• Tidak ada hasil yang ditemukan

SULIM BATAK TOBA: SEBUAH KAJIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SULIM BATAK TOBA: SEBUAH KAJIAN"

Copied!
167
0
0

Teks penuh

(1)

0

SULIM

BATAK TOBA: SEBUAH KAJIAN

KONTINUITAS DAN PERUBAHAN

SKRIPSI SARJANA

Dikerjakan

O

l

e

h

NAMA: BONGGUD TYSON SIDABUTAR

NIM: 070707022

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI

MEDAN

(2)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Skripsi ini akan membahas instrument 1 sulim mulai dari aspek keberadaannya hingga pada berbagai fenomena yang terjadi pada fungsi dan pengunaannya dalam kehidupan sehari-hari mulai dari masa-masa yang silam hingga pada masa kini,dan secara lebih spesifik lagi akan memfokuskan pembahasan pada kajian kontinuitas dan perubahan yang terjadi terhadap berbagai aspek yang terkait dengan fungsi dan penggunaan sulim yang membawa pengaruh besar dalam berbagai fenomena kebudayaan musikal Batak Toba.

Sulim (seruling) adalah sejenis instrumen tiup bambu yang berasal dari daerah Batak Toba di Sumatera Utara. Dalam klasifikasi alat musik oleh Curt Sachs dan Hornbostel, instrumen ini tergolong kepada jenis aerophone dengan spesifikasi side blown flute yang terdiri dari sebuah lobang tiupan dan 6 (enam) buah lobang nada. Dilihat dari karakteristik organologisnya, sulim hampir sama dengan jenis seruling yang ada pada etnis lain pada umumnya. Yang membedakannya hanya pada penambahan lobang yang dibalut oleh sebilah kertas tipis ataupun plastik tipis pada pertengahan antara lobang tiupan dengan lobang nada. Lobang tambahan ini dapat menciptakan warna bunyi yang menjadi ciri khas tersendiri dibandingkan instrumen seruling yang lain.

Ditinjau dari aspek penggunaannya, awalnya sulim hanya tergolong kepada sejenis solo instrumen atau instrumen tunggal yang biasa dipakai oleh seseorang sebagai media hiburan untuk mengungkapkan perasaannya. Dalam kehidupan

1

(3)

2

sehari-hari instrument ini lazim dipakai oleh seseorang diwaktu-waktu senggang baik ketika menggembalakan kerbau, menjaga ladang/sawah, bermain ataupun saat melakukan berbagai aktivitas lainnya. Kemudian seiring dengan perkembangan zaman, dengan hadirnya opera Batak2 yang dari tahun 1920-an hingga 1970-an,

Sebelum hadirnya opera Batak, sulim bukanlah sebuah instrumen yang biasa dimainkan dalam ensambel4. Sebab pada masa itu, hanya ada 2 jenis ensambel yang berkembang dalam tradisi Batak Toba yakni ensambel gondang sabangunan dan ensambel gondang hasapi, dimana di antara kedua ensambel ini tidak mencakup sulim sebagai salah satu instrumen pendukungnya walau pun sulim mampu berperan sebagai pembawa melodi utama dalam sebuah repertoar. Tetapi seiring perkembangan zaman dan rasa musikal masyarakat Batak Toba pada masa itu maka terjadilah sedikit pergeseran dimana instrumen sulim dan taganing mulai dipadukan dengan instrumen-instrumen yang ada dalam ensambel gondanghasapi. Dalam ensambel ini, sulim berperan sebagai pembawa melodi penuh disamping instrumen lain yang juga pembawa melodi utama seperti hasapi inang (lute),

2

Opera Batak merupakan seni pertunjukan masyarakat Batak Toba yang melibatkan/menggabungkan seni teater, musik, tari, dan nyanyian (vokal)

3

Seorang pelopor musik dan lagu Opera Batak

4

(4)

3

sarune etek (oboe) dan garantung (xylophone). Selain sebagai pembawa melodi, sulim juga berperan sebagai pembawa melodi variatif yang mampu keluar dari wilayah nada pokok sebagai wujud dari improvisasi nada-nada yang dimainkan baik dari sebuah lagu maupun repertoar sesuai kemampuan pemainnya. Menurut para narasumber pemusik tradisional Batak Toba, masuknya sulim ke dalam gondang hasapi merupakan pengaruh dari ensambel musik opera Batak yang disebut dengan uning-uningan.

Selain itu, sulim termasuk instrumen yang unik jika dibandingkan dengan instrumen tradisi Batak Toba lainnya. Salah satu keunikannya adalah, sulim mampu mengubah sebuah tradisi yang sudah dilestarikan bertahun-tahun tanpa mengubah ciri khas dari instrumen itu sendiri. Hal ini dapat kita lihat melalui berbagai aspek yang menunjukkan bahwa betapa pentingnya sulim hadir dalam sebuah kajian musikologis khususnya dalam Budaya Batak. Sebagai bukti selain dari pada beberapa fakta di atas adalah ;

Pertama, selain memberikan pengaruh pada era opera Batak sulim juga hadir dalam formasi Brass Band atau dikenal dengan ensambel Musik Tiup Logam5 yang juga digemari pada masa itu dimana ensambel ini acapkali dipakai dalam setiap acara adat orang Batak. Dalam konteks ini, sulim berperan sebagai pembawa melodi yang pada akhirnya mampu mengubah tradisi musik tiup yang didominasi

(5)

4

Kedua, sulim tidak hanya memberikan pengaruh dalam eksistensi opera Batak atau pun musik tiup dalam konteks hiburan maupun adat, tetapi sulim juga hadir dalam perkembangan Musik Gereja. Hal ini dapat kita lihat ketika sulim dipakai sebagai salah satu intrumen pengiring lagu-lagu ibadah ketika ada perayaan tertentu di dalam sebuah gereja atau pun dalam perayaan akbar di luar gereja sekali pun seperti Perayaan Hari Besar Agama Kristen dan acara Kebangkitan Kebangunan Rohani (KKR) jemaat Kristiani.

Selain dari itu, sulim juga sudah sering dipakai sebagai salah satu media pengiring lagu rohani mau pun sekuler bernuansa tradisi yang dibawakan oleh berbagai Paduan Suara ;

Ketiga, setelah berakhirnya kejayaan opera Batak pada akhir 1970-an maka muncullah Hits-hits Album Batak popular yang diwarnai dengan nuansa Musik Barat yang pada masa itu didominasi oleh lagu-lagu karya almarhum Nahum Situmorang6 dan sudah berkembang hingga pada masa kini. Seiring perkembangan tersebut tidaklah pula warna tradisi malah menghilang dari berbagai lagu Batak yang disajikan. Kehadiran sulim dalam mengisi setiap lagu Batak (tradisonal dan popular) yang diciptakan menjadi keunikan tersendiri bagi setiap pendengar. Hal ini menunjukkan bahwa sulim tidak selamanya hanya dipakai dalam memainkan melodi sebuah lagu atau repertoar secara utuh tetapi juga mampu memainkan sebagian atau penggalan dari beberapa repertoar tertentu untuk mengisi intro (musik pembuka) dan interlude (musik tengah) dari sebuah lagu popular (pop) dan tradisional Batak yang dihasilkan dalam industri rekaman ;

Keempat, selain menjadi instrumen yang sering disandingkan dengan instrumen Batak yang lain, sulim juga mampu berperan sebagai instrumen tunggal

6

(6)

5

yang dapat membawakan melodi andung-andung ( nyanyian ratapan tangis) yang seiyogianya dimainkan pada intrumen lain seperti sordam7. Namun, seiring dengan semakin langkanya sordam maka pada masa sekarang ini alunan andung-andung tersebut dapat dimainkan pada sulim. Hal ini dimungkinkan karena produksi nada sulim selain dihasilkan oleh lobang nada juga dapat diproduksi melalui teknik tiupan, sehingga karakter bunyi sordam dapat dihasilkan walau tidak terlalu persis tapi setidaknya mirip dengan yang aslinya ;

Kelima, selain sebagai instrumen tunggal maupun instrumen yang selalu dimainkan dengan isntrumen Batak yang lainnya, pada masa sekarang ini sulim juga sudah sering ditampilkan dengan suguhan yang berbeda yakni mampu berkolaborasi dengan intrumen tradisi dari berbagai sub-etnis Batak atau bahkan etnis-etnis yang lain. Hal ini bisa terbukti dengan terbentuknya berbagai group musik antar lintas etnis di kota Medan seperti “D’Tradisi” yang baru-baru ini sudah mengharumkan nama baik Sumatera Utara di kancah blantika musik Indonesia, dan juga group antar lintas etnis yang lain seperti “Group Incidental Music”, “Metronom” serta group musik yang lainnya yang sudah tidak asing lagi dalam mengiringi berbagai tari garapan etnis yang ada di kota Medan.

Terlepas dari gaya atau teknik yang dimainkan, instrumen sulim sudah memberikan warna baru dan dinamika tersendiri dalam keberlangsungan atau eksistensi musik Batak dan kolaborasi antara musik Batak dengan musik etnis lainnya di tanah air.

Selain beberapa hal yang penulis paparkan di atas, mungkin masih banyak lagi hal unik lain tentang pemakaian sulim yang berkembang hingga pada saat ini

7

Sejenis instrument tiup bambu Batak Toba yang lain dengan spesifikasi end blown flute

(7)

6

yang belum penulis paparkan. Oleh karena itu, penulis masih butuh informasi atau referensi dari berbagai sumber untuk melengkapi tulisan ini, dan dengan memperhatikan berbagai fakta unik tentang instrumen sulim yang penulis paparkan tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk membuat sebuah kajian skripsi yang berjudul “SULIM BATAK TOBA : SEBUAH KAJIAN KONTINUITAS DAN PERUBAHAN”.

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas, maka pokok permasalahan yang menjadi topik bahasan dalam tulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana keberadaan (eksistensi) sulim terkait dengan fungsi dan penggunaannya ketika dimainkan dalam konteks tunggal (solo instrument), dengan ensambel serta kolaborasi dengan instrument yang lain dalam berbagai fenomena Budaya Batak Toba.

2. Hal-hal apa sajakah yang melatar-belakangi terjadinya perubahan dan kontinuitas baik pada instrumen itu sendiri maupun pengaruhnya terhadap berbagai aspek dimana instrument tersebut digunakan.

3. Bagaimana gambaran proses kontinuitas (keberlanjutan) dan perubahan yang terjadi dari berbagai aspek tersebut.

(8)

7

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui aspek-aspek apa sajakah yang menjadi kelebihan sulim dibandingkan isntrumen lain sehingga mampu dimainkan dalam berbagai konteks baik solo, ensambel, maupun kollaborasi dengan instrument lain sehingga mampu membawa perubahan dalam berbagai fenomena budaya Batak Toba.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi terjadinya kontinuitas dan perubahan itu sendiri.

3. Untuk memberikan gambaran umum tentang proses bagaimana kontinuitas dan perubahan itu bisa terjadi.

4. Untuk mengetahui aspek-aspek apa saja yang berubah dan berlanjut (kontinu) dalam proses tersebut.

1.3.2 Manfaat penelitian

Adapun beberapa manfaat yang diperoleh dan ingin dicapai dalam tulisan ni adalah :

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para pembaca, baik yang berada dalam disiplin etnomusikologi maupun di luar etnomusikologi, khususnya bagi penulis sendiri dalam menambah wawasan tentang budaya masyarakat Batak.

(9)

8

3. Sebagai dokumentasi tambahan mengenai fenomena Budaya Batak Toba yang bisa dipakai sebagai masukan bagi Departemen Etnomusikologi.

4. Semoga dapat digunakan oleh penulis lain yang ingin membahas tentang masalah yang sama dengan objek yang berbeda.

5. Untuk memenuhi syarat ujian untuk mendapatkan gelar Sarjana di Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

1.4 Konsep dan Teori

1.4.1 Konsep

Konsep adalah kesatuan pengertian tentang suatu hal atau persoalan yang perlu dirumuskan. Konsep juga merupakan rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1991 : 431). Untuk memperjelas konsep yang akan penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini, maka sebaiknya perlu dijelaskan 2 (dua) hal pokok yang menjadi topik utama dalam pembahasan yakni mengenai kajian kontinuitas dan perubahan.

Kajian merupakan kata jadian yang terbentuk dari kata “kaji” yang berarti mengkaji, mempelajari, memeriksa, mempertimbangkan secara matang, dan mendalami. Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa pengertian kata “kajian” dalam hal ini adalah suatu penelitian atas pemeriksaan yang dilakukan dengan teliti (Badudu, 1982: 132).

(10)

9

dari struktur organologis dan ciri khas bunyi serta teknik-teknik dasar dalam memainkan sulim, dimana hingga pada saat ini hal-hal tersebut masih tetap dipertahankan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:1234), kata perubahan berarti; hal (keadaan) berubah, peralihan, pertukaran. Dalam bahasa inggris perubahan disebut change, misalnya perubahan sosial atau sosial change, artinya perubahan dalam kemasyarakatan yang mempengaruhi sistem sosial suatu masyarakat yang berhubungan dengan nilai-nilai, dan perilaku di antara kelompok manusia (Yandianto, 2000:656; Abdulsyani, 1995:83)

Dalam hal ini, perubahan yang dimaksud dibedakan menjadi 2 (dua) aspek yakni aspek fisik maupun non-fisik. Aspek fisik menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan kondisi fisik istrumen itu sendiri, sedangkan aspek non-fisik menyangkut fungsi dan penggunaan sulim itu sendiri dalam berbagai konteks penyajiannya.

Berbicara tentang aspek fisik, salah satu perubahan yang terjadi adalah bahwa awalnya sulim tidaklah memiliki nada dasar tetap yang sudah ditentukan pada masa itu, sebab sulim awalnya tidak dimainkan dalam sebuah ensambel yang disesuaikan dengan nada dasar dan mengikuti pola akord tertentu. Sehingga dulunya sulim memiliki bentuk ukuran yang berbeda-beda yang sifatnya bebas tanpa harus mengikuti pola,aturan pembuatan tertentu. Dalam arti bahwa ketika itu nada-nada yang dihasilkan oleh sulim belum sesuai dengan standardisasi nada yang dihasilkan oleh piano.

(11)

10

diciptakan berdasarkan 12 (dua belas) nada yang ada pada wilayah (range) satu oktaf nada piano mulai dari nada C standard hingga C’ (C oktaf). Hal ini bisa terjadi mungkin karena semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat pendukungnya terhadap penyajian sulim itu sendiri. Salah satu bukti yang paling signifikan adalah dengan hadirnya sulim dalam mengiringi lagu ibadah gereja, berbagai lagu dalam paduan suara, dan juga dalam pengisian komposisi musik lagu Batak Tradisional maupun Populer dalam industri rekaman dimana situasi tersebut memaksa supaya sulim juga harus disesuaikan dengan nada dasar lagu atau pun repertoar yang dipintakan.

Kemudian selain daripada itu, aspek lain yang bisa dilihat adalah ketika sulim tidak lagi hanya memainkan nada-nada pentatonis, tetapi juga mampu dimainkan dengan nada-nada yang diatonis bahkan dapat diwarnai dengan penambahan nada kromatis. Hal ini terjadi karena sulim tidak lagi semata hanya memainkan repertoar gondang Batak Toba yang mengandung ciri khas nada pentatonis, tetapi juga sudah sering ditampilkan untuk mebawakan lagu-lagu baik itu lagu tradisional Batak Toba, lagu Populer, lagu Rohani, maupun lagu Sekuler lainnya dimana sudah banyak terkontaminasi oleh nada-nada musik Barat. Sejalan dengan uraian tersebut di atas, mungkin hal inilah yang memicu diciptakannya sulim dengan 12 kunci (nada dasar) dengan pelarasan nada musik Barat.

(12)

11

1.4.2 Teori

Teori merupakan prinsip-prinsip umum yang ditarik dari fakta-fakta, dan juga dugaan yang menerangkan sesuatu (Marzuki 1999 : 33). Teori juga dapat berarti sebagai suatu analisis terhadap suatu hal yang sudah terbukti dan teruji kebenarannya. Dan teori juga merupakan landasan berpikir secara ilmiah untuk menguji, membandingkan, atau menerapkan untuk objek penelitian.

Dalam pembahasan ini teori dapat digunakan sebagai landasan dan kerangka berpikir dalam membahas setiap permasalahan. Oleh karena itu, penulis mengadopsi beberapa teori sebagai referensi dalam penulisan skripsi ini.

Menurut Soekanto, perubahan terjadi karena usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri sesuai kebutuhan situasi dan kondisi yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat (Soekanto 1992 : 21). Suatu kebudayaan tidaklah bersifat statis, melainkan selalu berubah dengan kemajuan zaman sebab kebudayaan bukanlah suatu hal yang lahir hanya sekali (Ihromi 1987 :32).

Herskovits dalam Merriam mengemukakan bahwa perubahan dan kelanjutan (kontinuitas) merupakan suatu tema yang digunakan untuk memahami sifat stabil dan dinamis yang melekat dalam setiap kebudayaan. Berkaitan dengan fenomena ini, teori kebudayaan secara umum mengasumsikan bahwa setiap kebudayaan beroperasi dalam kerangka waktu yang terus mengalami kelanjutan, dimana variasi-variasi dan perubahan yang terjadi adalah hal yang tidak dapat dielakkan (Merriam 1964 : 303).

(13)

12

didefenisikan sebagai transmisi budaya dalam proses. Perubahan dapat dipandang dari bagaimana asal-usul sebuah kebudayaan tersebut apakah karena faktor internal atau eksternal. Perubahan yang terjadi karena faktor internal disebut inovasi, dan perubahan karena faktor eksternal disebut akulturasi (1948 : 525).

Sependapat dengan uraian tersebut, Koentjaraningrat (1965:135) juga mengemukakan tentang salah satu faktor yang menyebabkan perubahan kebudayaan, yaitu: inovasi (innovation) adalah suatu proses perubahan kebudayaan yang besar tetapi yang terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Proses ini meliputi satu penemuan baru, jalannya unsur itu disebarkan ke lain bagian masyarakat dan cara unsur kebudayaan tadi diterima, dipelajari, dan akhirnya dipakai dalam masyarakat yang bersangkutan. Kemudian Lauwer juga berpendapat bahwa terjadinya suatu perubahan dapat diakibatkan oleh adanya akulturasi (acculturation), dimana akulturasi disini mengacu pada pengaruh suatu kebudayaan lain atau saling mempengaruhi antara dua kebudayaan yang mengakibatkan terjadinya suatu perubahan (1989:402).

Perubahan juga merupakan sebuah konsep yang serba mencakup, menunjuk kepada perubahan fenomena sosial di berbagai tingkat manusia. Perubahan sosial dapat dilihat pada suatu tingkat tertentu atau dengan menggunakan berbagai kawasan studi dan menganalisis. Perubahan sikap ini melambangkan perubahan hubungan sesama manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara jelas untuk mengetahui adanya perubahan dalam suatu komunitas masyarakat merupakan cerminan masyarakat tersebut (Lauer 2001 : 5).

(14)

13

kehidupan. Kondisi-kondisi sosial primer yang menyebabkan terjadinya perubahan seperti pengetahuan, ekonomi, teknologi, atau geografi merupakan faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan pada aspek sosial lainnya.

Sehubungan dengan pengkajian instrument sulim, penulis juga mengacu pada teori yang yang dikemukakan oleh Kashima Susumu dengan menjelaskan dua pandangan yang mendasar yaitu :

“1. Structural and 2. Fungsional. Structural studies deal with the physical aspect of musical instrument – observing, measuring, and recording the shape, size, construction and the materials used in making the instrument. The second deals with its function as a sound-producing tool researching, measuring and recording the playing methods, tuning methods, sound producing uses and the loudness, pitch, timbre, and quality of the sound produced”(Susumu, 1978 : 174).8

“1. Struktural dan 2. Fungsional. Secara Struktural, yaitu aspek fisik instrument musik – pengamatan, mengukur, dan merekam bentuk, ukurannya, konstruksinya, dan bahan yang dipakai dalam pembuatan instrument tersebut. Secara Fungsional yaitu berkaitan dengan fungsi instrument sebagai alat penelitian untuk memproduksi bunyi, metode pengukuran dan perekaman bunyi, metode penyelarasan nada, penggunaan bunyi yang diproduksi dan kekuatannya, ketepatan nada, warna bunyi, dan kualitas bunyi yang diproduksi.”

Berkaitan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Susumu dan dengan melihat kenyataan yang terjadi pada masyarakat Batak Toba, maka penulis melakukan pembahasan baik secara struktural maupun fungsional dari instrument itu sendiri.

Dalam membicarakan aspek musikologis pada tulisan ini, penulis memperhatikan pendapat Malm (1977:8) yang menyatakan beberapa karakter yang harus diperhatikan dalam mendeskripsikan melodi, yaitu : (1) tangga nada, (2) nada dasar, (3) wilayah nada, (4) jumlah masing-masing nada, (5) interval, (6) pola-pola

8

(15)

14

kadens, (7) formula melodi, (8) kontur. Teori ini disebut juga dengan teori Weighted Scale (bobot tangga nada). Teori ini pada dasarnya melihat struktur ruang dalam musik dengan menggunakan ukuran-ukuran tertentu.

Untuk membahas tentang fungsi dan penggunaan musik dalam masyarakat Batak Toba terkait dengan penggunaan sulim dalam berbagai konteks penyajiannya, penulis berpedoman pada teori Uses and Function yang dikemukakan oleh Meriam (1964: 119-222) yang menawarkan sekurang-kurangnya ada sepuluh fungsi dalam musik, yaitu: (1) fungsi pengungkapan emosional (the funtion of emotional), (2) fungsi penghayatan estetis (the funtion of aesthetic enjoyment), (3) fungsi hiburan (the funtion of entertainment), (4) fungsi komunikasi (the funtion of comunication), (5) fungsi perlambangan (the funtion of symbolic representation), (6) fungsi reaksi jasmani (the funtion of physical response), (7) fungsi yang berkaitan dengan norma-norma sosial (the funtion of enforcing coformity to social norms), (8) fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara agama (the funtion of validation of social institution and religious rituals), (9) fungsi kesinambungan budaya (the funtion of contribution to the continuity and stability of culture), (10) fungsi pengintegrasian masyarakat (the funtion of contribution the integration of society).

1.5 Metode Penelitian

(16)

15

Menurut Caplin (1989:301), metode adalah prosedur sistematis yang tercakup dalam upaya menyelidiki suatu fakta atau konsep. Dari beberapa kutipan tersebut dapat diartikan bahwa yang dimaksud dengan metode penelitian dalam disiplin ilmu tertentu. Di dalam ilmu-ilmu sosial, objek pengamatan dan penelitian yang merupakan dasar dari pengetahuan ilmiah adalah gejala-gejala masyarakat yang lebih khusus, terdiri dari kejadian-kejadian kongkrit.

Menurut Nettl (1964:62-64) ada dua hal yang esensial untuk melakukan aktivitas penelitian dalam disiplin Etnomusikologi yaitu kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work). Kerja lapangan ini meliputi pemilihan informan, pendekatan dan pengumpulan data, pengumpulan dan perekaman data, latar belakang perilaku sosial ataupun mempelajari seluruh pemakaian musik. Sedangkan kerja laboratorium meliputi pengolahan data yang didapat dari lapangan, menganalisis dan membuat hasil dari keseluruhan data-data yang diperoleh.

Untuk mendapatkan data secara sistematis, maka penulis menggunakan metode penelitian dengan pendekatan kualitatif. Menurut Nawawi dan Martini (1995:209) penelitian kualitatif adalah rangkaian atau proses menjaring data (informasi) yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek atau bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Selanjutnya Moleong juga menambahkan bahwa penelitian kualitatif dibagi dalam empat tahap, yaitu: tahap sebelum kelapangan (pra lapangan), tahap kerja lapangan, analisis data dan penulisan laporan.

(17)

16

sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu untuk menentukan frekuensi atau penyebaran dari suatu gejala ke gejala lain dalam suatu masyarakat.

1.6 Pemilihan Lokasi Penelitian dan Informan

Dalam hal penentuan lokasi penelitian, penulis memilih berdasarkan tempat berdomisilinya para informan atau musisi yang dianggap berkaitan dengan penelitian ini. Oleh karena itu, penulis dalam hal ini melihat kasus yang sering terjadi di kota Medan sebagai bahan penelitian dan memilih wilayah Samosir sebagai perbandingan dan juga sebagai tempat tinggal para informan. Selain karena tempat berdomisilinya para informan, alasan memilih kedua tempat tersebut adalah bahwa kota Medan merupakan ibukota Sumatera Utara yang juga tempat berdomisilinya penulis dan mayoritas masyarakat Batak secara keseluruhan, dimana tempat ini berperan sebagai pusat kehidupan yang dinamis dan berkembang serta penuh dengan fenomena budaya Batak Toba, sedangkan Samosir merupakan tempat yang menjadi pusat peradaban masyarakat Batak Toba dan akar bertumbuhnya budaya masyarakat Batak Toba.

1.7 Kerja Lapangan

(18)

17

1.8 Studi Kepustakaan

Sebagai landasan penulis dalam melakukan penelitian, sebelum melakukan kerja lapangan penulis terlebih dahulu melakukan studi kepustakaan, baik dari artikel, skripsi, maupun buku-buku yang berkaitan dengan objek penelitian. Studi ini bertujuan untuk memperoleh konsep-konsep serta teori-teori yang relevan untuk membahas permasalahan dalam tulisan ini sekaligus untuk menghindari kesamaan topik pembahasan.

Beberapa tulisan yang membahas tentang sulim Batak Toba, antara lain: Skripsi Martogi Sitohang yang berjudul “Sulim Batak Toba : Suatu Kajian dalam Konteks Gondang Hasapi ”. Skripsi ini secara umum membahas tentang kajian musikologis sulim dalam konteks ensambel gondang hasapi saja. Selanjutnya Skripsi Frendy Sirait yang berjudul “Instrumen Sulim Pada Ansambel Musik Tiup Batak Toba Di Kota Medan : Kajian Terhadap Fungsi, Perkembangan Dan Organologis”. Skripsi ini secara umum juga hanya membahas tentang kajian fungsional, dan perkembangan penggunaan serta organologis sulim dalam konteks ensambel Musik Tiup saja. Kalo penulis melihat perbandingan antara kedua judul tersebut di atas, penulis menilai bahwa ada kesamaan topik konteks pembahasan yakni sama-sama membahas tentang kajian fungsional sulim dalam konteks ensambel. Hal yang membedakannya hanya terlihat ketika instrument tersebut dimainkan dalam nama ensambel yang berbeda,yakni antara ensambel gondang hasapi dan musiktiup.

(19)

18

instrument yang lain,selain daripada itu penulis juga membahas tentang kontinuitas dan perubahan fungsi dan penggunaannya dalam berbagai aspek tersebut.

Selain dari kedua skripsi di atas, untuk mendukung bahasan tentang kajian

organologis serta kajian kontinuitas dan perubahan yang juga dibahas dalam tulisan ini penulis juga mengambil referensi dari skripsi-skripsi lain seperti skripsi Martahan Sitohang yang berjudul “Perubahan dan Kontinuitas Ritual Pembuatan Taganing di Desa Turpuk Limbong Kecamatan Harian Kabupaten Samosir”, skripsi Leonald Nainggolan yang berjudul “Kontinuitas dan Perubahan Gondang Naposo Pada Masyarakat Batak Toba di Desa Gajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan”, dan juga skripsi yang berjudul “Studi Organologis dan Musikologis Tulila Dalam Kebudayaan Batak Toba di Desa Turpuk Limbong Kecamatan Harian Boho Kabupaten Tapanuli Utara” serta banyak skripsi lain yang mungkin tidak dapat penulis paparkan satu persatu dengan alasan bahwa sejalan dengan proses penulisan skripsi ini kemungkinan akan ada referensi lain yang penulis dapatkan baik berupa skripsi atau sumber buku yang lain secara tiba-tiba atau dalam konteks situasi yang berbeda.

1.9 Kerja Laboratorium

(20)

19

(21)

20

BAB II

MASYARAKAT BATAK TOBA DI

BONA

PASOGIT

DAN DI PERANTAUAN

2.1 Konsep Adat

Kebudayaan terjadi karena adanya faktor-faktor yang mendukung terjadinya kebudayaan itu. Dalam masyarakat Batak Toba, dapat kita temukan adanya kebudayaaan yang berisikan adat isitiadat dan juga kesenian. Hal ini masih tetap dilaksanakan dalam tatanan kehidupan masyarakat Batak pada masa kini dan merupaan suatu hal pokok yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang Batak itu sendiri.

Adat merupakan warisan dari leluhur yang harus dilanjutkan oleh generasi berikutnya yang merupakan pedoman kepada masyarakat dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari. Di dalam adat terdapat unsur hukum, aturan dan tata cara yang mengatur tentang hubungan manusia dan manusia.

Menurut masyarakat Batak Toba, adat merupakan pemberian Mulajadi Na Bolon9 yang harus dituruti oleh makhluk penciptanya. Adat inilah yang menjadi hukum bagi setiap orang yang memberikan pengetahuan tentang cara kehidupan untuk membedakan yang baik dan yang buruk.

Adat adalah kebiasaan atau hasomalan yang berarti aturan-aturan yang dibiasakan. Pengertian lain yaitu kebiasaan di suatu tempat atau yang terdapat pada suatu kelompok marga yang berasal dari orang-orang tua dan diwariskan secara turun temurun, berupa pesan tentang aturan dan hukum yang tidak boleh diabaikan

9

(22)

21

atau dilupakan. Hukum adat yang merupakan pemberian dari Mulajadi Na Bolon sebagai perintah yang harus dituruti bermula dari kebiasaan adat yang dilaksanakan oleh sekelompok masyarakat. Oleh karena itu, tertanam suatu kepercayaan pada masyarakat Batak Toba terhadap hukum adat itu sendiri. Masyarakat Batak Toba meyakini bahwa apabila adat diikuti dan dilaksanakan maka orang tersebut dipercaya akan mendapat berkah, sedangkan orang yang tidak peduli dengan adat tersebut akan mendapat bala (hukum tersirat).

Secara teologis, adat adalah bentuk keseluruhan suatu agama suku, adat merangkum, meresapi dan menentukan suku atau bangsa dengan cara yang bagaimanapun. Adat menghubungkan orang yang hidup yang kelihatan dengan orang yang mati yang tidak kelihatan; adat mengatur tata tertib sosial untuk desa sebagai persekutuan hukum, persekutuan produksi, dan persekutuan agama; adat mempertahankan daya hidup mitos dimana kekuatannya terdapat pada nomisme, yaitu sikap hukum yang alamiah dan tujuannya ialah utk tercapainya kelanggengan dan keselarasan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Dalam keseluruhan aspek ini, dunia binatang dan tumbuh-tumbuhan disatu-padukan sepenuhnya sama seperti dunia alam dan cakrawala. Adat mepunyai corak bermotif sebab ia mempunyai dasar dalam mitos yang merupakan konsepsi suatu bangsa untuk memahami dirinya. Oleh karena itu, adat adalah bagian lahiriah serta pengembangan mitos dalam kehidupan bersama dan penerapannya dalam segala seluk belukn kehidupan (Pasaribu, 1986:61).

(23)

22

pembangunan rumah, upacara perkawinan, upacara kematian, semuanya dipelihara, dilaksanakan dan diatur menurut adat (ibid, 1994:20).

Kebudayaan Batak Toba merupakan sebuah bentuk gagasan yang diwarisi masyarakat pemiliknya dengan membuat perilaku terhadap nilai-nilai budaya. Konsep masyarakat Batak Toba tentang kehidupan manusia, adalah bahwa kehidupannya selalu terkait dan diatur oleh nilai-nilai adat. Adat merupakan bagian dari kewajiban yang harus ditaati dan dijalankan. Dalam praktek pelaksanaan adat Batak Toba, realita di lapangan menunjukkan terdapat empat (4) katagorial adat yang telah dilakukan.

Pertama, komunitas masyarakat Batak Toba mempunyai sistem hubungan adat tersendiri. Menunjukkan, setiap komunitas mempunyai tipologi adat masing-masing. Perlakuan masyarakat pedesaan terhadap adat lebih intensif dan merekat, dengan masyarakat Batak yang tinggal di perkotaan relatif lebih individualistis menyikapi adat Batak. Perilaku ini muncul akibat pengaruh lingkungan yang membentuk pola pikir disamping unsur teknologi yang mempengaruhi.

(24)

23

Ketiga, Pola hubungan antar manusia dalam kelompok masyarakat Batak Toba berubah secara terus menerus, sehingga pelaksanaan adatnya juga mengalami perubahan sesuai kebutuhan tanpa melihat sisi ruang dan waktu.

Keempat, pandangan dan nilai yang diberikan terhadap adat itu juga mengalami perubahan, akibat dari pengaruh teknologi dalam penyebaranluasan informasi. Hal itu tampak dalam praktek adat yang dilakukan oleh masyarakat pendukungnya.

Lebih jauh, adat adalah sebuah sistem yang mengatur kehidupan manusia. Sehingga, orang Batak yang bertindak dan bertingkah laku tidak sesuai dengan adat disebut dengan na so maradat (orang yang tidak memiliki adat) dan akan ada sanksi sosial terhadap orang-orang yang melanggar adat. Pelanggaran adat yang dilakukan dapat berbentuk perkawinan terlarang. Misalnya, perkawinan semarga (incest). Pencurian, pencemaran nama baik dan hal lain yang diyakini sebagai tatanan sosial masyarakat yang tidak dapat dilanggar (bandingkan, Bruner 1961:510). Sanksi bagi pelanggar hukum adat, diyakini datang dari kutukan ilahi yang mereka percayai. Misalnya, tidak mendapatkan keturunan, penyakit menahun yang tidak kunjung sembuh, kerugian ekonomis dalam setiap pekerjaan bahkan sanksi kematian. Hukuman ini berlaku bagi pelanggar adat hingga keturunan selanjutnya dalam beberapa generasi. Karena prinsip adat Batak bersumber dari keilahian yang diturunkan nenek moyang orang Batak, maka setiap orang Batak yang menjalankan adat adalah orang-orang yang bersekutu dengan nenek moyangnya.

2.2 Religi atau Kepercayaan

(25)

24

Jadi Nabolon. Mite yang mirip dengan mitologi dalam kepercayaan Hindu dalam cerita turun temurun masyarakat Batak Toba ini, yaitu adanya tiga oknum dewa masing-masing Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan sebagai aspek dari Mulajadi Nabolon yang memiliki otoritas di bumi untuk mengatur kehidupan manusia (Situmorang, 2009:21).

Dalam beberapa tulisan konsep mitologi ini berbeda dengan konsep yang diungkapkan oleh Sitor Situmorang tentang “tri tunggal” Dewa orang Batak. Dalam tulisan lain, Tampubolon menyebut ketiga Dewa itu bukanlah implisit dari jelmaan Mula Jadi Nabolon, melainkan tiga dewa yang berdiri sendiri yaitu 1) Mulajadi Nabolon, 2) Debata Asi-asi dan 3) Batara Guru yang sesuai dengan pekerjaannya di Bumi. Mulajadi Nabolon diyakini sebagai pencipta dari alam semesta untuk alam yang besar (Nabolon), dan menciptakan dewa-dewa yang lebih rendah. Debata Asi-asi sebagai dewa yang menurunkan berkat dan kasih melalui oknum perantara (roh leluhur, roh penghuni suatu tempat). Batara Guru berarti maha guru yang memberi ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu gaib, pengobatan dan penangkalan roh-roh jahat. (Tampubolon, 1978:9-10).

Mitologi Batak pada umumnya disampaikan melalui cerita dari mulut ke mulut (tradisi lisan), biasanya pemberitaan seperti ini sukar untuk dipercaya. Hal ini terbukti dari banyaknya beredar cerita-cerita dongeng di kalangan bangsa Batak. Lebih lanjut Warneck membenarkan bahwa hampir semua suku bangsa memiliki dongeng, yang tidak memiliki hubungan satu sama lain. Masing-masing berdiri sendiri (Hutauruk, 2006:8)

(26)

25

kehidupan manusia. Dalam legenda Siboru Deak (Deang) Parujar dalam tonggo-tonggo (doa) yang disampaikan pada Mula Jadi Nabolon menyebut: Debata Natolu, Natolu Suhu, Naopat Harajaon. Sangti menguraikan pekerjaan dan tugas keempat oleh Debata Asi-asi yaitu menolong manusia dengan bersusah payah dan berkorban. Dewa ini berfungsi sebagai: naso pinele jala naso sinomba (yang tidak disaji dan tidak disembah) sebagai tugas keempat dimaksud dari na opat harajaon (Sangti, 1977:279).

Dalam konteks kepercayaan tradisional “agama Batak” itu, terdapat konsep bahwa kehidupan manusia tetap berlangsung walaupun sudah meninggal. Kehidupan itu berada pada dunia maya, kehidupan para roh-roh yang sudah meninggal. Anggapan bahwa roh-roh itu memiliki komunitas dan aktivitas sendiri. Itu sebabnya, hingga kini masih terdapat kepercayaan bagi masyarakat Batak untuk ikut menyertakan berbagai perlengkapan orang yang sudah mati, dikubur bersama jasadnya. Misalnya, pahean (pakaian) yang dikenakan dipergunakan nantinya setelah roh sebagai pakaian yang membungkus dari rasa dingin, dan ringgit sitio suara (uang) untuk kebutuhan perjalanan menempuh perjalanan ‘jauh’ dari dunia nyata ke dunia maya atau benda-benda lainnya yang dibutuhkan dalam dunia roh. (ibid. 1978:10).

(27)

26

Dalam konsep Batak, seluruh kehidupan tertuju pada daya dan upaya untuk mencapai kepemilikan sahala. Sahala dalam filsafat Batak sangat besar pengaruhnya dalam segala gerak hidup orang Batak, dan semua orang Batak harus mempunyai sahala. Penafsiran sahala menurut Warneck adalah kewibawaan hidup, kekayaan akan harta benda dan keturunan, kemuliaan yang mencakup kebijaksanaan,

kecerdikan, kecerdasan, kekuasaan, keluhuran budi pekerti. Hal ini terus dilakukan

oleh orang Batak secara turun temurun. Implementasinya, nampak pada setiap

pekerjaan adat dan hubungan kehidupan antara orang Batak. Sehingga sahala adalah wujud dari hagabeon, hamoraon dan hasangapon.

Sahala adalah perwujudan roh (tondi) dalam kehidupan manusia di dunia. Dia merujuk pada sebuah kekuatan nyata yang menjadi milik orang-orang penting dan kuat. Tanda utama kepemilikan sahala yang besar adalah dimana seseorang memiliki keberhasilan duniawi. Sahala merupakan sebuah kualitas yang bisa diperoleh atau hilang. Masyarakat Batak Toba memberi tingkatan hidup pada nilai-nilai kebudayaan dalam tiga kata, yaitu harajaon (kuasa), hamoraon (kekayaan) dan hasangapon (kehormatan).

(28)

27

Hamoraon menunjukkan bahwa tujuan dalam hidup seorang Batak adalah mensejahterakan kehidupan. Anggapan tradisional, pengertian kesejahteraan lebih dianggap sama dengan banyak memiliki istri dan anak, ladang yang luas dan ternak yang banyak. Kepemilikan ini dianggap sebagai hasil karena memiliki seorang Batak memiliki sahala sebagai raja.

Hasangapon merupakan tujuan dari usaha-usaha untuk mewujudkan gagasan-gagasan harajaon dan hamoraon. Perjuangan untuk mencapai hasangapon digambarkan sebagai motivasi fundamental suku Batak. Dalam mencapai harajaon, hamoraon, dan hasangapon, ketegangan seringkali muncul antara kakak beradik dalam satu marga. Dalam hal ini, seseorang yang memiliki status yang tinggi akan mencoba menengahi, tetapi bila usaha-usaha ini tidak berhasil, sebuah kelompok bisa pergi untuk mendirikan pemukiman baru.

Sistem dalihan na tolu mencegah pembentukan kelas-kelas sosial yang kaku. Selalu ada hula-hula yang harus dipelihara dan dihormati. Oleh karena itu, masyarakat Toba memiliki ciri egaliter yang kuat, dibandingkan misalnya dengan masyarakat jawa. Sifat ini tidak berarti bahwa masyarakat Toba bebas dari hirarki gender, pada umumnya perempuan menempati posisi rendah dibanding laki-laki.

2.3 Konsep Kemasyarakatan

(29)

28

pelapisan sosial berdasarkan perbedaan pangkat dan jabatan ini dapat dilihat pada perbedaan harta dan keahlian yaitu pada keturunan raja-raja, dukun, pemusik (pargonsi) dan juga pandai-pandai seperti besi, tenun, ukir dan lain-lain. 3) Perbedaan sifat keaslian. Sistem pelapisan sosial berdasarkan perbedaan sifat dan keaslian dapat kita lihat dalam jabatan dan kepemimpinan. Dalam sistem ini berlaku sifat keturunan contohnya, di daerah Muara adalah daerah asal marga Simatupang. Maka secara otomatis turunan marga Simatupang ini lebih berhak atas jabatan kepemimpinan di daerah tersebut seperti Kepala Desa atau yang di luar jabatan pemerintahan. Demikian juga halnya dalam hak ulayat dalam pemilikan tanah. 4) Status kawin adalah sistem pelapisan sosial berdasarkan status kawin dapat dilihat di dalam kehidupan sehari-hari yaitu pada orang Batak yang sudah berkeluarga. Mereka sudah mempunyai wewenang untuk mengikuti acara adat atau berbicara dalam lingkungan keluarganya, dan biasanya orang Batak yang sudah berkeluarga akan menjaga wibawanya dalam adat ataupun dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu sangat besar arti perkawinan pada masyarakat Batak Toba.

2.4 Konsep Kekerabatan

(30)

29

organisasi keluarga yang luas. Kekerabatan dari kelompok keturunan bagi orang Batak banyak dijumpai menurut wilayah kediaman masyarakat Batak Toba. Mereka membentuk grup-grup menjadi sebuah kelompok marga (descent group) sebagai kesatuan sosial. Kesatuan yang diakui (de facto) oleh umum.

Sejak dulu sampai sekarang, masyarakat Batak Toba dalam beberapa hal merupakan masyarakat yang patriakal10. Dalam masyarakat tradisional, posisi perempuan seringkali sulit. Jika seorang perempuan telah melahirkan banyak anak laki-laki dan satu anak perempuan akan sangat dihargai, tetapi jika perempuan tidak melahirkan anak laki-laki akan dianggap rendah. Karena sistem marga diambil dari anak laki-laki, seorang laki-laki yang tidak memiliki anak laki-laki tidak dapat mengabadikan marganya. Keadaan ini dianggap sebagai rasa malu yang besar dan laki-laki itu didesak untuk memiliki istri lagi, karena anak-anak membawa kebanggaan dalam sebuah marga, biasanya laki-laki yang memiliki kekayaan sering memiliki lebih dari satu istri. Karena marga adalah eksogamus, perkawinan antara orang-orang dari marga yang sama dianggap tabu.

Adat Batak Toba mendorong seseorang segera menikah setelah masa pubertas dan bagi laki-laki menikah dianggap sebagai sebuah tugas. Sistem marga Batak Toba bersifat hirarkis, dalam arti bahwa marga (hula-hula), yang telah memberikan anak perempuannya agar dinikahi marga yang lain dianggap lebih tinggi dari pada marga yang menerima isteri tersebut (boru). Di pihak lain, marga yang lebih tinggi juga berhubungan dengan marga-marga yang lain yang telah memberikan anak-anak perempuan kepada mereka, yaitu yang dianggap lebih tinggi. Tiga marga adalah marga milik seseorang (dongan sabutuha, teman dari

10

(31)

30

satu rahim), hula-hula dan boru disebut dalihan na tolu, yang merujuk pada tiga batu yang diletakkan dibawah tungku untuk memasak. Dalam hal ini tidak seorang pun berada diatas karena setiap orang memiliki hubungan dengan sebuah marga yang mereka anggap lebih tinggi.

Sistem kekerabatan keluarga Batak Toba, tidak dapat dipisahkan dari filsafat hidupnya dan merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dan seorang wanita, akan tetapi mengikat suatu hubungan yang tertentu yaitu kaum kerabat dari pihak laki-laki atau kaum kerabat dari pihak perempuan. Seluruh pihak yang masuk dalam lingkaran kerabat Batak Toba, masing-masing memiliki nama sebutan panggilan yang menunjukkan status kekerabatan. Filsafat hidup kekerabatan inilah yang disebut Dalihan Na Tolu (tungku nan tiga) yang terdiri dari:

(32)

31

2. Boru yaitu marga yang menerima anak perempuan sebagai istri, yang termasuk di dalamnya namboru (bibi) yang terdiri dari iboto ni ama niba (saudara perempuan bapak), mertua perempuan dari saudara perempuan, nenek dari menantu laki-laki; amang boru (suami bibi) yang termasuk di dalamnya mertua laki-laki dari saudara perempuan, kakak dari menantu laki-laki; iboto (saudara perempuan) yang termasuk di dalamnya putri dari namboru, saudara perempuan nenek, saudara perempuan dari abang atau adik kita; lae (ipar) yang termasuk di dalamnya saudara perempuan, anak namboru, mertua laki-laki dari putri, amang boru dari ayah, bao dari saudara perempuan. Boru (putri) yang termasuk di dalamnya boru tubu (putri kandung), boru ni pariban (putri kakak atau adik perempuan), hela (menantu), yang termasuk di dalamnya suami dari putri, suami dari putri abang atau adik kita, suami dari putri; bere atau ibebere (kemenakan) atau anak dari saudara perempuan; boru natua-tua yaitu semua keturunan dari putri kakak kita dari tingkat kelima.

(33)

32

harus dijunjung tinggi. Hal itu tampak dari filosofi yang dianut tentang ketiga golongan ini. Hula-hula, mata ni mual si patio-tioon, mata ni ari so husoran artinya hula-hula adalah sumber mata air yang selalu dipelihara supaya tetap jernih dan matahari yang tidak boleh ditentang. Hula-hula diberi sebutan sebagai debata na tarida atau wakil Tuhan yang dapat dilihat, karena merupakan sumber berkat, perlindungan dan pendamai dalam sengketa. Elek marboru artinya hula-hula harus selalu menyayangi borunya dan sangat pantang untuk menyakiti hati dan perasaan boru. Manat mardongan tubu artinya orang yang semarga harus berperasaan seia sekata dan sepenanggungan sebagai saudara kandung dan saling hormat menghormati.

Adapun fungsi dalihan na tolu dalam hubungan sosial antar marga ialah mengatur ketertiban dan jalannya pelaksanaan tutur, menentukan kedudukan, hak dan kewajiban seseorang dan juga sebagai dasar musyawarah dan mufakat bagi masyarakat Batak Toba. Dimana saja ada masyarakat Batak Toba, secara otomatis berlaku fungsi dalihan na tolu, dan selama orang Batak Toba tetap mempertahankan kesadaran bermarga, selama itu pulalah fungsi dalihan na tolu tetap dianggap baik untuk mengatur tata cara dan tata hidup masyarakatnya.

2.5 Sistem mata pencaharian

(34)

33

yang dikelilingi oleh rerimbunan pohon di antara bentangan lahan persawahan di sekelilingnya.

Menurut hukum adat, dahulu lahan yang dijadikan untuk bercocok tanam tersebut diperoleh dari pembagian yang didasarkan marga. Setiap kelurga mandapat tanah warisan tetapi tidak boleh menjualnya. Tapi seiring perkembangan zaman, hukum tersebut lama kelamaan sudah mulai tidak dipakai lagi, sebab sudah ada beberapa oknum yang pernah menjual tanahnya meskipun tanah itu warisan marganya. Kendatipun demikian, penduduk Samosir masih banyak yang memegang teguh hukum adat tersebut.

Gambaran umum tentang keadaan lingkungan alam khususnya yang didapatkan di Pulau Samosir sedikit berbeda. Meskipun terdapat juga lahan-lahan persawahan kecil di Pulau tersebut,wilayah Samosir merupakan wilayah yang relatif kering dan kurang subur jika dibandingkan dengan wilayah Batak Toba yang lainnya. Untuk memenuhi debit air yang dibutuhkan tanaman terkadang sebagian besar penduduk mengandalkan air hujan, sebab selain lahan yang relatif kering, sistem irigasi juga tidak berjalan maksimal. Oleh karena itu, sebagian besar masyarakat menghidupi dirinya dengan bertanam bawang. Sebab menurut penduduk setempat, selain perawatannya yang lebih mudah, biasanya bawang merupakan salah satu tanaman yang tidak terlalu membutuhkan banyak debit seperti tanaman yang lain. Di samping itu, ada juga yang bertanam padi dan sayur-sayuran.

(35)

34

mereka beternak ikan dan umumnya menggunakan jaring terapung yang dikenal dengan istilah doton. Doton adalah sejenis jaring yang digunakan untuk menangkap ikan yang ada di Danau Toba. Jenis ikan yang diternakkan pada umumnya adalah ikan mas dan ikan mujair. Jika ditelusuri dari berbagai daerah di sepanjang pinggiran Samosir, misalnya mulai dari Tomok, desa-desa kecil sekitar kota Pangururan, hingga wilayah Palipi, kita akan menemukan peternakan ikan seperti ini. Hasil dari pertanian dan peternakan tersebut sebagian dijual di pasar dan sebagian lagi dikonsumsi oleh keluarga. Sedangkan penduduk yang bermukim jauh dari kawasan pantai biasanya bermatapencaharian sebagai petani, peternak ataupun wiraswastawan. Sektor kerajinan tangan juga berkembang. Misalnya tenun, anyaman rotan, ukiran kayu, tembikar, yang ada kaitannya dengan pariwisata.

Jika ditinjau secara keseluruhan sebagian besar masyarakat Batak Toba di Samosir saat ini bermata pencaharian sebagai petani, peladang, nelayan, pegawai, wiraswasta dan pejabat pemerintahan. Dalam berwiraswasta bidang usaha yang banyak dikelola oleh masyarakat adalah usaha kerajinan tangan seperti usaha penenunan ulos, ukiran kayu, dan ukiran logam. Saat ini sudah cukup banyak juga yang memulai merambah ke bidang usaha jasa.

2.6 Batak Toba di Bona Pasogit

Secara umum, masyarakat Batak Toba bermukim di wilayah pegunungan di sekitar Danau Toba, Tapanuli ataupun di tanah perantauan adalah sama. Orang menunjukkan identitas mereka sebagai etnis Batak. Namun lebih cenderung konotosi penyebutan ini terarah pada Batak Toba.

(36)

35

pemilik kebudayaan ini sebagai “Batak yang sebenarnya”. Penggunaan nama ini dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda.

Pertama, penyebutan Batak bagi penganut agama Islam dari sub kultur Tapanuli bagian selatan dan sebagian kelompok di Sumatera Utara bagian timur (Asahan dan Labuhan Batu), mereka tidak mau disebut sebagai suku Batak, namun sebagian dari mereka menerima akan hal ini.

Kedua, bagi masyarakat Batak Toba yang bermukim di wilayah bona pasogit11, sering mengklaim bahwa sub kultur merekalah yang dianggap asli. Masyarakat Batak Toba yang tinggal di Rura Silindung sebelah barat daya Danau Toba pada umumnya lebih memilih dirinya sendiri sebagai halak Batak (orang-orang Batak). Namun, persepsi lain menyebutkan bahwa dalam penyebutan “halak Batak” sering kali merujuk pada kelompok masyarakat yang bermukim di sekitar tepian Danau Toba.

Identitas orang Batak Toba yang tinggal di Bona Pasogit, dapat dilihat dari kultur eksogami marga yang terdapat dalam daerah kebudayaan di seluruh wilayah tempat orang Batak bermukim. Terdapat 4 (empat) wilayah kultur yang didiami oleh orang Batak di bona pasogit yaitu Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir (Toba Holbung), dan Kabupaten Samosir.12

11

Bona pasogit, tempat bermukimnya masyarakat Batak di sekitar pegunungan Bukit Barisan, hidup dalam kelompok-kelompok yang terbagi dengan area culture sesuai dengan sub kulturnya. Terbagi atas 4 (empat) sub kultur dengan penyebutan “halak” (masyarakat), yaitu: “halak Samosir” kelompok masyarakat yang bermukim di pulau Samosir - kabupaten Samosir, “halak Toba” kelompok masyarakat yang tinggal di Toba Holbung - kabupaten Toba Samosir sekarang, “halak Humbang” masyarakat yang tinggal di dataran tinggi Humbang - kabupaten Humbang Hasundutan dan “halak Silindung” adalah masyarakat yang bermukim di Silindung kabupaten Tapanuli Utara.

12

(37)

36 Gambar-1:

Daerah Pemukiman Orang Batak Toba Sumber: Koentjaraningrat, 1995:97

2.7 Persebaran Masyarakat Batak Toba

Persebaran masyarakat Batak Toba dimulai ketika badan zending masuk ke tanah Batak yang membuka isolasi wilayah Batak. Keterkungkungan yang lama menyelimuti tanah Batak selama berabad-abad yang diterima sebagai suatu kebiasaan oleh masyarakat ini. Bahkan mereka memproteksi diri dari kehidupan lain diluar sistem sosio kemasyarakatan yang sudah terbangun pada orang Batak Toba. Badan zending yang membuka isolasi ini melalui pendidikan yang ditularkan melalui pengajaran agama Kristen, akhirnya membuahkan hasil dengan timbulnya minat orang Batak melakukan persebaran ke seluruh pelosok.

(38)

37

kesejahteraan hidupnya, dan pendidikan itu dipandang sebagai sarana untuk mengatasi kemiskinan dan meningkatkan status ekonomi dan sosial.

Status sosial bagi masyarakat Batak Toba yang dianggap paling mendasar, membuat orang Batak selalu suka bekerja keras sehingga pekerjaan adalah sesuatu yang penting. Adakalanya, pekerjaan sebagai guru jemaat dengan gaji yang kecil akan dilakukan untuk mengejar status sosial. Karena anggapan bahwa seorang guru lebih tinggi kedudukan sosialnya dari seorang petani.

Dengan terbetiknya berita dari para missionaris tentang adanya kehidupan lain yang lebih layak di luar wilayah Batak, orang-orang Batak yang sudah mengecap pendidikan dari pihak zending ini, mencoba mengadu nasib dan mencari pengalaman baru di tempat yang mereka cari (parserahan). Mereka melakukan perjalanan dengan menyusuri jalan setapak. Untuk tiba di sekitar Sumatera Timur (penyebutan untuk wilayah tanah Simalungun dan pesisir timur Sumatera), orang-orang Batak yang tinggal di Toba Na Sae (tanah Batak Toba yang luas) harus dengan menyusuri tepian Danau Toba dengan sampan dari Balige menuju Tigaras dan berjalan kaki menuju Pematang Siantar melalui Tiga Dolok.

(39)

38

Akses jalan dari Sumatera Timur ke tanah Batak, awalnya dijalani melalui beberapa titik persinggahan yang memakan waktu berhari-hari. Rute-rute kecil dari tengah hutan sebagai jalan setapak yang dirintis oleh pedagang-pedagang lokal (perlanja sira-penjual garam), adalah pilihan untuk dapat keluar dari tanah Batak. Rute lain yang dipilih adalah melalui jalan menyusuri sungai Asahan dari pesisir timur menuju kawasan Danau Toba di Porsea.

Jalan raya yang menghubungkan tanah Batak ke Sumatera Timur baru dibuka pada tahun 1915 melalui Sibolga, Sipirok, Tarutung, Balige, Porsea, Parapat, Tiga Dolok menuju Pematang Siantar (Cunningham, 1958:85). Dengan dibukanya jalan raya itu, percepatan perpindahan orang Batak menuju daerah lain semakin tampak. Salah satu sumbernya adalah informasi dari anggota keluarga Batak yang sudah tiba lebih dahulu di tanah-tanah garapan mereka.

Persebaran masyarakat Batak Toba ke daerah lain untuk mengejar tingkat perekonomian yang lebih baik, tidak hanya dilakukan oleh kalangan yang berpendidikan saja, tetapi adalah juga para petani-petani yang hanya mengandalkan semangat dan pengetahuan pertaniannya. Mereka rela meninggalkan kampung halamannya, dan kewajiban bekerja sebagai rodi yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda di kampungnya. Untuk kepergiannya, mereka mau membayar pajak rodi sebesar 3 (tiga) gulden ditambah pajak dan ongkos ganti rugi pekerjaan rodi selama setahun. Perpindahan orang Batak ke daerah lain untuk menetap adalah pilihan untuk meningkatkan taraf ekonomi mereka (Sangti, 1977:180)

(40)

39

mereka terdahulu. Karena beragamnya orang Batak dari berbagai latar belakang daerah di bona pasogit, mereka menyatukan persepsi untuk membuat adat Batak itu dapat diterima oleh komunitas mereka sendiri, tanpa melihat daerah asal mereka. Mereka menjalankan adat Batak dengan seperti apa yang dilakukan orang Batak di bona pasogit, termasuk dalam pemakaian musik untuk mengiringi upacara-upacara adat Batak mereka.

Masyarakat Batak Toba dewasa ini yang berada di Simalungun, menempati hampir semua daerah yang ada di Simalungun. Mereka hidup berkelompok di Pematang Siantar, Perdagangan, Kerasaan, Serbelawan, Dolok Sinumbah, Bah Jambi, Maria Bandar, Panei Tongah, Saribudolok, Tiga Dolok, Tiga Balata, Tanah Jawa, Parapat dan daerah lain.

Di Medan, sekitar tahun 1920-an perubahan dominasi etnik mulai berubah. Orang-orang Batak yang ada di Medan mulai memunculkan diri dengan hasil pekerjaan mereka yang cukup memuaskan sekaligus memperlihatkan identitas mereka.

Selain di Medan, di kota besar lainnya, seperti Jakarta, orang Batak juga menunjukkan identitas mereka. Mereka-merka ini adalah orang-orang yang ulet dan pekerja keras, sehingga kelompok etnis lain heran mendapati bahwa orang-orang yang tertib dan pandai yang mereka kenal ternyata adalah orang Batak. Walaupun orang Batak merupakan kaum minoritas kecil di kota-kota, tetapi sangat berpengaruh pada saat itu, hal ini juga menyebar ke Tapanuli Utara dan Selatan. (lihat Hasselgren, 2008:48)

(41)

40

seorang pemuda Batak Kristen alumni sekolah Seminari Pansurnapitu Tarutung yang menjadi guru di Batavia bernama Simon Hasibuan, dia sudah berada di Batavia pada tahun 1907 (Sihombing, 1962:65). Setahun kemudian terjadi eksodus orang Batak dalam mencari pekerjaan ke Batavia dengan menempuh perjalanan sendiri.

Komunitas pertama orang Batak yang tinggal di Batavia, berada di kawasan Sawah Besar dengan membentuk perkumpulan Batak Kristen Protestan sebagaimana mereka dahulunya di Tapanuli (Hasibuan, 1922:61). Bagi orang Batak yang datang ke Batavia, awalnya ditampung oleh orang Batak pertama datang ke daerah itu, secara estafet perlakuan itu tetap dipergunakan dalam menyatukan dan membentuk komunitas Batak di Jakarta. Hingga pada tahun 1917, kumpulan orang Batak Kristen sudah melakukan kebaktian sebagai upaya penyatuan semua orang Batak yang berada di Jakarta sebanyak 50 orang, dan berkembang sangat pesat hingga saat ini.

Di Kalimantan orang Batak sudah mendiami daerah itu pada tahun 1923, mereka berada di sekitar Singkawang, Pontianak dan Mempawah. Sedang di pulau Sulawesi, orang Batak sudah bermukim mulai tahun 1920-an, seperti ditempatkannya beberapa orang Batak menjadi anggota militer. Di Papua dimulai pada tahun 1942, dengan masuknya orang Batak sebagai tentara Heiho dan Romusha yang dibawa oleh tentara Jepang. Tahun 1961, seorang petinggi militer Batak telah menjumpai orang Batak di pulau Morotai Papua.

(42)

41

Setelah itu terdapat beberapa nama yang juga menetap di luar negeri baik itu dengan alasan untuk melanjutkan studi ataupun mencari pekerjaan misalnya, M.H Manullang seorang putra Tarutung melanjutkan sekolahnya di Senior Cambridge Singapura antara tahun 1907-1909. Tahun 1920-an sudah ada beberapa orang Batak yang menjadi guru di sana. Tahun 1927 seorang Kristen Batak tamatan sekolah Zending asal Sipirok, yakni A. Batubara berangkat ke Singapura untuk mencari pekerjaan. Tahun 1930, Bintatar W.F Napitupulu asal Sangkarnihuta Balige pindah ke Malaya dan bekerja di Ipoh sebagai pegawai Lindeteves.

Sementara itu, pulau Batam juga menjadi tujuan orang-orang Batak Toba dalam mencari pekerjaan. Berdasarkan statistik HKBP, warga HKBP di pulau Batam dan Singapura tahun 1991 sebanyak 5.629 jiwa (Almanak HKBP 1994:370). Pada tahun 2011, masyarakat Batak yang bermukim di pulau Batam dan Tanjung Pinang dengan statistik terdaftar sebagai penduduk menetap sebanyak 68.126 jiwa.13

2.8 Budaya Musikal Batak Toba

2.8.1 Musik vokal

Budaya musikal masyarakat Batak Toba tercakup dalam dua bahagian besar, yaitu musik vokal dan musik instrumental. Musik vokal pada masyarakat Batak Toba disebut dengan ende. Dalam musik vokal tradisional, pengklasifikasiannya ditentukan oleh kegunaan dan tujuan lagu tersebut yang dapat dilihat berdasarkan liriknya. Ben Pasaribu (1986 : 27-28) membuat pembagian terhadap musik vokal tradisional Batak Toba dalam delapan bagian, yaitu :

13

(43)

42

1. Ende mandideng, adalah musik vokal yang berfungsi untuk menidurkan anak (lullaby).

2. Ende sipaingot, adalah musik vokal yang berisi pesan kepada putrinya yang akan melangsungkan pernikahan. Biasanya dinyanyikan pada waktu senggang saat menjelang pernikahan.

3. Ende pargaulan, adalah musik vokal yang secara umum merupakan “solo chorus”, dan dinyanyikan oleh kaum muda-mudi dan daam waktu senggang, biasanya malam hari.

4. Ende tumba, adalah musik vokal yang khusus dinyanyikan sebagai pengiring tarian hiburan (tumba). Penyanyinya sekaligus menari dengan melompat-lompat dan berpegangan tangan sambil bergerak melingkar. Biasanya ende tumba ini dilakukan oleh para muda-mudi atau remaja di alaman (halaman kampung) pada malam terang bulan.

5. Ende sibaran, adalah musik vokal yang menggambarkan cetusan penderitaan seseorang yang berkepanjangan. Penyanyinya adalah orang yang menderita tersebut, dan biasanya dinyanyikan di tempat yang sepi.

6. Ende pasu-pasuan, adalah musik vokal yang berkaitan dengan pemberkatan, dan berisi lirik-lirik tentang kekuasaan yang abadi dari Yang Maha Kuasa. Biasanya dinyanyikan oleh para orang tua kepada keturunannya.

(44)

43

8. Ende andung, adalah musik vokal yang bercerita tentang riwayat hidup seseorang yang telah meninggal, yang disajikn pada saat atau setelah disemayamkan. Dalam ende andung alunan melodi biasanya muncul secara spontan sehingga penyanyinya haruslah penyanyi yang cepat tanggap dan terampil dalam sastra yang menguasai beberapa motif-motif lagu yang penting untuk jenis nyanyian ini.

Demikian juga Hutasoit yang dikutip oleh Ritha Ony membagi kelompok musik vokal menjadi tiga jenis, yaitu :

1. Endenamarhadohoan, yaitu musik vokal yang diyanyikan untuk acara-acara namarhadodoan (resmi)

2. Ende siriakon, yaitu musik vokal yang dinyanyikan oleh masyarakat Batak Toba dalam kegiatan sehari-hari.

3. Ende sibaran, yaitu musik vokal yang dinyanyikan dalam kaitannya dengan berbagai peristiwa kesedihan atau dukacita.

Tetapi apabila dikaji lebih rinci dari banyaknya jenis musik vokal pada masyarakat Batak Toba, maka dibuat pengklasifikasian yang lebih mendetail terhadap nyanyian-nyanyian tersebut sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Berikut ini adalah pembagian jenis musik vokal Batak Toba oleh Jan Harold Brunvand yang dikutip oleh Ritha Ony (1983:13). Jenis musik vokal tersebut adalah sebagai berikut :

(45)

44

2. Nyanyian kerja (work song), yaitu musik vokal yang mempunyai irama dan kata-kata yang bersifat menggugah semangat,sehingga dapat menimbulkan rasa gairah untuk bekerja. Contoh : luga-luga solu.

3. Nyanyian permainan (playsong), yakni musik vokal yang mempunyai irama gembira serta kata-kata yang lucu dan selalu dikaitkan dengan permainan. Contoh : sampele-sampele.

4. Nyanyian yang bersifat kerohanian atau keagamaan, yaitu musik vokal yang teksnya berhubungan dengan kitab Injil, legenda-legenda keagamaan, atau pelajaran-pelajaran keagamaan. Contoh : metmet ahu on

5. Nyanyian nasehat, yaitu musik vokal yang liriknya berisi nasehat tentang bagaimana pola bertingkah laku yang baik. Contoh : siboruadi.

6. Nyanyian mengenai hubungan berpacaran dan pernikahan, yaitu musik vokal yang liriknya biasanya mengungkapkan kebiasaan muda-mudi yang sedang bercinta dan akan melanjutkan ke jenjang pernikahan. Contoh : madekdek ma gambiri.

2.8.2 Musik instrumental

(46)

45

2.8.2.1 Gondang hasapi

Komposisi instrumen pada gondanghasapi terdiri dari :

1. Hasapi ende (plucked lute), atau kadang kala disebut dengan hasapi inang atau hasapi taganing, yaitu sejenis sebuah lute berleher pendek yang dimainkan dengan cara dipetik dan memiliki dua buah senar. Instrumen ini merupakan pembawa melodi dan dianggap sebagai instrumen utama dalam ensambel gondanghasapi.

2. Hasapi doal (plucked lute), instrumen ini sama bentuknya dengan hasapi ende, perbedaannya hanya terletak pada peranan musikalnya yakni hasapi doal berfungsi sebagai pembawa ritem konstan.

3. Sarune etek (shawn), yakni sejenis alat tiup berlidah tunggal (single reed) yang juga berfungsi sebagai pembawa melodi. Instrumen ini tergolong ke dalam kelompok aerophone yang memiliki lima lobang nada (empat di atas dan satu di bawah),dan dimainkan dengan cara mangombus marsiulakhosa (meniup secara sirkular tanpa berhenti) yang dalam istilah musiknya disebut dengan circularbreathing.

4. Garantung (xylophone), yaitu alat musik berbilah yang terbuat dari kayu dan umumnya memiliki lima buah bilah nada. Selain berperan sebagai pembawa melodi, juga berperan sebagai pembawa ritem pada lagu-lagu tertentu. Dimainkan dengan cara mamalu.14

5. Hesek, yaitu sejenis alat perkusi yang terbuat dari plat besi atau botol kaca yang berperan sebagai pembawa tempo atau ketukan dasar.

14

(47)

46

Gondang hasapi dianggap sebagai bentuk ensambel musik yang kecil. Penggunaannya terbatas pada ruang yang lebih kecil dan tertutup, dimainkan oleh lima orang walaupun jumlah pemusik ini dapat juga bervariasi. Jika mengacu pada praktek pertunjukan gondang hasapi di komunitas parmalim15, sarune etek kadangkala bisa terdiri dari dua alat yang masing-masing dimainkan oleh satu orang pemain. Begitu juga dengan jumlah orang yang memainkan hasapi ende atau pun hasapi doal. Dengan kata lain, jumlah pemusik keseluruhan dalam gondang hasapi yang terdapat pada kelompok parmalim bisa mencapai enam hingga delapan orang.16

2.8.2.2 Gondangsabangunan

Ensambel gondangsabangunan mempunyai beberapa istilah yang sering digunakan oleh masyarakat Batak Toba, yakni ogung sabangunan atau gondang bolon. Komposisi alatnya terdiri dari :

1. Sarune bolon (shawm, oboe), yaitu sejenis alat tiup berlidah ganda (double reed) yang berperan sebagai pembawa melodi dan dimainkan dengan cara mangombus marsiulakhosa. Instrumen ini tergolong kepada kelompok aerophone.

2. Taganing (single headed drum), yaitu seperangkat gendang bernada bermuka satu yang tersusun atas lima buah gendang, yang berfungsi sebagai pembawa melodi dan juga pembawa ritem variabel untuk lagu atau repertoar tertentu. Kelima gendang tersebut dibedakan sesuai dengan namanya masing-masing,

15

Sebuah aliran kepercayaan tradisional/agama suku Batak Toba yang berkembang di Huta Tinggi, Laguboti, Sumatera Utara.

16

(48)

47

yakni odap-odap, paiduani odap, painonga, paiduani ting-ting, dan ting-ting. Instrumen ini tergolong ke dalam kelompok membranophone.

3. Gordang bolon (single headed drum), yakni sebuah gendang-bas bermuka satu yang ukurannya lebih besar dari taganing, yang berperan sebagai pembawa ritem konstan dan ritem variabel. Insrumen juga sering disebut sebagai bass dari ensambel gondang sabangunan. Klasifikasi instrumen ini termasuk kepada kelompok membranophone.

4. Ogung (gong), yaitu seperangkat gong yang terdiri dari empat buah dengan ukuran yang berbeda-beda. Keempat buah gong tersebut diberi nama oloan, ihutan, doal, dan panggora. Masing-masing ogung sudah memiliki ritem tertentu dan dimainkan terus menerus secara konstan/tidak berubah-ubah. Instrumen ini tergolong kepada kelompok idiophone.

5. Hesek, yaitu sejenis alat perkusi berupa plat besi, botol, atau benda lainnya yang dapat menghasilkan bunyi tajam untuk dijadikan sebagai pembawa tempo. Instrumen ini tergolong kepada idiophone.

6. Odap (double headed drum), yakni sejenis gendang kecil bermuka dua (dua sisi selaput gendang) yang berperan sebagai pembawa ritem variabel. Instrumen ini biasanya hanya dimainkan pada lagu atau repertoar tertentu. Instrumen ini tergolong kepada kelompok membranophone.

Gondang sabangunan pada zaman dahulu digunakan untuk setiap upacara yang berhubungan dengan adat ataupun religius. Gondang sabangunan berperan sebagai media untuk menghubungkan manusia dengan penciptanya (secara vertikal) dan menghubungkan manusia dengan sesama (secara horizontal)17.

17

(49)

48

Penggunaan odap dalam ensambel gondang sabangunan jarang ditemukan saat ini. Beberapa musisi tradisional Batak seperti Marsius Sitohang, Guntur Sitohang, dan S.Sinurat mengatakan bahwa penggunaan alat ini sangat terbatas dan hanya diperuntukkan dalam upacara-upacara tertentu, dan biasanya hanya parmalim yang masih tetap melestarikan instrumen tersebut. Namun, berkaitan dengan peran dan bunyi musikalnya, pada zaman sekarang ini teknik permainan odap sudah banyak ditransformasikan oleh taganing yang juga mampu berperan sebagai pembawa ritem variabel. Mungkin hal ini juga menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan odap sudah semakin jarang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Gambar

Gambar -26. Posisi lobang nada sulim
Gambar-35. Ambasir pada sulim

Referensi

Dokumen terkait

Dalam umpasa (pantun) di atas, makna dari kata-kata dalam umpasa (pantun) tersebut: Rumiris berasal dari kata riris yang artinya banyak, berlimpah-ruah, dan berjejer Ombun

Makian dalam BBT tersebut dibentuk oleh kombinasi komponen semantik substantif, predikat mental, milik, pewatas, kesamaan, konsep logis, dan evaluator dengan makna asali

Pola sintaksis yang digunakan dalam penelitian tersebut dan dari segi cara menganalisis verba POTONG tampak pada penggunaan parafrase yang bersumber dari perangkat

Alasan penulis mengkaji judul ini, karena wacana atau tuturan berbahasa dalam upacara marunjuk masyarakat Batak Toba sangat menarik untuk dikaji baik dari segi bentuk maupun

Komposisi-komposisi tersebut dipilih dan disusun sesuai dengan periode musik yang berurutan secara periodik, dan ditutup dengan komposisi karya komponis

Dari paparan di atas, penulis berfokus pada Mangompoi Jabu etnik Batak Toba, di mana dalam pelaksanaannya tersebut ada simbol yang belum diketahui secara

Namun, walau demikian, interaksi komunikasi antara keluarga yang satu dengan keluarga lainnya juga bisa terhambat, apalagi dengan keluarga yang berbeda latar belakang budaya,

instrumen yang tidak boleh dimainkan bersama dengan ensambel gondang hasapi maupun gondang sabangunan saja, melainkan juga pada berbagai ensambel atau format musik yang