplifikasi getaran gempa sampai 3 kali dari nilai PBA yang ditunjukkan pada Gambar 2.9.

(15)

SURVEY REKONESANS

3.1. Umum

Pada tanggal 2 September 2009, pukul 07:55:01 (UTC) atau pukul 14:55:01 (WIB) waktu setempat, telah terjadi gempabumi besar dengan moment magnitude Mw = 7.0 dengan kedalaman 49.9 km pada posisi 7.777°S, 107.326°E (Sumber : USGS). Di Propinsi Jawa Barat Gempabumi ini mengakibatkan kerusakan berbagai prasarana dan sarana fisik serta sekitar 79 orang meninggal dunia, 21 orang hilang, 1254 orang luka-luka, dan 210.292 orang diungsikan yang sebagian besar berasal dari Kabupaten Tasikmalaya, yaitu sebanyak 142.577 orang.1

Survey Rekonesan yang dilakukan oleh Satgas ITB, dimana Satgas Teknis mengkaji fenomena-fenomena yang terjadi akibat gempa. Kegiatan Satgas Teknik berkonsentrasi kepada kegiatan rapid assessment terhadap bangunan-bangunan fasilitas umum dan sosial yang dianggap kritis seperti misalnya tempat ibadah, sekolah, dan rumah sakit atau puskemas. Selain itu, Satgas Teknik berusaha untuk menginventarisis jenis kerusakan dan penyebab kerusakan pada bangunan, bangunan engineered, dan bangunan infrastruktur lainnya.

Survey awal pengamatan visual pada tanggal 3 September dilakukan ke daerah Pangalengan oleh Dr. I Wayan Sengara. Pada pengamatan lapangan ini ditemukan adanya retakan-retakan tanah pada lereng-lereng dan baru jalan menuju Pangalengan. Di Pangalengan sendiri diidentifikasi banyak bangunan rumah penduduk yang mangalami kerusakan dari ringan sampai berat, serta cukup banyak yang rubuh.

Selanjutnya, Tim Satgas yang lebih besar terdiri atas Dr. I Wayan Sengara, Dr. F.X. Toha, Dr. Made Suarjana, Dr. Dyah Kusumastuti, Dr. Ridolva, Km.Abuhuroyroh, ST, serta 5 mahasiswa ITB Teknik Sipil yaitu : Dwi, Nabila, Ikhsan, Remon, dan Faisal. Tim Satgas berangkat ke Kabupaten Tasikmalaya pada hari Sabtu pagi, tanggal 5 September 2009. Sebelum keberangkatan ke lokasi – lokasi spesifik terjadinya bencana, tim satgas berkoordinasi terlebih dahulu dengan Asisten Daerah I, Kepala Dinas PU, dan Kepala Dinas Pertambangan mengenai lokasi kritis yang diprioritaskan untuk diperiksa, khususnya adalah daerah kritis yang terkena pengaruh gempa. Secara umum, kegiatan Tim Satgas selama di Tasik antara lain:

 Sesampai di Tasikmalaya, tim satgas ITB berkunjung ke kantor Balai Kota Tasik untuk berkordinasi mengenai tujuan kedatangan tim Satgas ITB serta perizinan menuju wilayah – wilayah yang terkena dampak gempa bumi tasik.

 Setelah melakukan kordinasi di Balai Kota, tim Satgas ITB langsung menuju kantor Kabupaten Tasikmalaya untuk melakukan kordinasi lebih lanjut dan meminta pengarahan ke beberapa lokasi yang kritis. Disampaikan 3 (tiga) lokasi yang memerlukan dukungan survey dan rekomendasi teknis, yaitu: Kecamatan Sukahening, di mana ditemukan adanya Semburan Lumpur), Rekahan Gunung Galungung, dan Kecamatan Cigalontang, di mana banyak rumah penduduk yang mengalami keruntuhan dan rusak berat.

 Untuk mengefisienkan proses invetigasi dengan lokasi yang tersebar maka selanjutnya

1

(16)

tim Satgas ITB dibagi menjadi dua team, satu team yang terdiri dari ahli Geoteknik, Struktur dan beberapa asisten mahasisawa ( Dr. Wayan Sengara, Dr. FX. Toha, Dr. Made Suarjana, Dr, Dyah Kusumastuti, Dr. Ridolva, Km. Abuhuroyroh, Ikhsan dan Faisal ) dan tim kedua yang terdiri dari ahli geologi dan beberapa asisten mahasiswa ( Dr. Imam Sadisun, Dr. Afnimar, Dwi, Nabila ).

 Team pertama dipandu oleh bapak Ade Setiadi (Dinas Pertambangan) menuju ke daerah Sukahening dimana terjadi proses Semburan Lumpur dingin dari dalam bumi. Team kedua dipandu oleh warga setempat menuju ke Rekahan Kawah Galunggung, dan selanjutnya secara bersama – sama kedua tim Satgas bertemu kembali di lokasi kritis ke tiga yaitu di Kecamatan Cigalontang.

 Hari kedua survey pada tanggal 6 September 2009, tim yang terdiri dari mahasiswa melanjutkan survey ke daerah kerusakan akibat gempa di kecamatan Sodong Hilir. Pada kecamatan Sodong Hilir terdapat 12 desa yang terkena dampak gempa, dan survey dilakukan ke Desa Sodong Hilir dan Desa Raksa Jaya. Setibanya di kecamatan Sodong Hilir, tim survey berkoordinasi terlebih dahulu dengan camat Sodong Hilir.

 Hari ketiga survey pada tanggal 7 September 2009, survey dimulai dengan berkoordinasi dengan pihak dari Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya, yaitu Bpk. Pepen. Beliau bersama Bpk. Atep dari dinas Pertambangan. Survei dilakukan ke daerah rekahan tanah di Desa Taraju, Kecamatan Taraju dan Desa Mandalasari, Kecamatan Puspahiang. Setelah melakukan survei tim mendatangi Kantor Pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya untuk memberikan laporan kegiatan yang telah dilaksanakan selama tiga hari.

Gempabumi Tasik menimbulkan goncangan tanah (ground shaking) yang telah menyebabkan dampak yang bersifat destruktif baik terhadap bangunan maupun infrastruktur bangunan. Beberapa jenis dampak yang ditimbulkannya goncangan gempa yang teramati antara lain:

 Keretakan tanah dan potensi kelongsoran.  Semburan lumpur dingin

 Kerusakan bangunan.

Dampak gempabumi lainnya seperti kerusakan infrastruktur jalan, jaringan telpon, listrik, dan air minum relatif kecil tingkat kerusakannya, walau di beberapa lokasi listrik mengalami pemadaman pada saat survey. Sedangkan kejadian likuifaksi, berdasarkan hasil pengamantan, tidak teridentifikasi di lapangan karena daerah yang mengalami kerusakan merupakan daerah pegunungan dan secara umum lapisan tanah permukaan merupakan lempung atau lanau.

3.2. Permasalahan Geoteknik

3.2.1. Rekahan Tanah dan Potensi Kelongsoran

(17)

Gambar 3.1 Keretakan tanah dan potensi longsor di kawasan bahu dan lereng jalan dari Bandung menuju Pangalengan.

Di kawasan Kabupaten Tasikmalaya ditemukan adanya rekahan tanah permukaan pada halaman dan rumah penduduk serta bangunan umum, retakan melintang pada badan jalan, yang mengindikasikan adanya zona patahan aktif. Rekahan tanah permukaan ini diamati terjadi di Kawah Gunung Galunggung, Kecamatan Taraju, dan Kecamatan Puspahiang. Rekahan tanah yang terjadi akibat gempabumi tersebut ditunjukkan seperti pada Gambar 3.1.

(18)

Gambar 3.1 (b) Rekahan tanah arah memanjang pada tepi kawah Gunung Galunggung

Gambar 3.1 (c) Rekahan tanah di Desa Taraju, Kecamatan Taraju

(19)

Gambar 3.1 (d) Rekahan tanah di Desa Mandalasari, Kecamatan Puspahiang

(S 07o24'35,2" & E 107o59'12,8")

3.2.2. Kelongsoran Lereng dan Potensi Kelongsoran

(20)

Gambar 3.2 Kelongsoran lereng pada pemukiman warga Desa Taraju

(S 07o27'42,9" & E 107o58'36,8")

Hal yang dapat diamati pada lokasi ini adalah:

 Rumah dan Bangunan umum dibangun pada daerah perbukitan sehingga mudah mengalami kelongsoran pada saat terjadi guncangan .

 Rumah dan Bangunan umum dibangun pada tanah yang

(21)

Gambar 3.3 Kelongsoran lereng di sekitar pemukiman atau rumah penduduk yang sangat rentan meimbulkan kelongsoran susulan jika terjadi hujan di Desa Taraju

(S 07o27'42,9" & E 107o58'36,8")

(22)

Gambar 3.4. Kegagalan dinding penahan tanah

(S 07o27'42,9" & E 107o58'36,8")

3.2.3. Semburan Lumpur Dingin

(23)

lebih mendalam. Ada kekhawatiran dari warga setempat dan juga dari Pemerintah

Kabupaten mengenai terjadinya semburan lumpur ini, terutama apakah semburan

lumpur tersebut akan bertambah besar atau tidak, serta apakah lumpur tersebut

berbahaya atau tidak. Oleh karena itu, dalam survey awal ini diambil 1 liter sample

lumpur untuk dibawa ke laboratorium Teknik Lingkungan di ITB.

Gambar 3.5. Semburan Lumpur Dingin di Desa Sukahening

Temuan awal berdasarkan hasil test laboratorium lingkungan dengan katalis organisme

menunjukkan bahwa sampel lumpur yang diambil dari semburan lumpur Sukahening

tidak toxic (tidak mengandung unsur-unsur yang berbahaya). Namun demikian,

penelitian laboratorium lebih lanjut masih perlu dilakukan untuk sampel dalam skala

yang lebih besar berupa test toksisitas, uji TCLP, dan test uji kualitas air.

(24)

3.3. Kerusakan Bangunan

Berdasarkan pengamatan lapangan, secara umum rentang daerah yang terkena dampak gempa cukup luas adalah daerah yang terdapat di punggung bukit dan di lereng-lereng bukit. Kerusakan bangunan banyak terjadi karena struktur bangunannya yang tidak kuat (kerentanannya terhadap gempabumi tinggi, yaitu tidak adanya perkuatan sloof, kolong, dan balok yang memadari yang terbuat dari beton bertulang untuk kerusakan struktural dan Plesteran tembok yang kekurangan campuran semen untuk kerusakan non-struktural). Selain itu juga diamati bahwa ikatan penulangan bangunan yang ada tidak memenuhi persyaratan bangunan tahan gempa.

Foto-foto lapangan berikut ini menunjukkan jenis-jenis kerusakan yang terjadi di

Kabupaten Tasikmalaya.

(25)

Gambar 3.7. Kegagalan Bangunan GOR PGRI di Desa Sodong Hilir, Kecamatan Sodong Hilir

(S 07o29'22,0" & E 108o03'15,1")

Gambar 3.8. Kegagalan Bangunan Sekolah di Desa Raksajaya

(26)

Gambar 3.9. Kegagalan Bangunan Sekolah di Desa Raksajaya

(27)

Gambar 3.10. Kegagalan Bangunan Rumah Warga Kampung Cikole, Desa Raksajaya,

Kecamatan Sodong Hilir

(28)

Gambar 3.11. Kegagalan Bangunan Rumah di Desa Taraju, Kecamatan Taraju

(S 07o27'40,4" & E 107o58'33,7")

Gambar 3.12. Kegagalan Bangunan GOR di Kantor Desa Mandalasari, Kecamatan Puspahiang

(29)

3.4. Kondisi dan Kerusakan Infrastruktur

3.4.1. Jalan dan Jembatan

Secara umum jalan-jalan di Kabupaten Tasikmalaya tidak mengalami kerusakan akibat adanya gempa bumi. Beberapa bagian jalan yang mengalami kerusakan akibat gempa umumnya terjadi berupa rekahan/retakan bahu jalan pada lereng yang relaitif terjal akibat lateral spreading, settlement. Untuk jembatan, secara umum tidak terjadi kerusakan pada jembatan akibat goncangan tanah yang teridentifikasi selama survei.

3.4.2. Lifelines (Fasilitas penunjang vital kehidupan)

Berdasarkan informasi yang diperoleh di lapangan, secara umum dampak kerusakan pada fasilitas penunjang seperti saluran air bersih, jaringan listrik, jaringan komunikasi, dan fasilitas penunjang lainnya akibat gempa Tasikmalaya relatif bersifat lokal dan minor, namum demikian untuk beberapa lokasi saluran listrik dan komunikasi sempat terganggu.

3.4.3 Rangkuman hasil Survey Awal Kerusakan Bangunan Pasca Bencana

(Rapid Damage Assessment

(30)

Survey Hari Pertama

No. Nama Tempat Koordinat Kondisi Bangunan

1 Kantor Bupati Tasikmalaya S 07o19'36,8" & E 108o13'14,8" Layak Huni

2 Kantor Walikota Tasikmalaya Layak Huni dengan perbaikan Non-Struktural (atap

dan dinding) 3 Madrasah Diniyah Awaliyah (Desa Jayapura) S 07o21'01,3" & E

108o01'47,6"

Layak Huni dengan perbaikan Non-Struktural (atap, dinding, dan lantai 2)

4 Ruang Perpustakaan (SDN Nagalintang, Kec. Cigalontang)

S 07o21'06,6" & E 108o01'54,8"

Layak Huni dengan Perbaikan Struktural (atap, kolom)

5 KUD Girimukti (Kec. Cigalontang) S 07o20'59,5" & E

108o01'48,7"

Layak Huni dengan Perbaikan Struktural (kolom, dinding)

6 Masjid Jami' Al-hikmah (Kecamatan Cigalontang) S 07o21'00,6" & E 108o01'47,3"

Tidak Layak Huni

7 Ruang Pramuka/PJOK (SDN Nagalintang, Kec.

Cigalontang)

10 Puskesmas Kec. Cigalontang S 07o21'09,5" & E

108o01'55,8"

Tidak Layak Huni

(31)

1 Lab. IPA (SMPN 1 Sodong Hilir) S 07o29'24,4" & E 108o02'59,4" Layak Huni

12 H12 (Undefined Building) S 07o29'19,2" & E 108o03'09,3" Layak Huni

13 H13 (Undefined Building) S 07o29'25,0" & E 108o03'00,0" Layak Huni

14 H14 (Undefined Building) S 07o29'25,3" & E 108o03'00,0" Layak Huni

15 Kelas 1-2 & ex. Ruang OR S 07o29'37,5" & E 108o05'10,5" Layak Huni

16 Ruang Multimedia (SMPN 1 Sodong Hilir) S 07o29'25,3" & E 108o02'59,3" Layak Huni dengan perbaikan Non-Struktural 17 Ruang Wakasek (SMPN 1 Sodong Hilir) S 07o29'25,1" & E 108o02'59,2" Layak Huni dengan perbaikan Non-Struktural 18 Kelas 7B (SMPN 1 Sodong Hilir) S 07o29'24,9" & E 108o02'59,3" Layak Huni dengan perbaikan Non-Struktural 19 Kelas 7A s/d 7F (SMPN 1 Sodong Hilir) S 07o29'25,7" & E 108o03'00,2" Layak Huni dengan perbaikan Non-Struktural 20 Ruang Kesenian (SMPN 1 Sodong Hilir) S 07o29'25,6" & E 108o02'59,8" Layak Huni dengan perbaikan Non-Struktural 21 Ruang Kelas di luar kompleks SMPN 1 Sodong Hilir S 07o29'25,6" & E 108o02'59,2" Layak Huni dengan perbaikan Non-Struktural

22 Masjid S 07o29'26,4" & E 108o03'02,3" Layak Huni dengan perbaikan Non-Struktural

23 SDN Margarahayu S 07o29'18,9" & E 108o03'12,8" Layak Huni dengan perbaikan Non-Struktural

24 Madrasah (samping Masjid Pasar) S 07o29'19,0" & E 108o03'07,8" Layak Huni dengan perbaikan Non-Struktural 25 Kantor Kades Sodong Hilir (Ruang Kades) S 07o29'17,4" & E 108o02'56,6" Layak Huni dengan perbaikan Non-Struktural

26 Kantor Kades Sodong Hilir S 07o30'05,6" & E 108o04'58,0" Layak Huni dengan perbaikan Non-Struktural

27 SMAN 1 Sodong hilir S 07o30'06,1" & E 108o04'58,2" Layak Huni dengan perbaikan Non-Struktural

(32)

30 SDN Burujul S 07o29'29,5" & E 108o05'02,1" Layak Huni dengan perbaikan Non-Struktural

31 SLTPN Burujul S 07o29'29,5" & E 108o05'02,1" Layak Huni dengan perbaikan Non-Struktural

32 SDN Kertajaya S 07o29'23,1" & E 108o05'02,0" Layak Huni dengan perbaikan Non-Struktural

33 SDN Salacau (kelas 3) S 07o29'24,3" & E 108o05'00,9" Layak Huni dengan perbaikan Non-Struktural

34 Asrama Putra (Desa Raksajaya) S 07o29'37,6" & E 108o05'12,1" Layak Huni dengan perbaikan Non-Struktural 35 Masjid Mandalasari (Kec. Puspahiang) S 07o24'24,6" & E 107o59'19,2" Layak Huni dengan perbaikan Non-Struktural 36 Rumah Dinas (SMPN 1 Sodong Hilir) S 07o29'25,2" & E 108o02'58,9" Layak Huni dengan Perbaikan Struktural

37 GOR Desa Sodong Hilir S 07o29'17,4" & E 108o02'56,7" Layak Huni dengan Perbaikan Struktural

38 K25 S 07o29'57,2" & E 108o05'12,6" Layak Huni dengan Perbaikan Struktural

39 Kelas 6 SDN Kertajaya S 07o29'23,4" & E 108o05'02,4" Layak Huni dengan Perbaikan Struktural

40 Kelas 6 SDN Salacau S 07o29'24,2" & E 108o05'01,0" Layak Huni dengan Perbaikan Struktural

41 Masjid Burujul S 07o29'38,0" & E 108o05'11,3" Layak Huni dengan Perbaikan Struktural

42 GOR Desa Mandalasari S 07o24'24,2" & E 107o59'19,4" Layak Huni dengan Perbaikan Struktural

43 Lab. Elektro & Lab. Matematika (SMPN 1 Sodong Hilir) S 07o29'23,6" & E 108o02'59,2" Tidak Layak Huni

44 Gedung PGRI S 07o29'22,0" & E 108o03'15,1" Tidak Layak Huni

45 Asrama Putri (Desa Raksajaya) S 07o29'56,8" & E 108o05'13,3" Tidak Layak Huni 46 Asrama Putra (Desa Raksajaya) S 07o29'57,4" & E 108o05'12,9" Tidak Layak Huni

47 GOR Desa Raksajaya S 07o29'26,1" & E 108o05'05,6" Tidak Layak Huni

48 Kantor Kades Desa Raksajaya S 07o29'26,5" & E 108o05'05,9" Tidak Layak Huni

49 Toilet SDN Kertajaya S 07o29'22,7" & E 108o05'02,5" Tidak Layak Huni

50 Kelas 1 (SDN Salacau) S 07o29'23,9" & E 108o05'00,9" Tidak Layak Huni

51 Kelas 2 (SDN Salacau) S 07o29'23,4" & E 108o05'00,4" Tidak Layak Huni

52 Kelas 5 (SDN Salacau) S 07o29'37,3" & E 108o05'09,8" Tidak Layak Huni

53 Ruang Guru (SDN Salacau) S 07o29'36,8" & E 108o05'09,4" Tidak Layak Huni

54 Masjid AS-Salam S 07o29'20,9" & E 108o05'23,8" Tidak Layak Huni

(33)

KONSEP PENANGGULANGAN DAN MITIGASI BENCANA

4.1. Konsep Penggunaan Peta-Peta Hazard dalam Upaya-upaya Penanggulangan

dan Penataan Ruang untuk Mitigasi Bencana Gempa

Untuk rehabilitasi dan rekonstruksi daerah-daerah Jawa Barat yang mengalami kerusakan, maka diperlukan suatu strategi yang tepat untuk meminimalkan resiko bencana gempa. Peta bahaya gempa merupakan informasi yang sangat penting dalam penataan kembali daerah/kota di Jawa Barat. Suatu konsep dalam upaya untuk mengurangi resiko bencana gempabumi perlu dimengerti dengan memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai komponen dalam suatu upaya-upaya baik yang sifatnya fisik maupun non-fisik.

Aspek-aspek serta informasi yang diperlukan dalam upaya mitigasi ini dan penataan ruang ulang diantaranya adalah inventarisasi serta kondisi existing dan tingkat kerentanan infrastruktur pasca gempa di daerah bencana.

4.2. Kajian Hazard Gempa

Kajian hazard selanjutnya perlu ditindaklanjuti dengan melakukan analisis hazard gempa untuk Jawa Barat. Selain kajian awal terhadap gempa Tasik 2 September 2009 yang sudah dilakukan dan disampaikan dalam laporan ini, perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk mengevaluasi besarnya percepatan gempa untuk keperluan kriteria disain bangunan dan infrastruktur di Wilayah Jawa Barat. Kajian ini sekaligus untuk mengevaluasi kembali besarnya percepatan gempa di batuan dasar yang saat ini digunakan di dalam SNI-1726, 2002. Analisis hazard gempa dapat dilakukan dengan metode Probabilistik dan Deterministic Seismic Hazards Analysis (P+DSHA).

Perkiraan besarnya percepatan maksimum dari suatu kejadian gempabumi pada suatu lokasi tertentu dapat dilakukan dengan menggunakan fungsi atenuasi tertentu. Fungsi atenuasi ini disesuaikan dengan tipe mekanisme gempabumi yang terjadi. Untuk mengurangi banyaknya faktor-faktor ketidakpastian yang saling mempengaruhi dalam melakukan analisis resiko gempabumi ini, maka diperlukan pentahapan analisis yang sistematis, sehingga hasil yang diperoleh dapat dipertanggung-jawabkan. Tahapan analisis dalam kajian awal risiko kegempaan ini dibagi menjadi 4 bagian, yaitu:

 Pengumpulan dan evaluasi data geologi dan seismologi di sekitar lokasi studi, yang meliputi episenter, magnituda dan mekanisme gempa,

 Pemilihan fungsi atenuasi yang sesuai dengan mekanisme kegempaan di lokasi yang ditinjau,

 Analisa untuk mendapatkan percepatan gempabumi di batuan dasar,

(34)

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

1.

Dengan memperhatikan cukup banyaknya kerusakan akibat gempa pada bangunan dan masalah-masalah geoteknik dan kegempaan lainnya, maka diperlukan langkah-langkah terhadap beberapa hal berikut ini:

Menyiapkan dan menyusun masukan teknis kepada Pemerintah Jawa Barat untuk memperkuat peraturan bangunan dan pedoman-pedoman praktis desain dan konstruksi bangunan tahan gempa.

Memberikan sosialisasi dan pelatihan kepada tim teknis Dinas Bangunan, Konsultan dan Kontraktor mengenai peraturan, disain, dan konstruksi bangunan tahan gempa.

Tinjauan ulang terhadap proses pemberian ijin bangunan di Jawa Barat, kaitannya dengan ketahanan bangunan terhadap gempabumi.

2.

Permasalahan geoteknik yang terjadi adalah kelongsoran lereng karena kondisi topografi yang sangat bervariasi dan lapisan tanah permukaan yang merupakan lempung atau lanau dengan kosistensi cendrung lunak sampai sedang. Hasil survey ke kawasan kawah Galunggung menunjukkan bahwa retakan yang terjadi sifatnya lokal dan dinilai tidak membahayakan. Beberapa potensi kelongsoran diperkirakan dapat terjadi pada waktu musim hujan akibat adanya lereng-lereng yang mengalami keretakan pada saat gempa 2 September 2009 terjadi.

3.

Hasil penelitian awal terhadap semburan lumpur di Sukahening menunjukkan semburan lumpur terjadi akibat adanya keretakan pada lapisan bawah permukaan yang berbatasan dengan sumber tekanan air pada suatu lapisan akuifer. Akibat keretakan yang terjadi dan akibat tekanan air tersebut, lumpur tertekan ke luar permukaan tanah. Belum dapat diberikan penjelasan lebih jauh karena diperlukan suatu investigasi yang lebih mendalam. Dalam survey awal ini diambil 1 liter sample lumpur untuk dibawa ke laboratorium Teknik Lingkungan di ITB. Temuan awal berdasarkan hasil test laboratorium lingkungan dengan katalis organisme menunjukkan bahwa sampel lumpur yang diambil dari semburan lumpur Sukahening tidak toxic (tidak mengandung unsur-unsur yang berbahaya). Namun demikian, penelitian laboratorium lebih lanjut masih perlu dilakukan untuk sampel dalam skala yang lebih besar berupa test toksisitas, uji TCLP, dan test uji kualitas air. Tergantung dari kondisi semburan lumpur selanjutnya (apakah akan membesar atau mengecil), maka jika masih diperlukan suatu investigasi geologi dan geoteknik lapangan mungkin diperlukan untuk merekomendasikan langkah-langkah mitigasi yang diperlukan untuk mengamankan masyarakat.

4.

Setelah memperhatikan seluruh persoalan yang diamati terhadap berbagai jenis kerusakan

bangunan maupun masalah geologi, geoteknik, dan kegempaan yang ada, maka berikut disampaikan beberapa usulan yang menyangkut penanganan persoalan yang dijumpai saat ini dan keperluan rekonstruksi bangunan dan infrastruktur ke depan, yaitu :

(35)

Untuk bangunan-bangunan engineered tertentu yang dipertimbangkan memerlukan evaluasi kerusakan, maka perlu investigasi secara menyeluruh dapat/tidaknya bangunan-bangunan yang mengalami kerusakan struktural untuk difungsikan kembali.

5.

Perlunya sosialisasi kepada warga tentang pembangunan rumah/gedung tahan gempa, selain penanganan rumah/bangunan miliknya pasca bencana agar tidak salah di dalam mengambil keputusan terhadap persoalan teknis yang ada. Apakah rumah/bangunan tersebut masih aman tetapi memerlukan perbaikan/rehabilitasi, atau sudah tidak aman lagi dan harus diruntuhkan.

6.

Disarankan untuk melakukan kajian ulang terhadap Standar Nasional Indonesia (SNI-03-1726 Tahun 2002) mengenai besarnya percepatan gempa di Jawa Barat pasca gempa 2 September 2009. Selain itu, perlu pula dikaji kriteria disain seismik bangunan dalam rehabilitasi dan rekonstruksi Tasik berdasarkan karakteristik gerakan tanah baik akibat gempa subduksi, maupun pertimbangan terhadap gempa-gempa yang bersumber dari patahan dangkal di kawasan Jawa Barat, seperti misalnya patahan Lembang, patahan Cimandiri, patahan Baribis, dan sebagainya.

7.

Penataan ruang memerlukan peta-peta yang lebih rinci seperti Peta Microzonasi Gempa, Peta Jalur Patahan dan potensinya, Peta MMI, Peta Hazard Gempa dan Hazard lainnya yang sangat site-specific sehingga dapat dihasilkan suatu dasta yang lengkap yang terdiri dari:

 Struktur ruang mengembangkan peta-peta bahaya serta melakukan kajian resiko bencana gempa dalam upaya menyusun atau menyempurnakan Rencana Induk Pengurangan Risiko Bencana Gempa Jawa Barat, maka sebagai tindak lanjut dari survey awal dan kajian awal ini, perlu dilakukan suatu program jangka pendek, menengah dan panjang antara lain:

Program Jangka Pendek:

1. Survey/pengecekan lebih lanjut beberapa bangunan dan infrastruktur,

2. Surveyu lanjutan rapid damage assessment terhadap tempat ibadah, rumah sakit/puskesmas, rumah tinggal, bangunan sekolah, dan bangunan serta infrastruktur lainnya.

3. Rekomendasi Teknis untuk Rekonstruksi Rumah Tinggal dan infrastruktur:

 Peta preliminary microzonation seismic map (Dari segi geologi, geoteknik, seismik)  Sosialisasi Pedoman Pembangunan Rumah Tinggal Tahan Gempa

(36)

Program Jangka Menengah dan Panjang

1. Kaji ulang seismotektonik Jawa Barat dan seismic hazard mapping, serta pengembangan atau penyempurnaan peta zonasi dan mikrozonasi gempa.

2. Training bangunan tahan gempa dan peraturan bangunan kepada pihak-pihak terkait: Dinas Bangunan, Penyedia jasa konstruksi (konsultan, kontraktor, dan tukang-tukang local)

3. Kegiatan-kegiatan community based earthquake risk reduction

4. Investigasi detail kerusakan bangunan dan rekomendasi retrofitting bangunan-bangunan yang rusak.

(37)

REFERENSI

1) Indonesian Seismic Building Codes, SNI-1726, 2002, Department of Public Work.

2) Kertapati, E, K. (1999), “Probabilistic Estimates of the Seismic Ground Motion Hazard in Indonesia”, Proceeding of National Conference on Earthquake Engineering, Bandung.

3) Sengara, IW., Munaf, Y., Aswandi, and Susila, IG.M., (2000), “Seismic Hazard and Site Response Analysis for City of Bandung-Indonesia”, Proceeding of Geotechnical Earthquake Engineering Conference, San Diego, March, 2001.

4) USGS, earthquake information.

5) SNI 03-1726-2002, (2002), “Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Banguan Gedung”, Badan Standarisasi Nasional – Indonesia.

Gambar

Gambar 1.1. Epicenter Gempa Tasik 2 September 2009
Gambar 2.1. Model penampang hiposentrum gempa, terlihat mulai dari penampang model Surabaya terus ke timur (Bali), mulai muncul hunjaman balik dari aktivitas gempa akibat kegiatan sesar busur belakang (Kertapati, 1987)
Gambar 2.2: Tatanan Tektonik Indonesia dengan arah dan kecepatan gerak lempeng Samudera Indo-Australia dan Samudera Pasifik (Engkon K Kertapati , modifikasi dari beberapa sumber)
Gambar 2.4 : Hubungan Struktur seismogenik dengan historik gempa merusak wilayah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa pertanyaan yang akan dijawab pada hasil penelitian ini adalah bagaimana menganalisis potensi generator termoelektrik (TEG), menganalisis aspek teknis dari TEG

Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa sebelum diberikan pendidikan kesehatan, dari 23 responden terdapat 4 responden (60,9%) memiliki motivasi sedang dan

Maka dari itu, diperlukan penelitian terhadap masalah yang terjadi di perusahaan dengan judul “ANALISIS PENGARUH KEADILAN PROSEDURAL DAN KEADILAN INTERAKSIONAL

Secara umum, ciri-ciri yang ditemukan pada makhluk hidup adalah bernapas, bergerak, makan dan minum, tumbuh dan berkembang, berkembang biak, mengeluarkan zat sisa,

transmigrasi dengan usahatani kelapa sawit.Asal transmigrasi kebanyakan dari Pulau Jawa, dimana asal transmigrasi dilakukan pada tahun 1988.Sebagai komoditas andalan

Hasil penelitian kemampuan berbahasa reseptif tiga anak tunarungu taman kanak-kanak kelas 1 dengan metode maternal reflektif yaitu: (1) Y mampu berbahasa

Efek radiasi Low LET menjelaskan bahwa radiasi yang memajan tubuh individu akan mempengaruhi komponen air yang ada di dalam sel, sehingga terbentuklah suatu bahan yang

Nilai CR 60 Co dari air ke ikan dapat digunakan dalam prakiraan dosis radiasi interna yang diterima manusia melalui jalur air - ikan - manusia, sekaligus dapat melengkapi