1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan yang
mendasar bagi manusia. World Health Organization (WHO)
mendefenisikan bahwa sehat adalah keadaan yang ideal atau
sejaterah seseorang secara fisik, mental maupun sosial. Dari
defenisi sehat tersebut, maka manusia selalu dipandang
sebagai satu kesatuan yang utuh (holistik), meliputi beberapa
aspek, salah satunya adalah aspek psikologis yang
berhubungan dengan kesehatan jiwa. Kesehatan jiwa
merupakan bagian dari kesehatan secara konferhensif, tidak
hanya sembuh dari gangguan jiwa, tetapi kebutuhan sehat dan
juga kebutuhan perasaan senang dan bahagia dapat terpenuhi.
Kesehatan jiwa merupakan perasaan sehat dan
bahagia serta mampu mengatasi masalah kehidupan,
mempunyai sikap yang positif pada diri sendiri maupun orang
lain, serta mampu menerima orang lain apa adanya. Kesehatan
jiwa tidak hanya jiwa yang sehat berada dalam tubuh yang
sehat tetapi juga merupakan satu keadaan yang berhubungan
dengan eksistensi manusia. Secara medis kesehatan jiwa
2
perkembangan fisik, emosional dan intelektual secara optimal
pada diri seseorang dan perkembangan tersebut sejalan
dengan keadaan orang lain yang disampaikan Menteri
Kesehatan 2006 dalam Febriani (2008).
Menurut Hawari (2001) yang mengutip pendapat
Mardjono (1992) dan Setyonogoro (1980) bahwa gangguan
jiwa (mental disorder) merupakan salah satu dari empat
masalah kesehatan utama di negara-negara maju, modern dan
industri. Keempat masalah kesehatan utama tersebut adalah
penyakit degeneratif, kanker, gangguan jiwa dan kecelakaan.
Meskipun gangguan jiwa bukan merupakan masalah kesehatan
yang menyebabkan kematian secara langsung atau cepat
namun individu dengan gangguan tersebut dapat
mengahambat pembangunan karena mereka tidak produktif
Gangguan jiwa merupakan keadaan yang tidak stabil
antara proses berfikir dengan tingkah laku yang dilakukan di
mana individu tidak lagi mampu mengontrol diri dan tidak
mampu menyesuaikan diri dengan orang lain, masyarakat
maupun lingkungan sekitar. Seseorang yang menderita
gangguan jiwa mengalami ketidakmampuan berfungsi secara
optimal dalam kehidupan sehari-harinya (Hawari, 2001).Setiap
saat 450 juta orang diseluruh dunia terkena dampak
3
Masalah kesehatan jiwa atau gangguan jiwa merupakan
salah satu masalah kesehatan yang serius di masyarakat
Indonesia. Gangguan jiwa dapat menyerang laki-laki maupun
perempuan dengan semua usia. Data WHO tahun 2006
mengungkapkan bahwa 26 juta penduduk Indonesia
mengalami gangguan jiwa dan terdapat 12-16 % yang
mengalami gangguan jiwa serius. Riset Kesehatan Dasar
(Rikesdas) tahun 2007 menyatakan bahwa 14,1 % penduduk
Indonesia mengalami masalah gangguan jiwa dari yang ringan
hingga yang berat. Berdasarkan data yang diperoleh pasien
dengan gangguan jiwa terus bertambah. Departemen
kesehatan Indonesia menyatakan bahwa 2,5 juta orang di
Indonesia mengalami gangguan jiwa. Pada tahun 2009 Pandu
Setiawan, pendiri jejaring komunikasi kesehatn jiwa di
Indonesia mengungkapkan bahwa 1 diantara 4 orang di
Indonesia mengalami gangguan jiwa. Data Rumah Sakit Jiwa
Dr. Amino Gondohutomo Semarang periode Januari – Mei
2014 terdapat 776 pasien gangguan jiwa yang dirawat inap
dengan status relaps. Arie (2011) mengungkapkan bahwa
30-50 % pasien yang berobat di sarana pelayanan kesehatan
umum ternyata memiliki gangguan atau masalah dengan
kejiwaanya, oleh karena itu diperlukan suatu intervensi untuk
4
Berbagai macam penyebab terjadinya gangguan jiwa
tergantung pada cara individu merespon masalahnya. Secara
umum, gangguan jiwa yang terjadi disebabkan karena adanya
tekanan psikis dari dalam maupun dari luar diri individu. Hawari
(2001) menjelaskan bahwa penyebab terjadinya gangguan jiwa
adalah kurangnya pengetahuan keluarga dan masyarakat pada
gangguan jiwa yang dialami penderita, mereka menganggap
gangguan jiwa penyakit yang memalukan dan membawa aib
bagi keluarga, individu dengan gangguan jiwa tidak bisa
sembuh. Hingga sekarang penanganan masalah gangguan
jiwa belum memuaskan, ini disebabkan karena ketidaktahuan
keluarga maupun masyarakat tentang jenis gangguan jiwa. Di
Indonesia pengetahuan seseorang dipengaruhi erat oleh kultur
dan budaya, seseorang dengan gangguan jiwa sering dianggap
terkena guna-guna, atau karma dari suatu dosa yang
dilakukannya (Irma, 2010).
Hampir 80% penderita gangguan jiwa mengalami relaps
berulang kali, ini disebabkan karena keluarga hanya
menyerahkan sepenuhnya untuk perawatan rumah sakit
dengan mengandalkan tenaga medis dan obat-obatan anti
psikotik tanpa pengetahuan pentingnya peran keluarga
terhadap proses kesembuhan penderita gangguan jiwa (Davis,
5
relaps adalah penderita yang berasal dari keluarga yang tidak
memberikan kebebasan untuk penderita, dan mensituasikan
penderita seolah-olah dalam keadaan sakit, dan tidak adanya
kepercayaan yang diberikan keluarga pada penderita (Tomb,
2004).
Salah satu faktor penting dalam proses penyembuhan
dan pencegahan penderita gangguan jiwa adalah keluarga,
keluarga harus mampu mengenali gangguan jiwa yang dialami
oleh pederita serta coping mechanism yang diterapkan.
Terdapat banyak penderita yang jarang dikunjungi oleh
keluarganya, atau bahkan ada yang datang hanya untuk
mengurus administasi penderita. Akibatnya, keluarga tidak
mempunyai pengetahuan tentang masalah gangguan jiwa
yang dialami dan cara penangannya (Keliat,1996). Keluarga
merupakan kelompok yang paling dekat dengan penderita dan
merupakan “perawat utama” bagi penderita. Keluarga bertugas
dalam menentukan cara atau perawatan yang diperlukan oleh
penderita dirumah. Terapi di rumah sakit akan menjadi tidak
berguna jika tidak ada bantuan dari keluarga (Salsabila, 2008).
untuk meneruskan perawatan yang pada akhirnya penderita
harus dirawat lagi atau relaps. Berdasarkan beberapa hasil
penelitian sebelumnnya menunjukan bahwa faktor penyebab
6
perilaku penderita. Penelitian yang dilakukan oleh Widjayanti
(2008) mengenai harga diri klien gangguan jiwa di RS Grhasia
Yogyakarta menunjukkan ada hubungan yang signifikan
(p=0,004) antara dukungan keluarga dengan harga diri klien
gangguan jiwa di rumah sakit ini. Penelitian yang dilakukan
oleh Abidin (2007) mengenai kekambuhan pada gangguan
skizofrenia hebefrenik pasca RSJ di Malang juga menunjukkan
ada hubungan yang signifikan (p=0,000) antara dukungan
keluarga dengan kekambuhan pada gangguan skizofrenia
hebefrenik pasca RSJ. Penelitian yang dilakukan oleh
Nurdiana, dkk (2007) mengenai tingkat kekambuhan pasien
gangguan jiwa di RS.Dr. Moch Ansyari Saleh Banjarmasin
menunjukkan ada hubungan antara peran serta keluarga
terhadap tingkat kekambuhan pasien gangguan jiwa.
Dari hasil pengamatan peneliti selama melangsungkan
praktek klinik di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr.Amino
Gondohutomo Semarang di ruangan Ongko Wijoyo pada
bulan September 2013 diketahui bahwa terdapat 13 penderita
gangguan jiwa yang dirawat dan 9 diantaranya merupakan
penderita dengan status rawat kembali atau relaps. Fenomena
yang terjadi adalah banyak penderita gangguan jiwa yang
kembali dirawat dengan keluarga yang kurang pengetahuan
7
penderita gangguan status relaps di ruang Ongko Wijoyo
mengatakan kalau sudah kewalahan dan tidak tahu cara
menghadapi penderita di rumah, oleh sebab itu langsung
dibawa ke rumah sakit untuk dirawat kembali, salah satu
penderita juga mengatakan tidak ingin lagi pulang ke rumah
karena keluarga terlalu protect yang berlebihan dan tidak ada
kebebasan bagi penderita, itu sebabnya penderita memilih
untuk tinggal di rumah sakit.
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis
merasa tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang
korelasi pengetahuan keluarga terhadap kejadian relaps
gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr.Amino
Gondohutomo Semarang.
1.2 Identifikasi masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka ada
beberapa masalah yang ditemukan, permasalahan tersebut
yaitu pasien relaps gangguan jiwa sebanyak 776 pasien
periode Januari - Mei 2014 di RSJD Dr. Amino Gondohutomo
Semarang. Pasien gangguan jiwa yang kembali dirawat atau
relaps dipengaruhi oleh faktor keluarga yaitu pengetahuan
keluarga tentang cara merawat pasien. Hal tersebut didukung
8
karena keluarga tidak memahami pentingnya peran keluarga
dalam mencegah kekambuhan.
1.3 Batasan masalah
Masalah penelitian perlu dibatasi agar penelitian lebih
terfokus dan diharapkan dapat menjawab permasalahan
penelitian dengan batasan masalah sebagai berikut : 1.
pengetahuan keluarga terhadap relaps pasien gangguan jiwa.
2. Cara perawatan dan coping mechanism pasien gangguan
jiwa. 3. Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga pasien
gangguan jiwa yang berstatus rawat kembali atau relaps. 4.
Penelitian ini dilaksanakan di rumah sakit jiwa daerah Dr.Amino
Gondohutomo Semarang.
1.4 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada korelasi
pengetahuan keluarga terhadap relaps pasien gangguan jiwa di
9 1.5 Tujuan penelitian
a. Tujuan umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk
memahami korelasi pengetahuan keluarga terhadap relaps
pasien gangguan jiwa di Rumah sakit jiwa daerah
Dr.Amino Gondohutomo Semarang.
b. Tujuan khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk
1. Memahami karakteristik responden (Jenis
kalamin,umur,status hubungan,pendidikan dan
pekerjaan) di RSJD.Dr.Amino Gondohutomo
2. Mengetahui tingkat pengetahuan keluarga
terhadap relaps pasien gangguan jiwa di
RSJD.Dr.Amino Gondohutomo
3. Mengetahui kejadian relaps pasien gangguan
jiwa di RSJD.Dr.Amino Gondohutomo
4. Mengetahui dan memahami korelasi antara
pengetahuan keluarga dengan pasien gangguan
10 1.6 Manfaat Penelitian
a. Pendidikan Keperawatan
Secara akademis dapat menambah wawasan
keilmuan, khususnya dalam bidang keperawatan jiwa dalam
masyarakat.
b. Keluarga
Memberi masukan kepada keluarga tentang
pentingnya pengetahuan dan cara penanganan penderita
gangguan jiwa, guna proses pemulihan maupun
pencegahan relaps.
c. Peneliti
Diharapakan dapat menjadi pengalaman belajar
mengenai gangguan jiwa dan pencegahan relaps serta
meningkatkan pengetahuan peneliti khususnya dalam