BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Identifikasi
Identifikasi adalah proses pengenalan, menempatkan obyek atau individu
dalam suatu kelas sesuai dengan karakteristik tertentu. (Menurut JP Chaplin yang
diterjemahkan Kartini Kartono yang dikutip oleh Uttoro 2008 : 8). Menurut
Poerwadarminto (1976: 369) “Identifikasi adalah penentuan atau penetapan
identitas seseorang atau benda”. Menurut ahli psikoanalisis identifikasi adalah
suatu proses yang dilakukan seseorang, secara tidak sadar, seluruhnya atau
sebagian, atas dasar ikatan emosional dengan tokoh tertentu, sehingga ia
berperilaku atau membayangkan dirinya seakan-akan ia adalah tokoh tersebut
(Nainggolan, 2013).
Maksud lain dari identifikasi adalah untuk melihat apakah estimasi yang
berupa angka dari parameter persamaan struktural dapat diperoleh dari koefisien
persamaan bentuk reduksi (Surachmat, 2014)
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa
identifikasi adalah penempatan atau penentu identitas seseorang atau benda pada
2.2. Gaya Dalam Arsitektur
Dikutip dari wikipedia, bahwa gaya arsitektur adalah sebuah cara
membangun yang digolongkan berdasarkan gaya atau ciri yang membuatnya
mudah dikenal. Unsur yang menjadi bahan sebuah gaya arsitektur adalah bentuk,
cara pembuatan, material, serta sifat atau karakter dari wilayah tempat bangunan
tersebut dibuat. Penggolongan sebuah gaya arsitektur dapat didasarkan pada
kapan bangunan tersebut dibuat karena dapat menjadi lambang sebuah kebiasaan
atau fashion di era dimana bangunan tersebut dibuat. Selain itu, pengaruh agama
serta kemajuan teknologi juga dapat mempengaruhi gaya sebuah bangunan.
Gaya (style) arsitektur diwakili oleh dua hal. Pertama, yang paling kasat
mata adalah arsitektur dalam pengertian formalistik (wujud), bentukan masa,
teknik membangun, fungsi-fungsi yang diwadahi, dan kesan keseluruhan karya
tersebut. Yang kedua, lebih sulit dikenali, adalah dalam pengertian pra-anggapan,
interpretasi dan wacana yang melatari kehadiran wujud arsitektur. Pada tataran
ini, wujud “hanya” merupakan hasil dari proses desain. Yang harus diapresiasi
adalah bobot pemikiran, curahan emosi, maupun penyaluran kehendak dari si
arsitek. Beberapa karya yang dirancang dalam proses dan alur pemikiran yang
kurang lebih serupa bisa menjadi pemicu kehadiran “gaya” tertentu (Media,
2008).
Secara taksonomis-simplistik, gaya arsitektur dapat dibagi menjadi tiga
kelompok. Pertama, gaya arsitektur yang bersifat kultural. Kedua, gaya yang lebih
“universal”. Kehadiran ketiga gaya arsitektur tersebut sangat nyata di seluruh
belahan dunia dan sangat terkait dengan tarik-menarik kekuatan global versus
lokal, homogenitas versus heterogenitas kultur, keterbukaan versus ketertutupan
masyarakat terhadap ide baru. Juga tidak kalah pentingnya, tergantung situasi
finansial bangsa dan negara. Taksonomi tersebut sangat simplistic sifatnya, untuk itu jangan dipandang secara kaku. Di dalam gaya arsitektur yang lebih dekat pada
referensi kultur tertentu, tetap saja akan ditemui pendekatan personal arsitek di
dalamnya yang cukup untuk menghadirkan perbedaan dengan apa yang umum
dilakukan. Tetap saja ada pendekatan arsitektur, pencarian yang bisa dikaitkan
dengan samudera arsitektur di jagat ini. Pada zaman teknologi informasi seperti
ini, bahkan tidak mungkin bagi kita untuk secara ketat menerapkan “kemurnian”
gaya.
Situasi arsitektur mutakhir Indonesia memperlihatkan beragam gaya
muncul di berbagai bagian negeri ini. Secara umum, kita bisa menyaksikan contoh
pembagian taksonomis yang diterapkan secara eklektik, terkadang tanpa
kesadaran atas “kepantasan” dengan alam negeri yang berbeda dengan alam asal
gaya arsitektur tersebut.
(1) Gaya Arsitektur Kultural
Secara umum gaya arsitektur kultural ini diesbut juga dengan arsitektur
tradisional atau lebih dikenal dengan vernakular. Gaya arsitektur ini lekat
pada tradisi yang masih hidup, wawasan, dan tata laku yang berlaku
(2) Gaya Arsitektur Personal
Yaitu arsitektur yang memiliki langgam memicu kemana latar belakang
si arsitek sendiri. Latar belakang pendidikan, kebangsaan, dan kesukaan
sang arsitek memegang peranan penting dalam karya yang dihasilkan.
Salah satu contoh arsitek yang memiliki gaya yang khas yaitu Zaha
Hadid.
(3) Gaya Arsitektur Universal
Yaitu gaya arsitektur yang bertujuan untuk menghadirkan gaya arsitektur
untuk seluruh umat manusia di berbagai tempat berbeda secara sadar.
Gaya universal ini didominasi oleh arsitek modernis akhir abad ke-19
sampai sekarang (Lestari).
2.3. Pengaruh Budaya pada Arsitektur
2.3.1. Pengertian Budaya
Pengertian budaya mengarah ke sifat yang berhubungan dengan logika,
yang berarti tidak didatangkan sebagai definisi tetapi lebih ke dalam konteks yang
berbeda dan diharapkan dapat membuat pengertian sendiri selain dari
mengidentifikasikan konteks itu sendiri.
Kultur ini berhubungan tentang kelompok orang yang berbagi nilai,
Hal ini menciptakan sistem aturan dan kebiasaan, yang merefleksikan gagasan
dan ciptaan gaya hidup, perilaku, panduan, peran, sikap, makanan sebagaimana
bentuk yang dibangun dari arsitektur (Parson dan Shils: 1962, Rapoport: 1977
dalam Loebis, 2002). Ada kecenderungan kesamaan yang lebih besar di dalam
kultur daripada mereka sendiri. Keteraturan di dalam kultur adalah berhubungan
dengan gaya hidup dan lingkungan yang terbangunan dalam setiap skala. Lebih
lanjut dinyatakan bahwa sifat aturan ini akan diuraikan dalam lingkungan yang
membedakan lingkungan dari yang lain.
2.3.2. Kebutuhan budaya
Kebutuhan ini adalah kebutuhan yang selalu ditemukan ketika perilaku
manusia dianalisa dari segi budaya, etnis, bahasa, perbuatan, jenis kelamin dan
usia. Kebutuhan yang tidak tergantung pada sistem nilai struktur sosial yang
khusus, juga tidak dikondisikan oleh lingkungan alami dimana masyarakat dapat
dikembangkan pada tingkat pengembangan teknis dan sosial.
Kamenetzky (1992) memisahkan kebutuhan dan keinginan, bekas yang
tidak diprogramkan atau dimodifikasi oleh keinginan pemikiran sadar tetapi
keinginan dapat mengarah pada modifikasi, yang ditekankan oleh tindakan
karena poroduk dari interaksi pemikiran dengn program perilaku sub sadar.
Keinginan tidak hanya berbeda dari satu masayrakat dengan masyarakat lain
diantara individu dalam masyarakat. Mereka juga berubah didalam masyarakat
Max Neef (1992) memberikan kebutuhan dasar manusia yang bersifat
terbatas, sedikit dan dapat diklasifikasikan dan kebutuhan ini sama dalam semua
budaya dan dalam semua periode sejarah. Dia mengemukakan bahwa perubahan
terhadap waktu dan melalui budaya adalah cara dimana kebutuhan itu dipenuhi.
Lebih lanjut, dia membedakan kebutuhan manusia dari keinginan untuk
memenuhi kebutuhan yang menghasilkan progresif dan irreversibel. (Loebis,
2002)
2.3.3. Budaya dan Arsitektur
Interaksi dan pertukaran antar budaya merupakan perubahan dalam
berbagai cara dan menciptakan sintesis baru dengan apa yang telah ada
sebelumnya dan memungkinkan pengembangan periode di dalam mana akan
melibatkan dan menemukan ekspresi baru dalam merespon interaksi dengan
kultur eksternal. Gambaran budaya itu berinteraksi, memperkaya dan menciptakan
sintesis baru dengan budaya yang ada dan menghasilkan bentuk arsitektur baru
melalui transformasi (Loebis, 2002).
2.3.4. Perubahan budaya dan transformasi
Perubahan budaya didefinisikan sebagai proses alami berkaitan dengan
perubahan struktur dan perubahan fungsi dari sistem sosial yang ada di dalam
bagi ukuran sistem sosial tertentu, sementara fungsi ini merupakan implikasi
integrasi struktur dengan yang lain dalam sistem baru.
Dalam bahasa, transformasi adalah aturan sintaktis tertentu atau pola dasar
kata dalam kalimat yang mengambil satu kategori sintaksis atau simbol dan
merubahnya ke dalam string lain oleh proses penambahan, penghapusan atau
permutasi yang dispesifiaksikan oleh aturan transformasional. Catatan dapat
diperluas untuk hikayat dan mitos atau tujuan arsitektur dengan heterogenitas
yang telah ada sebagai hasil dari transformasi yang dicapai (Loebis, 2002).
2.4. Transformasi
2.4.1. Pengertian Transformasi
Transformasi dapat diartikan sebagai perubahan bentuk yaitu perubahan
bentuk dari deep structure yang merupakan struktur mata terdalam sebagai isi struktur tersebut ke surface structure yang merupakan struktur tampilan berupa
struktur material yang terlihat (Susendra, 2003). Menurut Josef Prijotomo dalam
Rahmatia 2002, apabila di indonesiakan, kata Transformasi dapat disepadankan
dengan kata pengalihan, yang artinya perubahan dari benda asal menjadi benda
jadiannya. Baik perubahan yang sudah tidak memiliki atau memperlihatkan
kesamaan atau keserupaan dengan benda asalnya, maupun perubahan yang benda
2.4.2. Asal usul perubahan
Makna kata perubahan juga dapat berarti sebagai suatu keberhasilan masa
lampau yang kemudian menghasilkan modifikasi atau penggantian unsur pola
budaya yang mengarah pada urutan pola dalam waktu dan ruang yang
menghasilkan pola budaya lainnya. Sejak saat itu, perubahan budaya menjadi
perubahan historis yang berkaitan dengan rangkaian kejadian dan pergerakan
dalam ruang dan waktu dan tidak dipelajari terpisah dari catatan sejarah.
Usaha yang terbaik untuk memperhitungkan asal usul perubahan budaya
dalam evolusionisme dan strukturalisme ditemukan dalam pekerjaan terkahir dari
sosiologi fungsionalis. Pandangan ini menjelaskan struktur dan proses perubahan
budaya sebasgai sistem bagian yang terikat secara mutual, masing-masing dengan
mengisi fungsi untuk mempertahankan sistem. Sistem ini merupakan catatan
interpretual dengan kondisi keseimbangan dinamis di mana bagian atau peran
disesuaikan untuk yang lain dan perubahan dalam subsistem untuk bagian yang
baru. Sistem ini memuat upaya mencapai keadaan baru dan meninggalkan
perubahan (Loebis, 2002).
2.4.2.1. Adaptasi
Menurut pandangan evolusionisme, adaptasi adalah proses dan mekanisme
yang menghubungkan sistem budaya dan universal. Proses adaptasi tidak
mobilisasi masyarakat dalam sumber dan mempertahankan pola budaya dalam
usaha menciptakan keseimbangan dinamik.
Sehingga, menurut Parson dan Shills (1962) kondisi ini tidak dapat diatasi
secara statis, karena sistem memiliki potensi yang tinggi untuk merangsang dan
melaksanakan perubahan dan adaptasi dalam menjaga tujuan tendensi dari misi
budaya dari masyarakat.
Meskipun adaptasi adalah faktor penting, tetapi tidak cukup dalam analisis
proses perubahan dan transformasi karena tidak memperhitungkan peran aktif dari
faktor eksternal, yang bekerja dengan baik (Loebis, 2002).
2.4.2.2. Pencapaian kebutuhan budaya
Sebagaimana dijelaskan di atas, kebutuhan budaya tidak hanya merupakan
kebutuhan fisik atau kebutuhan biologi yang diajukan oleh Malinowski (1944)
dan Mallmann (1973) tetapi juga keinginan, kebutuhan dan kebutuhan sosial yang
dinyatkan oleh Radcliffe Brown (1922). Kebutuhan budaya adalah rangkaian
interaksi dinamis dari kebutuhan biologi dan ideologi material (Loebis, 2002).
Oleh karena itu, hal ini ditentukan oleh ideologi budaya yang dicapai
melalui misi budaya yang dicapai oleh strategi budaya tetentu. Sehingga
kebutuhan budaya juga menjadi objek perubahan dan transformasi usaha untuk
2.4.3. Perubahan Melalui Pertukaran
2.4.3.1. Pertukaran internal (evolusionisme)
Teori evolusionisme meyakini bahwa proses pertukaran budaya
memperlihatkan keteraturan dan kecenderungan dari setiap pola untuk mengalami
sebuah perubahan.
Kecenderungan ini juga dijelaskan dalam pandangan pakar teori lainnya
seperti dialektika Hegel dengan cara berpikir dan juga gambar dunia. Pendekatan
dialektika menawarkan jenis teori evolusi dari dunia dalam pengertian idealistis,
yang menekankan pentingnya pemikiran dan produk mental dari pada dunia
material dalam definisi sosial untuk dunia material dan fisik. Pendekatan
dialektika didasarkan atas konflik dinamik yang dikembangkan dalam berbagai
hal.
Penyelesaian kontradiksi ini terletak dalam perubahan dinamis dari
kesadaran individu dalam konteks masyarakat. Setiap individu akan menyadari
bahwa penggenapan dari kebutuhan ini terletak pada perubahan dinamis dan
pengembangan semangat dan pola masyarakat secarra keseluruhan. Ritzer (1996)
mengemukakan bahwa “Individu dalam skema Hegel bergulir dari pemahaman
sesuatu kepada pemahaman diri sendiri dan pemahaman tempat mereka dalam
skema hal, kepada Hegel, dengan proses evolusi yang terjadi dalam kontrol
seseorang dan aktivitasnya (Loebis, 2002).
dan konsep ini tidak memiliki asal usul yang independen atau penyebaban tetapi
muncul dalam kaitannya dengan aktivitas. Desakan dari kesadaran praktis itu
berarti mengembangkan karakteristik dalam pemisahan historisme dalam
perubahan sosial dari doktrin materialisme.
Penggabungan dan sintesisasi pemikiran dan tindakan manusia dapat
merubah pola masyarakat dalam dua cara: melalui produktivitas atau kerja dan
melalui aktivitas politik atau revolusi. Revolusi akan mengabaikan kontradiksi
antara struktur kelas. Oleh karena itu, evolusi sosial akan menghentikan revolusi
politik hanya bila pertentangan kelas dapat dihilangkan.
Kelemahan evolusionisme ini adalah ketidakmampuannya untuk
mengambil poroses berkelanjutan secara radikal dan bahkan rangkaian yang
diungkapkan dalam catatan historis. Secara sistematis ini mengabaikan
pentingnya kejadian intruksi dengan peran faktor kesempatan tanpa melihat
margin kepentingan teoritis pada respon dan inisiatif manusia dan diarahkan pada
perubahan yang terjadi dalam mempengaruhi berbagai perubahan resultan
(Loebis, 2002).
2.4.3.2. Pertukaran eksternal (Difusionisme)
Difusi dapat dilihat sebagai respon terhadap sumber perubahan internal
sebagaimana diajukan oleh evolusionisme. Istilah ini didefinisikan sebagai
Kajian empiris dari difusi ini mengungkapkan proses yang bukan hanya salah satu
yang tidak mendiskrimiansikan berbagai unsur kultur yuang diberikan dan juga
keberadaan dalam unsur migrasi terhadap kultur penerima tetapi diarahkan oleh
gaya tertentu dan tekanan pada sisi kultur donor dan mengembangkan resistensi
pada bagian penerima.
Pandangan ini didukung oleh Malinowski (1945) yang secara implisit
menekankan bahwa dampak misi budaya ini mempengaruhi dan mengaktifkan
kelembagaan tidak hanya semata berupa fusi atau campuran, tetapi diorientasikan
pada garis yang berbeda dengan tujuan tertentu. Mereka tidak dipadukan satu
dengan yang lain yang tidak dapat bertindak dengan cara yang sederhana.
Difusi tidak dapat diteliti dalam penelitian lapangan bila tidak
didefinisikan dengan berabgai unsur dalam transformasi yang tidak kehilangan
elemen budaya tetapi sistem yasng terorganisir.
Sifat perubahan budaya ditentukan oleh faktor-faktor dan keadaan yang
tidak dapat dinilai oleh penelitian budaya itu saja. Kelas dan interplay dari kedua budaya ini selalu menghasilkan hal baru (Loebis, 2002).
2.4.3.3. Pertukaran terpadu
Difusionisme banyak dikritik karena menciptakan budaya yang bersifat
terlalu hermetik dan mengabaikan peran lingkungan sosial atau fisik. Juga
hal ini membatasi fokus pada pertukaran budaya eksternal dan tidak
memperhitungkan pengaruh pertukaran budaya internal dan lingkungan lokal
dalam proses perubahan dan transformasi. Sebaliknya, evolusionisme memastikan
bahwa perbedan internal adalah penyebab dan proses berkelanjutan dan
keseluruhan teori perubahan didasarkan atas spesialisasi internal. Dengan
demikian evolusionsime cenderung mengabaikan perubahan yang diakibatkan
oleh dampak perubahan budaya eksternal yang diajukan oleh difusionis. (Loebis,
2002)
2.4.4. Transformasi Dalam Arsitektur
Santoso (1981: 38), berpendapat bahwa ada 2 macam transformasi di
bidang arsitektur.
(1) Transformasi dengan mempertahankan unsur-unsur dasar tertentu
(Transformasi autokhton). Unsur-unsur dasar tersebut biasa disebut sebagai
arsitektur permanen.
(2) Transformasi yang berisi suatu break dengan tradisi atau transformasi alternatif. Transformasi alternatif ini dapat dibagi dalam 2 macam.
(a) Yang sesuai atau konform. Transfomasi ini tidak merusak unsur-unsur
dasar kebudayaan. Masalah ini bisa di analogikan dalam ilmu kesehatan
seperti seorang yang kekurangan darah gol.A. Kemudian ditolong dengan
(b) Yang patologis. Transformasi ini merusak unsur-unsur dasar
kebudayaan. Akibatnya nilai-nilai dasar kebudayaan menjadi pudar.
Masalah ini bisa di analogikan dalam ilmu kesehatan seperti orang yang
kehilangan kaki kirinya akibat kecelakaan kemudian digantikan dengan