• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANGOMPOI JABU ETNIK BATAK TOBA, KAJIAN SEMIOTIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MANGOMPOI JABU ETNIK BATAK TOBA, KAJIAN SEMIOTIK"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

MANGOMPOI JABU ETNIK BATAK TOBA, KAJIAN SEMIOTIK

SKRIPSI

DISUSUN OLEH

NAMA : DANIEL U. PASARIBU

NIM : 100703003

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA BATAK FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)

MANGOMPOI JABU ETNIK BATAK TOBA, KAJIAN SEMIOTIK

SKRIPSI

DISUSUN OLEH

NAMA : DANIEL U. PASARIBU

NIM : 100703003 Diketahui Oleh :

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Jekmen Sinulingga, M.Hum Drs. Jamorlan Siahaan, M.Hum NIP. 196206261989031005 NIP. 195907171987021004

Disetujui Oleh :

Departemen Sastra Daerah FIB USU Ketua,

Drs. Warisman Sinaga, M. Hum.

NIP. 196207161988031002

(3)

PENGESAHAN Diterima oleh:

Panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Sarjana Sastra dalam Bidang Ilmu Bahasa dan Sastra pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Hari/ Tanggal : ………

Fakultas Ilmu Budaya Dekan,

Dr. Budi Agustono, M.S.

NIP. 196008051987031001

Panitia Ujian

No. Nama Tanda Tangan

1. Drs. Warisman Sinaga, M. Hum. 1………..

2. Dra. Herlina, M.Hum. 2………..

3. Drs. Jekmen Sinulingga, M.Hum 3………..

4. Drs. Jamorlan Siahaan, M.Hum 4………..

5. Dra. Asriaty R. Purba, M.Hum 5………..

(4)

DISETUJUI OLEH:

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Departemen Sastra Daerah, Fakultas Ilmu Budaya

Medan, 2017

Ketua,

Drs. Warisman Sinaga, M. Hum NIP. 196207161988031002

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini berjudul : Mangompoi Jabu Etnik Batak Toba, Semiotik Sosial.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi satu persyaratan untuk penulisan skripsi lebih lanjut. Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh tentang isi skripsi ini. Penulis akan memaparkan rincian sistematika penulisan skripsi ini sebagai berikut :

Bab I merupakan pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Bab II merupakan tinjauan pustaka, yang mencakup kepustakaan yang relevan dan teori yang digunakan. Bab III merupakan metode penelitian yang terdiri atas metode dasar, sumber data penelitian, instrumen penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis data. Bab IV merupakan pembahasan dan bab V merupakan Penutup yang terdiri atas kesimpulan dan saran.

Dalam penulisan skripsi ini penulis tidak dapat pungkiri, bahwa penulis banyak menerima masukan dari berbagai pihak yang banyak mendukung. Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, mengingat waktu dan kemampuan penulis yang sangat terbatas. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca, bagi ilmu pengetahuan, terutama bagi penulis.

Medan, Januari 2017 Penulis,

Daniel U. Pasaribu NIM: 100703003

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur, penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah mencurahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi bukanlah semata-mata atas kemampuan sendiri, tetapi atas bantuan dari berbagai pihak yang jasa-jasanya tidak dapat dilupakan. Selanjutnya ucapan terima kasih penulis tujukan kepada orang-orang yang sudah banyak membantu penulis dan memberikan doa, arahan, motivasi, bimbingan dan semangat maupun saran yang penulis terima dari semua pihak, sehingga setiap kesulitan yang dihadapi dapat terselesaikan dengan baik.

Pada kesempatan ini dengan ketulusan hati penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada :

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S. selaku dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Wadek I, Wadek II, Wadek III, dan seluruh pegawai di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum., selaku Ketua Departemen Sastra Daerah, yang telah memberikan pemikiran dan masukan dalam perkuliahan serta bimbingan selama ini.

3. Ibu Dra. Herlina Ginting, M.Hum. selaku Sekretaris Departemen Sastra Daerah yang telah memberikan pemikiran dan masukan dalam perkuliahan.

4. Drs. Jekmen Sinulingga, M.Hum., selaku pembimbing I yang sudah mengarahkan dan mendidik sejak perkuliahan hingga akhir penyelesaian skripsi ini.

5. Drs. Jamorlan Siahaan, M.Hum,. selaku pembimbing II yang telah memberikan motifasi, masukan positif kepada penulis, dan perhatian yang senantiasa bermurah hati.

6. Seluruh dosen di Departemen Sastra Daerah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang telah medidik dan memberikan ilmu dengan kasih sayang dengan ikhlas menyajikan pelajaran yang baik kepada penulis selama menyelesaikan studi.

(7)

7. Abangda Risdo Saragih, S.S.Pd, selaku alumni yang tak terlupakan yang senantiasa memberikan masukan, tenaga, dan waktu kepada penulis dalam penyelesaikan akademik dan skripsi ini

8. Kak Fifi Triyani, S.S, yang setia di kantor Departemen dalam memberikan arahan kepada penulis dalam bidang akademik hingga wisuda nanti.

9. T. Pasaribu (ayahanda) dan E br. Lumban Tobing (ibunda) yang sangat penulis hormati dan sayangi yang telah bersusah payah membimbing penulis sejak kecil hingga dewasa, kasih sayang, perhatian, bimbingan, serta tidak pernah mengeluh dan berkorban baik secara moral maupun material sampai bisa duduk dibangku perkuliahan dan sampai selesainya skripsi ini. Terima Kasih atas doa dan perhatian serta dukungannya.

10. Yunita Pasaribu, Amd dan Novalina Pasaribu selaku saudara penulis yang sangat disayangi dalam kehidupan selama ini dan memberikan semangat dalam melangkah diperkuliahan hingga selesai.

11. Merry Chrisnawati Panjaitan, SE yang penulis sayangi selaku pendamping dalam perkuliahan selama ini.

12. Rumondang Siahaan, SS dan Zazah Khairat, SS; yang telah memberikan dukungan dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak pernah bosan.

13. Kakak dan abang stambuk 2010 selaku teman seangkatan penulis ucapkan terima kasih atas dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.

14. Mahasiswa Sastra Daerah seluruhnya, terima kasih juga untuk semua kenangan suka dan duka yang telah kita ukir bersama. Semoga sukses semua teman-teman. Hidup IMSAD Jaya.

Medan, Januari 2017 Penulis,

Daniel U. Pasaribu NIM: 100703003

(8)

DAFTAR ISI Sampul

Lembar Pengesahan Daftar Isi

Bab I. Pendahuluan ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Masalah Penelitian ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

Bab II. Tinjauan Pustaka ... 7

2.1 Kepustakaan Yang Relevan ... 7

2.2 Teori Yang Digunakan ... 8

2.2.1 Semiotika ... 8

2.2.2 Indeksikal Mangompoi Jabu ... 17

Bab III. Metode Penelitian ... 19

3.1 Metode Dasar ... 19

3.2 Sumber Data ... 20

3.3 Instrumen Penelitian ... 21

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 22

3.4.1 Observasi ... 22

3.4.2 Kuensioner ... 24

3.4.3 Wawancara ... 24

3.4.4 Dokumentasi ... 25

3.5 Teknik Analisis Data ... 26

Bab IV. Pembahasan ... 28

4.1 Struktur Pelaksanaan Mangompoi Jabu etnik Batak Toba ... 28

4.1.1 Mangompoi Jabu ... 29

4.1.2 Paborhat Jabu ... 31

4.2 Fungsi dan Makna Mangompoi Jabu etnik Batak Toba ... 32

Bab V. Penutup ... 49

(9)

5.1 Kesimpulan ... 49 5.2 Saran ... 49 Daftar Pustaka ... 51

(10)

Abstrak

Skripsi ini berjudul Mangompoi Jabu Etnik Batak Toba, Semiotik Sosial.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan struktur pelaksanaan mangompoi jabu, bentuk, fungsi, dan makna tanda yang terdapat pada upacara mangompoi jabu. Teori yang digunakan untuk menganalisis adalah teori semiotik yang dikemukakan oleh Charles Sanders pierce. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode deskriptif. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini: 1.

struktur pelaksanaan mangompoi jabu yang terdiri atas 2 struktur yakni:

mangompoi jabu dan paborhat tukang, 2. Bentuk simbol yang terdapat pada mangompoi jabu, ada 8 bentuk simbol pada mangompoi jabu yaitu: pagabe, panutuan, aek sitio-tio, harbue pir, namarmiak, tudu-tudu sipanganon, dengke, ulos, 3. Fungsi simbol yang terdapat pada mangompoi jabu, 4. Makna simbol yang terdapat pada mangompoi jabu.

Kata Kunci : Mangompoi jabu, Etnik,Batak, Toba, Sumatera Utara

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Etnik dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Hal ini sejalan dengan pendapat Koentjaraningrat (2009: 144) keberadaan kebudayaan adalah hasil dari karya manusia. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan etnik yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.

Berbicara budaya, asal awal budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan di sebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1992:149) pengertian dari budaya adalah pikiran, akal budi, adat istiadat dan sesuatu yang sudah berkembang atau suatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar di ubah.

Ada tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia. Ketujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia. Ketujuh unsur yang dapat kita sebut sebagai isi

(12)

pokok dari tiap kebudayaan di dunia itu adalah: 1) Bahasa; 2) Sistem pengetahuan; 3) Organisasi Sosial; 4) Sistem peralatan hidup dan teknologi;

5) Sistem mata pencaharian hidup; 6) Sistem Religi; 7) Kesenian (Koentjaraningrat, 2009: 165).

Wujud kebudayaan sebagai suatu yang kompleks ide-ide, gagasan, nilai, norma-norma peraturan dan sebagainya. Wujud kebudayaan ini sifatnya abstrak, berada dalam alam pikiran warga masyarakat, memberi jiwa kepada masyarakat itu. Wujud pertama ini bisa juga dikatakan sebagai sistem budaya atau cultural system. Istilah lain adalah adat atau istiadat.

Kebudayaan merupakan hasil karya manusia dan etniknya yang selalu berproses. Hal ini terjadi karena suatu kebudayaan merupakan integrasi, maka yang di maksud adalah bahwa unsur-unsur atau sifat- sifat yang terpadu menjadi suatu kebudayaan bukanlah sekumpulan kebiasaan - kebiasaan yang terkumpul secara berantakan saja.

Taylor (dalam Robert 2004:2) mengatakan kebudayaan adalah sebagai keseluruhan bidang yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat dan kemampuan-kemampuan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota etnik.

Dalam etnik Batak Toba memiliki kebudayaan yang sudah menjadi tradisi turun temurun yakni tradisi memasuki rumah baru atau lebih di kenal Mangompoi Jabu.

(13)

Mangompoi Jabu adalah salah satu upacara adat dalam suku Batak Toba, Sumatera Utara. Secara harafiah, Mangompoi Jabu adalah upacara yang diadakan etnik Batak Toba saat hendak memasuki rumah yang baru.

Biasanya acara ini melibatkan keluarga besar atau lebih dikenal dengan dalihan na tolu. Upacara ini tergolong sebagai pesta sukacita dan mulia, karena upacara ini menggambarkan kesuksesan tuan rumah (penyelenggara pesta).

Dalihan artinya tungku yang dibuat dari batu, na artinya yang, tolu artinya tiga. Jadi, dalihan na tolu adalah tiga tiang tungku. Tiga tiang tungku ini dipergunakan untuk memasak apa saja. Tungku yang baik atau sempurna apabila terdiri dari tiga tiang, memang ada tungku yang terdiri dari dua tiang atau lebih tetapi tidak sempurna, karena alat-alat masak di atasnya masih dapat goyah. Ketiga unsur yang berdiri sendiri tidak akan ada arti, akan tetapi jika ketiga unsur tersebut bekerja sama satu sama lain, barulah memiliki manfaat. Unsur pertama dalihan na tolu, adalah dongan tubu (saudara semarga), kedua boru (saudara perempuan kita dari pihak marga suaminya, keluarga perempuan pihak ayah), ketiga hula-hula (paman/orang tua wanita yang dinikahi oleh seorang pria).

Dalihan na tolu dipergunakan dalam setiap upacara adat etnik Batak Toba, tanpa dalihan na tolu suatu upacara tidak bisa dikatakan upacara adat (Nalom, 1982:45). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1992:108),

(14)

upacara adalah perbuatan atau perayaan yang dilakukan atau diadakan sehubungan dengan peristiwa penting, rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan-aturan menurut adat atau agama. Sejak dahulu etnik Batak Toba sangat setia melaksanakan upacara adat dalam berbagai kegiatan.

Dari paparan di atas, penulis berfokus pada Mangompoi Jabu etnik Batak Toba, di mana dalam pelaksanaannya tersebut ada simbol yang belum diketahui secara tertulis baik penamaan, fungsi serta makna dalam pemakaian sehari-hari terkhususnya bagi generasi sekarang yang tidak peduli dengan budaya sendiri dan merasa tidak memiliki upacara tersebut.

Padahal ritual tersebut merupakan upacara yang dipercayai memberi berkah baik melancarkan tali persaudaraan baik pihak keluarg a dan masyarakat di sekitarnya.

Dalam upacara Mangompoi Jabu, yang harus diperhatikan adalah kehadiran Dongan tubu, Boru/bere, Dongan sahuta/aleale, Hulahula, dan Tulang merupakan perihal utama dalam pelaksanaan upacara tersebut.

Dalam upacara Mangompoi Jabu adapun yang harus diadakan berupa Dengke, Ulos, dan Parbue gabe. Dalam pelaksanaan Mangompoi Jabu, waktu pelaksanaan haruslah selesai sebelum jam 12.00 dikarenakan etnik Batak Toba mengganggap baik dan ada beberapa tahap acara yang penting dilaksanakan seperti Mangupa, Pasahat tudutudu ni sipanganon tu

(15)

hulahula dan Marsipanganon. Dimana dalam tahapan uapacar tersebut terdapat nasihat yang diberikan dari pihak boru, hulahula dan lain sebagainya supaya kelak penghuni rumah tersebut murah rejeki dan sejahtera dan menerima berkat dari keluarganya.

Dari paparan di atas, penulis menyimpulkan betapa pentingnya generasi muda saat ini tahu dan mengerti akan upacara Mangompoi Jabu, yang salah satu upacara di etnik Batak Toba yang hampir dilupakan. Di mana ada nilai-nilai kesopansantunan, dan lain sebagainya.

1.2 Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas dirumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Struktur Pelaksanaan Mangompoi Jabu Etnik Batak Toba ? 2. Simbol-simbol apa sajakah yang ditemukan dalam Upacara Mangompoi

Etnik Batak Toba ?

3. Apakah fungsi dan makna simbol yang ditemukan dalam Upacara Mangompoi Etnik Batak Toba ?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah di atas dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut :

1. Memaparkan struktur pelaksanaan Mangompoi Jabu Etnik Batak Toba.

(16)

2. Memaparkan simbol yang ditemukan dalam Upacara Mangompoi Etnik Batak Toba.

3. Mendeskripsikan fungsi dan makna simbol yang ditemukan dalam Upacara Mangompoi Etnik Batak Toba.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dirumuskan dari penelitian tersebut sebagai berikut:

1. Pembaca dapat memahami tentang ilmu semiotik.

2. Bagi generasi muda khususnya generasi muda Batak, diharapkan dengan melalui penelitian ini dapat menambah wawasan mereka terhadap upacara Mangompoi Jabu.

3. Diharapkan bagi para peneliti, hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai rujukan (acuan) untuk penelitian lebih lanjut khususnya tentang Mangompoi Jabu di bidang semiotik.

4. Menambah khazanah buku mengenai upacara Mangompoi Jabu di bidang semiotik di program studi Sastra Batak, Fakultas Ilmu Budaya USU.

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepustakaan Yang Relevan

Kajian pustaka setiap penulisan skripsi sangat diperlukan dalam menyusun karya ilmiah. Nazir (2009: 93) menyatakan bahwa studi kepustakaan atau studi literatur, selain dari mencari sumber data sekunder yang akan mendukung penelitian, juga diperlukan untuk mengetahui sampai ke mana ilmu yang berhubungan dengan penelitian telah berkembang, sampai ke mana terdapat kesimpulan dan generalisasi yang pernah dibuat sehingga situasi yang diperlukan diperoleh. Untuk mencari tulisan-tulisan pendukung, sebagai kerangka landasan berfikir dalam tulisan ini. Penulis melakukan penelitian lapangan dan kepustakaan serta sebagainya dalam menyelesaikan proposal skripsi ini. Kegiatan ini dilakukan untuk menemukan literatur atau sumber bacaan, guna melengkapi dari apa-apa yang dibutuhkan dalam penulisan dan penyesuaian data dari hasil penelitian lapangan.

Sumber bacaan atau literatur itu dapat berasal dari penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya dalam bentuk skripsi. Selain sumber bacaan yang menjadi tulisan pendukung dalam penelitian penulis yaitu berupa buku, majalah, jurnal, dan berita dari situs internet.

(18)

Untuk mendukung informasi yang penulis butuhkan dalam menyusun karya ilmiah ini, penulis banyak menggunakan buku-buku mengenai adat istiadat Batak Toba dan buku-buku yang relevan dalam penyusunan karya ilmiah ini sebagai bahan panduan dan perbandingan.

Adapun buku yang menjadi bahan referensi penulis guna menyelesaikan proposal skripsi ini adalah :

1 Thomson Hutasoit dengan judul “Parsinabung”, membahas mengenai Ulaon adat budaya pada masyarakat Batak Toba.

2 Alex Sobur, M.Si dengan judul “Analisis Teks Media, Suatu Pengantar untuk analisis wacana, analisis semiotik dan analisis framing”.

3 TM. Sihombing, dengan judul : Jambar Hata: Dongan Tu Ulaon Adat.

2.2 Teori Yang Digunakan 2.2.1 Semiotika

Semiotika adalah studi tentang makna keputusan. Ini termasuk studi tentang tanda-tanda dan proses tanda (semiosis), indikasi, penunjukan, kesamaan, analogi, metafora, simbolisme, makna, dan komunikasi.

Semiotika berkaitan erat dengan bidang linguistik, yang untuk sebagian besar, mempelajari struktur dan makna bahasa yang lebih spesifik.

Lechte (2001:191), menyebut semiotik sebagai teori tentang tanda dan penandaan. Lebih jelasnya lagi, semiotik adalah suatu disiplin yang

(19)

menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana signs (tanda-tanda) dan berdasarkan pada sign sistem (code), sistem kode (Segers, 2004:4).

Semiotik menjadi salah satu kajian yang bahkan menjadi tradisi dalam teori komunikasi. Tradisi semiotik terdiri atas sekumpulan teori tentang bagaimana tanda-tanda merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi, perasaan dan kondisi di luar tanda-tanda itu sendiri. (Littlejohn, 2009 : 53).

Semiotika adalah studi tentang tanda-tanda. Konsep tanda ini untuk melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan atau hubungan antara ditandai in absentia (signified) dan tanda (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau penanda (signified).

Semiotik bertujuan untuk mengetahui makna-makna yang terkandung dalam sebuah tanda atau menafsirkan makna tersebut sehingga diketahui bagaimana komunikator mengkonstruksi pesan. Konsep pemaknaan ini tidak terlepas dari perspektif atau nilai-nilai ideologis tertentu serta konsep kultural yang menjadi ranah pemikiran masyarakat di mana simbol tersebut diciptakan.

(20)

Dengan kata lain, penanda adalah “suara berarti” atau “makna grafiti”. Semiotika adalah studi tentang tanda-tanda (sign), fungsi tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang berarti sesuatu untuk orang lain. Studi semiotik tanda-tanda, penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berkaitan dengan tanda.

Semiotika mengkaji simbol, penggunaan tanda, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan tanda. Kemudian semua jelas dapat menjadi tanda sehingga tidak ada yang dijadikan topik penelitian semiotika. Dengan kata lain, perangkat pengertian semiotika diterapkan pada semua bidang kehidupan asalkan persyaratannya terpenuhi, yaitu ada arti yang diberikan, ada pemaknaan, ada interpretasi.

Setiap manusia mempunyai kecendrungan untuk mencari makna dan arti serta berusaha memahami segala sesuatu yang ada disekelilingnya.

Seluruh hal yang ada disekelilingnya di sebut sebagai tanda, tanda tersebutlah yang kemudian akan diungkapkan melalui metode penelitian menggunakan teori semiotika.

Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa dipersepsi indra kita, maksudnya tanda mengacu pada sesuatu di luar tanda itu sendiri: dan bergantung pada pengenalan oleh penggunanya sehingga bisa disebut tanda.

Ferdinand de Saussure dalam Yasraf merumuskan tanda sebagai kesatuan

(21)

dari dua bidang yang tidak bisa dipisahkan, tanda memiliki dua entitas yaitu penanda (signifier/ wahana tanda/ yang mengutarakan/ simbol) atau bentuk dan petanda (signified/ konsep/ makna/ yang diutarakan/ thought of reference).

Berkaitan dengan piramida pertandaan ini (tanda-penanda-petanda), Sausurre menekankan dalam teori semiotika perlunya konvensi sosial, diantaranya komunitas bahasa tentang makna satu tanda. Kesimpulan dari rumusan Saussure maksudnya adalah satu kata mempunyai makna tertentu disebabkan adanya kesepakatan sosial di antara komunitas pengguna bahasa tentang makna tersebut. Charles Sanders Pierce dalam lingkungan semiotik melihat sebuah tanda, acuan dan penggunanya sebagai tiga titik dalam segitiga Pierce yang biasanya dipandang sebagai pendiri tradisi semiotika Amerika menjelaskan modelnya secara sederhana yaitu tanda sebagai sesuatu yang dikaitkan kepada seseorang untuk sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas dan seringkali mengulang-ulang pernyataan bahwa secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang. Tanda menunjuk pada seseorang, yakni menciptakan dibenak seseorang tersebut suatu tanda yang setara atau barangkali suatu tanda yang lebih berkembang.

Tanda tersebut disebut interpretant dari tanda-tanda pertama. Perumusan yang terlalu sederhana dari Pierce ini menyalahi kenyataan tentang adanya suatu fungsi tanda: tanda A menunjukkan suatu fakta (dari objek B), kepada

(22)

penafsirnya yaitu C. Oleh karena itu, suatu tanda itu tidak pernah berupa suatu entitas yang sendirian, tetapi yang memiliki ketiga aspek tersebut (A, B dan C).

Pierce mengatakan bahwa tanda itu sendiri merupakan contoh dari kepertamaan, objeknya adalah keduaan dan penafsirnya adalah sebagai unsur pengantara yang berperan sebagai ketigaan. Ketigaan yang ada dalam konteks pembentukkan tanda juga membangkitkan semiotika yang tak terbatas, selama suatu penafsir (gagasan) yang membaca tanda sebagai tanda bagi yang lain (yaitu sebagai wakil dari suatu makna atau penanda) bisa ditangkap oleh penafsir lainnya. Penafsir ini adalah unsur yang harus ada untuk mengaitkan tanda dengan objeknya (induksi, deduksi dan penangkapan [hipotesis] membentuk tiga jenis penafsir yang penting). Agar bisa ada sebagai suatu tanda maka tanda tersebut harus ditafsirkan (dan berati harus memiliki penafsir). Bagi Pierce, tanda ”is something which stands to somebody for something in some respect or capacity”. Artinya, sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi di sebut ground oleh Pierce. Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni ground, object dan interpretand. Atas dasar hubungan ini, Pierce mengadakan klasifikasi tanda.

Tanda yang dikaitkan dengan ground baginya menjadi qualisign, sinsign dan lesign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda, misalnya

(23)

kata-kata kasar, keras, lemah, lembut, merdu. Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda; misalnya kata kabur atau keruh yang ada pada urutan kata air sungai keruh yang menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai. Lesign adalah noma yang dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu lintas yang menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia (Sobur, 2003:41). Pierce juga menandaskan bahwa kita hanya dapat berfikir dengan medium tanda.

Manusia hanya dapat berkomunikasi lewat sarana tanda. Tanda dalam kehidupan manusia bisa berati gerakan ataupun isyarat. Anggukan ataupun gelengan dapat berati sebagai setuju dan tidak setuju, tanda peluit, genderang, suara manusia bahkan bunyi telepon merupakan suatu tanda.

Tanda dapat berupa tulisan, angka dan bisa juga berbentuk rambu lalu lintas contohnya merah berati berhenti (berbahaya jika melewatinya) dan masih banyak ragamnya. Merujuk teori Pierce, tanda-tanda dalam gambar dapat dilihat dari jenis tanda yang digolongkan dalam semiotika. Pierce membagi tanda menjadi tipe-tipe : ikon, indeks dan simbol. Pierce merasa bahwa ini merupakan model yang sangat bermanfaat dan fundamental mengenai sifat tanda. Tanda adalah sesuatu yang yang mewakili sesuatu. Sesuatu itu dapat berupa pengalaman, pikiran, gagasan atau perasaan. Jika sesuatu misalnya A adalah asap hitam yang mengepul dikejauhan, maka ia dapat mewakili B, yaitu misalnya sebuah kebakaran (pengalaman). Tanda semacam itu dapat

(24)

Tanda juga bisa berupa lambang ataupun simbol, Burung Dara sudah diyakini sebagai tanda atau lambang perdamaian; Burung Dara tidak begitu saja bisa diganti dengan burung atau hewan yang lain.

Ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan (menunjukkan suatu kemiripan), ini yang kerapkali jelas dalam tandatanda visual, misalnya foto seseorang dapat dikatakan ikon;

sebuah peta adalah ikon; gambar yang ditempel di pintu kamar kecil pria dan wanita adalah ikon.

Pada dasarnya ikon merupakan suatu tanda yang bisa menggambarkan ciri utama sesuatu meskipun sesuatu sesuatu yang lazim disebut sebagai objek acuan tersebut tidak hadir. Ikon adalah suatu benda fisik (dua atau tiga dimensi) yang menyerupai apa yang dipresentasikannya.

Reprentasi ikon ini ditandai dengan kemiripan. Contohnya, foto calon anggota legislatif dalam kertas suara ataupun gambar yang banyak tersebar di jalan raya saat berlangsungnya pemilu adalah sebuah ikon. Model tanda objek interpretant dari Pierce merupakan sebuah ikon dalam upayanya mereproduksi dalam konkret struktur relasi yang abstrak di antara unsur- unsurnya.

Dapat pula dikatakan sebagai ikon atau tanda yang memiliki ciri yang sama dengan apa yang dimaksudkan. Misalnya: Foto atau gambar

(25)

Soekarno adalah sebagai ikon seorang presiden pertama di Indonesia atau bapak orator indonesia. Peta Indonesia adalah ikon dari wilayah Indonesia yang tergambar dalam peta tersebut. Cap jempol Soekarno adalah ikon dari ibu jari presiden pertama Indonesia.

Indeks adalah tanda yang memiliki hubungan sebab-akibat dengan apa yang diwakilinya. Atau disebut tanda sebagai suatu bukti. Contohnya:

asap dan api, asap akan menunjukkan adanya api disekitarnya. Jejak telapak kaki di tanah merupakan tanda indeks orang yang melewati tempat itu.

Tanda tangan (signature) adalah indeks dari keberadaan seseorang yang menoreh tanda tangan tersebut.

Simbol merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan atau perjanjian yang disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya.

Contohnya: Garuda Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah burung yang memiliki perlambang yang kaya makna. Namun bagi orang yang memiliki latar budaya yang berbeda, seperti orang eskimo, Garuda Pancasila akan dianggap sebagai burung yang biasa saja yang disamakan dengan burung-burung sejenis elang lainnnya.

(26)

Hubungan antara ikon, indeks dan simbol bersifat konfesional.

Hubungan antara simbol, thought of referenc (pikiran atau referensi) dan referent (acuan) dapat digambarkan melalui bagan semiotik triangle berikut ini :

Pikiran/ referensi

Simbol Acuan

Gambar. Elemen Makna Peirce (Sobur, 2012:115)

Berdasarkan bagan diatas dapat dijelaskan bahwa pikiran merupakan mediasi antara simbol dengan acuan. Atas dasar hasil pemikiran itu pula terbuahkan referensi yaitu hasil penggambaran maupun konseptualisasi acuan simbolik.

Dengan demikian referensi merupakan gambaran hubungan antara tanda kebahasaan berupa kata-kata maupun kalimat dengan dunia acuan yang membuahkan satua pengertian tertentu.

Simbol berbeda dengan tanda, simbol mempunyai arti yang lebih mendalam, simbol merupakan sebuah tanda yang berdasarkan pada

(27)

konvensi, peraturan atau perjanjian yang disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami seseorang jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Burung Dara adalah simbol perdamaian, angka adalah simbol, kita tidak tahu mengapa bentuk 2 mengacu pada sepasang objek; hanya karena konvensi atau peraturan dalam kebudayaanlah yang membuatnya begitu.

2.2.2 Indeksikal Mangompoi Jabu

Indeks merupakan hubungan tanda dan acuanya berdasar kedekatan eksistensial dengan kata lain indeks dikaitkan dengan tanda yang memiliki hubungan sebab akibat dengan apa yang diwakilinya. Misalnya dalam sebuah jalan terdapat penunjuk jalan menadakan keberadaan manusia yang sering melewati jalan tersebut. Contoh lain adalah sikat gigi yang basah menunjukkan indeks dari penggunaan sikat gigi untuk menyikat gigi. Asap merupakan indeks adanya api.

Dalam tradisi ini merupakan kegiatan adat istiadat Batak Toba yang berupa syukuran atau partangiangan (ibadah), namun tetap diadakan pelaksanaan adat istiadat batak yaitu memanggil Hula-hula atau tulang untuk mendoakan tuan rumah beserta keluarganya. Dan dilakukan pemberian ulos dari orangtua boru (pihak istri) sebagai simbol kasih terhadap pasangan dan keluarga yang menempati rumah baru.

(28)

Dalam pelaksanaan Mangompoi Jabu pada etnik Batak Toba dalam hal ini, kondisi rumah sudah sepenuhnya selesai, yang awal mula pembangunan rumah dihadiri si ''tulang'' dan memberikan doa untuk kelancaran pembangunan rumah beserta tukang (pande), untuk acara ini perlu di undang si ''tulang'', ''tulang'' rorobot, hula-hula (tulangnya ibu, bukan saudara laki-laki kandung ibu) dan dalam acara ini harus dihidangkan beberapa makanan yang diberikan ke ''tulang'' beserta hula- hula.

(29)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Dasar

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai metode yang digunakan dalam penelitian. Metode penelitian menurut Sugiyono (2011:3) pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.

Darmadi (2013:153), Metode penelitian adalah suatu cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan kegunaan tertentu. Cara ilmiah berarti kegiatan penelitian itu didasarkan pada ciri-ciri keilmuan yaitu rasional, empiris, dan sistematis. Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa metode penelitian adalah suatu cara ilmiah untuk memperoleh data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.

Hal ini menyimpulkan bahwa metode penelitian adalah suatu cara untuk mencapai kebenaran dengan mengumpulkan dan menganalisis data yang diperlukan guna mencapai tujuan. Dengan demikian penelitian ini menggunakan metode deskriptif.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Menurut Sugiyono (2010:15), menjelaskan bahwa:

Metode penelitian kualitatif merupakan metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti

(30)

pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan snowbaal, teknik pengumpulan dengan trianggulasi, analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekan makna dari pada generalisasi.

Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, kondisi, sistem pemikiran ataupun peristiwa pada masa sekarang.

3.2 Sumber Data

Sugiyono (2009: 137) sumber data adalah segala sesuatu yang dapat memberikan informasi mengenai data. Berdasarkan sumbernya, data dibedakan menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder.

1. Data primer yaitu data yang dibuat oleh peneliti untuk maksud khusus menyelesaikan permasalahan yang sedang ditanganinya. Data dikumpulkan sendiri oleh peneliti langsung dari etnik Batak Toba sebagai objek penelitian.

2. Data sekunder yaitu data yang telah dikumpulkan untuk maksud selain menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Data ini dapat ditemukan dengan cepat. Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data sekunder adalah literatur, artikel, jurnal serta situs di internet yang berkenaan dengan penelitian yang dilakukan.

(31)

3.3 Instrumen Penelitian

Sugiyono (2006:102), Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan mengukur kejadian (variabel penelitian) alam maupun sosial yang diamati.

Sanjaya (2011:84), Instrumen penelitian adalah alat yang dapat digunakan untuk mengumpulkan data atau informasi penelitian.

Dalam penelitian semua alat yang bisa mendukung suatu penelitian bisa disebut instrumen penelitian. Dalam suatu penelitian instrumen sangat memegang peranan yang penting.

Berhasil atau tidak suatu penelitian ditentukan oleh instrumen yang digunakan dalam penelitian. Adapun instrumen dalam penelitian ini adalah kuisioner berupa pertanyaan.

Sugiyono (2007 :26), menyebutkan peneliti dapat menjadi instrumen penelitian jika memiliki wawasan yg luas tentang yang diteliti dan mampu pula menciptakan rapport kepada setiap orang yang ada pada konteks sosial yang diteliti. Sugiono juga menyatakan peneliti juga dapat memilih cara memperoleh kejelasan data atau objek penenlitian dengan caranya sendiri, seperti membuat daftar tanya. Namun, dalam menafasir jawaban harus berorientasi kepada kejujuran dan keilmuannya. Artinya, dengan membuat daftar tanya bukan mengacu pada penelitian kuantitatif. Melainkan hanya untuk membuat opini dari informasi yang diperoleh melalui taburan

(32)

Selain itu, cara lain dapat juga dilakukan dengan menciptakan sesuatu untuk membangun hubungan yang akrab dengan setiap orang yang ada pada konteks sosial. Dalam penelitian ini peneliti di samping menciptakan hubungan yang akrab jugamenyediakan daftar tanya kepada etnik yang dianggab mempunyai pemahamam terhadap objek kajian.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian sesuai dengan maksud tujuan teknik ini digunakan untuk mendapat informasi yang diharapkan, lalu pengumpulan data dilakukan melalui teknik sebagai berikut:

3.4.1 Observasi

Kusuma (1987:25) Observasi adalah pengamatan yang dilakukan dengan sengaja dan sistematis terhadap aktivitas individu atau obyek lain yang diselidiki. Observasi merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang sangat lazim dalam metode penelitian kualitatif. Observasi hakikatnya merupakan kegiatan dengan menggunakan panca indera, bisa penglihatan, penciuman, pendengaran, untuk memperoleh informasi yang diperlukan untuk menjawab masalah penelitian. Hasil observasi berupa aktivitas, kejadian, peristiwa, objek, kondisi atau suasana tertentu, dan perasaan

(33)

emosi seseorang. Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran riil suatu peristiwa atau kejadian untuk menjawab pertanyaan penelitian.

Dalam penelitian dikenal dua jenis metode observasi (Kriyantono, 2010:112) ; a) Observasi Partisipan adalah metode observasi dimana periset juga berfungsi sebagai partisipan, ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan kelompok yang diriset, apakah kehadirannya diketahui atau tidak. b) Observasi Nonpartisipan merupakan metode observasi dimana periset hanya bertindak mengobservasi tanpa ikut terjun melakukan aktivitas seperti yang dilakukan kelompok yang diriset, baik kehadirannya diketahui atau tidak.

Peneliti menggunakan teknik observasi baik langsung maupun yang tidak langsung yang didasari beberapa alasan sebagai berikut:

1. Banyak gejala yang dapat diselidiki dengan observasi sehingga hasilnya akurat sulit dibantah.

2. Banyak objek yang hanya bersedia diambil datanya dengan cara observasi.

3. Kejadian yang serempak hanya dapat diamati dan dicatat secara serempak pula dengan memperbanyak observer.

4. Banyak kejadian yang dipandang kecil yang tidak dapat ditangkap oleh alat pengumpul data yang lain.

(34)

3.4.2 Kuesioner

Arikunto (2010:194) kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang ia ketahui

3.4.3 Wawancara

Dalam teknik pengumpulan menggunakan wawancara hampir sama dengan kuesioner. Wawancara itu sendiri dibagi menjadi 3 kelompok yaitu wawancara terstruktur, wawancara semi-terstruktur, dan wawancara mendalam (in-depth interview). Sulistyo-Basuki (2006:173) , namun di sini peneliti memilih melakukan wawancara mendalam, ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang kompleks, yang sebagian besar berisi pendapat, sikap, dan pengalaman pribadi.

Untuk menghindari kehilangan informasi, maka peneliti meminta ijin kepada informan untuk menggunakan alat perekam. Sebelum dilangsungkan wawancara mendalam, peneliti menjelaskan atau memberikan sekilas gambaran dan latar belakang secara ringkas dan jelas mengenai topik penelitian. Peneliti harus memperhatikan cara-cara yang benar dalam melakukan wawancara, diantaranya adalah sebagai berikut :

(35)

1. Pewawancara hendaknya menghindari kata yang memiliki arti ganda, taksa, atau pun yang bersifat ambiguitas.

2. Pewawancara menghindari pertanyaan panjang yang mengandung banyak pertanyaan khusus. Pertanyaan yang panjang hendaknya dipecah menjadi beberapa pertanyaan baru.

3. Pewawancara hendaknya mengajukan pertanyaan yang konkrit dengan acuan waktu dan tempat yang jelas.

4. Pewawancara seyogyanya mengajukan pertanyaan dalam rangka pengalaman konkrit si responden.

5. Pewawancara sebaiknya menyebutkan semua alternatif yang ada atau sama sekali tidak menyebutkan alternatif.

6. Dalam wawancara mengenai hal yang dapat membuat responden marah, malu atau canggung, gunakan kata atau kalimat yang dapat memperhalus.

3.4.4 Dokumentasi

Sugiyono (2009:240) dokumentasi adalah catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen yang digunakan peneliti disini berupa foto, gambar, serta data-data penelitian. Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih kredibel/dapat dipercaya.

(36)

Dalam penelitian ini, metode dokumentasi dilakukan dengan cara peneliti mengumpulkan data-data melalui pencatatan.

3.5 Teknik Analisis Data

Analisis data dalam sebuah penelitian adalah bagian yang sangat penting, karena dengan analisa inilah data yang ada akan tampak manfaatnya terutama dalam memecahkan masalah penelitian dan mencapai tujuan akhir penelitian. Analisis akan memisahkan antara data terkait (relevan) dan data yang kurang terkait atau sama sekali tidak ada kaitannya.

Proses analisis dilakukan setelah melalui proses klasifikasi data dan reduksi data yang kemudian data yang sudah disaring akan dianalisa dan terakhir dilakukan sebuah penyusunan laporan penelitian (Subagyo, 2004:

104-105).

Peneliti menggunakan ilmu Semiotika untuk menelaah tanda pada objek-objek yang sudah di peroleh berdasarkan teori Roland Barthes (1968) untuk mengetahui pemaknaan tanda dari aspek denotatif dan konotatif.

Hal ini dilakukan sebagai tahapan analisis data. Berikut langkah- langkah dalam analisis data, yakni :

1. Mengidentifikasi data yang diperoleh dari penelitian

2. Menterjemahkan bahasa Batak Toba ke dalam bahasa Indonesia.

3. Mensortir tanda, simbol dan lambang sesuai target analisis.

4. Menganalisis data berdasarkan kajian semiotik

(37)

5. Menyimpulkan data.

(38)

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Struktur Pelaksanaan Mangompoi Jabu Etnik Batak Toba

Dalam tradisi memasuki rumah baru dalam masyarakat etnik Batak Toba memiliki tingkatannya masing-masing, yakni : manuruk bagas, mengapi-api i, dan memasuki rumah atau lebih dikenal mangompoi jabu.

Dalam manuruk bagas, dimana situasi dan keadaan rumah belum seutuhnya selesai buat ditempati oleh pihak keluarga bersangkutan tapi harus ditempati dengan alasan tertentu. Dalam acara ini hanya keluarga dekat yang melaksanakannya seperti kakak, adik dan anak dalam keluarga tersebut. Pihak hula-hula (paman pihak keluarga) bisa diberitahukan jika ada niat untuk melakukan penyelesaian rumah darurat tersebut.

Tingkatan kedua dalam memasuki rumah ialah mengapi-api i dimana keadaan rumah secara keseluruhan selesai akan tetapi masih ada penyelesaian di sisi lain bangunan tersebut. Dalam hal ini, hanya keluarga bersangkutan dan tukang atau istilahnya pande dan jika memungkinkan orang yang dituakan (natua-tua ni huta) di wilayah areal rumah baru tersebut berdiri dapat juga diundang.

(39)

Tingkatan ketiga yang penulis fokuskan ialah mangompoi jabu, dimana kondisi rumah sudah seluruhnya selesai mulai awal hingga akhir pembangunan.

Dalam pelaksanaan tradisi mangompoi jabu hampir semua masyarakat etnik Toba melaksanakannya.yang bertujuan menunjukkan bahwasanya keluarga tersebut mampu dan berkecukupan serta meminta restu agar kedepannya keluarga tersebut murah rejeki dari pihak hula-hula dan masyarakat setempat.

Jika suatu keluarga ingin melaksanakan mangompi jabu, maka akan terlebih dahulu pihak Hasuhuton Paranak memberitahukan informasi bahwasanya akan dilaksanakan mangompoi jabu kepada pihak Hasuhuton Parboru melalui Dongan Tubu/Hahaanggi, dan masyarakat setempat yang dianggap penting, setelah diberitahukan maka persiapan tradisi tersebut akan segera dilaksanakan.

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan ditemukan 2 stuktur pelaksanaan dalam mangompoi jabu. Adapun struktur pelaksanaan mangompoi jabu adalah sebagai berikut :

4.1.1 Mangompoi Jabu

Pada tahap ini merupakan awal kegiatan yang dilakukan sebelum hari puncak, dimana dilakukan setelah magrib tepatnya jam 18.00. Dalam

(40)

kegiatan ini hanya keluarga sipemilik rumah dengan mertua yang melaksanakan. Pada tahap ini keluarga membawa pagabe, tutu, aek sitio- tio, harbue pir, dan miak-miak.

Adapun tahapan yang terjadi pada mangompoi jabu antara lain :

1. Pagabe

Pagabe berarti alat menenun / tongkat buat menenun kain ulos.

Dalam hal ini, pagabe dibawa oleh istri sipemilik rumah yang diletakkan di pintu masuk (halang ulu) rumah tersebut, dan diletakkan selama tujuh hari.

2. Panutuan

Pengertian tutu disini adalah gilingan, yang dimana tutu dibawa oleh yang punya rumah baru dan diletakkan sama seperti pagabe yakni di halang ulu.

3. Aek sitio-tio

Yang berarti air bening, biasanya langsung diambil dari mata air.

Dimana yang membawa air tersebut mertua. Dan diberikan kepada pasangan suami istri yang punya rumah baru tersebut guna diminum.

4. Harbue pir

Yang berarti padi dari hasil panen sipemilik rumah yang sudah dijemur dan belum digiling menjadi beras. Harbue pir tersebut dibawa oleh

(41)

saudara pihak laki-laki sipemilik rumah tersebut dan diletakkan di tengah rumah tersebut.

5. Miak-miak

Yang berarti telur ayam kampung. Si mertua pemilik rumah membawa telur tersebut dan dipecahkan ditengah rumah bersangkutan.

4.1.2 Paborhat Tukang/ menjamu tukang

Dalam acara ini, dilaksanakan puncaknya pelaksanaan mangompoi jabu tersebut, yang dihadiri seluruh masyarakat setempat dan tidak lupa pihak hula-hula, dongan tubu dan boru serta keluarga yang empunya hajatan. Dalam hal ini, keluarga sipemilik rumah memberikan makanan atau istilahnya pasahat sipanganon kepada tukang, serta disini juga keluarga menyampaikan rasa terima kasih serta upah kepada mereka dalam menyelesaikan rumah mereka tersebut. Dalam pelaksanaan Paborhat Tukang, pihak hula-hula memberikan ulos bintang maratur, dekke, beras sipirni tondi dan aek sitio-tio. Dan pihak hasuhuton memberikan tudu-tudu sipanganon kepada hula-hula keluarga yang bersangkutan.

(42)

4.2 Fungsi dan Makna Simbol Pada Mangompoi Jabu Etnik Batak Toba

Berdasarkan hasil penelitian, ada 8 simbol yang ditemukan dalam mangompoi jabu. Adapun simbol yang yang terdapat dalam mangompoi jabu adalah sebagai berikut :

1. Pagabe/ alat menenun/ tongkat 2. Panutuan / gilingan

3. Aek sitiotio / air bening, biasanya diambil langsung dari sumber air.

4. Harbue pir 5. Namarmiak

6. Jambar/ tudu-tudu sipanganon (babi, kerbau, lembu) 7. Ulos (bintang maratur, mangiring)

8. Dengke (ikan mas)

(43)

Berikut ini rincian simbol yang ditemukan dalam acara mangompoi jabu beserta fungsi dan maknanya.

1. Pagabe/ alat menenun/ tongkat

Gambar Fungsi Makna

Dimana terbuat dari pakko yang digunakan untuk menjepit benang tenun sekaligus pemegang benang. Dimana fungsi diletakkan pagabe adalah supaya yang memiliki serta menempati rumah tersebut sehat atau gabe.

Disini diistilahkan dengan gabe naniula, sinur napinahan.

2. Panutuan / gilingan

Gambar Fungsi Makna

Panutuan terbuat dari kayu besar berfungsi sebagai menggiling bumbu masakan. Bentuknya lebih besar

Disini dimaknakan sebagai pernyataan bahwa penghuni rumah

(44)

dibandingkan papene. Sedangkan tutu adalah giling yang terbuat dari batu berfungsi sebagai media menggiling bumbu masakanan di masyarakat pada umumnya.

tersebut sudah benar menempati rumahnya.

3. Aek sitiotio

Gambar Fungsi Makna

Disini aek ialah air bening yang diminumkan kepada seluruh pemilik rumah baru. Memiliki tanda suaru cairan jernih (tio) yang menghilangkan rasa haus sehingga tetap bersemangat melanjutkan hidup kedepannya dalam rumah tangga mereka.

Dimana disimbolkan sebagai transparansi, kejujuran dan ketulusan. Selain itu, bermakna kehidupan diyakini air berisi didalam gelas merupakan berkat yang melimpah dari Sang Pencipta agar

(45)

kedepannya pihak keluarga yang memiliki rumah baru memperoleh masa depan yang cerah dan pencariannya menjadi muudah.

4. Harbue pir

Gambar Fungsi Makna

Pemberian harbue pir kepada seluruh anggota keluarga yang memiliki rumah baru tersebut. Biasanya ditaburkan diatas kepala sipemiliki acara, berfungsi sebagai simbolik perkuat keimanan, dan sehat-sehat keluarga tersebut. Selain itu beras juga ditaburkan ke atas sehingga jatuh berserakan diatas seluruh kepala yang diundang dimana berfungsi sebagai simbol

Bermakna agar keluarga sipemilik acara sehat selalu dan tegar menghadapi kehidupan di rumah barunya.

(46)

kekuatan dan tegar menghadapi kehidupan.

5. Namarmiak-miak

Gambar Fungsi Makna

Gb. Namarmiak-miak

Berarti telur ayam kampung yang bagus yang sudah dimasak.

Berfungsi sebagai lambang agar kehidupan yang akan dicapai bagus dan rejeki keluarga sipemilik rumah baik kelak.

Sebagai simbol kehidupan bagi sipemilik rumah supaya rejeki melimpah dan bagus kehidupannya kelak.

(47)

6. Jambar

Gambar Fungsi Makna

Gb. Tudu-tudu Sipanganon

Tudu-tudu sipanganon memiliki fungsi nilai sosial yang sangat tinggi yaitu simbol penghormatan tertinggi kepada hula-hula, disamping untuk menghormati pihak Hula-hula, Tudu-tudu sipanganon berfungsi untuk menjaga hubungan ikatan keluarga dengan Hasuhuton parboru/hula- hula.

Dalam etnik Batak Toba sudah menjadi keharusan hasuhuton paranak memberikan tudu-tudu sipanganon kepada hasuhuton parboru/Hula-hula, karena melalui penyampain tudu-tudu sipanganon tersebutlah mereka bisa menyampaikan dan meminta permohonan doa atau berkat kepada hula-hulanya. Tudu-tudu sipanganon juga bermakna sebagai simbol penghormatan atau untuk merhargai hula- hula, karena dalam etnik Batak Toba tudu-

(48)

Tudu-tudu sipanganon yakni bagian tertentu hewan sembelihan yang diletakkan dalam suatu pinggan panganan sebagai simbol penghormatan HasuhutonParanak kepada undangannya khususnya Hula-hula. Pada simbol Tudu-tudu sipanganon terdapat beberapa bagaian potongan daging yang akan dibagi-bagikan sebagai jambar untuk beberapa pihak yang berhak menerimanya dan yang menerima jambar tersebut sudah ditentukan. Jenis hewan yang disembelih untuk Tudu-tudu Sipanganon ada 3 jenis yaitu Namarmiak-miak (jenis hewan babi), Sigagat duhut (kambing dan lembu), dan Gajah batak/sitingko tanduk (kerbau). Jenis hewan yang dijadikan sebagai Tudu-tudu Sipanganon pada dasarnya disesuaikan dengan keadaan ekonomi keluarga yang

tudu sipanganon merupakan simbol penghormatan yang tertinggi yang bisa diberikan kepada hula-hula, baik orang kaya atau orang miskin yang diberikan kepada hula-hulanya sebagai tanda penghormatan adalah tudu-tudu sipanganon.

(49)

melaksanakan upacara adat tersebut. Untuk jenis hewan Namarmiak-miak biasanya sering pergunakan bagi golongan masyarakat yang berkecukupan dalam hal ekonomi, sedangkan jenis hewan Sigagat duhut dan Gajah batak/sitingko tanduk sering dipergunakan oleh golongan masyarakat menengah dan golongan masyarakat atas.

Secara simbolik tudu-tudu sipanganon secara khusus terlebih dahulu disajikan dihadapan rombongan hasuhuton parboru, karena dalam acara ini, Hula-hula yang memiliki peran yang sangat penting adalah hasuhuton parboru.

Pada etnik Batak Toba tudu-sipanganon tidak hanya dipergunakan pada acara mangompoi jabu saja, akan tetapi pada setiap upacara adat batak yang membutuhkan Tudu-tudu sipanganon, misalnya upacara Tardidi, Kelahiran, Pernikahan, danlain sebagainya. Adapun pembagian dari Tudu-tudu Sipanganon yang akan dibagikan sebagai jambar adalah sebagai berikut:

a. Ihur-ihur diterima oleh suhut

Dalam suatu upacara adat jika jenis hewan sembelihan yang dijadikan sebagai tudu-tudu sipanganon adalah jenis hewan namarmiak-miak/babi, maka bagian tubuh Ihur/ekor akan diberikan kepada tulang. Tulang adalah keluarga laki-laki orangtua/ibu dari pelaksana upacara adat tersebut. Makna pemberian Ihur/ekor kepada Tulang adalah sebagai simbol

(50)

bahwasanya peran tulang pada saat upacara adat tersebut adalah sebagai pelengkap, atau tulang hanya mengikuti hasuhuton parboru. Dalam upacara Sulang-sulang Pamompu, hasuhuton parboru lah yang memiliki peran yang sang penting, namun tidak lepas juga dari peran tulang sebagai Hula-hula pada upacara adat tersebut.

b. Ulu (kepala) diterima oleh pihak tulang/ suhut

c. Somba-somba (tulang rusuk, yang bertemu pangkal dalam satu tulang punggung), diterima oleh hula-hula.

Somba atau tulang rusuk dari hewan yang disembelih yang dijadikan sebagai bagian dari tudu-tudu sipanganon. Pada umumnya somba diberikan kepada bona ni arai, hula-hula naposo, dan juga kepada tulang rorobot. Hula-hula Naposo ialah rombongan Hula-hula atau keluarga mertua anak dari pelaksana upacara Sulang-sulang Pahompu tersebut. Sedangkan tulang rorobot ialah tulang si istri pelaksana upacara adat tersebut. Somba atau rusuk dalam etnik Batak Toba menandakan bahwa rusuk merupakan termasuk bagian dalam tubuh hewan sembelihan tersebut. Jika di ibaratkan dengan struktur suatu keluarga, somba/rusuk artinya penerima Somba tersebut (bona ni ari, hula-hula naposo, tulang rorobot) merupakan golongan rombongan

(51)

Hula-hula yang jaraknya sudah dianggap jauh secara struktur keluarga kepada pihak pelaksana upacara Sulang-sulang Pahompu tersebut.

d. Osang-osang (bagian rahang bawah), diterima oleh boru, akan tetapi biasanya diterima oleh hula-hula.

Osang/dagu merupakan salah satu bagian dari tudu-tudu sipanganon. Makna yang terkandung pada osang/dagu yang diberikan pada hasuhuton parboru sebagai simbol penghormatan kepada hasuhuton parboru, dan pada etnik Batak Toba juga beranggapan bahwa pada saat manortor/menari hasuhuton paranak selalu maniuk/membelai dagu semua rombongan Hula-hula sebagai tanda menghormati mereka.

e. Na marngingi (bagian mulut) diterima oleh pariban.

 Na marngingi parsiamun

Namarngingi parsiamun adalah bagian wajah sebelah kanan hewan sembelihan tersebut.Namarngingi parsiamun diberikan kepada Bona tulang, bona tulang ialah kelompok Hula-hula dari hasuhuton paranak. bona tulang merupakan Hula-

(52)

parsiamun mengandung makna tertentu. Pemberian Jambar tersebut menandakan hubungan kedekatan antara bona tulang dengan tulang, tulang adalah rombongan Hula-huladari hasuhuton paranak atau keluarga saudara laki-laki dari orang tua (ibu) pelaksana upacara adat tersebut. Hubungan kedekatan antara bona tulang dengan tulang berkaitan juga dengan jambar yang diberikan, dimana bona tulang akan diberikan namarngingi parsiamun sedangkan untuk tulang akan diberikan Osang. Jika dilihat dari postur tubuh hewan sembelihan tersebut namarngingi dengan Osang/dagu sangat berdekatan, dimana namarngingi diatas Osang, hal tersebut manandakan bahwasanya bona tulang secara struktur keluarga lebih tinggi dari tulang.

 Na marngingi parhambirang

Namarngingi parhambirang atau wajah sebelah kiri dari hewan sembelihan juga akan dijadikan sebagai tudu-tudu sipanganon. Namarngingi parhambirang akan diberikan kepada pihak boru. Dalam etnik Batak Toba boru adalah keluarga saudara perempuan pelaksana upacara adat tersebut. Pemberian namarngingi parhambirang sangat mengandung makna yang sangat identik dengan budaya etnik Batak Toba. Dalam upacara adat tersebut boru memiliki tugas yang sangat penting, karena secara tidak langsung borulah yang membantu pihak hasuhuton paranak untuk menjalankan upacara Sulang-sulang Pahompu tersebut. Jadi dalam upacara adat tersebut diberikanlah namarngingi parhambirang kepada boru sebagai simbol penghargaan

(53)

atas segala kerja keras mereka untuk membantu pelaksanaan upacara Sulang-sulang Pahompu tersebut. Pemberian namarngingiparhambirang kepada boru juga didasari atas posisi tempat duduk boru ketika upacara adat tersebut. Dimana dalam etnik Batak Toba posisi tempat duduk boru ketika dalam upacara adat Boru selalu duduk disebelah kiri dari hasuhuton paranak.

f. Ojahan (kaki) diterima oleh raja/ natua-tua di huta.

g. Panamboli dan pamultak (bagian tulang punggung dan bagian perut) diterima oleh dongan sahuta/ teman sekampung dan anggi/ hahadoli.

(54)

7. Ulos

Gambar Fungsi Makna

Memiliki nilai keagamaan karena sebelum dibuat/ ditenun terlebih dahulu berdoa kepada Tuhan, oleh karenanya ulos memiliki fungsi nilai keimanan bagi pembuat, pemberi dan juga penerimanya.

Ulos juga berfungsi penyatuan antar manusia dengan Tuhan, yaitu dalam hal penyampaian doa dan harapan, karena disetiap pemberian ulos selalu dilapisi dengan doa dan yang menerima ulos tersebut kiranya memperoleh pengharapan dari Tuhan.

Makna ulos adalah melambangkan kekerabatan. Dalam dilihat dari segala acara pada masyarakat Batak baik suka dan duka selalu digunakan dan diberikan oleh pihak keluarga maupun kerabat dalam acara tersebut.

(55)

Makna awal secara spesifik daripada ulos dijadikan medium (perantara) dalam pemberian berkat (pasu-pasu) baik dari mertua kepada menantu/anak perempuan, kakek/nenek kepada cucu, paman (tulang) kepada keponakan (bere) maupun dari raja kepada rakyatnya. Didalam pelaksanaan penyampaiannya pihak yang dihormati tersebut memberikan ulos dibarengi dengan penyampaian kata-kata berupa berkat (umpasa) dan pesan (tona) untuk menghangatkan jiwa si penerima ulos tersebut. Bagi nenek moyang kita Batak selain ulos sebagai medium perantara penyampaian berkat juga dari kata ulos ada isitilah yang disebut dengan ulos na so ra buruk (kain yang tidak akan pernah lapuk/rapuh) yang bermakna tanah ataupun sawah dan ladang. Pada keadaan tertentu hula-hula dapat juga memberi sebidang tanah atau ulos yang tidak dapat lapuk itu kepada borunya. Selain itu juga dikenal istilah ulos na tinonun sadari (ulos yang ditenun dalam sehari) yaitu uang yang fungsinya dianggap sama dengan ulos.

Ulos yang panjangnya bisa mencapai kurang lebih 2 meter dengan lebar 70 cm (biasanya disambung agar dapat dipergunakan untuk melilit tubuh) ditenun dengan tangan. Waktu menenunnya bisa berminggu-minggu atau berbulan-bulan tergantung tingkat kerumitan motif. Biasanya para perempuan menenun ulos itu di bawah kolong rumah

(56)

8. Dekke

Gambar Fungsi Makna

Gambar :Dengke Simudur-udur

Fungsi Dengke Saur adalah restu atau pasu-pasu dari Hula-hula, supaya yang menerima Dengke Saur tersebut diberkati oleh Tuhan yang Maha Esa, yaitu dengan pemberian secara simbolik dari Hula-hula kepada hasuhuton paranak. Disamping itu Dengke Saur berfungsi untuk Mangelek boru, karena etnik Batak Toba memiliki filosofi Somba marhula-hula, Elek marboru dan Manat mardongan tubu. Dalam etnik Batak Toba peran boru memang sebagai parhobas/pelayan, bukan berarti boru itu diperlakukan semena-mena akan

Makna pemberian dengke saur tersebut adalah sebagai bentuk rasa kepedulian dan rasa kasih sayang, bahwasanya hasuhuton parboru merestui keluarga yang melaksanakan acara. Dengan pemberian Dengke Saur tersebut Hasuhuton Parboru menyampaiakan harapan-harapan yang baik untuk keluarga tersebut, dan juga tidak lepas untuk mendoakan keluarga tersebut supaya menjadi keluarga yang lebih baik

(57)

tetapi boru harus diperhatikan, dibujuk dengan baik atau elek marboru. Maka dari itu dalam etnik Batak Toba selalu ditekankan supaya elek marboru, sebagai simbol elek marboru diberikanlah Dengke Saur. Pada etnik Batak Toba selain dengke saur ada 3 macam penamaan yang digunakan untuk Dengke Saur tersebut.

Pemberian nama tersebut disesuaikan dengan simbol kehidupan ikan mas, dan masyarakat Batak Toba menerapkan simbol kehidupan ikan mas tersebut kedalam kehidupan sehari-hari masyarakat Batak Toba. Yakni dengke simudur- udur, dengke tio dan dengke sahat. Dalam acara

kedepannya.

(58)

ini digunakan dengke simudur-udur.

Dengke Saur merupakan ikan mas yang disajikan dalam Pinggan panganan yang diberikan pihak Hasuhuton Parboru kepada pihak Hasuhuton Paranak, ikan tersebut dimasak dengan utuh tanpa memotong bagian tubuh ikan tersebut. Ketika pemberian Dengke Saur posisi ikan mas tersebut diletakkan dalam Pinggan panganan yang sudah berisi nasi putih, ikan mas tersebut diletakkan diatas nasi putih tersebut.

Dengke Simudur-udur bermakna yang terkadung pada penamaan dengke simudur-udur ialah karena kebiasaan ikan khususnya ikan mas selalu berjalan dengan beramai-ramai. Kemanapun ikan tersebut berjalan akan selalu beramai-ramai. Hal tersebutlah yang diterapkan masyarakat Batak Toba kedalam setiap kehidupan keluarga, seperti apapun kondisi keluarga tersebut akan dipertahan semua anggota keluarga secara bersama-sama.

Dalam etnik Batak Toba kebersamaan atau kekompakan di dalam keluarga merupakan harapan seluruh keluarga, jika suatu keluarga memiliki kebersamaan aatau kekompakan yang tinggi maka keluarga tersebut akan lebih terpandang ditengah- tengah kehidupan masyarakat.

(59)

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dari data penelitian yang penulis teliti dan uraikan sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

 Proses pelaksanaan acara mangompoi jabu dimulai dari (A) tahapan

mangompoi jabu, dimana pelaksana disini hanya sipemilik rumah yang melaksanakan sesudah magrib sebelum hari puncak keesokan hari.

Dimulai dari (1) pagabe, (2) tutu, (3) aek sitio-tio, (4) harbue pir, dan (5) miak-miak. Selanjutnya (B) tahapan paborhat tukang, dimana ini merupakan acara puncak sipemilik acara mengundang tukang rumah tersebut dan seluruh masyarakat dan pihak keluarga terdekat. Dimana dalam pelaksanaan ini ada beberapa proses yakni (6) pemberian jambar/

tudu-tudu sipanganon (babi, kerbau, lembu), (7) Ulos (bintang maratur), (8) Dengke (ikan mas).

 Fungsi dan Makna simbolik tradisi mangompoi jabu yang digunakan oleh masyarakat Batak Toba antara lain :

5.2 Saran

Dalam penelitian mengenai tradisi mangompoi jabu pada etnik Batak Toba kajian semiotika sosial, ini penulis menyadari bahwa penelitian ini

(60)

merupakan suatu tahap awal yang tentunya masih banyak terdapat kekurangan dan perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk penyempurnaan.

Penulis juga menyarankan hal-hal yang paling utama adalah sebagai berikut:

i. Penelitian terhadap budaya dan sastra daerah perlu ditingkatkan sebab sastra daerah merupakan sumber dari kebudayaan Indonesia yang tiada habis-habisnya.

ii. Kepada generasi muda diharapkan supaya tetap melestarikan kebudayaan karena kebudayaan merupakan jati diri setiap daerah.

iii. Pentingnya pelestarian budaya dan sastra daerah dengan cara melakukan setiap upacara adat dari setiap suku yang memiliki budaya sendiri sehingga tercermin kehidupan yangmempunyai kebudayaan yang tinggi.

iv. Pentingnya belajar budaya dan sastra itu secara langsung kelapangan atau terjun langsung kemasyarakat, karena dengan melihat langsung budaya sastra daerah, kita bisa dengan mudah mengerti budaya dan sastra daerah itu sendiri.

v. Dan kiranya skripsi ilmiah ini berguna bagi pembaca dan penulis itu sendiri.

(61)

DAFTAR ISI

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.

Jakarta : Pt. Rineka Cipta.

Basrowi dan Suwandi.2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Endraswara, Suwardi.2009. “Metodologi Penelitian Folkor”. Yogyakarta:

Media Presindo.

Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta.

Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Moleong,Lexy.J.2005.Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:PT Remaja Rosdakarya Offset

Nazir, Mohammad. 2009. “Metode Penelitian”. Medan, Ghalia Indonesia.

Narbuko, Cholid dan H. Abu Achmadi. Metode Penelitian. 2002. Jakarta.

Bumi Aksara.

Siahaan, Nalom. 1982. Adat Dalihan na tolu Prinsip dan Pelaksanaannya.

Jakarta: Dian Utama.

Sinaga, Richard. 2000. Kamus Batak Toba. Jakarta: Dian Utama.

Sihombing, T.M. 1984. Jambar Hata: Dongan Tu Ulaon Adat. Medan:

(62)

Wellek, Rene dan Austin Warren.2013.Teori Kesustraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

(63)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.

Jakarta: Rineka Cipta.

Darmadi, Hamid. 2013. Metode Penelitian Pendidikan dan Sosial.

Bandung: Alfabeta.

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Fiske, John. 1990. Cultural and Communication Studies : Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta : Jalasutra

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta.

Kusuma, S.T. 1987. Psiko Diagnostik. Yogyakarta : SGPLB Negeri Yogyakarta.

Kriyantono, Rachmat. 2010. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta:

Prenada Media Group.

Lechte, John. 2001. 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme Sampai Post Modernitas. Yogyakarta: Kanisius.

Little John., Stephen W., 2009, Theories of Human Communication, Ohio:

Charles E. Merril Company.

Moleong,Lexy.J.2005.Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:PT Remaja Rosdakarya Offset

Gambar

Gambar  Fungsi  Makna
Gambar  Fungsi  Makna
Gambar  Fungsi  Makna
Gambar  Fungsi  Makna
+4

Referensi

Dokumen terkait

071222510104, Keberadaan Instrumen Musik Tung- tung Pada Etnik Batak Toba di Desa Aek Nauli Kecamatan Sipahutar Tapanuli Utara, Skripsi Medan, Fakultas Bahasa dan Seni

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2017.. Judul Skripsi : Kearifan Lokal Marsiadapari Dalam Aktivitas Etnik Batak Toba Di Desa Gempolan Siku Kabupaten Serdang Bedagai

Simbol yang dimaksud dalam upacara perkawinan adat Batak Toba.. ialah pada saat

Interelasi Budaya Musik Batak dan Melayu di Sumatera Utara dalam Pluralitas Musik Etnik Batak Toba, Mandailing, Melayu, Pakpak-Dairi, Angkola, Karo, Simalungun..

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, peneliti merasa tertarik untuk melihat gambaran identitas etnik dan pemilihan pasangan Batak Toba, melihat hubungan antara

pada suku Batak Toba, yang menjadi karakter dari arsitektur tradisionalnya seperti. huta, jabu/rumah

Penelitian ini merupakan penelitian tentang Ornamen “ Gorga “ Pada Masyarakat Batak Toba yaitu tentang ornamen rumah adat Batak Toba di kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir

Dari teori-teori di aks dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan penyesuaian diri antara etnik Batak dan etnik Jawa, di mana gambaran kepribadian etnik Jawa cenderung kepada