• Tidak ada hasil yang ditemukan

BURUNG BURUNG KERTAS Antologi Cerpen 201

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BURUNG BURUNG KERTAS Antologi Cerpen 201"

Copied!
258
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

Antologi Esai dan Cerpen

Pemenang Lomba Penulisan Esai dan Cerpen

bagi Remaja Tahun 2013

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA

(5)

BURUNG-BURUNG KERTAS

Antologi Esai dan Cerpen

Pemenang Lomba Penulisan Esai dan Cerpen bagi Remaja Tahun 2013

Penyunting

Yohanes Adhi Satiyoko Aji Prasetyo

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Diterbitkan pertama kali oleh:

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Jalan I Dewa Nyoman Oka 34

Yogyakarta 55224

Telepon (0274) 562070, Faksimile (0274) 580667 Laman www.balaibahasa.org

Cetakan Pertama Desember 2013

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

BURUNG-BURUNG KERTAS; Antologi Esai dan Cerpen Pemenang Lomba Penulisan Esai dan Cerpen Tahun 2013, Yohanes Adhi Satiyoko, Yogyakarta: Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2013 (xii, 244hlm.; 21cm)

(6)

Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, hingga hari ini, sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Undang-Un-dang Nomor 24 Tahun 2009, yang dipertegas lagi dalam Permen-dikbud Nomor 21 Tahun 2012, mengemban tugas sebagai lembaga pembina dan pengembang bahasa dan sastra Indonesia dan Dae-rah, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Oleh karena itu, Balai Bahasa Provinsi DIY selalu menyelenggarakan kegiatan yang berkenaan dengan pembinaan kebahasaan dan kesastraan. Lomba penulisan kebahasaan dan kesastraan yang diejawantahkan dalam lomba menulis esai dan cerpen bagi remaja DIY diselenggarakan Balai Bahasa Provinsi DIY sebagai bentuk penjaringan dan pembi-naan generasi muda yang bertalenta menulis karya kebahasaan dan kesastraan.

Sasaran kegiatan pembinaan proses kreatif yang dilakukan pada tahun ini tertuju pada remaja, khususnya mereka yang ber-usia 13—19 tahun. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa generasi mudalah yang kelak diharapkan menjadi generasi yang kreatif, inovatif, dan mampu bersaing baik di tingkat lokal, nasio-nal, maupun internasional. Generasi mudalah yang di masa datang juga akan menjadi pemegang kendali kekuatan dan kesejahteraan bangsa; dan oleh karenanya, sejak dini mereka harus dibekali de-ngan kepekaan yang tinggi, wawasan yang tajam, dan sikap yang kritis sehingga kelak mampu menghadapi segala tantangan dan hambatan. Dan kita yakin, bekal semacam itu, niscaya dapat diper-oleh dari belajar berproses kreatif menulis, di antaranya menulis esai dan cerpen.

KATA PENGANTAR

(7)

Sejumlah karya “terbaik’ hasil nominasi esai dan cerpen buku antologi ini adalah bukti bahwa remaja di DIY, mampu “mencipta” sesuatu (karangan) melalui proses kreatif (perenungan dan pemikiran); dan di dalamnya mereka menunjukkan bahwa mereka memiliki ketajaman penglihatan dan kepekaan menangkap problem-problem sosial dan kemanusiaan yang dihadapinya. Untuk itu, kegiatan kreatif-kompetitif ini perlu terus dipertahankan dan dikembangkan untuk menghasilkan generasi yang aktif-kreatif-kompetitif sebagai generasi yang “pilih tanding” bagi negara dan bangsa Indonesia.

Yogyakarta, September 2013

(8)

Menulis karya sastra adalah menggambar kehidupan dalam remasan jari. Rupa remasan itu menyimpan ribuan bahkan jutaan cerita yang siap dihadirkan untuk dinikmati. Karya sastra menjadi sebuah cermin mini yang bisa membiaskan catatan kehidupan manusia, walau tidak secara utuh. Jarak estetik antara realita dan cerita fiksi menjadi ruang kreatif yang menghadirkan gambaran kehidupan secara estetik. Ruang kreatif itulah yang menjadi bagian dari pengarang untuk meramu gambaran kehidupan yang dia tangkap. Di dalam ruang kreatif, yang selalu ada dan disediakan oleh lembaga atau komunitas peduli perkembangan sastra, penulis diajak untuk selalu mengembangkan diri dan mengolah kepekaan imaji ketika menghadapi dan mengalami fenomena kemanusiaan. Balai Bahasa Provinsi DIY selalu menyediakan diri untuk memberi ruang kreatif pembinaan penulisan kreatif karya sastra dan bahasa. Lomba menulis kebahasaan dan kesastraan yang diejawantahkan dalam “Lomba Menulis Esai dan Cerpen bagi Remaja DIY, pada tahun 2013 ini, bertujuan untuk “mengunggah” potensi-potensi muda kreatif DIY supaya lebih mendewasa dalam khazanah keba-hasaan dan kesastraan di tingkat daerah. Maka, hasil-hasil karya esai (10 judul) dan cerpen (20 judul) terbaik tersebut dimuat dalam Antologi Esai dan Cerpen Pemenang Lomba Penulisan Esai dan Cerpen bagi Remaja Tahun 2013 dengan judul BURUNG-BURUNG KERTAS. Tidak lain dan tidak bukan, penerbitan antologi BURUNG-BURUNG KERTAS mewujud dalam rangka mengapresiasi kreativitas potensi-potensi remaja penulis di DIY.

(9)

Penerbitan buku ini bukanlah sebuah akhir perjalanan remaja-remaja penulis tersebut, tetapi inilah satu batu pijakan yang perlu dilalui mereka untuk mengunggah diri dalam usaha melebarkan sayap kepenulisan mereka. Maka, harapan kami adalah melihat remaja-remaja potensial ini untuk semakin berkembang, kritis, dan konstruktif dalam menggambarkan kehidupan manusia dalam imaji mereka. “Teruslah melihat dunia dalam kacamatamu, catat, dan tuangkan melalui tintamu. Biarlah dunia berkaca melalui hasil karya kebahasaan dan kesastraanmu. Terus maju dan pantang menyerah.”

Yogyakarta, September 2013

(10)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI DIY ... v MENGUNGGAH DIRI ... vii DAFTAR ISI ... ix

ESAI

MINAT BACA RENDAH: PENYEBAB MARAKNYA BAHASA ALAY

Imas Indra Hapsari ... 3

SENI ALA KADARNYA

Anggalih Bayu Muh. Kamim ... 13

ESAI BAGI REMAJA: KEBUTUHAN ATAU KETERTARIKAN?

Anita Meilani ... 23

AKU GUNCANGKAN DUNIA DENGAN MEMBACA

Surya Jatmika ... 32

MENCIPTA TOKOH FIKTIF DALAM KARYA SASTRA

Ratu Pandan Wangi ... 41

APLIKASI PINTAR TEBAKU UNTUK MENINGKATKAN MINAT BERBAHASA DAN BERSASTRA PADA REMAJA

Sangga Hadi Pratama ... 52

PERSPEKTIF: KEBUDAYAAN SEBAGAI ASET PEMBANGUNAN

(11)

FIKSI MINI: KREATIVITAS SASTRA YANG TIDAK BIASA

Muhammad Ikhwan Anas ... 69

EKSPANSI BUDAYA: LUNTURNYA KEBUDAYAAN ASLI INDONESIA

Alfiani Dyah Kurnia Sari ... 77

BUDAYA DAN PERMAINAN TRADISIONAL PEMBANGUN KARAKTER ANAK

Dian Andri Ani ... 87

CERPEN

BERMULA DARI SUARA

Deliana Poetriayu Siregar ... 99

BINTANG HARAPAN

Akbar Yoga Pratama ... 108

BURUNG-BURUNG KERTAS

Beladiena Herdiani ... 119

CERITA DI RADIO

Gabriela Ajeng Cahyaning Puspitajati ... 126

HIKAYAT BATU-BATU

Nur Cholifah ... 130

KEGELAPAN YANG MENGINTAI

Ratu Pandan Wangi ... 135

KISAH PAGI DAN KAU YANG KUPANGGIL TUAN

Galih Pangestu Jati ... 142

KUPU-KUPU SEGERA TERBANG

Primadita Herdiani ... 148

LAMBANG KEBEBASAN

Nisrina Salsabila ... 155

MAMAK GUNTUR

(12)

PEMUDA YANG BERDOA SEPANJANG MALAM

Achmad Muchtar ... 170

PENARI JALANAN

Dyah Inase Sobri ... 175

PETA LUKA BERBINGKAI

Eni Puji Utami ... 182

PINDAHNYA ORION

Ambar Fidianingsih ... 188

LASKAR DILEM

Fajar Wijanarko ... 196

KABAR KEMATIAN

Arlina Hapsari ... 204

CERITA BAHAGIA SELEPAS HUJAN

Suci Nurani Wulandari ... 210

PAKDHE

Anita Meilani ... 218

TIGA BUNGKUS KERUPUK PASIR DI PENGHUJUNG SENJA

Nopa Triana ... 224

PULANG

Annisa Nur Harwiningtyas ... 232

CATATAN DEWAN JURI

ESAI ... 241

(13)
(14)
(15)
(16)

Pada Juni yang lalu, penikmat musik Indonesia sempat dika-getkan oleh kicauan musisi internasional Owl City. Lewat akun twitter resminya, ia berkicau, ‘jomblo h4h4h4 lu k3n4 v12u5 4l4y y4? K37ul424n cy4ph4 wkwkwk -____-’ (Jomblo hahaha lu kena virus alay ya? Ketularan siapa?). Owl City memang dikenal sangat menyukai Indonesia, bahkan ia sudah menganggap Indonesia seba-gai rumah keduanya. Namun, berkicau dengan bahasa yang awam-nya diketahui sebagai bahasa alay sangat di luar dugaan. Bayangkan saja, Owl City memiliki pengikut sebanyak 800 ribu. Bukan tidak mungkin kalau bahasa alay yang mereka pakai sesekali itu, mereka pakai kembali di kalangan muda sehari-hari.

Bahasa alay bermula dari munculnya iklan operator seluler Esia yang menawarkan tarif Rp1 untuk satu karakter pesan singkat. Muncullah bahasa alay yang bertujuan untuk mempersingkat karak-ter pesan singkat, misalnya, kata tidak bisa ditulis dengan berbagai cara seperti, g, gx, nggk dan lainnya. Kata aku bisa ditulis Q, aq, w dan masih banyak lagi.

Setelah lima tahun berlalu, kesadaran menggunakan bahasa yang baik sudah mulai muncul. Tulisan huruf bercampur angka dan tanda baca sudah jarang dijumpai walaupun masih ada bebe-rapa yang menggunakannya. Zaman berlanjut ke zaman singkatan, tidak jauh berbeda dengan bahasa alay, bahasa ini dipopulerkan lewat sosial media twitter. Twitter sendiri juga membatasi penulisan hanya 140 karakter saja. Dari situlah muncul istilah-istilah mager (males gerak), cukstaw (cukup tahu), gengges (ganggu), kamseupay (kampungan sekali udik payah), dan lain sebagainya. Iklan

opera-MINAT BACA RENDAH:

PENYEBAB MARAKNYA BAHASA

AL AY

(17)

tor seluler 3 juga menyumbang istilah eksmud yang artinya ‘eksekutif muda’. Makin luas saja penggunaan istilah-istilah singkatan ini di kalangan muda.

Sepertinya betul juga hipotesis mahasiswa bersama Berthold Damshauser dalam majalah Tempo, 30 Juni 2013. Dalam diskusi dengan mahasiswanya, Damshauser dihadapkan pada dugaan bahwa bahasa dan manusia Indonesia sedang dalam proses evo-lusi. Bukan tidak mungkin evolusi yang dimaksudkan mahasiswa Damshauer menyangkut bagaimana kepedulian manusia Indonesia terhadap bahasanya sendiri karena suatu evolusi tidak akan dikenal sebagai evolusi ketika proses tersebut belum usai. Sekarang mau-kah kita membiarkan bahasa kita berevolusi menjadi bahasa yang tidak pada tempatnya?

Mengenal Pembelajaran Bahasa Indonesia di Tingkat Dasar

Saat itu, saya dan rekan-rekan diberikan kesempatan untuk menjadi pemateri dalam pelatihan menulis. Pada tanggal 18—25 Juni 2013, saya sebagai anggota Komunitas Ruang bekerja sama dengan Save The Children menjadi pemateri untuk 14 SD di wilayah rawan bencana di Kabupaten Magelang. Pelatihan menulis ini di-ikuti oleh 340 orang siswa kelas IV. Kesempatan tersebut saya gunakan untuk melihat sejauh mana siswa-siswi ini memahami penggunakaan bahasa Indonesia secara aplikatif.

Pada awal sesi pelatihan, kami meminta siswa-siswi ini untuk menulis perjalanan mereka dari rumah sampai sekolah. Hasil tu-lisan mereka ini menjadi dasar penilaian awal (pre-test) seberapa mereka menguasai dasar-dasar penulisan dan seberapa mereka peka terhadap lingkungan sekitar. Dasar-dasar penulisan yang dinilai adalah susunan kalimat, tanda baca, kalimat efektif, logika tulisan, dan pemilihan kata. Dari seluruh hasil penilaian awal di-dapatkan 52% atau sebanyak 176 siswa tidak memahami, 37% atau 125 siswa cukup memahami, dan 11% atau 39% siswa memahami dasar penulisan yang baik dan benar.

(18)

me-liputi penulisan paragraf yang menjorok, huruf kapital di awal kalimat, tanda baca titik di akhir kalimat, dan jumlah kata dan satu kalimat supaya menjadi kalimat efektif. Pemateri juga menje-laskan bagaimana membuat kalimat sesuai dengan logika kalimat supaya kalimat yang dibuat tidak berbelit-belit. Tidak lupa, pema-teri menyelipkan permainan kereta kata, yaitu sebuah permainan menyusun kata-kata menjadi sebuah kalimat yang memiliki cerita. Mirip dengan soal yang biasanya ada di lembar kerja siswa. Per-mainan ni menguji seberapa anak memahami struktur kalimat.

Selanjutnya, pelatihan dilanjutkan dengan latihan wawancara. Siswa-siswi ini diajari untuk berani bertanya dan mendapat infor-masi. Mereka mewawancarai guru, tim dari Save The Children, atau tim pemateri sendiri. Mereka juga diminta untuk mengamati ling-kungan sekitar mereka dan mengkolaborasikannya dalam sebuah tulisan. Penilaian akhir ditujukan untuk menilai seberapa siswa-siswi menyerap apa yang telah disampaikan oleh para pemateri. Hasil penilaian akhir meliputi aspek yang sama adalah 38% atau 127 siswa tidak memahami, 168 siswa atau 50% siswa cukup memahami, dan sebanyak 12% atau 42 siswa memahami kepenulis-an dasar bahasa Indonesia ykepenulis-ang baik dkepenulis-an benar. Peningkatkepenulis-an ini cukup baik walaupun tidak sesignifikan seperti yang diharapkan. Dalam praktiknya, pelajaran bahasa Indonesia belum menjadi perhatian serius bagi siswa. Ini terlihat dari bagaimana cara mereka menulis kalimat. Ketika pemateri meminta mereka menulis para-graf, banyak di antara mereka menulis dengan awalan nomor. Seolah mereka menjawab soal. Mereka masih menulis dengan huruf besar dan kecil, seperti yang digunakan pada bahasa alay. Mereka belum mengindahkan peraturan bahwa hanya huruf di awal kali-mat dan nama yang berawalan huruf kapital. Mereka masih ba-nyak pula menulis tanpa tanda titik di akhir kalimat.

(19)

Di SD Wonolelo 3, pemateri banyak menemui siswa yang sa-ma sekali tidak mengerti arti dari kalisa-mat tertentu. Parahnya ketika mereka diminta menulis kalimat, tulisan yang muncul hanyalah frasa-frasa, contohnya, bangun tidur, makan, berangkatsekolah, ber-main, pulang, dan seterusnya.

Di SD N 1 Srumbung, kami juga menemukan anak yang ber-seru, “Satu paragraf doang ya!” memprotes arahan para pemateri. Setelah itu, kami menyadari penggunaan ekspresi “doang” yang menunjukkan bahwa peran media sangat besar terhadap anak-anak ini.

Pembelajaran Bahasa Indonesia dan Kekuatan Media Sosial

Peran media sosial, seperti televisi, radio, dan internet sangat berpengaruh terhadap cara menulis seseorang. Banyak media so-sial menggunakan media tulis untuk berkomunikasi. Ini mengapa kebutuhan membaca dan menulis sering berbanding terbalik de-ngan kemampuan. Komunikasi tertulis sering mengalami penyim-pangan-penyimpangan dari aturan awalnya, sedangkan komuni-kasi lisan juga menentukan komunikomuni-kasi tertulis kita. Apa yang kita ucapkan akan tertulis demikian pula sebaliknya.

Lambat laun kita menyadari bahwa semakin canggih media komunikasi, semakin berkurang pula makna komunikasi itu sen-diri. Ketika tahun 1980-an, masyarakat lebih mengenal media ko-munikasi surat. Surat dianggap media yang murah, tetapi sampai-nya pesan kepada orang yang dimaksud memerlukan waktu yang tidak sebentar sehingga komunikasi tersebut justru bermakna. Selain itu, ada alternatif lain selain surat, yaitu telegraf. Alternatif ini menguntungkan karena sampainya pesan lebih cepat, tetapi tetap saja telegraf tidak bisa diakses bebas begitu saja. Hal ini menyebabkan komunikasi yang disampaikan memang memiliki tujuan yang jelas sehingga maknanya ada.

(20)

tetapi, pesannya sendiri kurang bermakna, contohnya, pesan-pe-san yang disebar karena ada gratis sms, atau pesan-pesan di media sosial yang kurang penting isinya.

Rata-rata pengguna internet di Amerika Serikat menghabiskan waktu 121 milyar menit pada Juli 2012 untuk media sosial. Jumlah ini meningkat 37% dari jumlah pada Juni 2012, yaitu 88 miliar menit. Dengan waktu selama itu, mereka dapat mengamati tren-tren yang terjadi di media sosial. Dengan jumlah pengguna yang ba-nyak, akses informasi yang mudah dan cepat membuat suatu hal yang baru dapat dinikmati dengan mudahnya sehingga bukan se-kali-dua kali muncul celetukan atau kosakata khas anak muda yang diikuti oleh banyak orang. Sesuai dengan teori konformitas, peng-guna media sosial secara tidak sadar akan menyesuaikan diri de-ngan kebiasan dan tren yang terjadi. Jika hal ini tidak ditanggapi secara dewasa, hal itu akan muncul kata-kata yang melenceng dari makna sebenarnya.

Contoh paling baru adalah fenomena vickiisme yang terjadi akhir-akhir ini. Gejala vickiisme sebenarnya bukan gejala baru, bahkan sejak lepas dari penjajahan. Sebagian masyarakat kita sudah ter-kena virus “ngintelektual” itu. Sebuah penyakit yang umum terjadi ketika modernisme atau zaman rasional masuk ke dalam komunitas atau negeri yang sebelumnya dikenal sangat tradisional.

(21)

Contoh lain adalah fenomena merebaknya ciyus dan miapah di pertengahan bulan Oktober tahun lalu. Kata-kata ini sebenarnya muncul dari pemakaian sosial media. Ada beberapa anak pengguna sosial media berpura-pura cadel. Alhasil, kata-kata ini dianggap sebagai sesuatu yang lucu sehingga banyak digunakan oleh ka-langan muda saat itu. Akan tetapi, fenomena kata-kata tersebut hanyalah bersifat musiman. Alasannya, masyarakat lambat laun akan menganggap kata-kata tersebut biasa atau ada kata lainnya yang lebih menarik.

Kembali mengingatkan, fenomena ragam bahasa sebenarnya bukan setahun dua tahun saja mulai terjadi. Banyak kata yang diadopsi dari artis-artis televisi. Cetar membahana, sesuatu, dan alham-dulillah ya sering kita dengar dari penyanyi Syahrini. Entah apa maksudnya, kata-kata ini juga menjadi tren di kalangan muda. Sebelumnya, Titi D.J. sempat membuat tren ember (memang begitu); Titi Kamal dengan jablai (jarang dibelai) dan seruan khas ala pela-wak Sule, prikitiew.

Dengan timbul-tenggelamnya fenomena ragam bahasa, kita patut mengingat bahwa sebenarnya bahasa senantiasa berkem-bang. Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh budaya yang juga selalu berkembang. Sebagai manusia evolusioner, manusia Indo-nesia pasti juga mengevolusikan bahasanya. Tipe kalimat “diam-bilnya buku ini” semakin jarang terdengar. Kini orang cenderung mengatakan “ia mengambil buku”. Dulu perbuatan yang difokus-kan, kini individulah yang ditonjolkan dan dijadikan fokus kalimat, tak lagi hanya menjadi imbuhan. Selain itu, kata ganti orang seperti hamba tidak lagi dipakai.

(22)

pe-nanda peradaban manusia Indonesia. Jangan sampai muncul, orang Indonesia kehilangan kemampuannya berbahasa Indonesia.

Akan tetapi di sisi lain, perlindungan terhadap bahasa Indo-nesia sangatlah dilematis. Bahasa IndoIndo-nesia menghadapi berbagai “ancaman” dan “gangguan”, mulai dari kebutuhan bahasa asing yang lebih memiliki pamor, pencanangan penggunaan bahasa dae-rah, hingga bahasa nonformal yang sering dipakai di media sosial. Perlindungan bahasa Indonesia sendiri tampak menjadi sangat klise. Apa yang patut dilindungi?

Fenomena ragam bahasa memang sangatlah wajar. Akan tetapi, ragam bahasa akan menjadi berbahaya apabila anak-anak, khusus-nya, mulai tidak peduli dengan aturan berbahasa yang baik dan benar. Hal inilah yang patut kita waspadai. Jangan sampai penggu-naan bahasa yang salah ini kita biarkan begitu saja sehingga terjadi pemakluman-pemakluman yang fatal. Implikasinya adalah anak-anak tidak lagi bisa berbahasa dengan baik dan benar.

Arti Sesungguhnya Perlindungan Bahasa Indonesia

Keterampilan berbahasa Indonesia tidak dapat dikuasai secara instan. Kemampuan berbahasa seseorang ditentukan oleh seberapa biasa orang tersebut mengaplikasikan bahasanya. Pada level dasar keterampilan berbahasa anak-anak bisa dilatih melalui minat mem-baca. Sayangnya, lagi-lagi indeks minat baca masyarakat Indonesia sangatlah rendah, yaitu 0,001. Ini berarti dari seribu penduduk hanya ada satu orang yang memiliki minat baca tinggi, sedangkan Indonesia masih berada di urutan 69 dari 127 negara menurut indeks pembangunan pendidikan UNESCO.

(23)

anak-anak harus bisa membaca untuk masuk sekolah dasar, semasa ta-man kanak-kanak atau PAUD mereka akan dipaksa untuk belajar membaca. Jika mereka dipaksa untuk membaca, ke depan, mereka akan membenci membaca. Rata-rata yang dibaca anak Indonesia adalah 27 halaman per tahun, jauh dari rata-rata Finlandia yang membaca 300 halaman dalam 5 hari.

Membaca menjadi sangat penting untuk menjadi fondasi ber-bahasa anak-anak. Dengan membaca, anak-anak belajar kosakata baru. Mereka belajar menyusun kalimat dan menggunakan ber-bagai variasi kosakata dalam kalimatnya. Hampir seluruh sekolah-sekolah yang saya kunjungi di Magelang menutup perpustakaan-nya. Ini merupakan jawaban mengapa selama ini anak-anak tidak gemar membaca.

Meningkatkan minat baca akan sama dengan melindungi ba-hasa Indonesia. Kebijakan dinas pendidikan selama ini mewajibkan siswa-siswi untuk membaca minimal 15 buku dalam waktu 3 tahun ketika di bangku sekolah menengah atas. Pada dasarnya, kebijakan ini memang dimaksudkan untuk meningkatkan minat baca siswa, tetapi saya kira pemberian tugas semacam itu sudah sangat ter-lambat untuk siswa menengah atas. Berdasarkan pengalaman saya ketika di bangku sekolah, banyak anak-anak yang mengeluh ketika mengerjakan tersebut. Bagi mereka, tugas tersebut tidak begitu penting dibandingkan dengan materi yang harus dikejar untuk masuk perguruan tinggi. Ini menunjukkan indikasi bahwa sejak kecil mereka tidak dibiasakan untuk membaca buku selain buku pelajaran.

Jika memang dinas pendidikan menghendaki tugas sedemi-kian rupa, praktiknya harus dilakukan berjenjang. Pada tingkat taman kanak-kanak, minat baca dilatih bukan dari paksaan. Pada usia bermain, mereka justru harus banyak dibacakan cerita-cerita sehingga ada ketertarikan bagi mereka untuk mengenal buku.

(24)

mereka baca di depan kelas. Dengan bercerita, mereka akan mem-budayakan kebiasaan membaca. Mereka juga akan tertarik untuk membaca buku-buku yang lain.

Di tingkat sekolah menengah pertama, siswa-siswi diarahkan untuk membaca buku dengan jumlah halaman dan tema tertentu. Mereka diarahkan untuk bisa menuangkan apa yang telah mereka baca lewat tulisan atau membuat resensi. Metode ini juga diguna-kan untuk sekolah menengah atas dengan ketentuan yang lebih kompleks.

Ritme pembelajaran seperti ini memang sudah diterapkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Akan tetapi menurut pengalaman saya, membaca buku menjadi standar kompetensi ta-hunan belaka. Pada setiap penugasannya, masih ada juga siswa-siswi yang bingung dalam mengerjakan tugas dan akhirnya meng-ambil jalan pintas. Untuk membentuk kebiasaan membaca, pola pembelajaran di atas bisa dilakukan dalam skala waktu dua mingguan.

Penutup

Terlepas dari normal atau tidaknya evolusi bahasa Indonesia, sebagai masyarakat Indonesia, kita harus melindungi bahasa persa-tuan kita. Kebanggaan berbahasa Indonesia harus dipupuk sejak dini. Peningkatan minat baca sebagai salah satu solusi melindungi bahasa Indonesia yang baik dan benar juga harus dipertimbang-kan. Ibarat sambil menyelam minum air, solusi ini tidak saja akan membiasakan anak-anak untuk berbahasa yang baik dan benar, tetapi anak-anak juga belajar ilmu pengetahuan secara luas.

Daftar Bacaan

(25)

Biodata

(26)

Latar Belakang Masalah

Demoralisasi dan defisit nasionalisme yang tengah menghan-tui masyarakat saat ini tampaknya tak terlepas dari pengaruh tontonan yang tidak sehat. Tayangan televisi yang diharapkan dapat menjadi media pendidikan dan pengenalan kebudayaan, kini justru disalahgunakan. Produk pertelevisisan yang ada saat ini hanya mementingkan permintaan pasar, bukannya mengede-pankan aspek edukatif. Hal ini menyebabkan terjadinya perge-seran nilai dalam masyarakat akibat adanya tayangan yang tidak sehat. Contoh konkret dari bentuk tontonan yang tidak sehat terse-but adalah dimunculkannya adegan-adegan kekerasan yang terlalu berlebihan. Peran orang tua dalam menyikapi permasalahan ini sangatlah penting karena anak-anak belum mampu menyaring ma-na yang merupakan adegan-adegan yang tidak baik dan adegan yang pantas ditonton. Selain maraknya kemunculan adegan keke-rasan yang berlebihan, tayangan televisi, khususnya sinetron, pada saat ini lebih sering menceritakan kisah percintaan. Ditambah lagi, dengan seringnya diperlihatkan adegan-adegan yang tidak sero-nok, seperti adegan berciuman, berpelukan antarpasangan, dan bahkan saat melakukan hubungan seksual. Akibat dari terlalu se-ringnya penayangan kisah percintaan, hal itu menyebabkan ta-yangan sinetron terkesan membosankan.

SENI ALA KADARNYA

(27)

Rumusan Masalah

a. Dampak negatif apa sajakah yang ditimbulkan dari sinetron religi?

b. Bagaimana dampak negatif yang ditimbulkan dari sinetron religi dapat terjadi?

Tujuan Kajian

a. Esai ini bertujuan untuk menelisik jabaran dampak negatif dari sinetron religi.

b. Esai ini bertujuan untuk menelisik proses munculnya dampak negatif dari sinetron religi.

Dampak Negatif dari Sinetron Religi

Terdapat banyak dampak negatif dari sinetron religi yang dibagi ke dalam tiga aspek, yaitu aspek sosiokultural, psikologi anak, dan kesehatan anak. Penjelasan lebih lanjut adalah sebagai berikut.

1. Dampak Sosiokultural dari Sinetron Religi

Saat ini dunia pertelevisian Indonesia tengah dibanjiri dengan sinetron-sinetron religi yang tidak mendidik. Sinetron religi yang ada saat ini juga hanya mengedepankan permintaan pasar dari pada mengedepankan aspek-aspek edukatif. Sinetron religi terke-san semakin tidak mendidik karena adanya penambahan unsur-unsur komedi dalam penulisan cerita. Hal ini menyebabkan tujuan dari pembuatan sinetron religi tersebut menjadi kabur, yang awal-nya ingin meawal-nyampaikan pesan-pesan islami pada para pemirsa, tetapi tujuan tersebut menjadi melenceng dari tujuan sebenarnya. Akibatnya, unsur-unsur islami yang ingin disampaikan menjadi tidak tersampaikan akibat dari adanya dominasi unsur komedi.

(28)

dakwah kepada para pemain yang terlibat dalam suatu konflik. Namun, tak jarang pemain ustaz tersebut justru dijadikan bahan lelucon oleh pemain lain yang berfungsi agar sinetron terkesan lucu. Hal ini justru dapat merendahkan peran ustaz sebagai pen-dakwah. Selain itu, dalam suatu sinetron religi seorang ustaz lebih terlihat sebagai seorang aktor dari pada seorang pendakwah. Akibatnya, seakan-akan ustaz tersebut hanyalah mengejar suatu popularitas, bukannya menjalankan perannya sebagai pendakwah. Selain itu, dalam sinetron religi yang bertemakan hidayah se-ring diperlihatkan adegan-adegan yang memuat unsur pornografi, contohnya saja, adegan lelaki hidung belang yang main di kafe dengan selingkuhannya dengan diperlihatkan kehidupan para pe-kerja seks komersial secara konkret. Tujuan penyampaian cerita tersebut sebenarnya sangat mulia, yaitu ingin menggambarkan bahwa dalam kehidupan itu ada yang namanya azab dan kemu-liaan. Namun, jika cara penyampaiannya salah, hal itu justru akan menyebabkan masalah tersendiri. Menurut Syaikh bin Baz Rahima-hullah, tidak boleh seorang laki-laki menyaksikan wanita telan-jang, setengah telantelan-jang, atau yang membuka wajahnya, begitu pula seorang wanita tidak boleh menyaksikan laki-laki yang mem-buka pahanya, baik di televisi atau video, film, maupun visual lainnya, seseorang berkewajiban untuk menahan pandangan atau berpaling sebab hal itu merupakan sumber fitnah dan salah satu penyebab rusaknya hati dan menyimpangnya dari kebenaran. Pen-dapat beliau didukung oleh ayat Alquran Surah An Nur: 30--31 yang artinya Hendaklah mereka menahan pandanganya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguh-nya Allah maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya.

(29)

utamanya adalah perlu diperhatikan cara pengemasan sinetron religi tersebut. Dalam sinetron religi, saat ini juga sering muncul jargon-jargon atau kata-kata yang tidak mendidik. Contohnya saja dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji terdapat tokoh-tokoh yang sering mengucapkan kata-kata kotor seperti dasar pe ak lu, ahdasar tukang ngibul, dan masih banyak lagi. Kata-kata yang tidak men-didik ini tentunya juga dapat mencoreng agama Islam karena meng-gambarkan seolah-olah umat agama Islam itu suka bertutur kata yang tidak sopan dan suka mencela orang lain. Hal ini tentunya menambah poin keburukan sinetron religi saat ini.

Tak jarang sering muncul kata-kata yang bersifat menghina dan terlalu merendahkan derajat orang lain. Contoh nyata adalah dalam sinetron Islam KTP, dalam sinetron tersebut terdapat tokoh orang kaya yang selalu menghina orang miskin yang ditemuinya. Tokoh tersebut bahkan menghina orang miskin yang bertemu de-ngannya dengan kata-kata di luar batas kemanusiaan, seperti Ah, dasar Kaum melarat, Kaum Marjinal, Merakbal dan masih banyak lagi. Hal itu justru dapat menggambarkan bahwa agama Islam itu adalah yang tidak menghargai dan mengasihi orang-orang berperekono-mian rendah. Dengan begitu, hal ini tentunya sangatlah disa-yangkan.

(30)

kafir (orang-orang musyrik). dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman. Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal.

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwasannya orang-orang yang menjelekan agama Islam itu adalah orang-orang yang tidak mau mempergunakan akal, sedangkan Allah telah memberikan suatu anugerah yang luar biasa pada manusia, yaitu berupa akal dan pikiran, tetapi jika akal tidak digunakan dapat mencerminkan bahwa orang tersebut tidak lebih berharga dari seekor binatang. Mengapa dapat digambarkan seperti binatang? Karena mereka hanya mengedepankan hawa nafsu mereka, yaitu keinginan me-ngejar suatu popularitas tanpa memikirkan dampak buruk dari hasil perbuatan mereka tersebut.

(31)

dahulu selalu disegani, dihormati, bahkan dijadikan tauladan, aki-bat dari perubahan cara pandang ini, menyebabkan masyarakat tidak percaya pada dakwah mereka yang menyebabkan masyara-kat menjadi terjerumus ke jurang kesesatan. Hal ini juga memper-lihatkan bahwa sinetron religi yang ada bukannya menyampaikan nilai-nilai islami, tetapi justru menjerumuskan masyarakat.

Sinetron religi saat ini juga terlalu merendahkan harkat dan martabat seorang wanita. Ini terlihat dari adanya pengidentikan wanita dengan seorang pekerja seks komersial, istri selingkuhan, dan penipu. Dalam sinetron religi bertema hidayah, wanita sering digambarkan sebagai seorang penghasut para pria, bahkan juga tak jarang wanita diidentikkan dengan pemeras harta para pria melalui perannya sebagai istri selingkuhan dan juga wanita yang berperan sebagai seorang istri yang sah dalam sinetron religi terse-but sering digambarkan sebagai seorang yang tidak mempunyai harga diri. Hal ini terlihat dari adegan lelaki hidung belang yang selalu memukuli istrinya yang sah.

Alquran telah menjelaskan larangan untuk merendahkan para wanita. Hal ini sesuai dengan ayat Alquran dalam Surah Hujuraat: 11 yang artinya Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang diter-tawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perem-puan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memang-gil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk pangmemang-gilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

(32)

bertemu orang miskin, orang miskin tersebut selalu dihina dan diremehkan oleh tokoh haji tersebut, sedangkan realitas yang ada dalam masyarakat tidak seperti itu. Akibat adegan tersebut sering ditonton oleh masyarakat, hal ini menyebabkan cara pan-dang masyarakat terhadap para pemuka agama menjadi berubah. Masyarakat akan cenderung mengidentikkan para pemuka agama di masyarakat tersebut sama dengan yang ada dalam sinetron yang mereka tonton sehingga muncullah kecurigaan masyarakat terhadap pemuka agama mereka sendiri. Akibatnya, pemuka aga-ma selalu digosipkan dengan hal-hal yang tidak baik, bahkan mulai muncul desas-desus yang dapat menganggu pribadi pemuka aga-ma tersebut.

Yang semakin memprihatinkan masyarakat saat ini lebih suka main hakim sendiri. Mereka dengan seenaknya menuduh dan mem-fitnah seorang pemuka agama telah mengajarkan ajaran yang me-nyesatkan, bahkan sering kali mereka menangkap dan mengusir pemuka agama yang dituduh tersebut. Tentunya ini merupakan suatu tindakan di luar batas kemanusiaan. Hal ini juga menambah poin negatif dari sinetron religi saat ini. Padahal secara jelas Islam telah melarang umatnya untuk merendahkan harkat dan martabat para pendakwah dan pemuka agama, hal ini tertuang dalam Alquran Surah At Taubah: 65 yang artinya Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tanggapan apa yang mereka lakuka itu), tentulah mereka akan menjawab, ‘sesungguhnya kami hanyalah bersendagurau dan ber-main-main saja.’ Katakanlah, ‘Apakah dengan nama Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-ayat-ayat-Nya kamu selalu berolok-olok?

Ayat lain yang memperkuat ayat ini adalah dalam Surah Fathir ayat: 28 yang artinya Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”. Hal ini membuktikan bahwasanya kita tidak boleh merendahkan para pemuka agama sehingga diperlukan suatu pengemasan cerita yang lebih santun dan tidak menyesatkan.

2. Dampak Psikologis bagi Anak dari Adanya Sinetron Religi

(33)

dalam tayangan sinetron akan banyak memberikan pengaruh bu-ruk kepada anak. Anak yang masih polos dan belum bisa membe-dakan hidup nyata dan akting dengan mudah meniru apa yang ada di sinetron, misalnya adegan kekerasan. Jika anak tidak di-dampingi orang tua, bisa saja anak meniru adegan kekerasan dalam sinetron, seperti berantem, memukul hingga menjambak rambut temannya. Contoh lainnya ialah adegan antagonis yang selalu ada di setiap sinetron juga dengan mudah ditiru anak-anak. Untuk itu, jangan heran jika anak yang sering nonton sinetron, dia lebih cepat marah jika keinginannya tak dipenuhi. “Anak itu rasa ingin tahunya besar. Dan, anak suka meniru apa yang dilihatnya. Jika yang dilihatnya memberi contoh buruk, bisa saja anak pun berperi-laku buruk seperti apa. yang dilihatnya,” terang Astrid saat ditemui di sela-sela seminar yang berlangsung di Hotel Sultan, Jakarta belum lama ini.

Senada dengan Astrid, Vera Itabiliana Hadiwidjojo, Psi. Psi-kolog dari Lembaga PsiPsi-kologi Terapan UI dan Klinik Raditya Me-dical Center Depok, Jawa Barat, juga mengatakan anak belum bisa membedakan informasi yang diterimanya antara kisah nyata atau fiksi (khayalan). “Sinetron saat ini masih banyak menyajikan ke-bencian, kebohongan, tipu muslihat, dan hal-hal tidak realistis lain-nya. Ini sangat buruk jika ditonton dan ditiru anak-anak, tambah Vera.

(34)

Tentunya hal ini sangatlah menyedihkan. Belum lagi, dalam sinetron juga sering didengar kata-kata berbau seksualitas yang pada akhirnya juga berdampak buruk pada anak. Anak yang masih belum mengerti arti kata itu sebenarnya, karena terlalu sering menonton sinetron tersebut, menyebabkan anak memiliki kebiasa-an dengkebiasa-an kata-kata ykebiasa-ang berhubungkebiasa-an dengkebiasa-an hal seksualitas tersebut.

Solusi

Karena dampak negatif sinetron religi menyebabkan efek yang berbahaya, perlu dicari solusi untuk penyelesaian masalah ini. Cara yang pertama adalah membatasi waktu anak untuk menonton te-levisi. Kemudian, pilih tontonan yang sesuai dengan usia anak. Sedapat mungkin orang tua atau orang dewasa di rumah menahan sementara waktu tidak dulu menonton sinetron sebelum anak-anak tidur. Jika pun anak-anak meminta nonton sinetron, orang tua tetap harus mendampingi anaknya meskipun saat nonton sinetron anak-anak ataupun sinetron religi yang saat ini marak. Peran orang tua sesungguhnya adalah mendampingi anak menonton untuk mengajarkan bahwa apa yang ditontonnya tidak semuanya patut ditirunya.

(35)

Simpulan

Agar sinetron religi berkualitas dan layak tonton, sebaiknya dalam pengemasan sinetron tersebut tidak meninggalkan tujuan utama pembuatan sinetron tersebut dan adegan yang kurang mendidik sebaiknya dikurangi. Dengan demikian, akan tercipta karya seni yang benar-benar berkualitas.

Biodata Penulis

(36)

Pendahuluan

Pengadaaan lomba atau sayembara menulis untuk kalangan remaja dari berbagai lembaga pemerintah maupun swasta sudah sering kita dengar, baik menulis cerpen, puisi, esai, maupun karya ilmiah. Hadiah yang diberikan pun sangat menarik minat. Bedanya adalah, ketertarikan remaja terhadap jenis tulisan yang dilomkan. Sadar atau tidak, acuh atau tidak, peminat cerpen lebih ba-nyak dibandingkan dengan esai. Sebagai tulisan yang sama-sama berbentuk prosa, esai ternyata tidak begitu menarik perhatian re-maja. Padahal, pembelajaran menulis esai ada dalam kurikulum sekolah. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), ke-terampilan menulis esai diberikan pada kelas XII semester 2. Secara normatif, siswa seharusnya sudah mengerti prinsip-prinsip penu-lisan esai.

Pada kenyataannya, cerpen yang sifatnya lebih imajinatif tetap mengambil banyak minat dari remaja. Padahal banyak tulisan yang menyoroti kurangnya minat siswa atau remaja terhadap sastra. Kelihatannya sastra yang dimaksudkan adalah karya-karya yang bersifat fiksi seperti novel sastra dan bukan karangan nonfiksi. Pandangan tersebut tidak sepenuhnya benar karena terbukti pe-serta lomba-lomba menulis cerpen tidak sedikit jumlahnya. Itu berarti remaja sudah menunjukkan apresiasi yang cukup tinggi terhadap sastra. Jika sastra yang dianggap kurang diminati saja kini sudah semakin menarik bagi remaja, lalu bagaimana dengan esai sendiri?

ESAI BAGI REMAJA:

KEBUTUHAN ATAU KETERTARIKAN?

(37)

Banyak yang menganggap bahwa menulis adalah suatu bakat, minat atau ketertarikan. Dalam hal ini termasuk pula menulis esai. Ketika dihadapkan pada dua pilihan misalnya, diperintahkan me-nulis esai atau cerpen, remaja cenderung memilih meme-nulis cerpen. Buktinya, setiap tahun peserta sayembara penulisan cerpen di Balai Bahasa Yogyakarta lebih banyak menarik perhatian remaja diban-dingkan dengan peserta sayembara penulisan esai, dengan per-bandingan peserta mencapai 1:8 pada tahun 2012.

Esai adalah kebutuhan setiap remaja dalam dunia pendidikan formal. Esai merupakan dasar bagi penulisan yang bersifat aka-demik pada jenjang pendidikan selanjutnya. Oleh karena itu, pelajaran menulis esai diberikan di sekolah pada jenjang kelas XII. Namun, mengapa esai hanyalah dianggap sebuah ketertarikan?

Esai sebagai Literasi Madani

Esai adalah tulisan pendek yang menyoroti topik dari sudut pandang penulisnya (Wiedarti: 2006:63). Karena didasari oleh su-dut pandang pribadi, maka esai sangat bersifat subjektif. Ada yang menggolongkan esai sebagai karangan fiksi, namun ada juga yang menyebutnya sebagai karangan semi-populer. Dalam suatu esai terdapat argumen atau kritikan penulis terhadap suatu pokok ma-salah, sehingga isinya tergantung pada pengalaman dan pendapat penulis itu sendiri.

Esai adalah ekspresi tulis opini penulisnya. Opini adalah suatu gagasan dalam pikiran seseorang. Secara berurutan dapat dijabar-kan bahwa dari sebuah topik, memunculdijabar-kan opini penulis dan kemudian jika dituliskan dapat menghasilkan sebuah esai. Namun, tidak semua opini bisa menjadi argumen esai. Opini yang bisa menjadi argumen adalah opini yang logis, kuat dan bisa dipertang-gungjawabkan. Meskipun sama-sama memiliki argumen penulis di dalamnya, esai berbeda dengan artikel dan feature.

(38)

ka-rangan esai sendiri meliputi judul, pendahuluan, pokok bahasan (isi), dan kesimpulan. Dengan karakteristik seperti itu, esai sebe-narnya menjadi kebutuhan penting dalam dunia pendidikan formal.

Esai sebagai karangan semi-ilmiah yang tidak terlalu panjang dapat menjadi bekal dasar dalam kegiatan penulisan ilmiah. Pada tingkatan pendidikan formal, esai digunakan sebagai penugasan untuk mengetahui tingkat pemahaman dan apresiasi siswa/maha-siswa terhadap materi ajar yang diberikan. Dalam pembelajaran penulisan esai di SMA, biasanya siswa diperintahkan membuat esai pendek yang di dalamnya telah mencakup unsur organisasi esai yaitu pernyataan tesis (pendahuluan), isi gagasan, dan kesim-pulan. Berdasarkan esai pendek yang kurang lebih hanya lima paragraf ini diharapkan siswa mampu mengembangkan tulisannya menjadi argumen panjang berdasarkan studi pustaka.

Selain sebagai bekal dasar penulisan karya ilmiah, esai juga dianggap sebagai bekal menuju literasi madani. Literasi madani sendiri adalah “kemampuan masyarakat untuk membaca agar mampu memberi keputusan sosial yang bertanggung jawab dan kemampuan menulis secara kritis untuk mengaktualisasi peran sosialnya dalam masyarakat” (Alwasilah, via Wiedarti, 2006:65). Artinya dengan literasi madani kita bisa menjadi bangsa yang cer-das yang mencerminkan keterampilan hidup berdemokrasi.

Dalam konteks masyarakat madani, literasi (keterampilan membaca dan menulis) diarahkan pada membaca madani dan me-nulis madani. Perwujudan literasi madani dapat dilihat dalam arti-kel-artikel, tajuk, opini, kritik, dan resensi yang termuat dalam surat-surat kabar. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagai ma-syarakat kita sudah mampu menyuarakan pikiran sebagai kontrol terhadap pemerintah, yang merupakan ciri dari bangsa yang meng-anut sistem demokratis. Madani sendiri dapat diartikan sebagai “seimbang”.

(39)

dipergunakan dalam karangan sastra saja, tetapi juga pada bidang-bidang yang lain. Esai merupakan dasar dari penulisan ilmiah, tidak terbatas pada sastra. Materi pada bidang studi lain dapat dikaji dalam bentuk esai.

Penguasaan Guru dalam Penulisan Esai

Wiedarti (2006:70) mengungkapkan bahwa ternyata hanya ter-dapat 15% (dari 70 guru bidang studi) yang menguasai penulisan esai lima paragraf secara benar, sedangkan 85% lainnya tidak me-ngetahui organisasi penulisan esai, terutama tentang pentingnya pernyataan tesis yang membatasi pokok bahasan. Guru-guru yang dijadikan sampel adalah guru-guru berbagai bidang studi dari SMA yang diambil dari masing-masing kota di Kaltim, Sumatera Selatan, dan Jawa Barat.

Dengan kemampuan yang sedemikian itu, guru tidak dapat membimbing siswanya dalam penulisan esai yang kemudian diha-rapkan mampu berpikir kritis. Mungkin karena merasa tidak mam-pu menulis esai, guru tidak mau mengajarkan penulisan esai kepada siswanya. Inilah salah satu faktor siswa tidak tertarik dengan pe-nulisan esai.

Kenyataannya, dengan sampel beberapa SMA di Yogyakarta menggunakan sampel masing-masing alumni sekolah tersebut, ter-nyata penulisan esai malah sama sekali tidak diajarkan. Alasannya adalah materi penulisan esai yang ada di kurikulum kelas XII se-mester 2 digeser oleh persiapan ujian nasional yang dianggap lebih penting.

(40)

dengan pola pengembangan deduktif dan induktif) yang kesemua-nya diasumsikan mampu mendukung pemelajaran penulisan esai. Itulah mengapa esai tidak diberikan di kelas X atau XI, bahkan di kelas XII semester 1.

Aturan yang Menjadi Alasan

Hyland (via Pujiono, 2013:55), mendasarkan dalam teori esai argumentatif kriteria penulisan esai yang baik harus mengandung tesis, masalah, argumen, dan kesimpulan. Ada tahapan-tahapan tertentu yang secara teoritis membatasi siswa dalam menulis esai. Hal tersebut dimaksudkan agar siswa dapat membatasi topik yang mereka tulis dan uraiannya tidak keluar dari masalah.

(41)

Esai Sastra

Perkembangan esai di Indonesia dipopulerkan oleh H.B. Jassin. Karya Jassin yang berjudul Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei (1985) merupakan rujukan penulis esai di Indonesia. Esai-esai yang ditulis sebagian besar adalah esai sastra. Menurut Jassin, esai adalah uraian yang mebicarakan berbagai macam ra-gam, tidak tersusun secara teratur, tetapi seperti dipetik dari ber-bagai macam jalan pikiran (via Pujiono, 2013:53). Esais-esais Indonesia yang terkenal hingga sekarang antara lain adalah Iwan Simatupang, Sutan Takdir Alisyahbana, dan Sitor Situmorang.

Esai sastra sendiri merupakan pandangan atau pendapat pribadi penulisnya mengenai suatu masalah kesastraan. Ternyata sejak dulu, eksistensi esai telah dipermasalahkan. Hal tersebut pernah diungkapkan oleh Nugroho Notosusanto dalam “Persada” lampiran majalah “Kisah” November 2006. Nugroho mengeluh bahwa genre esai merupakan genre yang dianaktirikan dalam dunia sastra kita. Di dalamnya juga terdapat pernyataan dari S.M. Ardan bahwa hasil sastra terbaru lebih banyak cipta daripada be-rupa esai atau kritik atau resensi. Hal tersebut menunjukkan bahwa bukan hal yang mengherankan jika kini pun remaja lebih menyukai cerpen sebagai hasil cipta sastra dibandingkan esai, baik esai sastra maupun esai yang membahas masalah lain.

Contoh dari esai sastra adalah tulisan Jakob Soemardjo terha-dap cerpen “Mangga Arumanis” karya Muh Rustandi Kartakusuma dengan ciri-ciri subjektivitas penulis berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya.

(42)

pah-lawan bagi pengarangnya, Rustandi Kartakusuma. Pahpah-lawan itu dengan gagah berani menyumbangkan buah-buah mangga yang tidak halal itu kepada mereka yang membutuhkan makanan. Ha-nya dengan berbuat demikian, ia dapat kembali bermesraan de-ngan istrinya, Yanti. Meskipun Yanti berasal dari keluarga kaya, ia mau hidup dalam kemiskinan mendampingi Pahlawannya, Hen-dra, yang bersikukuh mempertahankan sikap bermoral dan ber-iman, penuh pengorbanan, dan pengabdian kepada sesama.”

Pengetahuan penulis tentang mangga arumanis, pandangan positifnya terhadap tokoh di dalam cerpen yang diulas sangat memperlihatkan betapa pribadinya sebuah esai. Inilah yang me-nyangkal pernyataan bahwa esai terlalu ilmiah yang berindikasi terlalu “serius”, karena esai sendiri malah sangat subjektif. Pan-dangan yang seperti itu di kalangan remaja harus segera dilu-ruskan.

Sebenarnya tanggapan terhadap karya sastra yang ada tidak hanya dapat diapresiasi melalui esai, namun juga kritik dan resensi. Walaupun sama-sama memuat argumen, ketiga jenis tulisan terse-but memiliki perbedaan pada tujuannya. Dapat dipahami bahwa sastrawan kita pun memiliki kegelisahan tentang nasib genre esai pada masa ini. Meskipun telah dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah, pada kenyataannya pembelajaran esai belum juga mak-simal.

Penutup

Tampaknya remaja belum menyadari pentingnya esai dalam kegiatan akademis. Tentu saja hal ini juga merupakan akibat dari pembelajaran oleh guru yang tidak menekankan dan menyampai-kan pentingnya esai untuk mereka, sehingga remaja kurang mema-hami hal tersebut. Setidaknya ada dua alasan mengapa esai kurang berkembang di kalangan remaja.

(43)

bebas berekspresi tertekan batasan-batasan tersebut. Aturan penu-lisan esai yang memang bersifat semi-ilmiah menghambat kemauan remaja yang cenderung labil dan belum memahami fungsi esai. Secara psikologis usia remaja memang menyebabkan mereka lebih senang dengan hal-hal bersifat imajinatif, karena mereka sendiri pun suka berimajinasi. Itulah yang mengakibatkan dalam dunia sastra hasil cipta lebih banyak dibanding ulasannya seperti yang diungkapkan oleh S.M. Ardan.

Kedua, kurangnya perhatian guru terhadap perkembangan kemampuan siswanya dalam menulis esai yang mengakibatkan kurangnya pemahaman siswa terhadap fungsi esai. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa banyak guru yang malah be-lum menguasai esai dengan benar, maka bagaimana siswa dapat menguasai esai dengan baik pula? Padahal dalam tingkat univer-sitas, mahasiswa diasumsikan sudah mampu menulis esai dengan baik dan benar sehingga banyak dosen mata kuliah menguji pema-haman mahasiswanya dengan tugas menulis esai.

Sosialisasi terhadap guru semua bidang studi tentang penting-nya penulisan esai sebagai bekal dasar penulisan karya ilmiah dapat menjadi solusi. Tidak hanya sosialisasi, akan tetapi juga pelatihan penulisan esai yang kemudian diharapkan mampu ditularkan kepa-da siswa-siswanya. Tentu saja, sosialisasi kepa-dan pelatihan tersebut tidak hanya diberikan kepada para guru, tetapi juga kepada para mahasiswa calon guru.

(44)

ber-pikir ilmiah. Menulis bukan hanya masalah tertarik atau tidak ter-tarik, menulis juga sebagai kebutuhan, apapun jenisnya. Dalam menulis esai dapat dimulai pula dari penulisan esai informal, yang kemudian berlanjut ke tahapan esai formal yang mengharuskan adanya data-data dari studi pustaka.

Pada akhirnya, seperti wahyu Tuhan yang disampaikan pertama kali kepada Nabi Muhammad saw., iqro’ ‘bacalah’. Bacalah kemudian menulislah. Jika ingin menaklukkan dunia, silakan Anda membacalah. Jika ingin dikenal dunia, silakan Anda menulislah. Cogito ergo sum. Aku berpikir karena itu aku ada. Scribo ergo sum. Aku menulis karena itu aku ada, maka mari mulailah berpikir untuk menulis agar segera dikenal dunia.

Daftar Bacaan

Kratz, E. Ulrich. 2000. Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Pujiono, Setyawan. 2013. Terampil Menulis: Cara Mudah dan Praktis dalam Menulis. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Wiedarti, Pangesti. 2006. “Menulis Karya Ilmiah dan Pengajarannya”. Diktat FBS, Universitas Negeri Yogyakarta.

Biodata

(45)

“Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan

dunia.”(Bung Karno)

Pendahuluan

Tentu kita pernah mendengar salah satu pekik retorik yang digaungkan Sang maha mentor abadi, Bung Karno, di atas. Kata mutiara di atas telah menunjukan betapa besarnya harapan beliau terhadap kaum muda. Beliau telah menyadari sepenuhnya akan arti pentingnya kaum muda untuk membawa bangsa ini menuju keperadaban yang lebih baik.

Satu pemuda bukanlah sembarang pemuda. Pemuda yang diharapkan Bung Karno adalah pemuda yang cerdas, kritis dan pintar dalam setiap hal. Apalah gunanya satu pemuda, seratus, sejuta, bahkan semilyar, jika mereka bodoh, tentu keadaan stagnasi atau tidak bergerak yang ada. Oleh karena itu, jika lebih diper-dalam, makna tersirat Bung Karno dalam kata mutiaranya adalah harapan satu orang pemuda yang cerdas, kritis dan pintar.

Satu kunci untuk menjadi pemuda cerdas, kritis dan pintar, yaitu dengan membaca segala buku bermutu, yang mencerdaskan dan mencerahkan pikiran, serta menjadikan hidup lebih berkuali-tas. Membaca buku sampah (buku porno, buku makna kosong) hanya membuat pikiran miring atau melenceng dalam ketidakseim-bangan, menjadikan kita sebagai pribadi tak berkarakter dan terke-san liar, menghalalkan segala cara untuk menyelesaikan setiap persoalan.

AKU GUNCANGKAN DUNIA

DENGAN MEMBACA

(46)

Akan tetapi, di negeri ini tampaknya membaca buku bermutu belum menjadi budaya. Masyarakat terutama pemuda belum me-mahami arti penting membaca bagi kehidupan, padahal membaca adalah kunci segala kesuksesan. Tidak ada orang di muka bumi ini sukses tanpa membaca. Seorang Thomas Alfa Edison tidak akan menemukan bola lampu jika tidak membaca. Oleh karena itu, reali-ta ini menjadi dasar penulis mengemukakan gagasannya.

Fakta Membaca Pemuda Indonesia

Seperti yang dijelaskan sebelumnya membaca buku bermutu merupakan kunci kesuksesan atas segalanya. Membaca akan membawa pelakunya menjadi pribadi dengan kualitas tinggi. Insan berkualitas mampu membawa bangsanya menuju kedudukan per-adaban yang lebih baik. Oleh karena itu, tidak salah jika para ahli, baik skala lokal maupun internasional, menjadikan membaca seba-gai parameter kemajuan suatu bangsa.

Membaca dan petumbuhan kemajuan negara merupakan suatu hukum perbandingan lurus. Semakin tinggi minat baca penduduk suatu negara, semakin tinggi pertumbuhan kemajuan negara,dan sebaliknya. Hukum ini tentu menjadi sebuah jawaban atas apa yang terjadi di Indonesia yang tidak kunjung maju. Ini terjadi kare-na mikare-nat baca penduduknya terutama pemuda kita sangatlah rendah.

Menurut penelitian berskala nasional bahkan internasional di-katakan minat baca buku penduduk kita tergolong rendah, ter-utama pemuda kita. Berikut beberapa buktinya.

1. Berdasarkan data CSM pada anak SMA di 13 negara, termasuk Indonesia. Di Amerika Serikat, jumlah buku yang wajib dibaca sebanyak 32 buku, Belanda 30 buku, Prancis 30 buku, Jepang 22 buku, Swiss 15 buku, Kanada 13 buku, Rusia 12 buku, Brunei 7 buku, Singapura 6 buku, Thailand 5 buku, dan Indonesia 0 buku.

(47)

Ella Yulaelawati, mengatakan bahwa skor rata-rata kemampu-an membaca remaja Indonesia adalah 402, di bawah skor rata-rata negara yang masuk Organization for Economic Cooperation and Development(OECD) dan Indonesia menempati urutan 57 dari 62 negara.

3. Laporan Bank Dunia no.16369-IND (Education in Indonesia from Crisis to recovery) menyebutkan bahwa tingkat membaca usia kelas VI Sekolah Dasar di Indonesia hanya mampu meraih skor 51,7 di bawah Filipina (52,6), Thailand (65,1), dan Singa-pura (74,0).

Data dan fakta di atas merupakan sebuah jawaban atas keada-an kita ykeada-ang tidak kunjung maju sekaligus potret betapa mempri-hatinkan minat baca buku bermutu penduduk kita terutama pe-muda. Pemuda merupakan generasi penerus, di mana masa depan bangsa dan peradabannya berada di genggaman tangan mereka. Namun, mereka malah memiliki minat baca yang rendah terhadap buku berkulitas.

Keadaan terpuruknya minat baca buku bermutu pemuda saat ini masih dipandang masalah sepele bagi pemerintah dan masya-rakat. Padahal keadaan tersebut merupakan akar segala bencana kemanusiaan di negeri ini (korupsi, kemiskinan dan kriminalitas). Selain itu, rendahnya minat baca buku bermutu pada pemuda me-rupakan suatu pertanda hancurnya peradaban bangsa dimasa de-pan. Oleh karena itu, ‘bencana’ rendahnya minat baca pemuda Indonesia harus disikapi dengan segera. Jika tidak, niscaya Indone-sia akan tenggelam, karena kekalahan dalam persaingan global lantaran kebodohan generasi penerusnya sendiri.

Pemuda Kita

(48)

Saat ini internet mereka gunakan sebagai sumber informasi pertama dan utama akan setiap hal, seperti tugas, teori makalah, kajian dan berbagai karya. Pemanfaatan internet yang besar seba-gai sumber informan utama daripada buku, didasari alasan mudah, ringkas dan tidak menjenuhkan sehingga keadaan tersebut menye-babkan Indonesia menduduki peringkat lima dunia sebagai peng-guna internet terbanyak di dunia.

Fakta mengenai prestasi penggunaan internet pada masyarakat bagaikan dua sisi perasaan kehidupan, antara kebanggaan dan keprihatinanan. Kebanggan yang dirasakan adalah penduduk In-donesia terutama pemuda ternyata memiliki wawasan IPTEK (Il-mu pengetahuan dan teknologi) yang tinggi. Keprihatinnanya, ma-syarakat kita, terutama pemuda, masih menjadikan bacaan di inter-net sebagai sumber informasi pertama dan utama dalam menger-jakan setiap karya mereka.

Penggunaan internet sebagai sumber informasi merupakan jalan yang salah. Kevalidan, keakuratan, mutu, dan kebenaran tu-lisan di dalam internet masih menjadi keraguan bagi para pakar. Ini disebabkan penulisannya yang masih dibelenggu oleh emosi sesaat penulis sehingga tanggung jawab dan makna tulisan kabur. Oleh sebab itu, para ahli menempatkan internet sebagai pustaka kelas terbawah dan disarankan agar tidak dipakai dalam setiap penulisan ilmiah dan yang penulisan karya yang lain.

Pustaka kelas teratas tentu adalah tulisan-tulisan bermutu hasil pemikiran dan penelitian para ahli yang ditulis dengan makna dan tanggung jawab yang penuh sehingga validasi dan keakurat-annya tidak menjadi keraguan. Akan tetapi, dengan alasan mudah, ringkas, dan tidak menjenuhkan, tetap saja menjadikan internet sebagai primadona pemuda kita sebagai bacaan dan acuan.

(49)

Ketika pikiran rusak, moral pun menjadi rusak dan tentu me-rembet pada perilaku pembacanya yang menjadi tidak terkendali. Keadaan yang terjadi adalah carut marut dan hidup di bawah bayang-bayang ketakutan. Itulah gambaran yang terjadi ketika kita mengabaikan hal sepele, yaitu rendahnya minat membaca baca-an bermutu pada masyarakat kita, terutama pemuda (generasi penerus bangsa).

Bagaimana Kita Menyikapinya?

Tingginya angka minat membaca masyarakat terutama pemu-da akan bacaan di internet memang suatu keprihatinan. Akan tetapi, hal itu dapat dijadikan sarana atau jembatan emas untuk meningkatkan minat baca buku bermutu. Dengan jalan penerbitan buku e-book lalu di upload di internet dan pelayanan download secara mudah dan gratis, hal itu tentu akan meningkatkan minat baca pemuda kita akan buku bermutu.

Buku elektonik ini tentu menjawab kelemahan yang dimiliki buku cetakan, seperti pada umumnya, yaitu rumit, tidak ringkas, dan menjenuhkan. Kevalidan, keakuratan, dan tanggung jawabnya pun tidak menjadi keraguan karena buku elektronik sama saja dengan buku cetakan hanya saja wujudnya yang berbeda dari hard file (cetakan) menjadi soft file (elektronik) sehingga solusi ini dapat dijadikan senjata untuk mengatasi masalah membaca negeri ini.

(50)

terutama pemuda sehingga minat baca penduduk di perpustakaan semakin tinggi.

Solusi terakhir yang penulis tawarkan adalah sistem wajib membaca satu semester bagi siswa. Sistem ini mengajak guru (pen-didik) untuk mewajibkan siswanya (baik dari tingkat SD (sekolah dasar) maupun perguruan tinggi) untuk membaca beberapa buku setiap satu semesternya (buku yang bermutu). Pemberian kewajiban ini harus didasari kemampuan anak dalam hal membaca, sebagai contoh untuk SD 1 buku, SMP 3 buku, SMA 4 buku, dan mahasiswa 5 buku.

Setelah selesai membaca, guru diharapkan mengajak siswanya untuk meresensi atau meringkas setiap bacaan mereka, kemudian memberikan pertanyaan mengenai buku yang mereka baca. Hal ini tentu menekan angka kecurangan yang dilakukan siswa se-hingga mereka sungguh-sungguh melakukan kegiatan membaca. Penulis melihat sistem ini belum diterapkan oleh pemerintah kita. Padahal jika kita menengok negeri tetangga (Malaysia) dan negara-negara maju (Amerika Serikat dan negara-negara Eropa), sistem ini adalah suatu kewajiban bagi setiap peserta didik. Oleh karena itu, tidak salah kita mengadopsinya demi mencetak ma-nusia berkualitas dan Indonesia yang maju.

Dengan solusi yang penulis tawarkan di atas diharapkan mam-pu menggerakkan hati masyarakat kita terutama pemuda untuk meningkatkan minat baca mereka terhadap buku bermutu. Dengan demikian, akan terbentuklah manusia berkualitas dan terbentuklah Indonesia yang jaya. Lalu yang menjadi pertanyaan, bagaimana membaca dapat membuat hidup kita lebih berkualitas dan mampu memajukan bangsa?

Ketika Membaca Mengguncang Dunia

(51)

Akan tetapi, mereka masih belum menyadari sepenuhnya akan hal tersebut karena belum mengetahui arti penting membaca buku bermutu.

Membaca buku bermutu adalah kegiatan yang tidak ada rugi-nya. Menurut Sri Harjanto Sahid, membaca sama halnya menyerap pengetahuan dari buku sama artinya dengan menimbun investasi untuk membangun masa depan, berarti memperkaya dan memper-kuat kerajaan pikiran, sekaligus meluaskan dan memenuhkan gu-dang kerajaan sunyi kalbu dengan mutiara-mutiara kebijaksanaan hidup sehingga terciptalah manusia berkualitas dan beretika.

Dengan terciptanya manusia berkualitas dan beretika, hal itu akan membawa bangsa ini menuju peradaban yang lebih baik. Ini dikarenakan manusia berkualitas akan mendorong terlahirnya tin-dakan-tindakan nyata yang memajukan peradaban. Berbeda de-ngan manusia tidak berkualitas, mereka hanya akan memperkeruh keadaan dan menyebabkan hancurnya peradaban dengan omong kosong mereka.

Kemudian, bukti selanjutnya yang menguatkan argumen pe-nulis membaca buku bermutu mampu mengguncang dunia telah terpampang nyata di muka bumi ini. Keadaan itu dapat kita lihat perbedaan antara Indonesia dengan Amerika Serikat.

Indonesia dan Amerika Serikat adalah negara yang sama, yaitu sama tergolong lima besar penduduk terbanyak di dunia (Amerika ke-3 dan Indonesia ke-4). Namun, yang membedakan, Amerika adalah negara adidaya penguasa dunia di balik keterbatasan sum-ber daya alam, sedangkan Indonesia adalah negara miskin di balik keterlimpahan sumber daya alamnya. Tentu ini merupakan fakta yang sangat ironi bagi kita (orang Indonesia).

(52)

Amerika, negara dengan penduduk terbesar ketiga dunia de-ngan keterbatasan sumber daya alam, mampu menjadi penguasa dunia lantaran kualitas penduduknya yang sangat tinggi. Hal itu hanya diperoleh dengan cara membudayakan membaca bacaan bermutu dari usia dini hingga seterusnya. Mengapa kita tidak bisa?

Kita, Indonesia, janganlah kalah dengan Amerika. Kelebihan yang kita miliki dari Amerika sangatlah berpotensi besar untuk menjadikan negeri ini menjadi penguasa dunia selanjutnya yang bahkan mampu mengalahkan Amerika dengan jalan meningkatkan minat baca buku bermutu sebagai jalan keluarnya. Masa depan bangsa ini ada digenggaman tangan kita. Oleh karena itu, mari pemuda bawa bangsa kita menjadi macan dunia melalui membaca buku bermutu.

Penutup

Rendahnya minat baca buku bermutu pemuda kita menjadi suatu keprihatinan bagi kita. Ditambah lagi kesenangan mereka membaca bacaan di dunia maya yang kualitasnya jauh dari kata berkualitas membuat kita menjadi lebih prihatin. Bacaan-bacaan tidak bermutu mampu merusak moral pembaca yang merembet rusaknya tingkah laku kita. Ketika tingkah laku kita menjadi tidak terkendali membuat kondisi menjadi tidak kondusif.

Situasi tidak kondusif menyebabkan terhambatnya segala sistem yang bekerja sehingga menyebabkan terhambatnya negara memperoleh kemajuan dalam segala aspek. Itulah sedikit gam-baran jika kita masih menyepelekan masalah minat membaca buku bermutu di kalangan masyarakat terutama pemuda sebagai pene-rus bangsa.

(53)

meng-ungguli Amerika “Sang Penguasa” dunia melalui membaca buku bermutu.

Biodata

(54)

Dewasa ini, sastra makin digemari. Berbagai karya sastra di-terbitkan, diulas, dan diperbincangkan. Sastra dijadikan topik da-lam seminar dan forum diskusi. Pelajaran sekolah pun tak lepas darinya. Sastra tampak di mana pun dengan disisipkan dalam ber-bagai buku, majalah, koran, hingga bacaan anak-anak.

Karya sastra itu sendiri merupakan sesuatu yang rumit, tak bisa begitu saja dipahami. Tak semua orang bisa menangkap mak-sudnya sebab inti dalam karya sastra dipoles sedemikian rupa dengan berbagai metafora dan tipografi. Tujuannya bukan untuk menyesatkan, melainkan untuk memaksimalkan daya khayal pem-baca. Satu karya sastra bisa diterjemahkan menjadi macam-macam. Kita harus jeli menangkap makna setiap kata, setiap kalimat, setiap paragraf, hingga keseluruhan karya tersebut.

Membaca karya sastra adalah suatu proses yang panjang dan lama. Oleh karena itu, tulisan mesti dibuat semenarik mungkin supaya pembaca tidak bosan. Banyak cara yang bisa dilakukan, misalnya, pandai-pandai menentukan tema, mengembangkan kon-flik, memilih sudut pandang, serta yang tak kalah penting, yaitu menciptakan tokoh fiktif yang memukau.

Sebagai contoh, novel legendaris Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson mempunyai tokoh berkepribadian ganda yang sangat unik. Kepribadian yang bernama Dr. Jekyll digambar-kan sebagai seorang lelaki bertubuh tegap dan bagus. Wajahnya tampan, penampilannya bersih dan rapi, pembawaannya ramah, sedangkan kepribadian yang bernama Mr. Hyde sangatlah bertolak belakang. Wajahnya begitu buruk dan memancarkan hawa dingin

MENCIPTA TOKOH FIKTIF

DALAM KARYA SASTRA

(55)

yang menyeramkan. Dua kepribadian tersebut bersatu menjadi tokoh yang menyedot perhatian pembaca sampai akhir cerita.

Sebelum mencipta tokoh fiktif, tentukan jenis karya sastra yang hendak ditulis sebab penokohan berbeda-beda untuk setiap jenis cerita. Apabila ingin menulis tentang sejarah ataupun budaya, kita dapat menampilkan tokoh yang sekaligus mencerminkannya. Apabila ingin menulis tentang misteri, kita jangan membuat tokoh yang memperumit isi cerita. Buat saja tokoh yang sederhana, tetapi berbeda halnya apabila ingin menulis cerita mengenai pencarian jati diri. Dalam jenis tulisan ini, penokohan mesti kita buat secara utuh.

Salah satu cerita tentang pencarian jati diri adalah Sybil karya Flora Rheta Schreiber. Novel yang berdasarkan kisah nyata dan menggoncang dunia psikologi ini mengisahkan seorang perempu-an bernama Sybil yperempu-ang mempunyai 16 kepribadiperempu-an. Dikisahkperempu-an pada awalnya, Sybil tak menyadari kemunculan kepribadian-ke-pribadian itu. Lalu, ia mulai mengunjungi psikolog. Dalam perte-muan-pertemuan mereka terkuaklah penyebab Sybil menjadi demikian. Ia melakukan penyembuhan dan akhirnya berhasil. Keenam belas kepribadian itu menyatu. Pembaca pun mendapat penuturan mendetail dari kejadian awal sampai akhir, dari sebab sampai akibat.

Biasanya pembaca mudah menyukai tokoh yang mirip dirinya sendiri. Kemiripan itu bisa di permukaan, misalnya, remaja lebih menyukai karya sastra yang tokohnya sesama remaja daripada tokohnya orang tua. Bisa juga kemiripan yang lebih dalam, seperti sifat dan kebiasaan. Namun, kemiripan-kemiripan itu pada akhir-nya dapat membuat bosan sehingga ciptakan juga tokoh yang membuat pembaca penasaran.

(56)

atau orang tua? Apakah mereka berkelompok atau terpisah? Apa saja topik pembicaraannya? Kita coba menebak-nebak yang sedang mereka pikirkan.

Kita juga bisa melakukan pengembaraan ke dalam diri sendiri. Pikirkan hal-hal yang kita sukai dan yang tidak, bagaimana me-nyikapi suatu kejadian, apa saja mimpi kita. Mari bercakap-cakap dengan diri sendiri. Korek berbagai kenangan sebab kenangan merupakan sumber ide lainnya. Barangkali kita mempunyai ke-nangan yang sangat berharga. Daripada membiarkannya terlupa-kan, coba diabadikan dalam bentuk tulisan, atau sebaliknya kita mempunyai kenangan pahit dan menyakitkan yang selama ini ter-bayang-bayang. Mungkin jika dituangkan menjadi kata-kata, kita bisa memaafkan dan melupakan kenangan tersebut. Selain kenang-an mengenai peristiwa ykenang-ang telah terjadi, kita bisa menciptakkenang-an kenangan baru. Caranya adalah pergi ke tempat-tempat yang be-lum pernah dikunjungi. Lain kali saat pergi ke restoran, pesan menu yang kelihatannya tak ingin kita pesan, atau bicara dengan orang-orang asing. Semakin banyak kenangan yang dimiliki, se-makin banyak pula peluang untuk memperoleh ide.

Ide adalah sesuatu yang murah dan ada di mana pun asalkan kita kreatif. Buka pikiran dan pandangan lebar-lebar. Biarkan ide mengalir deras. Namun, jangan loloskan ide tanpa disaring karena bisa saja ide yang ditemukan sangat klise. Peras pikiran kita dan barangkali ide pertama, kedua, dan ketiga kita klise. Oleh karena itu, kita sebaiknya berpikir dari berbagai sudut pandang. Cari referensi dari buku, surat kabar, majalah, dan lain-lain. Bisa juga kita mengikuti seminar dan diskusi. Tanyakan pendapat orang lain mengenai ide kita. Mari terus berpikir dan berpikir sampai mendapat ide yang luar biasa.

(57)

melukis-kan realitas tragedi dengan cara romantis. Para perempuan yang diperkosa dalam kerusuhan itu disimbolkan sebagai kunang-ku-nang dan roh penasaran. Mereka beterbangan bebas di gedung-gedung kosong, sederhana, tetapi menggugah.

Setelah mendapat ide, sebaiknya kita segera merealisasikan-nya. Jangan tunggu terlalu lama sebab bisa-bisa lupa atau ide itu kehilangan momentumnya. Ciptakan tokoh-tokoh fiktif yang men-dukung ide tersebut. Tempatkan mereka di posisi yang tepat. Berdasarkan kepentingannya, tokoh dibagi menjadi tiga, yaitu fi-guran, tokoh sampingan, dan tokoh utama. Figuran ialah tokoh yang hanya berada di latar belakang, keberadaannya untuk mela-kukan fungsi sederhana lalu hilang dan dilupakan, sedangkan to-koh sampingan berperan lebih banyak, bisa mempengaruhi cerita, tetapi hanya muncul sebentar.

Tokoh utama adalah fokus pembaca sehingga mesti dibuat memukau agar pembaca ingin terus mengikuti kisahnya. Penam-pilannya bisa dibuat menarik, seperti cantik, tampan, rupawan, anggun, eksotis, karismatik. Namun yang penting, ia menarik sim-pati pembaca. Beri peran protagonis sebagai korban atau penye-lamat, penyembuh, pencinta kedamaian, dan sebagainya. Namun, jangan ciptakan tokoh yang terlalu sempurna. Bukannya bersim-pati, bisa-bisa pembaca merasa bosan. Untuk itu, sisipkan keku-rangan atau keburukan pada sang tokoh.

(58)

Tokoh utama juga bisa dijadikan antagonis asalkan memikat. Contohnya adalah tokoh utama dalam novel Out karya Natsuo Kirino yang memenangkan Japan’s Grand Prix for Crime Fiction, na-manya Yayoi, buruh pabrik yang tidak sengaja membunuh suami-nya. Sebelum kejadian tersebut, ia adalah orang yang biasa-biasa saja. Namun, karena harus menyingkirkan mayat itu dengan cara memutilasi, kepribadian Yayoi perlahan-lahan berubah. Ia men-jadi psikopat. Namun, kekejamannya justru memperindah cerita. Baik antagonis maupun protagonis, pastikan tokoh utama sering muncul agar pembaca akrab dengannya. Tonjolkan ia, le-mahkan tokoh lainnya. Kita bisa juga menggunakan sudut pandang tokoh utama itu agar pembaca lebih bersimpati. Dalam bercerita ada sudut pandang orang pertama dan sudut pandang orang keti-ga. Sudut pandang orang pertama sering dipilih penulis pemula sebab sederhana dan terasa alami. Sudut pandang ini digunakan apabila penutur ingin menjadi tokoh yang terlibat dalam cerita, kecuali kita sedang menceritakan diri sendiri, jadikan si penutur orang yang berbeda dari kita. Beri ia kepribadian sendiri. Pastikan gaya bertuturnya mencerminkan kepribadian itu, juga pendidikan dan status sosialnya. Tokoh yang dijadikan penutur mesti hadir di adegan-adegan penting dan minimalkan adegan yang kurang penting baginya.

Sudut pandang orang ketiga dibagi jadi dua, yaitu serba tahu dan terbatas. Orang ketiga serba tahu, seperti sebutannya, menge-tahui segala sesuatu. Ia seolah berada di mana pun dan kapan pun. Ia tahu pikiran dan keinginan para tokoh, juga masa lalu dan masa depan, sedangkan orang ketiga terbatas hanya melihat dari sudut pandang salah satu tokoh. Penuturannya tergantung pada yang dilihat orang itu dan hanya bisa menduga-duga.

Gambar

Gambar 2 dan 3. Gathering @fiksimini

Referensi

Dokumen terkait

Mengenai hal tersebut, Lembaga Amil Zakat PKPU menyalurkan dana zakat melalui salah satu program yaitu Program Sinergitas Pemberdayaan Ekonomi Komunitas, program ini

Dalam penelitian ini, untuk menguji hipotesis bahwa adanya hubungan antara program CSR di bidang sosial, ekonomi dan lingkungan dengan terhadap pemberdayaan

Bab VI mengenai pembinaan dan pengawasan kebudayaan daerah, yang didalamnya terdapat pengaturan tentang kewenangan dalam melakukan pembinaan dan pengawasaan baik pembinaan

Pada Balai Penelitian terjadi kekurangan pada tahun- tahun 1982/1983 - 1986/1987, sedangkan sejak tahun 1988/1989 sampai dengan akhir tahun proyeksi akan ter jadi kelebihan

dan n %u %u&u &u. ;ntu& itu< &ami menghara,&an &e&urangan dan masih !auh dari &esem,urnaan.. #alah satu su% sistem &esehatan nasional

tidak dikehendaki, misalnya klien membayangkan bersetubuh dengan pelacur yang menderita penyakit Aids yang sangat menjijikkan yang menyebabkan klien. membayangkan dirinya

Indikator proses pembelajaran yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah jika keterlibatan guru dan siswa pada proses pembelajaran mencapai 75% (berkriteria