• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kota Medan - Analisis Arsitektur Masjid Raya Al Mashun sebagai Identitas Kota

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kota Medan - Analisis Arsitektur Masjid Raya Al Mashun sebagai Identitas Kota"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perkembangan Kota Medan

Dalam riwayat Hamparan Perak, tercatat Guru Patimpus, tokoh masyarakat Karo, sebagai orang yang pertama kali membuka’desa’ yang diberi nama Medan. Patimpus adalah anak Tuan Si Raja Hita, pemimpin Karo yang

tinggal di kampung Pekan. Selanjutnya Guru Patimpus menikah dengan adik Tarigan, pemimpin daerah yang sekarang bernama Pulau Brayan dan membuka

Desa Medan yang terletak di antara Sungai Babura dan Sungai Deli. Dia pun lalu memimpin desa tersebut. Oleh karna itu, nama Guru Patimpus saat ini diabadikan sebagai nama salah satu jalan utama di Kota Medan.

Kota Medan berdiri pada tahun 1590 sebagai kota pelabuhan, dalam buku Sejarah Medan Tempo Doeloe (Tengku Luckman Sinar, 1991), dituliskan bahwa menurut “Hikayat Aceh”, Medan telah ada pada tahun 1590, dan sempat dihancurkan selama serangan Sultan Aceh Alauddin Saidi Mukammil kepada Raja Haru yang berkuasa di situ. Serangan serupa dilakukan Sultan Iskandar

Muda tahun 1613, terhadap Kesultanan Deli.

Dalam Syahrum (2004), Belanda tercatat pertama kali masuk di Deli tahun 1641, ketika sebuah kapal yang dipimpin Arent Patter merapat untuk mengambil

budak. Selanjutnya, hubungan Deli dengan Belanda semakin mulus. Begitulah awal cerita, yang berlanjut dengan masuknya ribuan tenaga kerja Cina, India, dan

(2)

6 sudah merupakan tempat bertemunya masyarakat dari Hamparan Perak,

Sukapiring, dan lainnya untuk berdagang, berjudi, dan sebagainya. Desa Medan dikelilingi berbagai desa lain seperti Kesawan, Binuang, Tebing Tinggi, dan

Merbau. Medan sebagai embrio sebuah kota secara kronologis berawal dari peristiwa penting tahun 1918, yaitu saat Medan menjadi Gemeente (Kota Administratif), tetapi tanpa memiliki wali kota sehingga wilayah tersebut tetap di

bawah kewenangan penguasa Hindia Belanda. Maka, tanggal 1 April 1909 ini sempat dijadikan tanggal lahir Kota Medan sampai dengan tahun 1975.Pimpinan

Medan Municipal Board saat didirikan tanggal 1 April 1909 (Stblt 1909 No 180) adalah Mr EP Th Maier, yang menjabat sebagai pembantu Residen Deli Serdang. Namun, sejak 26 Maret 1975, lewat Keputusan DPRD No 4/DPRD/1975 yang

didasari banyak pertimbangan, ditetapkan bahwa hari lahir Kota Medan adalah 1 Juli 1950.

Setelah Indonesia Merdeka pada tahun 1945 Kota Medan ditetapkan

sebagai Ibukota Propoinsi Sumatera Utara, dan wilayahnya diperluas dari 1.583 hektar menjadi 5.130 hektar, yang terdiri dari 4 (empat) daerah kecamatan yaitu

kecamatan Medan Deli, kecamatan Medan Sunggal, kecamatan Medan Timur, dan Kemacamatn Medan Barat. Pada tahun 1986 kota Medan berkembang lagi menjadi 21 kecamatan dengan 144 Kelurahan dan luas keseluruhan adalah 26.500

Km2.

Sejak tahun 1990 penduduk Kota Medan mengalami kenaikan yang cukup

nyata hingga ke tahun 2001 yaitu berdasarkan Sensus Penduduk dari 1.730.725 jiwa pada tahun 1990 menjadi 1.926.520 jiwa di tahun 2001.

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)

14 Gambar 2.9.

Peta Medan Tahun 1936 (atas)

Gambar 2.10. Kawasan Istana Maimun

(kanan) Sumber: Syahrum

(11)

Maimun sehingga tepat di depan Istana Maimun terdapat jalan poros antara pusat

pemerintahan Belanda dengan kantor pusat perkebunan, sehingga di sebelah timur kawasan Maimun berkembang menjadi pusat perdagangan yang membentang

sepanjang jalan poros seperti Gedung Mega Eltra, yang dibangun oleh sebuah perusahaan perkebunan Belanda yang berfungsi sebagai Kantor Pusat perdagangan tembakau wilayah Timur Jauh, dan juga kawasan Kesawan sebagai

pusat pelayanan dan jasa bagi orang-orang asing di Medan.

Sebagai kerajaan yang diakui kedaulatannya oleh pemerintahan kolonial

Belanda, Kesultanan Deli diberi hak istimewa untuk mengatur wilayah istana dan sekitarnya, termasuk tepian sungai Deli yang membatasi kawasan Istana Maimun dengan kawasan Polonia. Kawasan Maimun pada masa pemerintahan kolonial

Belanda sampai awal kemerdekaan masih berkembang sebagai kawasan urban space bagi penduduk pribumi. Perbedaan antara public space dengan private

space sudah jelas dengan dibangunnya jalan poros yang melintas didepan istana dan jalan penghubung yang menghubungkan Masjid Raya Al Mashun dengan kawasan Istana. Persimpangan antara jalan poros dengan jalan penghubung

menunjukkan secara tegas pola aksis dari arah masjid menuju istana. Dibangunnya jalan penghubung yang tegak lurus dengan jalan poros, memperlihatkan kesan visual yang tegas karena jalan penghubung berada tepat di

tengah Istana Maimun yang berbentuk simetris.

Taman Sri Deli walaupun berfungsi sebagai open space tetapi

(12)

16 open space, lapangan di depan Istana, Taman Sri Deli, dan Mesjid Raya

berbentuk segitiga, sedangkan public spacenya adalah jalur pejalan kaki dipinggir jalan poros maupun di jalan penghubung. Walaupun secara konsep ajaran Islam

Masjid adalahpublic space, tetapi sampai pada akhir masa dinasti kesultanan deli rakyat kebanyakan enggan untuk menggunakan Masjid Raya sebagai tempat ibadah kecuali pada hari raya Idul Adha dan Idul Fitri atau atas undangan Sultan,

selebihnya hanya digunakan oleh lingkungan kesultanan, kerabat dan tamu dari kerajaan lain.

2.2.3. Perkembangan Kawasan Kesultanan Deli di Masa Sekarang

Istana Maimun, Masjid Raya Al Mahsun dan Taman Sri Deli menjadi bangunan bersejarah di kawasan ini. Gabungan antara ketiga bangunan tersebut

dapat dijadikanlandmarkbagi kota Medan. Syahrum (2004).

Istana Maimun sekarang ini tidak dipergunakan lagi sebagai pusat

pemerintahahn kesultanan Deli, melainkan hanya sebagai tempat tinggal keturunan Sultan deli, dan sebagai salah satu tujuan wisata di Medan. Walaupun Pemda Kotamadya Medan telah menetapkan Istana Maimun sebagai bangunan

konservasi dengan dasar Undang-undang Monumenten Ordonantic 238/1981, kenyataannya istana ini masih dimiliki oleh keluarga Kesultanan Deli.

(13)
(14)
(15)

2.3. Tinjauan Arsitektur Masjid

2.3.1. Pengertian Masjid

Secara Etimologi, kata “masjid” berasal dari sebuah kata pokok dalam bahasa Arab, sajada (tempat sujud). Kata sajada ini lalu mendapatkan awalan ma, sehingga terbentuklah kata masjid. Dalam lafal orang Indonesia, kata masjid ini

kebanyakan diucapkan menjadi “mesjid”. Barangkali hal tersebut dikarenakan pengaruh pemakain awalan me pada kebanyakan bahasa Indonesia. Dengan demikian kata masjid tidak selalu menunjukkan sebuah gedung/tempat ibadah

khusus umat Islam. Dan hal ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Ia biasa melakukan shalat berjamaah dirumah sahabatnya di bukit Safa, Arqom, ketika awal syiar Islam ditentang dan dihadang dengan kekerasan oleh kafir

Quraisy. Demikian pula pada peristiwa hijrah, sesampainya di Madinah yang mula-mula dikerjakannya sesudah datang waktu Dzuhur ialah meletakkan dahinya ke bumi, sebagai rasa syukur ke hadirat Ilahirabbi. Kemudian di suatu lapangan

terbuka dekat tasik (danau), beliau pun mengerjakan shalat Jum’at berjamaah dengan golongan Anshor dan Muhajirin, kira-kira sebanyak seratus orang.

Pada masa awal perjuangan Nabi Muhammad SAW, sebetulnya pengertian masjid secara materi berupa sebuah bangunan tempat ibadah sudah dikenal, karena sudah terdapat Masjidil Haram di Mekkah meskipun bangunannya belum

megah seperti sekarang. Masjid ini sangat terkenal, sebab selain arsitekturnya yang monumental, juga diyakini sebagai salah satu tempat yang disinggahi Nabi

(16)

20 Pengertian kata masjid, seiring dengan perjalanan waktu, akhirnya

mengalami perubahan. Saat ini masjid lebih sering diartikan sebagai bangunan yang dipergunakan sebagai tempat ibadah shalat.Menurut fungsi dan bentuknya,

masjid mempunyai beberapa nama pula. Masjid Jami adalah masjid yang biasa dipakai untuk shalat Jumat yaitu shalat berjamaah yang wajib dilakukan pada hari

Jum’at menggantikan shalat Dzuhur.

2.3.2. Fungsi Masjid

Membahas fungsi masjid tidak bisa terlepas dari pengertian masjid itu

sendiri serta konteks tradisi Islam yang bersumber dari sejarah dan hadist Nabi Muhammad SAW, yang masih dapat kita temui sampai saat ini. Fungsi masjid adalah sebagai tempat shalat. Masjid dipakai untuk shalat berjamaah sehari-hari,

shalat Jum’at, shalat jenazah maupun aktivitas lainnya.

Masjid berfungsi juga sebagai tempat bermusyawarah dan memutuskan

berbagai permasalahan, baik yang bersifat aqidah maupun muamalah (kemasyarakatan). Fungsi lain dari masjid adalah tempat pendidikan agama atau madrasah.

Masjid diramaikan oleh berbagai kegiatan ibadah seperti kegiatan pesantren kilat, maulid, isra’ mi’raj, maupun pengajian. Aktivitas ibadah yang lain bersifat sosial dipusatkan di masjid seperti pembayaran zakat mal dan zakat fitrah, tempat bagi para musafir (orang yang sedang dalam perjalanan) untuk digunakan sebagai tempat menginap atau beristirahat sementara. Pelaksanaan

akad nikah pun sering dilakukan di masjid. Masjid juga menjadi pusat kebudayaan karena menjadi pusat kegiatan umat Islam baik yang bersifat spiritual

(17)
(18)
(19)

mimbar pada ruangan utama. Pintu dan jendelanya sempit-sempit sehingga udara

serta cahaya yang masuk sangat terbatas.

2.4. Masjid Raya Al-Mashun

Bangunan masjid berdiri diatas sebidang tanah yang cukup luas meliputi 13.200 m2. Masjid Raya Al-Mashun Medan yang dimiliki dan dikelola oleh keluarga Kerajaam Sultan Deli ini didirikan pada tanggal 21 Agustus 1906,

sedangkan pembangunannya dimulai dari tahun 1906 dan pembangunan masjid selesai dalam tiga tahun. Bangunan Masjid Raya Al-Mashun ini dirancang dengan

bantuan seorang arsitek yang berasal dari tentara KNIL yang bernama TH. Van Erp. Setelah pembangunan masjid mulai selesai, diberilah nama Masjid Raya Al-Mashun yang mempunyai arti masjid yang mendapat pemeliharaan dari Allah

SWT. Peresmian pemakaiannya bertepatan dengan hari Jum’at tanggal 10 September 1909. Dalam rangka peresmiannya itu dilaksanakan shalat jum’at yang dihadiri oleh pembesar-pembesar Kerajan termasuk Sri Paduka Alumarsyun, Tuanku Sultan Aziz, Abdul Jalal Rakhmadsyah dari Langkat dan Sultan Sulaiman Alamsyah dari Negeri Serdang. Pada masa lalu masjid ini merupakan tempat

shalat Jum’at satu-satunya di wilayah Kesultan Deli. Hal ini menunjukkan Masjid Raya Al-Ma’shun Medan merupakan masjid Kesultanan tetapi tidak terdapat

tempat sembahyang khusus untuk Sultan (maksurah) seperti pada umumnya masjid-masjid Kesultanan.

Masjid ini dibangun atas perintah sultan yang berkuasa saat itu guna

(20)
(21)

penampilan masjid-masjid di Timur-Tengah yang juga kebanyakan berfungsi

sebagai lambang kekuasaan Sultan.

Ornamen yang menghiasi bangunan masjid tersebut hampir terdapat di

seluruh bagian bangunan, termasuk alat perlengkapannya yang dipergunakan di dalam ruangan masjid itu, misalnya lampu penerangan yang berbentuk lampu gantung.

Pada tahun 1970 M dilakukan pengecatan oleh Direktorat Jenderal Pariwisata pada bagian luar dengan menyesuaikan warna aslinya. Tahun 1991

dilaksanakan perbaikan yang meliputi perbaikan jalan, taman, pekarangan, halaman, dan pergantian bola-bola lampu yang rusak. Perbaikan ini dilakukan oleh Proyek rehabilitasi, Dinas Bangunan Kotamadia Daerah Tingkat II Medan.

2.5. Identitas Kota

Lynch (1960) mengatakan bahwa identitas kota adalah citra mental yang terbentuk dari ritme biologis tempat dan ruang tertentu yang mencerminkan

waktu, yang ditumbuhkan dari dalam secara mengakar oleh aktivitas sosial-ekonomi-budaya masyarakat kota itu sendiri.

Identitas adalah suatu kondisi saat seseorangmampu mengenali atau membedakan suatu tempat dengan tempat lain karena memiliki karakter dan keunikan. Lynch (1960)

(22)

26 1. Identitas, artinya orang dapat memahami gambaran perkotaan

melaluiidentifikasi obyek, perbedaan antara obyek dan hal-hal yang diketahui tentang

obyek tersebut.

2. Struktur, artinya orang dapat memelihara pola perkotaan melalui hubunganantar obyek-subyek melalui pola yang dapat dilihat.

3. Makna, artinya orang dapat mengalami ruang perkotaan dengan segalaperkembangan fisik, sosial maupun rohani subyeknya sehingga

mendapatkanrasa yang dapat dialami.

Utomo (2005) berpendapat bahwa kota memerlukan identitas, baik dalam skala lingkungan maupun skala kota. Ciri atau identitas yang mudah diamati

adalah bentukan-bentukan fisik kota. Kesan visual suatu benda atau bangunan mudah dicerna atau diserap oleh ingatan manusia. Ciri-ciri spesifik dari elemen-fisik pembentuk kota, diperkuat dengan struktur yang memisahkannya dengan

elemen-elemen di sekitarnya. Oleh karena itu, elemen-elemen fisik tersebut mampu menanamkan citra pada setiap pengamatnya, serta dapat menambah

makna bagi keberadaannya. Pemahaman suatu makna identitas berguna terhadap penanaman citra bagi pengamatnya, sehingga pesan yang disampaikan dapat dengan mudah diserap oleh ingatannya.

Elemen-elemen fisik yang tercipta dapat menjadi karakter bagi lingkungan di sekitarnya. Hal ini lebih banyak ditentukan oleh perwujudan rancangan maupun

perletakan yang dikaitkan dengan hubungan antara elemen fisik yang satu dengan lainnya. Sebuah kota mempunyai kesan yang tidak sama dengan kota lainnya bagi

(23)

orang yang berada didalamnya. Kesan ini timbul dari adanya persepsi manusia

terhadap apa yang dilihatnya didalam tersebut. Pesan yang disampaikan oleh suatu lingkungan maupun kota melalui komunikasi visual, menyebabkan

seseorang mempunyai kesan yang spesifik terhadap kota dan lingkungan tersebut. Oleh karena itu, keberadaan sebuah kota sering diwujudkan dalam bentuk kekhasan yang dimasukkan dalam elemen-elemen fisik pembentuknya.

Arsitektur juga dapat menjadi salah satu bagian penanda suatu tempat, misalnya membuatlandmarkbagi sebuah kawasan yang dapat menunjang identitas

suatu kota. Arsitektur diintisarikan agar dapat merepresentasikan keberadaan identitas kota dapat dilestarikan sebagai benda cagar budaya. Jadi dapat disimpulkan bahwa identitas dari sebuah kota berawal dari nilai budaya yang

meliputi nilai historis perjuangan dan perkembangan di bidang politik, ekonomi dan sosial, arstitektur, struktur masyarakat, tata kota serta karakteristik khusus kotanya.

Sedangkan identitas psikis kota, masih perlu upaya penggalian dan pengenalan jati diri yang lebih mendalam. Mengingat identitas psikis merupakan

identitas kehidupan masyarakat kota secara psikis yang mempengaruhi wajah kota tersebut, berupa ritme kehidupan masyarakatnya maupun spirit yang dimiliki masyarakat sehingga memberikan identitas kota atau budaya yang hidup dalam

keselarasan kota yang menjadi simbol suatu kehidupan kota membentuk identitas kota itu sendiri.

(24)

28 tentang nilai dari tempat, merupakan pemahaman tentang keunikan dari suatu

tempat secara khusus, bila dibandingkan dengan tempat lain.. Identitas dapat juga berupa peristiwa-peristiwa, yang disebut “Sense of Occasion”, yakni tempat dan

peristiwa akan saling menguatkan satu dengan yang lain dan menciptakan suatu keberadaan. Purwanto (2001).

Unsur-unsur pembentuk lingkungan binaan yang perlu mendapat perhatian

dalam usaha membangun identitas suatu kawasan adalah bentuk, massa serta fungsi bangunan, dan ruang luar kawasan yang terbentuk. Dari unsur-unsur

pembentuk kawasan tersebut, makna kawasan (image) manusia tentang suatu kawasan dapat terbentuk, kesan suatu kawasan adalah hasil dari proses dua arah antara manusia dengan lingkungannya. Suatu kawasan menyediakan objek-objek

tertentu dan manusia mengorganisasikannya di dalam otak dan memberikan pengertian khusus.

Keragaman budaya menuntut karya arsitektur harus dirancang semakin serius agar kawasan terhindar dari polusi visual yang kacau, untuk itu rancangan arsitektur yang kontekstual akan memberikan kemungkinan tampilan kawasan

yang lebih harmonis secara visual, baik melalui rancangan bangunan maupun perkotaan. Kontinuitas visual kawasan dapat dijaga dengan memperhatikan

elemen tampilan seperti bentuk dasar yang sama, namun tampak berbeda, pemakaian bahan, warna, tekstur, serta ornamentasi bangunan.

Pemahaman lain yaitu Shirvani (1985) membedakan antara identitas dan

sense, dimana sense adalah makna yang ditangkap oleh manusia yang ada di

(25)
(26)

30 umum dapat memberikan gambaran keseluruhan bagaimana daerah-daerah

pada suatu kawasan tersebut seharusnya berfungsi.

2. Bentuk dan Massa Bangunan (Building Form and Massing)

Dalam bentuk dan massa bangunan, seharusnya diperhatikan berbagai

aspek, meliputi:

a. Ketinggian Bangunan

Ketinggian bangunan berkaitan dengan jarak pandang pemerhati, baik yang berada dalam bangunan maupun yang berada pada jalur pejalan kaki. Ketinggian bangunan pada suatu kawasan membentuk skyline.

Skyline dalam skala kota mempunyai makna: • Sebagai simbol kota

• Sebagai indeks sosial

• Sebagai alat orientasi

• Sebagai perangkat estetis

• Sebagai perangkat ritual

Spreiregen (1965), bila tinggi muka bangunan sama dengan jarak dari tempat kita berdiri ke bangunan, maka sudut yang terjadi antara garis

puncak muka bangunan dan garis horizontal pandangan adalah 45°.

Jika jarak orang ke bangunan = tinggi bangunan atau pandangan

membentuk sudut 45°, merupakan pandangan normal manusia, pada jarak tersebut pengamat dapat memperhatikan keseluruhan muka

(27)

obyek/bangunan. Demikian pula menurut Panero (2003), sudut

pandang yang nyaman adalah sebesar 45 derajat. Jika bangunan lebih tinggi daripada batas atas daerah pandangan kita kedepan, maka kita

akan merasa tertutup.

b. Kepejalan Bangunan (Bulky)

Arti dari kepejalan adalah tebal, besar, dan gemuk. Dalam hal ini yang

dibicarakan adalah penampakan gedung dalam konteks kota. Kepejalan suatu gedung ditentukan oleh tinggi, luas, lebar panjang,

olahan massanya, dan variasi penggunaan material. c. Koefisien Lantai Bangunan

Koefisien lantai bangunan adalah jumlah luas lantai bangunan dibagi

dengan luas tapak. Koefisien lantai bangunan dipengaruhi oleh daya dukung tanah, daya dukung lingkungan, nilai harga tanah dan

faktor-faktor khusus tertentu sesuai dengan peraturan atau kepercayaan daerah setempat.

d. Koefisien Dasar Bangunan (Building Coverage)

Koefisien dasar bangunan adalah luas tapak yang tertutup dibandingkan dengan luas tapak keseluruhan. Koefisien dasar

bangunan dimaksudkan untuk menyediakan area terbuka yang cukup di kawasan perkotaan agar tidak keseluruhan tapak diisi dengan bangunan sehingga daur lingkungan menjadi terhambat.

(28)

32 Garis Sempadan Bangunan merupakan jarak bangunan terhadap as

jalan. Garis ini sangat peting dalam mengatur keteraturan bangunan di tepi jalan kota.

f. Langgam

Langgam atau gaya dapat diartikan sebagai suatu kumpulan karakteristik bangunan dimanastuktur, kesatuan dan ekspresi

digabungkan di dalam satu periode atau wilayah tertentu. Peran dari langgam ini dalam skala urban jika direncanakan dengan baik dapat menjadi guideline yang mempunyai kekuatan untuk menyatukan

fragment-fragment kota. g. Skala

Rasa akan skala dan perubahan-perubahan dalam ketinggian ruang

atau bangunan dapat memainkan peranan dalam menciptakan kontras visual yang dapat membangkitkan daya hidup dan kedinamisan

h. Material

Peran material berkenaan dengan komposisi visual dalam perancangan. Komposisi yang dimaksud diwujudkan oleh hubungan antar elemn

visual. i. Tekstur

(29)

Dalam sebuah komposisi yang lebih besar (skala urban) sesuatu yang

dilihat dari jarak tertentu maka elemen yang lebih besar dapat menimbulkan efek-efek tekstur.

j. Warna

Dengan adanya warna (kepadatan warna, kejernihan warna), dapat memperluas kemungkinan ragam komposisi yang dihasilkan.

3. Sirkulasi dan Parkir (Circulation and Parking)

a. Sirkulasi

Elemen sirkulasi adalah satu aspek yang kuat dalam membentuk struktur lingkungan perkotaan. Sirkulasi dapat berupa bentuk,

hubungan atau satu pola bagi yang dapat mengontrol aktivitas kawasan seperti aktivitas jalan raya, jalur pejalan kaki, dan pusat-pusat kegiatan yang bergerak.

b. Tempat Parkir

Unsur yang sangat penting dapat sirkulasi kota adalah tempat parkir

kendaraan. Keberadaan tempat parkir sangat menentukan hidup tidaknya suatu kawasan komersial.

4. Ruang Terbuka (Open Space)

Ruang terbuka bisa menyangkut semua lansekap : elemen keras (hardscape, yang meliputi jalan, trotoar dan sebagainya), taman dan ruang

(30)

34 Elemen-elemen ruang terbuka juga menyangkut lapangan hijau, ruang

hijau kota, pepohonan, pagar, tanaman, air, penerangan, paving, kios-kios, tempat sampah, air minum, sculpture, jam dan sebagainya. Secara

keseluruhan, elemen-elemen tersebut harus dipertimbangkan untuk mencapai kenyamanan dalam perancangan kota. Dan ruang terbuka merupakan elemen yang sangat esensial dalam perancangan kota. Desain

ruang terbuka harus dipertimbangkan secara terintegral terhadap bagian dari perancangan kota.

Rustam Hakim (1987) membagi ruang terbuka berdasarkan kegiatan yang terjadi sebagai berikut:

a. Ruang terbuka aktif, yaitu ruang terbuka yang mengundang

unsur-unsur kegiatan di dalamnya, misalnya plaza, tempat bermain.

b. Ruang terbuka pasif, yaitu ruang terbuka yang di dalamnya tidak mengandung kegiatan manusia

5. Area Pedestrian (Pedestrian Area)

Pedestrian merupakan elemen penting dalam perancangan kota, karena

tidak lagi hanya berorientasi pada keindahan semata, akan tetapi juga masalah kenyamanan dengan didukung oleh kegiatan pedagang eceran yang dapat memperkuat kehidupan ruang kota yang ada. Sistem pedestrian

yang baik akan mengurangi keterkaitan terhadap kendaraan di kawasan pusat kota, meningkatkan penggunaan pejalan kaki, mempertinggi kualitas

lingkungan melalui sistem perancangan yang manusiawi, menciptakan kegiatan pedagang kali lima yang lebih banyak dan akhirnya akan

(31)

membantu dalam meningkatkan interaksi antara dasar-dasar elemen

perancangan kota dalam suatu kawasan hunian dengan berbagai bentuk kegiatan pendukungnya.

6. Penanda (Signage)

Tanda adalah suatu tulisan (huruf, angka, atau gambar), gambar (ilustrasi atau dekorasi), lambang (simbol atau merek dagang), bendera, atau sesuatu

gambar yang:

a. Ditempelkan atau digambar pada suatu bangunan atau struktur lain

b. Digunakan sebagai pemberitahuan, penarik perhatian, iklan c. Terlihat di luar bangunan

Papan reklame merupakan elemen visual yang semakin penting artinya

dalam perancangan kota. Perkembangan papan-papan reklame terutama, mengalami persaingan yang berlebihan baik dalam penempatan

titik-titiknya, dimensi atau ukuran billboardnya, kecocokan bentuk, dan pengaruh visual terhadap lingkungan kota.

Pedoman teknis mengenai signages menurut Richardson (2003), meliputi

hal-hal sebagai berikut:

a. Penggunaan tanda-tanda harus merefleksikan karakter kawasan

tersebut.

b. Jarak dan ukuran tanda-tanda harus memadai dan diatur sedemikian rupa agar menjamin jarak penglihatan dan menghindari kepadatan

(32)

36 c. Penggunaan penanda harus harmonis dengan bangunanarsitektur di

sekitar lokasi tersebut.

d. Pembatasan penanda dengan lampu hias, kecuali penggunaan khusus

sepertitheaterdan tempat pertunjukan. 7. Kegiatan Pendukung (Activity Support)

Pendukung kegiatan adalah semua fungsi bangunan dan kegiatan-kegiatan

yang mendukung ruang-ruang publik suatu kawasan kota. Antara kegiatan-kegiatan dan ruang-ruang fisik selalu memiliki keterkaitan satu

sama lain. Bentuk, lokasi dan karakter suatu kawasan yang memiliki ciri khusus akan berpengaruh pula terhadap fungsi peggunaan lahan dan kegiatan-kegiatannya. Sebaiknya kegiatan yang memperhatikan lokasi

tapak yang layak dan baik tergantung seberapa besar aktivitas penggunaan lahan tersebut.

8. Konservasi (Conservation)

Konservasi suatu bangunan individual harus dikaitkan secara keseluruhan kota, agar meyakinkan bahwa konservasi akan harmonis dengan

lingkungan sekitarnya. Konsep tentang konservasi kota memperhatikan beberapa aspek yakni: bangunan-bangunan tunggal, struktur dan gaya arsitektur, hal-hal yang berkaitan dengan kegunaan, umur bangunan atau

kelayakan bangunan.

Identitas merupakan aspek yang sifatnya tidak terukur dan tergantung dari

persepsi pengamat terhadap setting lingkungannya. Dalam upaya membentuk identitas pada sebuah kawasan, dapat dilakukan dengan pendekatan terhadap

(33)

elemen-elemen fisik kota, karena melalui elemen fisik inilah sebuah pemahaman

akan ditangkap oleh pengamat secara visual untuk kemudian diolah dalam pikiran dan diberi pemaknaan, aspek-aspek fisik tersebut (land use, ruang luar dan

bangunan) dalam konteks kawasan Kesultanan Deli.

Lynch (1960) melihat landmark sebagai sebuah konstruksi fisik yang dapat menyatakan suatu identitas wilayah atau lingkungan karena landmark

memiliki entitas bentuk fisik yang berbeda dan terpisah dengan sekitarnya. Landmark dapat berperan menjadi identitas karena ia berperan sebagai basis atau

dasar dalam mengenal suatu lingkungan. Ketika landmark dapat menyatakan identitas suatu wilayah, landmark kemudian juga membawa karekter, atmosfir, dan ambience keberadaannya terhadap manusia yang merasaknnya. Landmark

yang dapat menyatakan identitas dan karakter suatu wilayah kemudian tidak lagi hanya dipandang sebagai suatu elemen fisik secara visual saja. Narita (2010)

Untuk menetapkan elemen-elemen yang akan digunakan dalam upaya

pembentukan identitas sebuah kawasan adalah dengan melihat elemen apa saja yang menonjol dan dapat dijadikan potensi untuk membentuk identitas kawasan,

tentunya yang sesuai dengan tema (estetika ataupun budaya), yang dalam konteks penelitian ini adalah elemen-elemen fisik yang terdapat pada bangunan Masjid

Raya.

2.6. Citra Kota

(34)

38 yang telah dikenal dan dapat dipahami melalui suatu proses berupa reduksi dan

simplifikasi.

Lynch berpendapat bahwa citra merupakan suatu senyawa dari

atribut-atirbut dan pengertian fisik, tetapi secara sengaja memilih untuk berkonsentrasi pada fungsi bentuk, dengan mengembangkan hipotesis bahwa pengetahuan manusia mengenai kota merupakan fungsi dari imageabilitasnya. Citra kota

ditentukan oleh pola dan struktur lingkungan fisik yang dalam perkembangannya dipengaruhi oleh faktor: sosial, ekonomi, budaya,kelembagaan, adat isitiadat serta

politik yangpada akhirnya akan berpengaruh pula dalampenampilan fisiknya. Menurut Budihardjo (1991), terdapat enam tolok ukur yang sepantasnya digunakan dalam penggalian, pelestarian dan pengembangan citra kota, sebagai

berikut:

1.Nilai kesejarahan; baik dalam arti sejarah perjuangan nasional (Gedung

Proklamasi, Tugu Pahlawan) maupun sejarah perkembangan kota (Kota Lama di Semarang, Kawasan Malioboro di Yogyakarta)

2. Nilai arsitektur lokal/tradisional; (terdapat keraton, rumah pangeran)

3. Nilai arkeologis; (candi-candi, benteng)

4. Nilai religiositas; (masjid besar, tempat ibadah lain)

5.Nilai kekhasan dan keunikan setempat; baik dalam kegiatan sosial ekonomi maupun sosial budaya; dan

6. Nilai keselarasan antara lingkungan buatan dengan potensi alam yang dimiliki.

Kualitas fisik yang diberikan oleh suatu kota dapat menimbulkan suatu image yang cukup kuat dari seorang pengamat. Kualitas ini disebut dengan

(35)
(36)
(37)

Landmark merupakan gambran dengan cepat dan pasti tentang suatu tempat kepada pengamat sehingga membentuk image fisik dan non fisik lokasiLandmarkdan sekitarnya.

3. Jarak

Landmark harus dapat dikenali dari suatu jarak, dimana pengamat berada diluar lingkup proyek.

Proses pembentukan suatu obyek yang mempunyai potensi sebagai landmarkdapat diwujudkan dengan 2 cara dalam hal posisi, yaitu:

a. Memperluas arah pandang

Dengan cara menjadikan obyek dapat terlihat dari arah yang lebih banyak

atau luas sehingga arah pandang menjadi lebih terbuka dan medan pengenalan visual lebih luas.

b. Tampilan Obyek

Dengan cara membentuk obyek menjadi kontras dalam komposisi bersama elemen-elemen fisik di sekitarnya, misal menciptakan variasi setback.

Menurut Lynch (1960), ditinjau dari aspek jarak, Landmark dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu:

DistantLandmark

(38)

42

(39)
(40)

44 memudahkan proses identifikasi lingkungan. “More often, local points were remembered as cluster, in which they reinforced each othe by repietition, and

were recognizable partly by context” Lynch (1960). Sebuah wilayah atau sebuah

tempat kemudian dapat memiliki lebih dari satu landmark, terutama pada jenis locallandmarkyang dipengaruhi oleh tingkat familiaritas seseorang.

Menurut Lynch (1960), fungsi Landmark dalam perancangan dan

pembentukan lingkungan fisik urban adalah: a. Landmarksebagai sarana informasi

Sarana informasi langsung mapun tidak langsung dalam jarak dekat maupun jarak jauh, baik fisik maupun non fisik dimanaLandmarkberada

DistantLandmarkmemberikan informasi secara langsung dari jarak

jauh mengenai aspek fisik berupa bangunan Landmark, maupun non fisik berupa kegiatan di sekitarLandmark

LocalLandmark memberi informasi secara langsung maupun tidak

langsung dari jarak dekat mengenai aspek fisik dan non fisik

b. Landmarksebagai orientasi lingkungan

Landmark dapat dijadikan patokan arah apabila dikaitkan dengan elemen

atau proses alam yang berlangsung secara kontinyu. Orientasi arah dapat dibentuk dari kombinasi Landmark dengan suatu jalan atau jalur menuju atau mendekatiLandmark.

(41)

Menurut Lynch (1960), Pengendalian keberadaan Landmark dalam

perancangan dan pembentukan lingkungan fisik urban dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu:

a. Berdasarkan bentuk

• Distant Landmark pada proses pengendalian dalam perancangan dan

pembentukan lingkungan urban berkaitan dengan skala kota, meliputi konfigurasi bangunan, sky line bangunan dan penataan fungsi lahan kota

• Local Landmark pada proses pengendalian ini berpengaruh dalam

radius tertentu; seperti komposisi fasade bangunan, arah pandang, dan arah capai

b. Berdasarkan waktu keberadaannya

Ditinjau berdasarkan waktu makaLandmark dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu:

• BangunanLandmarklama (old building), yaitu obyekLandmark yang

lebih dahulu ada dari proses perancangan kota.

• Bangunan Landmark baru (new building), yaitu obyek Landmark

yang keberdaaanya bersamaan atau sesudah proses perancangan kota.

Menurut Lynch (1960), terdapat beberapa kriteria untuk menjadikan suatu obyek sebagaiLandmark:

• Mempunyai karakter fisik lain dari obyek fisik di sekitarnya, mempunyai

(42)

46 • Mudah diidentifikasikan, hal ini berkaitan dengan tuntutan bahwa

Landmarkharus mudah dikenali pengamat.

 Nilai historis menyangkut proses terbentuknya obyek tersebut dan

kaitannya dengan lingkup tempat dimanaLandmarkberada.

 Nilai estetis dapat pula nilai historis menyangkut kurun waktu

terbentuknya bangunan, karena nilai estetik tiap kurun waktu dapat

berlainan.

(43)

Gambar

Gambar 2.9.Peta Medan Tahun 1936
Tabel 2.1. Citra Kawasan menurut teori Citra Kota dari penelitian Syahrum

Referensi

Dokumen terkait