• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 - Landmark Kota Medan (Persepsi dalam Arsitektur) Studi Kasus : Istana Maimun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 - Landmark Kota Medan (Persepsi dalam Arsitektur) Studi Kasus : Istana Maimun"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Kota

Kota adalah kehidupan kumpulan manusia yang paling kompleks. Pengertian kota dapat berbeda-beda berdasarkan pendekatan dalam bidang masing-masing. Jika dilihat dari segi sosiologi maupun antropologi, maka kota sebagai wadah masyarakat berprilaku dalam aktifitas sehari-hari, mencakup lingkup manusia, sosial, budaya dan sejarah.

Dalam buku Founding Vernacular Landscape, John Brickerhoff Jackson (1984: 12). Menyebutkan :

It is a romantic error to suppose that this experience should be solitary. If we

hunt, If we farm, even if we botanize, we benefiting from and sharing in the

accumulated experience of others, so this identity of ours also has its social

implications. It implies that we recognize other people as inhabitants of the earth

as well as members of a social order. It is the attraction of these two very different

and sometimes contradictory definitions of man that produces a landscape-an

environment modified by the permanent presence of a group. No group sets out to

create a landscape, of course. What is sets out to do is to create a community, and

the landscape as its visible manifestation is simple by-product of people working

and living, sometimes coming together, sometimes staying apart, but always

recognizing their interdependence.

(2)

pola kontur visual dari lingkungan alam. Walaupun suatu kota akan selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, namun sifat dasar dan karakteristik bentuk kota memiliki ciri-ciri dan bentuk tersendiri masing-masing kota.

2.2 Identitas Kota

Kota sebagai suatu lingkungan fisik memiliki berbagai aspek yang dapat mengangkat, mengembangkan dan mencirikan kota itu sendiri, seperti nilai historis dan aspek-aspek yang bersifat faktual lainnya yang membuahkan suatu identitas bagi kota.

Menurut Kevin Lynch dalam buku Good City Form (1979), mengungkapkan bahwa “Identity is the extent to wich a person can recognize or

recall a place as being distinct from other places as having vivid, or unique, or at

least a particular, character of its own‖. Berdasarkan definisi ini, menyatakan bahwa identitas adalah suatu kondisi saat seseorang mampu mengenali atau memanggil kembali (ingatan) suatu tempat yang memiliki perbedaan dengan tempat lain karena memiliki karakter dan keunikan.

(3)

identitas dari suatu kota maupun kawasan, baik itu berwujud fisik maupun non-fisik. Kemampuan menangkap adanya identitas kota tergantung dari si pengamat, yang menurutnya lebih menarik dan mudah untuk diingat akan dijadikannya sebagai identitas kawasan tersebut. Bisa dikatakan tergantung dari kesukaan atau selera dan sudut pandang si pengamat pada informasi-informasi yang ingin diambilnya (benda-benda fisik atau bersifat non-fisik seperti sosial, ekonomi, budaya). Kemudian informasi tadi digunakan untuk mengenali kawasan tersebut dengan cara memberikan makna dan perasaan pada kawasan tersebut. Hal ini merupakan salah satu yang membuat perbedaan ketika menangkap suatu identitas sebuah kota atau kawasan dapat muncul dengan sendirinya ataupun diciptakan.

(4)

biasanya dijadikan pengamat sebagai acuan (landmark). Secara tidak langsung hal ini menjadikannya obyek yang mudah diingat dan mencirikan kawasannya. Identias kota yang bersifat non-fisik merupakan identitas kota yang dibuat oleh perilaku warga kotanya. Identitas tersebut bisa merupakan faktor sosial, ekonomi dan budaya. Suatu aktifitas sosial yang berbeda dengan banyak kawasan pada umumnya akan memberikan identitas yang lebih mudah ditangkap oleh pengamat. Kevin Lynch (1960) menyatakan bahwa kota adalah sesuatu yang dapat diamati, dari segi letak jalur jalan, batas tepian, distrik atau kawasan, titik temu, dan tetengernya dapat dengan mudah dikenali dan dapat dikelompokkan dalam pola keseluruhan bentuk kota.

Lynch membuat kategori bentuk kota dalam 5 unsur, yaitu : 1. Path (jalur)

(5)

Gambar 2.1 Path

(Sumber : http://krypton.mnsu.edu/)

2. Edge (tepian)

Edge adalah elemen linear yang tidak dipakai/ dilihat sebagai Path. Edge berada pada batas antara dua kawasan tertentu dan berfungsi sebagai pemutus linear, misalnya pantai, tembok, batasan antara lintasan kereta api, sungai, topografi, dan sebagainya. Edge lebih bersifat sebagai referensi daripada misalnya elemen sumbu yang bersifat koordinasi (Linkage). Edge merupakan penghalang walaupun kadang-kadang ada tempat untuk masuk. Edge merupakan pengakhiran dari sebuah district atau batasan sebuah district dengan yang lainnya. Edge memiliki identitas yang lebih baik jika kontinuitas tampak jelas batasnya. Demikian pula fungsi batasnya harus jelas: membagi atau menyatukan.

Gambar 2.2 Edge

(6)

3. Node (simpul)

Node merupakan simpul atau lingkaran daerah strategis dimana arah atau aktivitasnya saling bertemu dan dapat diubah ke arah atau aktivitas yang lain, misalnya persimpangan lalu lintas, stasiun, lapangan terbang, jembatan, atau bagian kota secara keseluruhan dalam skala makro misalnya pasar, taman, square, dsb.

Gambar 2.3 Node

(Sumber : http://krypton.mnsu.edu/)

4. District (kawasan)

(7)

Gambar 2.4 District

(Sumber : http://krypton.mnsu.edu/)

5. Landmark (tetenger)

Landmark merupakan lambang dan simbol untuk menunjukkan suatu bagian kota, biasanya dapat berupa bangunan gapura batas kota (yang menunjukkan letak batas bagian kota), atau tugu kota (menunjukkan ciri kota atau kemegahan suatu kota), patung atau relief (menunjukkan sisi kesejarahan suatu bagian kota), atau biasa pula berupa gedung dan bangunan tertentu yang memiliki suatu karakteristik tersendiri yang hanya dimiliki kota tersebut. Sehingga keberadaan suatu landmark mampu menunjukkan dan mengingatkan orang tentang tetenger suatu kota.

(8)

2.3 Landmark

Kevin Lynch (1960: 48), mengatakan bahwa “Landmarks are another type of point-reference, but in this case the observer does not enter within them, they

are external‖. Hal ini dapat disimpulkan bahwa landmark merupakan sebuah objek fisik yang menarik secara visual.

Kevin Lynch (1960: 78), juga mengatakan bahwa “Landmark seemed to be a tendency for those more familiar with a city to rely increasingly on systems

of landmarks for their guides—to enjoy uniqueness and specialization, in place of

the continuities used earlier‖. Pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa

landmark biasanya mempunyai bentuk yang unik sehingga menjadi elemen penting dari bentuk kota karena membantu orang mengenali suatu daerah dan juga merupakan acuan yang mencirikan suatu kawasan.

Terdapat beberapa kriteria untuk menjadikan suatu obyek sebagai landmark (Lynch, 1960):

 Memiliki hirarki fisik secara visual

Hirarki menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yaitu urutan tingkatan/ jabatan. Sedangkan visual berarti dapat dilihat dengan indra penglihat (mata), berupa bentuk. Dapat disimpulkan bahwa bangunan yang memiliki hirarki fisik secara visual adalah bangunan yang memiliki perbedaan bentuk untuk mencapai dominasi terhadap lingkungan sekitarnya.

(9)

The catagories of ‗romantic‘,‘cosmic‘,‗classical‘ are a general understanding of

the spirit of place, which helped our understanding of the structure of man-made

place, as well as its relationship to natural place. In more recent architecture, the

romantic character is fully present and wonderfully interpreted in the Art

Nouvean. Greek architecture represents the archetype of classical architecture.

Berdasarkan pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa gaya bangunan merupakan salah satu karakteristik yang dapat mempengaruhi hubungan antara bangunan tersebut dengan lingkungan sekitar.

Menurut Lynch (1960: 80), ―Spatial prominence can establish elements as landmarks in either of two ways: by making the element visible from many

locations, or by setting up a local contrast with nearby elements, i.e., a variation

in setback and height‖. Dapat disimpulkan bahwa suatu landmark dapat mencapai dominasi/ menonjol terhadap suatu ruangan jika landmark tersebut dapat dilihat dari berbagai lokasi, atau memiliki kekontrasan dengan elemen sekitar yaitu dengan variasi halangan dan ketinggian bangunan disekitar lingkungan.

(10)

tinggi bangunan tidak boleh melebihi 2/3 dari garis visual yang superior (sekitar 27°). Sama dengan pendapat Lynch dalam Rapoport (1971), bahwa sudut pandang yang normal adalah 27°. Jadi untuk perbandingan, digunakan D/H = 27°.

Gambar 2.6 Sudut penglihatan manusia menurut Ashihara. (Sumber : Ashihara, 1970)

Gambar 2.7 Potongan yang menunjukkan sudut penglihatan menurut Ashihara (1982).

(Sumber : Rheingantz dan Alcantara, 2009)

Apabila seseorang mengamati keseluruhan bangunan dengan sudut 27°, jika tinggi sebuah bangunan = H, dan jarak pengamat = D, maka untuk melihat sebuah bangunan dibutuhkan 2 ≥ D/H ≤ 4, D/H =3 merupakan perbandingan

(11)

maka bangunan tidak terlihat dengan jelas. Apabila D/H< 4, maka tata nilai ruangnya menjadi hilang dan pengaruh timbal balik antara bangunan sukar dirasakan (Ashihara, 1970). Berdasarkan pernyataan Ashihara, dapat disimpulkan bahwa sebaiknya jarak pengamat (D) sampai landmark merupakan ruang terbuka publik tanpa adanya benda/ bangunan lain yang menutupi landmark. Hal ini bertujuan untuk sebuah landmark lebih terlihat jelas dan memberikan persepsi pandangan yang ideal menurut Ashihara.

Kevin Lynch dalam buku The Image of City (1960: 79) menyatakan “Control of the landmark and its context may be needed: the restriction of signs to

specified surfaces, height limits which apply to all but one building. If in addition

it has some richness of detail or texture, it will surely invite the eye”. Hal ini dapat

disimpulkan bahwa persepsi pandangan yang ideal terhadap ketinggian suatu bangunan menurut Ashihara mempengaruhi suatu landmark.

Unique memorable

Kevin Lynch dalam buku The Image of City (1960: 79) menyatakan “The key physical characteristic of this class is singularity, some aspect that is unique

or memorable in the context‖. Arti dari singularity diatas adalah keistimewaan/

kekhususan, sehingga dapat disimpulkan suatu keunikan dapat dicapai apabila landmark tersebut memiliki keistimewaan/ kekhususan yang tidak terdapat pada

bangunan lain.

Menurut Kevin Lynch (1960: 81), ―Its strength as a landmark seemed to derive from the contrast and irritation felt between its cultural status and its

(12)

value as a landmark rises‖. Pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa suatu

landmark dapat mencapai kekontrasan dan perbedaan antara nilai historis dan nilai estetis. Nilai historis yang menyangkut proses terbentuknya objek tersebut dan kaitannya dengan lingkup tempat dimana landmark berada. Sedangkan nilai estetis dapat mencakup nilai historis menyangkut kurun waktu terbentuknya bangunan, karena nilai estetika tiap kurun waktu dapat berlainan.

Kevin Lynch (1960: 1) menyatakan, ”At every instant, there is more than the eye can see, more than the ear can hear, a setting or a view waiting to be

explored. Nothing is experienced by itself, but always in relation to its

surroundings, the sequences of events leading up to it, the memory of past

experiences”. Berdasarkan pernyataan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa diperlukan sebuah kejadian atau peristiwa yang mendukung sebuah landmark sehingga terbentuknya memori masa lalu. Acara tersebut akan dijadikan sebagai ritual ataupun upacara yang berfungsi untuk mengenang kembali kenangan penting yang terkandung dalam landmark. Pernyataan tersebut diperkuat oleh pendapat Schulz dalam buku Towards a Phenomenology of Architecture (1979: 32), “Man's participation in the natural totality is concretized in rituals, in which "cosmic events", such as creation, death and resurrection are re-enacted. As such,

rituals do not however belong lo the natural environment, and will be discussed in

the next chapter, together with the general problem of representing time.‖

Identifiable

(13)

-which an element stands out need not be limited to immediate surroundings.

(1960: 81) dan “Its location is crucial: if large or tall, the spatial setting must

allow it to be seen; if small, there are certain zones that receive more perceptual

attention than others: floor surfaces, or nearby facades at, or slightly below,

eye-level. Any breaks in transportation—nodes, decision points—are places of

intensified perception.” (1960: 101). Berdasarkan kedua pernyataan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa landmark diletakan ditempat yang mudah dilihat dan dijangkau, ataupun memiliki latar belakang kontras sehingga mencapai dominasi. Jika landmark tersebut tidak memiliki ketinggian yang menonjol maka diperlukan sesuatu yang menarik perhatian pengamat, salah satunya adalah perbedaan permukaan tanah.

Kevin Lynch (1960: 83) menyatakan,“Landmarks may be isolated, single events without reinforcement. Except for large or very singular marks, these are

weak references, since they are easy to miss and require sustained searching”.

Berdasarkan pernyataan diatas, dapat disimpulkan dengan sebuah landmark dapat dikenal dan diakui oleh orang banyak jika adanya kejadian atau peristiwa yang terkandung dalam landmark tersebut.

 Bentuk yang jelas atau nyata (Clear Form)

Kevin Lynch dalam buku The Image of City (1960: 81), menyatakan ―The gold dome of Boston's State House, the visibility from long distances of its bright

gold dome, all make it a key sign for central Boston‖. Pernyataan diatas dapat

(14)

diperkuat oleh pendapat Schulz dalam buku Towards a Phenomenology of Architecture (1979: 65), “Here we return again to the relationship between house

and cosmic order, which was discussed above. What is important to stress in this

context however, is that the meaning of a building is related to its structure.

Meaning and character cannot be interpreted in purely formal or aesthetic terms,

but are, as we have already pointed out, intimately connected with making.

Heidegger in fact defines the ―method‖ of art as inswerk_setzen (to ―set

-into-work‖). This is the meaning of architectural concretizarion: to set a place into

Gambar

Gambar 2.1  Path
Gambar 2.3 Node
Gambar 2.4 District
Gambar 2.6 Sudut penglihatan manusia menurut Ashihara. (Sumber : Ashihara, 1970)

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan mengenai berbagai macam persoalan Pengelolaan Cagar Budaya di kota Medan dan hal-hal apa saja yang ikut memperburuk

Bab I penelitian yang dilakukan ini merupakan deksripsi mengenai pengelolaan cagar budaya khususnya kawasan segitiga emas kota Medan, yakni Istana Maimun, Masjid Raya Al-Mashun

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan mengenai berbagai macam persoalan Pengelolaan Cagar Budaya di kota Medan dan hal-hal apa saja yang ikut memperburuk

Kota Medan yang sebagai ibukota dari Provinsi Sumatera Utara juga.. merupakan miniatur dari pariwisata di Sumatera Utara dapat

Taman Rekreasi, merupakan bagian dari ruang terbuka hijau yang berdiri sendiri atau terletak di antara batas-batas bangunan/prasarana kota lain dengan bentuk teratur/tidak

Merupakan obyek landmark yang dapat dilihat dari banyak arah atau posisi dengan suatu jarak yang relatif jauh. “Some landmarks are distant ones, typically seen

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan morfologi kota dengan mengkaji tata ruang dan infrastruktur kota, simbol kota, bangunan, dan ruang terbuka di Kota

Jalan Bhayangkara sebagai bagian dari Kawasan Bhayangkara –Awang Long memiliki nilai sejarah dan bangunan sebagai landmark Kota Samarinda, salah s atunya adalah gedung SMAN 1 Samarinda,