1.Konsep Dukungan Sosial Keluarga 1.1. Defenisi Dukungan Sosial
King (2010) menyatakan dukungan sosial (sosial support) adalah informasi dan umpan balik dari orang lain menunjukkan bahwa seseorang
dicintai dan diperhatikan, dihargai, dan dihormati, dan dilibatkan dalam
jaringan komunikasi dan kewajiban yang timbal balik. Dukungan sosial adalah
suatu keadaan yang bermanfaat bagi individu yang diperoleh dari orang lain
yang dapat dipercaya, sehingga seseorang akan tahu bahwa ada orang lain yang
memperhatikan, menghargai dan mencintainya (Abdullah dan Amrullah,
2014).
Dukungan sosial bisa diberikan melalui beberapa cara, pertama perhatian
emosional yang diekspresikan melalui rasa suka, cinta, atau empati (Taylor, et
all., 2009). Kajian psikologi kesehatan menunjukkan bahwa hubungan yang
suportif secara sosial juga bisa meredam efek stres, membantu orang mengatasi
stres dan menambah kesehatan (Sarason & Gurung, 1997 dalam taylor, et all.,
2009).
1.2. Definisi Keluarga
Bailon dan Maglaya (1989 dalam Setiadi, 2008) menyatakan keluarga
perkawaninan dan adopsi, dalam satu rumah tangga berinteraksi satu dengan
lainnya dalam peran dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya,
keluarga dijadikan unit pelayanan karena masalah kesehatan keluarga saling
berkaitan dan saling mempengaruhi antara sesama anggota keluarga dan akan
mempengaruhi pula keluarga-keluarga yang ada disekitarnya atau dalam
konteks luas berpengaruh terhadap negara.
Keluarga merupakan sistem sosial karena terdiri dari kumpulan dua orang
atau lebih yang mempunyai peran sosial yang berbeda dengan ciri saling
berhubungan dan tergantung antar individu (Suprajitno, 2004). Dalam
Friedman (1998) menyatakan bahwa keluarga menunjukkan kepada dua orang
atau lebih yang disatukan oleh ikatan-ikatan kebersamaan dan ikatan emosional
dan yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai bagian dari keluarga.
1.3. Dukungan Sosial Keluarga.
Friedman (1998) menyatakan bahwa dukungan sosial keluarga adalah
sebagai suatu proses hubungan antara keluarga dengan lingkungan sosial.
Dalam semua tahap, dukungan sosial keluarga menjadikan keluarga mampu
berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal, sehingga akan meningkatkan
kesehatan dan adaptasi mereka dalam kehidupan.
Dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan-dukungan sosial
yang dipandang oleh anggota keluarga sebagai sesuatu yang dapat diakses atau
diadakan untuk keluarga (dukungan sosial bisa atau tidak digunakan, tetapi
siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan). Dukungan sosial
keluarga dapat berupa dukungan sosial keluarga internal, seperti dukungan dari
suami/ istri atau dukungan dari saudara kandung, sedangkan dukungan sosial
eksternal bagi keluarga inti (dalam jaringan sosial keluarga), Sebuah jaringan
sosial keluarga secara sederhana adalah jaringan kerja sosial keluarga inti itu
sendiri (Friedman, 1998).
Wade dan Travis (2007) menyatakan dukungan sosial dari teman, keluarga
dan oranglain sangat berperan dalam mempertahankan kesehatan dan
kesejahteraan emosional, Orang yang memiliki teman- teman baik, kontak
sosial yang luas, dan jejaring dengan anggota masyarakat lain memiliki
kesehatan yang lebih baik dan berumur lebih panjang dibandingkan dengan
mereka yang tidak memiliknya.
1.4. Bentuk Dukungan Sosial Keluarga.
Dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan sosial keluarga internal,
seperti dukungan dari suami/ istri atau dukungan dari saudara kandung. Smet
(1994 dalam Setiadi, 2008) menyatakan, setiap bentuk dukungan sosial
keluarga mempunyai ciri-ciri antara lain:
a. Informatif yaitu bantuan informasi yang disediakan agar dapat digunakan
oleh seseorang dalam menanggulangi persoalan-persoalan yang dihadapi,
meliputi pemberian nasehat pengarahan, ide-ide atau informasi lainnya
yang dibutuhkan dan informasi ini dapat disampaikan kepada orang lain
b. Perhatian emosional, setiap orang pasti membutuhkan bantuan afeksi dari
orang lain, dukungan ini berupa dukungan simpatik, empati, cinta,
kepercayaan dan penghargaan. Dengan demikian seseorang yang
menghadapi persoalan merasa dirinya tidak menanggung beban sendiri
tetapi masih ada orang lain yang memperhatikan, mau mendengar segala
keluhan, bersimpati dan empati terhadap persoalan yang dihadapinya,
bahkan mau membantu memecahkan masalah yang dihadapinya.
c. Bantuan instrumental, bantuan bentuk ini bertujuan untuk mempermudah
seseorang dalam melakukan aktifitasnya berkaitan dengan
persoalan-persoalan yang dihadapi, misalnya dengan menyediakan peralatan lengkap
dan memadai bagi penderita, menyediakan obat-obatan yang dibutuhkan
dan lain-lain.
d. Bantuan penilaian, yaitu suatu bentuk penghargaan yang diberikan
seseorang pada pihak lain berdasarkan kondisi sebenarnya dari penderita.
Penilaian ini bisa positif dan negatif yang mana pengaruhnya sangat
berarti bagi seseorang. Berkaitan dengan dukungan sosial keluarga maka
penilaian yang sangat membantu adalah penilaian positif.
2.Konsep Stres 2.1. Definisi Stres
Stres adalah pengalaman emosi negatif yang diiringi dengan perubahan
mengubah stresor atau dengan mengakomodasi efeknya (Baum, 1990 dalam
Taylor, et all., 2009).
Stres adalah isu kesehatan utama karena ia menyebabkan tekanan
psikologis dan dapat berpengaruh buruk bagi kesehatan, tetapi stres tidak
tergantung dalam situasi, namun merupakan konsekuensi dari penilaian
seseorang atas situasi. Kejadian yang negatif, tidak dapat dikontrol, ambigu,
dan tidak dapat dipecahkan adalah kejadian yang paling mungkin dianggap
sebagai penyebab stres (Taylor, et all., 2009).
Jadi dapat disimpulkan bahwa stres adalah suatu respon tubuh terhadap
tekanan yang berasal dari luar maupun diri sendiri yang dapat menyebabkan
terganggunya sistem tubuh baik secara fisik, psikologis, sosial maupun
spiritual.
2.2. Faktor- Faktor Penyebab Terjadinya Stres
Hal-hal yang menyebabkan stres disebut dengan stresor. Bentuk stresor ini
dapat terjadi baik dari kondisi tubuh, pikiran maupun lingkungan disekitar.
Stresor dapat berasal dari berbagai sumber, baik dari kondisi fisik, psikologis
maupun sosial dan juga muncul pada situasi kerja, dirumah, dalam kehidupan
sosial, dan lingkungan luar lainnya (Patel, 1996 dalam Nasir dan Muhith,
2.3. Respon Terhadap Stres.
2.3.1. Respon Fisiologis.
Menurut Selye (1976 dalam Potter & Perry, 2005) menyatakan
bahwa terdapat dua respon fisiologis terhadap stres, sindrom adaptasi local
(LAS) dan sindrom adaptasi umum (GAS). LAS adalah respon dari
jaringan, organ, atau bagian tubuh terhadap stres karena trauma, penyakit,
atau perubahan fisiologis lainnya, Tubuh menghasilkan banyak respon
setempat terhadap stres. Respon setempat ini termasuk pembekuan darah,
penyembuhan luka, akomodasi mata terhadap cahaya, dan respon terhadap
tekanan. Ada beberapa karakteristik LAS yaitu, respon yang terjadi adalah
setempat (tidak melibatkan seluruh sistem tubuh), responnya adaptif
(stresor di perlukan untuk menstimulasinya), jangka pendek (tidak terdapat
terus menerus) dan restoratif (LAS membantu dalam memulihkan
hemeostasis bagian tubuh),
GAS adalah respon pertahanan dari keseluruhan tubuh terhadap
stres dan respon fisiologis dari seluruh tubuh terhadap stres, respon ini
melibatkan beberapa sistem tubuh, terutama sistem saraf otonom dan
sistem endokrin (Selye, 1976 dalam Potter & Perry, 2005). Respon tubuh
terhadap stimulus apapun yang mengakibatkan stres terjadi dalam tiga
a. Tahap pertama yaitu reaksi peringatan yang termasuk disini adalah
efek aktivasi sistem saraf otonom dan mempunyai karakteristik
adanya penurunan resistensi tubuh terhadap stres.
b. Tahap kedua resistensi dimana hipofisis terus mengeluarkan
ACTH, yang kemudian merangsang korteks adrenal untuk
mensekresi glukokortikoid, yang penting untuk resistensi terhadap
stres karena glukokortikoid merangsang konversi lemak dan
protein menjadi glukosa yang menghasilkan energi untuk
mengatasi stres.
c. Tahap ketiga yaitu tahap kelelahan dimana ketika stres yang
khusus tersebut terus berlanjut, kemampuan tubuh untuk
menahannya dan untuk menghindari stres yang lain pada akhirnya
akan gagal.
2.3.2. Respon Psikologis.
Potter & Perry (2005) menyatakan bahwa ketika seseorang terpajan
pada stresor, maka kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan darah
terganggu. Gangguan atau ancaman ini, baik yang aktual atau yang di
serap, menimbulkan frustasi, ansietas, dan ketegangan. Perilaku adaptif
psikologi individu membantu kemampuan seseorang untuk menghadapi
stresor.
Hasil riset Lazarus terhadap stres psikologis merupakan model
menerima stres (Lazarus 1966 dalam Niven 2002). Potter & Perry (2005)
menyatakan bahwa perilaku adaptif psikologis disebut juga sebagai
mekanisme koping. Mekanisme ini dapat berorientasi pada tugas, yang
mencakup penggunaan tehnik pemecahan masalah secara langsung untuk
menghadapi ancaman, atau dapat juga mekanisme pertahanan ego yang
tujuannya adalah untuk mengatur distres emosional dan dengan demikian
memberikan perlindungan individu terhadap ansietas dan stres.
Mekanisme pertahanan ego adalah metode koping terhadap stres secara
tidak langsung.
2.4. Proses Adaptasi Terhadap Stres.
2.4.1. Indikator Fisiologis
Stres dapat terlihat secara objektif, lebih mudah diidentifikasi dan secara umum dapat diamati atau diukur. Tanda vital biasa nya meningkat,
dan klien mungkin tampak gelisah dan tidak mampu untuk beristirahat
atau berkonsentrasi. Indikator ini dapat timbul sepanjang tahap stres.
Hubungan antara stres psikologis dan penyakit sering disebut interaksi
pikiran tubuh. Riset menunjukkan bahwa stres dapat mempengaruhi
penyakit dan pola penyakit. Situasi stres ringan biasanya tidak
mengakibatkan kerusakan fisiologis kronis, tetapi stres sedang dan berat
dapat menimbulkan risiko penyakit medis atau memburuknya penyakit
a. Situasi stres ringan adalah stresor yang dihadapi setiap orang
secara teratur, seperti terlalu banyak tidur, kemacetan lalu lintas,
kritikan dari atasan, situasi seperti ini biasa nya berlangsung
beberapa menit atau jam.
b. Situasi stres sedang, berlangsung lebih lama dari beberapa jam
sampai beberapa hari. Misalnya perselisihan yang tidak
terselesaikan dengan rekan kerja, anak yang sakit, atau
ketidakhadiran yang lama dari anggota keluarga.
c. Situasi stres berat adalah situasi kronis yang dapat berlangsung
beberapa minggu sampai beberapa tahun seperti, perselisihan yang
terus menerus, kesulitan finansial yang berkepanjangan, dan
penyakit fisik jangka panjang. Makin sering dan semakin lama nya
situasi stres maka makin tinggi risiko kesehatan yang di timbulkan
(Wiebe & Williams, 1992 dalam Potter & Perry, 2005)
2.4.2. Indikator Perkembangan
Stres yang berkepanjangan dapat mempengaruhi kemampuan
untuk menyelesaikan tugas perkembangan. Stres berkepanjangan dapat
mengganggu atau menghambat kelancaran menyelesaikan tahap
perkembangan tersebut. Dalam bentuk yang ekstrim, stres yang
2.4.3. Indikator Perilaku Emosional.
Emosi kadang dikaji secara langsung atau tidak langsung dengan
mengamati perilaku klien, stres mempengaruhi kesejahteraan emosional
dalam berbagai cara. Reaksi terhadap stres yang berkepanjangan di
tetapkan dengan memeriksa gaya hidup dan stresor klien yang terakhir,
pengalaman terdahulu dengan stresor, mekanisme koping yang berhasil di
masa lalu, fungsi peran , konsep diri dan ketabahan, yang merupakan
kombinasi dari tiga karakteristik kepribadian yang di duga menjadi media
terhadap stres.
2.4.4. Indikator Intelektual
kemampuan individu untuk mendapatkan pengetahuan atau
keterampilan baru mengalami gangguan dan penilaian koqnitif individu
terhadap yang situasi juga mungkin menjadi tidak akurat. Selain itu,
kemampuan klien untuk secara efektif memecahkan masalah menurun.
Stres intelektual akan menganggu persepsi dan kemampuan seseorang
dalam menyelesaikan masalah Abdullah & Amrullah (2014).
2.4.5. Indikator Sosial
Mengkaji stresor dan sumber koping dalam dimensi sosial
mencakup penggalian bersama klien tentang besarnya tipe dan kualitas
2.4.6. Indikator Spiritual
orang menggunakan sumber spiritual untuk mengadaptasi stres
dalam banyak cara, tetapi stres dapat juga bermanifestasi dalam dimensi
spiritual. Stres yang berat dapat mengakibatkan kemarahan kemarahan
pada Tuhan, atau individu mungkin memandang stresor sebagai hukuman.
2.5. Tanda dan Gejala Stres
Looker & Gregson (2005) membagi tanda-tanda stres menjadi dua yaitu
tanda stres yang baik (eustress) dan stres yang buruk (distres). Tanda- tanda
distress dibagi menjadi tanda fisik dan mental.
a. Tanda fisik yang dirasakan seperti merasakan detak jantung
berdebar-debar, sesak nafas, mulut, nausea, diare, sembelit, perut kembung,
ketegangan otot kegelisahan, hiperaktif, mengigit kuku, mengetok jari,
meremas-remas tangan, lelah, capek, lesu, sulit tidur, merasa sedih,
sakit kepala, sering sakit flu, berkeringan khususnya ditelapak tangan
dan bibir atas, merasa gerah, tangan dan kaki dingin, sering ingin
kencing, makan berlebihan, kehilangan selera makan, lebih banyak
merokok.
b. Tanda mental yang muncul seperti cemas, kecewa, menangis, rendah
diri, gelisah, depresi, tidak sabar, mudah tersinggung dan berlebihan,
frustasi, bosan, merasa salah, tertolak, terabaikan, kehilangan
ketertarikan pada penampilan sendiri, kesehatan, makanan, seks, harga
sulit berfikir jernih, berkonsentrasi dan membuat keputusan, rentan
berbuat kesalahan dan melakukan kecelakaan, punya banyak hal untuk
dikerjakan dan tidak tahu dimana memulainya sehingga mengakhiri
segala sesuatunya tanpa hasil dn beralih dari satu tugas ke tugas
lainnya, marah, melawan, agresif, pelupa, kurang kreatif, irrasional,
menunda-nunda pekerjaaan, dll.
Kemudian tanda-tanda eustress atau stres yang baik seperti euforik,
terangsang, tertantang, bersemangat, membantu, memahami, ramah, akrab,
mencintai, bahagia, tenang, terkontrol, yakin, kreatif, efektif, efisien, jelas dan
rasional dalam pikiran dan keputusan, bekerja keras, senang, produktif, riang,
dan sering tersenyum (Looker & Gregson , 2005)
2.6. Stres dan Penyakit
National Safety Council(2004) menyatakan bahwa hubungan antara stres dan penyakit bukan lah hal baru, selama berabad-abad para dokter telah
menduga bahwa emosi dapat mempengaruhi kesehatan seseorang secara
berarti, diawal tahun 1970-an ada dugaan bahwa dari semua penyakit dan
kesakitan yang terjadi, 60% nya berkaitan dengan stres dan berdasarkan
temuan terbaru tentang interaksi pikiran tubuh diperkirakan bahwa sebanyak
80 % dari semua masalah yang berkaitan dengan kesehatan disebabkan atau
3.Konsep Stroke 3.1. Definisi
Stroke merupakan penyakit atau gangguan fungsional otak berupa
kelumpuhan saraf (deficit neurologic) akibat terhambatnya aliran darah ke otak (Junaidi, 2011). MenurutNational Stroke Association (2007) stroke atau serangan otak terjadi ketika sebuah gumpalan darah menyumbat pembuluh
darah arteri (pembuluh darah yang membawa darah dari jantung ke seluruh
tubuh) atau pembuluh darah vena (sebuah pipa yang memindahkan darah ke
jantung dari tubuh) keduanya istirahat, mengganggu aliran darah ke otak.
Shimberg (1998) menyatakan stroke adalah hasil penyumbatan yang
tiba-tiba saja terjadi, yang disebabkan oleh penggumpalan, perdarahan, atau
penyempitan pada pembuluh darah arteri, sehingga menutup aliran darah ke
bagian-bagian otak.
3.2. Etiologi
Stroke disebabkan oleh dua masalah utama pada pembuluh darah otak
yaitu terjadinya penyumbatan pembuluh darah arteri yang mengalirkan darah
ke otak biasa disebut dengan stroke iskemik dan dikarenakan adanya
perdarahan diotak yang disebabkan oleh pecah nya pembuluh darah otak
Menurut Muttaqin (2008) penyebab terjadinya stroke antara lain:
a. Trombosis Serebral.
Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami
oklusi sehingga menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapat
menimbulkan oedema dan kongesti disekitarnya. Trombosis
biasanya terjadi pada orangtua yang sedang tidur atau bangun
tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas simpatis dan
penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemi
serebral. Tanda dan gejala neurologis sering kali memburuk pada
48 jam setelah thrombosis.
b. Hemoragi.
Perdarahan intrakranial atau intra erebral termasuk perdrahan
dalam ruang subaraknoid atau ke dalam jaringan otak sendiri.
Perdarahan ini dapat terjadi karena aterosklerosis dan hipertensi.
Akibat pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan perembesan
darah ke dalam parenkim otak yang dapat mengakibatkan
penenkanan, pergeseran dan pemisahan jaringan otak yang
berdekatan, sehingga otak akan membengkak, jaringan otak
tertekan, sehingga terjadi infark otak, edema, dan mungkin herniasi
c. Hipoksia Umum
Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia umum
adalah hipertensi yang parah, henti jantung paru-paru dan curah
jantung akibat aritmia.
d. Hipoksia Setempat.
Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia setempat
adalah spasme arteri serebral, yang disertai perdarahan subaraknoid
dan vasokontriksi arteri otak disertai sakit kepala migren.
3.3. Patofisiologi
Batticaca (2008) menyatakan, setiap kondisi yang menyebabkan
perubahan perfusi darah pada otak akan menyebabkan keadaan hipoksia,
hipoksia yang berlangsung lama ini dapat menyebabkan iskemik otak. Iskemik
yang terjadi dalam waktu yang singkat kurang dari 10-15 menit dapat
menyebabkan defisit sementara dan bukan defisit permanen, sedangkan
iskemik yang terjadi dalam waktu lama dapat menyebabkan sel mati permanen
dan mengakibatkan infark pada otak. Jika aliran darah ke tiap otak terhambat
karena trombus atau emboli, maka mulai terjadi kekurangan suplai oksigen ke
jaringan otak. Kekurangan oksigen dalam satu menit dapat menunjukkan gejala
yang dapat pulih seperti kehilangan kesadaran, sedangkan kekurangan oksigen
dalam waktu yang lebih lama menyebabkan nekrosis mikroskopik
Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak.
Suplai darah ke otak dapat berubah ( makin lambat atau cepat) pada gangguan
lokal (trombus, emboli, perdarahan, dan spasme vascular) atau karena
gangguan umum ( hipoksia karena gangguan paru dan jantung). Ateroskleroris
sering sebagai factor penyebab infark pada otak. Trombus dapat berasal dari
plak aterosklerosis, atau darah dapat beku pada area stenosis, tempat aliran
darah mengalami pelambatan atau terjadi turbulensi (Muttaqin, 2008)
Batticaca (2008) menyatakan, perdarahan intrakranial termasuk
perdarahan ke dalam ruang subarakhnoid atau kedalam jaringan otak sendir.
Hipertensi mengakibatkan timbulnya penebalan dan degenaratif pembuluh
darah yang dapat menyebabkan rupturnya arteri serebral sehingga perdarahan
menyebar dengan cepat dan menimbulkan perubahan setempat serta iritasi pada
pembuluh darah otak. Perdarahan biasanya berhenti karena pembentukan
thrombus oleh fibrin trombosit dan oleh tekanan jaringan. Setelah 3 minggu,
darah mulai direabsorbsi. Ruptur ulang merupakan resiko serius yang terjadi
sekitar 7- 10 hari setelah perdarahan pertama.
Ruptur ulang mengakibatkan terhentinya aliran darah ke bagian tertentu,
menimbulkan iskemik fokal, dan infark jaringan otak. Hal tersebut dapat
menimbulkan gegar otak dan kehilangan kesadaran, peningkatan cairan
serebrospinal (CSS), dan menyebabkan gesekan otak, perdarahan ini akan
3.4. Tanda dan Gejala.
Junaidi (2011) menyatakan serangan awal stroke umumnya berupa
gangguan kesadaran tidak sadar, bigung, sakit kepala, sulit konsentrasi,
disorientasi, atau dalam bentuk lain, gangguan kesadaran dapat muncul dalam
bentuk lain berupa perasaan ingin tidur, sulit mengingat, penglihatan kabur,
dan sebagainya.
Lumbantobing (2004) menyatakan, bila bagian- bagian dari otak ini
terganggu, misalnya suplai darah berkurang, maka tugasnya pun dapat
terganggu, bila bagian yang berpartisipasi dalam berbicara yang terganggu,
maka penderitanya menjadi tidak dapat berbicara, demikian juga halnya bila
bagian-bagian lain yang terganggu, dapat mengakibatkan penderitanya menjadi
lumpuh separuh badan, tidak merasa separuh badan, bicara menjadi pelo,
pelupa dan lain sebagainya.
3.5. Dukungan dan Peran Keluarga Pada Penderita Stroke.
Seseorang yang mengalami stroke sering merasa kesepian meskipun ia
tidak memperlihatkannya. Ketika fisik dan mentalnya semakin pulih, mungkin
ia akan makin khawatir dan mudah tersinggung. Terkadang ia merasakan
seperti orang gila saja terutama kejengkelannya tidak mampu melakukan
kegiatan sehari-hari dan kata-kata yang diucapkan tidak dimengerti orang lain
walaupun pada umumnya tingkat intelejensinya tidak terpengaruh. Untuk itulah
anggota keluarga coba untuk memahami apa yang sedang dihadapi pasien.
yang penting dalam mempertahankan kehidupan keluarga dalam menghadapi
keadaan baru (Junaidi, 2011). Kemudian keluarga sangat berperan penting
sebagai salah satu sumber pendukung bagi pasien stroke. Smeltzer & Bare
(2002) menyatakan bahwa di sini keluarga dapat memberikan dorongan pada
pasien untuk datang ke kelompok stroke yang ada dikomunitas pasien untuk
memberikan perasaan saling memiliki dan kebersamaan dengan orang lain, dan
berikan dorongan untuk meneruskan hobi, minat–minat rekreasional dan
hiburan, serta berhubungan dengan teman untuk mencegah isolasi sosial.
Junaidi (2011) menyatakan, ada beberapa cara yang dapat anda lakukan
untuk berkomunikasi dan mengurangi kekuatiran yaitu dengan cara sering
berkunjung saja sudah merupakan suatu yang sangat berguna bagi pasien, anda
mungkin tidak perlu banyak bicara anda bisa bawakan bahan bacaan untuknya
dan mungkin foto keluarga yang juga dapat dibawa, kemudian saat bertemu
jangan bicara terus-menerus, tetapi beritahukanlah hal-hal yang terjadi disekitar
anda dan dirumah, layaknya anda berbicara kepada orang yang sehat.
3.6. Stres Pada Penderita Stroke
Stroke dapat mengakibatkan dampak yang banyak mengubah kehidupan
penderita dari kondisi sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitian World Health Organization (2003) menyebutkan bahwa seperlima sampai dengan setengah dari penderita stroke mengalami kecacatan menahun yang mengakibatkan
munculnya keputusasaan, merasa diri tak berguna, tidak ada gairah hidup,
perubahan fisik yang terjadi pada penderita stroke meningkatkan stres, tegang,