SULIM BATAK TOBA: SEBUAH KAJIAN
KONTINUITAS DAN PERUBAHAN
SKRIPSI SARJANA
Dikerjakan
O
l
e
h
NAMA
: BONGGUD TYSON SIDABUTAR
NIM
: 070707022
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
SULIM
BATAK TOBA : SEBUAH KAJIAN
KONTINUITAS DAN PERUBAHAN
SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN
Oleh
NAMA : BONGGUD TYSON SIDABUTAR NIM : 070707022
Pembimbing I, Pembimbing II,
Drs. Torang Naiborhu, M.Hum. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. NIP. 196308141990031004 NIP. 196512211991031001
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni (S.Sn.) dalam bidang Etnomusikologi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
Disetujui oleh:
Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan
Medan,
Departemen Etnomusikologi Ketua,
PENGESAHAN
Diterima oleh :
Panitia ujian Fakutas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni (S.Sn.) dalam bidang Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan.
Pada tanggal :
Hari :
Fakultas Ilmu Budaya USU Dekan,
Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP. 195110131976031001
Panitia Ujian :
1. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. ( )
2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd. ( )
3. Drs. Torang Naiborhu, M.Hum. ( )
4. . ( )
KATA PENGANTAR
Di atas segalanya puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, karena hanya atas Kasih dan Penyertaan-Nya jualah penulis dapat
menyelesaikan kajian karya ilmiah berupa Skripsi Sarjana ini. Skripsi yang berjudul
“ Sulim Batak Toba : Sebuah Kajian Kontinuitas dan Perubahan” ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni (S.Sn.) pada
Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara,
Medan.
Banyak pihak yang telah memberikan dukungan serta bantuan baik secara
moril maupun materil demi kelancaran penyelesaian skripsi ini. Pada kesempatan
ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya buat orang tua saya
tercinta, Ayahanda H. Sidabutar dan Ibunda R br. Haloho atas segala doa dan
pengorbanannya yang sungguh luar biasa dalam membimbing penulis mulai dari
kecil hingga dewasa dan memberikan kesempatan berharga bagi penulis untuk
mengecap pendidikan hingga ke Perguruan Tinggi. Sungguh menjadi berkat yang
luar biasa jikalau penulis masih diberikan kesempatan untuk menyelesaikan masa
studi hingga dapat memperoleh gelar Sarjana yang penulis nantikan selama ini.
Berkat ini tentunya tidak akan berarti apa-apa jika tanpa bantuan dari
seluruh rekan, sahabat, bahkan para saudara-saudaraku yang terkasih. Terutama
penulis sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya buat Bapak Drs.
Torang Naiborhu, M.Hum selaku Dosen Pembimbing I penulis yang sudah penulis
mengorbankan segalanya baik waktu maupun tenaga demi kelancaran penyelesaian
skripsi ini. Walaupun dilanda berbagai kesibukan sekalipun bahkan di sela-sela
masa studi yang telah di ambang batas, namun beliau masih senantiasa berkenan
memberikan waktunya untuk membimbing penulis hingga akhir penyelesaian
skripsi ini. Banyak pelajaran serta berbagai pengalaman hidup yang penulis
dapatkan dari beliau selama menjadi mahasiswa bahkan hingga pada saat ini. Jika
ada kata-kata di atas ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya maka hal itulah
yang layak bapak dapatkan dari penulis. Semoga berkat Tuhan kiranya bertambah
buat Bapak dan keluarga.
Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D selaku Dosen Pembimbing II
penulis sekaligus Ketua Departemen Etnomusikologi yang juga turut senantiasa
membantu bahkan memberikan masukan-masukan yang bermakna dalam
pengkajian penulisan demi kebaikan hasil karya ilmiah ini. Semoga segala
bimbingan maupun masukan yang Bapak berikan dapat penulis jadikan sebagai
acuan dalam mengembangkan pengetahuan akan struktur penulisan karya ilmiah
selanjutnya.
Kemudian penulis juga tak lupa mengucapkan terima kasih kepada :
• Ibu Herestina Dewi selaku Dosen sekaligus Sekretaris Departemen
Etnomusiklogi yang telah banyak membimbing dan banyak memberikan
pelajaran bagi penulis di awal masa studi. Mohon maaf apabila awalnya telah
mengecawakan harapan Ibu jikalau penulis tidak mampu menyelesaikan masa
studi berdasarkan waktu yang ditentukan.
• Bapak Ibu Dosen serta seluruh staff pengajar di Departemen Etnomusikologi
ucapkan ribuan terima kasih karena telah banyak memberikan bimbingan dan
ilmu pengetahuan selama penulis menjadi mahasiswa.
• Para Informan dan narasumber penulis yang telah banyak membantu serta
memberikan banyak sumber dan informasi yang akurat bagi penulis demi
tercapainya tulisan ini. Semoga segala informasinya dapat berguna bagi penulis
untuk mengkaji lebih dalam di kesempatan berikutnya. Kiranya Tuhan
memberkati segala pekerjaan dan diberikan rejeki yang berlimpah.
• Bang Hendrik Perangin-angin selaku rekan seniman penulis sekaligus
pimpinan dari group Insidental Music yang sudah penulis anggap sebagai
abang kandung khususnya dalam berkesenian. Terima kasih buat kesempatan
yang abang berikan kepada penulis untuk dapat menjadi anggota group ini dan
bersama group ini jualah penulis banyak menuai pengalaman berkesenian yang
sungguh luar biasa.
• Seluruh rekan, sahabat bahkan saudara-saudari dari Paduan Suara Mahasiswa
USU yang sudah penulis anggap sebagai anggota keluarga yang senantiasa
mendukung bahkan mendorong semangat penulis untuk menuntaskan tulisan
ini dari tahun-tahun yang lalu. Namun apa daya, mungkin hanya dengan cara
beginilah penulis mampu menyelesaikan masa studinya. Semoga kalian masih
berkenan untuk tersenyum manis walaupun penulis harus selesai di ujung masa
studi.
• Bang Senovian, S.Sn., dan bang Franseda Sitepu, S.Sn,; Welly Simbolon,S.Sn.,
yang sudah banyak membantu dalam hal editing juga memberikan
masukan-masukan yang membangun demi kebaikan skripsi ini.
• Seluruh sahabat dan rekan sehidup sepenanggungan dari para mahasiswa
buat para kolega penulis dari group NSE Project yang merupakan sebuah group
band penulis yang senantiasa memberikan dorongan semangat dan bantuan
moril untuk mencapai tercapainya tulisan ini. Semoga hubungan baik ini tetap
bertahan dan group ini bisa berjalan lancar seperti yang kita impikan bersama.
• Seluruh rekan dan sahabat penulis lainnya baik di dunia akademis maupun di
dunia entertainment yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima
kasih atas segala dukungannya.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini belum sempurna dan masih memiliki
banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran
yang bersifat membangun dari para pembaca agar dapat menambah referensi
penulis untuk memnyempurnakan isi tulisan ini. Jikalau ada kesalahan baik dalam
hal ucapan maupun perilaku yang kurang berkenan di hati saudara-saudaraku
sekalian, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca terutama bagi
mereka yang menginginkan informasi lebih lanjut tentang sulim Batak Toba.
Terima kasih.
Medan, Juli 2013 Penulis
NIM. 070707022
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL ………... i
PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii
PERSETUJUAN DEPARTEMEN ... iii
PENGESAHAN FAKULTAS ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR TABEL ... xv
BAB. I PENDAHULUAN ……….………... 1
1.1 Latar Belakang ………... 1
1.2 Pokok Permasalahan ……….………... 6
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian………... 7
1.3.1 Tujuan Penelitian ………... 7
1.3.2 Manfaat Penelitian ……….... 8
1.4 Konsep dan Teori ………... 8
1.4.1 Konsep ………... 8
1.4.2 Teori ……….………... 11
1.5 Metode Penelitian ………... 16
1.6 Pemilihan Lokasai Penelitian dan Informan …………... 17
1.7 Kerja Lapangan ………... 18
1.8 Studi Kepustakaan ………... 18
1.9 Kerja Laboratorium ………... 20
BAB. II MASYARAKAT BATAK TOBA DI DAERAH DAN PERANTAUAN ... 21
2.1 Konsep Adat ………... 21
2.2 Religi dan Kepercayaa ... 25
2.3 Konsep Kemasyarakatan ... 29
2.4 Konsep Kekerabatan ... 30
2.5 Sistem Mata Pencaharian ... 34
2.6 Batak Toba di BonaPasogit ... 37
2.7 Persebaran Masyarakat Batak Toba ... 39
2.8 Budaya Musikal Batak Toba ... 44
2.8.1 Musik vokal ... 44
2.8.2 Musik instrumental ... 48
2.8.2.1 Gondang hasapi.... 48
2.8.2.2 Gondang sabangunan ... 50
BAB. III KAJIAN ORGANOLOGIS SULIM ... 56
3.1 Tradisi Pembuatan Sulim Pada Masa Pra-Kristen ... 56
3.2 Klasifikasi Sulim ... 60
3.2.1 Konstruksi sulim ... 61
3.2.2 Ukuran sulim ... 62
3.3 Proses Pembuatan ... 64
3.3.1 Bahan material ... 64
3.3.2 Peralatan yang digunakan ... 64
3.3.3 Langkah-langkah pembuatan ... 68
3.3.3.1 Pemilihan bambu ... 68
3.3.3.2 Pemotongan badan bambu ... 70
3.3.3.3 Pemotongan ruas bambu ... 70
3.3.3.4 Pengeringan ... 71
3.3.3.5 Pelobangan ... 72
3.3.3.6 Ornamentasi ... 78
3.3.4 Kontinuitas dan perubahan fisik sulim ... 81
3.4 Kajian Fungsional Sulim ... 84
3.4.1 Sistem pelarasan (tuning) ... 84
3.4.2 Teknik permainan ... 91
3.4.2.1 Teknik permainan lidah ... 95
3.4.2.1.1 Mangarutu ... 96
3.4.2.1.2 Mandila-dilai ... 97
3.4.2.2 Mangangguk .... 98
3.4.2.3 Mangenet ... 99
3.4.2.4 Manganak-anaki ... 101
3.4.2.5 Mangaroppol ... 103
3.5 Proses Belajar Sulim ... 105
3.5.1 Marguru ... 105
3.5.2 Marsiajar sandiri ... 108
BAB. IV KONTINUITAS, PERUBAHAN FUNGSI DAN PENGGUNAAN SULIM ... 111
4.1 Fungsi Musikal Sulim Sebagai Fenomena Kontinuitas .... 111
4.1.1 Fungsi komunikasi ... 112
4.1.2 Fungsi hiburan ... 113
4.1.3 Fungsi perlambangan ... 115
4.1.4 Fungsi pengungkapan emosional ... 117
4.1.5 Fungsi penghayatan estetis. ... 119
4.1.6 Fungsi reaksi jasmani ... 120
4.2 Konteks Penggunaan Sulim Dalam Berbagai Periode Sebagai Fenomen Perubahan ... 121 4.2.1 Konteks solo instrumen ... 122
4.2.2 Konteks ensambel ... 124
4.2.2.1 Konteks gondang hasapi ... 125
4.2.2.2 Konteks ensambel musik tiup ... 129
4.2.3 Konteks pengiring lagu ... 135
BAB. V TRANSKRIPSI DAN ANALISIS MELODI SULIM ... 141
5.1 Transkripsi ... 141
5.2 Analisis ... 146
5.3 Pemilihan Sampel Lagu ... 151
5.4 Kajian Analisis ... 153
5.4.1 Analisis gaya musikal ... 153
5.4.1.1 Analisis tangga nada ... 155
5.4.1.2 Analisis modus ... 156
5.4.1.3 Analisis wilayah nada (ambitus)... 157
5.4.1.4 Analisis interval ... 158
5.4.1.5 Analisis pola kadensa ... 159
5.4.1.6 Analisis formula melodi (bentuk) ... 161
5.4.1.7 Identifikasi tema (thematic material) .... 165
5.4.1.8 Analisis kontur melodi ... 167
5.4.2 Analisis ciri musikal ... 168
5.4.2.1 Ciri musikal melodi sulim dalam konteks tunggal ... 168
5.4.2.2 Ciri musikal melodi sulim dalam konteks ensambel (uning-uningan opera Batak .. 170
5.4.2.3 Ciri musikal melodi sulim dalam konteks kolaborasi ... 172
BAB. VI PENUTUP ... 177
6.1 Kesimpulan ... 177
6.2 Saran ... 178
DAFTAR PUSTAKA ………... 179
DAFTAR GAMBAR
Gambar-1. Daerah Pemukiman Orang Batak Toba ... 38
Gambar-2. Nama-nama dari bagian sulim ... 62
Gambar-3. Sulim dengan ukurannya ... 63
Gambar-4. Parang ... 65
Gambar-5. Pisau belati ... 66
Gambar-6. Besi bulat panjang ... 66
Gambar-7. Mengukur lobang tiupan ... 67
Gambar-8. Memanaskan besi pembuat lobang sulim ... 67
Gambar-9. Pohon bambu telur (bulu tolor) ... 69
Gambar-10. Memotong ruas bambu ... 70
Gambar-11. Ruas bambu sebagai bahan sulim ... 71
Gambar-12. Membuat lobang tiupan dengan besi yang dipanaskan ... 72
Gambar-13. Pelobangan lobang nada pertama ... 73
Gambar-14. Pelobangan lobang nada ke-2 ... 73
Gambar-15. Pelobangan lobang nada ke-3 ... 74
Gambar-16. Pelobangan lobang nada ke-4 ... 74
Gambar-17. Pelobangan lobang nada ke-5 ... 75
Gambar-18. Pelobangan lobang nada ke-6 ... 75
Gambar-19. Sulim sederhana seusai tahapan pengelobangan ... 76
Gambar-20. Pola jarak antar lobang sulim... 77
Gambar-21. Sulim polos tanpa ornamentasi ... 79
Gambar-22. Ornamentasi lobang ... 80
Gambar-23. Ornamentasi gorga ... 80
Gambar-24. Ornamentasi nama ... 80
Gambar-25. Ornamentasi simbol ... 81
Gambar-26. Posisi lobang nada sulim 87... 87
Gambar-27. Semua lobang nada tertutup akan menghasilkan nada “F” 87 Gambar-28. Lobang nada 1 dibuka akan menghasilkan nada “G” ... 88
Gambar-29. Lobang nada 1,2 dibuka akan menghasilkan nada “A” ... 88
Gambar-31. Lobang nada 1,2,3,4 dibuka akan menghasilkan nada “C” 89
Gambar-32. Lobang nada 1,2,3,4,5 dibuka akan menghasilkan nada
“D” ... 89
Gambar-33. Lobang nada 1,2,3,4,5,6 dibuka akan menghasilkan nada
“E” ...
89
Gambar-34. Lobang nada 1,2,3,4,5 ditutup sedangkan lobang nada
ke-6 dibuka akan menghasilkan nada “F oktaf (f’)” ...
90
Gambar-35. Ambasir pada sulim ... 92
Gambar-36. Sulim dengan posisi di sebelah kanan ... 93
Gambar-37. Sulim dengan posisi di sebelah kiri ... 94
DAFTAR TABEL
Tabel-1. Pola ukuran Sulim ... 63
Tabel-2. Unsur-unsur gaya dalam sebuah komposisi musik
(menurut beberapa ahli) ... 150
Tabel-3. Rumus Interval ... 158
Tabel-4. Frekuensi Pemakaian Interval
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Skripsi ini akan membahas instrument 1
Sulim (seruling) adalah sejenis instrumen tiup bambu yang berasal dari
daerah Batak Toba di Sumatera Utara. Dalam klasifikasi alat musik oleh Curt Sachs
dan Hornbostel, instrumen ini tergolong kepada jenis aerophone dengan spesifikasi
side blown flute yang terdiri dari sebuah lobang tiupan dan 6 (enam) buah lobang
nada. Dilihat dari karakteristik organologisnya, sulim hampir sama dengan jenis
seruling yang ada pada etnis lain pada umumnya. Yang membedakannya hanya
pada penambahan lobang yang dibalut oleh sebilah kertas tipis ataupun plastik tipis
pada pertengahan antara lobang tiupan dengan lobang nada. Lobang tambahan ini
dapat menciptakan warna bunyi yang menjadi ciri khas tersendiri dibandingkan
instrumen seruling yang lain.
sulim mulai dari aspek
keberadaannya hingga pada berbagai fenomena yang terjadi pada fungsi dan
pengunaannya dalam kehidupan sehari-hari mulai dari masa-masa yang silam
hingga pada masa kini,dan secara lebih spesifik lagi akan memfokuskan
pembahasan pada kajian kontinuitas dan perubahan yang terjadi terhadap berbagai
aspek yang terkait dengan fungsi dan penggunaan sulim yang membawa pengaruh
besar dalam berbagai fenomena kebudayaan musikal Batak Toba.
Ditinjau dari aspek penggunaannya, awalnya sulim hanya tergolong kepada
sejenis solo instrumen atau instrumen tunggal yang biasa dipakai oleh seseorang
sebagai media hiburan untuk mengungkapkan perasaannya. Dalam kehidupan
1
sehari-hari instrument ini lazim dipakai oleh seseorang diwaktu-waktu senggang
baik ketika menggembalakan kerbau, menjaga ladang/sawah, bermain ataupun saat
melakukan berbagai aktivitas lainnya. Kemudian seiring dengan perkembangan
zaman, dengan hadirnya opera Batak2 yang dari tahun 1920-an hingga 1970-an,
sulim membawa pengaruh dan perubahan dalam hal pola pikir dan selera musik
masyarakat Batak Toba pada masa itu. Lagu-lagu opera Batak yang didominasi
oleh karya almarhum Tilhang Gultom3
Sebelum hadirnya opera Batak, sulim bukanlah sebuah instrumen yang
biasa dimainkan dalam ensambel
pada masa itu sangat digemari oleh
masyarakat Batak mulai dari kawula muda hingga kalangan orang tua. Sehingga
para musisi opera Batak kala itu dianggap sebagai sosok layaknya seorang artis
yang selalu dipuja-puja oleh para penggemarnya.
4
2
Opera Batak merupakan seni pertunjukan masyarakat Batak Toba yang melibatkan/menggabungkan seni teater, musik, tari, dan nyanyian (vokal)
. Sebab pada masa itu, hanya ada 2 jenis
ensambel yang berkembang dalam tradisi Batak Toba yakni ensambel gondang
sabangunan dan ensambel gondang hasapi, dimana di antara kedua ensambel ini
tidak mencakup sulim sebagai salah satu instrumen pendukungnya walau pun sulim
mampu berperan sebagai pembawa melodi utama dalam sebuah repertoar. Tetapi
seiring perkembangan zaman dan rasa musikal masyarakat Batak Toba pada masa
itu maka terjadilah sedikit pergeseran dimana instrumen sulim dan taganing mulai
dipadukan dengan instrumen-instrumen yang ada dalam ensambel gondanghasapi.
Dalam ensambel ini, sulim berperan sebagai pembawa melodi penuh disamping
instrumen lain yang juga pembawa melodi utama seperti hasapi inang (lute),
3
Seorang pelopor musik dan lagu Opera Batak 4
sarune etek (oboe) dan garantung (xylophone). Selain sebagai pembawa melodi,
sulim juga berperan sebagai pembawa melodi variatif yang mampu keluar dari
wilayah nada pokok sebagai wujud dari improvisasi nada-nada yang dimainkan
baik dari sebuah lagu maupun repertoar sesuai kemampuan pemainnya. Menurut
para narasumber pemusik tradisional Batak Toba, masuknya sulim ke dalam
gondang hasapi merupakan pengaruh dari ensambel musik opera Batak yang
disebut dengan uning-uningan.
Selain itu, sulim termasuk instrumen yang unik jika dibandingkan dengan
instrumen tradisi Batak Toba lainnya. Salah satu keunikannya adalah, sulim mampu
mengubah sebuah tradisi yang sudah dilestarikan bertahun-tahun tanpa mengubah
ciri khas dari instrumen itu sendiri. Hal ini dapat kita lihat melalui berbagai aspek
yang menunjukkan bahwa betapa pentingnya sulim hadir dalam sebuah kajian
musikologis khususnya dalam Budaya Batak. Sebagai bukti selain dari pada
beberapa fakta di atas adalah ;
Pertama, selain memberikan pengaruh pada era opera Batak sulim juga
hadir dalam formasi Brass Band atau dikenal dengan ensambel Musik Tiup Logam5
5
Musiktiup logam merupakan ensambel yang terdiri seperangkat alat musik tiup logam yang tersaji dalam bentuk semi combo band yang terdiri dari instrumen terompet, trombone, saxofon, tuba, dan 1 set drum yg terbuat dari logam.
yang juga digemari pada masa itu dimana ensambel ini acapkali dipakai dalam
setiap acara adat orang Batak. Dalam konteks ini, sulim berperan sebagai pembawa
melodi yang pada akhirnya mampu mengubah tradisi musik tiup yang didominasi
oleh instrumen tiup modern dari Eropa menjadi sebuah formasi yang lebih
sederhana yang dikenal dengan istilah ‘Sulkibta’ (sulim, kibot, taganing) atau
‘Sulkib’ (sulim, kibot) saja, sehingga berbagai instrumen tiup dari Eropa tersebut
Kedua, sulim tidak hanya memberikan pengaruh dalam eksistensi opera
Batak atau pun musik tiup dalam konteks hiburan maupun adat, tetapi sulim juga
hadir dalam perkembangan Musik Gereja. Hal ini dapat kita lihat ketika sulim
dipakai sebagai salah satu intrumen pengiring lagu-lagu ibadah ketika ada perayaan
tertentu di dalam sebuah gereja atau pun dalam perayaan akbar di luar gereja sekali
pun seperti Perayaan Hari Besar Agama Kristen dan acara Kebangkitan
Kebangunan Rohani (KKR) jemaat Kristiani.
Selain dari itu, sulim juga sudah sering dipakai sebagai salah satu media
pengiring lagu rohani mau pun sekuler bernuansa tradisi yang dibawakan oleh
berbagai Paduan Suara ;
Ketiga, setelah berakhirnya kejayaan opera Batak pada akhir 1970-an maka
muncullah Hits-hits Album Batak popular yang diwarnai dengan nuansa Musik
Barat yang pada masa itu didominasi oleh lagu-lagu karya almarhum Nahum
Situmorang6
Keempat, selain menjadi instrumen yang sering disandingkan dengan
instrumen Batak yang lain, sulim juga mampu berperan sebagai instrumen tunggal dan sudah berkembang hingga pada masa kini. Seiring perkembangan
tersebut tidaklah pula warna tradisi malah menghilang dari berbagai lagu Batak
yang disajikan. Kehadiran sulim dalam mengisi setiap lagu Batak (tradisonal dan
popular) yang diciptakan menjadi keunikan tersendiri bagi setiap pendengar. Hal ini
menunjukkan bahwa sulim tidak selamanya hanya dipakai dalam memainkan
melodi sebuah lagu atau repertoar secara utuh tetapi juga mampu memainkan
sebagian atau penggalan dari beberapa repertoar tertentu untuk mengisi intro
(musik pembuka) dan interlude (musik tengah) dari sebuah lagu popular (pop) dan
tradisional Batak yang dihasilkan dalam industri rekaman ;
6
yang dapat membawakan melodi andung-andung ( nyanyian ratapan tangis) yang
seiyogianya dimainkan pada intrumen lain seperti sordam7
Kelima, selain sebagai instrumen tunggal maupun instrumen yang selalu
dimainkan dengan isntrumen Batak yang lainnya, pada masa sekarang ini sulim
juga sudah sering ditampilkan dengan suguhan yang berbeda yakni mampu
berkolaborasi dengan intrumen tradisi dari berbagai sub-etnis Batak atau bahkan
etnis-etnis yang lain. Hal ini bisa terbukti dengan terbentuknya berbagai group
musik antar lintas etnis di kota Medan seperti “D’Tradisi” yang baru-baru ini sudah
mengharumkan nama baik Sumatera Utara di kancah blantika musik Indonesia, dan
juga group antar lintas etnis yang lain seperti “Group Incidental Music”,
“Metronom” serta group musik yang lainnya yang sudah tidak asing lagi dalam
mengiringi berbagai tari garapan etnis yang ada di kota Medan.
. Namun, seiring dengan
semakin langkanya sordam maka pada masa sekarang ini alunan andung-andung
tersebut dapat dimainkan pada sulim. Hal ini dimungkinkan karena produksi nada
sulim selain dihasilkan oleh lobang nada juga dapat diproduksi melalui teknik
tiupan, sehingga karakter bunyi sordam dapat dihasilkan walau tidak terlalu persis
tapi setidaknya mirip dengan yang aslinya ;
Terlepas dari gaya atau teknik yang dimainkan, instrumen sulim sudah
memberikan warna baru dan dinamika tersendiri dalam keberlangsungan atau
eksistensi musik Batak dan kolaborasi antara musik Batak dengan musik etnis
lainnya di tanah air.
Selain beberapa hal yang penulis paparkan di atas, mungkin masih banyak
lagi hal unik lain tentang pemakaian sulim yang berkembang hingga pada saat ini
7
yang belum penulis paparkan. Oleh karena itu, penulis masih butuh informasi atau
referensi dari berbagai sumber untuk melengkapi tulisan ini, dan dengan
memperhatikan berbagai fakta unik tentang instrumen sulim yang penulis paparkan
tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk membuat sebuah kajian skripsi yang
berjudul “SULIM BATAK TOBA : SEBUAH KAJIAN KONTINUITAS DAN
PERUBAHAN”.
1.2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, maka pokok permasalahan yang menjadi topik
bahasan dalam tulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana keberadaan (eksistensi) sulim terkait dengan fungsi dan
penggunaannya ketika dimainkan dalam konteks tunggal (solo instrument),
dengan ensambel serta kolaborasi dengan instrument yang lain dalam berbagai
fenomena Budaya Batak Toba.
2. Hal-hal apa sajakah yang melatar-belakangi terjadinya perubahan dan
kontinuitas baik pada instrumen itu sendiri maupun pengaruhnya terhadap
berbagai aspek dimana instrument tersebut digunakan.
3. Bagaimana gambaran proses kontinuitas (keberlanjutan) dan perubahan yang
terjadi dari berbagai aspek tersebut.
4. Aspek apa saja yang berubah dan berlanjut dalam keberadaannya di
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui aspek-aspek apa sajakah yang menjadi kelebihan sulim
dibandingkan isntrumen lain sehingga mampu dimainkan dalam berbagai
konteks baik solo, ensambel, maupun kollaborasi dengan instrument lain
sehingga mampu membawa perubahan dalam berbagai fenomena budaya Batak
Toba.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi terjadinya
kontinuitas dan perubahan itu sendiri.
3. Untuk memberikan gambaran umum tentang proses bagaimana kontinuitas dan
perubahan itu bisa terjadi.
4. Untuk mengetahui aspek-aspek apa saja yang berubah dan berlanjut (kontinu)
dalam proses tersebut.
1.3.2 Manfaat penelitian
Adapun beberapa manfaat yang diperoleh dan ingin dicapai dalam tulisan ni
adalah :
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para
pembaca, baik yang berada dalam disiplin etnomusikologi maupun di luar
etnomusikologi, khususnya bagi penulis sendiri dalam menambah wawasan
tentang budaya masyarakat Batak.
2. Untuk menambah referensi tentang pemahaman teori fungsional struktural serta
3. Sebagai dokumentasi tambahan mengenai fenomena Budaya Batak Toba yang
bisa dipakai sebagai masukan bagi Departemen Etnomusikologi.
4. Semoga dapat digunakan oleh penulis lain yang ingin membahas tentang
masalah yang sama dengan objek yang berbeda.
5. Untuk memenuhi syarat ujian untuk mendapatkan gelar Sarjana di Departemen
Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep
Konsep adalah kesatuan pengertian tentang suatu hal atau persoalan yang
perlu dirumuskan. Konsep juga merupakan rancangan ide atau pengertian yang
diabstrakkan dari peristiwa konkret (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
1991 : 431). Untuk memperjelas konsep yang akan penulis gunakan dalam
penulisan skripsi ini, maka sebaiknya perlu dijelaskan 2 (dua) hal pokok yang
menjadi topik utama dalam pembahasan yakni mengenai kajian kontinuitas dan
perubahan.
Kajian merupakan kata jadian yang terbentuk dari kata “kaji” yang berarti
mengkaji, mempelajari, memeriksa, mempertimbangkan secara matang, dan
mendalami. Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa pengertian kata
“kajian” dalam hal ini adalah suatu penelitian atas pemeriksaan yang dilakukan
dengan teliti (Badudu, 1982: 132).
Kontinuitas memiliki arti keberlanjutan, keberlangsungan, dan
kesinambungan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1988). Kontinuitas
yang dimaksud di sini adalah adanya hal-hal yang masih tetap eksis, dipertahankan,
dari struktur organologis dan ciri khas bunyi serta teknik-teknik dasar dalam
memainkan sulim, dimana hingga pada saat ini hal-hal tersebut masih tetap
dipertahankan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:1234), kata perubahan
berarti; hal (keadaan) berubah, peralihan, pertukaran. Dalam bahasa inggris
perubahan disebut change, misalnya perubahan sosial atau sosial change, artinya
perubahan dalam kemasyarakatan yang mempengaruhi sistem sosial suatu
masyarakat yang berhubungan dengan nilai-nilai, dan perilaku di antara kelompok
manusia (Yandianto, 2000:656; Abdulsyani, 1995:83)
Dalam hal ini, perubahan yang dimaksud dibedakan menjadi 2 (dua) aspek
yakni aspek fisik maupun non-fisik. Aspek fisik menyangkut hal-hal yang berkaitan
dengan kondisi fisik istrumen itu sendiri, sedangkan aspek non-fisik menyangkut
fungsi dan penggunaan sulim itu sendiri dalam berbagai konteks penyajiannya.
Berbicara tentang aspek fisik, salah satu perubahan yang terjadi adalah
bahwa awalnya sulim tidaklah memiliki nada dasar tetap yang sudah ditentukan
pada masa itu, sebab sulim awalnya tidak dimainkan dalam sebuah ensambel yang
disesuaikan dengan nada dasar dan mengikuti pola akord tertentu. Sehingga
dulunya sulim memiliki bentuk ukuran yang berbeda-beda yang sifatnya bebas
tanpa harus mengikuti pola,aturan pembuatan tertentu. Dalam arti bahwa ketika itu
nada-nada yang dihasilkan oleh sulim belum sesuai dengan standardisasi nada yang
dihasilkan oleh piano.
Sedangkan pada masa kini, sulim sudah diciptakan dengan berbagai inovasi.
Tanpa harus menghilangkan ciri khas warna bunyinya, sulim sudah tersedia dengan
aturan pembuatan tertentu yang diselaraskan dengan standardisasi bunyi piano.
diciptakan berdasarkan 12 (dua belas) nada yang ada pada wilayah (range) satu
oktaf nada piano mulai dari nada C standard hingga C’ (C oktaf). Hal ini bisa
terjadi mungkin karena semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat
pendukungnya terhadap penyajian sulim itu sendiri. Salah satu bukti yang paling
signifikan adalah dengan hadirnya sulim dalam mengiringi lagu ibadah gereja,
berbagai lagu dalam paduan suara, dan juga dalam pengisian komposisi musik lagu
Batak Tradisional maupun Populer dalam industri rekaman dimana situasi tersebut
memaksa supaya sulim juga harus disesuaikan dengan nada dasar lagu atau pun
repertoar yang dipintakan.
Kemudian selain daripada itu, aspek lain yang bisa dilihat adalah ketika
sulim tidak lagi hanya memainkan nada-nada pentatonis, tetapi juga mampu
dimainkan dengan nada-nada yang diatonis bahkan dapat diwarnai dengan
penambahan nada kromatis. Hal ini terjadi karena sulim tidak lagi semata hanya
memainkan repertoar gondang Batak Toba yang mengandung ciri khas nada
pentatonis, tetapi juga sudah sering ditampilkan untuk mebawakan lagu-lagu baik
itu lagu tradisional Batak Toba, lagu Populer, lagu Rohani, maupun lagu Sekuler
lainnya dimana sudah banyak terkontaminasi oleh nada-nada musik Barat. Sejalan
dengan uraian tersebut di atas, mungkin hal inilah yang memicu diciptakannya
sulim dengan 12 kunci (nada dasar) dengan pelarasan nada musik Barat.
Bicara mengenai aspek non-fisik, perubahan yang terjadi menyangkut
hal-hal di luar aspek fisik yang berkaitan dengan fungsi dan penggunaan sulim yang
mampu membawa perubahan besar dalam eksistensi musik Batak yang sedikit
banyak sudah disinggung dalam bahasan yang dipaparkan di latar belakang
1.4.2 Teori
Teori merupakan prinsip-prinsip umum yang ditarik dari fakta-fakta, dan
juga dugaan yang menerangkan sesuatu (Marzuki 1999 : 33). Teori juga dapat
berarti sebagai suatu analisis terhadap suatu hal yang sudah terbukti dan teruji
kebenarannya. Dan teori juga merupakan landasan berpikir secara ilmiah untuk
menguji, membandingkan, atau menerapkan untuk objek penelitian.
Dalam pembahasan ini teori dapat digunakan sebagai landasan dan kerangka
berpikir dalam membahas setiap permasalahan. Oleh karena itu, penulis
mengadopsi beberapa teori sebagai referensi dalam penulisan skripsi ini.
Menurut Soekanto, perubahan terjadi karena usaha masyarakat untuk
menyesuaikan diri sesuai kebutuhan situasi dan kondisi yang timbul sejalan dengan
pertumbuhan masyarakat (Soekanto 1992 : 21). Suatu kebudayaan tidaklah bersifat
statis, melainkan selalu berubah dengan kemajuan zaman sebab kebudayaan
bukanlah suatu hal yang lahir hanya sekali (Ihromi 1987 :32).
Herskovits dalam Merriam mengemukakan bahwa perubahan dan
kelanjutan (kontinuitas) merupakan suatu tema yang digunakan untuk memahami
sifat stabil dan dinamis yang melekat dalam setiap kebudayaan. Berkaitan dengan
fenomena ini, teori kebudayaan secara umum mengasumsikan bahwa setiap
kebudayaan beroperasi dalam kerangka waktu yang terus mengalami kelanjutan,
dimana variasi-variasi dan perubahan yang terjadi adalah hal yang tidak dapat
dielakkan (Merriam 1964 : 303).
Selain itu penulis juga menggunakan teori perubahan budaya. Menurut
Herskovitz perubahan kebudayaan dapat dilihat dari dua titik pandang, yaitu
bagaimana yang terjadi di masa lampau dan masa sekarang. Berdasarkan titik
didefenisikan sebagai transmisi budaya dalam proses. Perubahan dapat dipandang
dari bagaimana asal-usul sebuah kebudayaan tersebut apakah karena faktor internal
atau eksternal. Perubahan yang terjadi karena faktor internal disebut inovasi, dan
perubahan karena faktor eksternal disebut akulturasi (1948 : 525).
Sependapat dengan uraian tersebut, Koentjaraningrat (1965:135) juga
mengemukakan tentang salah satu faktor yang menyebabkan perubahan
kebudayaan, yaitu:inovasi (innovation) adalah suatu proses perubahan kebudayaan
yang besar tetapi yang terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Proses ini
meliputi satu penemuan baru, jalannya unsur itu disebarkan ke lain bagian
masyarakat dan cara unsur kebudayaan tadi diterima, dipelajari, dan akhirnya
dipakai dalam masyarakat yang bersangkutan. Kemudian Lauwerjuga berpendapat
bahwa terjadinya suatu perubahan dapat diakibatkan oleh adanya akulturasi
(acculturation), dimana akulturasi disini mengacu pada pengaruh suatu kebudayaan
lain atau saling mempengaruhi antara dua kebudayaan yang mengakibatkan
terjadinya suatu perubahan (1989:402).
Perubahan juga merupakan sebuah konsep yang serba mencakup, menunjuk
kepada perubahan fenomena sosial di berbagai tingkat manusia. Perubahan sosial
dapat dilihat pada suatu tingkat tertentu atau dengan menggunakan berbagai
kawasan studi dan menganalisis. Perubahan sikap ini melambangkan perubahan
hubungan sesama manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara jelas
untuk mengetahui adanya perubahan dalam suatu komunitas masyarakat merupakan
cerminan masyarakat tersebut (Lauer 2001 : 5).
Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan
perubahan adalah sebuah konsep yang mencakup perubahan dari berbagai unsur
kehidupan. Kondisi-kondisi sosial primer yang menyebabkan terjadinya perubahan
seperti pengetahuan, ekonomi, teknologi, atau geografi merupakan faktor-faktor
penyebab terjadinya perubahan pada aspek sosial lainnya.
Sehubungan dengan pengkajian instrument sulim, penulis juga mengacu
pada teori yang yang dikemukakan oleh Kashima Susumu dengan menjelaskan dua
pandangan yang mendasar yaitu :
“1. Structural and 2. Fungsional. Structural studies deal with the physical aspect of musical instrument – observing, measuring, and recording the shape, size, construction and the materials used in making the instrument. The second deals with its function as a sound-producing tool researching, measuring and recording the playing methods, tuning methods, sound producing uses and the loudness, pitch, timbre, and quality of the sound produced”(Susumu, 1978 : 174).8
“1. Struktural dan 2. Fungsional. Secara Struktural, yaitu aspek fisik instrument musik – pengamatan, mengukur, dan merekam bentuk, ukurannya, konstruksinya, dan bahan yang dipakai dalam pembuatan instrument tersebut. Secara Fungsional yaitu berkaitan dengan fungsi instrument sebagai alat penelitian untuk memproduksi bunyi, metode pengukuran dan perekaman bunyi, metode penyelarasan nada, penggunaan bunyi yang diproduksi dan kekuatannya, ketepatan nada, warna bunyi, dan kualitas bunyi yang diproduksi.”
Berkaitan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Susumu dan dengan
melihat kenyataan yang terjadi pada masyarakat Batak Toba, maka penulis
melakukan pembahasan baik secara struktural maupun fungsional dari instrument
itu sendiri.
Dalam membicarakan aspek musikologis pada tulisan ini, penulis
memperhatikan pendapat Malm (1977:8) yang menyatakan beberapa karakter yang
harus diperhatikan dalam mendeskripsikan melodi, yaitu : (1) tangga nada, (2) nada
dasar, (3) wilayah nada, (4) jumlah masing-masing nada, (5) interval, (6) pola-pola
8
kadens, (7) formula melodi, (8) kontur. Teori ini disebut juga dengan teori
Weighted Scale (bobot tangga nada). Teori ini pada dasarnya melihat struktur ruang
dalam musik dengan menggunakan ukuran-ukuran tertentu.
Untuk membahas tentang fungsi dan penggunaan musik dalam masyarakat
Batak Toba terkait dengan penggunaan sulim dalam berbagai konteks penyajiannya,
penulis berpedoman pada teori Uses and Function yang dikemukakan oleh
Meriam (1964: 119-222) yang menawarkan sekurang-kurangnya ada sepuluh fungsi
dalam musik, yaitu: (1) fungsi pengungkapan emosional (the funtion of emotional),
(2) fungsi penghayatan estetis (the funtion of aesthetic enjoyment), (3) fungsi
hiburan (the funtion of entertainment), (4) fungsi komunikasi (the funtion of
comunication), (5) fungsi perlambangan (the funtion of symbolic representation),
(6) fungsi reaksi jasmani (the funtion of physical response), (7) fungsi yang
berkaitan dengan norma-norma sosial (the funtion of enforcing coformity to social
norms), (8) fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara agama (the funtion of
validation of social institution and religious rituals), (9) fungsi kesinambungan
budaya (the funtion of contribution to the continuity and stability of culture), (10)
fungsi pengintegrasian masyarakat (the funtion of contribution the integration of
society).
1.5 Metode Penelitian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:581), metode penelitian diartikan
sebagai suatu cara mencari kebenaran dan azas-azas alam, masyarakat atau kemanusiaan
yang bersangkutan. Dalam kaitan ini Hasan (1985:7) mengatakan metode merupakan cara
atau sistematika kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang
Menurut Caplin (1989:301), metode adalah prosedur sistematis yang tercakup
dalam upaya menyelidiki suatu fakta atau konsep. Dari beberapa kutipan tersebut dapat
diartikan bahwa yang dimaksud dengan metode penelitian dalam disiplin ilmu tertentu. Di
dalam ilmu-ilmu sosial, objek pengamatan dan penelitian yang merupakan dasar dari
pengetahuan ilmiah adalah gejala-gejala masyarakat yang lebih khusus, terdiri dari
kejadian-kejadian kongkrit.
Menurut Nettl (1964:62-64) ada dua hal yang esensial untuk melakukan
aktivitas penelitian dalam disiplin Etnomusikologi yaitu kerja lapangan (fieldwork)
dan kerja laboratorium (desk work). Kerja lapangan ini meliputi pemilihan
informan, pendekatan dan pengumpulan data, pengumpulan dan perekaman data,
latar belakang perilaku sosial ataupun mempelajari seluruh pemakaian musik.
Sedangkan kerja laboratorium meliputi pengolahan data yang didapat dari
lapangan, menganalisis dan membuat hasil dari keseluruhan data-data yang
diperoleh.
Untuk mendapatkan data secara sistematis, maka penulis menggunakan
metode penelitian dengan pendekatan kualitatif. Menurut Nawawi dan Martini
(1995:209) penelitian kualitatif adalah rangkaian atau proses menjaring data
(informasi) yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek
atau bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Selanjutnya Moleong juga
menambahkan bahwa penelitian kualitatif dibagi dalam empat tahap, yaitu: tahap
sebelum kelapangan (pra lapangan), tahap kerja lapangan, analisis data dan
penulisan laporan.
Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan metode deskriptif yang
bersifat kualitatif. Menurut Koentjaraningrat (1990:29) mengatakan bahwa
sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu untuk menentukan
frekuensi atau penyebaran dari suatu gejala ke gejala lain dalam suatu masyarakat.
1.6 Pemilihan Lokasi Penelitian dan Informan
Dalam hal penentuan lokasi penelitian, penulis memilih berdasarkan tempat
berdomisilinya para informan atau musisi yang dianggap berkaitan dengan
penelitian ini. Oleh karena itu, penulis dalam hal ini melihat kasus yang sering
terjadi di kota Medan sebagai bahan penelitian dan memilih wilayah Samosir
sebagai perbandingan dan juga sebagai tempat tinggal para informan. Selain karena
tempat berdomisilinya para informan, alasan memilih kedua tempat tersebut adalah
bahwa kota Medan merupakan ibukota Sumatera Utara yang juga tempat
berdomisilinya penulis dan mayoritas masyarakat Batak secara keseluruhan,
dimana tempat ini berperan sebagai pusat kehidupan yang dinamis dan berkembang
serta penuh dengan fenomena budaya Batak Toba, sedangkan Samosir merupakan
tempat yang menjadi pusat peradaban masyarakat Batak Toba dan akar
bertumbuhnya budaya masyarakat Batak Toba.
1.7 Kerja Lapangan
Dalam kerja lapangan penulis melakukan wawancara untuk mendapatkan
informasi yang akurat tentang tulisan ini. Sebelum melakukan wawancara terlebih
dahulu penulis menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan di dalam melakukan
wawancara, yaitu: menyusun pertanyaan, mempersiapkan alat-alat tulis,
1.8 Studi Kepustakaan
Sebagai landasan penulis dalam melakukan penelitian, sebelum melakukan
kerja lapangan penulis terlebih dahulu melakukan studi kepustakaan, baik dari
artikel, skripsi, maupun buku-buku yang berkaitan dengan objek penelitian. Studi
ini bertujuan untuk memperoleh konsep-konsep serta teori-teori yang relevan untuk
membahas permasalahan dalam tulisan ini sekaligus untuk menghindari kesamaan
topik pembahasan.
Beberapa tulisan yang membahas tentang sulim Batak Toba, antara lain:
Skripsi Martogi Sitohang yang berjudul “Sulim Batak Toba : Suatu Kajian
dalam Konteks Gondang Hasapi ”. Skripsi ini secara umum membahas tentang
kajian musikologis sulim dalam konteks ensambel gondang hasapi saja. Selanjutnya
Skripsi Frendy Sirait yang berjudul “Instrumen Sulim Pada Ansambel Musik Tiup
Batak Toba Di Kota Medan : Kajian Terhadap Fungsi, Perkembangan Dan
Organologis”. Skripsi ini secara umum juga hanya membahas tentang kajian
fungsional, dan perkembangan penggunaan serta organologis sulim dalam konteks
ensambel Musik Tiup saja. Kalo penulis melihat perbandingan antara kedua judul
tersebut di atas, penulis menilai bahwa ada kesamaan topik konteks pembahasan
yakni sama-sama membahas tentang kajian fungsional sulim dalam konteks
ensambel. Hal yang membedakannya hanya terlihat ketika instrument tersebut
dimainkan dalam nama ensambel yang berbeda,yakni antara ensambel gondang
hasapi dan musiktiup.
Sedangkan dalam tulisan ini penulis lebih mendalam membahas tentang
kajian struktural dan fungsional sulim dalam berbabagi konteks penyajian baik
instrument yang lain,selain daripada itu penulis juga membahas tentang kontinuitas
dan perubahan fungsi dan penggunaannya dalam berbagai aspek tersebut.
Selain dari kedua skripsi di atas, untuk mendukung bahasan tentang kajian
organologis serta kajian kontinuitas dan perubahan yang juga dibahas dalam tulisan ini
penulis juga mengambil referensi dari skripsi-skripsi lain seperti skripsi Martahan Sitohang
yang berjudul “Perubahan dan Kontinuitas Ritual Pembuatan Taganing di Desa Turpuk
Limbong Kecamatan Harian Kabupaten Samosir”, skripsi Leonald Nainggolan yang
berjudul “Kontinuitas dan Perubahan Gondang Naposo Pada Masyarakat Batak
Toba di Desa Gajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan”, dan juga skripsi
yang berjudul “Studi Organologis dan Musikologis Tulila Dalam Kebudayaan
Batak Toba di Desa Turpuk Limbong Kecamatan Harian Boho Kabupaten Tapanuli
Utara” serta banyak skripsi lain yang mungkin tidak dapat penulis paparkan satu
persatu dengan alasan bahwa sejalan dengan proses penulisan skripsi ini
kemungkinan akan ada referensi lain yang penulis dapatkan baik berupa skripsi
atau sumber buku yang lain secara tiba-tiba atau dalam konteks situasi yang
berbeda.
1.9 Kerja Laboratorium
Seluruh data yang diperoleh penulis dari lapangan dan studi kepustakaan,
kemudian dianalisis kembali di dalam kerja laboratorium. Penulis akan melakukan
seleksi data, analisis data, dan mengelompokkannya sesuai dengan informasi yang
penulis harapkan. Proses analisis data penelitian dimulai dengan menelaah
keseluruhan data yang diperoleh. Analisis data dilakukan mulai awal penelitian dan
berlangsung sampai pada saat proses penulisan laporan penelitian selesai.Begitu
tulisan ini. Data yang tidak bersifat musikal diolah kemudian dan dituliskan dalam
bentuk tulisan atau karya ilmiah. Selama proses pengolahan data, penulis juga
melakukan diskusi-diskusi dengan para dosen pembimbing dan teman-teman yang
BAB II
MASYARAKAT BATAK TOBA DI
BONA
PASOGIT
DAN DI
PERANTAUAN
2.1 Konsep Adat
Kebudayaan terjadi karena adanya faktor-faktor yang mendukung terjadinya
kebudayaan itu. Dalam masyarakat Batak Toba, dapat kita temukan adanya
kebudayaaan yang berisikan adat isitiadat dan juga kesenian. Hal ini masih tetap
dilaksanakan dalam tatanan kehidupan masyarakat Batak pada masa kini dan
merupaan suatu hal pokok yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang Batak
itu sendiri.
Adat merupakan warisan dari leluhur yang harus dilanjutkan oleh generasi
berikutnya yang merupakan pedoman kepada masyarakat dalam melaksanakan
kegiatan sehari-hari. Di dalam adat terdapat unsur hukum, aturan dan tata cara yang
mengatur tentang hubungan manusia dan manusia.
Menurut masyarakat Batak Toba, adat merupakan pemberian Mulajadi Na
Bolon9
Adat adalah kebiasaan atau hasomalan yang berarti aturan-aturan yang
dibiasakan. Pengertian lain yaitu kebiasaan di suatu tempat atau yang terdapat pada
suatu kelompok marga yang berasal dari orang-orang tua dan diwariskan secara
turun temurun, berupa pesan tentang aturan dan hukum yang tidak boleh diabaikan yang harus dituruti oleh makhluk penciptanya. Adat inilah yang menjadi
hukum bagi setiap orang yang memberikan pengetahuan tentang cara kehidupan
untuk membedakan yang baik dan yang buruk.
9
atau dilupakan. Hukum adat yang merupakan pemberian dari Mulajadi Na Bolon
sebagai perintah yang harus dituruti bermula dari kebiasaan adat yang dilaksanakan
oleh sekelompok masyarakat. Oleh karena itu, tertanam suatu kepercayaan pada
masyarakat Batak Toba terhadap hukum adat itu sendiri. Masyarakat Batak Toba
meyakini bahwa apabila adat diikuti dan dilaksanakan maka orang tersebut
dipercaya akan mendapat berkah, sedangkan orang yang tidak peduli dengan adat
tersebut akan mendapat bala (hukum tersirat).
Secara teologis, adat adalah bentuk keseluruhan suatu agama suku, adat
merangkum, meresapi dan menentukan suku atau bangsa dengan cara yang
bagaimanapun. Adat menghubungkan orang yang hidup yang kelihatan dengan
orang yang mati yang tidak kelihatan; adat mengatur tata tertib sosial untuk desa
sebagai persekutuan hukum, persekutuan produksi, dan persekutuan agama; adat
mempertahankan daya hidup mitos dimana kekuatannya terdapat pada nomisme,
yaitu sikap hukum yang alamiah dan tujuannya ialah utk tercapainya kelanggengan
dan keselarasan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Dalam keseluruhan aspek
ini, dunia binatang dan tumbuh-tumbuhan disatu-padukan sepenuhnya sama seperti
dunia alam dan cakrawala. Adat mepunyai corak bermotif sebab ia mempunyai
dasar dalam mitos yang merupakan konsepsi suatu bangsa untuk memahami
dirinya. Oleh karena itu, adat adalah bagian lahiriah serta pengembangan mitos
dalam kehidupan bersama dan penerapannya dalam segala seluk belukn kehidupan
(Pasaribu, 1986:61).
Adat memiliki asal usul keilahian dan merupakan seperangkat norma yang
diturunkan dari nenek moyang, yang berulang-ulang atau yang teratur datang
kembali, lalu kembali menjadi suatu kebiasaan atau hal yang biasa (Schreiner,
pembangunan rumah, upacara perkawinan, upacara kematian, semuanya dipelihara,
dilaksanakan dan diatur menurut adat (ibid, 1994:20).
Kebudayaan Batak Toba merupakan sebuah bentuk gagasan yang diwarisi
masyarakat pemiliknya dengan membuat perilaku terhadap nilai-nilai budaya.
Konsep masyarakat Batak Toba tentang kehidupan manusia, adalah bahwa
kehidupannya selalu terkait dan diatur oleh nilai-nilai adat. Adat merupakan bagian
dari kewajiban yang harus ditaati dan dijalankan. Dalam praktek pelaksanaan adat
Batak Toba, realita di lapangan menunjukkan terdapat empat (4) katagorial adat
yang telah dilakukan.
Pertama, komunitas masyarakat Batak Toba mempunyai sistem hubungan
adat tersendiri. Menunjukkan, setiap komunitas mempunyai tipologi adat
masing-masing. Perlakuan masyarakat pedesaan terhadap adat lebih intensif dan merekat,
dengan masyarakat Batak yang tinggal di perkotaan relatif lebih individualistis
menyikapi adat Batak. Perilaku ini muncul akibat pengaruh lingkungan yang
membentuk pola pikir disamping unsur teknologi yang mempengaruhi.
Kedua, Adat yang diyakini sebagai norma yang mengatur hubungan antar
manusia Batak Toba, dipengaruhi oleh aturan dan norma yang sudah berlaku dalam
masyarakatnya. Peraturan perundang-undangan dan hukum agama yang banyak
mengatur kehidupan normatif masyarakat secara rinci dan detail, memperkecil
peranan adat dalam mengatur norma sosial dan kehidupan bermasyarakatnya.
Seiring pula dengan aturan perundang-undangan dan hukum agama yang sudah
membudaya, sering juga dipandang dan dianggap sebagai bagian dari adat istiadat
Ketiga, Pola hubungan antar manusia dalam kelompok masyarakat Batak
Toba berubah secara terus menerus, sehingga pelaksanaan adatnya juga mengalami
perubahan sesuai kebutuhan tanpa melihat sisi ruang dan waktu.
Keempat, pandangan dan nilai yang diberikan terhadap adat itu juga
mengalami perubahan, akibat dari pengaruh teknologi dalam penyebaranluasan
informasi. Hal itu tampak dalam praktek adat yang dilakukan oleh masyarakat
pendukungnya.
Lebih jauh, adat adalah sebuah sistem yang mengatur kehidupan manusia.
Sehingga, orang Batak yang bertindak dan bertingkah laku tidak sesuai dengan adat
disebut dengan na so maradat (orang yang tidak memiliki adat) dan akan ada
sanksi sosial terhadap orang-orang yang melanggar adat. Pelanggaran adat yang
dilakukan dapat berbentuk perkawinan terlarang. Misalnya, perkawinan semarga
(incest). Pencurian, pencemaran nama baik dan hal lain yang diyakini sebagai
tatanan sosial masyarakat yang tidak dapat dilanggar (bandingkan, Bruner
1961:510). Sanksi bagi pelanggar hukum adat, diyakini datang dari kutukan ilahi
yang mereka percayai. Misalnya, tidak mendapatkan keturunan, penyakit menahun
yang tidak kunjung sembuh, kerugian ekonomis dalam setiap pekerjaan bahkan
sanksi kematian. Hukuman ini berlaku bagi pelanggar adat hingga keturunan
selanjutnya dalam beberapa generasi. Karena prinsip adat Batak bersumber dari
keilahian yang diturunkan nenek moyang orang Batak, maka setiap orang Batak yang
menjalankan adat adalah orang-orang yang bersekutu dengan nenek moyangnya.
2.2 Religi atau Kepercayaan
Menurut kepercayaan orang Batak dalam mitologinya, persoalan kehidupan
Jadi Nabolon. Mite yang mirip dengan mitologi dalam kepercayaan Hindu dalam
cerita turun temurun masyarakat Batak Toba ini, yaitu adanya tiga oknum dewa
masing-masing Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan sebagai aspek dari
Mulajadi Nabolon yang memiliki otoritas di bumi untuk mengatur kehidupan
manusia (Situmorang, 2009:21).
Dalam beberapa tulisan konsep mitologi ini berbeda dengan konsep yang
diungkapkan oleh Sitor Situmorang tentang “tri tunggal” Dewa orang Batak. Dalam
tulisan lain, Tampubolon menyebut ketiga Dewa itu bukanlah implisit dari jelmaan
Mula Jadi Nabolon, melainkan tiga dewa yang berdiri sendiri yaitu 1) Mulajadi
Nabolon, 2) Debata Asi-asi dan 3) Batara Guru yang sesuai dengan pekerjaannya
di Bumi. Mulajadi Nabolon diyakini sebagai pencipta dari alam semesta untuk alam
yang besar (Nabolon), dan menciptakan dewa-dewa yang lebih rendah. Debata
Asi-asi sebagai dewa yang menurunkan berkat dan kasih melalui oknum perantara (roh
leluhur, roh penghuni suatu tempat). Batara Guru berarti maha guru yang memberi
ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu gaib, pengobatan dan penangkalan roh-roh jahat.
(Tampubolon, 1978:9-10).
Mitologi Batak pada umumnya disampaikan melalui cerita dari mulut ke
mulut (tradisi lisan), biasanya pemberitaan seperti ini sukar untuk dipercaya. Hal ini
terbukti dari banyaknya beredar cerita-cerita dongeng di kalangan bangsa Batak.
Lebih lanjut Warneck membenarkan bahwa hampir semua suku bangsa memiliki
dongeng, yang tidak memiliki hubungan satu sama lain. Masing-masing berdiri
sendiri (Hutauruk, 2006:8)
Ajaran agama Batak yang terdapat dalam mitologi Batak ini, diperjelas oleh
Batara Sangti menyebut ketiga dewa (sama dengan versi Situmorang) pemilik
kehidupan manusia. Dalam legenda Siboru Deak (Deang) Parujar dalam
tonggo-tonggo (doa) yang disampaikan pada Mula Jadi Nabolon menyebut: Debata Natolu,
Natolu Suhu, Naopat Harajaon. Sangti menguraikan pekerjaan dan tugas keempat
oleh Debata Asi-asi yaitu menolong manusia dengan bersusah payah dan
berkorban. Dewa ini berfungsi sebagai: naso pinele jala naso sinomba (yang tidak
disaji dan tidak disembah) sebagai tugas keempat dimaksud dari na opat harajaon
(Sangti, 1977:279).
Dalam konteks kepercayaan tradisional “agama Batak” itu, terdapat konsep
bahwa kehidupan manusia tetap berlangsung walaupun sudah meninggal.
Kehidupan itu berada pada dunia maya, kehidupan para roh-roh yang sudah
meninggal. Anggapan bahwa roh-roh itu memiliki komunitas dan aktivitas sendiri.
Itu sebabnya, hingga kini masih terdapat kepercayaan bagi masyarakat Batak untuk
ikut menyertakan berbagai perlengkapan orang yang sudah mati, dikubur bersama
jasadnya. Misalnya, pahean (pakaian) yang dikenakan dipergunakan nantinya
setelah roh sebagai pakaian yang membungkus dari rasa dingin, dan ringgit sitio
suara (uang) untuk kebutuhan perjalanan menempuh perjalanan ‘jauh’ dari dunia
nyata ke dunia maya atau benda-benda lainnya yang dibutuhkan dalam dunia roh.
(ibid. 1978:10).
Dari beberapa versi cerita kehidupan orang Batak dapat disimpulkan, bahwa
orang Batak pada zaman keberhalaan sudah mempercayai adanya Allah yang satu
yang disebut Mulajadi Na Bolon yang menjadi sumber dari segala yang ada. Orang
Batak kala itu percaya ada kekuatan besar Debata yang menjadikan langit dan bumi
dan segala isinya. Juga memelihara kehidupan secara terus menerus. Debata
Mulajadi Na Bolon adalah sebagai ilahi yang tidak bermula dan tidak berakhir. Dia
Dalam konsep Batak, seluruh kehidupan tertuju pada daya dan upaya untuk
mencapai kepemilikan sahala. Sahala dalam filsafat Batak sangat besar
pengaruhnya dalam segala gerak hidup orang Batak, dan semua orang Batak harus
mempunyai sahala. Penafsiran sahala menurut Warneck adalah kewibawaan hidup,
kekayaan akan harta benda dan keturunan, kemuliaan yang mencakup kebijaksanaan,
kecerdikan, kecerdasan, kekuasaan, keluhuran budi pekerti. Hal ini terus dilakukan
oleh orang Batak secara turun temurun. Implementasinya, nampak pada setiap
pekerjaan adat dan hubungan kehidupan antara orang Batak. Sehingga sahala adalah
wujud dari hagabeon, hamoraon dan hasangapon.
Sahala adalah perwujudan roh (tondi) dalam kehidupan manusia di dunia.
Dia merujuk pada sebuah kekuatan nyata yang menjadi milik orang-orang penting
dan kuat. Tanda utama kepemilikan sahala yang besar adalah dimana seseorang
memiliki keberhasilan duniawi. Sahala merupakan sebuah kualitas yang bisa
diperoleh atau hilang. Masyarakat Batak Toba memberi tingkatan hidup pada
nilai-nilai kebudayaan dalam tiga kata, yaitu harajaon (kuasa), hamoraon (kekayaan)
dan hasangapon (kehormatan).
Harajaon menunjukkan bahwa tujuan setiap manusia adalah berdiri sendiri
secara merdeka dan mengelola hidup dengan wibawa dan kuasanya. Setiap orang
Batak (laki-laki), selalu mempunyai keinginan menjadi seorang raja. Pengertian
menjadi raja adalah seorang yang dapat mengatur hidupnya sendiri tanpa bantuan
orang lain. Oleh karena itu dianggap penting untuk membentuk rumah tangga
sendiri, karena rumah tangganya adalah awal dari usaha-usaha untuk mendirikan
ke”raja”annya sendiri. Manusia harus menghormati sanak saudaranya dan marga
Hamoraon menunjukkan bahwa tujuan dalam hidup seorang Batak adalah
mensejahterakan kehidupan. Anggapan tradisional, pengertian kesejahteraan lebih
dianggap sama dengan banyak memiliki istri dan anak, ladang yang luas dan ternak
yang banyak. Kepemilikan ini dianggap sebagai hasil karena memiliki seorang
Batak memiliki sahala sebagai raja.
Hasangapon merupakan tujuan dari usaha-usaha untuk mewujudkan
gagasan-gagasan harajaon dan hamoraon. Perjuangan untuk mencapai hasangapon
digambarkan sebagai motivasi fundamental suku Batak. Dalam mencapai harajaon,
hamoraon, dan hasangapon, ketegangan seringkali muncul antara kakak beradik
dalam satu marga. Dalam hal ini, seseorang yang memiliki status yang tinggi akan
mencoba menengahi, tetapi bila usaha-usaha ini tidak berhasil, sebuah kelompok
bisa pergi untuk mendirikan pemukiman baru.
Sistem dalihan na tolu mencegah pembentukan kelas-kelas sosial yang
kaku. Selalu ada hula-hula yang harus dipelihara dan dihormati. Oleh karena itu,
masyarakat Toba memiliki ciri egaliter yang kuat, dibandingkan misalnya dengan
masyarakat jawa. Sifat ini tidak berarti bahwa masyarakat Toba bebas dari hirarki
gender, pada umumnya perempuan menempati posisi rendah dibanding laki-laki.
2.3 Konsep Kemasyarakatan
Koentjaraningrat (1995:110) mengatakan bahwa stratifikasi sosial orang
Batak dalam kehidupan sehari-hari dapat dibedakan menjadi empat prinsip yaitu: 1)
Perbedaan tingkat umur. Yakni, sistem pelapisan sosial masyarakat Batak Toba
berdasarkan perbedaan tingkat umur ysng dapat dilihat dalam sistem adat istiadat.
Dalam pesta adat, orang-orang tua yang tingkat umurnya lebih tinggi, akan lebih
pelapisan sosial berdasarkan perbedaan pangkat dan jabatan ini dapat dilihat pada
perbedaan harta dan keahlian yaitu pada keturunan raja-raja, dukun, pemusik
(pargonsi) dan juga pandai-pandai seperti besi, tenun, ukir dan lain-lain. 3)
Perbedaan sifat keaslian. Sistem pelapisan sosial berdasarkan perbedaan sifat dan
keaslian dapat kita lihat dalam jabatan dan kepemimpinan. Dalam sistem ini
berlaku sifat keturunan contohnya, di daerah Muara adalah daerah asal marga
Simatupang. Maka secara otomatis turunan marga Simatupang ini lebih berhak atas
jabatan kepemimpinan di daerah tersebut seperti Kepala Desa atau yang di luar
jabatan pemerintahan. Demikian juga halnya dalam hak ulayat dalam pemilikan
tanah. 4) Status kawin adalah sistem pelapisan sosial berdasarkan status kawin
dapat dilihat di dalam kehidupan sehari-hari yaitu pada orang Batak yang sudah
berkeluarga. Mereka sudah mempunyai wewenang untuk mengikuti acara adat atau
berbicara dalam lingkungan keluarganya, dan biasanya orang Batak yang sudah
berkeluarga akan menjaga wibawanya dalam adat ataupun dalam kehidupan
sehari-hari. Oleh karena itu sangat besar arti perkawinan pada masyarakat Batak Toba.
2.4 Konsep Kekerabatan
Pembagian kelompok keturunan bagi masyarakat Batak diyakini berasal
dari satu nenek moyang yang sungguh-sungguh ada, dan atau karena anggapan
mitologi seperti disebutkan dalam pembahasan di atas. Garis keturunan yang
disandang oleh setiap orang Batak sekarang ini berasal dari satu sumber yang
secara eksklusif ditarik lurus dari pihak laki-laki (keturunan agnatic, patrilineal atau
laki-laki). Garis patrilineal ini dipakai guna menentukan status keanggotaan dalam
sebuah kelompok yang dinamai marga (klan). Sedangkan patrilineal adalah garis
organisasi keluarga yang luas. Kekerabatan dari kelompok keturunan bagi orang
Batak banyak dijumpai menurut wilayah kediaman masyarakat Batak Toba. Mereka
membentuk grup-grup menjadi sebuah kelompok marga (descent group) sebagai
kesatuan sosial. Kesatuan yang diakui (de facto) oleh umum.
Sejak dulu sampai sekarang, masyarakat Batak Toba dalam beberapa hal
merupakan masyarakat yang patriakal10
Adat Batak Toba mendorong seseorang segera menikah setelah masa
pubertas dan bagi laki-laki menikah dianggap sebagai sebuah tugas. Sistem marga
Batak Toba bersifat hirarkis, dalam arti bahwa marga (hula-hula), yang telah
memberikan anak perempuannya agar dinikahi marga yang lain dianggap lebih
tinggi dari pada marga yang menerima isteri tersebut (boru). Di pihak lain, marga
yang lebih tinggi juga berhubungan dengan marga-marga yang lain yang telah
memberikan anak-anak perempuan kepada mereka, yaitu yang dianggap lebih
tinggi. Tiga marga adalah marga milik seseorang (dongan sabutuha, teman dari . Dalam masyarakat tradisional, posisi
perempuan seringkali sulit. Jika seorang perempuan telah melahirkan banyak anak
laki-laki dan satu anak perempuan akan sangat dihargai, tetapi jika perempuan tidak
melahirkan anak laki-laki akan dianggap rendah. Karena sistem marga diambil dari
anak laki-laki, seorang laki-laki yang tidak memiliki anak laki-laki tidak dapat
mengabadikan marganya. Keadaan ini dianggap sebagai rasa malu yang besar dan
laki-laki itu didesak untuk memiliki istri lagi, karena anak-anak membawa
kebanggaan dalam sebuah marga, biasanya laki-laki yang memiliki kekayaan sering
memiliki lebih dari satu istri. Karena marga adalah eksogamus, perkawinan antara
orang-orang dari marga yang sama dianggap tabu.
10
satu rahim), hula-hula dan boru disebut dalihan na tolu, yang merujuk pada tiga
batu yang diletakkan dibawah tungku untuk memasak. Dalam hal ini tidak seorang
pun berada diatas karena setiap orang memiliki hubungan dengan sebuah marga
yang mereka anggap lebih tinggi.
Sistem kekerabatan keluarga Batak Toba, tidak dapat dipisahkan dari
filsafat hidupnya dan merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang
laki-laki dan seorang wanita, akan tetapi mengikat suatu hubungan yang tertentu
yaitu kaum kerabat dari pihak laki-laki atau kaum kerabat dari pihak perempuan.
Seluruh pihak yang masuk dalam lingkaran kerabat Batak Toba, masing-masing
memiliki nama sebutan panggilan yang menunjukkan status kekerabatan. Filsafat
hidup kekerabatan inilah yang disebut Dalihan Na Tolu (tungku nan tiga) yang
terdiri dari:
1. Hula-hula atau dinamai parrajaon (pihak yang dirajakan) yaitu marga ayah
mertua seorang laki-laki yang memberinya istri. Yang termasuk hula-hula bukan
hanya pihak mertua dan golongan semarganya tetapi juga bona ni ari yaitu
marga asal nenek (istri kakek) ego lima tingkat ke atas atau lebih, tulang yaitu
saudara laki-laki ibu, yang terdiri dari tiga bagian yaitu bona tulang (tulang
kandung dari bapak ego), tulang tangkas (tulang ego saudara), tulang ro robot
(ipar dari tulang), lae atau tunggane (ipar) yang termasuk di dalamnya anak dari
tulang anak mertua, mertua laki-laki dari anak, ipar dari ipar, cucu ipar; bao
(istri ipar) yaitu istri ipar dari pihak hula-hula mertua perempuan dan anak
laki-laki, anak perempuan dari tulang ro robot; paraman dari anak laki-laki,
termasuk di dalamnya anak ipar dari hula-hula, cucu pertama, cucu dari tulang,
saudara dari menantu perempuan, paraman dari bao; hula-hula hatopan yaitu
2. Boru yaitu marga yang menerima anak perempuan sebagai istri, yang termasuk
di dalamnya namboru (bibi) yang terdiri dari iboto ni ama niba (saudara
perempuan bapak), mertua perempuan dari saudara perempuan, nenek dari
menantu laki-laki; amang boru (suami bibi) yang termasuk di dalamnya mertua
laki-laki dari saudara perempuan, kakak dari menantu laki-laki; iboto (saudara
perempuan) yang termasuk di dalamnya putri dari namboru, saudara perempuan
nenek, saudara perempuan dari abang atau adik kita; lae (ipar) yang termasuk di
dalamnya saudara perempuan, anak namboru, mertua laki-laki dari putri, amang
boru dari ayah, bao dari saudara perempuan. Boru (putri) yang termasuk di
dalamnya boru tubu (putri kandung), boru ni pariban (putri kakak atau adik
perempuan), hela (menantu), yang termasuk di dalamnya suami dari putri, suami
dari putri abang atau adik kita, suami dari putri; bere atau ibebere (kemenakan)
atau anak dari saudara perempuan; boru natua-tua yaitu semua keturunan dari
putri kakak kita dari tingkat kelima.
3. Dongan Sabutuha atau dongan tubu yaitu terdiri dari namarsaompu artinya
segenap keturunan dari kakek yang sama, dengan pengertian keturunan laki-laki
dari satu marga. Setiap orang Batak Toba dapat terlihat dalam posisi sebagai
dongan tubu, hula-hula dan boru terhadap orang lain. Terhadap hula-hula-nya,
dia adalah boru. Sebaliknya, terhadap boru dia merupakan hula-hula dan
terhadap garis keturunannya sendiri dia merupakan dongan tubu. Penyebutan
kata somba marhula-hula, elek marboru, manat mardongan tubu adalah salah
satu semboyan yang hidup hingga saat ini pada masyarakat Batak Toba yang
mencerminkan keterkaitan hubungan ketiga sistem kekerabatan ini. Artinya
hula-hula menempati kedudukan yang terhormat diantara ketiga golongan
harus dijunjung tinggi. Hal itu tampak dari filosofi yang dianut tentang ketiga
golongan ini. Hula-hula, mata ni mual si patio-tioon, mata ni ari so husoran
artinya hula-hula adalah sumber mata air yang selalu dipelihara supaya tetap
jernih dan matahari yang tidak boleh ditentang. Hula-hula diberi sebutan sebagai
debata na tarida atau wakil Tuhan yang dapat dilihat, karena merupakan sumber
berkat, perlindungan dan pendamai dalam sengketa. Elek marboru artinya
hula-hula harus selalu menyayangi borunya dan sangat pantang untuk menyakiti hati
dan perasaan boru. Manat mardongan tubu artinya orang yang semarga harus
berperasaan seia sekata dan sepenanggungan sebagai saudara kandung dan
saling hormat menghormati.
Adapun fungsi dalihan na tolu dalam hubungan sosial antar marga ialah
mengatur ketertiban dan jalannya pelaksanaan tutur