• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN EKSPRESI NF-KB PADA ASTROSITOMA DENGAN SISTEM KLASIFIKASI WHO DAN LUARAN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN EKSPRESI NF-KB PADA ASTROSITOMA DENGAN SISTEM KLASIFIKASI WHO DAN LUARAN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2015"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

Tesis

Program Pendidikan Magister Bedah

Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

HUBUNGAN EKSPRESI NF-

K

B PADA ASTROSITOMA DENGAN SISTEM KLASIFIKASI WHO DAN LUARAN

DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2015

Oleh :

KHAIRUL MUHAJIR NIM : 127041030

Departemen Ilmu Bedah Saraf

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan

2016

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Hubungan Ekspresi NF-KB pada astrositoma dengan sistem klasifikasi WHO dan Luaran di RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2015.

Peneliti : Khairul Muhajir

NIM : 127041030

Program Studi : Ilmu Bedah Saraf Hari/ Tanggal :

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Dr. dr. Rr. Suzy Indharty, Mkes, SpBS dr. Andre M. P. Siahaan, Mked, SpBS NIP. 1973 0220 2005 012000 NIP. 1986 1128 2012 121004

Mengetahui / mengesahkan :

Ketua Departemen Ilmu Bedah Saraf Ketua Program Studi Ilmu Bedah Saraf FK. USU / RSUP. HAM Medan FK. USU / RSUP. HAM Medan

Prof. Dr. dr. Iskandar Japardi, SpBS(K)

NIP. 1949 0331 1977 111001 NIP. 1944 0507 1977 031001

Prof.dr. Abd. Gofar Sastrodiningrat, SpBS(K)

Tanggal disahkan :

Sudah diperiksa hasil penelitian :

(3)

JudulPenelitian : Hubungan Ekspresi NF-KB pada astrositoma dengan sistem klasifikasi WHO dan Luaran di RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2015.

Peneliti : Khairul Muhajir

NIM : 127041030

Program Studi : Ilmu Bedah Saraf

Institusi : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Medan, 2016

Konsultan Metodologi Penelitian

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

NIP. 19690609 199903 2 001 ( Dr. dr. Arlinda Sari Wahyuni, MKes. )

PERNYATAAN

(4)

HUBUNGAN EKSPRESI NF-KB PADA ASTROSITOMA DENGAN SISTEM KLASIFIKASI WHO DAN LUARAN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TAHUN 2015

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, November 2016

Khairul Muhajir

JudulPenelitian : Hubungan Ekspresi NF-KB pada astrositoma dengan sistem klasifikasi WHO dan Luaran di RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2015.

Peneliti : Khairul Muhajir

NIM : 127041030

(5)

Institusi : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Menyutujui

Komisi Pembimbing

Pembimbing 1

Dr. dr. Rr. Suzy Indharty, Mkes, SpBS

Pembimbing 2

dr. Andre M. P. Siahaan, Mked, SpBS

Program Magister Kedokteran Klinik

Sekretaris Program Studi Dekan

dr. Murniati Manik, M.Sc, Sp.KK, Sp.GK

NIP. 19530719 198003 2 001 NIP. 196605241992031002

Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe Sp.S(K)

(6)

ABSTRAK

HUBUNGAN EKSPRESI NF-KB PADA ASTROSITOMA DENGAN SISTEM KLASIFIKASI WHO DAN LUARAN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN

2015

Glioblastoma multiform (GBM) adalah tumor otak primer paling agresif pada sistem saraf orang dewasa dan juga merupakan tumor yang prognosisnya buruk. GBM juga merupakan tipe tumor yang paling sering diderita oleh orang dewasa. Perkiraan angka relatif ketahanan hidup untuk penderita glioblastoma cukup rendah dan hanya sekitar 4.5% dari pasien dapat bertahan 5 tahun setelah didiagnosis dengan tumor ini. Penelitian yang terkini menemukan peran penting faktor nukleus kappa-light-chain-enhancer dari sel-sel B yang teraktifasi (NF-κB) pada GBM serta mengimplikasikan aktifasi NF-κB sebagai pemicu penting dari fenotip malignan yang menyebabkan prognosis buruk pada penderita GBM.

Pada sel – sel yang tidak terstimulasi, NF-κB berada di sitoplasma dalam keadaan tidak aktif akibat adanya interaksi dengan inhibitor IκBα. Proses aktifasi ini sudah terbukti memegang peranan pada patogenesis dari tumor dan resistensinya terhadap terapi

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan potong lintang (cross sectional) yang bertujuan menganalisis hubungan antara ekspresi NF-κB dengan sistem grading WHO dan outcome. Waktu penelitian mulai Januari 2015 s.d September 2016.

Tempat peneltian adalah Departemen Ilmu Bedah Saraf RSUP H Adam Malik Medan dan laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dari Hasil penelitian, ekspresi NF-KB terlihat pada 96% subjek penelitian.. Tidak terdapat hubungan bermakna antara ekspresi NF-KB inti dan sitoplasma dengan klasifikasi astrositoma berdasarkan WHO (p=0,442 dan p=0,543). Tidak terdapat hubungan antaraekspresi NF-KB inti dan sitoplasma dengan prognosis penderita astrositoma (p=0,378 dan p=0,180).

Hal yang menarik terjadi saat kami melakukan analisis mengenai hubungan derajat WHO dengan luaran. Pada penelitian ini, kami menilai luaran dalam bentuk hidup atau meninggal. Kami menemukan hubungan yang signifikan antara luaran dengan derajat WHO.

Meskipun demikian, kami tidak menemukan hubungan yang sama saat menilai hubungan ekspresi NF-KB dengan luaran.

(7)

ABSTRACT

Relation of the Expression of NF-KB in astrocytoma with WHO classificatiom System and Outcome in DR. H. Adam Malik Hospital Medan 2015

Glioblastoma multiform (GBM) is the most aggressive primary brain tumor in adults of the nervous system and is also a tumor prognosis is poor. GBM is also a type of tumor that most often affects adults. Estimated figures on relative survival for glioblastoma patients is quite low and only about 4.5% of patients survive 5 years after being diagnosed with this tumor. Recent research found the important role nuclear factor kappa-light-chain-enhancer of cells activated B (NF-κB) in GBM and implies the activation of NF-κB as an important driver of the malignant phenotype that causes poor prognosis for patients with GBM. In cell - unstimulated cells, NF-κB is located in the cytoplasm in an inactive state due to the interaction with the inhibitor IκBα. The activation process has been shown to play a role in the pathogenesis of tumor and resistance to therapy

This study is a cross-sectional analytic approach (cross-sectional) which aims to analyze the relationship between the expression of NF-κB to the WHO grading system and the outcome. When the study began in January 2015 s.d September 2016. The other research is the Department of Neurosurgery H Adam Malik Hospital and laboratory Pathology, Faculty of Medicine University of North Sumatra.

From the results of the study, the expression of NF-KB seen in 96% of the study ..

There was no significant association between the expression of NF-KB nucleus and cytoplasm with astrocytoma by the WHO classification (p = 0.442 and p = 0.543). There was no relationship antaraekspresi NF-KB nucleus and cytoplasm with the prognosis of patients with astrocytomas (p = 0.378 and p = 0.180).

An interesting thing happens when we do an analysis of WHO's relationship with superficial degree. In this study, we assessed the outcome in the form of life or death. We found a significant association between outcomes with degrees WHO. Nonetheless, we did not find the same relationship when assessing the expression of NF-KB relationship with outcomes.

(8)

KATA PENGANTAR

Proposal tesis ini dibuat untuk memenuhi salah satu kewajiban dalam menjalani pendidikan magister kedokteran klinik di Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Kritikan dan koreksi yang bersifat membangun demi kesempuranaan tesis ini sangat saya harapkan.

Akhir kata Puji dan syukur penulis panjatkan ke Allah SWT, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada DR.dr.Rr.Suzy Indharty, MKes, Sp.BS selaku pembimbing I dan dr. Andre M. P. Siahaan, Mked, Sp.BS selaku pembimbing II atas pengarahan dan bimbingan yang diberikan dalam penulisan tesis ini. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Hormat saya,

Khairul Muhajir

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

ABSTRAK ... ABSTRACT ... BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Pertanyaan Penelitian ... 3

1.4. Tujuan Penelitian ... 3

1.4.1. Tujuan Umum ... 3

1.4.2. Tujuan Khusus ... 3

1.5. Manfaat Penelitian ... 4

1.5.1 Aplikasi Penelitian ... 4

1.5.2 Ilmu Pengetahuan ... 4

1.5.3 Pelayanan Kesehatan ... 4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Epidemiologi ... 6

2.2. Grading WHO ... 8

2.3. Lokasi ... 10

2.4. Presentasi Klinis ………. ... 10

2.5. Komorbid………. ... 10

2.6. Diagnosis……… ... 11

2.7. Terapi……… ... 12

(10)

2.7.1. Terapi Molekular ... 12

2.7.2. Pembedahan……….. 13

2.7.3. Radioterapi……….. 14

2.7.4. Kemoterapi……….. 15

2.8. Harapan Hidup……….. ... 17

2.9.. NF-KB ... 18

2.9.1. NF-KB dan GBM ... 19

2.9.2. Mekanisme utama aktifasi NF-KB ... 19

BAB 3. KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN………... 21

3.1. Kerangka Teori ………... 21

3.2. Kerangka Konsep ………... 21

3.3. Hipotesis ………... 21

BAB 4. METODE PENELITIAN ... 23

4.1. Rancangan ... 23

4.2. Waktu dan Tempat ... 23

4.3. Populasi dan Sampel ... 23

4.4. Kriteria Sampel Penelitian ... 24

4.5. Besar Sampel Penelitian ... 24

4.6. Alur Penelitian ... 25

4.7. Cara Kerja ... 25

4.8. Definisi dan Batasan Operasional ... 26

4.9. Analisis data ... 27

BAB 5. HASIL PENELITIAN ... 28

5.1. Hasil Penelitian ... 28

5.1.1. Distribusi Jenis Kelamin ... 28

5.1.2 Distribusi Usia ... 29

5.1.3. Distribusi Berdasarkan Klasifikasi WHO ... 30

5.1.4. Distribusi Pewarnaan Imunohitokimia Berdasarkan Klasifikasi WHO ... 31

(11)

Luaran ... 31

5.1.6. Distribusi Klasifikasi Astrositoma menurut WHO Berdasarkan Luaran ... 32

BAB 6. PEMBAHASAN ... 34

BAB 7. SIMPULAN DAN SARAN ... 37

7.1. Simpulan ... 37

7.2. Saran ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 38

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Mekanisme terjadinya glioma ...………... 7

Gambar 2. Mekanisme aktifasi NF-KB .………... 20

Gambar 3.A. Kerangka teori penelitian ...……….. 21

Gambar 3.B. Kerangka konsep ...……….. 21

DAFTAR TABEL Halaman Tabel 5.1. Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin………... 28

Tabel 5.2. Analisis Deskriptif Berdasarkan Usia ………... 29

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Penderita Astrositoma Intrakranial Berdasarkan Klasifikasi WHO ...………... 30

Tabel 5.4. Distribusi Pewarnaan Imunohistokimia NF-KB Berdasarkan Klasifikasi WHO ...………... 31

Tabel 5.5. Distribusi Pewarnaan Imunohistokimia NF-KB Berdasarkan Luaran..31

Tabel 5.6. Distribusi Klasifikasi Astrositoma Menurut WHO Berdasarkan Luaran …..………..….. 32

(13)

ABSTRAK

HUBUNGAN EKSPRESI NF-KB PADA ASTROSITOMA DENGAN SISTEM KLASIFIKASI WHO DAN LUARAN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN

2015

Glioblastoma multiform (GBM) adalah tumor otak primer paling agresif pada sistem saraf orang dewasa dan juga merupakan tumor yang prognosisnya buruk. GBM juga merupakan tipe tumor yang paling sering diderita oleh orang dewasa. Perkiraan angka relatif ketahanan hidup untuk penderita glioblastoma cukup rendah dan hanya sekitar 4.5% dari pasien dapat bertahan 5 tahun setelah didiagnosis dengan tumor ini. Penelitian yang terkini menemukan peran penting faktor nukleus kappa-light-chain-enhancer dari sel-sel B yang teraktifasi (NF-κB) pada GBM serta mengimplikasikan aktifasi NF-κB sebagai pemicu penting dari fenotip malignan yang menyebabkan prognosis buruk pada penderita GBM.

Pada sel – sel yang tidak terstimulasi, NF-κB berada di sitoplasma dalam keadaan tidak aktif akibat adanya interaksi dengan inhibitor IκBα. Proses aktifasi ini sudah terbukti memegang peranan pada patogenesis dari tumor dan resistensinya terhadap terapi

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan potong lintang (cross sectional) yang bertujuan menganalisis hubungan antara ekspresi NF-κB dengan sistem grading WHO dan outcome. Waktu penelitian mulai Januari 2015 s.d September 2016.

Tempat peneltian adalah Departemen Ilmu Bedah Saraf RSUP H Adam Malik Medan dan laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dari Hasil penelitian, ekspresi NF-KB terlihat pada 96% subjek penelitian.. Tidak terdapat hubungan bermakna antara ekspresi NF-KB inti dan sitoplasma dengan klasifikasi astrositoma berdasarkan WHO (p=0,442 dan p=0,543). Tidak terdapat hubungan antaraekspresi NF-KB inti dan sitoplasma dengan prognosis penderita astrositoma (p=0,378 dan p=0,180).

Hal yang menarik terjadi saat kami melakukan analisis mengenai hubungan derajat WHO dengan luaran. Pada penelitian ini, kami menilai luaran dalam bentuk hidup atau meninggal. Kami menemukan hubungan yang signifikan antara luaran dengan derajat WHO.

Meskipun demikian, kami tidak menemukan hubungan yang sama saat menilai hubungan ekspresi NF-KB dengan luaran.

(14)

ABSTRACT

Relation of the Expression of NF-KB in astrocytoma with WHO classificatiom System and Outcome in DR. H. Adam Malik Hospital Medan 2015

Glioblastoma multiform (GBM) is the most aggressive primary brain tumor in adults of the nervous system and is also a tumor prognosis is poor. GBM is also a type of tumor that most often affects adults. Estimated figures on relative survival for glioblastoma patients is quite low and only about 4.5% of patients survive 5 years after being diagnosed with this tumor. Recent research found the important role nuclear factor kappa-light-chain-enhancer of cells activated B (NF-κB) in GBM and implies the activation of NF-κB as an important driver of the malignant phenotype that causes poor prognosis for patients with GBM. In cell - unstimulated cells, NF-κB is located in the cytoplasm in an inactive state due to the interaction with the inhibitor IκBα. The activation process has been shown to play a role in the pathogenesis of tumor and resistance to therapy

This study is a cross-sectional analytic approach (cross-sectional) which aims to analyze the relationship between the expression of NF-κB to the WHO grading system and the outcome. When the study began in January 2015 s.d September 2016. The other research is the Department of Neurosurgery H Adam Malik Hospital and laboratory Pathology, Faculty of Medicine University of North Sumatra.

From the results of the study, the expression of NF-KB seen in 96% of the study ..

There was no significant association between the expression of NF-KB nucleus and cytoplasm with astrocytoma by the WHO classification (p = 0.442 and p = 0.543). There was no relationship antaraekspresi NF-KB nucleus and cytoplasm with the prognosis of patients with astrocytomas (p = 0.378 and p = 0.180).

An interesting thing happens when we do an analysis of WHO's relationship with superficial degree. In this study, we assessed the outcome in the form of life or death. We found a significant association between outcomes with degrees WHO. Nonetheless, we did not find the same relationship when assessing the expression of NF-KB relationship with outcomes.

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Peneliti melakukan penelitian ini karena sering kali terdapat ketidak-cocokan antara grading WHO (grading patologi anatomi) dengan klinis pasien. Sebagai contoh, pasien dengan astrositoma grade II sering datang dengan kondisi klinis yang buruk namun pasien dengan astrositoma grade IV sering memiliki ukuran tumor yang kecil.

Glioblastoma multiform (GBM) adalah tumor otak primer paling agresif pada sistem saraf orang dewasa dan juga merupakan tumor yang prognosisnya buruk (Reardon, 2006).

GBM juga merupakan tipe tumor yang paling sering diderita oleh orang dewasa. Perkiraan angka relatif ketahanan hidup untuk penderita glioblastoma cukup rendah dan hanya sekitar 4.5% dari pasien dapat bertahan 5 tahun setelah didiagnosis dengan tumor ini (Ostrom et al., 2013). Glioma dapat dikelompokkan menjadi 4 jenis berdasarkan derajat diferensiasi, anaplasia, dan agresifitasnya yang biasa disebut sebagai tumor WHO grade I – IV. Glioma jenis malignan termasuk astrositoma anaplastik, oligodendroglioma anaplastik, oligoastrositoma anaplastik (Grade III) serta derajat IV, yaitu glioblastoma multiforme (Omuro, 2013).

Patogenesis molekular glioma diperkirakan mempengaruhi perbedaan-perbedaan genetik yang multipel yang diduga membuat aktifitas abnormal dari pathway dalam hal proliferasi, regulasi siklus sel dan apoptosis (McLendon et al., 2008). Beberapa rangkaian kejadian genetik telah ditemukan pada evolusi klon tumor ini. Perubahan genetik dijumpai paling sering pada GBM primer termasuk hilangnya INK4A, amplifikasi dan mutasi EGFR, hilangnya PTEN, dan amplifikasi MDM2, serta kelainan-kelainan lainnya (Furnari et al., 2007). Yang terbaru. TCGA (The Cancer Genome Atlas) menyediakan gambaran

(16)

komprehensif dari abnormalitas genetik pada GBM. Berdasarkan tanda molekuler, GBM dapat diklasifikasikan menjadi 4 subkelas: klasikal, mesenkimal, proneural dan neural.

Amplifikasi dan mutasi gen EGFR (Epidermal Growth Factor Receptor) ialah salah satu abnormalitas yang paling sering terjadi pada GBM dan biasa ditemukan pada subtipe yang klasikal pada penyakit ini (Verhaak et al., 2010).

Penelitian yang terkini menemukan peran penting faktor nukleus kappa-light-chain- enhancer dari sel-sel B yang teraktifasi (NF-κB) pada GBM serta mengimplikasikan aktivasi NF-κB sebagai pemicu penting dari fenotip malignan yang menyebabkan prognosis buruk pada penderita GBM. Pada sel – sel yang tidak terstimulasi, NF-κB berada di sitoplasma dalam keadaan tidak aktif akibat adanya interaksi dengan inhibitor IκBα. Bentuk respon terhadap stimulus seperti sitokin dan kerusakan DNA akan menyebabkan terjadinya fosforilasi pada inhibitor tersebut. NF-κB akan menjadi bebas, bertranslokasi menuju inti sel, dan berperan sebagai faktor transkripsi pada beberapa gen target; seperti: sebagai gen pengatur, gen anti apoptosis, sitokin inflamasi, serta molekul adhesi sel yang selanjutnya memfasilitasi pertambahan sel, pertumbuhan tumor, serta kejadian metastasis. Proses aktifasi ini sudah terbukti memegang peranan pada patogenesis dari tumor dan resistensinya terhadap terapi (Puliyappadamba, Hatanpaa, Chakraborty, & Habib, 2014).

Dalam sebuah peneltiian berskala kecil, Hayashi melaporkan bahwa ekspresi NF-κB pada inti berhubungan erat dengan derajat astrositoma (HAYASHI et al., 2001). Hal ini juga didukung oleh penelitian selanjutnya yang melibatkan subjek penelitian lebih banyak (Korkolopoulou et al., 2008). Oleh karena itu, penting untuk mengetahui hubungan ekspresi NF-κB pada astrositoma dengan sistem klasifikasi WHO dan luaran pasien sehingga membantu menentukan agresifitas tumor, terutama pada kasus-kasus dengan korelasi yang minimal antara parameter klinis dan histologis..

(17)

1.2. Rumusan Masalah

Nuclear factor κB (NF-κB) merupakan kelompok faktor transkripsi (rangkaian ekspresi genetik) yang memberikan respon pada sinyal ekstrasel untuk mengatur serangkaian proses biologis, seperti proliferasi, antiapoptosis, inflamasi, serta adhesi sel glioma.

Akibatnya, aktifitas NF-κB memegang peranan pada patogenesis dan respon tumor terhadap terapi. Dalam penelitian ini, kami bertujuan menilai ekspresi NF-κB pada seluruh astrositoma dan menilai korelasinya dengan sistem klasifikasi WHO dan luaran.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, diajukan pertanyaan penelitian “Apakah ekspresi NF-κB pada astrositoma berhubungan dengan sistem klasifikasi WHO dan luaran?”

1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan ekspresi NF-κB pada astrositoma dengan sistem klasifikasi WHO dan luaran.

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui distribusi kasus astrositoma di Departemen Ilmu Bedah Saraf FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2015

2. Mengetahui ekspresi NF-κB inti dan sitoplasma pada penderita astrositoma di Departemen Ilmu Bedah Saraf FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan 3. Mengetahui hubungan ekspresi NF-κB inti dengan derajat WHO pada

penderita astrositoma di Departemen Ilmu Bedah Saraf FK USU/RSUP H.

Adam Malik Medan

(18)

4. Mengetahui hubungan ekspresi NF-κB sitoplasma dengan derajat WHO pada penderita astrositoma di Departemen Ilmu Bedah Saraf FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan

5. Mengetahui hubungan ekspresi NF-κB inti dengan luaran pada penderita astrositoma di Departemen Ilmu Bedah Saraf FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan

6. Mengetahui hubungan ekspresi NF-κB sitoplasma dengan luaran pada penderita astrositoma di Departemen Ilmu Bedah Saraf FK USU/RSUP H.

Adam Malik Medan

1.5. Manfaat Peneltian 1.5.1. Aplikasi Penelitian

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan pentingnya pemeriksaan NF-κB sebagai pemeriksaan penunjang dalam membantu menentukan agresifitas tumor, terutama pada kasus-kasus dengan korelasi yang sedikit antara parameter klinis dan histologis. Penelitian ini juga diharapkan dapat membantu memberikan gambaran prognosis pasien ke depannya.

1.5.2. Ilmu Pengetahuan

Memberikan masukan bagi penelitian lebih lanjut yang nantinya dapat berguna untuk menetukan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk menentukan gambaran agresifitas tumor.

1.5.3. Pelayanan Kesehatan

Memberikan informasi tentang pentingnya pemeriksaan NF-κB pada astrositoma sehingga dapat dijadikan pedoman pemeriksaan dan penatalaksanaan.

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Glioma dan bentuk epitel paling malignan, glioblastoma, merupakan sekumpulan tumor otak primer, dimana pengobatannya belum dapat ditemukan hingga saat ini. Meskipun dengan terapi paling radikal saat ini, nilai median ketahanan hidup penderitanya hanya 14,8 bulan. Tanpa terapi apapun nilai median ketahanan hidup penderitanya antara 1 hingga 3 bulan. Ilmu sains telah mencapai batasan terbaiknya dalam menemukan sebuah taget terapeutik yang berpotensial menyembuhkan, dimana obat kemoterapi saat ini tidak terlalu bermanfaat di otak dalam hal penyembuhan. Jalur NF-κB merupakan sinyal utama yang meregulasi progresi dan resistensi tumor serta memegang peran penting dalam merespon cedera dan inflamasi sehingga memperlihatkan target potensial dalam menjadi terapi kedepannya (Omuro, 2013).

NF-κB pada glioma sendiri dan aktifasi secara berkesinambungan merupakan faktor utama dalam progresi tumor, proliferasi sel tumor, kemampuan invasif dan transisi terhadap fenotipe mesenkim yang lebih agresif, namun, masih belum dapat diketahui pasti dalam tingkatan apa NF-κB mengirim sinyal dalam cakupan mikro tumor yang nantinya berkontribusi ke progresi glioma. Lingkungan mikro GBM terdiri atas endotelium, makrofag/

mikroglia yang berhubungan dengan tumor, neuroglia, sel-sel neural dan matriks ekstraseluler sekitarnya (Puliyappadamba et al., 2014).

Sebuah penelitian memeriksa efek defisiensi NF-κB stromal pada pertumbuhan dan invasi GBM dengan cara menggunakan tikus transgenik yang mempunyai reseptor 1 faktor nekrosis tumor yang kurang (TNFR-/-) dan berupa keturunan yang memiliki faktor transkripsi RelA/p65 (p65+/-) dan dibandingkan dengan tikus yang serupa namun akan diimplankan sel GBM (GL261), peneliti menemukan sel GBM tikus yang dengan NF-κB,

(20)

lebih rendah dari tikus lainnya. Dari sudut imunohistokimianya ditemukan adanya penurunan reaktifitas astroglial dan berkurangnya infiltrasi makrofag/mikroglia yang berkaitan dengan tumor (TAM) ini meskipun adanya argumentasi mengenai densitas mikrovaskularnya.

Makrofag ini menunjukkan pengurangan Arginase secara drastis, yaitu penanda alternatif mikroglia yang teraktifasi (M2), berhubungan dengan TAM. Dalam menganalisa astrosit dengan defisiensi NF-κB dapat menunjukkan pengurangan migrasi dan peningkatan produksi proteoglikan ECM yang dapat dikonfirmasi secara in vivo. Peneliti menemukan ECM yang terakumulasi lebih banyak terinhibisi pada otak dengan defisiensi NF-κB, hal ini dapat menjadi alasan lain dipilihnya fenotipe ini. Kesimpulannya, hasil – hasil ini menunjukkan bahwa inhibisi sinyal NF-κB pada stroma otak menciptakan lingkungan mikro yang kurang reaktif namun lebih tidak teratur untuk progresi tumor, menggaris bawahi relevansi jalur ini sebagai target penting dalam terapi GBM (Atkinson, Nozell, & Benveniste, 2010).

Glioma merupakan tumor otak primer malignan paling sering terjadi pada orang dewasa.

Tumor ini dapat tumbuh dimana saja pada sistem saraf pusat (SSP), baik di otak maupun di tulang belakang, namun paling sering di otak. Glioma berasal dari dari jaringan glial dan merupakan kelompok neoplasma yang bersifat heterogen didalam SSP, dalam morfologi, potensi pertumbuhan dan kemampuan invasif, penyebaran berdasarkan usia dan jenis kelamin, kemampuan progresi dan dalam reaksi menerima obat-obatan terbaru (Omuro, 2013).

2.1. Epidemiologi

Tumor otak primer diderita sebanyak 2 persen dari seluruh jenis kanker pada orang dewasa di AS, dari 17.000 tumor primer otak yang terdiagnosis tiap tahunnya, sekitar 60-80%

merupakan glioma. Nilai insidensi glioma berdasarkan usia (ICD-O-3 morphology codes 9440 - 9480) berkisar 4,67 hingga 5,73 dari 100.000 orang. Glioma (ICD-O-3 morphology

(21)

codes 9380-9384, 9391-9460, 9480) didapati mencapai 28% dari seluruh tumor SSP dan 80%

dari tumor malignan (Ostrom et al., 2013). Glioblastoma dapat dikategorikan sebagai tumor primer ataupun sekunder, melalui dua jalur, yaitu de novo dan progresif (gambar 1).

Astrositoma yang melalui jalur de novo berarti berasal dari fokus primer (astrosit itu sendiri).

Gambar 1. Mekanisme terjadinya glioma (Ohgaki & Kleihues, 2013)

Glioblastoma primer mencakup mayoritas daripada kasus (60%) pada orang dewasa usia lebih dari 50 tahun. GBM primer muncul tanpa gejala klinis atau histopatologi yang spesifik, dengan lesi yang terlihat tidak terlalu malignan dan riwayat gejala klinis yang pendek, biasanya kurang dari 3 bulan (Ohgaki & Kleihues, 2013).

Pada pasien dengan usia dibawah 45 tahun (40% dari keseluruhan) GBM sekunder berkembang melalui progresi dari astrositoma derajat rendah (WHO Gr.II) ataupun astrositoma anaplastik (WHO Gr.III). Terdapat sebuah variasi berhubungan yang dengan perkembangan tumor ini, yaitu berjarak kurang dari 1 tahun hingga dapat lebih dari 10 tahun,

(22)

dengan interval nilai mean 4-5 tahun. Glioblastoma primer dan sekunder membentuk cakupan penyakit khusus yang berkembang melalui jalur-jalur berbeda, mengenai kelompok umur berbeda, dan merespon secara berbeda terhadap terapi standar. Sebagai hasil perhitungan dari mutasi multipel glioblastoma, didapatkan jumlah perubahan genetik yang tertinggi jika dibandingkan dengan astrositoma jenis lainnya. Namun, kedua tumor ini tidak dapat dibedakan secara morfologis dan klinis, terlihat hanya dari persamaan prognosisnya yang buruk jika diukur berdasarkan usia pasien (Ohgaki & Kleihues, 2013).

2.2. Grading WHO

Diagnosis glioma malignan berdasarkan tampilan histopatologi dan sitopatologinya, kebanyakan dilakukan dengan pemeriksaan menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin pada lesi. Dalam beberapa tahun ini banyak cara yang telah digunakan dan dikembangkan untuk mengklasifikasikan dan menghitung derajatnya. WHO mengkategorikan glioma berdasarkan ICD-O-3 (International Classification of Diseases - Oncology, version 3) terbarunya, baik yang berasal dari oligodendrositik, astrositik ataupun gabungan keduanya, dan sekarang diklasifikasikan luas dengan kalsifikasi Mayo, yang mempunyai banyak keuntungan prognostik dibandingkan dengan kriteria Kernohan (Louis et al., 2007).

St.Anne/Mayo (SA/M) mempelajari empat kriteria histologi tentang neoplasma- neoplasma astrositik, termasuk atypia nuklear, mitosis, sel endotelial dan nekrosis yang berhubungan dengan ketahanan hidup pasien. Atypia nuklear menjelaskan tentang hiperkromatasia dan/atau variasi bentuk dan ukuran. SA/M mengkarakteristikkan konfigurasi normal atau abnormal dalam mitosis dan membedakan proliferasi endotelial apakah terdapat sel endotelial yang “piled-up” disekitar lumina vaskular, tidak termasuk terjadinya hipervaskularisasi. Bentuk nekrosis hanya dimasukkan jika terlihat secara jelas, bagaimanapun juga bentuk samar (pseudopalisading) tunggal tidak diikut sertakan. Grade 1

(23)

ditentukan jika tidak adanya (0) fitur, grade 2 dengan 1 fitur, grade 3 dengan 2 fitur dan grade 4 dengan 3 atau 4 fitur. Proliferasi nekrosis dan endotelial merupakan kriteria tunggal untuk glioblastoma dimana hal ini hanya ditemukan 8% dari astrositoma grade 3 (Louis et al., 2007).

Verhaak et al mengintegrasi analisis genomik dan mengkategorikannya dalam subtipe yang berhubungan klinis kedepannya yaitu klasikal videlicet, neural, proneural dan mesenkimal. Mutasi GBM yang paling sering terjadi didalam TP53. Pada GBM tipe klasikal dapat ditemukan amplifikasi kromosom 7 dan delesi kromosom 10, sebagaimana dengan amplifikasi EGFR digabungkan dengan mutasi EGFRvIII dan delesi Ink4a/ARF. Di lain hal mutasi TP 53 berkurang. Subtipe mesenkim dijelaskan dengan mutasi/delesi neurofibromatosis (NF1) dan munculnya CHI3LI, MET dimana keduanya penting dalam faktor nekrosis dan NF-kappaB15. GBM proneural menjadi mayoritas pada TP53 LOHs dan menunjukkan PDGFRa (Platelet Growth Factor Receptor a) yang berbeda, baik secara menahan fenotipe G-CIMP (Glioma CpG island methylator) yang berhubungan dengan mutasi di IDH ½ (isocitrate dehydrogenase) ataupun secara tanpa G-CIMP dan mutasi IDH

½. Diferensiasi ini menentukan dua subkelas lanjutan pada subkelas16 proneural. Pada subkelas neural tidak ada abnormalitas molekuler martikular yang bisa ditemukan (Verhaak et al., 2010).

Klasifikasi genetik mempunyai banyak implikasi, sebagaimana mutasi dan amplifikasi spesifik dapat digunakan sebagai terapi molekular yang kemudian mempengaruhi perkembangan ketahanan hidup, khususnya pada glioblastoma rekuren.

(24)

2.3. Lokasi

Glioblastoma multiform paling sering timbul di area subkortikal bagian white matter dari hemisfer otak. Lokasi tumor paling sering adalah di lobus temporal (31%), parietal (24%), frontal (23%), dan lobus oksipital (16%). Lebih tepatnya paling sering di lobus frontotemporal. Infiltrasi tumor sering berekstensi ke korteks didekatnya atau ke ganglia basalis. Ketika tumor di korteks frontal menyebar melewati korpus kalosum menuju ke hemisfer kontralateralnya, akan menciptakan gambaran lesi yang simetris bilateral, yang disebut juga dengan glioma kupu-kupu (Omuro, 2013).

2.4. Presentasi Klinis

Gejala dan tanda klinis pasien dengan tumor otak primer dapat berupa general ataupun fokal. Pada tahap inisial penyakit ini (tumor derajat rendah), kebanyakan gejala terlihat secara fokal; hanya pada tumor dengan pertambahan ukuran maka gejala generalnya muncul lebih sering. Gejala general yang paling sering muncul ialah sakit kepala, mual, muntah – muntah, kejang, dan gangguan fungsi mental (Omuro, 2013).

2.5. Komorbid

Fisher et.al melakukan analisis komorbid sebelum dan sesudah diagnosis dan melapokan bahwa kejang merupakan komorbid yang paling sering ditemukan.Schwartzbaum et. al. menunjukkan resiko epilepsi dalam tujuh tahun sebelum diagnosis ditegakkan.Tindakan operasi meningkatkan resiko thrombosis vena dalam dan emboli paru, baik akibat tumor itu sendiri maupun akibat terapi, meskipun tidak signifikan (Omuro, 2013).

(25)

2.6. Diagnosis

Untuk diagnosis astrositoma, radiologi memegang peranan penting. Hingga sekarang tidak ada pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis. Menggunakan CT atau MRI konvensional sangat sulit untuk melakukan klasifikasi.Perkembangan MRI saaat ini sudah memungkinkan melakukan klasifikasi secara non invasif, mengevaluasi perkembangan tumor, atau menilai kesuksesan terapi (Omuro, 2013).

Pada CT scan, gambaran khas adalah masa yang menyangat kontras pada bagian tepi dengan nekrosis sentral atau kista. Bentuk lesi biasanya tidak beraturan disertai dengan penumbra. Green et.al menunjukkan sel tumor dapat ditemukan sampai sejauh 15 mm diluar cincin (Omuro, 2013).

Pada MRI penyangatan ini dapat terlihat pada T1 karena bagian ini merupakan bagian yang pada dengan sel tumor disertai pembuluh darah yang abnormal.Inti yang nekrosis tampak sebagai daerah hipointens dan sinyal yang berkurang dibagian tepi menunjukkan edema (Omuro, 2013).

Positron emission tomografi (PET) dapat digunakan untuk membedakan nekrosis dengan perdarahan dan memiliki nilai prognosis. Peningkatan metabolism glukosa berhubungan dengan harapan hidup yang lebih rendah dan berguna untuk menentukan volume tumor yang tersisa setelah operasi (Omuro, 2013).

MR Spectroscopy (MRS) menunjukkan penurunan N-asetil aspartate (NAA) dibandingkan jaringan saraf normal. Peningkatan laktat ditemukan pada daerah yang nekrosis dan hipoksia.Pemingkatan rasio kolin-kreatin menunjukkan proliferasi seluler dan progresifitas glioma (Omuro, 2013).

(26)

2.7. Terapi

Modalitas terapi yang ada saat ini tidak bersifat kuratif. Tantangan terbesar adalah tumor yang heterogen dan agesif, disertai sulitnya melakukan kontrol local (Ishkanian, 2011).

Penatalaksanaan standar meliputi pembedahan radikal diikuti dengan radioterapi maupun kemoterapi (Ishkanian, 2011). Secara umum, kombinasi temozolamide dan kemoterapi terbukti memberikan keuntungan. Didapati peningkatan harapan hidup sebesar tiga bulan dan kemungkinan harapan hidup sebesar 17% (Omuro, 2013).

Terapi yang kurang agresif, biasanya berupa radiasi atau kemoterapi saja kadang- kadang dianjurkan pada kelompok usia tua atau dengan resiko tinggi. Pada kelompok pasien dengan usia diatas 70 tahun, radioterapi saja meningkatkan harapan hidup dibandingkan kelompok yang tidak menjalani radioterapi. Secara umum, rerata harapan hidup penderita GBM yang hanya mendapat pembedahan adalah sebesar 6,9 bulan (Omuro, 2013).

2.7.1. Terapi molekular

Reseptor tirosin kinase selama ini diketahui memegang peranan penting dalam proses terjadinya tumor. PDGFR, VEGFR, dan EGFR akan mengaktifasi jalur PI3K/AKT dan memfasilitasi tumbuhnya tumor. Amplifikasi gen EGFR dan mutasi menjadi fenotip EGFR III terjadi pada 40-50% kasus glioma. Mutasi ini akan meingkatkan efek onkogenik dari EFGR. Sayangnya, inhibitor EGFR tirosin kinase tidak menunjukkan hasil yang menjanjikan seperti pada tumor paru.Meskipun demikian, Gacomitinib, generasi kedua inhibitor EGFR tirosin kinase sepertinya cukup menjanjikan dan saat ini sedang diujicobakan pada ujin klinis fase II (Omuro, 2013).

EGFR akan menyebabkan peningkatan aktivitas STAT3. Selain itu, EGFR akan mengaktifasi NF-κB. Aktifasi NF-κB akan menyebabkan tumor semakin ganas dan

(27)

resistensi terhadap temozolamide. Karena itu, NF-κB dapat menjadi salah satu target terapi molekuler (Omuro, 2013).

2.7.2. Pembedahan

Prinsip pembedahan pada GBM bukanlah kuratif, meskipun luasnya pembedahan dan jumlah sisa tumor setelah operasi akan mempengaruhi harapan hidup secara signifikan. Pada kelompok pasien dengan sisa masa yang menyangat kontras, harapan hidup adalah sebesar 11,8 bulan. Sementara itu, jika masa yang menyangat kontras tidak terlihat pada MRI kontras, harapan hidup adalah 16,7 bulan. Reseksi total pada prinsipnya akan memberikan keuntungan yang lebih jika dibandingkan reseksi subtotal. Dua meta-analis menunjukkan rata – rata harapan hidup lebih panjang tiga bulan pada kelompok yang mendapat reseksi total. Reseksi subtotal akan meningkatkan resiko perdarahan setelah operasi dan kemungkinan herniasi, disebut wounded glioma syndrome. Karena itu luasnya pembedahan harus ditentukan sebelum operasi karena hal ini dipengaruhi loksasi tumor.Fado et.al menunjukkan korelasi antara morbiditas dan mortalitas dengan lokasi tumor.Mortalitas dan komplikasi setelah operasi lebih banyak terjadi pada lesi yang berlokasi di garis tengah dan otak dalam (Y.-H. Kim & Kim, 2012)

Kontraindikasi relatif untuk pembedahan adalah lesi luas pada sisi dominan, lesi dengan keterlibatan bilateral yang hebat, GBM multipel, usia tua, dan karnofsky dibawah 70. Sebagai alternatif Piepmeyer dan Quigley menyarankan bahwa tujuan operasi adalah mengurangi efek masa, bukan hanya sitoreduksi (Hentschel & Lang, 2003).

Kualitas hidup harus selalu menjadi pertimbangan.Dengan bantuan radiologi modern, kualitas hidup lebih mungkin untuk dipertahankan tanpa menyebabkan munculnya defisit baru.Kebanyakan rekurensi GBM terjadi pada dasar tumor atau 2

(28)

cm disekitar tumor.Operasi kembali pada kasus ini sebaiknya dipertimbangkan hanya pada kasus dengan efek masa yang jelas. PET scan dan MR spektroskopi akan berguna untuk membedakan tumor rekuren dengan nekrosis setelah radiasi. PET scan dilaporkan lebih superior dibandingkan MR spektroskopi untuk menyingkirkan perlu tidaknya dilakukan operasi kembali (Y.-H. Kim & Kim, 2012)

2.7.3. Radioterapi

Radioterapi menunjukkan meningkatnya angka harapan hidup 3 – 4 bulan sampai 7 – 12 bulan dibandingkan dengan operasi saja. Dosis 60 Gy sebanyak 5 hari dalam seminggu dengan dosis terbagi 1,8-2,0 Gy selama 6 minggu adalah dosis lazim yang digunakan. Dosis dibawah 45 Gy tidak dianjurkan karena angka median survival yang rendah yaitu 4 bulan dibandingkan dengan radiasi standar (Taw, Gorgulho, Selch, &

De Salles, 2012).

Respon radiasi terhadap glioblastoma ditemukan bervariasi.Karakteristik GBM adalah fase remisi terjadi hanya dalam jangka waktu pendek. Rekurensi terutama terjadi pada satu tahun pertama dan berhubungan dengan perburukan klinis.meskipun demikian, pada dasarnya radioterapi akan menyebabkan fase remisi dengan perbaikan difisit neurologis serta berkurangnya masa yang menyangat kontras. Fokal radioterapi digunakan untuk mengurangi kerusakan jaringan disekitar otak. Hal ini didukung oleh dua studi yang membandingkan radiasi whole-brain dan rekurensi tumor dimana rekurensi tumor terjadi 2 cm dari tempat tumor awal sebanyak 90% dan terjadi pada 78% pasien. Meskipun demikian resiko terjadinya efek samping lebih tinggi pada pasien yang menjalani radiasi whole-brain (Taw et al., 2012).

Untuk mengurangi kerusakan pada jaringan otak yang sehat, brakiterapi mungkin dapat menjadi pilihan. Sayangnya, brakiterapi tidak terbukti meningkatkan harapan hidup secara signifikan.Sneed et.al dalam penelitiannya menunjukkan median harapan

(29)

hidup dua bulan lenih panjang pada kelompok brakiterapi.Kelemahan utama brakiterapi adalah lebih dari separuhnya memerlukan pembedahan tambahan untuk membuang jaringan sudah rusak akibat radiasi.Waters et.al hanya mampu menbuktikan perbaikan progression free survival, tetapi overall survival tidak berbeeda dengan kelompok radioterapi konvensional (Taw et al., 2012).

Pada GBM yang rekuren, peranan radioterapi masih diperdebatkan. Beberapa penelitian membuktikan stereotaktik radiosurgery akan bermanfaat, tetapi beberapa penelitian lain tidak mendukung hal tersebut. Harapan pada masa depan antara lain adalah dengan penggunaan radio sensitizer atau kemoterapi dengan target molekuler (Taw et al., 2012).

2.7.4. Kemoterapi

Sekitar seperempat pasien mengalami peningkatan harapan hidup signifikan setelah pemberian kemoterapi adjuvant. Dalam meta-analisisnya, Stewart et.al menyimpulkan kemoterapi meningkatkan survival rate satu tahun pada 6 sampai 10 persen kasus (Nagasawa et al., 2012).

Kemoterapi yang paling banyak digunakan saat ini adalah temozolamide.

Temozolamide merupakan kemoterapi oral yang digunkan pada penderita yang baru pertama kali didiagnosis dengan GBM.Kemoterapi ini disetujui penggunaanya oleh FDA pada tahun 2005 dan telah terbukti meningkatkan harapan hidup. Pemberian temozolamide bersamaan dengan radiasi berhubungan dengan peningkatan progression free survival (6,9 dibandingakn 5 bulan), overall survival (14,6 dibandingkan 12,1 bulan), serta kecenderungan untuk tetap hidup setelah dua tahun (26% dibandingkan 10%) (Nagasawa et al., 2012).

Temozolamide akan memetilasi rantai DNA, membentuk N-3-metil adenine, N-7- metilguanin, dan O-6-guanin. Proses ini akan merusak rantai DNA dan pada akhirnya

(30)

menyebabkan terjadinya apoptosis. Sayangnya, 60% sel glioma memiliki O-6-metil- guanin metil transferase (MGMT) yang menghalangi metilasi ini dan menyebabkan resistensi terhadap temozolomide. Jika gen ini dapat dihambat, misalnya melalui metilasi gen promoter MGMT, akan terjadi gangguan sintesis enzim perbaikan tumor pada 40% kasus. Ini terbukti meningkatkan harapan hidup menjadi 21,7 bulan (dibandingkan 12,7 bulan) dan harapan hidup dua tahun menjadi 46% (dibandingkan 13%). Penggunaan kortikosteroid ditakutkan akan menghalangi aktifitas metilasi MGMT dan menyebabkan MGMT lebih stabil. Hal lain yang dapat menyebabkan resistensi terhadap temozolomide adalah base excision repair (BER) dan poly (ADP- ribose) polymerase (PARP) (Nagasawa et al., 2012).

Obat-obatan yang dapat mengatasi permasalahan MGMT ini antara lain O6- benzilguanin, inhibitor PARP. Selain itu, pSTAT3 kelihatannya dapat menjadi target yang potensial karena berperan dalam peningkatan MGMT setelah transkripsi dan terlihat ikut meningkat bersama MGMT pada kasus glioblastoma rekuren (Nagasawa et al., 2012).

Meskipun temozolamide merupakan terapi glioblastoma lini pertama, penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk menentukan kelompok mana yang paling banyak mendapatkan manfaat dari kemoterpi ini (Nagasawa et al., 2012).

Selain temozolomide, kemoterapi lain yang banyak digunakan adalah nitrosourea, terutama carmustine (BCNU). BCNU merupakan polimer yang ditanamkan pada dasar tumor.BCNU meningkatkan harapan hidup sebesar dua bulan dengan respon maksimum sebesar 30 sampai 40%.Sayangnya, penggunaan BCNU berhubungan dengan peningkatan resiko kebocoran CSF dan peningkatan TIK akibat edema dan efek masa (Nagasawa et al., 2012).

(31)

Pembedahan yang dilanjutkan dengan radioterapi meningkatkan harapan hidup satu tahun (44%), 3 tahun (6%) dan 5 tahun (0%). Sebagai perbandingan, jika dilakukan penambahan BCNU atau cisplatin sebagai adjuvant, harapan hidup satu tahun menjadi 46%, 3 tahun menjadi 18%, dan 5 tahun menjadi 18% (Nagasawa et al., 2012).

Pada kasus glioblastoma rekuren, kemoterapi belum terbukti meningkatkan harapan hidup. Pada kasus rekuren, kemoterapi antiangiogenik memberikan sedikit keuntungan.Kombinasi Bevacizumab dengan irinotecan memperbaiki survival 6 bulan menjadi 46% (dibandingkan 21% pada kelompok yang hanya mendapatkan temozolamide).Keuntungan tambahan dari penggunaan bevacizumab adalah berkurangnya edema disekitar tumor (Nagasawa et al., 2012).

Hambatan terbesar dari kemoterapi pada SSP adalah sawar darah otak. Sawar darah otak akan sangat menghalangi masuknya kemoterapi pada SSP. Salah satu cara mengatasinya adalah dengan pemberian intraventrikel. Meskipun demikian, belum ada penelitian yang membuktikan efektivitas metode ini (Nagasawa et al., 2012).

2.8. Harapan hidup

Pada glioma ganas ada tiga faktor independen yang mempengaruhi harapan hidup.

Derajat keganasan glioma akan mempengaruhi harapan hidup. Pada kelompok anaplastik astrositoma harapan hidup adalah 2-3 tahun.Sementara itu pada GBM harapan hidup kebanyakan pasien adalah dibawah satu tahun (Colen & Allcut, 2012).

Faktor kedua adalah usia. Separuh penderita berusia dibawah 40 tahun memiliki harapan hidup sampai 18 bulan, sementara pada kelompok usia diatas 60 tahun, harapan hidup 18 bulan hanya berkisar 10% (Colen & Allcut, 2012).

(32)

Faktor ketiga adalah keadaan umum pasien.Kebanyakan penilaian dilakukan dengan skor karnofsky.Jika skor karnofsky diatas 70, harapan hidup 18 bulan mencapai 34%.Sebaliknya jika karnofsky dibawah 60, harapan hidup 18 bulan hanyalah 13% (Colen & Allcut, 2012).

Pemberian terapi termutakhir sekalipun hanya akan meningkatkan harapan hidup satu tahun pendertita GBM menjadi 36% dan harapan hidup dua tahun menjadi 12%. Dalam analisisnya, Burger et.al menemukan empat kelompok resiko yang berbeda.Kelompok resiko rendah adalah pasien berusia dibawah 40 tahun dan tumor berlokasi di frontal.Rerata hidup pada kelompok ini adalah 33 bulan dengan kemungkinan bertahan hidup selama 2 tahun mencapai 65%.Jika tumor berada di luar lobus frontal, harapan hidup turun menjadi 18 bulan dengan kemungkinan bertahan hidup dua tahun menjadi 35%. Pada usia diatas 40 tahun, status pasien akan menjadi lebih menentukan. Jika skor karnnofsky diatas 70, harpan hidup 16 bulan tetapi dengan emungkinan berthan hidup dua tahun sebesar 17%.Kelompok resiko tinggi merupakan pasien berusia 65 tahun atau pasien berusia dibawah 65 tahun dengan skor karnofsky dibawah 80. Selain itu kelompok resiko tingggi lain adalah kelompok pasien yang hanya mendapatkan tindakan biopsy. Harapan hidup kelompok ini adalah 9 bulan dengan kemungkinan berthan hidup selama dua tahun sebesar 4% (Colen & Allcut, 2012).

2.9. NF-κB

NF-κB adalah kelompok faktor transkripsi yang berikatan dengan rantai ringan immunoglobulin kappa pada sel B yang aktif. Secara structural, NF-κB terdiri dari homodimer dan heterodimer berupa NF-κB1, NF-κB2, REL A, dan c-REL. pada sel yang tidak aktif, NF-κB biasanya tidak aktif akibat peranan inhibitor IκBa. Jika terjadi stimulus berupa sitokin maupun kerusakan DNA, terjadi fosforilasi IkBa, dan pada akhirnya menyebabkan lepasnya NF-κB.NF-κB yang sudah bebas kemudian bergerak menuju nucleus dan berperan sebagai faktor transkripsi. Sitokin-sitokin yang dapat mengaktifkan NF-κB ini antara lain TNF, EGF, dan VEGF (Puliyappadamba et al., 2014).

(33)

2.9.1. NF-κB dan GBM

Beberapa penelitian menunjukkan adanya aktifasi NF-κB pada GBM. Pada glioma, target NF-κB antara lain adalah gen pengatur siklus sel, sitokin inflamasi, dan molekul perlekatan sel yang mengatur tumbuhnya tumor dan metastasis. Target utama tersebut adalah cyclin B1, protein pengatur siklus sel, XIAP1, protein anti apoptosis, serta protein inflamasi seperti IL6, IL8, dan MMP9 (Puliyappadamba et al., 2014).

2.9.2. Mekanisme Utama Aktifasi NF-κB

Aktifasi NF-kB bisa melalui dua cara yaitu jalur klasik dan jalur alternatif. Pada jalur klasik aktivasi NF-kB terjadi melalui heterodimer p50 & p65 selanjutnya NF-kB dimer diinaktifkan oleh protein I-kB. Signal reseptor cenderung mengaktivasi multisubunit I-kB kinase (IKK) kompleks yang akan memfosforilasi I-kB dalam dua kunci serin. Fosforilasi I-kB menandainya untuk degradasi translokasi ke dalam inti, mengikat DNA dan terjadi aktivasi transkripsi. Sementara pada jalur alternatif, NF-kB dimer dalam kondisi inaktif oleh adanya pemanjangan domain C-terminal pada salah satu bentuk prekursor, p50 atau p52. p50 & p52 disintesis sebagai prekursor yg lebih panjang menjadi p105 dan p100. Pemanjangan domain C-terminal pada prekursor (strukturnya homolog dengan I-kB dan memiliki fungsi yang sama). Jika prekursor p105 diproses menjadi p50, maka p100 tidaklah demikian, tetapi disimpan sebagai partner regulator pada NF-kB heterodimer. Pada jalur survival sel B terlihat ikatan heterodimer p100-RelB

Pada tingkatan molekul, sistem imun

yg akan menjadi inaktif oleh adanya pemanjangan domain C- terminal sampai p100 diaktifkan oleh molekul famili TNF (B -cell activating factor, BAFF) (Furnari, 2007).

innate yang dipusatkan pada aktivasi dari NF-kB mempunyai kemampuan menginduksi transkripsi dari beberapa sitokin

(34)

proinflamasi, kemokin, molekul adesi, NO dalam merespon stimulasi oleh sinyal yang berhubungan dengan patogen atau stres. Selain itu NF-kB mengontrol ekspresi dari banyak gen adaptif seperti MHC dan gen penting untuk regulasi apoptosis (Furnari, 2007).

Gambar 2.Mekanisme aktivasi NF-κB.

(35)

BAB III

KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Teori

Gambar 3.1 Kerangka teori penelitian.

3.2. Kerangka Konsep

3.3. Hipotesis 1. Hipotesis Mayor

Terdapat hubungan antara ekspresi NF-κB pada astrositoma dengan sistem klasifikasi WHO dan outcome.

Ekspresi NF-κB 1. Derajat WHO

2. Outcome Pasien

NF-KB RAF

MEK

ERK

Proliferasi sel Angiogenesis

Grading WHO Progresi

siklus sel Inti (+)

Sitoplasma (+) Inti (+) Sitoplasma

(+)

(36)

2. Hipotesis Minor

a. Terdapat hubungan ekspresi NF-κB inti dengan derajat WHO pada penderita astrositoma di Departemen Ilmu Bedah Saraf FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan

b. Terdapat hubungan ekspresi NF-κB sitoplasma dengan derajat WHO pada penderita astrositoma di Departemen Ilmu Bedah Saraf FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan

c. Terdapat hubungan ekspresi NF-κB inti dengan luaran pada penderita astrositoma di Departemen Ilmu Bedah Saraf FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan

d. Terdapat hubungan ekspresi NF-κB sitoplasma dengan luaran pada penderita astrositoma di Departemen Ilmu Bedah Saraf FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan.

(37)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1.Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan potong lintang (cross sectional) yang bertujuan menganalisis hubungan antara ekspresi NF-κB dengan sistem grading WHO dan outcome.

4.2.Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu penelitian mulai Januari 2015 s.d September 2016. Tempat peneltian adalah Departemen Ilmu Bedah Saraf RSUP H Adam Malik Medan dan laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

4.3.Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi Target

Populasi yang dilakukan generalisasi/ inferensialnya yaitu seluruh penderita astrositoma intrakranial.

4.3.2. Populasi Terjangkau

Kumpulan dari satuan/ unit yang dilakukan pengambilan sampel penelitian, yaitu penderita astrositoma intrakranial yang ditatalaksanai oleh Departemen Ilmu Bedah Saraf di FK USU /RSUP H. Adam Malik Medan.

4.3.3. Sampel Penelitian

Bagian dari populasi terjangkau yang diambil untuk dilakukan pengukuran, yaitu penderita astrositoma intrakranial yang ditatalaksanai Departemen Ilmu Bedah Saraf

(38)

di FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2015. Sampel penelitian diambil dengan cara total sampling.

4.4.Kr iter ia Sampel Penelitian 4.6.1. Kriteria Inklusi

Seluruh penderita astrositoma intrakranial yang diagnosismya ditegakkan dengan histopatologi dan ditatalaksanai oleh Departemen Ilmu Bedah Saraf di FK USU/

RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2015.

4.6.2. Kriteria eksklusi

- Penderita dengan blok paraffin yang tidak layak untuk dilakukan pemeriksaan IHC

- Kejadian berulang (rekurensi) atau kekambuhan (residif) - Menderita tumor lain.

4.5.Besar Sampel Penelitian

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total sampling, dimana jumlah sampel sama dengan pasien yaitu sebanyak 25 sampel. Sampel penelitian adalah seluruh kasus yang memenuhi kriteria inklusi yang berada pada tahun 2015.

(39)

4.6.Alur Penelitian

4.7.Car a Ker ja

Dimulai dengan pengumpulan seluruh blok paraffin dan slide penderita astrositoma antara tahun 2015-2016 yang sudah diwarnai dengan hematoxylin-eosin. Dilakukan pencatatan nama, usia, jenis kelamin, derajat WHO, serta luaran (hidup/meninggal).

Astrositoma kembali dikonfirmasi ulang oleh seorang ahli patologi anatomi dan seorang peserta senior program pendidikan dokter spesialis patologi anatomi. Untuk pembuatan slide, blok paraffin ditempelkan pada holder dan dilakukan pemotongan setebal 5- 7 μm dengan rotary microtome. Setelah itu dilakukan mounting pada gelas objek dengan dilapisi poly-L-lysine.

Selanjutnya, dilakukan pewarnaan immunhistokimia. Slide dicuci menggunakan PBS pH 7,4 satu kali selama 5 menit. Bloking endogenous peroksida menggunakan 3% H2O2 selama 15 menit. Cuci menggunakan PBS pH 7,4 sebanyak tiga kali, masing-masing selama 3 menit. Bloking unspesifik protein menggunakan 5% FBS yang mengandung 0,25% Triton X-100. Cuci menggunakan PBS pH 7,4 sebanyak tiga kali, masing-masing selama 3 menit.

Pengumpulan blok paraffin astrositoma

(seleksi kriteria)

Konfirmasi ulang diagnosis astrositoma

Pemeriksaan IHC NF-κB

(40)

Inkubasi menggunakan antibodi primer (NF-κB) selama 60 menit. Cuci menggunakan PBS pH 7,4 tiga kali, masing-masing selama 3 menit. Inkubasi menggunakan anti mouse biotin conjugated selama satu jam pada suhu ruang. Cuci menggunakan PBS pH 7,4 tiga kali, masing-masing selama 3 menit. Inkubasi menggunakan SA-HRP (Strep-Avidin Horse Radis Peroxidase) selama 10 menit. Cuci menggunakan PBS pH 7,4 tiga kali, masing- masing selama 3 menit. Tetesi dengan DAB (DiaminoBenzidine) dan inkubasi selama 5-15 menit.

Cuci menggunakan PBS pH 7,4 tiga kali, masing-masing selama 5 menit. Counter staining menggunakan Mayer Hematoxilen yang diinkubasi selama 1 menit dan cuci menggunakan tap water. Bilas menggunakan H2O dan kering anginkan. Mounting menggunakan entelan dan tutup dengan cover glass. Amati pada mikroskop cahaya.

4.8.Definisi dan Batasan Oper asional

Definisi Alat ukur Cara ukur Skala ukur

Ekspresi NF-κB

Jumlah sel yang mengekspresikan NF-

κB pada

imunohistokimia, baik pada inti maupun

sitoplasma

Mikroskop cahaya Slide dengan pewarnaan IHC

Perhitungan manual Ordinal (+/-)

Derajat WHO

Klasifikasi glioma berdasarkan International Classification of Diseases - Oncology,

versi 3 (ICD-O-3) yang ditetapkan oleh

WHO

Slide yang diwarnai hematoxyline-eosin Mikroskop cahaya

Penilaian individu berdasarkan gambaran sel pada

slide

Nominal (low grade/high grade)

(41)

Luaran Hasil akhir terapi saat pulang, dinilai dengan hidup atau meninggal

- Pencatatan rekam

medis

Nominal (hidup/meninggal)

4.9.Analisis Data

Variabel kategorik dianalisis dalam bentuk frekuensi dan persentase yang disajikan baik dalam bentuk tabel maupun grafik. Analisis deskriptif variabel numerik dilakukan dalam bentuk ukuran pemusatan (mean, median) dan ukuran penyebaran (standar deviasi, minimum-maksimum). Jika sebaran data normal, digunakan pasangan mean dan standar deviasi. Jika sebaran data tidak normal, digunakan median dengan minimum-maksimum.

Data medis dan demografis dianalisa secara komputerisasi dengan uji statistik Chi square atau Fischer’s exact test.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Seluruh kegiatan yang dilakukan Hizbut Tahrir Indonesia adalah kegiatan yang.

terhadap keputusan mahasiswa memilih pada Fakultas Pertanian dan Bisnis

Partai Keadilan Sejahtera, sebagai partai yang berasaskan Islam meletakkan kedaulatan tertinggi ada pada tangan Allah berbeda dengan konsep demokrasi yang menyatakan kedaulatan

Teknik steganografi dari Penelitian sebelumnya masih banyak penyisipan pesan berupa text kalimat saja dan beberapa menggunakan file berformat txt, beberapa

Tim HizbutTahrir, 2009, Manifesto Hizbut Tahrir Untuk Indonesia: Indonesia, Khilafah dan Penyatuan Kembali Dunia Islam, Jakarta: HTI Press. Tim HizbutTahrir, 2007,Mengenal

Menurut responden jurusan yang ditawarkan Fakultas Pertanian dan Bisnis UKSW sudah sesuai dengan kebutuhan karena menurut mereka jurusan yang

Angket atau kuesioner kecemasan yang digunakan merupakan adaptasi dari kuesioner milik Kasana (2014) yang menggunakan kuesioner tersebut dengan tujuan untuk

Meminta siswa berdiskusi dengan kelompoknya untuk menjawab pertanyaan atau masalah pada kegiatan Ayo kita Bernalar1. Memantau kegiatan