• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DAYA SAING KOPI (Coffea sp) PT PERKEBUNAN NUSANTARA IX (PERSERO) KEBUN GETAS ASSINAN KABUPATEN SEMARANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS DAYA SAING KOPI (Coffea sp) PT PERKEBUNAN NUSANTARA IX (PERSERO) KEBUN GETAS ASSINAN KABUPATEN SEMARANG"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

PT PERKEBUNAN NUSANTARA IX (PERSERO)

KEBUN GETAS/ASSINAN KABUPATEN SEMARANG

SKRIPSI

Oleh :

Venti Dini Rahmatika

H0307087

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

commit to user

PT PERKEBUNAN NUSANTARA IX (PERSERO)

KEBUN GETAS/ASSINAN KABUPATEN SEMARANG

Skripsi

Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian

di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret

Jurusan/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Agrobisnis

Oleh :

Venti Dini Rahmatika

H0307087

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(3)

commit to user

(4)

commit to user

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala

limpahan rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul “Analisis Daya Saing Kopi (Coffea sp) PT. Perkebunan Nusantara IX (Persero) Kebun Getas/Assinan Kabupaten Semarang”. Penulis

mendapat bantuan dari berbagai pihak dalam penulisan skripsi ini. Untuk itu penulis

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, MS selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Ir. Agustono, M.Si selaku Ketua Jurusan/Program Studi Sosial Ekonomi

Pertanian/Agrobisnis.

3. Ibu Ir. Sugiharti Mulya H, MP selaku Sekretaris Jurusan sekaligus sebagai

Ketua Komisi Sarjana Jurusan/Program Studi Sosial Ekonomi

Pertanian/Agrobisnis.

4. Dr. Ir. Mohd. Harisudin, M.Si selaku pembimbing akademik sekaligus

pembimbing utama yang telah memberikan pengarahan dalam penyusunan

skripsi ini.

5. Ibu Erlyna Wida Riptanti, SP. MP selaku pembimbing pendamping yang telah

memberikan nasehat, pengarahan dan masukan dalam penyusunan skripsi sejak

awal sampai akhir penulisan.

6. Bapak Ir. Suprapto selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak

masukan dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini.

7. Ibu Susi Wuri Ani, SP. MP dan Bapak R. Kunto Adi, SP. MP yang bersedia

memberikan pengarahan dan bantuan pada beberapa materi skripsi yang belum

mengerti dengan baik.

8. Segenap dosen jurusan Agrobisnis Fakultas Pertanian dan seluruh dosen

Fakultas Pertanian FP yang membimbing selama kuliah juga staff TU yang telah

memberikan bantuannya dalam penyelesaian persyaratan administrasi.

9. Segenap keluarga besar PT. Perkebunan Nusantara IX Kebun Getas Afdeling

(5)

commit to user

iv

saya sebutkan satu persatu, jasa-jasa baik Bapak Ibu semua akan selalu melekat

dalam hatiku.

10. Keluarga tercinta, Inak Istiharah dan Amak Sardiman juga dua adik tersayang

Ardis Ikhlass Arrizki dan Raras Sukma Aulia. Terima kasih atas segala kasih

sayang, doa, dukungan baik moral maupun spiritual dan dorongan semangat

yang telah dilimpahkan selama ini. Kalian adalah anugerah terindah yang pernah

Allah berikan.

11. Keluarga besar yang ada di Lombok dan Ambarawa, Papuk Maksum, Papuk

Rohaini, Papuk Saki, Mbah Kakung, Mbah Putri, Bibi At, Paman Rus, Bulek

Sarimah, Paklek Harno, dek Ana, dek Yuni, Bibi Yah, Paman Romzi, Bulek Iin,

Paman Opi, Paman Dedi dan lainnya, atas doa dan semangat yang selalu

mengiringi penulis.

12. Kak Erwinsyah, terimakasih atas motivasi dan doa yang tercurah untuk penulis

13. Sahabatku tercinta Maha, Dewo, Fafa, Ian, Irsa, Adhi dan Didik. Terimakasih

atas persahabatan yang indah ini. Kalian akan selalu ada di hati.

14. Sahabat seperjuangan dan seperguruan, Sukma, Nofitri, Pepi (Bebebh), Rizky,

Nita, Echa, Alya, Dhea, Eka, Risma dan Lala yang senantiasa memberikan

dukungan dan motivasi. Terimakasih atas kenangan indah persahabatan yang

takkan pernah lekang oleh jrak dan waktu.

15. Teman-teman Agrobisnis 2007 Mumun, Ratna, Riska, Agnes, Tio, Dicky,

Rochmad, Memen, Bang Adam, Bella, Yoseph dan Prima dan ”HiBiTu”.Terima

kasih, bersama kalian banyak kenangan yang indah. Keep fighting kawand!!!

16. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak

dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena

itu penulis berharap adanya masukan guna perbaikan skripsi selanjutnya. Penulis

berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan

pembaca pada umumnya.

Surakarta, Mei 2011

(6)

commit to user

3. Keunggulan Komparatif dan keunggulan Kompetitif... 14

4. Harga Bayangan ... 16

5. Kebijakan Pemerintah ... 18

6. Policy Analysis Matrix (PAM)... 22

C. Kerangka Teori Pendekatan Masalah ... 28

D. Hipotesis ... 35

E. Asumsi-Asumsi Dasar ... 35

F. Pembatasan Masalah ... 35

G. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ... 36

III. METODE PENELITIAN ... 38

A. Metode Dasar Penelitian ... 38

B. Metode Pengambilan Daerah Penelitian ... 38

C. Jenis dan Sumber Data ... 38

D. Teknik Pengumpulan Data ... 38

E. Metode Analisis Data ... 39

IV. KEADAAN UMUM PERKEBUNAN ... 48

(7)

commit to user

vi

C. Struktur Organisasi ... 50

D. Keadaan Karyawan Perkebunan ... 50

E. Budidaya Tanaman Kopi ... 51

1. Budidaya Tanaman Kopi ... 51

2. Panen ... 57

F. Pengolahan Kopi ... 58

1. Pengolahan RWP (Robusta Wet Process) ... 58

2. Pengolahan RDP (Robusta Dy Process) ... 63

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 65

A. Produksi dan Produktivitas Tanaman di Kebun ... 65

B. Analisis Finansial dan Ekonomi Pengusahaan Kopi ... 66

C. Policy Analysis Matrix (PAM) ... 73

D. Keunggulan Kompetitif dan Keunggulan Komparatif ... 76

E. Dampak Kebijakan Pemerintah ... 80

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 87

A. Kesimpulan ... 87

B. Saran ... 88

(8)

commit to user

Nomor Judul Halaman

1. Perkembangan Ekspor Kopi Indonesia Tahun 2005-9 ... 2

2. Kinerja Produksi dan Ekspor Kopi pada PT Perkebunan Nusantara

IX (Persero) Tahun 2005-9 ... 3

3. Fluktuasi Produksi Kopi PT Perkebunan Nusantara I (Persero) Menurut Kebun Tahun 2005-9... 5

4. Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Kopi PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) Kebun Getas/Assinan kabupaten Semarang tahun 2005-9 ... 5

5. Tipe-Tipe Kebijakan Output Tradeable... 19 6. Policy Analysis Matrix (PAM)... 23

7. Daftar Jumlah Karyawan Kebun Getas/Assinan Berdasar Afdeling

dan Golongannya per 1 Januari 2010... 50

8. Luas, Produksi dan Produktivitas Kopi PT perkebunan Nusantara

IX (Persero) Kebun Getas/Assinan Tahun 2000-9 ... 65

9. Analisis financial dan Ekonomi Pengusahaan Kopi Kering PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) Kebun Getas/Assinan Tahun

2009 (Rp/kg kopi kering) ... 67

10. Matriks PAM Pengusahaan Kopi PT Perkebunan Nusantara IX

(Persero) Kebun getas/Assinan Tahun 2009 (Rp/kg kopi kering) ... 74

11. Private Cost Ratio (PCR) dan Domestic Resources Cost Ratio

(DRCR) PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) Kebun

Getas/Assinan Tahun 2009 ... 77

12. Dampak Kebijakan pemerintah terhadap Pengusahaan Kopi PT

(9)

commit to user

viii

Nomor Judul Halaman

(10)

commit to user

Nomor Judul Halaman

1. Alokasi Biaya Domestik dan Biaya Asing... 91

2. Perhitungan Output ... 92

3. Biaya Amortisasi ... 93

4. Biaya Penggunaan Input Produksi ... 94

5. Konversi Perhitungan Biaya Output dan Input Tradeable Komoditi Kopi Tahun 2009 ... 95

6. Analisis Ekonomi ... 96

7. Analisis Finansial dan Analisis Ekonomi Pengusahaan Kopi PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) Kebun Getas/Assinan (Rp/ha luas tanam kopi) ... 98

(11)

commit to user

x

Venti Dini Rahmatika, 2011. Analisis Daya Saing Kopi (Coffea sp) PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) Kabupaten Semarang. Skripsi di bawah bimbingan Dr. Ir. Mohd. Harisudin, MSi dan Erlyna Wida Riptanti, SP. MP. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) Kebun Getas/Assinan merupakan salah satu penghasil kopi dan eksportir kopi yang berperan dalam perekonomian nasional. Setiap komoditi harus memiliki daya saing untuk dapat bersaing di pasar internasional dan diminati oleh konsumen. Kebijakan pemerintah juga mempengaruhi pengusahaan kopi PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) Kebun Getas/Assinan.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif yang dimiliki PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) Kebun Getas/Assinan dalam mengusahakan kopi dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditi kopi bagi PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) Kebun Getas/Assinan.

Metode dasar penelitian adalah deskriptif analisis dengan mengambil secara sengaja daerah penelitian PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) Kebun Getas/Assinan. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari kantor PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) dan Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Tengah. Sumber data diperoleh dengan melakukan observasi, wawancara dan pencatatan di instansi-instansi dan pihak-pihak terkait penelitian ini.

PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) Kebun Getas/Assinan memiliki

Private Cost Ratio (PCR) sebesar 0,73 yang menunjukkan bahwa perusahaan memeiliki keunggulan kompetitif dan Domestic Resources Cost Ratio (DRCR) sebesar 0,72 yang menunjukkan bahwa perusahaan memiliki keunggulan komparatif dalam mengusahakan kopi kering. Nilai PCR dan DRCR itu dapat ditingkatkan sehingga meningkatkan daya saing yang dimiliki perusahaan untuk dapat terus bersaing di pasar internasional di era perdagangan bebas.

Dampak kebijakan pemerintah terhadap pengusahaan kopi PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) Kebun Getas/Assinan tercermin padan nilai Output Transfer

(OT) sebesar 3.900.717,40; Input Transfer (IT) sebesar 260.213,20; Factor Transfer

(FT) sebesar 3.019.544,34; Net Transfer (NT) sebesar 620.959,86; Nominal Protection Coefficient on Tradable Outputs (NPCO) sebesar 1,13; Nominal Protection Coefficient on Tradable Inputs (NPCI) sebesar 1,09; Effective protection coefficient (EPC) sebesar 1,13; Profitability coefficient (PC) sebesar 1,08 dan

(12)

commit to user economic.Each comodity should have the competitive power to be able competing at international market and interested by consumer. Goverment policy also has influence of the coffee production at PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) Kebun Getas/Assinan.

This research is aimed to analyze the competitive advantages and comparative advantage, also to knew the goverment policy impact to the coffeeproduction at PT

Perkebunan Nusantara IX (Persero) Getas/Assinan. The basic method of this research is analysis decriptive by incidentally taking research place at PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) Getas/Assinan. This research uses seconder data which is taken from PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) Office and Badan Pusat Statistik (BPS), Central Java. Data is got by observing, interviewing, and texting at relevant company.

PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) Getas/Assinan has 0,73 Private Cost Ratio (PCR), which shows us that the company has the competitive advantages and 0,72 Domestic Resources Cost Ratio (DRCR), which shows us that the company has comparative advantages at producing dry coffee. The rank of PCR and DRCR could be increased, so that it could increase competitive power of the company. In case to stay being competitive at international market and free trading era.

(13)

commit to user

A. Latar belakang

Perdagangan memegang peranan penting dalam perekonomian suatu

negara. Kegiatan perdagangannya sangat berarti dalam upaya pemeliharaan

dan kestabilan harga bahan pokok, penyediaan kesempatan kerja bagi

masyarakat, penggerak kegiatan ekonomi, peningkatan penerimaan negara dan

pendapatan negara. Kebijakan perdagangan Indonesia diarahkan pada

penciptaan dan pemantapan kerangka landasan perdagangan. Kebijakan

tersebut meliputi usaha meningkatkan efisiensi perdagangan dalam negeri dan

perdagangan luar negeri dengan tujuan lebih memperlancar arus barang dan

jasa, mendorong pembentukan harga yang layak dalam iklim persaingan yang

sehat, menunjang usaha peningkatan efisiensi produksi, mengembangkan

ekspor, memperluas kesempatan berusaha dan lapangan kerja, meningkatkan

dan memeratakan pendapatan rakyat serta memantapkan stabilitas ekonomi

(Halwani, 2002).

Perdagangan luar negeri terutama ekspor, sangat penting peranannya

dalam perekonomian Indonesia. Devisa yang diperoleh dari ekspor merupakan

sumber pembiayaan pembangunan. Peningkatan penerimaan devisa dari

ekspor akan ikut meringankan beban neraca perdagangan yang terdiri dari

transaksi ekspor dan impor barang. Surplus ekspor menentukan surplus neraca

perdagangan (Halwani, 2002).

Pertanian merupakan salah satu sektor yang berororientasi ekspor

terutama sub sektor perkebunannya. Peran sub sektor perkebunan sebagai

penghasil devisa tidak diragukan lagi. Dibandingkan sektor non migas lainnya

sub sektor perkebunan memiliki keunggulan komparatif yaitu tersedianya

lahan yang belum dimanfaatkan secara optimal, lokasi yang berada di kawasan

dengan iklim yang menunjang serta tersedianya tenaga kerja yang cukup

melimpah yang semuanya merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk

memperkuat daya saing harga produk-produk perkebunan Indonesia di pasar

dunia (BI, 2003).

(14)

kopi, teh dan lada. Kopi menyumbang devisa yang cukup besar bagi negara

setiap tahunnya. Ekspor kopi Indonesia dipengaruhi oleh keadaan kopi dunia

yang permintaannya terus mengalami peningkatan. Peningkatan konsumsi

kopi tersebut menyebabkan persaingan ekspor kopi dunia juga semakin ketat.

Munculnya Vietnam sebagai negara pengekspor kopi yang menguasai 11,45%

pasar kopi dunia menyebabkan kedudukan Indonesia bergeser menjadi posisi

keempat setelah Brazil, Vietnam dan Columbia. Ekspor kopi Indonesia sendiri

mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan Ekspor Kopi Indonesia Tahun 2005 - 2009

Tahun Volume (Ton) Harga

Berdasar Tabel 1. dapat diketahui bahwa volume ekspor kopi mengalami

fluktuasi dari tahun ke tahun. Lebih jauh melihat kinerja komoditi kopi dari

tahun ke tahun menunjukkan perbaikan terutama pada tahun 2008 yang

mengalami peningkatan nilai ekspor sebesar 56,06%. Bahkan dalam kurun

waktu 2005-2009 terjadi kenaikan nilai ekspor yaitu dari US$ 497 juta pada

tahun 2005 menjadi US$ 989 juta pada tahun 2008. Namun, pada tahun 2009

justru mengalami penurunan menjadi US$ 822 juta. Fluktuasi nilai ekspor

lebih dipengaruhi oleh pergerakan harga kopi internasional yang tidak

menentu. Untuk menjaga kinerja ekspor komoditi kopi tersebut perlu

ditingkatkan produksi dan mutu kopi (Benyamin, Maria Y. 2009 dalam

Pusditan, 2009).

Jawa Tengah merupakan salah satu wilayah yang memiliki cukup banyak

perkebunan kopi dan merupakan salah satu sentra produksi kopi terbesar di

(15)

commit to user

negara yang mengelola perkebunan milik negara di wilayah Jawa Tengah.

PTPN IX Jawa Tengah dituntut untuk terus meningkatkan produksi dan

efisiensi pengusahaan kopi untuk memperbesar daya saing kopi Indonesia.

Daya saing yang tinggi merupakan kekuatan utama untuk mampu bersaing

dalam pasar dunia yang semakin ketat. Daya saing yang tinggi tercermin dari

keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif yang dimiliki oleh

komoditi tersebut. Kinerja produksi dan ekspor kopi PTPN IX dapat dilihat

dari Tabel 2.

Tabel 2. Kinerja Produksi dan Ekspor Kopi pada PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) Tahun 2005 - 2009

Tahun Produksi (kg) Ekspor (kg) % ekspor/produksi

2005 2.468.333 1.624.657 65,82

2006 1.513.569 1.272.000 84,04

2007 843.395 823.500 97,64

2008 1.422.853 683.400 48,03

2009 1.232.894 1.490.100 120,86

Sumber: PT Perkabunan Nusantara IX (Persero)

mengekspor 48,03% produksinya. Hal itu disebabkan oleh tidak adanya

permintaan dari Jepang sebab harga kopi dunia mahal mencapai US$

2.113,70/ton. Harga kopi dunia yang tinggi menyebabkan permintaan kopi

menurun dan sebaliknya sehingga pada tahun 2009 permintaan kopi Jepang

meningkat.

Sisa kopi yang tidak diekspor akan dikonsumsi di dalam negeri dan

disimpan sebagai carry over stocks oleh pedagang dan eksportir sebagai cadangan bila terjadi gagal panen (Kustiari, 2007 cit. Pusdatin, 2009). Kinerja ekspor kopi dari perusahaan mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Kondisi

(16)

tahun 2002, tetapi sudah cukup baik untuk memperbaiki kinerja ekspor kopi

Indonesia yang diharapkan akan lebih baik lagi pada tahun-tahun berikutnya.

Oleh karena itu, perlu perhatian khusus dan upaya untuk dapat memperbaiki

keadaan yang tidak menguntungkan tersebut. Potensi produksi kopi di PT

Perkebunan Nusantara IX (Persero) yang cukup baik dapat dijadikan sebagai

modal untuk menunjang peningkatan ekspor kopi.

Produksi kopi yang berfluktuasi disebabkan oleh iklim yang berubah tak

menentu dan sulit diperkirakan. Musim penghujan dan musim kemarau sangat

sulit untuk ditentukan. Oleh karena itu, perkiraan pemeliharaan dalam

budidaya kopi menjadi kurang tepat sehingga produksinya menjadi menurun

yang menyebabkan volume ekspor kopi PT Perkebunan Nusantara IX

(Persero) ikut menurun. Namun, penanganan budidaya kopi yang baik dengan

keadaan iklim yang tak menentu sudah mulai dapat diatasi sehingga produksi

kopi tahun 2008 sudah mulai dapat ditingkatkan kembali. Volume ekspor kopi

juga dipengaruhi oleh iklim yang akan menentukan kualitas biji kopi yang

dihasilkan oleh perkebunan. Iklim yang tidak menentu akan menyebabkan

kualitas biji kopi menjadi kurang baik sehingga tidak memenuhi standar

ekspor. Fluktuasi produksi PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) pada tujuh

(17)

commit to user

Kab. Semarang 200.000 117.860 74.860 100.000 46.000

5 Getas/Assinan,

Kab. Semarang 926.333 602.156 344.384 698.853 768.000

6 Batujamus/Kerjoarum,

Kab. Karanganyar 125.000 160.571 80.027 177.000 -

7 Jolong/Kalitelo,

Kab. Pati 550.000 303. 336 88.449 213.000 184.000

Total 2.468.333 1.513.569 843.395 1.422.853 1.233.000

Sumber: Jawa Tengah dalam Angka

Berdasar Tabel 3. dapat diketahui bahwa produksi kopi tertinggi

dihasilkan oleh Kebun Getas/Assinan setiap tahunnya sejak tahun 2005 hingga

tahun 2009. Kebun Getas/Assinan menghasilkan rata-rata 650.518 kg dalam

kurun waktu lima tahun. Dapat disimpulkan bahwa produksi kopi Kebun

Getas/Assinan memberikan kontribusi yang cukup besar dalam ekspor kopi

PTPN IX. Hal itu harus didukung dengan produktivitas kebun yang tinggi agar

produksinya dapat terus meningkat. Produksi dan produktivitas Kebun

Getas/Assinan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Luas areal, Produksi dan Produktivitas Kopi PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) Kebun Getas/Assinan Kabupaten Semarang Tahun 2005 - 2009.

Tahun Luas areal (Ha) Produksi (kg) Produktivitas (kg/Ha)

2005 401,06 926.333 2.309,71

2006 396,41 602.156 1.519,02

2007 396,41 344.384 868,76

2008 396,41 698.853 1.762,96

2009 376,97 768.456 2.038,51

Sumber : Kantor Kebun Getas/Assinan PT PN IX

Berdasar Tabel 4. dapat dilihat bahwa produksi kopi Kebun

Getas/Assinan mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Produksi paling

(18)

lebih baik terhadap budidaya kopi yang sudah mulai dapat beradaptasi dengan

iklim yang tidak menentu. Luas areal tanan kopi menurun pada tahun 2009

sebab seluas 19,44 ha tanaman kopi sudah tidak produktif lagi sehingga akan

diganti tanaman baru pada tahun 2010 mendatang. Produktivitas kopi Kebun

Getas/Assinan terus berusaha ditingkatkan agar dapat memproduksi kopi yang

lebih banyak dari segi kuantitas dan baik dalam segi kualitas sehingga dapat

meningkatkan kinerja ekspor kopi PTPN IX.

Kebijakan pemerintah juga mempengaruhi pengusahaan kopi Kebun

Getas/Assinan. Departemen Perdagangan (Depdag) memperketat pemberian

status Eksportir Terdaftar Kopi (ETK) dengan memberikan syarat wajib

ekspor minimal 200 ton kopi per tahun untuk dapat memperoleh status

Eksportir Terdaftar Kopi (ETK) (Pusat Humas Depdag, 2009).

Penyempurnaan aturan itu diharapkan dapat memacu produksi kopi dalam

negeri untuk ekspor, termasuk Kebun Getas/Assinan yang mengusahakan

kopi kering gelondong untuk ekspor. Indonesia sedang berusaha

meningkatkan produksi kopi dalam negeri agar dapat bersaing dan merebut

pasar kopi dunia di tengah perdagangan bebas sebab permintaan kopi di pasar

internasional yang semakin tinggi tidak diimbangi dengan peningkatan

produksi dan perbaikan mutu dalam negeri sehingga kurang bisa bersaing

dengan negara pengekspor kopi besar seperti Brazil, Vietnam dan Columbia.

Menurut Hutabarat (2004) penetapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

10% pada kopi yang diekspor dalam bentuk olahan sedangkan tidak adanya

PPN untuk ekspor kopi dalam bentuk primer berdampak pada pengusahaan

kopi Kebun Getas/Assinan yang mengekspor kopi dalam bentuk biji kering

gelondong. Kebijakan tersebut dapat merangsang Kebun Getas/Assinan untuk

meningkatkan produktiviatasnya sehingga dapat terus ekspor karena tidak

dikenai PPN. Ditambah dengan adanya perjanjian perdagangan bebas yang

ditandatangani Indonesia yaitu AFTA menuntut Kebun Getas/Assinan

(19)

commit to user

Munculnya negara Vietnam sebagai negara penghasil kopi yang

berkontribusi sebesar 11,45% terhadap total produksi dunia sedangkan

Indonesia hanya berkontribusi sebesar 8,95% akan semakin memberatkan

kinerja ekspor kopi Indonesia yang salah satu eksportirnya adalah PT

Perkebunan Nusantara IX (Persero). Kinerja ekspor kopi PTPN IX

dipengaruhi oleh produktivitas kopi Kebun Getas/Assinan yang memiliki luas

areal untuk budidaya kopi mencapai 376,97 Ha atau 29,68% dari luas areal

tanam kopi PTPN IX seluruhnya. Produktivitas Kebun getas/Assinan

mengalami fluktuasi lima tahun terakhir ini yang mengalami penurunan

produktivitas kopi pada tahun 2005 hingga tahun 2007. Tahun 2005

produktivitasnya mencapai 2.309,71 kg/Ha menjadi 1.519,02 kg/Ha pada

tahun 2006. Produktivitas terendah terjadi pada tahun 2007 yang mencapai

868,76 kg/Ha. Namun, pada tahun 2008 mulai mengalami peningkatan

kembali menjadi 1.762,96 kg/Ha dan 2.038,51 kg/Ha pada tahun 2009.

Produktivitas tersebut sangat berpengaruh pada ekspor kopi PTPN IX dan

ekspor Indonesia.

Peran pemerintah juga sangat menentukan kinerja ekspor PTPN IX.

Kebijakan pemerintah yang berupa penetapan pajak ekspor, subsidi dan

kebijakan perdagangan dapat berdampak positif (menguntungkan) maupun

negatif (merugikan) bagi PTPN IX Kebun Getas/Assinan. Menurut Hutabarat

(2004) Penetapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) diberlakukan sebesar 10%

yang pada komoditi kopi yang diekspor dalam bentuk olahan sedangkan kopi

yang diekspor dalam bentuk primer tidak dikenakan PPN. Kebijakan tersebut

menyebabkan eksportir tidak akan berusaha meningkatkan nilai tambah

produknya dalam bentuk olahan. Apabila pemberian pajak terhadap ekspor

dalam bentuk primer akan menyebabkan menurunnya ekspor dalam bentuk

primer sehingga harga bahan baku kopi dalam negeri akan menurun yang

diharapkan memperkuat industri hilir untuk mengolah kopi dalam bentuk

olahan seperti kopi bubuk. Keputusan pemerintah untuk mencukupi konsumsi

(20)

dengan kualitas tinggi maka kebutuhan kopi dalam negeri dapat dicukupi

dengan mengimpor kopi dengan kualitas yang lebih sehingga negara masih

memperoleh keuntungan dari ekspor tersebut.

Selain PPN, Departemen Perdagangan menetapkan quota minimal

ekspor kopi sebesar 200 ton kopi per tahun untuk dapat memperoleh status

Eksportir Terdaftar Kopi (ETK). Pembebasan pajak ekspor kopi diharapkan

dapat mendukung kebijakan tersebut dan dapat mendorong kinerja ekspor

kopi untuk memenuhi permintaan kopi di pasar internasional yang semakin

meningkat. Kebijakan yang diterapkan pemerintah selalu diarahkan pada

peningkatan produksi dalam negeri dan mendorong peningkatan daya saing

produk-produk dalam negeri agar dapat bersaing di pasar intenasional dari

segi kualitas maupun kuantitas.

Agar tetap mampu bersaing dalam pasar perdagangan yang makin ketat

persaingannya, masing-masing negara harus memiliki komoditas unggulan

perdagangan yang ketat persaingannya. Dalam mengunggulkan suatu

komoditas perlu landasan kuat yang menyangkut dua hal. Pertama, bagaimana

sistem produksi dilakukan mulai dari hulu hingga hilir efisien dalam alokasi

biaya sumberdaya domestik terhadap imbangan sumber daya asing pada

tingkat harga relatif dengan memasukkan unsur biaya sosial sekaligus

menggambarkan nilai kelangkaan yang sebenarnya, sehingga dicapai

keunggulan komparatif. Kedua, bagaimana perangkat kebijakan (produksi dan

pasar) atas komoditas tersebut dapat menurunkan biaya ekonomi yang paling

rendah tercermin dari ssitem produksi dan pasar yang efisien sehingga akan

dicapai keunggulan kompetitif.

Dari uraian di atas, maka dapat diperoleh beberapa rumusan

masalahnya yaitu :

1. Apakah PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) Jawa Tengah Kebun

(21)

kopi bagi PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) Jawa Tengah Kebun

Getas/Assinan Kabupaten Semarang?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan untuk :

1. Mengkaji keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dalam

pengusahaan kopi PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) Jawa Tengah

Kebun Getas/Assinan Kabupaten Semarang.

2. Mengkaji dampak kebijakan pemerintah yang diterapkan untuk komoditi

kopi bagi PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) Jawa Tengah Kebun

Getas/Assinan Kabupaten Semarang.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini meliputi:

1. Bagi penulis, diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan

terutama yang berkaitan dengan topik penelitian serta merupakan salah

satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Fakultas

Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bagi PT Perkebunan Nusantara IX (Persero), diharapkan dapat menjadi

bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan perusahaan.

3. Bagi pembaca, diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan kajian duna

menambah wawasan dan pengetahuan serta sebagai referensi untuk

(22)

II.

LANDASAN TEORI

A. Penelitian Terdahulu

Hasil penelitian Danang Nur Rachman (2006) mengenai Analisis Daya Saing Kopi PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) (Persero) Kebun Jollong Kabupaten Pati menunjukkan bahwa kopi yang diusahakan PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) Kebun Jollong Kabupaten Pati memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif yang ditunjukkan oleh angka rasio biaya privat dan biaya rasio biaya sumber daya domestik yang kurang dari satu. Tidak adanya proteksi pemerintah terhadap input asing menyebabkan Kebun Jollong harus membayar input domestik yang lebih mahal. Sebaliknya, pemerintah

melakukan proteksi terhadap output dan komponen biaya asing (tradeable)

sehingga keseluruhan Kebun Jollong memperoleh nilai tambah input asing lebih tinggi dari seharusnya. Secara umum, kebun Jollong menerima keuntungan akibat kebijakan pemerintah. Danang Nur Rachman (2006) menyarankan untuk meningkatkan kualitas komoditi kopi agar tidak tertinggal dengan produk sejenis dari luar negeri sehingga harga jual kopi dapat ditingkatkan dan menyusun anggaran biaya yang cermat mengingat kondisi harga jual kopi dunia tidak stabil sehingga efisiensi yang telah terjadi dapat dipertahankan.

Hasil penelitian Assaad dkk (2009) mengenai Keunggulan Komparatif Komoditi Kakao dan Kopi di Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa usahatani komoditi kakao dan kopi memiliki keunggulan komparatif. Keadaan tersebut

tercermin pada hasil hitung koefisien DRC (Domestic Resource Cost) yang secara

keseluruhan terjadi lebih kecil dari satu. Komoditi kopi di daerah ini merupakan komoditi ekspor yang berpotensi tinggi. Hal ini tercermin sejak tahun 1989

sampai dengan 1998 koefisien RCA (Revealed Comparatif Adventage) memiliki

(23)

Kasymir (1994) dalam penelitiannya tentang Keunggulan Komparatif dan Dampak Kebijakan pada komoditi kopi dalam Pengembangan Wilayah Kabupaten Lampung Barat Propinsi Lampung, menyimpulkan bahwa komoditi kopi tidak memiliki keunggulan kompetitif. Kebijakan pemerintah secara keseluruhan tidak memberi insentif untuk petani produsen, pedagang/eksportir dan konsumen akhir untuk berproduksi dan mengkonsumsi komoditi kopi melalui kebijakan harga output. Terjadi pengalihan surplus dari petani produsen ke pedagang/eksportir akibat posisi tawar yang lemah dalam pasar yang bersifat oligopilistik.

B. Tinjauan Pustaka

1. Kopi

Tumbuhan kopi (Coffea Sp.) termasuk familia Rubiaceae yang dikenal

mempunyai sekittar 500 jenis dengan tidak kurang dari 600 species. Genus Coffea merupakan salah satu genus penting dengan beberapa jenis species yang mempunyai nilai ekonomi dan dikembangkan secara komersial,

terutama: Coffea Arabica L dengan hibridanya, Coffea Lierica dan Coffea

Canephora diantaranya varietas Robusta.

Tanaman kopi termasuk tumbuan tropik yang sangat mampu melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan keadaan kawasan. Walaupun tumbuhan tropik, tanamannya tidak menghendaki suhu tinggi dan memerlukan tumbuhan naungan. Di daerah-daerah asal tumbuhan kopi di hutan-hutan Afrika tumbuhan kopi ditemukan di bawah-bawah pohon-pohon besar di hutan-hutan, dengan keadaan yang cukup lembab, terutama untuk tumbuhan kopi arabika. Jenis tanaman arabika lebih cocok dibudidayakan di daerah tropis di kawasan pegunungan pada ketinggian diatas 600 mdpl.

Kopi robusta dapat dibudidayakan di kawasan-kawasan di bawah 700 mdpl. Tanaman kopi cocok karenanya dibudidayakan secara komersial di

(24)

dalam kawasan ini dan memiliki kawasan yang cocok untuk budidaya kopi, baik jenis arabika maupun robusta.

Kawasan-kawasan penghasil kopi dalam mengusahakan budidaya kopi perlu memilih jenis tanaman dari klon-klon tanaman kopi yang seragam. Seragam pula cara budidaya kopi dan cara-cara pengolahan biji kopinya. Keseragaman hasil kebun yang demikian amat diperlukan oleh pabrik dan industri kopi yang bekerja dalam skala besar dan harus menghasilkan produk-produk yang seragam mutu dan mantap mutu hasilnya. Dibudidayakannya tanaman kopi dari klon-klon yang seragam, diterapkannya cara pertanaman dan prngolahan biji kopi yang sama akan menjamin dihasilkannya biji-biji kopi yang sejenis, seragam mutu dan seragam ukuran. Ini dapat memantapkan pasar dengan tingkat harga yang baik (Siswoputranto, 1993).

Kopi merupakan salah satu komoditi andalan perkebunan yang mempunyai kontribusi cukup nyata dalam perekonomian Indonesia, yaitu sebagai penghasil devisa, sumber pendapatan petani, penghasil bahan baku industri, penciptaan lapangan kerja dan pengembangan wilayah (Dirjen perkebunan, 2006). Tingkat produktivitas tahun 2006 mencapai rata-rata sebesar 700 kg biji kering per hektar per tahun,baru mencapai 60% dari potensi produktivitas yang dimilikinya. Tingkat produksivitas tanaman kopi Indonesia juga lebih rendah jika dibandingkan dengan negara produsen utama kopi dunia lainnya seperti Vietnam (1.540 kg/ha/th), Columbia (1.220 kg/ha/th) dan Brazil (1000 kg/ha/th). Apabila ditinjau dari arah kebijakan umum pengembangan kopi tidak terlepas dari kebijakan umum pembangunan perkebunan, yaitu memberdayakan di hulu dan memperkuat di hilir guna menciptakan peningkatan nilai tambah dan daya saing komoditi kopi, dengan memberikan intensif, penciptaan iklim usaha yang kondusif dan peningkatan partisipasi seluruh stakeholder serta penerapan organisasi modern yang

(25)

2. Daya Saing

Daya saing adalah kemampuan perusahaan, industri, daerah, negara, atau antar daerah untuk mengasilkan faktor pendapatan dan faktor pekerjaan yang relatif tinggi dan berkesinambungan untuk menghadapi persaingan internasional. Daya saing suatu komoditi dapat diukur dengan menggunakan pendekatan keunggulan komparatif dan kompetitif. Keunggulan komparatif merupakan suatu konsep yang dikembangkan oleh David Ricardo untuk menjelaskan efisiensi alokasi sumberdaya di suatu negara dalam sistem

ekonomi yang terbuka (Warr, 1992; Lembaga Penelitian IPB, 1997/1998 cit.

Saptana et al., 2006).

Menurut Simatupang (1990) maupun Sudaryanto dan Simatupang (1993), konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing (keunggulan) potensial dalam arti daya saing yang akan dicapai pada perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Aspek yang terkait dengan konsep keunggulan komparatif adalah kelayakan ekonomi, dan yang terkait dengan keunggulan kompetitif adalah kelayakan finansial dari sebuah aktivitas. Sudaryanto dan Simatupang (1993) mengemukakan bahwa konsep yang lebih cocok untuk mengukur kelayakan finansial adalah keunggulan

kompetitif atau revealed competitive advantage yang merupakan pengukur

daya saing suatu kegiatan pada kondisi perekonomian aktual (Saptana et al.,

2006).

Apabila keunggulan komparatif memberi keragaan efisiensi ekonomi pada aktivitas produksi dalam kerangka nilai lebih dukung sumber daya yang ada, maka keunggulan kompetitif memberikan keragaan keuntungan maksimum dalam kerangka nilai lebih teknologi atau perangkat kebijaksanaan pemerintah yang mampu menciptakan sistem ekonomi biaya rendah (baik

sektor produksi maupun pasar) karena rendahnya biaya transaksi (transaction

cost) (Monke dan Pearson, 1989). Sehingga komoditi yang dikembangkan

(26)

(internasional) dibandingkan jenis komoditi yang sama dari negara yang lain (Asian Development Bank, 1993 dalam Darsono, 2004).

Daya saing dalam artiannya merupakan penerapan manajeman dan teknologi yang lebih efisien, produk lebih bermutu serta jenis yang memenuhi selera dan permintaan pasar (Wahyudi, 1989). Semakin kaya atau banyak sumber daya alam sebuah negara, semain besar permintaan domestik, serta semakin banyak industri pendukung atau pelengkap di suatu negara maka seakin kuat daya siang negara tersebut ditingkat internasional (Halwani, 2002).

3. Keunggulan Komparatif dan Keunggulan Kompetitif

Suatu negara memiliki keunggulan komparatif dalam berproduksi jika opportunity cost dalam produksi lebih rendah dari harga bayangan komoditi

tersebut. Keuntungan bersih (Net Social Profitability atau NSP) adalah

indikator dari keunggulan komparatif dengan dua penyesuaian yaitu seluruh

output diasumsikan merupakan komoditi tradeable yang diekspor atau

diimpor dan seluruh biaya input dibagi menjadi biaya tradeable dan faktor

domestik (Darsono, 2004).

Keunggulan komparatif diukur menggunakan nilai ekonomi atau sosial. Komoditi yang memiliki keunggulan komparatif berarti efisien secara ekonomi. Perhitungan dengan nilai ekonomi selalu memakai harga bayangan (shadow price) yang mengambarkan nilai ekonomi dari unsur biaya maupun hasil. Keunggulan komparatif bersifat dinamis, artinya suatu negara yang memiliki keunggulan komparatif di sektor tertentu harus mampu bersaing dengan negara lain. Keunggulan komparatif bisa berubah karena faktor yang mempengaruhinya berubah, yaitu perubahan ekonomi dunia, lingkungan domestik dan teknologi.

(27)

memiliki keunggulan komparatif. Artinya, dalam kontek biaya, setiap negara akan memperoleh keuntungan jika mengeskpor barang-barang yang biaya produksinya relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara lain. Atau dapat pula diartikan produktivitas relatif yang dimiliki oleh negara tersebut dalam memproduksi barang-barang yang diekspor adalah yang paling tinggi (Basri,

1992 cit. Malik, 2003).

Suatu negara akan mempunyai keunggulan komparatif apabila suatu kemampuan untuk mendapatkan suatu barang yang dapat dihasilkan pada suatu tingkat biaya yang relatif murah daripada barang-barang lain (Darmanto, 1997). Sedangkan menurut Simatupang dan Pasandaran (1990) suatu negara mempunyai keunggulan komparatif dalam menghasilkan suatu komoditi jika biaya sosial (harga ekonominya) untuk menghasilkan suatu tambahan satu unit komoditi tersebut lebih kecil dari harga di pelabuhan (border price). Lebih lanjut dikatakan Simatupang dan Pasandaran (1990) bahwa biaya produksi dinyatakan dalam nilai ekonomi atau nilai bayangan harga produksi diukur dari pada tingkat harga di pelabuhan yang berarti juga biaya ekonomi.

Analisis keunggulan komparatif adalah analisis sosial (ekonomi) dan bukan analisis finansial (privat). Inti dari analisis keunggulan komparatif

adalah pemisahan efek penggunaan sumberdaya (input) non tradeable dalam

proses produksi dari segala jenis input asing dan unsur lain (pajak dan subsidi) yang mempengaruhi harga barang yang dihasilkan. Dari pengertian di atas maka prosedur yang harus dilakukan dalam analisis keunggulan komparatif

meliputi alokasi biaya input tradeable (diperdagangkan) dan non tradeable

(tidak diperdagangkan), alokasi biaya tradeable dan non tradeable, dan

penentuan harga bayangan untuk input dan ouput serta nilai tukar rupiah

terhadap US $ (Exchange Rate). Untuk itu harga input dan output dihitung

(28)

Apabila keunggulan komparatif memberi keragaan efisiensi ekonomi pada aktivitas produksi dalam kerangka nilai lebih dukug sumber daya yang ada, maka keunggulan kompetitif memberikan keragaan keuntungan maksimum dalam kerangka nilai lebih teknologi atau perangkat kebijaksanaan pemerintah yang mampu menciptakan sistem ekonomi biaya rendah (baik

sektor produksi maupun pasar) karena rendahnya biaya transaksi (transaction

cost) (Monke dan Pearson, 1989). Sehingga komoditi yang dikembangkan

mempunyai daya saing (competitive) pada pasar yang lebih luas

(internasional) dibandingkan jenis komoditi yang sama dari negara yang lain (Asian Development Bank, 1993 dalam Darsono, 2004).

Keunggulan kompetitif adalah kemampuan perusahaan untuk

memformulasi strategi pencapaian peluang profit melalui maksimisasi penerimaan dari investasi yang dilakukan. Sekurang-kurangnya ada dua prinsip pokok yang perlu dimiliki perusahaan untuk meraih keunggulan kompetitif yaitu adanya nilai pandang pelanggan dan keunikan produk (Mangkuprawira, 2007).

Suatu perusahaan dikatakan memiliki keunggulan kompetitif ketika perusahaan tersebut mempunyai sesuatu yang tidak dimiliki pesaing, melakukan sesuatu lebih baik dari perusahaan lain, atau mampu melakukan sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh perusahaan lain (Kuncoro, 2008).

4. Harga Bayangan

Pudjo Sumarto (1991) menyatakan bahwa harga bayangan (shadow

price) merupakan suatu harga yang nilainya tidak sama dengan harga pasar, tetapi harga barang tersebut dianggap mencerminkan nilai sosial sesungguhnya dari suatu barang dan jasa. Harga bayangan digunakan untuk menyesuaikan terhadap harga pasar dari beberapa faktor produksi atau hasil

produksi. Sedangkan Gray et al. (1992) menyatakan bahwa shadow price dari

(29)

nilai tertinggi suatu produk atau faktor produksi dalam penggunaan alternatif

terbaik. Shadow price dari suatu produk umumnya ditentukan penawaran dan

permintaan terhadap faktor produksi.

Penyebab terjadinya harga bayangan ada empat hal. Pertama, perubahan-perubahan di dalam perekonomian yang terlalu cepat, sehingga mekanisme pasar tidak sempat mengikutinya. Dengan adanya keadaan yang demikian

mengakibatkan harga tidak seimbang (disequilibrium) yang terjadi tidak

mencerminkan biaya atau hasil yang sesungguhnya. Kedua, proyek-proyek

yang terlalu besar dan tidak kelihatan (invisible), menyebabkan perubahan di

dalam harga pasar, baik untuk harga inputs maupun harga outputs, sehingga

tidak dapat diperoleh suatu harga pasar yang dapat dipakai untuk mengukur nilainya. Ketiga, unsur-unsur monopolistis di dalam pasar, adanya pajak dan subsidi, pada akhirnya menyebabkan harga pasar menyimpang dari ukuran yang sebenarnya, baik dalam hal biaya maupun hasil sosial. Keempat,

berbagai macam inputs (biaya) dan outputs (keuntungan), sehingga dengan

adanya sebab-sebab teknis, administratif ataupun sosial, maka menyebabkan tidak dapatnya dijual atau dibayar/dibeli dengan cara yang biasa. Efek-efek ekstern semacam ini memerlukan penilaian menurut harga bayangan.

Beberapa cara yang digunakan dalam praktik untuk menentukan biaya bayangan, di antaranya adalah sebagai berikut.

a. Untuk foreign exchange rate (nilai tukar luar negeri), biasanya dipakai

kurs resmi yang berlaku, yaitu kurs tukar yang ditentukan oleh pemerintah walaupun sebetulnya besarnya harga bayangan ini kadang-kadang lebih besar dari harga pasar ataupun kurs resmi.

b. Untuk barang dan jasa sering dipakai harga pasar internasional (world

(30)

c. Untuk tenaga kerja

Jika di suatu daerah terdapat banyak pengangguran (disquised

unemployments), maka dipakai harga bayangan sama dengan nol, karena

biaya opportunity untuk tenaga kerja yang menganggur atau

pengangguran tak kentara adalah nol. Untuk suatu daerah pertanian, di

mana terdapat musim buruh banyak yang menganggur (disquised) dan

terdapat juga suatu musim lain yang memerlukan tenaga kerja yang ada, maka biaya tenaga kerja harus disesuaikan dengan keadaan tersebut.

Untuk menilai tenaga unskilled labour dalam membuka lahan (misalnya

hutan) di suatu perkebunan, maka dinilai setinggi jumlah yang diperlukan

untuk memberi penghidupan mereka. Khusus untuk skilled labour, di

dalam perhitungannya seringkali digunakan suatu harga bayangan lebih besar dari upah atau gaji yang berlaku (Pudjosumarto, 2002).

5. Kebijakan Pemerintah

Hingga saat ini intervensi atau kebijakan pemerintah tetap dipraktekkan dalam perdagangan internasional khususnya oleh negara yang sedang berkembang untuk melindungi produk dalam negeri. Kebijakan pemerintah tersebut diharapkan akan mampu menstabilkan harga, peningkatan ketersediaan komoditi dalam negeri terutama pangan, peningkatan pendapatan. Kebijakan pemerintah biasanya terdapat pada harga output dan harga input produksi seperti pupuk dan pestisida.

Dalam teori perdagangan internasional dibedakan dua macam kebijakan

yaitu tariff barriers dan non-tariff barrier. Hambatan tarif adalah kebijakan

yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi harga, seperti

bea impor, pajak ekspor, dan subsidi. Hambatan non-tariff adalah kebijakan

(31)

negara, serta perkembangan dan kinerja produksi dalam negeri sendiri. Implikasi kebijakan pemerintah biasanya diterapkan pada instrumen harga output dan input (Malik, 2003).

a. Kebijakan di bidang output

Pengaruh kebijaksanaan Pemerintah pada harga output diterangkan oleh Monke dan Pearson (1989) dapat dikelompokkan ke dalam delapan tipe kebijakan subsidi dan dua tipe kebijakan perdagangan (Tabel 4).

Tabel 5. Tipe-tipe Kebijakan Harga Output Tradeable

NO Instrumen Dampak terhadap

Produsen

Sumber : Monke dan Pearson (1989) Keterangan:

S+PI = Subsidi positif kepada produsen untuk barang impor

S-PI = Subsidi negatif (pajak) kepada produsen untuk barang

impor

S+PE = Subsidi positif kepada produsen untuk barang ekspor

S-PE = Subsidi negatif (pajak) kepada produsen untuk barang

ekspor

S+CI = Subsidi positif kepada konsumen untuk barang impor

S-CI = Subsidi negatif (pajak) kepada konsumen untuk barang

impor

(32)

S-CE = Subsidi negative (pajak) kepada konsumen untuk barang ekspor

Terdapat dua instrumen kebijakan harga output yaitu kebijakan subsidi dan perdagangan. Kebijakan subsidi adalah pembayaran dari atau ke pemerintah. Bila dibayarkan kepada pemerintah disebut subsidi negatif, sebaliknya bila dibayarkan oleh pemerintah disebut subsidi positif, sehingga subsidi negatif merupakan kebalikan dari subsidi positif. Baik subsidi positif maupun negatif dimaksudkan untuk menciptakan harga domestik yang berbeda dari harga di pasar internasional untuk melindungi produsen atau konsumen dalam negeri.

Kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada ekspor atau impor suatu komoditi, dapat berupa kuota maupun pajak. Kebijakan perdagangan ekspor dilakukan untuk melindungi konsumen dalam negeri karena harga domestik yang lebih rendah daripada harga di pasar internasional. Pengenaan pajak ekspor maupun kuota ekspor dilakukan agar produsen tidak menjual seluruh produknya ke pasar internasional karena tertarik dengan harga yang lebih tinggi atau menjual produknya di dalam negeri dengan harga yang lebih tinggi sehingga merugikan konsumen. Kebijakan perdagangan impor dilakukan untuk melindungi produsen dalam negeri karena harga di pasar internasional lebih rendah dari harga domestik. Pengenaan tarif impor maupun kuota impor dilakukan agar produk impor yang dijual di dalam negeri menjadi lebih mahal sehingga produk domestik tetap dapat bersaing dengan produk dalam dalam negeri sehingga dengan sendirinya akan menguntungkan produsen domestik.

b. Kebijakan di Bidang Input Tradeable

(33)

input tradeable yang digunakan, dengan adanya pajak menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga pada tingkat harga output yang sama, output dalam negeri turun dari Q1 ke Q2 dan kurva penawaran bergeser keatas. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah ABC, merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang (Q1CAQ2) dengan biaya produksi dari output (Q2BCQ1).

Gambar 1. Pengaruh Pajak pada Input Tradeable

Keterangan Pw = Harga Pasar Dunia Sumber : Monke & Pearson (1989)

Q1 Q2

S S’

Pw P’

Q

P

C A B

(34)

Gambar 2. Pengaruh Subsidi Input Tradeable Keterangan

Pw = Harga Pasar Dunia Sumber : Monke & Pearson (1989)

Gambar 2. menunjukkan dampak subsidi pada input tradeable.

Dampak subsidi input menyebabkan harga input lebih rendah dan biaya produksi lebih rendah sehingga kurva penawaran bergeser kekanan bawah dan produksi naik dari Q1 ke Q2. Efisiensi ekonomi yang hilang dari produksi sebesar ABC, yaitu perbedaan antara biaya produksi yang bertambah karena peningkatan output dengan peningkatan nilai input.

6. Policy Analysis Matrix (PAM)

Untuk dapat mengetahui apakah suatu komoditi perdagangan memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif serta mengetahui bagaimana dampak dari suatu pemberlakuan kebijakan pemerintah dapat

dilakukan dengan menggunakan model Policy Analysis Matrix (PAM)

(Siregar et al., 1999). Pendekatan Policy Analysis Matrix (PAM)

dikemukakan oleh Monke dan Pearson (1989) merupakan sistem analisis yang memasukkan berbagai kebijakan yang mempengaruhi penerimaan dan biaya produksi pertanian. Suatu matriks yang disusun dengan memasukkan komponen-komponen utamanya penerimaan, biaya dan keuntungan. PAM dapat disusun untuk mempelajari masing-masing system produksi pertanian

(35)

dengan menggunakan data usahatani, pemasaran dari petani ke pengolah, pengolahan dan pemasaran dari pengolah ke pedagang. Selanjutnya, dapat ditaksir dampak kebijakan komoditi dan ekonomi makro dengan cara membandingkan dengan tanpa ada kebijakan (Wahyudi, 1989).

Pada Policy Analysis Matrix (PAM), penerimaan, biaya dan keuntungan

dikelompokkan berdasar harga privat dan harga sosial. Harga privat adalah harga yang benar-benar diterima oleh produsen. Sementara harga sosial adalah harga yang berlaku jika pasar dalam keadaan persaingan sempurna. Selisih antara harga privat dengan harga sosial adalah angka transfer yang digunakan untuk mengukur dampak dari kebijakan pemerintah (Wahyudi, 1989).

Tabel 6. Policy Analysis Matrix (PAM)

Penerimaan Biaya Input Keuntungan

Tradeable Domestik

Privat A B C D

Sosial E F G H

Divergensi I J K L

Sumber: Monke and Pearson (1989)

Keterangan

-Keuntungan finansial/privat (D=A-B-C)

-Keuntungan ekonomis/sosial (H=E-F-C)

-Output transfer (I=A-E) -Input transfer (J=B-F) -Factor transfer (K=C-G)

-Net transfer (L=D- H atau L=I-J-K) -Private cost ratio (PCR): C/(A – B)

-Domestic resource cost ratio (DRC): G/(E – F)

(36)

-Nominal protection coefficient on tradeable inputs (NPCI): B/F -Effective protection coefficient (EPC): (A– B)/(E – F)

-Koefisien profitabilitas (PC): (A–B–C)/(E–F–G)or D/H -Rasio subsidi untuk produsen (SRP): L/E or (D –H)/E

PAM terdiri dari dua set perhitungan. Pertama, perhitungan profitabilitas (kemampuan menciptakan keuntungan) usaha tani atau pemanfaatan sumberdaya alam; seperti tergambar secara horizontal, di mana tingkat keuntungan dapat dilihat pada kolom paling kanan yang merupakan selisih dari penerimaan (kolom paling kiri) dan pengeluaran/biaya (kolom-kolom di tengah). Ada dua perhitungan profitabilitas, yaitu profitabilitas finansial atau

privat dan profitabilitas ekonomis atau sosial. Profitabilitas finansial atau

profitabilitas privat yang mengacu pada penerimaan dan pengeluaran aktual,

menunjukkan daya saing dari suatu sistem usaha tani pada tingkat teknologi dan dalam lingkungan kebijakan tertentu. Sedangkan profitabilias ekonomis/sosial, seperti terlihat di baris kedua adalah perhitungan untung-rugi dengan menggunakan harga-harga ekonomis/sosial yang mencerminkan keunggulan komparatif atau tingkat effisiensi dari suatu sistem usaha tani atau

penggunaan lahan. Nilai hasil usaha tani atau output (E) dan nilai asupan

pertanian (F), mengacu pada harga-harga internasional (dalam hal ini harga c.i.f untuk barang dan jasa yang diimpor, dan harga f.o.b untuk barang dan jasa yang diekspor) yang sudah terbebas dari berbagai kebijakan perdagangan seperti pajak, subsidi dan tarif. Nilai faktor domestik (G) berupa modal, tenaga kerja dan lahan yang digunakan dalam suatu sistem usaha tani/penggunaan lahan, didekati dengan menduga nilai pengorbanan atas penggunaan sumberdaya tersebut.

Kedua, effect of divergence, yaitu selisih antara hasil perhitungan dengan

(37)

effect of divergences terlihat pada baris ketiga dalam Tabel 4. Meskipun baris ketiga ini hanya melihat selisih antara perhitungan profitabilitas finansial dan perhitungan ekonomis atas penerimaan, biaya dan keuntungan, baris ini merupakan inti dari pendekatan PAM. Setiap perbedaan yang muncul, yaitu selisih hasil perhitungan harga finansial dan harga ekonomisnya, memberikan indikasi adanya dampak kebijakan atau kegagalan pasar dalam satu sistem ekonomi (Budidarsono dan Kusuma, 2003).

Untuk mengukur dan menentukan keunggulan komparatif suatu komoditi yang diproduksi di suatu daerah dan diperdagangkan digunakan alat analisis Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) atau Nisbah Biaya Sumberdaya

Domestik. Domestic Resource Cost (DRC), sebagai indikator untuk mengukur

atau menentukan keung-gulan komparatif dari suatu komoditi yang diproduksi dan diperdagangkan. DRC adalah analisis rasio antara biaya sumberdaya domestik dan nilai tambah yang diperoleh berdasarkan harga sosial.

Jika nilai DRC < 1 maka dapat disimpulkan bahwa komoditi yang dikembangkan memiliki keunggulan komparatif, artinya sumberdaya domestik yang harus dikorbankan untuk menghemat atau memperoleh devisa dari kegiatan tersebut lebih kecil dari sumberdaya domestik yang tersedia dikorbankan oleh sistem ekonomi wilayah secara keseluruhan. Sehingga apabila nilai DRC/SER semakin mendekati nol menunjukkan keunggulan komparatif yang tinggi, oleh karena itu daerah yang memiliki nilai DRC/SER lebih kecil dibandingkan dengan daerah lain artinya komoditi yang dikembangkan lebih mempunyai keunggulan komparatif di daerah tersebut atau efisien menghadapi persaingan pemasaran komoditi serupa di pasaran internasional.Sebaliknya, jika nilai DRC > 1 maka komoditi yang dikembangkan tersebut tidak memiliki keunggulan komparatif (Bautista, et.al, 1979 dalam Nurifah dkk., 2008).

Analog dengan konsep DRCR, maka Privat Cost Ratio (PCR) dapat

(38)

kompetitif dalam hal ini adalah biaya imbangan privat yang dikeluarkan guna memperoleh satu unit devisa US$. Dalam hal ini semua biaya dan penerimaan

dihitung berdasarkan harga yang berlaku (prevailing price)

(Nurifah dkk., 2008).

Campur tangan pemerintah dapat terlihat dari besarnya Output Transfer

(OT) yang menunjukkan besarnya perbedaan penerimaan usahatani yang benar-benar diterima oleh petani dengan penerimaan yang menggunakan harga sosial. Jika nilai output transfer > 0 mengandung arti produsen menerima harga riil yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga

bayangannya. Sedangkan Nominal Protection Coefficient Output (NPCO)

atau koefisien proteksi nominal efektif merupakan rasio antara penerimaan yang dihitung berdasarkan harga privat dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial. NPCO digunakan untuk melihat apakah suatu komoditi diproteksi atau tidak. Bila nilai NPCO < 1 berarti konsumen dan produsen dalam negeri menerima harga yang lebih murah dari harga yang sesungguhnya.

Dalam analisis Policy Analysis Matrix, dampak kebijakan pemerintah

terhadap faktor domestik dapat dilihat dari besarnya nilai Factor Transfer

(FT) sedangkan terhadap input tradeable dapat dilihat dari besarnya nilai

Transfer Input (TI). Besarnya dampak kebijakan pemerintah dalam hal input

dapat diketahui dari nilai Nominal Protection Coefficient Input (NPCI).

Dampak kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input tradeable dapat

dilihat dari kebijakan perdagangan, subsidi dan pajak.

Nominal Protection Coefficient Input atau Koefisien Proteksi Nominal

Input merupakan rasio dari biaya input tradeable pada harga privat dan harga

sosial. Nilai Nominal Protection Coefficient Input > 1 menunjukkan adanya

proteksi untuk produsen input non tradeable sehingga penggunaan input

(39)

terdapat subsidi input yang berarti mendorong produsen di dalam negeri untuk menggunakan input tersebut.

Selain input tradeable, petani juga menggunakan input non tradeable

yang tidak diperdagangkan di pasar dunia. Besaran yang menunjukkan perbedaan antara harga sosial dengan harga sesungguhnya yang diterima

produsen untuk pembayaran faktor produksi yang non tradeable disebut

transfer factor. Nilai input transfer merupakan selisih antara biaya input tradeable pada harga privat dan sosial. Nilai input transfer bisa bertanda

negatif dan bisa positif. Jika nilai input transfer bertanda positif (>1)

mempunyai arti terdapat kebijakan pemerintah atau distorsi pasar pada input tradeable yang merugikan pelaku usahatani karena membuat harga input tradeable menjadi lebih mahal. Jika input transfer negatif, artinya petani menerima manfaat dari kebijakan pemerintah atau distorsi pasar pada input tradeable yang menguntungkan produsen.

Kebijakan pemerintah dibidang input dan output dapat dilihat dari Net

Transfer (NT) atau Transfer Bersih, Profitability Coefficient (PC) atau

Koefisien keuntungan, Effective Protection Coefficient (EPC) atau Koefisien

proteksi efektif dan Subsidies Ratio to Producent (SRP) atau Rasio Subsidi

Produsen. Nilai Net Transfer merupakan selisih dari keuntungan bersih privat

dengan keuntungan bersih sosial. Apabila nilai Net Transfer <0 (negatif)

menunjukkan tidak ada insentif ekonomi untuk meningkatkan produksi dan

apabila Net Transfer >0 (positif) mencerminkan tambahan surplus produsen

sebagai konsekuensi kebijakan pemerintah.

Analisis Effective Protection Coefficient (EPC) merupakan gabungan

antara Nominal Protection Coefficient Output dengan Nominal Protection

Coefficient Input. Effective Protection Coefficient menggambarkan sampai sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat

produksi domestik secara efektif. Profitability Coefficient (PC) merupakan

(40)

menunjukkan pengaruh dari kebijakan yang menyebabkan keuntungan privat

berbeda dengan keuntungan sosial. Nilai Profitability Coefficient >1

mengandung arti bahwa keuntungan yang diterima petani lebih besar dari keuntungan yang akan diterima apabila tidak ada campur tangan pemerintah dan sebaliknya jika nilai Profitability Coefficient <1.

Effective Protection Coefficient (EPC) adalah rasio penerimaan privat

dikurangi biaya tradeable privat dengan penerimaan sosial dikurangi biaya

tradeable sosial. Nilai Effective Protection Coefficient >1 berarti terdapat

insentif kebijakan pemerintah untuk berproduksi, apabila nilai Effective

Protection Coefficient <1 kebijakan pemerintah menimbulkan hambatan untuk berproduksi dan kalau EPC=1 kebijakan pemerintah tidak menimbulkan

isentif pemerintah. Subsidies Ratio to Producer (SRP) merupakan persentase

rasio antara transfer bersih dengan penerimaan sosial (L/E). Rasio ini menunjukkan proporsi transfer terhadap nilai output kebijakan pemerintah atau penambahan/pengurangan penerimaan karena adanya kebijakan pemerintah (Nutrisia, 2004).

C. Kerangka Teori Pendekatan Masalah/ Kerangka Berpikir

Dalam era globalisasi perdagangan dan investasi saat ini, keberadaan komoditi kopi Indonesia di pasar dunia harus bersaing dengan komoditi sejenis asal dengara lain, baik di pasar internasional maupun di pasar domestik. Persaingan tersebut dapat mengancam keberlanjutan pengembangan komoditi kopi di Indonesia yang pada gilrannya akan menghambat laju pertumbuhan produksi dan ekspor, serta mempengaruhi kesejahteraan ekonomi petani kopi di Indonesia.

(41)

unsur biaya sosial sekaligus menggambarkan nilai kelangkaan yang sebenarnya, sehingga dicapai keunggulan komparatif. Kedua, bagaimana perangkat kebijakan (produksi dan pasar) atas komoditi tersebut dapat menurunkan biaya ekonomi yang paling rendah tercermin dari ssitem produksi dan pasar yang efisien sehingga akan dicapai keunggulan kompetitif (Darsono, 1999). Untuk dapat mengetahui apakah suatu komoditi perdagangan memiliki keunggulan kompettitif dan keunggulan komparatif serta mengetahui bagaimana dampak dari suatu pemberlakuan kebijakan pemerintah dapat dilakukan dengan menggunakan

model Policy Analysis Matrix (PAM) (Siregar et al., 1999).

Didalam melakukan analisis PAM ini terdapat empat langkah yaitu: (1)

Melakukan pemilahan input kedalam komponen tradeable dan non tradeable, (2)

melakukan penetapan harga privat dan harga sosial dari komponen tradeable dan

non tradeable, (3) dengan dasar (1) dan (2) tersebut dibuat analisis ouput dan input berdasarkan harga sosial, dan (4) seperti hal (3) tetapi dilakukan dari matrik

PAM. Pemilahan input ke dalam komponen tradeable dan non tradeable

dilakukan dengan pendekatan keseluruhan (Nutrisia, 2004).

Setiap matrik mempunyai empat kolom yaitu kolom pertama adalah penerimaan, kolom kedua adalah kolom biaya input yang dapat diperdagangkan (tradeable input), kolom ketiga adalah kolom biaya non tradeable atau faktor

domestik (domestic factor) atau input domestik. Input yang dipergunakan dalam

usahatani seperti bibit, pestisida, pupuk, tenaga kerja, peralatan, tanah dan input

lainnya, dipisahkan menjadi input yang dapat diperdagangkan (tradeable input)

dan yang tidak dapat diperdagangkan atau non tradeable (domestic factor).

(42)

Dalam PAM, input yang digunakan dalam proses produksi dipisahkan

menjadi tradeable goods dan domestic goods. Input kategori pertama adalah

input yang dapat diperdagangkan di pasar internasional sementara input kategori kedua adalah input yang tidak dapat diperdagangkan di pasar internasional. Monke and Pearson (1989) mengemukakan bahwa terdapat dua pendekatan untuk memisahkan biaya kedalam komponen asing dan domestik yaitu

pendekatan total (total approach) dan pendekatan langsung (direct approach).

Pada pendekatan total, biaya suatu input dipecah ke dalam komponen asing dan komponen domestik sedangkan dalam pendekatan langsung, semua biaya input tradeable (input atau domestik) diperlakukan sebagai komponen biaya asing. Pendekatan total lebih digunakan untuk mengevaluasi dampak kebijakan proteksi pemerintah, sedangkan pendekatan langsung lebih baik digunakan apabila

harga-harga input tradeable (impor atau domestik) dipengaruhi oleh perdagangan

internasional. Saat ini kebijakan pemerintah terhadap output dan input tidak lagi menonjol seperti pada masa lalu sebagai persiapan menyambut era perdagangan bebas sehingga analisis dalam penelitian ini menggunakan penelitian langsung.

(43)

Dalam PAM, keunggulan komparatif dinyatakan dalam DRCR. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik merupakan rasio antara biaya domestik yang dihitung

dengan harga sosial dengan nilai tambah output dari biaya input tradeable,

menunjukkan indikator kemampuan aktivitas membiayai biaya faktor domestik

pada harga sosial. Dimana semua dinilai dengan harga bayangan (shadow price).

Bila nilai DRCR<1 maka aktivitas ekonomi dikatakan efisien secara ekonomi dalam pemanfaatan sumber daya domestik untuk menghemat satu satuan devisa sehingga aktivitas tersebut memiliki keunggulan komparatif. Tetapi bila nilai DRCR > 1 maka pemenuhan kebutuhan domestik akan lebih menguntungkan jika diimpor.

Dalam PAM, dampak kebijakan pemerintah dinyatakan dalam bentuk selisih atau rasio antar anilai privat (finansial) dengan nilai sosial (ekonomi). Kriteria yang berbentuk selisih dinyatakan dalam OT, IT, FT dan NT. Transfer Output (OT) yaitu selisih antara penerimaan yang dihitung berdasarkan harga privat dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial. Nilai OT > 0 artinya konsumen membeli dan produsen menerima dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya, sebaliknya bila OT < 0 berarti ada transfer dari produsen kepada masyarakat, maka masyarakat membeli atau produsen menerima dengan harga yang lebih rendah dari yang seharusnya.

Transfer input (IT) adalah selisih antara biaya input tradeable pada harga

privat dengan biaya input non tradeable pada harga sosial. Nilai IT menunjukkan

adanya kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input tradeable. Nilai IT > 0

artinya besarnya transfer dari produsen kepada pemerintah melalui penerapan kebijakan impor. untuk nilai IT < 0 menunjukkan terdapat kebijakan pemerintah

atau distorsi pasar pada input tradeable yang menguntungkan produsen.

Nilai transfer faktor (FT) merupakan perbedaan harga antara harga privat

dan harga sosial yang diterima produsen untuk pembayaran input non tradeable.

Nilai ini menunjukkan adanya kebijakan pemerintah pada input tradeable

(44)

melindungi produsen dengan pemberian subsidi. Transfer bersih (NT) menunjukkan adanya insentif ekonomi bagi petani. Transfer Bersih dapat

dihitung dengan rumus L = D – H = I – J – K. Bila NT < 0 menunjukkan tidak

lagi ada insentif ekonomi untuk meningkatkan produksi bagi petani.

Criteria dalam bentuk rasio dinyatakan dalam NPCO, NPCI, EPC, PC dan SRP. Koefisien Proteksi Nominal Output (NCPO) merupakan rasio antara penerimaan yang dihitung berdasar harga privat dengan penerimaan yang dihitung secara harga sosial yang merupakan indikator dari transfer output. Jika

nilai NPCO > 1 berarti terdapat distorsi pasar atau kebijakan pemerintah yang

menyebabkan harga privat lebih besar dari harga sosial. Dengan kata lain ada kebijakan pemerintah yang menghambat masuknya barang impor.

Koefisien Proteksi Nominal Input (NPCI) merupakan rasio dari biaya input tradeable pada harga privat dan sosial. Nilai NPCI >1 menunjukkan adanya proteksi untuk produsen input domestik, sehingga pengguna input tersebut dirugikan karena harganya jadi tinggi. Nilai NPCI < 1 menunjukkan terdapatnya hambatan ekspor input atau terdapat subsidi input, yang berarti mendorong produsen di dalam negeri untuk menggunakan input tersebut. Sedangkan Koefisien Proteksi Efektif (EPC) merupakan indikator untuk mengetahui apakah suatu sektor produksi dilindungi atau tidak oleh kebijakan pemerintah. Nilai EPC > 1 berarti terdapat insentif kebijakan pemerintah untuk berproduksi. Nilai EPC = 1 berarti kebijakan tidak menimbulkan insentif produksi dan nilai EPC < 1 berarti kebijakan pemerintah menimbulkan hambatan untuk berproduksi.

(45)

yang diperlukan apabila subsidi yang digunakan sebagai satu-satunya kebijakan untuk menggantikan seluruh kebijakan komoditi dan ekonomi makro. Apabila nilai SRP negatif artinya kebijakan pemerintah menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi lebih besar dari biaya imbangannya, sebaliknya bila SRP positif artinya produsen mengeluarkan biaya produksi lebih kecil dari biaya imbangannya.

Keuntungan dibagi menjadi PP dan SP. Keuntungan privat (PP) dapat dihitung dengan rumus D = A – B – C. Keuntungan privat diperoleh dengan

mengurangkan penerimaan atas dasar harga privat dengan biaya input (tradeable

dan domestik) yang dihitung atas dasar harga privat. Suatu aktivitas ekonomi usahatani masih layak dijalankan jika keuntungan privat yang diperoleh positif atau sekurang-kurangnya sama dengan nol. Keuntungan sosial (SP) dapat dihitung dengan rumus H = E – F - G. Keuntungan sosialt diperoleh dengan

mengurangkan penerimaan atas dasar harga sosial dengan biaya input (tradeable

Gambar

Tabel 1.  Perkembangan Ekspor Kopi Indonesia Tahun 2005 - 2009
Tabel 2. Kinerja Produksi dan Ekspor Kopi pada PT Perkebunan Nusantara
Tabel 4. Luas areal, Produksi dan Produktivitas Kopi PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) Kebun Getas/Assinan Kabupaten Semarang Tahun 2005 - 2009
Tabel 5. Tipe-tipe Kebijakan Harga Output Tradeable
+7

Referensi

Dokumen terkait

Heiradhika Ghora Dwinata. PENGARUH RASIO ANTROPOMETRIK DAN KETINGGIAN BOKS DALAM LATIHAN DEPTH JUMP TERHADAP POWER OTOT TUNGKAI PADA PESERTA EKSTRAKURIKULER BOLA BASKET DI

Skripsi dengan judul “Hubungan Keaktifan Mengikuti Layanan Bimbingan Kelompok dengan Kemampuan Berkomunikasi Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 01 Bunut Kabupaten

Objek rancang juga menggunakan pendekatan perwujudan bentuk dengan konsep eksplorasi tektonika yang diaplikasikan terhadap bangunan dimana tektonika bangunan ini dapat

13 Saya selalu merasa kurang nyaman dengan kekurangan yang ada dalam tubuh saya.. 14 Saya merasa kurang percaya diri dengan keadaan

Rasio pengembangan (swelling) dari hidrogel metilselulosa SM-100 disajikan pada Gambar 2. Terlihat bahwa untuk semua konsentrasi, tidak ditemukan adanya rasio pengembangan pada

Repetisi maksimal adalah kekuatan suatu kelompok otot untuk melakukan gerakan dengan beban dan repetisi maksimal yang dapat diangkat oleh sekelompok otot dan dimasukan

Menanya merupakan kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk