• Tidak ada hasil yang ditemukan

Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo (Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Gaya Bahasa)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo (Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Gaya Bahasa)"

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

NOVEL ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH

KARYA WIWID PRASETYO

(TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN GAYA BAHASA)

SKRIPSI

Oleh:

Antik Setiyorina

K1208068

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

ii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini

Nama : Antik Setiyorina NIM : K1208068

Jurusan/Program Studi : PBS/ Pendidikan Bahasa & Sastra Indonesia

NOVEL ORANG MISKIN

DILARANG SEKOLAH KARYA WIWID PRASETYO (KAJIAN

ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri. Selain itu, sumber informasi yang dikutip dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar putaka.

Apabila pada kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil jiplakan, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan saya.

Surakarta, Mei 2012

(3)

commit to user

iii

NOVEL ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH

KARYA WIWID PRASETYO

(TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN GAYA BAHASA)

Oleh:

Antik Setiyorina

K1208058

Skripsi

Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana

Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(4)

commit to user

iv

PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Persetujuan Pembimbing :

Pembimbing I,

Dra. Suharyanti, M. Hum. NIP194906271980102001

Pembimbing II,

(5)

commit to user

v

PENGESAHA

N

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Pada hari :Rabu Tanggal: 16 Mei 2012

Tim Penguji Skripsi

Nama Terang Tanda Tangan 1. Ketua : Dr. Kundharu Saddhono, M. Hum. ________ 2. Sekretaris : Dr. Andayani, M. Pd. ________ 3. Anggota I : Dra. Suharyanti, M. Hum. ________ 4. Anggota II : Drs. Yant Mujiyanto, M. Pd. ________

Disahkan oleh :

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Dekan,

(6)

commit to user

vi

ABSTRAK

Antik Setiyorina K1208068. NOVEL ORANG MISKIN DILARANG

SEKOLAH KARYA WIWID PRASETYO (TINJAUAN SOSIOLOGI

SASTRA DAN GAYA BAHASA). Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Mei 2012.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo; (2) lapisan sosial yang terdapat dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo; (3) pemanfaatan gaya bahasa dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo; dan (4) makna gaya bahasa yang terdapat dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo.

Penelitian ini berbentuk deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Sumber data adalah novel Orang Miskin Dilarang Sekolah dan informan. Sampel dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik analisis isi. Teknik pengumpulan data penelitian ini menggunakan teknik mencatat dokumen dan wawancara dengan pengarang novel Orang Miskin Dilarang Sekolah dan pengamat sastra. Validitas data menggunakan teknik triangulasi data. Teknik analisis data dilakukan dengan proses analisis mengalir, karena analisis bersumber dari novel.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo; penokohan sosiologis, latar (tempat, waktu, dan sosial) alur yang digunakan adalah alur maju; tema yang diangkat adalah pendidikan yang diramu dengan unsur sosial yakni kemiskinan; penokohan berdasarkan sifat tokoh utama dalam novel tersebut digambarkan secara sosiologis; latar yang digunakan pengarang yaitu Semarang, Jawa Tengah. Latar waktu, yakni dalam kurun waktu 1988-1996); latar sosial kebudayaan Jawa tengah; sudut pandang yang digunakan, yaitu orang pertama sebagai pelaku utama. Pesan yang ingin disampaikan pengarang dalam novel ini adalah jangan pernah takut untuk bermimpi karena mimpi dapat diraih jika berusaha dan berjuang dengan sungguh-sungguh. (2) pada novel Orang Miskin Dilarang Sekolah digunakan beberapa gaya bahasa, yakni gaya bahasa yang paling dominan adalah simile karena kalimat-kalimatnya banyak ditemukan penggunaan kata tugas (seperti dan bagai). Pengarang cenderung dominan menggunakan gaya bahasa simile karena melalui gaya bahasa ini pembaca diharapkan dapat memahami makna yang terkandung di setiap kalimatnya. Adapun pemajasan lain yang terdapat dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah adalah hiperbola, paradoks, personifikasi, paralelisasi, anafora, metafora, sarkasme, sinisme, pleonasme, klimaks, antitesis, alegori, dan ellipsis. (3) pemaknaan gaya bahasa dapat ditentukan berdasarkan konteksnya. Pemaknaan pada gaya bahasa ditujukan untuk membantu pemabaca dalam menafsirkan nilai-nilai yang diungkapkan pengarang dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah.

(7)

commit to user

vii

MOTTO

belakang sesungguhnya kita telah tertinggal dengan orang yang merangkak ke depan. Sesungguhnya masa lalu adalah guru bagi kita untuk menatap dan membangun masa depan ulis ).

Jangan menyerah atas hal yg kamu anggap benar meskipun terlihat mustahil. Selama ada k (Penulis).

Lebih mudah untuk melawan ribuan orang bersenjata lengkap dibandingkan

(8)

commit to user

viii

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan kepada :

1. Orang tuaku tercinta, Bapak Suwarno dan Ibu Rumini yang selama ini telah sabar dan penuh cinta membimbingku hingga sekarang ini;

2. Kakakku tersayang Mas Agus Riyanto yang selalu aku banggakan.

3. Seseorang yang menjadi bagian dari hidupku, semoga kelak akan menjadi imamku;

4. Sahabat-sahabatku yang selalu menyemangati dan memberikan inspirasi kepadaku Lolipop Gank; 5. Teman-teman

(9)

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt., atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret.

Penelitian dan penulisan skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, peneliti menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada semua pihak yang membantu, terutama kepada: 1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan

dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan izin untuk penyusunan skripsi;

2. Dr. H. Muhammad Rohmadi, M.Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan persetujuan penyusunan skripsi ini;

3. Dr. Hj. Andayani, M.Pd., Ketua Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNS yang telah memberikan persetujuan penyusunan skripsi ini;

4. Dra. Suharyanti, M.Hum dan Drs. Yant Mujiyanto, M.Pd selaku Pembimbing I dan Pembimbing II yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini;

5. Bapak/ibu dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan beragam ilmu yang bermanfaat bagi penulis;

6. Semua pihak yang telah mendukung dan membantu sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

7. Kedua orang tuaku, bapak Suwarno dan Ibu Rumini dan seluruh keluarga yang telah memberikan doa restu dan semangat untuk menyelesaikan skripsi. 8. Erik Dwi Prasetiyo, terima kasih atas semangat, kasih sayang, dan perhatian

(10)

commit to user

x

9. Teman-teman Genk Lolipop (Evi, Dian, Armin, Ari, Ena, Cicik, Apriana, Kurnia, Alvi) trimakasih banyak atas kebersamaan kita selama ini.

10.Teman-temanku Bastind angkatan 2008.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan, khususnya dalam bidang bahasa dan sastra Indonesia.

Surakarta, Mei 2012

(11)

commit to user

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN ... i

PERNYATAAN ... ii

JUDUL ... iii

PERSETUJUAN ... iv

PENGESAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

. xvii BAB I PEDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR ... 8

A. Tinjauan Pustaka ... 8

1. Hakikat Novel ... 8

2. Hakikat Sosiologi Sastra ... 14

3. Hakikat Gaya Bahasa ... 20

B. Resepsi Sastra ... 37

C. Penelitian yang Relevan ... 39

D. Kerangka Berpikir ... 41

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 42

(12)

commit to user

xii

B. Bentuk dan Pendekatan Penelitian ... 43

C. Sumber Data ... 43

A. Kajian Sosiologi Sastra dalam Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo ... 48

1. Struktur Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah ... 48

2. Lapisan Sosial Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah ... 78

3. Nilai Pendidikan Sosial Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah .. 79

(13)

commit to user

xiii

C. Saran ... 128

DAFTAR PUSTAKA ... 130

(14)

commit to user

xiv

DAFTAR TABEL

(15)

commit to user

xv

DAFTAR GAMBAR

(16)

commit to user

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Sinopsis Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah ... 133

Lampiran 2. Riwayat Hidup Pengarang ... 136

Lampiran 3. Catatan Lapangan Wawancara dengan Sastrawan ... 137

Lampiran 5. Catatan Lapangan Wawancara dengan Guru... 141

Lampiran 6. Catatan Lapangan Wawancara dengan Mahasisiwa ... 145

Lampiran 7. Catatan Lapangan Wawancara dengan Siswa ... 149

(17)

commit to user

xvii

DAFTAR SINGKATAN

(18)

commit to user

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai medium. (Atar Semi, 1988: 8). Sedangkan menurut Warren & Wellek, (1990: 109) sastra adalah instuisi sosial yang memakai medium bahasa. Teknik-teknik sastra tradisional seperti simbolisme dan mantra bersifat sosial karena merupakan

Karya sastra sebagai bentuk dan hasil sebuah pekerjaan kreatif, pada hakikatnya adalah suatu media yang mendayagunakan bahasa untuk mengungkapkan tentang kehidupan manusia. Oleh sebab itu, sebuah karya sastra pada umumnya berisi tentang permasalahan yang melingkupi kehidupan manusia. Kemunculan sastra lahir dilatarbelakangi adanya dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan eksistensi dirinya. (Sangidu, 2004: 2).

(19)

Karya sastra dilihat sebagai suatu reaksi penulis terhadap realitas sosio-budaya yang dihasilkan melalui interpretasi dan pemahamannya terhadap realitas itu, yang selanjutnya mungkin menyebabkan sikapnya terhadapnya. (Umar Junus, 1990: 90).

Karya sastra diciptakan berdasarkan tanggapan sastrawan terhadap kehidupan manusia baik kehidupan di dalam dunia mitos maupun di dunia nyata. Kehidupan itu diseleksi dan dimanipulasi, sehingga melahirkan suatu dunia dan realitas baru yaitu realitas imajinatif. Suatu kehidupan baru yang tidak lagi sama dengan kehidupan yang sesungguhnya. Hal itu dilakukan dengan kekuatan imajinasi, intelektualitas, kreativitas, dan pengalamannya. (Atmazaki, 1996: 22)

Salah satu jenis karya sastra adalah novel. Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia imajinatif yang tidak jauh berbeda dengan kehidupan manusia sebenarnya. Dalam novel biasanya dimungkinkan adanya penyajian secara meluas tentang tempat atau ruang, sehingga tidak mengherankan jika keberadaan manusia dalam masyarakat selalu menjadi topik utama (Suminto A Sayuti, 1997 : 6-7)

Kehadiran novel Anak Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo benar-benar menyikap garis kehidupan. Novel ini sangat erat kaitanya dengan kehidupan anak-anak di Indonesia. Sebuah kisah yang sangat dalam maknanya dan mampu menggugah hati nurani siapa saja untuk kembali menyadari makna kemanusiaan. Kisah-kisah dalam novel ini dituturkan secara sederhana dan komunikatif tanpa kehilangan bobot kesastraannya. Cerita ini dikisahkan melalui sudut pandang orang pertama pelaku utama dan dirangkai dengan alur maju.

(20)

Pada umumnya orang beranggapan bahwa bahasa dan sastra berbeda dengan bahasa nonsastra. Bahasa sastra dicirikan sebagai bahasa yang mengandung unsur emotif dan bersifat konotatif sebagai kebalikan dari bahasa nonsastra.

Penggunaan gaya bahasa yang tepat akan memberikan efek keindahan pada sebuah karya sastra. Hal ini akan menarik perhatian masyarakat pembaca untuk memahami dan mengapresiasikan karya sastra tersebut. Bahasa yang mengandung penyimpangan akan memperindah pembentukan sebuah karya sastra. Hal ini akan menggugah pembaca untuk menafsirkan maksud yang disampaikan pengarang lewat karya sastranya.

Pengarang melakukan penyimpangan kebahasaan bertujuan untuk memeroleh efek keindahan dan ingin mengedepankan atau mengaktualkan sesuatu yang dituturkan. Bahasa sastra bersifat dinamis dan terbuka dengan adanya kemungkinan penyimpangan dan pembaharuan tetapi tidak mengabaikan fungsi komunikatifnya. Penyimpangan bahasa secara berlebihan akan berakibat pesan yang ingin disampaikan dalam karya sastra tersebut tidak akan tersampaikan dengan baik.

Pemahaman terhadap suatu bahasa tidak dapat dilepaskan dari pemahaman terhadap kata-kata dan kaidah yang terdapat dalam bahasa tersebut. Menggunakan bahasa pada hakikatnya adalah memakai kata-kata dan kaidah yang berlaku dalam bahasa itu. Dengan demikian, agar dapat berbahasa dengan baik, benar, dan cermat, kita harus memperhatikan pemakaian kata dan kaidah yang terdapat di dalamnya. Hal ini berlaku bagi semua bahasa termasuk di dalamnya bahasa Indonesia.

(21)

Gaya bahasa adalah cara atau teknik mengungkapkan pikiran atau perasaan dalam bentuk lisan atau tulisan dengan menggunakan bahasa kias, sehingga memperlihatkan jiwa dan kepribadian mengarang untuk menghasilkan suatu pengertian yang jelas dan menarik bagi pembaca. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa permajasan merupakan gaya bahasa yang sengaja mendayagunakan penuturan dengan memanfaatkan bahasa kias.

Pada mulanya karya sastra memang untuk dinikmati keindahannya bukan untuk dipahami. Akan tetapi mengingat bahwa karya sastra juga merupakan sebuah produk budaya maka persoalannya menjadi lain. Karya sastra berkembang dengan proses kearifan zaman, sehingga lama kelamaan sastrapun berkembang fungsinya yang semula hanya sekedar menghibur. Pada tahapan proes berikutnya karya sastra juga dituntut untuk memberikan sesuatu yang berguna bagi pembaca.

Selain aspek keindahan karya sastra juga harus menampilkan aspek isi (etika) dengan mengungkapkan nilai-nilai moral, sosial, dan problematika kehidupan manusia. Karya sastra senantiasa menawarkan kesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan untuk memperjuangkan martabat manusia. Melalui cerita dan tingkah laku tokoh pembaca diharapkan dapat melalui hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan.

Nilai moral yang terkandung dalam karya sastra bertujuan untuk mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai dan etika dan budi pekerti. Ajaran moral yang yang tersirat dalam novel Anak Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo sangat terlihat jelas dalam isi novel.

Nilai sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku dan tata cara hidup sosial. Perilaku tersebut berkenaan dengan masyarakat atau untuk kepentingan umum. Novel karya Wiwid Prasetyo banyak mengandung nilai-nilai sosial yang terjadi di masyarakat.

(22)

renungan bagi pembaca agar mampu menyikapi kehidupan orang-orang beruntung untuk memperoleh hak yang sama.

Penelitian ini berjudul Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo (Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Gaya Bahasa). Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan menggunakan metode analisis deskriptif, sumber datanya adalah novel karya Wiwid Prasetyo dan informan yang diperoleh dari wawancara dengan pengarang yaitu Wiwid Prasetyo, sastrawan (Yant Mujianto), guru (Margarita Nining Astuti) mahasiswi (Evi Nitayani), dan siswa (Dwi Aryani) data penelitiannya berupa keseluruhan teks dalam novel tersebut. Berdasarkan penelitian ini ditemukan bahwa (1) novel karya Wiwid Prasetyo merupakan novel yang mengungkapkan masalah sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat seperti interaksi sosial, tindakan sosial, perilaku menyimpang, masalah kemiskinan, kriminalitas, dan lingkungan hidup. (2) novel karya Wiwid Prasetyo merupakan novel yang mengungkapkan masalah moral yang terjadi dalam kehidupan masyarakat seperti etika, tingkah laku, dan perbuatan.

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah bertujuan agar penelitian lebih jelas dan terarah. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah.

1.Bagaimanakah unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo?

2.Bagaimanakah lapisan sosial yang terdapat dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo?

3.Bagaimanakah pemanfaatan gaya bahasa dalam Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwit Prasetyo?

(23)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut.

1. Mendiskripsikan unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo?

2. Mendiskripsikan lapisan sosial yang terdapat dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo?

3. Mendiskripsikan pemanfaatan gaya bahasa dalam novel orang miskin dilarang sekolah karya Wiwit Prasetyo.

4. Mendiskripsikan makna gaya bahasa dalam novel dalam Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwit Prasetyo?

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Secara Teoritis

a. Menambah wawasan tentang pengkajian sosiologi sastra yang nantinya dapat diterapkan atau menjadi referensi.

b. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dan penerapan ranah ilmu sastra serta studi tentang karya sastra.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat di manfaatkan oleh beberapa pihak, antara lain:

a. Bagi Guru Bahasa dan Sastra Indonesia

Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran bagi guru Bahasa dan Sastra Indonesia bahawa novel Orang Miskin Dilarang Sekolah baik digunakan sebagai bahan atau materi pembelajaran sesuai dengan kurikulum yang berlaku.

b. Bagi Siswa

(24)

c. Bagi peneliti

Peneliti dapat mengetahui jawaban dari masalah-masalah yang dirumuskan dan dijadikan sebagai bahan pembanding bagi peneliti lain yang akan melakukan peneliti sastra dengan permasalahan yang sejenis.

d. Bagi pembaca

(25)

commit to user

8

BAB II

KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Tinjauan Pustaka

1. Hakikat Novel

a. Pengertian Novel

Kata novel berasal dari bahasa Itali novella yang secara harfiah berarti sebuah barang baru yang kecil dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa. (Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005:9).

Kata novel berasal dari kata Latin novellus yang diturunkan pula dari kata novies na kalau dibandingkan dengan jenis sastra lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain maka jenis novel ini muncul kemudian. (Henri Guntur Tarigan, 1995: 164).

Novel muncul karena pengaruh filsafat John Locke yang menekankan pentingnya fakta dan penggalaman serta bahayanya berfikir secara fantastis (Suyitno, 2009: 35). Burhan Nurgiantoro (2005: 15) menyatakan novel merupakan karya yang bersifat realistis dan mengandung nilai psikologi yang mendalam, sehingga novel dapat berkembang dari sejarah, surat-surat, bentuk-bentuk nonfiksi atau dokumen-dokumen, sedangkan roman (romansa) lebih bersifat puitis dan epik.

Dari sekian banyak bentuk sastra seperti esai, puisi, novel, cerita pendek, drama, bentuk novel, cerita pendeklah yang paling banyak dibaca oleh para pembaca. Karya karya modern klasik dalam kesusasteraan kebanyakan juga berisi karya karya novel.

Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling popular di dunia. Bentuk sastra ini paling banyak beredar lantaran daya komunikasinya yang luas pada masyarakat. Sebagai bahan bacaan novel dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu karya serius dan karya hiburan.

(26)

yang penting memberikan keasikan pada pembacanya untuk menyelesaikannya. Tradisi novel hiburan terikat dengan pola pola. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa novel serius mempunyai fungsi sosial, sedangkan novel hiburan berfungsi personal. Novel berfungsi sosial karena novel tersebut ikut membina orang tua masyarakat menjadi manusia, sedangkan novel hiburan tidak memperdulikan apakah cerita yang disajikan tidak membina manusia atau tidak yang penting adalah bahwa novel memikat dan orang ingin cepat cepat membacanya.

b. Struktur Novel

1)Tema

Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Wahyudi Siswanto, (2010: 161). Sedangkan menurut Aminudin, dalam Wahyudi Siswanto (1984, 107-108) tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya.

2) Tokoh atau Penokohan

Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan (Aminudin dalam Wahyudi Siswanto, (2010: 142-143). Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada tokoh suatu karya oleh sastrawan disebut perwatakan. (Wahyudi Siswanto, 2010: 143).

Penokohan adalah pemberian watak atau karakter pada masing-masing pelaku dalam sebuah cerita. Pelaku bisa diketahui karakternya dari cara bertindak, ciri fisik, dan lingkungan tempat tinggal.

3) Alur Cerita ) plot)

(27)

(sebab akibat). Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama yang menggerakkan jalan cerita melalui rumitan kearah klimaks dan selesaian. (Wahyudi Siswanto, 2010: 198).

Herman J. Waluyo mengatakan plot merupakan bagian yang penting dari cerita rekaan. Meskipun cerita rekaan mutakhir yang sering kali disebut nonkonvensional sering kali dinyatakan tanpa plot namun jika ditelusuri punya plot juga. Hanya saja plotnya tidak konvensional, maka orang mengatakan tanpa plot, yang benar sebetulnya plotnya nonkonvensional. (2002: 145)

Alur adalah rangkaian peristiwa yang membentuk jalannya cerita. Alur dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu alur maju (progresif) yaitu apabila peristiwa bergerak secara bertahap berdasarkan urutan kronologis menuju alur cerita, sedangkan alur mundur (flash back progresif) yaitu terjadi ada kaitannya dengan peristiwa yang sedang berlangsung.

4) Sudut pandang

Sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, dan waktu dengan gayanya sendiri. (Siswanto, 2010: 151)

Menurut Harry Show (1972 : 293), sudut pandang dibagi menjadi 3 yaitu:

1) Pengarang menggunakan sudut pandang took dan kata ganti orang pertama, mengisahkan apa yang terjadi dengan dirinya dan mengungkapkan perasaannya sendiri dengan kata-katanya sendiri. 2) Pengarang menggunakan sudut pandang tokoh bawahan, ia lebih

banyak mengamati dari luar daripada terlihat di dalam cerita pengarang biasanya menggunakan kata ganti orang ketiga.

(28)

5) Gaya bahasa

Gaya bahasa adalah alat utama pengarang untuk melukiskan, menggambarkan, dan menghidupkan cerita secara estetika.

Macam-macam gaya bahasa:

1) personifikasi: gaya bahasa ini mendeskripsikan benda-benda mati dengan cara memberikan sifat -sifat seperti manusia.

2) simile (perumpamaan): gaya bahasa ini mendeskripsikan sesuatu dengan pengibaratan.

3) hiperbola: gaya bahasa ini mendeskripsikan sesuatu dengan cara berlebihan dengan maksud memberikan efek berlebihan.

Dari segi kata, karya sastra menggunakan pilihan kata yang mengandung makna padat, reflektif, asosiatif, dan bersifat konotatif. Sedangkan kalimat-kalimatnya menunjukkan adanya variasi dan harmoni, sehingga mampu menuansakan keindahan dan bukan nuansa makna tertentu saja. Alat gaya melibatkan masalah kiasan dan majas: majas kata, majas kalimat, majas pikiran, majas bunyi. (Aminuddin dalam Wahyudi Siswanto, 2010: 159).

6)Latar atau setting

Latar atau setting adalah penggambaran terjadinya peristiwa dalam sebuah cerita meliputi tempat, waktu, sosial budaya, dan keadaan lingkungan. Abram mengemukakan latar cerita adalah tempat umum (general locate), waktu kesejarahan (historical time), dan kebiasaan masyarakat (social circumstances) dalam setiap episode atau bagian-bagian tempat. (Wahyudi Siswanto, 2010:149)

7)Amanat

Amanat adalah pesan yang disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Di dalam amanat akan terlihat pandangan hidup dan cita-cita pengarang secara emplisit dan eksplisit.

(29)

belakang kehidupan pengarang, latar belakang sosial pengarang, latar belakang penciptaan, sejarah, biografi pengarang, dan sebagainya.

8) Jenis-jenis Novel

Para pengamat sastra mengklasifikasikan novel menjadi dua jenis, yaitu novel serius dan novel populer. Membaca novel serius diperlukan daya konsentrasi yang tinggi agar dapat memahami isi dan pesan yang disampaikan pengarang dengan baik. Pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditampilkan dalam novel jenis ini disorot dan diungkapkan sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal. Novel serius di samping memberikan hiburan tetapi juga memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca atau paling tidak mengajak pembaca untuk meresapi dan merenungkan permasalahan yang dikemukakan.

Novel serius tidak bersifat mengabdi kepada selera pembaca, dan memang, pembaca novel jenis ini tidak (mungkin) banyak. Hal itu tidak perlu dirisaukan benar (walau tentu saja hal itu tetap saja memprihatinkan). Dengan sedikit pembaca pun tidak apa asal mereka memang berminat, dan, syukurlah, jika berkualitas (baca: tinggi daya apresiasinya). Jumlah novel dan pembaca novel serius, walau tidak banyak, akan punya gaung dan bertahan dari waktu ke waktu. (Burhan 2005: 20).

Burhan Nurgiyantoro (2005: 18) menyatakan bahwa novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya khususnya pembaca di kalangan remaja. Ia menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya sampai tingkat permukaan. Novel populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara intens tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan. Oleh karena itu, novel populer hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak memaksa seseorang untuk membacanya sekali lagi biasanya cepat dilupakan orang.

(30)

menggunakan cara penggarapan yang relatif sama disebut pengarang pop dan karya mereka kurang mendapat tempat di mata para kritikus sastra. Adanya pro dan kontra menyebabkan ciri-ciri antara novel serius dan novel pop sering dipertentangkan. Terkadang ciri-ciri novel serius dijumpai dalam novel pop terutama pada ciri yang bersifat umum, begitu juga sebaliknya. Burhan Nurgiyantoro (2005: 17). Tidak jarang novel-novel yang dikategorikan sebagai novel-novel populer memiliki kualitas literer yang tinggi.

Sastra populer adalah perekam kehidupan dan tidak banyak memperbincangkan kembali kehidupan dalam serba kemungkinan. Sastra populer menyajikan kembali rekaman-rekaman kehidupan dengan tujuan pembaca akan mengenal kembali pengalamannya. Oleh karena itu, sastra populer yang baik banyak mengundang pembaca untuk mengidentifikasikan dirinya (Kayam dalam Nurgiyantoro, 2005:18).

Novel serius di pihak lain rikan yang serba berkemungkinan dan itulah sebenarnya makna sastra yang sastra. Membaca novel serius. Membaca novel serius jika kita memahaminya dengan baik diperlukan daya konsentrasi yang tinggi dan disertai kemauan untuk itu. (Burhan Nurgiantoro, 1995: 18). Novel serius selain bertujuan memberikan pengalaman yang berharga dan mengajak pembaca untuk meresapi lebih sungguh-sungguh tentang masalah yang dikemukakan.

(31)

2. Sosiologi Sastra

a. Pengertian Sosiologi Sastra

Sastra sebagai pengemban amanat sosial, sudah seharusnyalah di arahkan ke sana Ia dapat diharapkan keberfungsiaanya untuk memberikan pengaruh positif terhadap cara orang berfikir mengenai baik dan buruk, mengenai benar dan salah, mengenai cara hidupnya sendiri, serta bangsanya. (Suyitno, 2005: 6)

Sosiologi sastra merupakan penggabungan dua bidang ilmu yaitu sosiologi dan sastra. Sosiologi sastra merupakan dua bidang yang saling melengkapi meskipun kedua bidang tersebut berbeda garapannya. Namun, dalam hal ini sosiologi dan sastra mempunyai masalah yang sama yaitu berkaitan dengan manusia dalam masyarakat, adanya usaha manusia untuk menyesuaikan diri, dan mengubah masyarakat itu. Sangidu (2004: 26) sosiologi sastra adalah menentukan jenis masyarakat yang melahirkan sastra tersebut.

sosiologi berasal dari bahasa Latin socius yang berarti kawan dan logos

dari kata Yunani yang berarti

secara singkat sosiologi adalah ilmu sosial yang objeknya adalah keseluruhan masyarakat dalam hubungannya dengan orang-orang di sekitar masyarakat itu. Sebagai ilmu sosial, sosiologi terutama menelaah gejala-gejala di masyarakat seperti norma-norma, kelompok sosial, lapisan masyarakat, lemabaga-lembaga kemasyarakatan, perubahan sosial dan kebudayaan, serta perwujudannya. Selain itu sosiologi sastra juga mengupas gejala-gejala sosial yang tidak wajar dan gejala abnormal atau gejala patologis yang dapat menimbulkan masalah sosial. (1993: 395)

(32)

1981:178). Para ahli sosiologi sastra memerlakukan karya sastra sebagai karya yang ditentukan (dipersiapkan) secara tidak terhindarkan oleh keadaan-keadaan masyarakat dan kekuatan-ketuatan pada zamannya, yaitu dalam pokok masalahnya, penilaian-penilaian kehidupan yang implisit, dan eksplisit yang diberikan, bahkan juga dalam bentuknya.

Sosiologi jelas merupakan ilmu sosial yang objeknya adalah masyarakat. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri karena telah memenuhi segenap unsur-unsur ilmu pengetahuan yang ciri-ciri utamanya adalah:

1) Sosiologi bersifat empiris yang berarti bahwa ilmu pengetahuan tersebut didasarkan pada observasi terhadap kenyataan dan akal sehat serta hasilnya tidak bersifat spekulatif.

2) Sosiologi bersifat teoritis, yaitu ilmu pengetahuan tersebut selalu berusaha untuk menyusun abstraksi dari hasil-hasil observasi. Abstraksi tersebut merupakan kerangka unsur-unsur yang tersusun secara logis serta bertujuan untuk menjelaskan hubungan-hubungan sebab akibat, sehingga menjadi teori.

3) Sosiologi bersifat komulatif yang berarti bahwa teori-teori sosiologi dibentuk atas dasar teori-teori yang sudah ada dalam arti memperbaiki, memperluas, serta memperhalus teori-teori yang lama. 4) Bersifat non-etis, yakni yang dipersoalkan bukanlah buruk-baiknya

fakta tertentu, akan tetapi tujuannya adalah untuk menjelaskan fakta tersebut secara analitis. (Soekanto, 1990: 15)

(33)

mengutamakan teks sastra sebagai penelaah. Metode yang digunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya kemudian dipergunakan untuk memahami representasi kehidupan orang miskin dalam Orang Miskin Dilarang Sekolah.

1)Sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain.

2)Sosiologi sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri. Yang menjadi pokok telaahnya adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau manfaat yang hendak disampaikannya.

3)Sosiologi yang mempermasalahkan pembaca pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.

Pernyataan Wellek dan Warren diperkuat lagi oleh pendapat Ian Watt (Damono,1978;3-5) bahwa dalam menelaah hubungan-hubungan antara sastra dan masyarakat ada tiga hal yang bisa diteliti ;

1)Konteks sosial pengarang. Hal ini berhubungan dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam pokok ini termasuk pula faktor-faktor sosial yang bisa memengaruhi pengarang sebagai perorangan disamping mempengaruhi isi karya sastranya.

2)Sastra sebagai cermin masyarakat, yakni sampai sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai mencerminkan keadaan masyarakat. Pengertian cermin di sini yaitu:

a) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis sebab banyak ciri-ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis

b)

pemilihan dan penampilan faktor sosial dalam karyanya.

(34)

d) sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya sebagai cermin masyarakat.

3)Fungsi sosial sastra

Dalam hal ini telah sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan sampai berapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial serta sampai berapa jauh sastra dapat berfungsi, sehingga penghibur dan pendidikan bagi masyarakat pembaca.

b. Permasalahan Pokok Sosiologi Sastra

Nyoman Kunta Ratna (2007; 268) memaparkan tiga permasalahan pokok sosiologi sastra yaitu hubungan antara sastra dengan masyarakat, bagaimana hubungan tersebut terjadi dan bagaimana akibat-akibat yang ditimbulkan, baik terhadap karya sastra maupun masyarakat itu sendiri. Sastra dan masyarakat pada gilirannya berada dalam kaitan dialektis bukan monolitis. Sastra lebih banyak ditentukan oleh masyarakat daripada menentukannya. Hubungan timbal balik inilah yang justru menjadikan karya sastra memiliki kualitas dinamis sebab karya sastra secara terus menerus dihadapkan dengan situasi yang baru dan dengan sendirinya harus menciptakan struktur yang baru.

Labih lanjut Nyoman Kunta Ratna (2007; 277) membagi masyarakat sebagai masalah pokok sosiologi sastra ke dalam dua macam yaitu:

a) Masyarakat yang merupakan latar belakang produksi karya.

(35)

b) Masyarakat yang terkandung dalam karya

Masyarakat ini dihuni oleh (para) pembaca. Sesuai dengan perkembangan teori sastra, masyarakat pembaca yang dianggap sebagai dimensi karya yang mengandung makna paling kaya. Masyarakat pembacalah yang memungkinkan para pembaca berhasil untuk memberikan pemahaman yang berbeda-beda terhadap karya yang sama.

c. Lapisan Sosial Masyarakat

Setiap masyarakat senantiasa mempunyai kedudukan tertentu dalam masyarakat itu sendiri. Kedudukan-kedudukan ini dinilai oleh masyarakat umum berkenaan dengan suatu skala tinggi rendah, sehingga ada kedudukan yang dianggap tinggi dan ada yang dianggap rendah. Suatu masyarakat yang lebih menghargai kekayaan material daripada kehormatan maka mereka yang lebih banyak mempunyai kekayaan material akan menempati kekayaan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pihak-pihak lain. Gejala seperti ini menimbulkan lapisan sosial dalam masyarakat yang merupakan pembeda posisi sesorang atau suatu kelompok dalam kedudukan yang berbeda.

Menurut Damayati Mahmud dalam Nuraini (2007: 19). Lapisan sosial itu mempunyai dua pengertian yakni; 1) lapisan sosial yakni tataran atau tingkatan status dan peranan yang relatif bersifat tetap di dalam suatu sistem lapisan sosial, tataran disini menunjuk adanya perbedaan hak, kehormatan, pengaruh, dan kekuasaan; 2) lapisan sosial adalah kelas sosial atau sistem kasta.

(36)

Menurut Soerjono Soekanto dalam Nuraini (2007; 20) ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk menggolongkan anggota-anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan sosial adalah:

1) Ukuran kekayaan. Anggota masyarakat yang dimiliki kekayaan paling banyak termasuk dalam lapisan atas. Kekayaan suatu anggota masyarakat dapat dilihat dari bentuk rumah, kendaraan yang dimiliki, cara menggunakan pakaian dan bahan pakaiannya, kebiasaan untuk berbelanja barang-barang mahal dan sebagainya.

2) Ukuran kekuasaan. Anggota masyarakat yang memiliki kekuasaan atau wewenang terbesar, menempati lapisan atas.

3) Ukuran kehormatan. Ukuran kehormatan tidak dipengaruhi oleh ukuran kekayaan dan kekuasaan. Seseorang yang paling disegani dan dihormat mendapat tempat yang teratas. Hal ini dapat dilihat pada masyarakat yang masih memegang nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Biasanya orang yang dihormati adalah golongan tua dan mereka yang telah berjasa.

4) Ukuran ilmu pengetahuan. Ukuran ini dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan, akan tetapi ukuran ini terkadang menyebabkan akibat-akibat negatif. Hal ini dikarenakan ternyata bukan mutu ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran, tetapi gelar kesarjanaannya, sehingga memacu seseorang untuk mendapat gelar waktu tidak halal.

(37)

Umar Junus dalam Nuraini (2007: 23) menyebutkan pendekatan strukturalisme genetik merupakan pendekatan yang paling kuat. Hal ini didasari oleh suatu teori dan tidak ada pada pendekatan lain. Pendekatan ini akan mengungkapkan pandangan dunia dari pengarang yang mencerminkan pandangan dunia kelompoknya.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa telaah sosiologi sastra dengan pendekatan strukturalisme genetik adalah pendekatan untuk mengkaji karya sastra untuk mempertimbangkan faktor-faktor sosial yang melahirkan karya sastra sesuai dengan karya sastra sesuai dengan waktu dan tempat dari karya yang dihasilkan tersebut. Pendekatan strukturalisme genetik berusaha mencari perpaduan antara struktur teks dengan konteks. Oleh karena itu telaah sosiologi sastra dengan pendekatan stukturalisme genetik secara prinsip memertimbangkan faktor sosial yang melahirkan karya sastra itu dan mengkaji struktur teksnya yang berhubungan dengan kondisi sosial zamannya.

3. Gaya Bahasa

a. Pengertian Gaya Bahasa

Gaya bahasa sebagai bagian dari sarana penulisan kreatif termasuk salah satu aspek kajian yang cukup bermanfaat untuk ditelaah. Salah satu alasannya karena gaya bahasa merupakan cara pengungkapan yang khas atau spesifik bagi seorang penulis yang dapat membedakannya dari penulis yang lain.

(38)

tetapi, secara tradisional gaya bahasa selalu ditautkan dengan teks sastra khususnya teks sastra tertulis. Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat, majas dan citraan, pola rima, mantra yang digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam sebuah karya sastra.

Jorgense dan Phillips (dalam Nyoman Kuntha Ratna, 2009: 84) mengatakan bahwa gaya bahasa bukan sekedar saluran tetapi alat yang menggerakkan sekaligus menyusun kembali dunia sosial itu sendiri. Lebih jauh menurut Simpson (dalam Nyoman Kuntha Ratna, 2009: 84) gaya bahasa baik bagi penulis maupun pembaca berfungsi untuk mengeksplorasi kemampuan bahasa khususnya bahasa yang digunakan. Stilistika dengan demikian memperkaya cara berpikir, cara pemahaman, dan cara perolehan terhadap substansi kultural pada umumnya.

Retorika merupakan penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis yang diperoleh melalui kreativitas pengungkapan bahasa, yaitu bagaimana seorang pengarang menyiasati bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasannya. Pengungkapan bahasa dalam sastra mencerminkan sikap dan perasaan pengarang yang dapat digunakan untuk mempengaruhi sikap dan perasaan pembaca. Untuk itu bentuk pengungkapan bahasa harus efektif dan mampu mendukung gagasan secara tepat yang memiliki segi estetis sebagai sebuah karya. Kekhasan, ketepatan, dan kebaruan pemilihan bentuk-bentuk pengungkapan yang berasal dari imajinasi dan kreativitas pengarang dalam pengungkapan bahasa dan gagasan sangat menentukan keefektifan wacana atau karya yang dihasilkan. Hal ini bisa dikatakan bahwa bahasa akan menentukan nilai kesastraan yang akan diciptakan.

b. Jenis-jenis Gaya Bahasa

(39)

apa fungsi penggunaan gaya bahasa tersebut dalam karya sastra. Gaya bahasa yang digunakan oleh sastrawan meskipun tidaklah terlalu luar biasa namun unik karena selain dekat dengan watak dan jiwa penyair juga membuat bahasa digunakannya berbeda dalam makna dan kemesraannya. Dengan demikian gaya lebih merupakan pembawaan pribadi.

Gorys Keraf (2004: 114) mengategorikan gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, yaitu: (1) gaya bahasa klimaks; (2) gaya bahasa antiklimaks; (3) gaya bahasa paralelisme; (4) gaya bahasa antitesis; (5) gaya bahasa repetisi (epizeukis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, dan anadiplosis). Gorys Keraf (2004: 115) juga mengkategorikan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna, gaya bahasa tersebut meliputi: (1) gaya bahasa retoris (aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis, apostrof, asidenton, polisidenton, kiasmus, elipsis, eufimisme, litotes, histeron, prosteron, pleonasme, tautologi, perifrasis, prolepsis, erotesis, silepsis, zeugma, koreksio, hiperbola, paradoks, dan oksimoron); (2) gaya bahasa kiasan (simile, metafora, alegori, parabel, fabel, personifikasi, alusi, sinisme, sarkasme, satire, inuendo, dan antifrasis).

(40)

c. Gaya Bahasa Perbandingan

Rachmad Joko Pradopo (2005: 62) berpendapat bahwa gaya bahasa perbandingan adalah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan yang lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, dan kata-kata pembanding lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa perbandingan adalah gaya bahasa yang mengandung maksud membandingkan dua hal yang dianggap mirip atau mempunyai persamaan sifat (bentuk) dari dua hal yang dianggap sama.

1) Simile

Gorys Keraf (2004;138) berpendapat bahwa simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit/langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Sementara itu simile atau perumpamaan dapat diartikan suatu majas membandingkan dua hal/benda dengan menggunakan kata penghubung. Sementara itu, Burhan Nurgiyantoro (2005: 300) berpendapat bahwa simile adalah perbandingan langsung dan eksplisit dengan mempergunakan kata-kata tugas seperti, bagai, bagaikan, laksana, mirip, dan sebagainya. Pendapat tersebut menyiratkan bahwa simile merupakan suatu gaya bahasa yang berusaha membandingkan sesuatu dengan hal lain yang dianggap mempunyai sifat sama atau mempunyai kemiripan.

2) Metafora

(41)

menganggap metafora sebagai majas, karena bila dilihat proses pembentukannya, banyak jenis majas lainnya yang dapat dikelompokkan ke dalam jenis majas ini. (Okke Kusuma Sumantri Zaimar)

3) Personifikasi

Gorys Keraf (2004: 140) berpendapat bahwa personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan. Nurgiyantoro (2005: 299) mengemukakan bahwa personifikasi merupakan gaya bahasa yang memberi sifat-sifat seperti yang dimiliki manusia sehingga dapat bersikap dan bertingkah laku sebagaimana halnya manusia. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa personifikasi adalah gaya bahasa yang memperamalkan benda-benda mati seolah-olah hidup atau mempunyai sifat kemanusiaan.

4) Alegori

Gorys Keraf (2004: 140) berpendapat bahwa alegori adalah gaya bahasa perbandingan yang bertautan satu dengan yang lainnya dalam kesatuan yang utuh. Alegori adalah cerita singkat yang mengandung erupakan gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan perlambang mengandung nilai-nilai moral. Gaya bahasa alegori dapat disimpulkan kata yang digunakan sebagai lambang yang untuk pendidikan serta mempunyai kesatuan yang utuh. 5) Antitesis

(42)

gagasan-gagasan yang bertentangan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa dalam antitesis terdapat pemakaian kata-kata yang berantonim. 6) Pleonasme/tautologi

Gorys Keraf (2004: 133) berpendapat bahwa pleonasme adalah semacam acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu gagasan atau pikiran. Apabila kata yang berlebihan tersebut dihilangkan maka tidak mengubah makna/ arti. Sedangkan tautologi adalah sarana retorika yang menyatakan sesuatu secara berulang-ulang dengan kata-kata berbeda, namun mempunyai makna yang sama dengan tujuan supaya diperoleh maksud yang lebih mendalam.

Pada dasarnya pleonasme dan tautologi adalah acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan. Walaupun secara praktis kedua istilah itu disamakan saja, namun ada yang ingin membedakan keduanya. Suatu acuan disebut pleonasme bila kata yang berlebihan dihilangkan, artinya tetap utuh. Sebaliknya, acuan itu disebut tautologi kalau kata yang berlebihan itu sebenarnya mengandung perulangan dari sebuah kata yang lain (Gorys Keraf, 2004: 133).

7) Perifrasis

Gorys Keraf (2004: 134) berpendapat bahwa perifrasis adalah gaya yang mempergunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan. Kata-kata yang berlebihan itu sebenarnya dapat digantikan dengan satu Kata-kata saja.

8) Prolepsis

Gorys Keraf (2004

semacam gaya bahasa di mana orang mempergunakan lebih dahulu kata-kata atau sebuah kata sebelum peristiwa atau gagasan yang

9) Koreksio Gorys

(43)

dengan sengaja sebagai ekspresi untuk menarik perhatian dan membangkitkan sikap kritis pembaca/pendengar.

d. Gaya Bahasa Pertentangan

Gaya bahasa pertentangan adalah gaya bahasa yang maknanya bertentangan dengan kata-kata yang ada.

1) Hiperbola

Gorys Keraf (2004: 135) berpendapat bahwa hiperbola yaitu semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dengan membesar-besarkan suatu hal. Sementara itu, menurut Burhan Nurgiyantoro (2005: 300) hiperbola adalah gaya bahasa yang secara penuturannya bertujuan menekankan maksud dengan sengaja melebih-lebihkan. Dari dua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebihan atau membesar-besarkan sesuatu dari hal yang sebenarannya. Kadang-kadang ungkapan ini tersa berisi bualan namun bisa juga mencerminkan kerendahhatian. Dari pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebihan dari kenyataan.

2) Litotes

Gorys Keraf (2004: 132) berpendapat bahwa litotes adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang dikurangi (dikecilkan) dari makna sebenarnya. Sementara itu, menurut Haris Sumadiria (2006: 154) litotes adalah majas yang dalam pengungkapannya menyatakan sesuatu yang positif dengan bentuk yang negatif atau bentuk yang bertentangan . dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa litotes adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan dikurangi (dikecilkan) dari makna yang sebenarnya.

3) Oksimoron

(44)

Oksimoron (okys=tajam, moros=gila, tolol) adalah acuan yang berusaha untuk menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek bertentangan.Atau dapat juga dikatakan, oksimoron adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan dengan mempergunakan kata-kata yang berlawanan dalam frasa yang sama, dan sebab itu sifatnya lebih padat dan tajam dari (Gorys Keraf, 2004: 136).

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa oksimoron adalah gaya bahasa yang menyatakan dua hal yang bagian-bagiannya saling bertentangan.

4) Pronomasia atau pun

Gorys Keraf (2004: 145) berpendapat pronomasia atau pun adalah kiasan yang menggunakan kemiripan bunyi, tetapi terdapat perbedaan dalam maknanya.

5) Silepsis dan Zeugma

Silepsis yaitu gaya yang menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama.

Zeugma, yaitu kata yang dipakai untuk membawahi kedua kata berikutnya yang sebenarnya hanya cocok untuk salah satu.

Silepsis dan zeugma adalah gaya di mana orang mempergunakan dua konstruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama (Gorys Keraf, 2004: 135).

6) Satire

(45)

7) Inuedo

Gorys Keraf (2004: 144) berpendapat bahwa inuedo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Inuedo menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung dan sering tampaknya tidak menyakiti hati kalau dilihat sepintas.

8) Antifrasis

Gorys Keraf (2004: 132) menjelaskan bahwa antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya yang bisa saja dianggap ironi sendiri atau kata-kata yang dipakai untuk menangkal kejahatan, roh jahat, dan sebagainya. Antifrasis dapat diketahui dengan jelas apabila pembaca atau pendengar dihadapkan pada kenyataan yang sebenarnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa antifrasis adalah gaya bahasa dengan kata-kata yang bermakna kebalikannya dengan tujuan menyindir. 9) Paradoks

Gorys Keraf (2004: 2004: 136) mengemukakan bahwa paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang ada dengan fakta-fakta yang ada. Burhan Nurgiyantoro (2005: 300) menjelaskan bahwa paradoks adalah cara penekanan penuturan yang sengaja menampilkan unsur pertentangan di dalamnya. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa paradoks adalah gaya bahasa yang kata-katanya mengandung pertentangan dengan fakta yang ada. Gaya bahasa ini terkesan kontroversial akan tetapi mengandung kebenaran. 10) Klimaks

(46)

bahwa gaya bahasa klimaks adalah gaya bahasa yang urutan penyampaiannya menunjukkan semakin meningkatnya kadar pentingnya gagasan itu.

11) Antiklimaks

Gorys Keraf (2004: 124) berpendapat bahwa antiklimaks adalah gaya bahasa yang gagasan-gagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Soedomo Hadi (2008: 2) berpendapat anti klimaks juga dapat diartikan sebagai gaya bahasa kebalikan dari klimaks. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa antiklimaks adalah gaya bahasa yang susunan ungkapannya disusun makin lama makin menurun, Antiklimaks adalah gaya bahasa yang menyatakan beberapa hal berurutan semakin lama semakin menurun. Burhan Nurgiyantoro (2005: 303) berpendapat bahwa gaya bahasa antiklimaks adalah gaya bahasa yang penyampaiannya menunjukkan semakin mengendurnya kadar pentingnya gagasan itu. Dengan demikian dapat dikatakan antiklimaks merupakan antonim dari klimaks.

Gaya bahasa ini justru dimulai dari puncak, makin lama makin ke bawah. Antiklimaks dihasilkan oleh kalimat yang berstruktur mengendur. Antiklimaks sebagai gaya bahasa merupakan suatu acuan yang gagasan-gagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Antiklimaks sering kurang efektif karena gagasan yang penting ditempatkan pada awala kalimat, sehingga pembaca atau pendengar tidak lagi memberi perhatian pada bagian-bagian berikutnya dalam kalimat itu. (Gorys Keraf, 2004: 125).

12) Aposrof

Aposrof adalah gaya bahasa yang berbentuk pengalihan lawan bicara kepada objek yang tidak bisa bicara tetapi digunakan sebagai pengganti tokoh yang tidak hadir.

(47)

orator secara tiba-tiba mengarahkan pembicaraannya langsung kepada sesuatu yang tidak hadir: kepada mereka yang sudah meninggal, atau kepada barang atau objek khayalan atau sesuatu yang abstrak, sehingga tampaknya ia tidak berbicara kepada hadirin (Gorys Keraf, 2004: 131).

13) Anasrof

Gorys Keraf (2004: 130) mengemukakan anasrof adalah gaya bahasa dengan membalik susunan kata yang biasa dalam kalimat. Gaya bahasa berupa pembalikan dari pola yang lazim biasanya dari subjek-predikat menjadi subjek-predikat subjek.

14) Apofasis

Apofasis merupakan gaya untuk menegaskan sesuatu, tapi tampaknya menyangkal misalnya kelihatannya menolak tetapi sebenarnya menerima, kelihannya memuji tetapi sebenarnya mengejek, nampaknya membenarkan tetapi sebenarnya menyalahkan

Apofasis atau disebut juga preterisio merupakan sebuah gaya di mana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal. Berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu. Berpura-pura melindungi atau menyembunyikan sesuatu, tetapi sebenarnya memamerkannya (Gorys Keraf, 2004: 130).

15) Hipalase

Gorys Keraf (2004: 142) berpendapat bahwa hipalase adalah semacam gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata tertentu untuk menerangkan sebuah kata yag seharusnya dikenakan pada sebuah kata yang lain. Maksud pendapat di atas adalah hipalase merupakan gaya bahasa yang menerangkan sebuah kata tetapi sebenarnya kata tersebut untuk menjelaskan kata yang lain.

16) Ironi

(48)

sebenarnya dengan tujuan untuk menyindir. Sementara itu, Gorys Keraf (2004:143) mengemukakan bahwa ironi adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ironi adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu secara bertentangan dengan maksud mengejek. 17) Sinisme

Gorys Keraf (2004; 143) berpendapat bahwa sinisme adalah gaya bahasa sebagai suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikglasan dan ketulusan hati. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sinisme adalah gaya bahasa yang bertujuan menyindir sesuatu secara kasar.

18) Sarkasme

Gorys Keraf (2004: 143) berpendapat bahwa sarkasme adalah suatu acuan yang lebih kasar dari ironi yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir. Jadi yang dimaksud dengan sarkasme adalah gaya bahasa penyindiran dengan menggunakan kiata-kata yang kasar dan keras.

19) Histeron Proteron Gorys

adalah gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari sesuatu yang logis atau sesuatu yang wajar. Misalnya menempatkan sesuatu yang terjadi

upaya untuk menumbuhkan sikap kritis seseorang.

e. Gaya Bahasa Pertautan

1) Metonemia

(49)

sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa metonomia adalah penamaan terhadap suatu benda dengan menggunakan nama yang sudah terkenal atau melekat pada suatu benta tersebut.

2) Sinekdoke

Gorys Keraf (2004: 142) berpendapat bahwa sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari suatu hal untuk menyatakan keseluruhan atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sinekdoke adalah gaya bahasa yang menggunakan nama sebagian untuk seluruhnya atau sebaliknya.

3) Alusi

Gorys Keraf (2004: 141) berpendapat bahwa alusi adalah acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan antar orang, tempat, atau peristiwa. Dari pendapat di tersebut dapat disimpulkan bahwa alusi adalah gaya bahasa yang menunjuk sesuatu secara tidak langsung kesamaan antara orang, peristiwa atau tempat.

4) Eufemisme

Eufimisme adalah gaya bahasa dengan acuan berupa ungkapan yang tidak menyinggung perasaan untuk menggantikan acuan yang dirasakan menghina, menyinggung. Dengan penggunaan gaya bahasa ini diharapkan kalimat yang diujarkan tidak terasa tajam bagi yang menerima kalimat itu.

Kata eufimisme atau eufimismus diturunkan dari kata Yunani

euphemizein - kata dengan arti

(50)

Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa eufemisme adalah gaya bahasa yang berusaha menggunakan ungkapan-ungkapan lain dengan maksud memperhalus.

5) Eponim

Gorys Keraf (2004: 141) menjelaskan bahwa eponim adalah suatu gaya bahasa di mana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa eponim adalah pemakaian nama seseorang yang dihubungkan berdasarkan sifat yang sudah melekat padanya.

6) Epitet

Gorys Keraf (2004: 141) berpendapat bahwa epitet adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal. Keterangan itu adalah suatu frasa deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama seseorang atau suatu barang.

7) Antonomasia

Gorys Keraf (2004: 142) berpendapat antonomasia adalah gaya bahasa berupa penyebutan gelar resmi atau jabatan untuk menggantikan nama diri. Gelar resmi tersebut cukup terkenal dimasyarakat.

8) Erotesis

Gorys Keraf (2004: 134) berpendapat erotesis adalah pertanyaan dengan tujuan mencapai efek mendalam dan tidak menghendaki jawaban. Gaya ini biasanya digunakan sebagai alat yang efektif oleh para orator.

9) Paralelisme

(51)

Kusumawati 2010: 26) paralelisme adalah gaya bahasa pengulangan seperti repetisi yang khusus terdapat dalam puisi, terdiri dari anafora (pengulangan pada awal kalimat) dan epidofora (pengulangan pada akhir kalimat).

10)Elipsis

Elipsis adalah penghilangan satu atau beberapa unsur kalimat, yang dalam susunan normal unsur tersebut seharusnya ada. Gorys Keraf (2004:132) berpendapat elipsis adalah gaya yang menghilangkan unsur kalimat yang dapat dengan mudah ditafsirkan pembaca atau pendengar. Pemakaian gaya bahasa ini menghasilkan kalimat rumpang atau kalimat yang mengandung unsur yang sengaja disembunyikan. 11)Asidenton

Asindeton adalah pengungkapan suatu kalimat atau wacana tanpa kata penghubung. Gorys Keraf (2004: 131) berpendapat bahwa asindeton adalah gaya yang berupa acuan yang bersifat padat. Beberapa kata, frase, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung, melainkan hanya menggunakan koma. Haris Sumandiria menambahkan, bahwa gaya bahasa ini memadatkan beberapa frasa, klausa sederajat yang tidak dapat disambungkan.

12)Polisindenton

Polisindeton adalah pengungkapan suatu kalimat atau wacana, dihubungkan dengan kata penghubung. Gorys Keraf (2004: 131) berpendapat bahwa polisindeton adalah gaya bahasa yang merupakan kebalikan asidenton. Kata, frase dan klausa yang berurutan dihubungkan dengan kata sambung. Dalam hal ini polisidenton lebih mudah untuk diklasifikasikan daripada asidenton dengan kata sambung dan bentuk tersebut hanya dipisahkaan dengan koma saja.

f. Gaya Bahasa Perulangan

1) Aliterasi

(52)

2) alitersi juga dapar diartikan sebagai pengulangan bunyi konsonan yang sama. Jadi aliterasi adalah gaya bahasa yang mengulang kata pertama yang diulang lagi pada kata berikutnya.

2) Asosiasi

Gorys Keraf (2004: 130) berpendapat Asonansi merupakan gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama untuk memperolah efek penekanan atau keindahan. Asonansi akan tampak bergelora pada karya-karya sejenis pantun yang mengutamakan perulangan bunyi vokal yang sama pada akhir setiap bait pertama dan ketiga, lalu ditegaskan maknanya pada akhir bait kedua dan akhir bait keempat. Haris Sumandiria menambahkan bahwa asonansi merupakan pengulangan pada vokal yang sama (2006: 172). Maulana (2008: 2) berpendapat asosiasi adalah gaya bahasa perbandingan yang bersifat memperbandingkan sesuatu dengan keadaan lain yang sesuai dengan keadaan yang dilukiskan. Pendapat tersebut menyiratkan bahwa asosiasi adalah gaya bahasa yang berusaha membandingkan sesuatu dengan hal lain yang sesuai dengan keadaan yang digambarkan.

3) Kiasmus

Gorys Keraf (2004: 132) berpendapat kiasmus (chiasmus) merupakan gaya bahasa yang terdiri dari dua bagian, yaitu frasa atau klausa yang bersifat berimbang dan dipertentangkan tetapi susunan itu dibalik bila dibandingkan dengan frasa atau klausa lainnya. Ada sesuatu yang kontras disini yang membedakan keadaannya.

4) Epizeukis

(53)

perulangan kata secara langsung dan berturut-turut sebagai bentuk penegasan.

5) Tautotes

Gorys Keraf (2004: 127) berpendapat bahwa tautotes adalah gaya bahasa perulangan atau repetisi atas sebuah kata berulang-ulang dalam sebuah konstruksi. Tautotes adalah salah satu jenis gaya bahasa bersajak tiktak, saling lempar, memberi dan menerima, subjek jadi objek, objek jadi subjek, dan begitu seterusnya. Ada kesan bermain dengan kata-kata padahal tidak karena pada setiap pengucapan subjeknya berbeda dari apa yang sudah disebutkan sebelumnya. 6) Anafora

Gorys Keraf (2004: 127) berpendapat bahwa anafora adalah repetisi yang berupa perulangan kata pertama pada setiap garis. Anafora merupakan repetisi yang berwujud perulangan kata pertama pada tiap baris kalimat berikutnya. Anafora adalah jenis gaya bahasa yang lebih banyak memberi penekanan pada frasa (kelompok kata) yang diletakkan pada awal kalimat, untuk diulang sampai beberapa kali tetapi dengan objek yang berbeda.

7) Episrofa

Gorys Keraf (2004: 128) berpendapat bahwa epistofa semacam gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat berturut-turut.

8) Simploke

(54)

9) Mesodiplosis

Gorys Keraf (2004: 128) berpendapat bahwa mesodiplosis adalah repetisi di tengah-tengah baris atau beberapa kalimat berurutan. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa mesodiplosis adalah gaya bahasa repetisi yang mengulang kata di tengah-tengah baris atau kalimat.

10)Epanalipsis

Gorys Keraf (2004: 128) berpendapat bahwa epanalipsis adalah pengulangan yang berwujud kata terakhir dari baris, klausa, atau kalimat mengulang kata pertama. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa epanalipsis adalah pengulangan kata pertama untuk ditempatkan pada akhir baris dari suatu kalimat.

11)Anadiplosis

Gorys Keraf (2004: 128) berpendapat bahwa anadiplosis adalah kata atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama dari klausa atau kalimat berikutnya.

B. Resepsi Satra

Nyoman Kunta Ratna (2008:165) mengemukakan secara definitif resepsi sastra berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris) yang berarti sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks atau cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respons terhadapnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Rahmad Joko Pradopo (2007:206) bahwa resepsi sastra adalah estetika (ilmu keindahan) yang mengacu kepada tanggapan atau resepsi pembaca karya sastra dari waktu ke waktu.

(55)

meresepsi sebuah karya sastra bukan hanya makna tunggal tetapi memiliki makna lain yang akan memperkaya karya sastra itu.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa resepsi sastra merupakan penelitian yang menfokuskan perhatian kepada pembaca, yaitu bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya sastra, sehingga memberikan reaksi terhadap teks tersebut.

Resepsi sastra dimaksudkan bagaiman memberikan makna terbadap karya sastra yang dibacanya, sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya. Tanggapan itu mungkin bersifat pasif, yaitu bagaimana seorang pembaca dapat memabami karya itu atau dapat melihat hakikat estetika yang ada di dalamnya, atau mungkin juga bersifat aktif yaitu bagaimana ia merealisasikannya. Karena itu, pengertian resepsi sastra mempuyai lapangan yang luas dengan berbagai kemungkinan penggunaan. Dengan resepsi sastra terjadi suatu perubahan (besar) dalam penelitian sastra yang berbeda dari kecenderungan yang biasa selama ini. Selama ini tekanan diberikan kepada teks dan untuk kepentingan teks ini biasanya untuk pemahaman seorang peneliti mungkin saja pergi kepada penulis (teks). (Umar Junus, 1985: 1)

Resepsi sastra disebut sebagai estetika resepsi adalah estetika (ilmu keindahan) yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan atau resepsi-resepsi pembaca terhadap karya sastra. Karya sastra tidak mempunyai arti tanpa pembaca atau penikmat sastra yang menanggapinnya. Karya sastra mempunyai nilai karena ada pembaca yang menilai (Pradopo Ramat Djoko, 1995:206).

(56)

harapan merupakan interaksi antara karya sastra dan pembaca atau penikmat dan mencangkup interpretasi dalam masyarakat.

Perkembangan berikutnya seperti yang dikemukakan oleh Swingewood bahwa kendati sastra dan sosiologi mempunyai perbedaan namun sebenarnya dapat memberikan penjelasan yang bermanfaat tentang sastra. Dengan kata lain, sebagaimana konsep Rene Wellek bahwa sosiologi sastra dianggap sebagai unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik tidak hanya meliputi sosiologi melainkan juga unsur yang lain seperti ideologi, ekonomi, agama, psikologi, dan sebagainya. (wellek dan Werren, 1995: 106)

Berdasarkan pada pendapat-pendapat ahli yang ada, paling tidak secara global dapat dirumuskan bahwa sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik, baik yang didasarkan aspek kebahasaan maupun aspek makna. Estetika bahasa biasanya diungkapkan melalui aspek puitik atau poetic function (surface structure) sedang estetika makna dapat terungkap melalui aspek deep structure (Fananie Zaenudin, 2000:6).

C. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan dengan penelitian ini dilakukan oleh Fitri Wulandari (2011), mahasiswa Program Bahasa Dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata dan Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo (Kajian Intertekstualitas dan Nilai

Pendidikan). Hasil penelitian ini adalah kajian intertekstualitas dalam novel

Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata dan Orang Miskin Dilarang Sekolah

Karya Wiwid Prasetyo yaitu: tema, alur/plot, penokohan, latar, sudut pandang, dan amanat. Nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata dan Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid

Gambar

Tabel 1. Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian ................................................
Gambar 2. Skema Analisis Mengalir (Flow Model of Analysis) .....................
Gambar 1. Kerangka berpikir
Tabel: Rincian Kegiatan, Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

File AIFF merupakan format file audio standar yang digunakan untuk menyimpan data suara untuk PC dan perangkat audio elektronik lainnya, yang dikembangkan oleh

Penulis dalam hal ini mencoba untuk menganalisis isi kutipan yang terdapat dalam paragraf-paragraf inti dari setiap bab yang terdapat dalam novel Mahligai

Alternatif – alternatif strategi pemasaran yang dapat dilakukan untuk pengembangan UMKM berbasis kerajinan di Desa Kopo adalah sebagai berikut: (1) Pemilik UMKM menerapkan

Karena perubahan perilaku adalah bukan sesuatu yang dapat terjadi dengan mudah bagi kebanyakan orang, unsur lain dari teori Health Belief Model adalah masalah hambatan

[r]

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) mengetahui analisis dan perhitungan kerugian piutang jika perusahaan menggunakan metode saldo piutang dinaikan dan

Sampel dari penelitian ini adalah data rekam medik pasien luka bakar yang mengalami kontraktur dengan kriteria inklusi data pasien dengan keluhan adanya kontraktur

Telah dilakukan penelitian tentang uji sitotoksik ekstrak etanol rimpang temu hitam ( Curcuma aeruginosa Roxb.) terhadap larva udang ( Artemia salina Leach).. Ekstrak rimpang temu